laporan kasus bell's palsy.docx

40
BAB I STATUS PASIEN A. Identitas Pasien Nama : Ny. T Usia : 56 th Alamat : jl. Agus Salim Pekerjaan : IRT Agama : Islam Status perkawinan: sudah menikah No. RM : 008971 Tanggal masuk : 27. Juni. 2014 Ruang/kelas : poli klinik saraf RSUD Bangkinang B. Anamnesis Auto-anamnesa 1. Keluhan utama : bibir kanan terasa tebal dan baal sejak dua minggu sebelum datang ke poli klinik RSUD Bangkinang. 2. Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang dengan keluhan bibir kanan terasa tebal dan baal sejak dua minggu yang lalu sebelum datang ke poli klinik RSUD Bangkinang. Keluhan mulai dirasakan saat pasien sulit minum air setelah pasien bersih-bersih rumah, air yang diminumnya seakan-akan tidak masuk ke dalam mulutnya dan lidah juga terasa tebal. Pada waktu 1

Transcript of laporan kasus bell's palsy.docx

Page 1: laporan kasus bell's palsy.docx

BAB I

STATUS PASIEN

A. Identitas Pasien

Nama : Ny. T

Usia : 56 th

Alamat : jl. Agus Salim

Pekerjaan : IRT

Agama : Islam

Status perkawinan : sudah menikah

No. RM : 008971

Tanggal masuk : 27. Juni. 2014

Ruang/kelas : poli klinik saraf RSUD Bangkinang

B. Anamnesis

Auto-anamnesa

1. Keluhan utama : bibir kanan terasa tebal dan baal sejak dua minggu

sebelum datang ke poli klinik RSUD Bangkinang.

2. Riwayat penyakit sekarang :

Pasien datang dengan keluhan bibir kanan terasa tebal dan baal sejak dua

minggu yang lalu sebelum datang ke poli klinik RSUD Bangkinang.

Keluhan mulai dirasakan saat pasien sulit minum air setelah pasien

bersih-bersih rumah, air yang diminumnya seakan-akan tidak masuk ke

dalam mulutnya dan lidah juga terasa tebal. Pada waktu yang bersamaan,

mata kanan dirasakan perih, berair dan sulit untuk menutup. Pasien juga

mengeluh wajah kanan terasa tebal dan kurang terasa bila dipegang.

Keluhan ini baru pertama kali dirasakan, keluhan lain seperti nyeri kepala

tidak ada, tengkuk terasa berat sejak seminggu yang lalu, gangguan

penglihatan tidak ada, gangguan pendengaran maupun gangguan

pengecapan tidak ada. Pasien tidak mengeluh adanya kelemahan pada

anggota gerak, bicara pelo tidak ada. Keluhan mual dan muntah tidak ada.

Mengompol dan gangguan BAB tidak ada.

1

Page 2: laporan kasus bell's palsy.docx

3. Riwayat penyakit dahulu :

- Riwayat penyakit seperti ini sebelumnya disangkal

- Riwayat darah tinggi disangkal

- Riwayat trauma disangkal

- Riwayat kencing manis disangkal

- Riwayat sroke disangkal

- Riwayat sakit kulit (herpes zoster) disangkal

4. Riwayat penyakit keluarga :

- Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit yang sama dengan

pasien.

- Abang pasien menderita stroke sejak enam tahun yang lalu.

- Abang pasien juga menderita hipertensi.

5. Riwayat pribadi dan kebiasaan :

Pasien mengaku suka tidur di lantai.

C. Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan umum

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : komposmentis kooperatif

GCS : E4M6V5

Tanda vital

- TD : 160/100 mmHg

- N : 92 x/menit

- RR : 24x/menit

- S : -

Rambut : warna hitam dan sudah beruban, lebat, sukar dicabut

Kelenjar getah bening

- Leher : tidak ada pembesaran

- Aksila : tidak ada pembesaran

- Inguinal : tidak ada pembesaran

2

Page 3: laporan kasus bell's palsy.docx

Kepala

- Mata : sklera tidak kuning, konjungtiva tidak anemis

- Telinga : serumen tidak ada

- Hidung :sekret tidak ada, deviasi septum tidak ada

- Mulut : mukosa basah, lidah tidak bisa dijulurkan

Thoraks

a. Paru-paru

Inspeksi : simetris kanan dan kiri

Palpasi : vokal fremitus kanan = kiri

Perkusi : sonor kedua lapang paru

Auskultasi : vasikuler, ronki (-), wheezing (-)

b. Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba. Thrill tidak ada.

Perkusi :

Batas jantung kanan : SIC IV linea parasternalis dekstra

Batas jantung kiri : SIC V 1 jari medio linea midclavicula

sinistra

Auskultasi : bunyi jantung murni, irama regular, bising (-)

Abdomen

Inspeksi : bentuk abdomen datar

Auskultasi : bising usus (+) normal

Perkusi : timpani (+)

Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba

Ekstremitas

- Superior : Akral hangat, edema tidak ada, sianosis tidak ada, tidak

ada kelemahan.

- Inferior : Akral hangat, edema tidak ada, sianosis tidak ada, tidak

ada kelemahan

3

Page 4: laporan kasus bell's palsy.docx

2. Status neurologis

a. Tanda rangsang selaput otak

Kaku Kuduk : negative

Brudzinski I : negative

Brudzinski II : negative

Kernig Sign : negative

Lasegue : negative

b. Tanda peningkatan tekanan intrakranial

Pupil : isokor

Refleks cahaya : +/+

c. Pemeriksaan saraf kranial

N. I (n. olfactorius)

Penciuman Kanan Kiri

Subyektif Normal Normal

Obyektif dengan bahan Normal Normal

N.II (n. opticus)

Penglihatan Kanan Kiri

Tajam penglihatan Normal Normal

Lapang pandang Normal Normal

Melihat warna Normal Normal

Funduskopi Tidak dinilai Tidak dinilai

N. III (n. okulomotorius)

Kanan Kiri

Bola mata Normal (Ortho) Normal (Ortho)

Ptosis tidak ada tidak ada

Gerakan bulbus Ke segala arah Ke segala arah

Strabismus tidak ada tidak ada

Nistagmus tidak ada tidak ada

Ekso/Endophtalmus tidak ada tidak ada

Pupil :

4

Page 5: laporan kasus bell's palsy.docx

Bentuk

Refleks cahaya

Rrefleks akomodasi

Refleks konvergensi

Isokor

Positif

Positif

Positif

Isokor

Positif

Positif

Positif

N. IV (n. trochlearis)

Kanan Kiri

Gerakan mata ke bawah Normal Normal

Sikap bulbus Normal (ortho) Normal (ortho)

Diplopia tidak ada tidak ada

N. V (n. trigeminus)

Kanan Kiri

Motorik :

Membuka mulut

Menggerakkan rahang

Menggigit

Mengunyah

Tidak normal

Normal

Tidak bisa

Tidak bisa

Normal

Normal

Bisa

Bisa

Sensorik :

Divisi Optalmika

Refleks kornea

Sensibilitas

Divisi Maksila

Refleks masseter

Sensibilitas

Divisi Mandibula

Sensibilitas

Normal

Tidak ada

Normal

Tidak ada

Tidak ada

Normal

Baik

Normal

Baik

Baik

N. VI (n. abduscen)

5

Page 6: laporan kasus bell's palsy.docx

Kanan Kiri

Gerakan mata lateral Normal Normal

Sikap bulbus Normal Normal

Diplopia Tidak ada Tidak ada

N. VII (n. facialis)

Kanan Kiri

Raut wajah Tidak normal (diam)

Plika nasolabialis datar

Normal

Sekresi air mata Tidak normal Normal

Fisura palpebra Tidak normal Normal

Menggerakkan dahi Tidak normal Normal

Menutup mata Tidak tertutup rapat Normal

Mencibir/bersiul Tidak bisa Normal

Memperlihatkan gigi Tidak bisa Normal

Sensasi lidah 2/3 depan Normal Normal

Hiperakusis Ada Tidak ada

N. VIII (n. vestibulocochlearis)

Kanan Kiri

Suara berbisik Normal Normal

Detik arloji Normal Normal

Renne test Tidak dinilai Tidak dinilai

Webber test Tidak dinilai Tidak dinilai

Scwabach test :

Memanjang

Memendek

Tidak dinilai

Tidak dinilai

Tidak dinilai

Tidak dinilai

Nistagmus :

Pendular

Vertikal

Siklikal

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

6

Page 7: laporan kasus bell's palsy.docx

Pengaruh posisi

kepala

Tidak ada Tidak ada

N. IX (n. glossopharingeus)

Kanan Kiri

Sensasi lidah 1/3 belakang Normal Normal

Refleks muntah/Gag reflek Positif Positif

N. X (n. vagus)

Kanan Kiri

Arkus faring Normal Normal

Uvula Normal di tengah Normal di tengah

Menelan Normal Normal

Artikulasi Normal Normal

Suara Normal Normal

Nadi 92 x/menit teratur 92 x/menit teratur

N. XI (n. assesorius)

Kanan Kiri

Menoleh ke kanan Normal Normal

Menoleh ke kiri Normal Normal

Mengangkat bahu ke kanan Normal Normal

Mengangkat bahu ke kiri Normal Normal

N. XII (n. hipoglosus)

Kanan Kiri

Kedudukan lidah di dalam Normal Normal

Kedudukan lidah dijulurkan Normal Normal

Tremor Ada Ada

Fasikulasi Tidak ada Tidak ada

Atrofi Tidak ada Tidak ada

7

Page 8: laporan kasus bell's palsy.docx

d. Pemeriksaan koordinasi

Cara berjalan Normal Disatria Tidak ada

Romberg test Negatif Disgrafia Tidak ada

Atakasia Tidak ada Supinasi-pronasi Normal

Rebound phenomen Tidak ada Tes jari-hidung Normal

Tes tumit-lutut Negative Tes hidung-hidung Normal

e. Pemeriksaan fungsi motorik

a. Berdiri dan Berjalan Kanan Kiri

Gerakan spontan Normal Normal

Tremor Tidak ada Tidak ada

Atetosis Tidak ada Tidak ada

Mioklonik Tidak ada Tidak ada

Khorea Tidak ada Tidak ada

b. Fungsi motorik otot wajah Kanan Kiri

Otot frontalis Angkat alis (-) Angkat alis (+)

Otot korugator supersili Mengerutkan dahi (-) Mengerutkan dahi (+)

Otot orbicularis oculi Menutup mata (-) Menutup mata (+)

Otot zygomaticus Pasien tersenyum (-) Pasien tersenyum (+)

Otot risorius Meringis (-) Meringis (+)

Ekstremitas Superior InferiorKanan Kiri Kanan Kiri

Gerakan Normal Normal Normal NormalKekuatan 555 555 555 555Trofi normotrofi Normotrofi Normotrofi NormotrofiTonus Normotonus Normotonus Normotonus Normotonus

f. Pemeriksaan sensibilitas

Sensibilitas taktil NormalSensibilitas nyeri Normal

8

Page 9: laporan kasus bell's palsy.docx

Sensibilitas termis NormalSensibilitas kortikal NormalStereognosis NormalPengenala 2 titik NormalPengenalan rabaan Normal

g. Sistem refleks

Refleks Fisiologis Kanan KiriKornea Normal NormalBerbangkis Normal NormalLaring Tidak dinilai Tidak dinilaiMasseter Normal NormalDinding perut

Atas Normal NormalBawah Normal NormalTengah Normal Normal

Biseps ++ ++

Triseps ++ ++

APR ++ ++

KPR ++ ++

Bulbokavernosus Tidak diperiksa Tidak diperiksa

Sfingter Tidak diperiksa

Refleks Patologis Kanan KiriLengan

Hoffman-Tromner Negatif NegatifTungkai

Babinski Negatif Negatif

Chaddoks Negatif Negatif

Oppenheim Negatif Negatif

Gordon Negatif Negatif

Schaeffer Negatif Negatif

3. Fungsi otonom

- Miksi : normal

9

Page 10: laporan kasus bell's palsy.docx

- Defekasi : normal

- Sekresi keringat : normal

4. Fungsi luhur

Kesadaran Tanda Demensia Reaksi bicara Baik Reflek glabella Tidak ada

Fungsi intelek Baik Reflek snout Tidak ada

Reaksi emosi Baik Reflek menghisap Tidak ada

Reflek memegang Tidak ada

Refleks palmomental Tidak ada

D. Pemeriksaan Laboratorium

Tidak dilakukan pemeriksaan.

E. Masalah

Diagnosis

Diagnosis klinis : bell’s palsy dextra paralisis n. facialis perifer

Diagnosis topik : saraf motorik n. facialis perifer dengan paralisis

motorik

Diagnosis etiologi : tidak diketahui

Diagnosis sekunder : hipertensi grade II

F. Pemecah Masalah

Terapi

Umum/suportif :

a. Non medikamentosa

- Istirahat dan menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit ini bukan

stroke dan dapat sembuh sendiri.

- Jelaskan kekambuhan bisa terjadi dalam waktu 2-8 minggu sampai 2

tahun.

- Jaga agar muka tetap hangat dan selanjutnya hindarkan dari udara

dingin.

10

Page 11: laporan kasus bell's palsy.docx

- Lindungi mata dengan kaca mata apabila keluar rumah.

- Menerangkan pada keluarga pasien untuk mengajarkan latihan wajah

pada pasien di rumah. Dapat dimulai dengan kompres hangat dan

pemijatan pada wajah. Dilanjutkan dengan menggerakan otot-otot

wajah.

- Dan anjurkan fisioterapi.

b. Medikamentosa

- Metilprednisolon 2 x 16 mg

- Amlodipin 1 x 10 mg

- V. C

BAB II

11

Page 12: laporan kasus bell's palsy.docx

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Bell’s palsy adalah paralisis wajah unilateral yang timbul mendadak akibat

lesi nervus fasialis, dan mengakibatkan distorsi wajah yang khas. Dengan kata lain

Bell’s palsy merupakan suatu kelainan pada saraf wajah yang menyebabkan

kelemahan atau kelumpuhan tiba-tiba pada otot di satu isi wajah1. Istilah Bell’s

palsy biasanya digunakan untuk kelumpuhan nervus VII jenis perifer yang timbul

secara akut2. Kebanyakan orang belum mengetahui nama dari panyakit ini. Adalah

Sir Charles Bell seorang ilmuan dari Skotlandia yang pertama kali menemukan

penyakit ini pada abad ke-19.5

B. Etiologi

Penyebab dari penyakit ini belum diketahui secara pasti tetapi dapat diduga

bahwa penyebab dari penyakit ini adalah karena saraf yang mengendalikan otot

wajah membengkak, terinfeksi, atau mampat karena aliran darah berkurang.5 Ada

pula para ahli yang menyatakan bahwa pada kasus Bell’s palsy terjadi proses

inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen

stilomastoideus.1

Penyebab kelumpuhan saraf fasialis bisa disebabkan oleh kelainan kongenital,

infeksi, tumor, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan penyakit-

penyakit tertentu.1,3

1. Kongenital

Kelumpuhan yang didapat sejak lahir (kongenital) bersifat irreversible dan

terdapat bersamaan dengan anomaly pada telinga dan tulang pendengaran.1 Pada

kelumpuhan saraf fasialis bilateral dapat terjadi karena adanya gangguan

perkembangan saraf fasialis dan seringkali bersamaan dengan kelemahan  okular

(sindrom Moibeus).3

2. Infeksi

12

Page 13: laporan kasus bell's palsy.docx

Proses infeksi di intraKranial atau infeksi telinga tengah dapat menyebabkan

kelumpuhan saraf fasialis. Infeksi intracranial yang menyebabkan kelumpuhan ini

seperti pada Sindrom Ramsay-Hunt, Herpes otikus. Infeksi Telinga tengah yang

dapat menimbulkan kelumpuhan saraf fasialis adalah otitis media supuratif kronik

(OMSK ) yang telah merusak Kanal Fallopi.1

3. Tumor

Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal   merupakan penyebab yang

paling sering ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-paru, dan

prostat. Juga dilaporkan bahwa penyebaran langsung dari tumor regional dan sel

schwann, kista dan tumor ganas maupun jinak dari kelenjar parotis bisa

menginvasi cabang akhir dari saraf fasialis yang berdampak sebagai bermacam-

macam tingkat kelumpuhan. Pada kasus yang sangat jarang, karena pelebaran

aneurisma arteri karotis dapat mengganggu fungsi motorik saraf fasialis secara

ipsilateral.2

4. Trauma

Kelumpuhan saraf fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika

terjadi fraktur basis cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal. Selain itu

luka tusuk, luka tembak serta penekanan forsep saat lahir juga bisa menjadi

penyebab. Saraf fasialis pun dapat cedera pada operasi mastoid, operasi neuroma

akustik/neuralgia  trigeminal dan operasi kelenjar parotis.2

5. Gangguan pembuluh darah

Gangguan pembuluh darah yang dapat menyebabkan kelumpuhan saraf

fasialis diantaranya thrombosis arteri karotis, arteri maksilaris dan arteri serebri

media.1

6. Idiopatik

Parese Bell merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui penyebabnya

atau tidak menyertai penyakit lain. Pada parese Bell terjadi edema fasialis. Karena

terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe

LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy.3

7. Penyakit-penyakit tertentu

13

Page 14: laporan kasus bell's palsy.docx

Kelumpuhan fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu,

misalnya DM, hepertensi berat, anestesi lokal pada pencabutan gigi, infeksi

telinga tengah, sindrom Guillian Barre.

Bell’s palsy dapat terjadi pada pria atau wanita segala usia dan disebabkan

oleh kerusakan saraf fasialis yang disebabkan oleh radang, penekanan atau

pembengkakan. Penyebab kerusakan ini tidak diketahui dengan pasti, kendati

demikian para ahli meyakini infeksi virus Herpes Simpleks sebagai penyebabnya.

Sehingga terjadi proses radang dan pembengkakan saraf. Pada kasus yang ringan,

kerusakan yang terjadi hanya pada selubung saraf saja sehingga proses

penyembuhannya lebih cepat, sedangkan pada kasus yang lebih berat dapat terjadi

jeratan pada kanalis falopia yang dapat menyebabkan kerusakan permanen serabut

saraf.

Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain: sesudah

bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai,

hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler,

gangguan imunologik dan faktor genetik.

C. Patofisiologi

Bell’s Palsy merupakan lesi nervus fasialis yang terjadi secara akut,yang tidak

diketahui penyebabnya atau menyertai penyakit lain. Teori yang dianut saat ini

yaitu teori vaskuler. Pada Bell’s Palsy terjadi iskemi primer n. fasialis yang

disebabkan oleh vasodilatasi pembuluh darah yang terletak antara n. fasialis dan

dinding kanalis fasialis. Sebab vasodilatasi ini bermacam-macam, antara lain:

infeksi virus, proses imunologik dll. Iskemi primer yang terjadi menyebabkan

gangguan mikrosirkulasi intraneural yang menimbulkan iskemi sekunder dengan

akibat gangguan fungsi n. fasialis. Terjepitnya n. fasialis di daerah foramen

stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai

Bell’s Palsy.3 Perubahan patologik yang ditemukan pada n. fasialis sebagai

berikut:

1. Tidak ditemukan perubahan patologik kecuali edema.

2. Terdapat demielinisasi atau degenerasi mielin.

3. Terdapat degenerasi akson.

14

Page 15: laporan kasus bell's palsy.docx

4. Seluruh jaringan saraf dan jaringan penunjang rusak.

Perubahan patologik ini bergantung kepada beratnya kompresi atau

strangulasi terhadap Nv. VII.

Gambar 1. Nervus Facialis

D. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik Bell’s Palsy khas dengan memperhatikan riwayat penyakit

dan gejala kelumpuhan yang timbul mendadak. Perasaan nyeri, pegal, linu dan

rasa tidak enak pada telinga atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang

segera diikuti oleh gejala kelumpuhan otot wajah berupa :

- Dahi tidak dapat dikerutkan atau lipat dahi hanya terlihat pada sisi yang

sehat.

- Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh

(lagophthalmus).

- Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata

berputar ke atas bila memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign.

- Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi

yang lumpuh dan mencong ke sisi yang sehat.

15

Page 16: laporan kasus bell's palsy.docx

- Selain gejala-gejala diatas, dapat juga ditemukan gejala lain yang

menyertai antara lain : gangguan fungsi pengecap, hiperakusis dan

gangguan lakrimasi.

Gambar 2. Gejala bell’s palsy berhubungan dengan lokasi lesi

E. Diagnosis

Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya

kelumpuhan n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab

lain dad kelumpuhan n. fasialis perifer.

Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi

dan derajat kerusakan n. Fasialis.

1. Anamnesis

Pasien biasa mengeluhkan; perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak

pada telinga atau sekitamya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh

gejala kelumpuhan otot wajah yang terjadi secara mendadak.

2. Pemeriksaan fisik

a. Pemeriksaan saraf motorik

16

Page 17: laporan kasus bell's palsy.docx

Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk

terciptanya mimic dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke-10 otot-

otot tersebut dari sisi superior adalah sebagai berikut :

- M. Frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas.

- M. Sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis.

- M. Piramidalis : diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan

hidung ke atas.

- M. Orbikularis Okuli : diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata

kuat-kuat.

- M. Zigomatikus : diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil

memperlihatkan gigi.

- M. Relever Komunis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut

kedepan sambil memperlihatkan gigi.

- M. Businator : diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi.

- M. Orbikularis Oris : diperiksa dengan cara menyuruh penderita bersiul.

- M. Triangularis : diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke

Bawah.

- M. Mentalis : diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang

Tertutup rapat ke depan.

Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara kanan

dan kiri :

- Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka tiga ( 3 )

- Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu ( 1 )

- Diantaranya dinilai dengan angka dua ( 2 )

- Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol ( 0 )

Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan

mempunyai nilai tiga puluh ( 30 ).1

b. Tonus

17

Page 18: laporan kasus bell's palsy.docx

Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan

terhadap kesempurnaan mimic / ekspresi muka. Freyss menganggap penting

akan fungsi tonus sehingga mengadakan penilaian pada setiap tingkatan

kelompok otot muka, bukan pada setiap otot. Cawthorne mengemukakan

bahwa tonus yang jelek memberikan gambaran prognosis yang jelek.

Penilaian tonus seluruhnya berjumlah lima belas (15) yaitu seluruhnya

terdapat lima tingkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan. Apabila terdapat

hipotonus maka nilai tersebut dikurangi satu (-1) sampai minus dua (-2) pada

setiap tingkatan tergantung dari gradasinya.1

c. Gustomeri

Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n. Korda

timpani, salah satu cabang saraf fasialis.1 Kerusakan pada N VII sebelum

percabangan korda timpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya

pengecapan).2

Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh menjulurkan lidah,

kemudian pemeriksa menaruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam pada

lidah penderita. Hali ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat.

Bila bubuk ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut,

sebab bubuk akan tersebar melalui ludah ke sisi lidah lainnya atau ke bagian

belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita disuruh

untuk menyatakan pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1

untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa

asam.2

Pada pemeriksaan fungsi korda timpani adalah perbedaan ambang

rangsang antara kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara

kedua sisi adalah patologis.1

d. Salivasi

Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan kanulasi

kelenjar submandibularis. Caranya dengan menyelipkan tabung polietilen no

50 kedalam duktus Wharton. Sepotong kapas yang telah dicelupkan kedalam

jus lemon ditempatkan dalam mulut dan pemeriksa harus melihat aliran ludah

pada kedua tabung. Volume dapat dibandingkan dalam 1 menit.

18

Page 19: laporan kasus bell's palsy.docx

Berkurangnya aliran ludah sebesar 25 % dianggap abnormal. Gangguan yang

sama dapat terjadi pada jalur ini dan juga pengecapan, karena keduanya

ditransmisi oleh saraf korda timpani.4

e. Schimer Test atau Naso-Lacrymal Reflex

Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk pemeriksaan fungsi serabut-

serabut pada simpatis dari saraf fasialis yang disalurkan melalui saraf

petrosus superfisialis mayor setinggi ganglion genikulatum. Kerusakan pada

atau di atas saraf petrosus mayor dapat menyebabkan berkurangnya produksi

air mata.4,5

Tes Schimer dilakukan untuk menilai fungsi lakrimasi dari mata. Cara

pemeriksaan dengan meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm

panjang 5-10 cm pada dasar konjungtiva. Setelah tiga menit, panjang dari

bagian strip yang menjadi basah dibandingkan dengan sisi satunya. Freys

menyatakan bahwa kalau ada beda kanan dan kiri lebih atau sama dengan

50% dianggap patologis.

f. Refleks stapedius

Untuk menilai reflex stapedius digunakan elektoakustik impedans meter,

yaitu dengan cara memberikan ransangan pada muskulus stapedius yang

bertujuan untuk mengetahui fungsi N. stapedius cabang N.VII.

g. Uji audiologik

Setiap pasien yang menderita paralisis saraf fasialis perlu menjalani

pemeriksaan audiogram lengkap. Pengujian termasuk hantaran udara dan

hantaran tulang, timpanometri dan reflex stapes. Fungsi saraf cranial

kedelapan dapat dinilai dengan menggunakan uji respon auditorik yang

dibangkitkan dari batang otak. Uji ini bermanfaat dalam mendeteksi patologi

kanalis akustikus internus. Suatu tuli konduktif dapat memberikan kesan

suatu kelainan dalam telinga tengah, dan dengan memandang syaraf fasialis

yang terpapar pada daerah ini, perlu dipertimbangkan suatu sumber infeksi.

Jika terjadi kelumpuhan saraf ketujuh pada waktu otitis media akut, maka

mungkin gangguan saraf pada telinga tengah. Pengujian reflek dapat

dilakukan pada telinga ipsilateral atau kontralateral dengan menggunakan

suatu nada yang keras, yang akan membangkitkan respon suatu gerakan

19

Page 20: laporan kasus bell's palsy.docx

reflek dari otot stapedius. Gerakan ini mengubah tegangan membrane timpani

dan menyebabkan perubahan impedansi rantai osikular. Jika nada tersebut

diperdengarkan pada belahan telinga yang normal, dan reflek ini pada

perangsangan kedua telinga mengesankan suatu kelainan pada bagian aferen

saraf kranialis.2

h. Sinkinesis

Sinkinesis menetukan suatu komplikasi dari kelumpuhan saraf fasialis

yang sering kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah

sebagai berikut :1

- Penderita diminta untuk memenjamkan mata kuat-kuat kemudian kita

melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau

pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2). Kalau

pergerakan pada sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan sisi

normal nilainya dikurangi satu (-1) atau dua (-2), tergantung dari

gradasinya.

- Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi,

kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah.

Penilaian seperti pada (a).

- Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan

emosi) dengan memperhatikan pergerakan otot-otot sekitar mulut. Nilai

satu (1) kalau pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan tidak

simetris.

Pemeriksaan House-Brackman

Gambaran dari disfungsi motorik fasial ini sangat luas dan karakteristik

dari kelumpuhan ini sangat sulit. Beberapa sistem telah usulkan tetapi

semenjak pertengahan 1980 sistem House-Brackmann yang selalu atau sangat

dianjurkan . pada klasifikasi ini grade 1 merupakan fungsi yang normal dan

grade 6 merupakan kelumpuhan yang komplit. Pertengahan grade ini sistem

berbeda penyesuaian dari fungsi ini pada istirahat dan dengan kegiatan. Ini

diringkas dalam tabel:6

Grade Penjelasan Karakteristik

20

Page 21: laporan kasus bell's palsy.docx

I Normal Fungsi fasial normal

II Disfungsi

ringan

Kelemahan yang sedikit yang terlihat pada inspeksi

dekat, bisa ada sedikit sinkinesis.

Pada istirahat simetri dan selaras.

Pergerakan dahi sedang sampai baik

Menutup mata dengan usaha yang minimal

Terdapat sedikit asimetris pada mulut jika

melakukan pergerakan

III Disfungsi

sedang

Terlihat tapi tidak tampak adanya perbedaan antara

kedua sisi

Adanya sinkinesis ringan

Dapat ditemukam spasme atau kontraktur

hemifasial

Pada istirahat simetris dan selaras

Pergerakan dahi ringan sampai sedang

Menutup mata dengan usaha

Mulut sedikit lemah dengan pergerakan yang

maksimum

IV Disfungsi

sedang berat

Tampak kelemahan bagian wajah yang jelas dan

asimetri

Kemampuan menggerakkan dahi tidak ada

Tidak dapat menutup mata dengan sempurna

Mulut tampak asimetris dan sulit digerakkan.

V Disfungsi berat Wajah tampak asimetris

Pergerakan wajah tidak ada dan sulit dinilai

Dahi tidak dapat digerakkan

Tidak dapat menutup mata

Mulut tidak simetris dan sulit digerakkan

VI Total parese Tidak ada pergerakkan

3. Pemeriksaan penunjang

21

Page 22: laporan kasus bell's palsy.docx

Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui

kelumpuhan saraf fasialis adalah dengan uji fungsi saraf. Terdapat beberapa uji

fungsi saraf yang tersedia antara lain Elektromigrafi (EMG), Elektroneuronografi

(ENOG).2

a. Elektromiografi (EMG)

EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini

bermanfaat untuk menentukan perjalanan respons reinervasi pasien. Pola EMG

dapat diklasifikasikan sebagai respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau

suatu pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun,

nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut.

Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial

denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukkan

kepulihan sebagian serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.

b. Elektroneuronografi (ENOG)

ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG

melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang

lebih distal dari saraf. Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila

terdapat reduksi 90% pada ENOG bila dibandingkan dengan sisi lainnya dalam

sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch

Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25 persen berakibat

penyembuhan tidak lengkap pada 88 persen pasien mereka, sementara 77 persen

pasien yang mampu mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami

penyembuhan normal saraf fasialis.2

F. Penatalaksanaan

a) Glukokortikoid

Farmakologi dan penggunaan klinis

Glukokortikoid berperan dalam menghambat tiap fase dari respon

inflamasi, obat-obat ini juga memainkan peran penting dalam parahnya inflamasi

dan kelainan “immune-immediate”. Mekanisme pasti oleh keuntungan steroid

digunakan tidak begitu jelas ditemukan dalam banyak kondisi dimana steroid ini

digambarkan. Pada berbagai petunjuk dan indikasi menyatakan penggunaan

22

Page 23: laporan kasus bell's palsy.docx

steroid sebagai empiris. Penggunaan steroid lebih diarahkan ke fase aku saat

serangan, contohnya pada Cerebral Palsy, tapi tidak berefek penuh pada

pemulihan total.

Respon inflamasi di mediasi oleh beberapa bahan-bahan intermediate dan

tipe-tipe sel. Efek anti inflamasi umum dari kortikosteroid antara lain adalah efek

dari denyut pembuluh darah, permiabilitas, dan penekanan dari produksi leukosit

dan biosintesis kolagen. Demopilus et al menerangkan buktti bawa peroksidasi

lemak menginduksi radikal-radikal oksigen bebas membenttuk basis molekul

untuk degenerasi neuron postraumatik dan steroid mengambat proses tersebut.

Hall dan Braugter mengamati secara luas dosis-dosis pre-penatalaksanaan

metilprednisolon yang dibutuhkan untuk memproduksi pengaruh anti-oksidan ini,

dan pre-penatalaksanaan dengan dosis yang lebih rendah tidak efektif.

Terapi steroid untuk inlamasi neouropati seperti neuritis optic idiopatik

masih menadi controversial. Sementara glukokortikoid nampak dalam

penggunaanya untuk mengurangi rasa sakit dan memperpendek periode dari

kebutaan, ada sedikit bukti bahwa steroid tersebut mempengaruhi level utama dari

penyembuhan visual.

Sebagai tambahan dari keuntungan ani inflamasi glukokortikoid,

glokokortikoid steroid memfasilitasi aksi dari neuromuscular junction. Efek-efek

yang saling mempengaruhhi dari steroid ini dapat mengkontribusikan

penyembuhan fungsi neuromuskular pada kelainan seperti inflamasi

polyradiculoneuropati (Guilan Barre Syndrom), patologi yang disebabkan

inflamasi, demyelinisasi segmental.

Penggunaan steoid pada tatalaksana Bell’s Palsy

Adour, Stankevitch, dan May telah menyediakan pandangan komprehensiv

dalam penggunaan terapi steroid pada Bell’s Palsy. Kebanyakan pembelajaran

akhir-akhir ini mengenai kegunaan steroid pada Belss Palsy didasarkan pada

pasien yang diperlakukan dengan control sebelumnya.

Berdasarkan penelitian ini, yang menggunakan dosis yang lebih besar dari

steroid dan dosis luas gllukokortikoid dengan dextrran dan pentoxiflin

memberikan dampak rata-rata perkembangan kesembuhan dari pasien yang

23

Page 24: laporan kasus bell's palsy.docx

mendapat tindakan walaupun penatalaksanaan tersebut tidak menampakkan

statistic yang signifikan pada sudi-studi sebelumnya.

Hasil evaluasi dari Stankewicz, steroid diberikan pada pasien Bells Palsy

dengan alasan stetroid dapat:

Mengurangi resiko denervasi jika diberikan secara dini

Mencegah atau mengurangi sinkinesis

Mencegah dari perkembangan inkompit menjadi komplit paralisis

Mencegah sinkinesis autonomic

Tujuan utama dari terapi glukokortikoid pada facial paralysis akut adalah

menginduksi kontrol anti inflamasi efektif. Regimen dosis glukokortikoid yang

optimal untuk penanganan inflamasi neuritis tergantung dari pemberian

kortikosteroid saat proses penyakit berlangsung. Seperti yang telah ditunjukkan

pada respon EEMG, pemberian glokokortikoid pada Bells Palsy dalam 5-10 hari.

Lesi-lesi pada pada organ-organ lain biasanya hilang 1 sampai 2 minggu,

tampaknya pada inflamasi saraf facial (saraf VII) pada virus ini dapat ditangani

pada periode ini.

Strategi pemberian steroid pada Belss Palsy disarankan dengan oral

prednisone (1mg/kgBB/hari)dibagi menjadi 3 dosis tiap harinya selama 7-10 hari.

Dosis harian harus ditappering off setelah 10 hari. Secara teori regimen dosis ini

memaksimalkan aktivitas anti inflamasi sementara meminimalkan efek samping

dan konsisten dengan anti inflamasi yang efektif pada hipersensitiv akut,

autoimun, dan kelainan inflamasi lainnya.

Efek samping

Efek samping biasanya manifestasi selama tatalaksana steroid jangka

pendek termasuk aksi hiperglikemik. Harus diwaspadai pemberian steroid pada

pasien palsy facial akut yang berhubungan dengan intoleransi glukosa. Efek

samping akut lainnya termasuk perubahan CNS seperti psychotic breaks,

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dan iritasi gastrointestinal.

Efek glukokortikoid pada seluler dan komponen-komponen jaringan

inflamasi dapat mengurangi imunitas host terhadap bakteri, virus, dan infeksi

jamur. Infeksi laten dapat reaktivasi dan berkembang. Ditambah lagi pemberian

24

Page 25: laporan kasus bell's palsy.docx

steroid yang menekan system imun bisa menutupi gejala adanya tanda klinik dari

suatu peyakit infeksi.

b) Terapi Antivirus

Kemoterapi antivirus menghadirkan cara yang lebih baru dalam

menangani facial palsy akut dari penyebab virus. Berdasarkan spectrum dari

aktivitasnya, toksisitas yang rendah, asiklovir (acycloguanosine), analog

nukleosida purin sintetik, telah digunakan untuk mencegah HS tipe I dan II, VZ,

dan Epstein Barr virus dan cytomegalovirus. Asiklovir mencegah DNA

polymerase dan replikasi DNA virus dengan bentuk yang dikonversi

(difosforilasi), itulah asiklovir bertindak sebagai analog nukleosida.

Dickens, Smith, dan Graham menyarankan pemberian asiklovir pada

deficit neurologic yang dihasilkan herpes zoster otikus adalah asiklovir intravena

(10mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari). Pemberian antivirus secara dini ini telah

dibuktikan oleh Given mencegah degenerasi dari saraf yang dapat menyebab

hilangnya pendengaran.

c) Dekompresi nervus

Pembedahan dekompresi dari saraf fasial untuk Bells Palsy pernah

dilakukan Balance dan Duel pada tahun 1932. Kemudian penggunaan stimulasi

listrik nervus fasial mulai ditinggalkan. Yang terpenting, segen vertical telah

didekompresi, lalu dekompresi dari seluruh segmen mastoid direkomendasi

(prosedur yang dilakukan adalah termasuk htimpani dan segmen mastoid), dan

akhir-akhir ini segmen labirin termasuk foramen meatal.

Menggunakan pendekatan transmastoid untuk dekompesi saraf, May

menemukan bahwa dekompresi meningkatkan penyembuhan pada pasien yang

stimulasi nervusnya telah berkurang 75%atau lebih. Bagaimanapun, prosedur ini

tidak menampakkan bukti signifikan antara yang mendapatkan operasi yang

sembuh (87% dari 273pasien) dengan pasien yang sembuh dengan sendirinya.

G. Gejala Sisa

25

Page 26: laporan kasus bell's palsy.docx

Setelah melakukan terapi tersebut sebagian penderita akan sembuh total dan

sebagian akan meninggalkan gejala sisa yang dapat berupa:2

1. Kontraktur

Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga plika nasolabialis lebih

jelas terlihat dibanding pada sisi yang sehat. Bagi pemeriksa yang belum

berpengalaman mungkin bagian yang sehat ini yang disangkanya lumpuh,

sedangkan bagian yang lumpuh disangkanya sehat.

2. Sinkinesia (associated movement)

Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri,

selalu timbul gerakan bersama. Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka otot

orbikularis orispun akan akan ikut berkontraksi dan sudut mulut terangkat. Bila ia

disuruh menggembungkan pipi, kelopak mata ikut merapat.

3. Spasme spontan

Dalam hal ini otot-otot wajah bergerak secara spontan, tidak terkendali. Hal

ini disebut juga tic facialis. akan tetapi tidak semua tic facialis merupakan gejala

sisa dari Bell’s palsy.

H. Prognosis

Sangat bergantung kepada derajat kerusakan n. fasialis. Pada anak prognosis

umumnya baik oleh karena jarang terjadi denervasi total. Penyembuhan spontan

terlihat beberapa hari setelah onset penyakit dan pada anak 90% akan mengalami

penyembuhan tanpa gejala sisa. Jika dengan prednison dan fisioterapi selama 3

minggu belum mengalami penyembuhan, besar kemungkinan akan terjadi gejala

sisa berupa kontraktur otot-otot wajah, sinkinesis, tik fasialis dan sindrom air mata

buaya.

DAFTAR PUSTAKA

26

Page 27: laporan kasus bell's palsy.docx

1. Mardjono M, Sidharta P. Nervus fasialis. Dalam Neurologi Klinis Dasar.

Jakarta : Dian Rakyat, 2004.

2. Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis

Perifer. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala

Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI, 2007.

3. Aminoff, MJ et al. Lange medical book : Clinical Neurology, Sixth Edition,

Mcgraw-Hill. 2005.

4. Ropper, AH., Brown, Robert H. Adams & Victors’ Principles of Neurology,

Eight Edition, McGraw-Hill. 2005.

5. Maisel R, Levine S. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam Boies Buku Ajar

Penyakit THT edisi 6. Jakarta : EGC, 1997.

6. SM. Lumbantobing. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta

: Balai Penerbit FK-UI, 2006.

27