Refarat Bell's Palsy

download Refarat Bell's Palsy

of 19

description

bells palsy

Transcript of Refarat Bell's Palsy

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAFFAKULTAS KEDOKTERANREFERATUNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA JANUARI 2015BELLS PALSY

Disusunoleh :Ece Nureski Wati110 209 0098

Pembimbing :dr. Handedi

Supervisor :Dr. dr. Susi Aulina, Sp.S (K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS MUSLIM INDONESIAMAKASSAR2015I. PENDAHULUAN Paralisis fasial idiopatik atau Bells palsy merupakan sindrom kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron yang terjadi secara tiba-tiba dan disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis yang tidak diketahui penyebabnya (idiopatik) di luar sistem saraf pusat, tanpa adanya penyakit neurologik lainnya. Dimulai dengan gejala berupa nyeri pada daerah regio mastoid dan menyebabkan kelumpuhan total atau parsial pergerakan salah satusisi wajah, meningkatnyabukti menunjukkan bahwapenyebab utamaBells palsyadalahreaktivasiherpessimpleks latenvirus tipe1di gangliasaraf kranial. 1-4Penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Nicolas A Friedrich dua abad yang lalu pada tahun 1798 yang kemudian sindrom ini pertama kali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang dokter anatomis bedah Skotlandia bernama Sir Charles Bell (1774-1842). Manifestasi klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu serangan strok atau gambaran tumor yang menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilan distorsi wajah yang akan bersifat permanen.Sejak itu semua kelumpuhan nervus fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's palsy yang digunakan untuk menggambarkan suatu onset akut paralisis fasial idiopatik akibat disfungsi mana saja sepanjang bagian perifer dari saraf wajah dari tingkat pons distal. 2,4

II. EPIDEMIOLOGI Bells palsymenempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut. Di dunia, kejadianBellspalsybervariasi setiap tahun, berkisar antara11,5dan40,2kasus per100.000 penduduk. Yang puncak insidennyamencapai 30 sampai50 dan60 sampai 70tahun kelompokusia. 1,5Insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bells palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama, dan pada umur lebih dari 40 tahun dominan terjadi pada laki-laki.Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat. 3-5

III. ANATOMI Saraf fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari 7.000 serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf lainnyamembentuk saraf intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisikan serabut sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjer parotis, submandibula, sublingual dan lakrimal. Saraf fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu , segmen supranuklear, segmen batang otak, segmen meatal, segmen labirin, segmen timpani, segmen mastoid, segmen ekstra temporal. 6Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :71.Serabut somato-motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah).2.Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.3.Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah. 4.Serabut somato-sensorik,rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Nervus fasialis terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otot- otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dan ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan sensasi viseral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi proprioseptif dari otot yang disarafinya. 7

Gambar 1. Otot yang dipersarafi nervus fasialis 8

Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan dai 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar sensasi ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada akar desenden dan inti akar dscenden dari saraf trigeminus (N.V). hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus.7

Gambar 2. Nukleus nervus cranilis di batang otak di lihat dari dorsal8

Gambar 3. Jaras aferen gustatorik8

Gambar 4. Serat eferen sekretorik nervus intermedius8Inti motorik nervus fasialis terletak pada bagian venterolateral tegmentum pontis. Serabutnya menuju ke dorsomedial dahulu, kemudian mengitari nervus VI, setelah itu baru membelok ke ventrolateral dan keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII. Di sini nervus fasialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk mersarafi otot- otot wajah.7,9

Gambar 6. Tempat keluarnya nervus fasialis dari kranium8

Otot-otot bagian atas wajah mendapat persarafan dari 2 sisi. Karena itu, terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan saraf VII jenis sentral dan perifer. Pada gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat persarafan dari dua sisi, tidak lumpuh, yang lumpuh ialah bagian bawah dari wajah. Pada gangguan N VII jenis perifer (gangguan berada di inti atau di serabut saraf) maka semua otot sesisi wajah lumpuh dan mungkin juga termasuk cabang saraf yang mengurus pengecapan dan sekresi ludah yang berjalan bersama saraf fasialis.7Bagian inti motorik yang mengurus wajah bagian bawah mendapat persarafan dari korteks motorik kontralateral, sedangkan yang mengurus wajah bagian atas mendapat persarafan dari kedua sisi korteks motorik (bilateral). Karenanya kerusakan sesisi pada upper motor neuron dari nervus VII (lesi pada traktus piramidalis atau korteks motorik) akan mengakibatkan kelumpuhan pada otot-otot wajah bagian bawah, sedangkan bagian atasnya tidak. Penderitanya masih dapat mengangkat alis, mengerutkan dahi dan menutup mata (persarafan bilateral); tetapi ia kurang dapat mengangkat sudut mulut (menyeringai, memperlihatkan gigi geligi) pada sisi yang lumpuh bila di suruh. Kontraksi involunter masih dapat terjadi, bila penderita tertawa spontan, maka sudut mulut dapat terangkat.7

Gambar 7. Jaras motorik nervus fasialis7Pada lesi motor neuron, semua gerakan otot wajah, baik yang volunter, maupun yang involunter lumpuh. Lesi supranuklir (upper motor neuron) nervus VII sering merupakan bagian dari hemiplegi. Hal ini dapat dijumpai pada strok dan lesi-butuh-ruang ( space occupaying lesion) yang mengenai korteks motorik, kapsula interna, talamus, mesensefalon dan pons di atas inti nervus VII. Dalam hal demikian pengecapan dan salivasi tidak terganggu. Kelumpuhan nervus VII supranuklear pada kedua sisi dapat dijumpai pada paralisis pseudobulber.7IV. ETIOLOGI Bells palsy adalah kelumpuhan wajah yang tidak diketahui penyebabnya, untuk itu penting menyingkirkan penyebab lain dari kelumpuhan wajah sebelum membuat diagnosis yang jelas.4Penyebab-penyebabnya antara lain, kegagalan mikrosirkulasi dari vasonervorum, iskemik vaskuler, infeksi virus, imunologi, herediter, prosedur pembedahan, seperti anastesilokal, ekstraksi gigi, infeksi, osteotomi,prosedur preprostetik, eksisi tumor atau kista, dan pengobatan bedah fraktur fasial, tulang dan bibir sumbing atau langit-langit. 2,3,4Beberapa pasien mungkin dapat lebih mudah terkena inflamasi nervus fasialis oleh patogen, seperti Herpes simplex virus, Epstein-barr virus dan cytomegalovirus. Ada beberapa kasus yang melaporkan peningkatan jumlah kasus herpes simpleks virus yang didapat pada biopsi nervus fasialis pada pasien dengan Bells palsy. Ini menghasilkan gambaran klinis distorsi fasial yang ditentukan oleh keterlibatan bagian cabang saraf yang terkena. 3,4Beberapa literatur melaporkan tiga mekanisme terjadinya Bells palsyantara lain, prosedur cabut gigi dapat merusak struktur saraf, trauma langsung pada saraf dari jarum, pembentukan hematoma atau penekanan intraneural, dan toksitas anastesi lokal. Selain itu kondisi umum seperti hipertensi dan diabetes melitus mungkin menjadi faktor predisposisi terjadinya serangan tersendiri atau multiple.4Kasus-kasus familial sering terjadi ipsilateral berulang dan kelumpuhan nervus fasialis kontralateral terjadi pada orang yang memiliki gen autosomal dominan dan resesif yang diwariskan . Faktor predisposisi dari genetik mungkin juga masuk menjadi variasi respon imun setiap individu terhadap serangan antigen. 4

V. PATOFISIOLOGIBells palsy timbul akibat peradangan dari saraf kranial ketujuh. Setiap sisi wajah memiliki persarafan wajah yang mengontrol otot di sisi wajah. Adanya peradangan menyebabkan gangguan terhadapsinyal konduksi sarafdan dapat berakibat pada hilangnya kontrol otot.10Penyebab Bells palsy masih belum jelas. Kelemahan wajah unilateral pada Bells palsy merupakan akibat dari edema pada saluran nervus fasialis dan dihubungkan dengan adanya kompressi, iskemik dan degenerasi dari nervus fasialis. Virus diduga sebagai agen penyebab Bells palsy tetapi kelompok virus herpes adalah yang paling sering terlibat. Pada radang virus herpes simpleks diganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga kelumpuhan fasialis LMN.9,10,11,12Paparan udara dingin diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bells palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bersamaan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).9

VI. GEJALA KLINISOnset pada Bells palsy biasa terjadi secara tiba-tiba, sekitar satu-setengah dari kasus mencapai kelumpuhan maksimum dalam 48 jam. Bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan. Fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk memejamkan mata terlihat mata yang terbalik keatas. Sudut mulut tidak bisa terangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena lagoftalmus, maka air mata tidak bisa disalurkan dan akan tertimbun.9,11Nyeri di belakang telinga mungkin mendahului kelumpuhan satu atau dua hari dan pada beberapa pasien dapat muncul cukup sering dan terus-menerus. Pada sebagian kecil pasien, hipesthesia satu atau lebih cabangsaraf trigeminal dapat timbul. Penjelasan mengenai penemuan gejala ini masih belum diketahui secara pasti.11Hilangnya sensorik biasa tidak ditemukan pada pemeriksaan fisis, walaupun pasien biasanya mengeluh adanya mati rasa. Antara korda timpani dan ganglion genikulatum, saraf dapat terjepit mengakibatkan kehilangan pengecapan 2/3 anterior lidah (ageusi).12

Gambar 8. Pasien dengan Bells palsy pada bagian kiri.(a) tidak mampu untuk tersenyum,(b)mata kiri tidak menutup sempurna,(c)tidak terdapat pergerakan pada alis kiri atas,(d) tidak adanya gerakan di bagian kiri dari otot orbicularis oris.13

Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi :a.Lesi di luar foramen stilomastoideus Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat,makanan berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang. lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus. b.Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis. c.Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya hiperakusis. d.Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.e.Lesi di daerah meatus akustikus interna, Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d), ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.

VII. DIAGNOSISRiwayat yang tepatdan pemeriksaan fisikmerupakankunci untukmendiagnosisBells Palsy. Pasientidak memerlukanpengujian laboratorium.Namun, pasienyang memilikikelemahanpersistentanpaperbaikan yang signifikanmembutuhkan investigasiyang lebih.5Pemeriksaan fisik menunjukkan kelemahan unilateral ataukelumpuhan seluruh wajah. Pasien harus diminta untukmenunjukkan setiap komponen gerakan wajah, sepertimenaikkan alis, mata dekat, dan unjuk gigi. Normal ataudekat pergerakan normal dahi menunjukkan proses sistem saraf pusat kompatibel dengan Bell palsy.Paresis hanya satu cabang perifer menunjukkan tumor atautrauma sebagai etiologi. Bukti synkinesis atau crocodile tears harus diperhatikan. Kelumpuhan wajah lengkap biasanyadisertai dengan hilangnya refleks stapedial dan terkaithyperacusis. Lakrimasi jarang berkurang. Peningkatan signifikan fungsi saraf dalam waktu 3 minggusetelah timbulnya Bell palsy adalah tanda prognosis yang baikuntuk pemulihan penuh.Pemeriksaan harus mencakup saluran telinga eksternal danmembran timpani. Kehadiran vesikel menunjukkandiagnosis sindrom Ramsay Hunt. Subyektif unilateralkehilangan pendengaran harus dievaluasi oleh THT.Dalamadanya otitis media, lesi retrocochlear harusdipertimbangkan. Palpasi kelenjar parotid perlumengevaluasi tumor parotis.13Bell s palsymerupakan diagnosis klinis sehinggapemeriksaan penunjang perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (SSP). PemeriksaanMRI dilakukan pada pasien yang dicurigai neoplasma ditulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsysudahdikenal sejak tahun 1970- sebagai prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan dekompresi intrakanikular. Grosheva et almelaporkan pemeriksaan elektromiografi (EMG) mempunyainilai prognostik yang lebih baik dibandingkan elektro-neurografi (ENG). Pemeriksaan serial EMG pada penelitian tersebut setelah hari ke-15 mempunyai positive-predictive-value(PPV) 100% dan negative-predictive-value(NPV) 96%. Spektrum abnormalitas yang didapatkan berupa penurunan amplitudo Compound Motor Action Potential(CMAP), pemanjangan latensi saraf fasialis.2Dalam mendiagnosis Bells palsy perlu dibedakan apakah kelumpuhannya parsial (inkomplit) atau komplit.Sistim House-Brackmann digunakan untuk menentukan derajat kerusakan saraf fasialis dengan cara menilai fungsi motorik otot-otot wajah.Derajat I berfungsi normal, derajat II disfungsi ringan, derajat III dan IV disfungsi sedang , derajat V disfungsi berat dan derajat VI merupakan kelumpuhan total. Derajat II-V merupakan kelumpuhan parsial sedangkan derajat VI merupakan kelumpuhan komplit.7GradasiTampilanDahiMataMulut

1NormalNormalNormalNormal

2Kelemahan sangat ringan,wajah simetrisPergerakannya nyaris normalDapat menutup dengan usaha ringanAsimetris ringan

3Kelemahan ringan, wajah simetrisPergerakan ringan sampai sedang

Dapat menutup dengan usaha beratKelumpuhan ringan dengan usaha yang maksimal

4Kelemahan sedang, wajah masih simetrisTidak ada pergerakanTidak dapat menutup sempurnaSulit digerakkan, tampak asimetris

5Hanya dapat sedikit bergerak, wajah asimetrisTidak ada pergerakanTidak dapat menutup sempurnaHanya dapat bergerak sedikit

6AsimetrisTidak ada pergerakanTidak ada pergerakanTidak ada pergerakan

Tabel 1. SkalaHouse-BrackmannVIII. PENATALAKSANAANPeran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa identifikasi dini dan merujuk ke spesialis saraf (jika tersedia) apabila terdapat kelainan lain pada pemeriksaan neurologis yang mengarah pada penyakit yang menjadi diagnosis banding Bell s palsy. Jika tidak tersedia, dokter umum dapat menentukan terapi selanjutnya setelah menyingkirkan diagnosis banding lain.7Tujuan penatalaksanaan Bells palsy adalah untuk mempercepat penyembuhan, mencegah kelumpuhan parsial menjadi kelumpuhan komplit, meningkatkan angka penyembuhan komplit, menurunkan insiden sinkinesis dan kontraktur serta mencegah kelainan pada mata. Pengobatan seharusnya dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah pengaruh psikologi pasien terhadap kelump uhan saraf ini. Disamping itu kasus Bells palsy membutuhkan kontrol rutin dalam jangka waktu lama.7Bottom of Form1. Terapi Non-farmakologisKornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing. Proteksinya dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial tears), pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas, atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah). Masase dari otot yang lemah dapat dikerjakan secara halus dengan mengangkat wajah ke atas dan membuat gerakan melingkar. Tidak terdapat bukti adanya efektivitas dekompresi melalui pembedahan saraf fasialis, namun tindakan ini kadang dilakukan pada kasus yang berat dalam14 hari onset. Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Namun, diketahui pula bahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan prednison dan valasiklovir tanpa terapi fisik.2Fisioterapi sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore atau dengan faradisasi. Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase, meditasi-relaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi, fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi. Kategori inisiasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai gerakan pada sisi yang lumpuh. Sementara itu, kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah yang lebih agresif dan reedukasi neuromuskular di depan kaca (feedbackvisual) dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Berikutnya adalah kategori kontrol gerakan yang ditujukan pada pasien dengan simetri wajah ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan mengontrol gerakan sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi strategi meditasi-relaksasi. Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan kekencangan seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada strategi meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar visual atau audio difokuskan untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis.22. Terapi FarmakologisInflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin dalam patogenesis Bell s palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis fasialis yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan.Dosis pemberian prednison (maksimal 40-60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70 mg) adalah 1 mgper kg per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari tappering off.Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan padapenggunaan steroid jangka panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan Cushing syndrome. Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuhmenyebabkan preparat antivirus digunakan dalam pena-nganan Bell s palsy. Namun, beberapa percobaan kecil menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih efektif dibandingkan kortikosteroid. Penelitian retrospektif Hato et almengindikasikan bahwa hasil yang lebih baikdidapatkan pada pasien yang diterapi dengan asiklovir/ valasiklovir dan prednisolon dibandingkan yang hanya diterapi dengan prednisolon.2Axelsson et aljuga menemukan bahwa terapi denganvalasiklovir dan prednison memiliki hasil yang lebih baik. De Almeida et almenemukan bahwa kombinasi antivirus dankortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko batas signifikan yang lebih besar dibandingkan kortikosteroid saja. Data-data ini mendukung kombinasi terapi antiviral dan ste-roid pada 48-72 jam pertama setelah onset. Namun, hasil analisis Cochrane 2009 pada 1987 pasien dan Quant et aldengan 1145 pasien menunjukkan tidakadanya keuntungan signifikan penggunaan antiviral dibandingkan plasebo dalam hal angka penyembuhan inkomplit dan tidak adanya keuntungan yang lebih baik dengan penggunaan kortikosteroid ditambah antivirus dibandingkan kortikosteroid saja. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menentukan keuntungan penggunaan terapikombinasi.Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah80 mg per kg per hari melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2000-4000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari.Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1000-3000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala. 2

IX. PROGNOSISPrognosis pasien Bells palsy umumnya baik, terutama pada anak-anak. Penyembuhan komplit dapat tercapai pada 85 % kasus, penyembuhan dengan asimetri otot wajah yang ringan sekitar 10% dan 5% penyembuhan dengan gejala sisa berat. Bells palsy biasanya dapat sembuh tanpa deformitas. Hanya 5% yang mengalami deformitas. Deformitas pada Bells palsy dapat berupa :71. Regenerasi motorik inkomplit Ini merupakan deformitas terbesar dari kelumpuhan saraf fasialis. Dapat terjadi akibat penekanan saraf motorik yang mensarafi otot-otot ekspresi wajah. Regenerasi saraf yang tidak maksimal dapat menyebabkan kelumpuhan semua atau beberapa otot wajah. Manifestasi dari deformitas ini dapat berupa inkompetensi oral, epifora dan hidung tersumbat.2. Regenerasi sensorik inkomplit Manifestasinya dapat berupa disgeusia, ageusia atau disesthesia. 3. Regenerasi AberrantSelama regenerasi dan perbaikan saraf fasialis, ada beberapa serabut saraf yang tidak menyambung pada jalurnya tapi menyambung dengan serabut saraf yang ada didekatnya. Regenerasi aberrant ini dapat menyebabkan terjadinya gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter (sinkinesis).

Gambar 9. Pasien mengedipkan mata saat tersenyum.

DAFTAR PUSTAKA1. Teixeira LJ, Soares BGDO, Vieira VP, Prado GF. Physical therapy for Bell s palsy (idiopathic facial paralysis). Cochrane Database of Systematic Reviews 2008, p. 22. Handoko Lowis,Maula N Gaharu. J Indon Med. Bells Palsy, Diagnosis and Management in Primary Care. IDI. 2012:62;32-73. Victor, Maurice, Ropper, Allan H. Disease Of The Cranials Nerves. In: Adam, Victor, editors. Adams and Victors Principles Of Neurology. Mc. Graw-Hill, 2001. P. 1453. 4. Garg KN, Gupta K, Singh S, Chaudhary S. Bells Palsy : Aetiology, Classification, Differential Diagnosis and Treatment Consideration, 2012; 1(1): 1-85. Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell Palsy, http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#a0156 (diakses tanggal 14 Januari 2015).6. Munilson J, Edward Y, Triana W . Kelumpuhan saraf fasialis, Sistem House-Brackmann, Metode Freyss Diagnosis dan Penatalaksanan Bells palsy.Bagian telinga hidung tenggorok bedah kepala leher . p. 1-67. Lumbantobing S.M. Saraf Otak. Lumbantobing S.M, editor. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta: FKUI.2007. p.55-608. Baehr M, Frotscher M. Brainstem. Baehr M, Frotscher M, editors. Duus Topical Diagnosis In Neurology. 4th editions. New York: Stuttgart. 2005. P. 121-27, 167-175.9. Mardjono M, Sidharta P. Saraf Otak dan Patologinya. Mardjono M, Sidharta P., editors. Neurologi Klinis Dasar. 5th editions. Jakarta: PT. Dian Rakyat. 1989. P. 173-17510. Barret J, Carsonn-De Witt R. Bells palsy. In: Stacey L. Chamberlin, Brigham Narins,editors. The Gale Encyclopedia of Neurological Disorders Vol. 1 A-L. USA: Thomson Gale; 2005. p.144-146.11. Ropper AH, Brown RH. Bells Palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams and Victors Principles of Neurology, 8th ed. New York : McGraw Hill, 2005. 1181-1184.12. Ellisziel G, Maria B. Bells Palsy: Current Diagnostic and Management Strategies for Children Presenting with Facial Palsy and Describes the Associated Clinical and Anatomic Pathology: A review. http://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/disorders/bells_doc.htm13. De Araujo MR, Azenha MR, Capelari MM, Marzola C. Management of Bells palsy: A Report of 2 Cases. JADC J. 2008 Nov;74(9):823-827

1