Rangkuman

download Rangkuman

of 5

description

Mikrobiologi

Transcript of Rangkuman

Sistiserkosis adalah penyakit yang disebabkan oleh larva Taenia solium yaitu cacing pita pada babi. Nama lain dari larva adalah metasestoda, cacing gelembung, kista atau Cysticercus cellulosae. Sampai saat ini, sistiserkosis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara-negara sedang berkembang seperti di Amerika Latin, Afrika dan Asia termasuk Indonesia. Di Indonesia, sampai saat ini, diketahui sistiserkosis terutama ditemukan di tiga propinsi yaitu Bali, Papua (Irian Jaya) dan Sumatera Utara1. Prevalensi taeniasis/sistiserkosis di beberapa propinsi di Indonesia berada pada rentang 1,0%-42,7% dan prevalensi tertinggi ditemukan di Propinsi Papua pada tahun 1997 yaitu 42,7%. Sistiserkosis dapat menimbulkan gejala-gejala yang berat, khususnya bila ditemukan di dalam otak, sedangkan taeniasis menyebabkan gejala-gejala saluran pencernaan yang lebih ringan.Larva sistiserkus, yang semitransparan, berwarna keputih-putihan berbentuk gelembung, lonjong, dengan diameter 0,6 sampai dengan 1,8 cm, berisi cairan dan satu skoleks. Manusia berperan sebagai hospes definitif yaitu mengandung cacing dewasa dan sekaligus sebagai hospes perantara yaitu tempat hidupnya larvae T. solium. Seorang akan menderita sistiserkosis bila telur yang mencemari makanan tertelan. Di dalam lambung telur akan dicerna, dinding telur hancur, embrio heksakan/onkosfer keluar, menembus dinding lambung dan masuk ke dalam saluran getah bening serta peredaran darah. Embrio heksakan kemudian tersangkut antara lain di jaringan subkutan, otot, otak, mata dan berbagai organ lain. Larva yang menginfeksi sistim saraf pusat menyebabkan neurosistiserkosis, sedangkan bila ditemukan di jaringan atau organ lain penyakit secara umum disebut disini sistiserkosis. Larva T. solium yang terdapat di dalam jaringan subkutan dan otot di bawahnya membentuk suatu benjolan yang disebut benjolan di bawah kulit atau subcutaneous nodule. Setelah beberapa tahun terjadi kalsifikasi (pengapuran) pada sistiserkus. Cysticercus cellulosae di dalam sistim saraf pusat seperti otak atau medulla spinalis jarang mengalami kalsifikasi. Larva di dalam sistim saraf pusat dapat menyebabkan serangan kejang seperti ayan (epilepsi), meningo-ensefalitis, gejala yang disebabkan oleh tekanan intrakranial yang tinggi seperti nyeri kepala dan kadang-kadang ada gejala kelainan jiwa.Untuk mengetahui prevalensi dan faktor risiko sistiserkosis pada babi, dilakukan survei pada delapan distrik Kabupaten Jaya Wijaya, Papua dan pasar Jibama antara bulan Oktober 2009 dan Juni 2011. Jumlah babi yang diuji serologis adalah 111 ekor. Sampel serum diuji untuk melihat adanya antigen sirkulasi parasit dengan menggunakan monoclonal antibody-based sandwich enzyme-linked immunosorbent assay (MoAb-ELISA). Reaksi seropositif terjadi pada 45 sampel (40,54%), distrik dengan prevalensi tertinggi yaitu Asolokobal (92,86%), diikuti Musatfak (75%), Kurulu (65,22%), Bolakme (33,33%), Asologaima (31,82%), Hom-hom (18,18%), Hubikosi (14,29%), pasar Jibama (14,29%), dan prevalensi terendah ditemukan di distrik Wamena Kota sebesar 5,88%.Pemeliharaan babi yang tidak dikandangkan memiliki faktor risiko yang signifikan memengaruhi sistiserkosis pada babi. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil penelitian yang menemukan bahwa babi yang tidak dikandangkan memiliki risiko 1,68 kali lebih tinggi daripada yang dikandangkan. Para peternak di negara berkembang memelihara babi dengan tidak membuat kandang karena berkaitan dengan faktor perekonomian peternak. Pemeliharaan babi secara diumbar dapat memudahkan peternak dengan tidak mengeluarkan biaya untuk memberi pakan babi. Struktur kandang yang semi permanen memiliki faktor risiko 1,07 kali lebih tinggi dari struktur kandang yang permanen. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara struktur kandang semi permanen dan permanen terhadap terjadinya sistiserkosis pada babi.Pakan babi yang tidak dimasak memiliki risiko 3,65 kali lebih besar dibandingkan pakan babi yang dimasak. Peternak mengambil pakan tersebut dari lahan perkebunannya sendiri. Pakan babi dapat terkontaminasi dengan telur taenia saat penderita taeniosis berak di sekitar kebun. Oleh sebab itu, pakan ternak yang tidak dimasak terlebih dahulu, dapat menyebabkan babi menderita sistiserkosis.Tersedianya air bersih di sekitar peternakan berpengaruh terhadap kebersihan kandang. Meskipun ketersediaan air bersih tidak berpengaruh signifikan terhadap sistiserkosis pada babi, tidak tersedianya air bersih menimbulkan risiko 1,86 kali lebih besar daripada tersedianya air bersih. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan air merupakan salah satu faktor yang penting dalam sistem sanitasi perkandangan. Sumber air minum masih tetap memiliki hubungan yang bermakna. penduduk yang sakit sisti-serkosis mempunyai resiko terpapar jenis sumber air minum tidak memenuhi syarat sebesar 2,410 kali dibanding penduduk daerah tersebut yang tidak sakit. Dengan kata lain maka penduduk yang air minumnya berasal dari sumber air minum yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko lebih besar 2,410 kali dibandingkan orang yang air minumnya berasal dari air yang memnuhi syarat untuk terkena siste-serkosis. Kekuatan hubungan antara jenis sumber air minum dengan kejadian sistiserkosis ini sejalan dengan dengan artikel ilmiah lain yang menyatakan bahwa sumber air minum yang tidak memenuhi syarat dapat menyebabkan sistiserkosisTidak adanya jamban merupakan salah satu faktor yang memengaruhi sistiserkosis pada babi. Hal tersebut menyebabkan babi dapat mengakses kotoran manusia yang mengandung telur taenia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepemilikan jamban tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sistiserkosis pada babi. Tidak tersedianya jamban memiliki risiko 1,22 kali lebih tinggi daripada tersedianya jamban.Ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara variabel mencuci tangan sebelum makan dengan kejadian sistiserkosis. Hal ini berarti responden yang menderita sistiserkosis mempunyai peluang 4,944 kali terpapar variabel tidak mencuci tangan sebelum makan dibandingkan dengan yang tidak menderita sistiserkosis. Dengan tidak mencuci tangan maka akan memberi peluang telur T. solium yang kebetulan terdapat pada tangan akan masuk melalui mulut dan di dalam lambung kemudian menetas menembus dinding, masuk ke dalam saluran kelenjar getah bening atau pembuluh darah dan terbawa ke berbagai macam jaringan membentuk Cysticercus cellulosae.Hubungan antara variabel pekerjaan dengan sistiserkosis juga signifikan. Pekerjaan bertani lebih besar kemungkinannya untuk terpapar T.solium dan menyebabkan terjadinya sistiserkosis dibanding yang bukan pekerjaan bertani.Pada kenyataannya hubungan umur dengan kejadian sistiserkosis disini tidak bermakna. Namun pada penelitian lain ternyata bahwa kelompok umur lebih dari 24 tahun lebih berisiko terkena sistiserkosis dibanding umur dibawah 24 tahun.Hubungan antara jenis kelamin dengan sistiserkosis tidak signifikan. Disamping itu, tingkat pendidikan juga tidak ada hubungan yang signifikan dengan sistiserkosis. Hal ini mungkin disebabkan karena pendidikan masih belum dapat mengubah perilaku sehat didaerah penelitian menjadi lebih baik. Tampaknya pengetahuan responden terhadap nilai-nilai kesehatan lebih berperan mengubah perilaku sehat dibanding pendidikan.Variabel penyajian daging babi tidak memiliki hubungan yang bermakna. Penelitian lain menyatakan bahwa cara penyajian daging babi dapat berhubungan dengan terjadinya sistiserkosis karena dalam pengamatan sehari-hari pada proses memasak daging babi kemungkinan terjadi pencemaran dengan telur T.solium. Matang atau tidaknya daging tersebut akan berisiko terhadap terjadinya taeniasis solium dan kemudian sistiserkosis, sedangkan tercemarnya daging babi pada proses memasak oleh telur T. solium tidak cukup untuk menyebabkan terjadinya sistiserkosis.Penderita taeniasis solium (adult worm carriers) merupakan sumber utama penularan sistiserkosis pada manusia. Di dalam suatu keluarga, jika salah satu anggota keluarga menderita taeniasis kemungkinan anggota keluarga lainnya akan menderita sistiserkosis. Telur T. solium yang berada di lingkungan berasal dari penderita taeniasis. Oleh karena itu, penderita taeniasis merupakan kunci yang terpenting dalam penularan sistiserkosis. Taeniasis merupakan suatu penyakit keluarga. Hal ini berarti di daerah endemis pada setiap keluarga dengan satu anggota penderita taeniasis ada kemungkinan ditemukan anggota lain penderita taeniasis dan/atau sistiserkosis. Penularan sistiserkosis berkecendrungan terfokus di sekitar rumah yang salah satu anggota keluarganya menderita taeniasis. Penderita taeniasis memberi risiko infeksi sistiserkosis karena close contact satu sama lainnya.Tindakan pencegahan dengan cara vaksinasi terhadap infeksi C. bovis di daeerah endemis sangat menentukan pengendalian penyakit ini. Pemberian vaksin yang efektif pada hewan akan memutus rantai penularan ke manusia, sehingga dapat memutus siklus hidup parasit. Vaksinasi tersebut sekaligus dapat mengeliminasi agen penyakit yang berdampak buruk pada manusia. Beberapa penelitian tentang efektivitas vaksin untuk penanggulangan sistiserkosis dan taeniasis telah dilakukan. Namun, sampai saat ini vaksin tersebut belum tersedia di Indonesia, sehingga vaksinasi sistiserkosis pada hewan belum pernah dilakukan.Untuk pengendalian, vaksinasi terhadap C. bovis memainkan peran penting di daerah endemis. Protein dalam cairan kista C. bovis yang bersifat imunogenik yang dapat dikembangkan menjadi kandidat vaksin. Lima ekor mencit diimunisasi empat kali dengan cairan kista dan serum yang diperoleh dari mencit dipakai dalam uji Western Blotting. Untuk melihat protein C. Bovis dalam cairan kista, dilakukan elektroforesis menggunakan sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) dan diwarnai dengan pengecatan C. blue. Untuk menentukan protein imunogenik, protein ditransfer ke membran nitroselulosa dan direaksikan dengan serum mencit yang diimunisasi dengan cairan kista C. bovis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan SDS-PAGE ditemukan sekitar 17 protein dengan berat molekul antara 14,86 kDa sampai 122,40 kDa. Sementara itu dengan uji Western Blotting ditemukan tujuh protein yang imunogenik dengan bobot molekul: 16,81 kDa; 19,22 kDa; 20,98 kDa; 27,41 kDa; 34,02 kDa; 38,31 kDa; dan 54,94kDa.

Inriyanti Assa. 2012. Faktor Risiko Babi yang Diumbar dan Pakan Mentah Mempertinggi Prevalensi Sistiserkosis. Jurnal Veteriner Desember 2012. Vol. 13 No. 4: 345-352. ISSN : 1411 8327.Wilfried H. Purba. 2003. FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN SISTISERKOSIS PADA PENDUDUK KECAMATAN WAMENA, KABUPATEN JAYAWIJAYA, PROPINSI PAPUA TAHUN 2002. MAKARA, KESEHATAN. VOL. 7, NO. 2.Nyoman Sadra Dharmawan. 2013. Protein Spesifik Cairan Kista Cysticercus bovis pada Sapi Bali yang Diinfeksi dengan Taenia saginata. Jurnal Veteriner Maret 2013. Vol. 14 No. 1: 78-84. ISSN : 1411 8327.Rizal Subahar. 2005. TAENIASIS/SISTISERKOSIS DI ANTARA ANGGOTA KELUARGA DI BEBERAPA DESA, KABUPATEN JAYAWIJAYA, PAPUA. MAKARA, KESEHATAN. VOL. 9, NO. 1, JUNI 2005: 9-14.HERTATI ANRIANI LUBIS. 2013. CRUDE ANTIGEN CYSTICERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT BALI UNTUK DETEKSI SISTISERKOSIS PADA SAPI. Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana.