Referat Bell's Palsy

36
A. PENDAHULUAN Bell’s palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer, terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 20-50 tahun. Peluang untuk terjadinya bell’s palsy pada laki- laki sama dengan para wanita. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya bell’s palsy lebih tinggi dari pada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat. 1,2 Paralisis fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu, misalnya diabetes melitus, hipertensi berat, anestesi lokal pada pencabutan gigi, infeksi telinga bagian tengah, sindrom Guillain Barre. Apabila faktor penyebab jelas maka disebut paralisis fasialis perifer dan bukannya bell’s palsy. 1 1

description

gygy

Transcript of Referat Bell's Palsy

A. PENDAHULUAN

Bell’s palsy adalah kelumpuhan nervus fasialis perifer, terjadi secara akut dan

penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak menyertai penyakit lain yang dapat

mengakibatkan lesi nervus fasialis. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun

lebih sering terjadi pada umur 20-50 tahun. Peluang untuk terjadinya bell’s palsy

pada laki-laki sama dengan para wanita. Pada kehamilan trimester ketiga dan 2

minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya bell’s palsy lebih tinggi dari pada

wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.1,2

Paralisis fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu,

misalnya diabetes melitus, hipertensi berat, anestesi lokal pada pencabutan gigi,

infeksi telinga bagian tengah, sindrom Guillain Barre. Apabila faktor penyebab jelas

maka disebut paralisis fasialis perifer dan bukannya bell’s palsy.1

Biasanya penderita mengetahui kelumpuhan fasialis dari teman atau keluarga

atau pada saat bercermin atau sikat gigi/berkumur. Pada saat penderita menyadari

bahwa ia mengalami kelumpuhan pada wajahnya, maka ia mulai merasa takut, malu,

rendah diri, mengganggu kosmetik dan kadangkala jiwanya tertekan terutama pada

wanita dan pada penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia untuk

tampil di muka umum. Seringkali timbul pertanyaan di dalam hatinya, apakah

wajahnya bisa kembali secara normal atau tidak.2,3

Permasalahan yang ditimbulkan Bell’s palsy cukup kompleks, diantaranya

masalah fungsional, kosmetika dan psikologis sehingga dapat merugikan tugas

profesi penderita. Sehingga diperlukan terapi secara cepat dan tepat untuk mencapai

1

pemulihan terbaik fungsi saraf wajah dan penderita dapat kembali melakukan

aktivitas kerja sehari-hari serta bersosialisasi dengan masyarakat.4

B. DEFINISI

Kelumpuhan wajah adalah suatu bentuk kecacatan yang memberikan dampak

yang kuat pada seseorang. Kelumpuhan nervus facialis dapat disebabkan oleh bawaan

lahir (kongenital), neoplasma, trauma, infeksi, paparan toksik ataupun penyebab

iatrogenik. Yang paling sering menyebabkan kelumpuhan unilateral pada wajah

adalah Bell’s palsy. Bell’s palsy ditemukan oleh dokter dari inggris yang bernama

Charles Bell. Bell’s palsy adalah suatu gangguan neurologis yang disebabkan oleh

kerusakan saraf wajah (N. Fasialis) yang menyebabkan kelemahan atau kelumpuhan

tiba-tiba pada otot di satu sisi wajah. Paralisis ini menyebabkan asimetris wajah serta

mengganggu fungsi normal, seperti menutup mata dan makan.5

C. STRUKTUR ANATOMI

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu6 :

a. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m.

levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian

posterior dan stapedius di telinga tengah

b. Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus

salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa

faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula

submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.

2

c. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap

di dua pertiga bagian depan lidah.

d. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan

rasa raba dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh

nervus trigeminus.

Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot

mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang

mengantarkan rasa pengecapan dari 2/3 bagian anterior lidah dan sensasi kulit dari

dinding anterior kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut rasa pengecapan

pertama-tama melintasi nervus lingual, yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu

masuk ke korda timpani dimana ia membawa sensasi pengecapan melalui nervus

fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut sekretomotor menginervasi

kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan kelenjar sublingual

serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.6

Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens,

dan serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian

ventrolateral nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus

kortikospinal. Karena posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada dasar ventrikel

IV, maka nervus VI dan VII dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi

infiltratif. Nervus fasialis masuk ke meatus akustikus internus bersama dengan nervus

akustikus lalu membelok tajam ke depan dan ke bawah di dekat batas anterior

3

vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak ganglion sensoris yang

disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu

.

Gambar 1. Struktur Anatomi N.VII

Nervus fasialis berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion

genikulatum untuk memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu

nervus petrosus superfisial major, dan di sebelah yang lebih distal memberi

persarafan ke m. stapedius yang dihubungkan oleh korda timpani. Lalu nervus fasialis

keluar dari kranium melalui foramen stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar

4

parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang melayani otot-otot wajah, m.

stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.7

D. EPIDEMIOLOGI

Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial

akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan

insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden

Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah

sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Bell’s

palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi,

wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada

kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih

sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2

minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada

wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.8

E. ETIOLOGI

Penyebab kelumpuhan n. fasialis perifer sampai sekarang belum diketahui

secara pasti. Umumnya dapat dikelompokkan sbb9 :

o Kongenital.

Anomali kongenital (sindroma Moebius)

Trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial,dll.)

o Didapat

5

Trauma

Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)

Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll.)

Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)

Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll.)

Sindroma paralisis n. fasialis familial

Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain : sesudah

bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi,

stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik

dan faktor genetik.

F. PATOFISIOLOGI

Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut

pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus.

Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Patofisiologinya belum jelas,

tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis

yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi

dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar

dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong

yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Lokasi terserangnya

Nervus Fasialis di Bell’s palsy bersifat perifer dari nukleus saraf tersebut, dimana

timbulnya lesi diduga terletak didekat ataupun di ganglion genikulatum. Jika lesinya

timbul di bagian proksimal ganglion genikulatum maka akan timbul kelumpuhan

6

motorik disertai dengan ketidak abnormalan fungsi gustatorium dan otonom. Apabila

lesi terletak di foramen stilomastoideus dapat menyebabkan kelumpuhan fasial

saja.10,11

Gambar Patofisiologi terjadinya Bell’s Palsy

G. MANIFESTASI KLINIS

Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat

didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak.

Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan Nampak seluruh muka sisi yang sakit

akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini

tergantung dari lokalisasi kerusakan.12

a. Kerusakan setinggi foramen stilomastoideus.

7

Gejala : kelumpuhan otot-otot wajah pada sebelah lesi.

Sudut mulut sisi lesi jatuh dan tidak dapat diangkat

Makanan berkumpul diantara pipi dan gusi pada sebelah lesi

Tidak dapat menutup mata dan mengerutkan kening pada sisi lesi

Kelumpuhan ini adalah berupa tipe flaksid, LMN. Pengecapan dan

sekresi air liur masih baik.

b. Lesi setinggi diantara khorda tympani dengan n.stapedeus (didalam kanalis

fasialis).

Gejala: seperti (a) ditambah dengan gangguan pengecapan 2/3 depan lidah

dan gangguan salivasi.

c. Lesi setinggi diantara n.stapedeus dengan ganglion genikulatum.

Gejala: seperti (b) ditambah dengan gangguan pendengaran yaitu

hiperakusis.

d. Lesi setinggi ganglion genikulatum.

Gejala: seperti (c) ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar hidung dan

gangguan kelenjar air mata (lakrimasi).

e. Lesi di porus akustikus internus.

Gangguan: seperti (d) ditambah dengan gangguan pada N.VIII.

Yang paling sering ditemui ialah kerusakan pada tempat setinggi foramen

stilomastoideus dan pada setinggi ganglion genikulatum. Adapun penyebab yang

sering pada kerusakan setinggi genikulatum adalah : Herpes Zoster, otitis media

perforata dan mastoiditis.

8

H. DIAGNOSIS

Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan

pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese

dari nervus fasialis yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata

dan adanya rasa nyeri pada telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan.

Harus dibedakan antara lesi UMN dan LMN. Pada Bell’s palsy lesinya bersifat

LMN.13

a. Anamnesis.

Hampir semua pasien yang dibawa ke ruang gawat darurat merasa bahwa

mereka menderita stroke atau tumor intrakranial. Hampir semua keluhan

yang disampaikan adalah kelemahan pada salah satu sisi wajah.

Nyeri postauricular: Hampir 50% pasien menderita nyeri di regio mastoid.

Nyeri sering muncul secara simultan disertai dengan paresis, tetapi paresis

muncul dalam 2-3 hari pada sekitar 25% pasien.

Aliran air mata: Dua pertiga pasien mengeluh mengenai aliran air mata

mereka. Ini disebabkan akibat penurunan fungsi orbicularis oculi dalam

mengalirkan air mata. Hanya sedikit air mata yang dapat mengalir hingga

saccus lacrimalis dan terjadi kelebihan cairan. Produksi air mata tidak

dipercepat.

9

Perubahan rasa: Hanya sepertiga pasien mengeluh tentang gangguan rasa,

empat per lima pasien menunjukkan penurunan rasa. Hal ini terjadi akibat

hanya setengah bagian lidah yang terlibat.

Mata kering.

Hyperacusis: kerusakan toleransi pada tingkatan tertentu pada hidung

akibat peningkatan iritabilitas mekanisme neuron sensoris.

b. Pemeriksaan fisik.

Gambaran paralisis wajah mudah dikenali pada pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan yang lengkap dan tepat dapat menyingkirkan kemungkinan

penyebab lain paralisis wajah. Pikirkan etiologi lain jika semua cabang

nervus facialis tidak mengalami gangguan.

Definisi klasik Bell palsy menjelaskan tentang keterlibatan mononeuron

dari nervus facialis, meskipun nervus cranialis lain juga dapat terlibat.

Nervus facialis merupakan satu-satunya nervus cranialis yang

menunjukkan gambaran gangguan pada pemeriksaan fisik karena

perjalanan anatomisnya dari otak ke wajah bagian lateral.

Kelamahan dan/atau paralisis akibat gangguan pada nervus facialis tampak

sebagai kelemahan seluruh wajah (bagian atas dan bawah) pada sisi yang

diserang. Perhatikan gerakan volunter bagian atas wajah pada sisi yang

diserang.

Pada lesi supranuklear seperti stroke kortikal (neuron motorik atas; di atas

nucleus facialis di pons), dimana sepertiga atas wajah mengalami

10

kelemahan dan dua per tiga bagian bawahnya mengalami paralisis.

Musculus orbicularis, frontalis dan corrugator diinervasi secara bilateral,

sehingga dapat dimengerti mengenai pola paralisis wajah.

Lakukan pemeriksaan nervus cranialis lain: hasil pemeriksaan biasanya

normal.

Membran timpani tidak boleh mengalami inflamasi; infeksi yang tampak

meningkatkan kemungkinan adanya otitis media yang mengalami

komplikasi.

c. Pemeriksaan laboratorium.

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan

diagnosia Bell’s palsy. Namun pemeriksaan kadar gula darah atau HbA1c

dapat dipertimbangkan untuk mengetahui apakah pasien tersebut menderita

diabetes atau tidak. Pemeriksaan kadar serum HSV juga bisa dilakukan

namun ini biasanya tidak dapat menentukan dari mana virus tersebut

berasal.

d. Pemeriksaan radiologi.

Bila dari anamneses dan pemeriksaan fisik telah mengarahkan ke diagnose

Bell’s palsy maka pemeriksaan radiologi tidak diperlukan lagi, karena

pasien-pasien dengan Bell’s palsy umumnya akan mengalami perbaikan

dalam 8-10 minggu. Bila tidak ada perbaikan ataupun mengalami

perburukan, pencitraan mungkin akan membantu. MRI mungkin dapat

menunjukkan adanya tumor (misalnya Schwannoma, hemangioma,

11

meningioma). Bila pasien memiliki riwayat trauma maka pemeriksaan CT-

Scan harus dilakukan.

I. DIAGNOSA BANDING

Herpes Zoster Otikus (Ramsay Hunt Syndrome)14

Penyakit ini pertama kali dijelaskan oleh Ramsay Hunt tahun 1907, dengan

gejala-gejala paralisis fasialis, disertai gangguan pendengaran, dizziness, dan erupsi

herpetic di sekitar daun telinga. Sesudah periode prodromal dari malaise dan sedikit

demam, terjadi serangan sakit yang hebat di dalam telinga. Kemudian diikuti erupsi

herpes di sekitar gendang pendengar, meatus eksternus dan telinga. Paralisis fasialis

sering disertai oleh gangguan lakrimasi dan salivasi, serta hilangnya rasa pengecapan

pada sisi yang sama. Sering disertai gejala nervus VIII, yaitu gangguan pendengaran,

vertigo dan tinitus. Perjalanan penyakit singkat, sembuh dalam beberapa hari sampai

minggu, tetapi rasa sakit dapat menetap sampai beberapa bulan (neuralgia post

herpetik).

Otitis Media14

Otitis media akut maupun otitis media kronik dapat menyebabkan paralisis

fasialis. Pada otitis media akut terjadi paresis fasialis karena adanya tekanan edema

dalam kanalis fasialis yang mungkin disebabkan deshiscence dari tulang. Pada otitis

media kronis, paresis fasialis terjadi karena adanya tekanan kolesteatoma atau abses

yang berkapsul di dalam mastoid dan merusak kanalis fasialis/daerah disekitarnya.

12

Adanya paresis fasialis pada otitis media kronik merupakan suatu isyarat berbahaya

akan terjadinya komplikasi intrakranial.

Tumor14

Paralisis fasialis dapat disebabkan oleh karena tumor primer pada nervus

fasialis atau tumor sekunder di batang otak, os temporalis, dan pada wajah atau leher.

Tumor primer pada saraf terbanyak adalah neuroma. Neuroma dapat tumbuh pada

semua bagian dari nervus fasialis atau cabang-cabangnya mulai dari fossa posterior

sampai glandula parotis. Biasanya gejala-gejala timbul pelan dan progresif.

Neoplasma primer pada os temporalis baik benigna maupun maligna dapat

mengenai nervus fasialis oleh karena ekstensi langsung. Kista epidermoid, tumor

glomus, neuroma pada nevus X dan XI, squamous neoplasma ganas dari os

temporalis dapat dijumpai. Squamous carcinoma metastatik, adenokarsinoma,

hypernephroma, dan melanoma maligna dapat juga menyebabkan paralisis fasialis.

Tumor fossa kranii posterior atau tumor batang otak dapat juga menyebabkan

paralisis fasialis. Neuroma akustik, meningioma, dan kista epidermoid dari fossa

posterior dapat menyebabkan disfungsi nervus fasialis baik oleh karena tumornya

maupun akibat operasi dari tumor-tumor ini. Tumor parotis dapat juga mengakibatkan

gangguan nervus fasialis.

Trauma14

Trauma yang bisa menyebabkan paresis fasialis adalah trauma pada tulang

temporal. Fraktur yang mungkin terjadi akibat trauma ini dapat berupa fraktur

13

longitudinal maupun fraktur transversal. Otore cairan serebrospinalis lebih sering

terjadi pada fraktura transversal dibandingkan dengan fraktur longitudinal.

Kelumpuhan terjadi mendadak dan komplit.

Paralisis nervus fasialis juga dapat terjadi setelah operasi mastoidektomi,

timpanoplasti, atau pembedahan stapes. Paralisis ini dapat timbul oleh karena cedera

maupun karena edema dari nervus fasialis.

J. PENATALAKSANAAN

Tujuan pengobatan pada fase akut Bell’s palsy termasuk strategi untuk

mempercepat pemulihan dan untuk mencegah komplikasi kornea. Perawatan mata

meliputi patch dan lubrikasi mata, lubrikan tetes harus sering digunakan pada siang

hari dan salep mata harus digunakan pada malam hari. Strategi untuk mempercepat

pemulihan termasuk terapi fisik, kortikosteroid dan agen antivirus.

Algoritma Tatalaksana Bell’s palsy

14

a. Agen antiviral.15

Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang

menunjukkan efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s palsy, hampir

semua ahli percaya pada etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar

nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-agen antivirus pada

penatalaksanaan Bell’s palsy. Oleh karena itu, zat antiviral merupakan

pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis dan sering

dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat

digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir akan berguna

jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah

replikasi virus.

b. Kortikosteroid.16

Pengobatan Bell’s palsy dengan menggunakan steroid masih merpakan

suatu kontroversi. Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai

keuntungan dan kerugian pemberian steroid pada Bell’s palsy. Para

peneliti lebih cenderung memilih menggunakan steroid untuk memperoleh

hasil yang lebih baik. Bila telah diputuskan untuk menggunakan steroid,

maka harus segera dilakukan konsensus. Prednison dengan dosis 40-60

mg/ hari per oral atau 1 mg/ kgBB/ hari selama 3 hari, diturunkan

perlahan-lahan selama 7 hari kemudian, dimana pemberiannya dimulai

15

pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan

peluang kesembuhan pasien.

c. Perawatan mata.15

Mata sering tidak terlindungi pada pasien-psien dengan Bell’s palsy.

Sehingga pada mata beresiko terjadinya kekeringan kornea dan terpapar

benda asing. Atasi dengan pemberian air mata pengganti, lubrikan, dan

pelindung mata.

Air mata pengganti: digunakan selama pasien terbangun untuk

mengganti air mata yang kurang atau tidak ada.

Lubrikan digunakan saat sedang tidur. Dapat juga digunakan saat

terbangun jika air mata pengganti tidak cukup melindungi mata. Salah

satu kerugiannya adalah pandangan kabur selama pasien terbangun.

Kaca mata atau pelindung yang dapat melindungi mata dari jejas dan

mengurangi kekeringan dengan menurunkan jumlah udara yang

mengalami kontak langsung dengan kornea.

d. Konsultasi.15

Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pemeriksaan lanjutan

yang ketat. Dokumentasi yang dilakukan harus mencakup kemajuan

penyembuhan pasien. Berbagai pendapat muncul mengenai perlunya

rujukan ke dokter spesialis. Indikasi untuk merujuk adalah sebagai

berikut:

16

Ahli neurologi: bila dijumpai tanda-tanda neurologik pada

pemeriksaan fisik dan tanda-tanda yang tidak khas dari Bell palsy,

maka segera dirujuk.

Ahli penyakit mata: bila terjadi nyeri okuler yang tidak jelas atau

gambaran yang abnormal pada pemeriksaan fisik, pasien harus dirujuk

untuk pemeriksaan lanjutan.

Ahli otolaryngologi: pada pasien-pasien dengan paralisis persisten,

kelemahan otot wajah yang lama, atau kelemahan yang rekuren,

sebaiknya dirujuk.

Ahli bedah: pembedahan untuk membebaskan nervus facialis kadang

dianjurkan untuk pasien dengan Bell palsy. Pasien dengan prognosis

yang buruk setelah pemeriksaan nervus facialis atau paralisis persisten

cukup baik untuk dilakukan pembedahan.

K. KOMPLIKASI

a. Crocodile tear phenomenon17

Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul

beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi

yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi

menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.

b. Clonic fasial spasm (Hemifacial spasm)17

Timbul “kedutan” (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak

terkendali) pada wajah yang pada stadium awal hanya mengenai 1 sisi

17

wajah saja tetapi kemudian kontraksi ini dapat mengenai pada sisi lainnya.

Bila mengenai kedua sisi wajah, maka tidak terjadi bersamaan pada kedua

sisi wajah. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini.

Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul

dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian. Kecuali sebagai

komplikasi bell’s palsy, maka hemifacial spasm dapat disebabkan oleh

kompresi N.VII oleh tumor atau aneurisme pada daerah sudut serebelo

pontis atau lengkungan arteri serebeler antero inferior yang berlebihan

atau arteri auditorius internus.

c. Kontraktur17

Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis

lebih jelas terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat.

Terjadi bila kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak

pada waktu otot wajah istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot wajah

bergerak.

L. PROGNOSIS

Penderita Bell’s palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.

Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah18:

a. Usia di atas 60 tahun.

b. Paralisis komplit.

c. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang

lumpuh.

18

d. Nyeri pada bagian belakang telinga.

e. Berkurangnya air mata.

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh

dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang

berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko

tinggi meninggalkan gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya

memiliki perbedaan peluang 10-15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan

gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung

meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears dan kadang spasme

hemifasial.19

Hanya 23% kasus Bell’s palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy

kambuh pada 10-15 % penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral

menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.19

M. KESIMPULAN

19

Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhan

yang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bell’s palsy

adalah edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervus fasialis.

Kelumpuhan perifer N.VII memberikan ciri yang khas hingga dapat

didiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak.

Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan nampak seluruh muka sisi yang sakit

akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini

tergantung dari lokalisasi kerusakan.

Pengobatan pasien dengan Bell’s palsy adalah dengan kombinasi obat- obatan

antiviral dan kortikosteroid serta perawatan mata yang berkesinambungan. Prognosis

pasien dengan Bell’s palsy relative baik meskipun pada beberapa pasien, gejala sisa

dan rekurensi dapat terjadi.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Donald H. Gilden, M.D. The New England Journal Medicine. Bell’s palsy. N

Engl J Med 2010; 351:1323-1331. 2010. Available from: URL:

http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMcp041120

2. Chobanian AV, Bakris GL, Black HR et al. Bell’s palsy: aetiology, clinical

features and multidisciplinary care. 2014; 42 :1206-52.

3. Anonym. Bell’s palsy. [online]. 2010 May [cited 2015 October 11; 2 screens.]

Available from: URL:

http://medicastore.com/penyakit/333/Bells_Palsy.html

4. Sidharta P. Neurologi klinis dalam praktek umum. Jakarta: Dian Rakyat;

2010.

5. Taylor DC. Bell’s palsy. [online]. 2015 June [cited 2015 October 11; 2

screens.] Available from: URL:

http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview

21

6. Rohkamm, Reinhard. Facial Nerve Lesions. Color Atlas of Neurology 2nd ed.

George Thieme Verlag: German, 2009. 98-99.

7. Ropper AH, Brown RH. Bell’s palsy Disease Of The Cranial Nerve. Adams

and Victor’s Principles of Neurology, 8th ed. New York : McGraw Hill, 2008.

1181-1184.

8. Rowlands S , Hooper R, Hughes R, Burney P. The epidemiology and

treatment of Bell’s palsy in the US. Eur J Neurol. 2012 Jan;9(1):63-7.

Available from: URL:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11784378

9. Valença MM, Valença LP, Lima MC. Idiopathic facial paralysis (Bell’s

palsy): a study of 180 patients [Paralisia facial periférica idiopática de Bell].

Arquivos de Neuro-Psiquiatria 2011;59:733–9.

10. Gussan R. Pathogenesis of Bell’s palsy. Retrograde epineurial edema and

postedematous fibrous compression neuropathy of the facial nerve. Eur J

Neurol. 2013. Jul-Aug;549-58. Available from: URL:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/889228

11. Pathology and surgery of bell’s palsy. A report of 108 cases subjected to the

ballance-duel operation. Neuro-Psiquiatr. vol.12. 2014

12. Gilden DH. Clinical Practice. Bell’s palsy. The New England Journal of

Medicine 2011; 351:1323–31.

13. Lowis H, Gaharu MN. Bell’s palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di Pelayanan

Primer. Tanggerang: Departemen Saraf Rumah Sakit Jakarta Medical Center

UPH, Jakarta; Volume 6. 2012

14. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP. Disorders of peripheral nerves: Bell

palsy. In: Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP, editors. Clinical

Neurology. 6th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2010. p. 182-6.

15. Frank M. Sullivan, Ph.D., Iain R.C. Swan, M.D. Early Treatment in Bell’s

palsy. N Engl J Med 2010; 357:1598-1607. 2010. Available from: URL:

http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMoa072006

22

16. Hato N, Yamada H, Kohno H, Matsumoto S, Honda N, Gyo K, et al.

Valacyclovir and prednisolone treatment for Bell’s palsy: a multicenter,

randomized, placebo-controlled study. Otol Neurotol. 2007;28:408-13.

17. Ginsberg L. Penglihatan dan nervus kranialis lainnya. In: Ginsberg L, editor.

Lecture Notes-Neurologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2005. p. 35.

18. Hauser WA, Karnes WE, Annis J, Kurland LT. Incidence and prognosis of

Bell’s palsy in the population of Rochester, Minnesota. Mayo Clin Proc.

2010;46:258.

19. Sabirin J. Bell’s palsy. In: Hadinoto HS, Noerjanto M, Jenie MN, Wirawan

RB, Husni A, Soetedjo, editors. Gangguan gerak. Semarang: Badan Penerbit

Universitas Diponegoro. 2011. p. 163-5.

23