Referat Ckd

21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Penyakit Ginjal Kronis (PGK) Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², seperti pada tabel berikut : Batasan penyakit ginjal kronik menurut NKF-K/DOQI : Batasan gagal ginjal kronik 1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan: - Kelainan patologik - Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan 2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah.

description

referat ckdd

Transcript of Referat Ckd

Page 1: Referat Ckd

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Penyakit Ginjal Kronis (PGK)

Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², seperti pada tabel berikut :

Batasan penyakit ginjal kronik menurut NKF-K/DOQI :

Batasan gagal ginjal kronik

1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:

- Kelainan patologik

- Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan

2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah.

Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockkcroft-Gault sebagai berikut:

(140 – umur) X berat badan

Page 2: Referat Ckd

LFG (ml/menit/1,73 m2) *)

72 X kreatinin plasma (mg/dl)

*) pada perempuan dikalikan 0,85

Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :

Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan stadium gagal ginjal kronik

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Atas Dasar Derajat Penyakit

Derajat Penjelasan LFG (ml/menit/1,73 m2)

1 Kerusakan ginjal dengan FLG normal atau > 90

2 Kerusakan ginjal dengan FLG ringan 60 - 89

3 Kerusakan ginjal dengan FLG sedang 30 - 59

4 Kerusakan ginjal dengan FLG berat 15 - 29

5 Gagal Ginjal < 15 atau dialisis

Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).

a. Glomerulonefritis

Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006). Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari

2

Page 3: Referat Ckd

pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).

b. Diabetes melitus

Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 1996)

c. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).

d. Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun.

Gambaran klinik penyakit ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular

3

Page 4: Referat Ckd

(Sukandar, 2006). Anemia hipokrom mikrositer dan normositer (MCV 78-94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik. Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25 ml per menit.

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi GGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal (LFG).

Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal ginjal (LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal. 1) Pemeriksaan faal ginjal (LFG) : Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal (LFG). 2) Etiologi gagal ginjal kronik (GGK) : Analisis urin rutin, mikrobiologi urin, kimia darah, elektrolit dan imunodiagnosis. 3) Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit , progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG).

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:

Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)

Memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal

a.Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya

4

Page 5: Referat Ckd

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.

Rencana Tatalaksan Penyakit Ginjal Kronik Sesuai dengan Derajatnya

Derajat LFG(ml/mnt/1,73m2 Rencana Tatalaksana

1

2

3

4

5

>90

60-89

30-59

12-29

<15

- Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid evaluasi pemburukan (progression) Fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskuler

- Menghambat pemburukan (progression) fungsi ginjal

- Evaluasi dan terapi komplikasi

- Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

- Terapi Pengganti Ginjal

b.Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid

Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat penurunan LFG pada passien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain gangguan

5

Page 6: Referat Ckd

keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.

c.Menghambat Pemburukan Fungsi Ginjal

Faktor utama penyebab pemburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah: Pembatasan Asupan Protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt, sedangkan diatas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8 kg.bb/hari, yang 0,35 – 0,50 gr diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30 -35 kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah dipecah menjadi urea dan subtansi nitrogen lain , yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan penimbunan subtansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia.

Terapi Farmakologis. Untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat anti hipertenasi, disamping bermanfaat untuk memperkecil resiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrogi glomerulus. Disamping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria merupakan faktor resiko terjadi pemburukan fungsi ginjal dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses pemburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.

Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Ensim Komveting Angiotensin (Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria

c.Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular

Pencegahan dan terapi terhadap kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular

6

Page 7: Referat Ckd

adalah, pengedalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dengan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.

d.Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi

Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.

Komplikasi Penyakit Ginjal Klinik

Derajat Penjelasan LFG

(ml/mnt)

Komplikasi

1

2

3

Kerusakan Ginjal dengan LFG normal

Kerusakan Ginjal dengan penurunan LFG ringan

Penurunan LFG sedang

Penurunan LFG berat

> 90

60-89

30-59

- Tekanan darah mulai

- Hiperfosfatemia

- Hipokalcemia

- Anemia

- Hiperparatiroid

- Hipertensi

- Hiperhomosistinemia

7

Page 8: Referat Ckd

4

5

Gagal ginjal

15-29

<15

- Malnutrisi

- Asidiosis Metabolik

- Cenderung Hiperkalemia

- Dislipedemia

- Gagal Jantung

- Uremia

Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritopoitin. Hal – hal yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi kehilangan darah (misal; pendarahan saluran cerna, hematuri) masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh subtansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin <10 g % atau hematokrit < 30% meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besis serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/ Total Iron Binding Capacity, feritin serum), mencari sumber pendarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, disamping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoipin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tansfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.

Keluhan gastrointestinal berupa mual dan muntah yang berhubungan dengan gangguan metabolisme protein di usus, sehingga terjadi penumpukan amonia yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Selain itu ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh bakteri di mulut menjadi amonia sehingga nafas berbau amonia (feotor uremi).

8

Page 9: Referat Ckd

Keluhan pada saraf berupa restless leg syndrome dimana pasien merasa pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan. Feet syndrome dimana rasa kesemutan dan rasa terbakar di telapak kaki. Encephalopathy metabolicyang menyebabkan lemah, tidak bisa tidur, gangguan konsentrai, tremor, asteriksis, myoklonus, kejang. Miopati yaitu kelemahan otot dan hipotrofi terutama pada extremitas proximal.

Keluhan pada sistem endokrin adalah penurunan seksual, ganggan metabolisme glukosa, retensi insulin, gangguan metabolisme lemak, sehingga terjadi hiperlipidemia yang bermanifestasi sebagai hipertrigliserida, peninggian VLDL dan penurunan LDL. Hal ini teradi karena meningkatnya produksi trigliserida di hepar akiat menurunnya fungsi ginjal.

Keluhan sistem integumentum adalah kulit berwarna ucat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat penimbunan urokrom. Gatal – gatal dengan eksoriasi akibat toksin urik dan pengendepan kalsium di pori kulit.

Keluhan sistem kardiovaskular dapat berupa hipertensi karena penimbunan cairan dan garam akibat gangguan sistem RAA. Selain itu karena penimbunan cairan dapat terjadi edema.

Osteodistrofi Renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Penatalaksanaan Osteodistrofi Renal dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormone Kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan absorbsi fosfat disaluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.

Mengatasi Hiperfosfatemia

a. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi.

b. Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipeke adalah, garam kalsium, alumunium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secra oral, untuk menghambat absorbsi fofat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipake adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium

9

Page 10: Referat Ckd

acetate table 9. Memperlihatkan cara dan jenis pengikat fosafat, efikasi dan efek sampingnya.

c. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent). Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang minimal.

Fosfat, Efikasi dan Efek Sampingnya

Cara/Bahan Efikasi Efek Samping

Diet rendah fosfat

Al(OH)3

Ca CO3

Ca Acetat

Mg(OH)2/MgCO3

Tidak selalu mudah

Bagus

Sedang

Sangat Bagus

Sedang

Malnutrisi

Intosikasi Al

Hipercalcemia

Mual,muntah

Intoksikasi Mg

Pembatasan Cairan dan Elektrolit

Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegahter jadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk kedalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar baik melalui urine maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insible water antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah urine.

Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritnia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium danmakanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah derajat edema yang terjadi.

10

Page 11: Referat Ckd

f. Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy)

Terapi pengganti ginjal pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialysis atau transplantasi ginjal.

11

Page 12: Referat Ckd

BAB III

PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan utama keluhan muntah sejak 2 hari SMRS dengan frekuensi ± 5 x/ hari dan berisi cairan, tidak ditemukan adanya darah ataupun lendir. Pasien juga merasakan mual sesaat sebelum muntah. Pasien juga mengeluh lemas dan pusing.

Pengobatan untuk gejala utama dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu : 1) Antasid 20-150ml/ hari, Antasid akan menetralisir sekresi asam lambung. Campuranyang biasanya terdapat dalam antasid antara lain Na bikarbonat, AL (OH)3, Mg (OH)2 danMg trisilikat sifatnya hanya simtomatis, untuk mengurangi rasa nyeri. 2) Antikolinergik, bekerja sebagai anti reseptor muskarinik yang dapat menekan sekresi asam lambung sekitar28- 43%. 3) Antagonis reseptor H2, Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yangtermasuk golongan antagonis reseptor H2 antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin dan famotidin. 4) Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI), golongan obat ini mengatur sekresi asam lambungpada stadium akhir dari proses sekresi asam lambung.Obat-obatyang termasuk golongan PPI adalah omeperazol,lansoprazol dan pantoprazol. 5) Sitoprotektif. Prostaglandin sintetik seperti misoprostol (PGE) dan enprestil (PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel parietal. 6) Golongan prokinetik, Obat yang termasuk golongan prokinetik, yaitu sisaprid, domperidon dan metoklopramid. Golongan ini cukupefektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan refluksesofagitis dengan mencegah refluks dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance).

Pasien mendapat terapi ranitidin yang merupakan golongan obat antagonis reseptor H2 yang dapat menghambat sekresi asam lambung, dimana obat ini juga banyak di gunakan untuk terapi dispepsia organik, selain itu pasien juga mendapat kan terapi metocloperamid untuk mengatasi keluhan mual dan muntah nya.

Keluhan mual muntah atau abdominal discomfortpada pasien ini sesuai dengan literatur yang muncul sebagai manifestasi klinis gagal ginjal. Patogenesisnya belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia.

12

Page 13: Referat Ckd

Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.

Masalah utama pasien ini adalah penyakit ginjal kronis. Penyakit ini kemungkinan diakibatkan oleh karena konsumsi minuman berpengawat dalam jangka panjang dan frekuensi yang sering. Komplikasi gagal ginjal mempengaruhi kondisi tubuh secara sistemik, dimana tampak pada keluhan pasien tersebut diatas.

. Pada sistem hematologi, terjadi anemia yang utamanya diakibatkan oleh defisiensi eritropoetin, dan oleh karena kadar ureum yang sangat tinggi pada darah maka mengakibatkan pemendekan masa hidup eritrosit, kemudian ureum juga menekan fungsi sumsum tulang sehingga pembentukan eritrosit baru berkurang. Selain itu karena intake makanan kurang, faktor kurangnya zat besi dapat masuk sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya anemia. Rendahnya kadar trombosit pada pasien ini kemungkinan juga diakibatkan karena Hemolytic-Uremic Syndrome (HUS) yang dapat terjadi pada pasien PGK. HUS lebih sering mengenai pada anak, namun insidensinya pada orang dewasa juga meningkat akhir-akhir ini. Selain pada gagal ginjal, HUS juga dapat terjadi pada pasien pasca melahirkan, dan pada pasien dengan infeksi E.coli.Pada pasien ini dikarenakan Hemoglobin turun dan platelet turun maka planningnya diberikan transfusi whole blood.

Kadar Asam Urat pada pasien ini tinggi juga berhubungan dengan penyakit ginjal. Eksresi uric acid yang berkurang menyebabkan penumpukan asam urat di darah. Hal ini bermanifestasi pada timbulnya linu-linu pada sendi. Pengendalian asam urat dilakukan dengan pembatasan intake purin seperti kacang-kacangan. Dapat pula diberikan penghambat pembentukan asam urat seperti Alopurinol. Selain itu terjadi dislipidemia yang kemungkinan diakibatkan oleh karena kompensasi akibat albumin yang pelan-pelan mulai turun, serta peningkatan produksi trigliserida oleh hepar karena menurunnya fungsi ginjal. Untuk membantu menjaga kadar trigliserida diberikan golongan fibrat (gemfibrozil). Kadar ureum creatinin yang sangat tinggi diakibatkan oleh menurunnya fungsi filtrasi dari ginjal. Hipertensi pada pasien ini kemungkinan disebabkan oleh PGK, dimana terjadi gangguan pengaturan Renin-Angiotensin-Adosteron.

Penegakan diagnosis pada pasien ini adalah dengan USG Urologi untuk melihat kondisi ginjal secara umum, apakah ada perubahan anatomis pada ginjal. Menurut beberapa literatur, biopsi ginjal merupakan diagnosis definitif pada penyakit ginjal kronis, namun karena keterbatasan sarana yang ada maka biasanya hanya dilakukan USG Urologi saja. Selain itu perlu dilakukan juga Test Urine Lengkap untuk melihat bagaimana kondisi filtrasi dari ginjal untuk melihat ada tidaknya kelainan makroskopis maupun mikroskopis

13

Page 14: Referat Ckd

pada urine. Yang tidak kalah penting adalah memeriksa elektrolit pasien. Pasien dengan gagal ginjal mengalami retensi cairan yang cukup banyak, ditambah pada pasien ini muntah cukup sering. Yang ingin dicari pada pemeriksaan ini terutama adalah kadar Kalium (K) pada pasien. Pasien dengan penyakit ginjal kronis biasanya terjadi peningkatan kadar kalium pada darahnya. Hal ini umumnya berasal dari berkurangnya ekskresi kalium serta adanya intake kalium (buah). Peningkatan kadar kalium yang dikhawatirkan dapat menyebabkan artitmia jantung yang membahayakan nyawa pasien.

Terapi pada pasien ini mulai dari pemasangan kateter untuk mengevaluasi balans cairan. Pada pasien dengan PGK, balans cairan disesuaikan dengan cairan yang keluar. Cairan yang masuk harus dibatasi, bila pasien terjadi oligouria (produksi urine < 500ml/24 jam) maka perlu diberikan diuretik, terutama yang tidak mempertahankan Kalium, seperti furosemide. Infus yang diberikan adalah infus NaCl 0,9% ditambah meylon. Meylon disini bersifat alkali dan digunakan untuk mencegah terjadinya asidosis metabolik akibat PGK. Tetesan diberikan pelan, agak tidak menambah beban cairan. Diet pasien diatur dengan diet Rendah Protein Tinggi Kalori. Asupan protein dibatasi 0,6-0,8gr/kgBB/hari. Sedangkan kebutuhan kalori minimal 35kcal/kgBB/hari. Protein dibatasi agar kadar kreatinin pada darah tidak meningkat dalam darah. Diet kalium pun dikurangi dengan menghindari makanan dengan kalium tinggi seperti buah-buahan dan menghindari diuretika K-sparring. Selain itu diberikan pula Calcium gluconat sebagai terapi hiperkalemia. Kemudian untuk menjaga tekanan darah dan menghambat progresivitas PGK dapat diberikan ACE-inhibitor dan AR-Blocker, dalam hal ini diberikan Captopril. Pemberian antasida pada pasien ini harus hati-hati karena dapat menyebabkan penumpukan alumunium pada darah, berikan pada dosis rendah.

Terapi utama pada pasien ini adalah penggantian ginjal. Hemodialis dapat dilakukan namun pasien harus tetap dijelaskan bahwa hemodialis bukanlah terapi kuratif, hemodialis dilakukan sebagai terapi sementara selagi menunggu transplantasi ginjal siap. Hal ini disebabkan karena hemodialisis hanya berfungsi sebagai pengganti fungsi eksresi ginjal, tidak menggantikan fungsi yang lain seperti fungsi metabolis ginjal dalam mensekresi hormon.

Monitoring yang dilakukan adalah monitoring kondisi umum pasien dan tanda vitalnya. Pemeriksaan ulang Renal Function Test, Elektrolit, Electrocardiogram, Profil Lipid, dan Darah Lengkap dilakukan untuk menilai progresivitas penyakitnya.

14

Page 15: Referat Ckd

DAFTAR PUSTAKA

1. Hadi, Soejono. Gastroenterologi. Bandung: Alumni. 1999. Hal. 181.

2. Sudoyo, Aru W. Gagal ginjal kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jilid II, Edisi 4. 2006. Jakarta: FKUI.

3. Talley HI. Non ulcer dyspepsia. In: Yamada T, editor. Textbook of Gastroenterology.Philadelphia: JB Lippincott Company;1995:1446-55.

4. McQuaid KR. Dyspepsia & non ulcer dyspepsia. In: Grendell JH, McQuaid KR, Freidman SC, editors. Current diagnosis & treatment in gastroenterology. Connecticut: Appleton & Lange;1996:313-6.

5. Bazaldua OV, Schneider FD. Evaluation and management of dyspepsia. Am Fam Physician 1999;60:1773-88.

6. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI. Edisi 3. Jilid I. 1999. Hal. 492-493

7. Sacher, Ronald A, Richard A. McPherson. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta : EGC. 2011. Hal. 199-200

15