Referat Asma Eksaserbasi Siska
-
Author
fransiska-kartika -
Category
Documents
-
view
112 -
download
28
Embed Size (px)
description
Transcript of Referat Asma Eksaserbasi Siska

REFERAT
ASMA EKSASERBASI
Disusun Oleh :
Fransiska Kartika
030.11.108
Pembimbing :
dr. Sukaenah BT Shebubakar, Sp.P
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD BUDHI ASIH JAKARTA
PERIODE 25 JUNI – 2 AGUSTUS 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
0

LEMBAR PENGESAHAN
Nama Lengkap : Fransiska Kartika
NIM : 030.11.108
Universitas : Fakultas Kedokteran Trisakti
Judul referat : Asma Eksaserbasi
Bagian : Ilmu Penyakit Dalam RS. Budhi Asih
Pembimbing : dr. Sukaenah BT Shebubakar, Sp.P
Jakarta, Juni 2015
Pembimbing
Dr. Sukaenah BT Shebubakar, Sp.P
1

Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME, karena atas berkat-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas referat dalam kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam
RS. Budhi Asih mengenai “Asma Eksaserbasi.”
Terimakasih kepada pembimbing, Dr. Sukaenah BT Shebubakar, Sp.P yang telah
membimbing saya dalam banyak hal dalam menjalani kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit
Dalam khususnya di bidang Paru ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini banyak
kendala yang dihadapi, namun dengan bantuan dan dorongan dari semua pihak kendala
tersebut perlahan dapat diatasi.
Semoga referat ini bermanfaat bagi para pembaca untuk memperluas pengetahuan
mengenai Asma Eksaserbasi. Penulis menyadari bahwa makalah ini tidaklah sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun diharapkan dari pembaca sekalian.
Jakarta, 24 Juni 2015
Fransiska Kartika
2

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
BAB I PENDAHULUAN4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
3

BAB I
PENDAHULUAN
Kata asma berasal dari bahasa Yunani yang berarti terengah-engah atau sukar
bernafas. Asma adalah penyakit saluran nafas kronik yang penting dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Sekitar 300 juta orang
di seluruh dunia menderita asma. Hal ini merupakan masalah kesehatan global serius yang
mempengaruhi semua kelompok usia, dengan peningkatan prevalensi di banyak negara
berkembang.
Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat bersifat
menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. Produktivitas dapat menurun
akibat ketidakhadiran kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan disabilitas, sehingga
menambah penurunan produktivitas serta menurunkan kualitas hidup.
Prevalensi asma di seluruh dunia adalah sebesar 8-10% pada anak dan 3-5% pada
dewasa, dan dalam 10 tahun terakhir ini meningkat sebesar 50%.
World Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia
menderita asma. Bahkan jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai
180.000 orang setiap tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai
300 juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini. Apabila
tidak dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan
prevalensi yang lebih tinggi lagi pada masa akan datang.1
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. a. Definisi
Asma eksaserbasi adalah episode akut asma dengan sesak yang memburuk secara
progresif disertasi batuk, mengi, dan dada sakit, atau beberapa kombinasi gejala-gejala
tersebut.2
Eksaserbasi ditandai dengan menurunnya arus nafas yang dapat diukur secara
obyektif (spirometri atau PFM) dan merupakan indikator yang lebih dapat dipercaya
dibanding gejala. Penderita asma terkontrol dengan steroid inhaler , memiliki risiko yang
lebih kecil untuk eksaserbasi. Namun, penderita tersebut masih dapat mengalami eksaserbasi,
misalnya bila menderita infeksi virus saluran napas.
II. b. Etiologi
Asma eksaserbasi dapat disebabkan oleh berbagai faktor, kadang-kadang ada yang
disebut sebagai "pemicu" antara lain : alergen, infeksi virus, polusi dan obat.3
Penyebab eksaserbasi :
1. Infeksi virus saluran nafas
2. Mycoplasma pneumonia
3. Chlamydia pneumonia
4. Alergen
5. Iritan (SO2 , debu, kotoran, jelaga, asap)
6. Obat (aspirin)
7. Emosi
8. Tidak patuh pada pengobatan
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu4:
1. Ekstrinsik (alergik)
5

Ditandai dengan reaksi alergi yang disebabkan oleh faktor-faktor pencetus yang
spesifik seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (contoh: antibiotik dan
aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu
predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik
seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak
spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya
infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering
sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan
emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk
alergik dan non-alergik.
Gambar 1. Tipe asma.
6

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya
serangan:
1. Faktor predisposisi
Genetik. Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi
biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat
alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan
faktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
2. Faktor presipitasi
a. Alergen, dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan (debu, bulu binatang, serbuk
bunga, spora jamur, bakteri dan polusi)
Ingestan, yang masuk melalui mulut (makanan dan obat-obatan)
Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit (perhiasan, logam dan jam
tangan)
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Kadang-kadang serangan berhubungan dengan musim, seperti musim hujan, musim
kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
c. Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus
segera diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi
nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi
maka gejala asmanya belum bisa diobati.
d. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini
berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium
hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu
libur atau cuti.
e. Olahraga/ aktifitas jasmani yang berat
7

Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas
jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
II. c. Epidemiologi
Prevalensi asma meningkat di seluruh dunia. Hal ini disebabkan terutama oleh
pengertian yang salah mengenai asma, pedoman dan pelaksanaan pengelolaan asma yang
tidak lengkap atau sistematis, serta sangat kurangnya data dan perencanaan lanjutan. Untuk
mengatasi hal tersebut perlu dilaksanakan strategi pengelolaan asma berdasarkan pedoman
pengelolaan yang lengkap dan sistematik. Kerjasama yang erat di antara para dokter dan
petugas medis lainnya dengan penderita asma sangatlah diperlukan untuk mencapai hasil
yang sebaik-baiknya. Dengan upaya ini diharapkan akan tercapai pengelolaan asma preventif
dan kuratif yang sesuai dengan perkembangan dan metoda pengelolaan asma yang mutakhir.
Dan akan tercapai pula penurunan angka morbiditas maupun mortalitas yang diakibatkan
oleh asma ataupun komplikasinya.
Menurut WHO, sebanyak 100 hingga 150 juta penduduk dunia adalah penyandang
Asma. Jumlah ini terus bertambah sebanyak 180.000 orang setiap tahunnya. Di Indonesia,
prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun diperkirakan 2 – 5 % penduduk
Indonesia menderita asma. Berdasarkan laporan Heru Sundaru (Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI/RSCM), prevalensi asma di Bandung (5,2%), Semarang (5,5%), Denpasar
(4,3%) dan Jakarta (7,5%). Di Palembang, pada tahun 1995 didapatkan prevalensi asma pada
siswa SMP sebesar 8,7% dan siswa SMA pada tahun 1997 sebesar 8,7% dan pada tahun 2005
dilakukan evaluasi pada siswa SMP didapatkan prevalensi asma sebesar 9,2%. Penyakit
Asma dapat mengenai segala usia dan jenis kelamin, 80-90% gejala timbul sebelum usia 5
tahun. Pada anak-anak, penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan, sedangkan pada
usia dewasa terjadi sebaliknya. Sementara angka kejadian Asma pada anak dan bayi lebih
tinggi daripada orang dewasa.5
II. d. Patogenesis
Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel dan ditandai oleh
serangan batuk, mengi dan dispnea pada individu dengan jalan nafas hiperreaktif. Tidak
semua asma memiliki dasar alergi, dan tidak semua orang dengan penyakit atopik mengidap
8

asma. Asma mungkin bermula pada semua usia tetapi paling sering muncul pertama kali
dalam 5 tahun pertama kehidupan. Mereka yang asmanya muncul dalam 2 dekade pertama
kehidupan lebih besar kemungkinannya mengidap asma yang diperantarai oleh IgE dan
memiliki penyakit atopi terkait lainnya, terutama rinitis alergika dan dermatitis atopik.6
Langkah pertama terbentuknya respon imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen
yang dipresentasikan oleh sel-sel aksesori, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul Major
Histocompability Complex atau MHC (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada
sel T CD8+). Sel dendritik merupakan Antigen Precenting Cells (APC) utama pada saluran
respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, lalu
membentuk jaringan yang luas dan sel-selnya saling berhubungan di dalam epitel saluran
respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi menuju kumpulan sel-sel limfoid di bawah
pengaruh GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T,
makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah menuju daerah yang
banyak mengandung limfosit. Di tempat ini, dengan pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel
dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif.
Reaksi fase cepat pada asma dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap
alergen Ig-E spesifik, terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien dengan komponen alergi
yang kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Reaksi fase lambat pada asma
timbul beberapa jam lebih lambat dibanding fase awal. Meliputi pengerakan dan aktivasi dari
sel-sel eosinofil, sel T, basofil, netrofil, dan makrofag. Juga terdapat retensi selektif sel T
pada saluran respiratori, ekspresi molekul adhesi, dan pelepasan newly generated mediator.
Sel T pada saluran respiratori yang teraktivasi oleh antigen, akan mengalami polarisasi ke
arah Th2, selanjutnya dalam 2 sampai 4 jam pertama fase lambat terjadi transkripsi dan
transaksi gen, serta produksi mediator pro inflamasi, seperti IL2, IL5, dan GM-CSF untuk
pengerahan dan aktivasi sel-sel inflamasi. Hal ini terus menerus terjadi, sehingga reaksi fase
lambat semakin lama semakin kuat.
Pada remodelling saluran respiratori, terjadi serangkaian proses yang menyebabkan
deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran respiratori melalui proses
dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur sel. Kombinasi antara kerusakan
sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, ketidakseimbangan Matriks Metalloproteinase
(MMP) dan Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP), produksi berlebih faktor
pertumbuhan profibrotik atau Transforming Growth Factors (TGF-β), dan proliferasi serta
diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses yang penting dalam
remodelling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi faktor-faktor pertumbuhan,
9

kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratori dan
meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, menambah vaskularisasi, neovaskularisasi, dan
jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul termasuk kompleks proteoglikan pada
dinding saluran respiratori dapat diamati pada pasien yang meninggal akibat asma. Hal
tersebut secara langsung berhubungan dengan lamanya penyakit.6
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet dan kelenjar
submukosa terjadi pada bronkus pasien asma, terutama yang kronik dan berat. Secara
keseluruhan, saluran respiratori pasien asma, memperlihatkan perubahan struktur saluran
respiratori yang bervariasi dan dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori.
Remodelling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperaktivitas saluran respiratori
yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam waktu lama (lebih dari 1-2
tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi inhalasi kortikosteroid.6
Gambar 2. Patogenesis Asma
Sumber : Global Initiative for Asthma 2005
Gejala asma, yaitu batuk sesak dengan mengi merupakan akibat dari obstruksi
bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus.1
Tabel 1. Proses Terjadinya Asthma
Sumber : Departemen Kesehatan RI ;2009
10
GejalaFaktor Risiko
Hiperaktivitas
Bronkus
Obstruksi
Bronkus
Faktor Risiko Faktor Risiko
Inflamasi

Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar, nervus
vagus dan mungkin juga epitel saluran nafas. Peregangan vagal menyebabkan refleks
bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan
membuat epitel jalan nafas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam
submukosa sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.1
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan serangan
asma, melalui sel efektor sekunder seperti eosinofil, netrofil, trombosit dan limfosit. Sel-sel
inflamasi ni juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti leukotrien, tromboksan, Platelet
Activating Factors (PAF) dan protein sititoksis memperkuat reaksi asma. Keadaan ini
menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hiperaktivitas bronkus.1
II. e. Patofisiologi Asma
Patofisiologi7
Asma adalah suatu keadaan klinik yang ditandai oleh penyempitan bronkus yang
berulang namun reversibel. Keadaan ini terjadi pada orang yang terkena asma, disebabkan
oleh berbagai rangsangan, menandakan suatu hipereaktivitas bronkus.
Perubahan jaringan pada asma tanpa komplikasi terbatas pada bronkus dan terdiri dari
spasme otot polos, edema mukosa, dan infiltrasi sel-sel radang yang menetap dan hipersekresi
mucus yang kental. Penyempitan saluran napas dan pengelupasan sel epitel siliaris bronkus
kronis yang dalam keadaan normal membantu membersihkan mucus dapat menghambat
mobilisasi sekresi lumen.
Orang yang menderita asma memiliki ketidakmampuan mendasar dalam mencapai
angka aliran udara normal selama pernapasan (terutama pada ekspirasi). Ketidakmampuan ini
tercermin dengan rendahnya volume udara yang dihasilkan sewaktu akan melakukan usaha
ekspirasi paksa pada detik pertama (FEV1). Karena banyaknya saluran udara yang menyempit
tidak dapat dialiri dan dikosongkan secara cepat, tidak terjadi aerasi paru dan terjadi
hilangnya ruang pernyesuaian normal antara ventilasi dan aliran darah paru.
Turbulensi arus udara dan getaran mukus bronkus mengakibatkan suara mengi yang
terdengar jelas selama serangan asma, tanda fisik ini juga terlihat mencolok pada masalah
saluran napas obstruktif. Pada asma simptomatik, napas lebih cepat dari normal (walaupun
hal ini cenderung menambah retensi aliran udara). Selain itu, kompensasinya adalah inspirasi
maksimal, yang mula-mula dicapai secara paksa untuk melebarkan jalan udara. Kemudian
11

gambaran ini menetap karena pengosongan alveoli yang tidak sempurna, yang
mengakibatkan hiperinflasi toraks yang progresif.
Pada asma tanpa komplikasi batuk hanya mencolok sewaktu serangan mereda, dan
batuk membantu mengeluarkan secret yang terkumpul. Diantara serangan asma, pasien bebas
dari mengi dan gejala, walaupun reaktivitas bronkus meningkat dan kelainan pada ventilasi
tetap berlanjut. Namun pada asma kronik, serangan asma dapat menghilang, sehingga
mengakibatkan keadaan asma yang terus menerus sering disertai infeksi bakteri sekunder.
Secara fungsional, saluran napas penderita asma bertindak seakan-akan persarafan
beta-adrenergiknya (yang membantu saluran napas agar tetap paten) tidak kompeten, terdapat
sedikit hambatan pada reseptor beta-adrenergiknya. Pengaruh bronkokonstriktor yang
diketahui secara normal diperantarai oleh saraf parasimpatik (kolinergik) dan alfa adrenergic,
cenderung menonjol. Dalam praktik, kelabilan bronkus pada penderita asma dapart dipastikan
dengan memperlihatkan respons yang nyata berupa obstruktif saluran napas mereka terhadap
inhalasi histamine dan metakolin (zat dengan aktivitas yang menyerupai asetilkolin) dalam
konsentrasi yang sangat rendah. Mekanisme yang sama mungkin menimbulkan serangan
asma setelah menghirup udara dingin maupun kontak dengan kabut tebal, debu, iritan yang
mudah menguap. Jaras saraf yang sedikit diketahui juga menjadi perantara penutupan saluran
napas akibat rangsangan psikis, akan tetapi, jarang sekali asma yang semata-mata disebabkan
oleh faktor emosional. Pada asma, jaras refleks yang menimbulkan bronkospasme disertai
pengempisan rongga dada yang kuat, diaktifkan oleh gerakan-gerakan seperti tertawa,
meniup balon, atau melakukan ekspirasi penuh untuk tes pernapasan.7
Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik
Sumber : ADAM ; 2007
12

Eksaserbasi
Faktor yang dapat mencetuskan sehingga terjadi eksaserbasi dan yang dapat
menyebabkan bronkokonstriksi adalah udara dingin, kabut, olahraga. Stimulus yang dapat
menyebabkan inflamasi saluran nafas seperti pemaparan alergen, virus saluran nafas.
Olahraga dan hiperventilasi pernafasan dengan keadaan udara dingin dan kering
menyebabkan bronkokonstriksi dan pelepasan sel lokal dan mediator inflamasi seperti
histamin, leukotrien yang dapat menstimulasi otot polos. Eksaserbasi asma dapat timbul
selama beberapa hari. Sebagian besar berhubungan dengan infeksi saluran nafas, yang paling
sering adalah common cold oleh rhinovirus yang dapat menginduksi respon inflamasi
intrapulmoner. Pada pasien asma, inflamasi terjadi dengan derajat obstruksi yang bervariasi
serta dapat memperberat hipereaktivitas bronkial. Respon inflamasi ini melibatkan aktivasi
dan masuknya eosinofil dan atau neutrofil yang dimediasi oleh pelepasan sitokin atau
kemokin T atau sel epitel bronkial. Selain itu, paparan alergen juga mencetuskan eksaserbasi
pada pasien asma.8
Abnormalitas gas darah
Asma hanya mempengaruhi proses pertukaran gas bila serangan berat. Berat
ringannya hpoksemia arteri, dapat menggambarkan beratnya obstruksi saluran nafas yang
terjadi secara tidak merata di seluruh paru. Hipokapnea yang ditemukan pada serangan asma
ringan sampai sedang, dapat dilihat dari usaha bernafas yang lebih. Peningkatan PCO2 arteri
mengindikasikan sedang terjadi obstruksi berat dan ini dapat menghambat pergerakan otot
pernafasan dan usaha bernafas ( keracunan CO2) sehingga dapat timbul gagal nafas dan
kematian.9
ASMA COPD
Airway Obstruction Variable Progressive deterioration of lung function
Post mortem Hyperinflation airway plugs (exudate + mucus) No emphysema
Excessive mucus(mucoid/purulent)Emphysema
Sputum Eosinophylia, Metachromatic cellsCreola bodies
Macrophage, Neutrophil(infective exacerbation)
Surface epithelium Fragility/Loss Fragility undetermined
Bronchiol mucous cells Mucous metaplasia is debated Metaplasia/hyperplasia
13

Reticular basementMembrane
Homogenously thickened and hyaline
Variable or normal
Congestion/oedema Present Variable/fibrotic
Bronchial smooth Musc. Enlarged mass (large airways) Enlarged (small airways)
Bronchial glands Enlarged mass (no change in mucin histochemistry)
Enlarged(increased acidic glycoprotein)
Cellular infiltrate Predominantly CD3, CD4, CD25 (IL-2R) positiveMarked eosinophylia
Predominantly CD3, CD8, CD68,
CD25, VLA-1 and HLA-DR positiveMild eosinophilia
Cytokines (ISH) IL-4+IL-5 gene expression(TH2 profile)
GM-CSF protein, IL-4 but not IL-5
Tabel 2. Perbedaan Asma dengan COPD
II. f. Diagnosis
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berkaitan dengan
cuaca. Anamsesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, di tambah dengan
pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru, akan
lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Riwayat penyakit/gejala :
- Bersifat episodik,seringkali reveribel dengan atau tanpa pengobatan
- Gejala berupa batuk,sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
- Gejala/timbul/memburuk terutama malam/dini hari
- Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
- Respons terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
- Riwayat keluarga (atopi)
- Riwayat alergi / atopi
- Penyakit lain yang memberatkan
- Perkembangan penyakit dan pengobatan
-
Pemeriksaan jasmani
14

Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat normal.
Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah mengi pada auskultasi.
Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran
objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas, edema dan hipersekresi dapat
menyumbat saluran napas, maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru
yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja
pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi.
Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walupun
demikian mengi dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi
biasanya disertai gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar biacara,takikardi, hiperniflasi
dan penggunan otot bantu napas.
Faal paru
Umumya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi mengenai
asmanya, demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai dispnea dan mengi,
sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru antara lain untuk menyamakan
persepsi dokter dan penderita, dan parameter objektif menilai berat asma. Pengukuran faal
paru digunakan untuk menilai ;
- Obstruksi jalan napas
- Reversibiliti kelainan faal paru
- Variabiliti faal paru, sebagai peniliaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan napas
Parameter dan metode untuk menilai faal paru adalah pemeriksaan spirometri dan
arus puncak ekspirasi (APE).
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa
(KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang standar.
Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita sehingga dibutuhkan
instruksi operator yang jelas dan kooeperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat,
diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80%
nilai prediksi.
15

Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 ≥ 15% atau 200ml secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral
10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu.
Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma.
Menilai derajat berat asma.
Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau pemeriksaan yang
lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow meter (PEF meter) yang relatif murah,
mudah dibawa, terbuat dari plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan
kesehatan termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah
digunakan/dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan penderita di
rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan
ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas.
Manfaat APE dalam diagnosis asma
Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE ≥ 15% setelah inhalasi bronkodilator (uji
bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons terapi kortikosteroid
(inhalasi/ oral , 2 minggu).
Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE harian
selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat berat penyakit.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto thoraks diindikasikan pada anak-anak dengan presentasi yang
atipikal atau yang tidak berespon terhadap terapi. Pada anak-anak yang sudah diketahui
menderita asma, pemeriksaan foto thoraks dilakukan jika curiga menderita pneumonia,
pneumothoraks, pseudomediastinum atau atelektasis yang signifikan.10
II. f. 1 Diagnosis Banding asma eksaserbasi11
1. Obstruksi jalan napas atas
2. Aspirasi benda asing
3. Sindroma disfungsi korda vokalis
4. Edema paru
16

5. PPOK eksaserbasi akut
6. Reaksi Konversi hysterik
II. g. Faktor Resiko
Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
1. Faktor genetik
(a) Hiperreaktivitas
(b) Atopi/Alergi bronkus
(c) Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
(d) Jenis Kelamin
(e) Ras/Etnik
2. Faktor lingkungan
(a) Alergen didalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur)
(b) Alergen di luar ruangan (alternaria, tepung sari)
(c) Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut,
susu sapi, telur)
(d) Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, beta-blocker dll)
(e) Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray dll)
(f) Ekspresi emosi berlebih
(g) Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
(h) Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
(i) Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas tertentu
(j) Perubahan cuaca
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma:
Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang berbulu
(anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi, serta pajanan asap rokok.
Pemacu: Rhinovirus, ozon, pemakaian β2 agonist.
Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang, alergen dalam
rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen seperti serbuk sari, asap
rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di tempat kerja, udara dingin dan kering,
olahraga, menangis, tertawa, hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis, sinusitis,
dan gastroesofageal refluks).
17

Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut:
Tabel 3. Mekanisme terjadinya asma.
Sumber : Departemen Kesehatan RI ; 2009
Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;2009; 5-11.
Gen kandidat yang diduga berhubungan dengan penyakit asma, serta penyakit yang
terkait dengan penyakit asma sangat banyak. Gen MHC manusia yang terletak pada
kromosom 6p, khususnya HLA telah dipelajari secara luas dan sampai saat ini masih
merupakan kandidat gen yang banyak dipelajari dalam kaitannya dengan asma. HLA-DR
merupakan MHC (major histocompatibility complex) klas II, suatu reseptor permukaan sel
yang disandikan oleh kompleks antigen leukosit manusia (HLA/ Human Leukocyte Antigen)
yang terletak pada kromosom 6 daerah 6p21.31.
Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;2009; 5-11.
II. h. Klasifikasi
Menurut Global Initiative for Asthma, derajat berat asma dibagi menjadi: (Medical
Communications Resources, Inc ; 2006.)
1. Intermiten
18
Hiperaktivitas bronkus obstruksi
Gejala Asma
Pencetus (trigger)Pemacu (enhancer)Pemicu (inducer)
Faktor Genetik
Faktor Lingkungan
Sensitisasi inflamasi

Gejala kurang dari 1 kali, serangan singkat, gejala nokturnal tidak lebih dari 2
kali/bulan (FEV1 ≥80% predicted atau PEF ≥80% nilai terbaik individu, variabilitas
PEV atau FEV1<20%).
2. Persisten ringan
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari, serangan dapat
mengganggu aktivitas dan tidur, gejala nokturnal >2 kali/bulan (FEV1 ≥80%
predicted atau PEF ≥80% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau FEV120-30%).
3. Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari, serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur, gejala
nokturnal >1 kali/ minggu, menggunakan agonis-β2 kerja pendek setiap hari (FEV1
60-80% predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau
FEV1>30%).
4. Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari, serangan sering terjadi, gejala asma nokturnal sering terjadi
(FEV1 ≤60% predicted atau PEF ≤60% nilai terbaik individu, variabilitas PEV atau
FEV1>30%).
Klasifikasi derajat asma eksaserbasi akut:
19

Tabel 4. Klasifikasi derajat asma eksaserbasi.6
II. i. Penatalaksanaan
Terapi utama untuk eksaserbasi adalah pemberian inhalasi β 2 agonist berulang,
glukokortikoid lebih awal dan oksigen.2
Sebelum memberi pengobatan diperlukan evaluasi awal ( assessment ). Evaluasi
keparahan penyakit diselesaikan dengan menilai kemampuan pasien mengucapkan kalimat,
tanda – tanda vital, PEFR dan pulse oxymetri.12
Tujuan terapi adalah menghilangkan obstruksi saluran nafas dan hipoksemi secepat
mungkin dan mencegah kekambuhan.13
Tujuan terapi adalah menghilangkan obstruksi saluran nafas dan hipoksemi secepat
mungkin dan kekambuhan. Yang paling penting dalam menentukan keberhasilan terapi
adalah monitoring kondisi pasien dan respons terapi dengan mengukur faal paru.2
Pasien yang beresiko tinggi kematian asma memerlukan perhatian lebih dan harus
mencari perawatan secepatnya di awal perjalanan eksaserbasi mereka. Antara lain :
20

Dengan riwayat asma yang fatal yang membutuhkan intubasi dan ventilasi
mekanik14
Yang memiliki rawat inap atau kunjungan perawatan darurat untuk asma dalam
satu tahun terakhir2
Yang sedang menggunakan atau baru saja berhenti menggunakan
glukokortikosteroid oral2
Yang saat ini tidak menggunakan glukokortikosteroid inhalasi2
Yang tergantungan lebih pada obat kerja cepat inhalasi B2 - agonist, mereka yang
menggunakan lebih dari satu salbutamol15
Dengan riwayat penyakit jiwa atau masalah psikososial, termasuk penggunaan
obat penenang2
Dengan riwayat ketidak patuhan dengan obat asma dan / atau rencana tindakan
asma tertulis.
21
Penilaian awalAnamnesa, pemeriksaan fisik ( auskultasi, pemakaian otot
tambahan, nadi, frekuensi, respirasi, VPE1 atau APE, saturasi oksigen, analisa gas darah dengan indikasi )
Penanganan awal- Terapi oksigen untuk mencapai saturasi O2 ≥ 90 %
- Inhalasi β2 agonist kerja cepat dengan nebulisasi secara kontinu selama 1 jam
- Kortikosteroid sistemik bila tidak segera berespon dengan terapi diatas, atau bila penderita sudah mendapat terapi
kortikosteroid oral atau serangan berat
Respon baik dalam 1-2 jam- Respon menetap
selama 60’- Sudah terapi terakhir- Pemeriksaan fisik
normal, APE > 70%- Tidak ada distress
Respon tidak baik dalam 1-2 jam
- Faktor resiko untuk asma hampir fatal
R. Perawatan Asma Akut- Inhalasi β2 agonist +/-- Inhalasi antikolinergik- Kortikosteroid sistemik- Oksigen- Pantau APE, saturasi O2, nadi
Respon buruk Dalam 1-2 jam
- Faktor resiko utk asma hampir fatal
- Pem fisik : asma berat, mengantuk
- APE < 30%- pCO2 > 45 mmHg,
pO2 < 60mmHg

Dipulangkan dgn kriteria- APE > 60% nilai prediksi- Dapat diatasi dgn terapi
oral/inhalasiTerapi dirumah- Lanjutkan β2 agonist
inhalasi- Pertimbangkan
kortikosteroid oral- Pertimbangkan inhaler
kombinasi- Pendidikan pasien :- Minum obat secara
benar- Tinjau ulang rencana
terapi- Tindak lanjut
pengobatan yang ketat
Tabel 5. Tatalaksana asma eksaserbasi berat.
Monitoring respon terhadap terapi :16
Evaluasi tanda – tanda dan APE, saturasi O2 atau analisa gas darah pada pasien dengan
kelelahan, distress berat, atau APE 30-50% dari prediksi.
Sesudah eksaserbasi diatasi, harus diindentifikasi faktor pencetus serangan untuk
rencana menghindarinya dan revisi terapi pasien.
Tujuan tatalaksana saat serangan
- Meredakan penyempitan saluran respiratorik secepat mungkin
- Mengurangi hipoksemia
- Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
- Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan.
Tatalaksana Medikamentosa
Tindak lanjut bila terjadi kegagalan terapi
a. Asidosis respiratorik
22
R. Perawatan ICU- Terapi oksigen- Inhalasi β2 agonist + antikolinergik- Kortikosteroid IV- Teofilin IV- Intubasi dan ventilasi mekanik bila perlu
Evaluasi Lanjut
Respon buruk/respon tidak baik dalam 6-12 jam, masuk ICU
Perbaikan

Ventilasi diperbaiki
Pemberian Na Bikarbonat
b. Hipoksia berat ( PaO2 < 50 mmHg )
Pemberian O2 4- 6 L/m dengan ventilasi mask.
c. Gagal napas akut
Alat bantu napas ( ventilator mekanik )
syarat :
Apneu
Kenaikan PaCO2 > 5 mmHg / jam disertai asidosis .
respiratorik akut
Nilai absolut PaCO2 > 50 mmHg disertai asidosis . respiratorik
akut
Hipoksia refrakter walau sudah diberi O2
Terapi Edukasi kepada pasien/keluarga bertujuan untuk:
a. meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola
penyakit asma sendiri)
b. meningkatkan keterampilan (kemampuan dalam penanganan asma sendiri/asma
mandiri)
c. membantu pasien agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma
II. j. Komplikasi16
Emfisema, pneumotorak, gagal nafas, pneumonia
II. k. Prognosis
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : ad malam
II. l. Pencegahan
23

a. Menghindari alergen, bila perlu desensitisasi
b. Menghindari kelelahan fisik
c. Menghindari stress psikis
d. Mencegah/mengobati ISPA sedini mungkin
e. Olahraga renang, senam asma
BAB III
KESIMPULAN
Eksaserbasi asma memerlukan suatu penanganan yang bersifat segera dan
pengawasan secara ketat untuk mengurangi timbulnya perburukan. Penderita dengan faktor
risiko asma fatal memerlukan pengawasan ketat. Penanganan eksaserbasi asma dimulai
dengan penentuan derajat beratnya serangan. Terapi utama pada eksaserbasi meliputi
pemberian oksigen, inhalasi β2 agonist kerja singkat, kortikosteroid, & oksigenasi. Pemberian
steroid sistemik setelah eksaserbasi merupakan hal penting. Edukasi kepada pasien tentang
menghindari allergen dan apa yang harus dilakukan apabila terjadi serangan adalah hal yang
penting untuk dilakukan. Kontrol pemeriksaan diri harus secara teratur dilakukan agar asma
tidak menjadi berat dan pengobatan yang paling baik adalah menghindari faktor pencetusnya.
24

DAFTAR PUSTAKA
1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan RI ;2009; 5-11.
2. Global Initiative for Asthma. 2009. Global strategy for asthma management and
prevention. Available at: www.ginasthma.org
3. Boushey HA et all. 2005. Asthma. In : Textbook of respiratory disease. Eds:
Murray JF and Nadel JA.Philadelphia, WB Saunders Comp.4rd :1247-1289.
4. Overview of asthma http://www.internationaldrugmart.com/health-articles/asthma-
overview.html
5. Sundaru H. Asma. Apa dan Bagaimana Pengobatannya. Balai Penerbit Edisi IV
Cetakan kedua FKUI, 2007.
6. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia.2004.
25

7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi; Konsep klinis proses proses penyakit volume
1. 6th ed. 2006. Jakarta; EGC. p.177.
8. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk. Global
Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ; 2006.
9. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk. Global
Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ; 2006.
10. Surjanto E, Hambali S, Subroto H. Pengobatan jalan untuk asma. J Respir Indo
1988;8:30-5.
11. Hodder R, Lougheed D. Management of acute asthma in adults in the emergency
department : nonventilatory management. In Canadian Medical Association
Journal, 2010.
12. Cairns CS. 2006. Acute asthma exacerbation : Phenotypes and management. Clin
in Chest Med.27 : 99-108.
13. Wibisono M. Jusuf dkk. 2010. BUKU AJAR ILMU PENYAKIT PARU 2010.
Surabaya. Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair.
14. Turner MO, Noertjojo K, Vedal S, Bai T, Crump S, Fitz Gerald JM. Risk factors
for near – fatal asthma. A case – control study in hospitalized patients with asthma
in relation to inhaled corticosteroid use. JAMA 1992;268 (24): 3462-4.
15. Suissa S, Blais L, Ernst P. Patterns of increasing beta-agonist use and the risk of
fatal or near – fatal asthma. Eur Respir J 1994;7 (9) : 1602-9.
16. Dahlan Zulkarnain, dkk. 2012. Kompendium TATALAKSANA PENYAKIT
RESPIRASI & KRITIS PARU. Jakarta : Perhimpunan Respirologi Indonesia.
26