Rangkuman MPKTA
-
Upload
syahrul-ramdani -
Category
Documents
-
view
220 -
download
19
description
Transcript of Rangkuman MPKTA
1
RANGKUMAN
BUKU AJAR I MPKT-A
SYAHRUL RAMDANI
1406530906
MPKT-A 07
2
BAB 1
KEKUATAN DAN KEUTAMAAN KARAKTER
Pembentukan karakter adalah salah satu kunci dari kemajuan dan pembangunan
bangsa. Berdasarkan kekuatan dan keutamaan karakter akan menimbulkan kebahagiaan yang
otentik adalah perpaduan perasaan-perasaan positif dan penilaian-penilaian terhadap hidup
yang memuaskan. Spiritualitas manusia merupakan dasar dari kekuatan karakter.
Kemampuan manusia untuk memperbaiki diri dan dunianya dari waktu ke waktu bersumber
pada daya-daya spiritualnya.
I. Definisi Kepribadian dan Karakter
Allport memandang kepribadian manusia adalah suatu organisasi yang teratur dan
tidak acak. Kepribadian sebagai sesuatu yang dinamis. Artinya, kepribadian manusia terus
bergerak dan berkembang. Kepribadian manusia tampil dalam perilaku yang melibatkan
aspek psikis seperti berpikir, mempercayai dan merasakan sesuatu. Kepribadian juga tampil
dalam perilaku yang melibatkan aspek fisik manusia seperti berjalan, berbicara dan
melakukan tindakan-tindakan motorik. Melalui kepribadian yang dinamis juga meliputi aspek
psikis dan fisik, kepribadian dipengaruhi faktor eksternal (lingkungan)-nya mempengaruhi
kepribadian manusia sehingga kepribadian yang dihasilkan adalah kepribadian yang unik.
Selain itu, kepribadian dilihat dari sejarah hidup, latar belakang budaya, ambisi, cita-cita,
karakter.
Allport menjelaskan karakter adalah segi-segi kepribadian yang ditampilkan keluar
dari, dan disesuaikan dengan nilai dan norma tertentu. Untuk membentuk karakter yang kuat,
orang perlu menjalani serangkaian proses pemelajaran, pelatihan dan peneladanan.
II. Kekuatan dan Keutamaan Karakter
Karakter yang kuat adalah karakter yang bercirikan keutamaan-keutamaan yang
merupakan keunggulan manusia. Keunggulan manusia dapat diperoleh dari bakat dan
kemampuan manusia, kondisi situasional yang dapat memunculkan atau menyurutkan
kekuatan-kekuatan itu serta pelatihan atau pembinaan yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan karakter yang kuat. Penggalian, pengenalan, dan pengukuran keutamaan
dapat dilakukan melalui teknik inventori, skala sikap, wawancara mendalam, diskusi
kelompok terarah (focus-group discussion) dan simulasi.
III. Membedakan Keutamaan, Kekuatan Karakter dan Tema Situasional
3
Keutamaan berada di level atas, lalu kekuatan di level tengah, dan tema situasional di
level bawah. Keutamaan (nilai biologis) sebagai nilai moral oleh karena itu keutamaan
dianggap sebagai dasar dari tindakan yang baik atau memiliki karakter yang baik. Berbagai
perilaku dapat dinilai berdasarkan keutamaan yang secara umum terdiri dari: kebijaksanaan,
courage (kesatriaan), kemanusiaan, keadilan, pengendalian atau pengelolaan diri, dan
transendensi.
Kekuatan karakter (nilai psikologis) adalah karakteristik yang dijadikan indikator
untuk mengenali adanya satu atau lebih keutamaan pada diri seseorang. Orang yang memiliki
satu atau dua kekuatan ini saja dapat dikatakan berkarakter baik, bahkan dapat disebut
memiliki keutamaan kebijaksanaan.
Tema situasional dari karakter adalah kebiasaan khusus yang mengarahkan orang
untuk mewujudkan kekuatan karakter dalam situasi tertentu. Tema situasional dapat muncul
dalam lingkungan yang meleluasakan individu tampil apa adanya, jujur dan tulus.
Lingkungan juga berperanan penting dalam memfasilitasi munculnya kekuatan karakter
melalui pemunculan tema situasional.
IV. Kriteria Karakter yang Kuat
1. Karakter yang mempunyai keutamaan terhadap pembentukan kehidupan yang
lebih baik untuk diri sendiri dan orang lain,
2. Karakter sebagai nilai moral yang baik,
3. Penampilan keutamaan pada karakter tidak menganggu orang lain,
4. Kekuatan karakter tampil dalam rentang tingkah laku individu yang mencakup
pikiran, perasaan, dan tindakan, serta dapat dikenali, dievaluasi dan
diperbandingkan derajat kuat lemahnya,
5. Karakter yang kuat dapat dibedakan dari ciri-ciri yang berlawanan dengannya,
6. Kekuatan karakter diwadahi oleh kerangka pikir ideal,
7. Kekuatan karakter dapat dibedakan dari sifat positif yang lain tetapi yang saling
terkait,
8. Kekuatan karakter tertentu menjadi ciri yang mengagumkan bagi orang lain,
9. Tidak semua ciri karakter yang kuat muncul pada seseorang,
10. Kekuatan karakter memiliki akar psiko-sosial; potensinya ada dalam diri sendiri,
dan aktualitanya dipengaruhi oleh lingkungan sosial.
V. Karakter dan Spiritualitas
4
Kekuatan dalam keutamaan transendensi ditandai oleh kemampuan untuk
membayangkan apa yang mungkin ada di luar situasi yang dialami kini dan di sini.
Kemampuan membayangkan apa yang mungkin ada dan kemampuan melampaui situasi kini
dan di sini mensyaratkan adanya kemampuan memahami keterkaitan semua unsur alam
semesta. Kekuatan yang terkandung dalam keutamaan transendensi merupakan kekuatan
yang menghubungkan kehidupan manusia dengan seluruh alam semesta dan memberi makna
kepada kehidupan. Penghargaan ini juga dapat mengembangkan kekuatan karakter yang lain
menjadi penting dalam rangka memperjuangkan kehidupan yang indah dan sempurna.
Daya-daya spiritual menjadi kekuatan kita untuk bertahan dan setia menuju satu
tujuan. Daya-daya itu menghindarkan kita dari godaan dan menguatkan kita saat berada
dalam situasi yang sulit. daya-daya spiritual, manusia dapat melampaui dirinya, berkembang
terus sebagai makhluk yang self-trancendence (selalu mampu berkembang melampaui
dirinya).
VI. Keutamaan Karakter dan Kebahagiaan
Seligman (2004) menyebutkan tiga kebahagiaan, yaitu memiliki makna dari semua
tindakan yang dilakukan, mengetahui kekuatan tertinggi, dan menggunakan kekuatan
tertinggi untuk melayani sesuatu yang dipercayai sebagai hal yang lebih besar dari diri
sendiri. Kebahagiaan hanya dapat dicapai dengan memandang hidup sebagai hal yang
bermakna dan berharga, mengenali diri sendiri dan menemukan kekuatan-kekuatan kita, lalu
memanfaatkan kekuatan-kekuatan itu untuk kepentingan yang lebih besar.
BAB II
DASAR-DASAR FILSAFAT
1. PENDAHULUAN
Filsafat dan ilmu pengetahuan saling berkaitan. Filsafat ilmu berkaitan dengan asumsi,
fondasi, metode, dan implikasi dari ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu juga mempertimbangkan
masalah yang berlaku untuk ilmu tertentu, seperti filsafat biologi atau filsafat fisika. Disisi
lain, filsafat ilmu berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh ilmu
pengetahuan. Ada tiga bidang kajian filsafat yang dibutuhkan ilmu pengetahuan untuk
5
menjadi dasar bagi aktivitas mencai pengetahuan, yaitu etika, epistemologi, dan logika. Etika
diperlukan karena tanpa adanya dasar etis, ilmu pengetahuan dapat menghasilkan kerugian
dan kerusakan dunia. Epistomologi untuk memberi dasar bagi perolehan pengetahuan. Logika
diperlukan untuk memastikan langkah-langkah perolehan pengetahuan yang benar.
Karakter dan filsafat memiliki hubungan yang saling menguatkan. Berfilsafat melibatkan
keseluruhan diri untuk terlibat dalam pencarian kebenaran dan mengandalkan pikiran.
Filsafat yang berarti cinta kebenaran menuntut orang yang menekuninya memeliki keutamaan
pengetahuan dan kebijaksanaan beserta kekuatan-kekuatan yang tercakup di dalamnya.
2. PENGERTIAN FILSAFAT
Filsafat adalah usaha manusia memahami segala perwujudan kenyataan kritis, radikal,
dan sistematis. Apa yang hendak diketahui filsafat tak terbatas, oleh karena itu proses
pemahaman itu berlangsung terus menerus.
Filsafat mempunyai sifat kritis dalam mengupayakan pengetahuan universal. Istilah kritis
dalam filsafat berarti memilah-milah objek dan kemampuan menilai objek. Dilain hal, kritis
dalam berfilsafat diartikan sebagai terbuka pada kemungkinan-kemungkinan baru, menjajaki
kemungkinan perpaduan dua hal yang bertentangan, tidak membakukan dan membekukan
pikiran-pikiran yang sudah ada, serta selalu hati-hati dan waspada terhadap berbagai
kemungkinan kebekuan pikiran.
Sifat utama filsafat yang lain adalah radikal. Pemahaman yang ingin diperolah dari
kegiatan filsafat adalah pemahaman yang mendalam. Dari pemahaman yang mendalam dapat
menggantikan penjelasan lama yang lebih lengkap. Sifat lainnya yaitu sistematis. Sistematis
dalam berfilsafat adalah memahami segala sesuatu itu dilakukan menurut suatu aturan
tertentu, runut, dan bertahap serta hasilnya dituliskan mengikuti suatu aturan tertetntu pula.
Filsafat juga mencakup logika, yaitu memegang keyakinan akan daya argumen dan
penalaran.
Kegiatan filosofis merupakan perenungan atau pemikiran yang sifatnya kritis, bersifat
koheren. Objek filsafat haruslah menyangkut sesuatu yang nyata dan jelas. Filsafat menelaah
masalah yang dapat dipikirkan manusia. Seorang filsuf membiacarakan tiga hal, yaitu dunia
di sekitarnya, dunia yang ada didalam dirinya, dan perbuatan berpikir itu sendiri.
3. CABANG DAN ALIRAN FILSAFAT
6
Filsafat berdasarkan sistematika permasalahannya terbagi menjadi ontologi,
epistemologi, dan axiologi. Ontologi didefinisikan dalam kajian filsafat adalah hakikat ada,
eksistensi, atau realitas, serta kategori dasar keberadaan dan hubungan mereka. Ontologi
dibagi menjadi dua subbidang yaitu ontologi arti khusus dan metafisika. Dalam berfilsafat,
ontologi adalah sesuatu yang keberadaannya dipersepsi secara fisik dan tertangkap oleh indra.
Pengertian metafisika dalam filsafat adalah mengkaji hal-hal yang masih disangsikan
kehadirannya. Epistemolagi dalam cabang filsafat mengkaji teori-teori tentang sumber-
sumber, hakikat, dan batas-batas pengetahuan. Empat cabang epistomologi adalah
epistomologi dalam arti sempit, filsafat ilmu, metodologi, dan logika. Epistomologi dalam
arti sempit mengkaji hakikat pengetahuan yang ditelurusi melalui sumber pengetahuan,
struktur pengetahuan, keabsahan pengetahuan, dan batas-batas pengetahuan. Filsafat ilmu
pengethauan mengkaji ciri-ciri dan cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan. Metodologi
mengkaji dengan memperoleh pengetahuan secara sistematis, logis, sahih, dan teruji.
Terakhir, logis mengkaji teknik-teknik dan kaidah-kaidah penalaran yang tepat. Axiologi
mengkaji pengalaman dan penghayatan dari perilaku-perilaku manusia.
Beberapa aliran yang cukup berpengaruh dalam sejarah perkembangan filsafat adalah
rasionalisme, empirisme, kritisisme, idealisme, vitalisme, dan fenomenologi. Rasionalisme
berpandangan bahwa semua pengetahuan bersumber dari akal (rasio). Empirisme yang
menekankan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Kritisisme adalah kritik terhadap
rasionalisme dan empirisme yang terlalu ekstrem. Idealisme proses mental yang sifatnya
subjektif. Vitalisme memandang hidup tidak sepenuhnya dijelaskan secara mekais karena
pada hakikatnya manusia berbeda dengan benda mati. Fenomologi mengkaji gejala-gejala
dan memandang kesadaran dan gejala selalu terkait.
4. ALTERNATIF LANGKAH BELAJAR FILSAFAT
Langkah belajar filsafat adalah memecahkan masalah filsafat secara umum dan mengkaji
aliran filsafat tertentu. Filsuf memperoleh makna istilah-istilah dengan cara melakukan
analisis terhadap istilah-istilah berdasarkan pengenalan objyeknya dalam kenyataan.
Pemakaian istilah yang tepat dimulai dari pemakaian bahasa yang tepat. Bahasa adalah
medium filsafat karena harus mendapatkan makna yang tepat dan memadai. Setelah analisis
istilah, filsuf berusaha untuk memadukan hasil-hasil penyelidikan melalui aktivitas sintesis.
Dalam aktivitas sintesis, filsuf membandingkan bagian dari makna istilah yang dihasilkan
dari aktivitas analisis kemudia mencari menemukan kesamaan makna diantra mereka. Setelah
7
itu, dilakukan filosofis analisis, yaitu pengumpulan semua pengetahuan yang dapat
dikumpulkan oleh manusia untuk menyusun suatu pandangan tentang dunia. Metode
pembelajaran filsafat dapat digunakan untuk pembelajaran di bidang ilmu pengetahuan lain.
Berpikir filosofis merupakan satu cara untuk membangun keutamaan pengetahuan dan
kebijaksanaan dengan kekuatan-kekuatan yang dikandungnya.
BAB III
DASAR-DASAR LOGIKA
I. Logika
Secara umum, ada dua pengertian logika, yaitu sebagai cabang filsafat dan sebagai
cabang matematika. Sebagai cabang filsafat diartikan dengan mengkaji prinsip, hukum,
metode berpikir yang benar, tepat, dan lurus. Sebagai cabang matematika diartikan dengan
mengkaji seluk-beluk perumusan pernyataan atau persamaan yang benar dengan
menggunakan bahasa formal dalam literatur matematika.
Dalam sejarah filsafat, Aristoteles sebagai filsuf pertama yang mengungkapkan logika
secara komprehensif. Secara filosofi, logika bertujuan untuk memperoleh pengetahuan
melalui penalaran yang benar. Dalam penalaran, logika berperan sebagai cabang
epistemologi. Logika berhubungan erat dengan bahasa ilmiah dalam sebuah penalaran.
Dalam matematika, logika merupakan upaya menyusun bahasa matematika yang formal,
baku, dan jernih maknanya, serta dalam kajian tentang penyimpulan dan pembuatan paragraf
yang benar. Matematika merupakan logika klasik, dalam pengertian logika dan matematika
saling berkaitan. Logika memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan aspek
matematis.
Di lain hal, logika merupakan alat yang dibutuhkan dalam kajian berbagai ilmu
pengetahuan dan juga kehidupan sehari-hari. Logika berhubungan dengan pemahaman
manusia dalam kesehariannya karen menggunakan bahasa sebagai medianya. Dua pengertian
8
lain dari logika, yakni kajian tentang kebenaran khusus dan kajian ciri-ciri umum dari
putusan. Tujuan dari kebenaran khusus adalah logika berperan untuk menjelaskan fakta
tertentu. Tujuan dari ciri-ciri umum dari putusan adalah satu kebenaran mengandung semua
kumpulan kebenaran lainnya.
II. Kategori
Kategori yang digunakan untuk mengenali dan mengelompokkan benda-benda.
Kategori dapat dibedakan berdasarkan sifat umum atau khusus. Bermula dari sifat yang
umum lalu dibentuk dalam kata-kata khusus yang mencirikan sifat umum. Aristoteles
mengajukan jenis-jenis kategori yang menurutnya dapat diterapkan pada semua benda yang
ada di dunia, yaitu (1) substansi’ (2) kualitas, (3) kuantitas atau ukuran, (4) relasi, (relatio),
(5) aksi (actio), (6) reaksi atau terkena aksi (pasif, menderita, pasio), (7) waktu (kapan), (8)
lokasi (dimana), (9) posisi (dalam arti posisi fisik atau posture, silus) dan (10) memiliki atau
mengenakan (habitus).
Immanuel Kant berargumen bahwa pikiran manusia sudah memiliki pengetahuan
bawaan dalam bentuk kategori-kategori. Setiap pemahaman tentang sesuatu selalu dalam
kerangka ruang dan waktu. Pemahaman tentang ruang dan waktu sudah ada dalam pikiran
manusia sebagai pengetahuan bawaan. Kant menemukan bahwa fungsi berpikir manusia yang
tetuang dalam putusan-putusan dapat dikategorikan dalam empat kelompok besar, kuantitas
(quantity), kualitas (quality), relasi (relation) dan modalitas (modality). Masing kelompok
terdiri dari tiga momenta yang biasa disebut sebagai kategori. Kuantitas mencakup kategori
universal, partikular dan singular. Kualitas mencakup kategori afirmatif, negatif dan infinit.
Relasi mencakup kategori kategorikal, hipotetikal dan disjunktif. Modalitas mencakup
kategori problematik (problematical), asertorik (assertorical) dan apodeiktik (apodeictical).
Hegel mengartikan kategori sebagai ide-ide yang menjelaskan realitas. kategori.
Berbeda dari Aristoteles dan Kant, Hegel menyatakan bahwa jenis-jenis kategori dan
jumlahnya yang tepat tidak dapat ditentukan sebelum sistem realitas dijelaskan secara
lengkap.
Charles Sanders Pierce memahami kategori sebagai istilah-istilah paling umum yang
dapat digunakan untuk membagi-bagi atau menggolong-golongkan pengalaman.
Ryle (1949) berpendapat bahwa kategori berjumlah tak terhingga dan tak teratur.
Totalitas dari kategori tidak terletak pada prinsip yang menentukan hirarki dari jenis-jenis hal
yang tak terbatas. Kesalahan kategorikal bagi Ryle dimulai dari penentuan sejumlah kategori
yang diklaim sebagai fundamental, dasar dan mutlak
9
III. Term, Definisi dan Divisi
3.1 Term
Hasil dari pembentukan ide ini adalah konsep. Setiap konsep ditandakan dalam
bentuk term. Rangkaian term yang bermakna adalah pernyataan. Term merupakan tanda
untuk menyatakan suatu ide yang dapat diinderai (sensible) sesuai dengan pakat
(conventional). Tanda itu dapat bersifat formal dan instrumental. Tanda formal digunakan
berdasarkan kesamaan antara tanda dan yang ditandai seperti gambar, potret, film, dan huruf
hieroglif. Tanda instrumental digolongkan atas dua, yakni tanda alamiah dan tanda
konvensional. Tanda alamiah digunakan berdasarkan kaitan alamiah antara tanda dan yang
ditandai, misalnya asap menandai api, rasa sakit menandai gangguan pada tubuh, dan tangis
menandai kesedihan. Tanda konvensional digunakan berdasarkan kesepakatan sejumlah
orang tertentu pada waktu tertentu, misalnya sandi Morse, tanda lalu-lintas, dan bahasa.
Tiga jenis makna term dan penggabungannya dalam kalimat, yakni makna denotatif,
makna kesan (sense), dan makna emotif. Makna denotatif merujuk kepada satu arti yang
tertera dalam kamus. Makna kesan (sense) adalah makna term berdasarkan penggabungannya
dengan kata lain. Makna emotif ialah makna term yang didasarkan pada perasaan atau emosi,
sikap--baik secara tersurat maupun secara tersirat.
3.2 Definisi
Definisi juga diperlukan untuk dapat memahami sebuah kalimat secara jelas dan
sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan. Kendala yang sering muncul dalam
pembuatan definisi adalah keterbatasan pengetahuan dan keterbatasan term.
3.2.1 Penggolongan Definisi
Definisi dibagi menjadi dua, yaitu definisi nominal dan definisi real. Definisi nominal
ialah definisi yang menerangkan makna kata seperti yang dimuat dalam kamus. Definisi real
adalah definisi yang menerangkan arti hal itu sendiri dengan dilakukan analisis.
Definisi real dibedakan atas dua, yakni definisi esensial dan definisi deskriptif.
Definisi esensial menerangkan inti (esensi) dari suatu hal dengan menyebutkan genus dan
diferentia-nya. Genus adalah kelompok besar atau kelas dari hal yang akan dijelaskan,
sedangkan diferentia adalah ciri khas yang hanya ada pada hal yang didefinisikan.
10
Definisi deskriptif mengemukakan segi-segi yang positif tetapi belum tentu esensial
mengenai suatu hal. Definisi deskriptif dibedakan atas empat, yakni definisi distingtif,
definisi genetik, definisi kausal, dan definisi aksidental. Definisi distingtif menunjukkan
properti. Definisi genetik menyebutkan asal mula atau proses terjadinya suatu hal. Definisi
kausal menunjukkan penyebab atau akibat dari sesuatu hal.
3.2.2 Aturan Membuat Definisi
Syarat membuat definisi dimulai dari definisi harus lebih jelas dari yang
didefinisikan; jika tidak, maka definisi akan kehilangan fungsinya, erm-term yang sulit
dimengerti (tidak lazim), definisi tidak boleh mengandung ide atau term dari yang
didefinisikan, definisi dan yang didefinisikan harus dapat dibolak-balik dengan pas, definisi
harus dinyatakan dalam kalimat positif.
3.3 Divisi
Penguraian terhadap kriteria tertentu menjadi sebuah bagian-bagian disebut divisi.
3.3.1 Divisi Real atau Aktual
Penguraian dengan divisi real atau aktual dilakukan berdasarkan bagian-bagian yang
ada pada objek itu sendiri—baik fisik maupun metafisik—terlepas dari aktivitas mental
manusia. Divisi berdasarkan bagian fisik dilakukan berdasarkan faktor-faktor fisik yang dapat
dipisahkan, satu dari yang lain. Bagian itu dapat berupa bagian yang esensial atau bagian
yang integral. Bagian-bagian yang essensial ialah bagian-bagian yang harus lengkap. Bagian
integral ialah bagian-bagian yang tidak harus lengkap.
Divisi berdasarkan bagian metafisik dilakukan berdasarkan bagian-bagian yang
merupakan esensi dari sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena dalam
kenyataannya bagian-bagian itu merupakan ketunggalan.
3.3.2 Divisi Logis
Divisi logis mental manusialah yang membagi keseluruhan hal menjadi bagian-bagian
dan menambahkan unsur-unsur tertentu kepada suatu hal untuk menjadikannya kelas
atau sub-kelas.
3.3.3 Aturan Pembuatan Divisi
11
Didalam sebuah divisi adanya aturan bahwa tidak boleh ada bagian yang terlewati,
bagian tidak boleh melebihi keseluruhan, tidak boleh ada bagian yang meliputi bagian yang
lain, divisi harus jelas dan teratur, jumlah bagian harus terbatas; kalau kebanyakan akan
kacau.
IV. Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi
4.1. Pengertian Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi
Kalimat didefinisikan sebagai: serangkaian kata yang disusun berdasarkan
aturanaturan tata bahasa dalam suatu bahasa, dan dapat digunakan untuk tujuan menyatakan,
menanyakan, atau memerintahkan sesuatu hal.
Secara umum, struktur kalimat berita terdiri dari subjek-predikat-objek. Kalimat
perintah umumnya dimulai dengan kata kerja.
Pernyataan adalah kalimat yang digunakan untuk membuat suatu klaim atau
menyampaikan sesuatu yang bisa benar atau salah. Pernyataan memiliki nilai kebenaran
(truth value). Artinya, suatu pernyataan bisa dinilai benar atau salah.
Proposisi ialah makna yang diungkapkan melalui pernyataan, atau dengan kata lain
arti atau interpretasi dari suatu pernyataan. Proposisi juga dapat dipahami sebagai makna dari
kalimat berita, mengingat bahwa pernyataan merupakan kalimat berita yang dapat dinilai
benar atau salah.
Tiga hal yang menjadi konsekuensi dari definisi kalimat, pernyataan dan
proposisi tersebut. Pertama, kalimat yang tidak bermakna atau tidak koheren tidak
mengungkapkan proposisi apa pun. Kedua, pernyataan atau kalimat yang berbeda dapat
mengungkapkan proposisi yang sama. Ketiga, kalimat atau pernyataan yang sama dapat
mengungkapkan proposisi yang berbeda.
Untuk membuat suatu pernyataan yang baik, perlu dilakukan hal-hal
berikut. Pertama, membangun suatu kalimat yang mengungkapkan suatu proposisi.
Kedua, mengusahakan supaya proposisi yang ingin diungkapkan menjadi jelas. Akhirnya,
membuat pernyataan mengenai nilai kebenaran kalimat itu.
Kesalahan yang mungkin terjadi dalam pembuatan kalimat atau pernyataan adalah
yang berikut. 1) Kalimatnya tidak koheren sehingga tidak dapat dimaknai oleh pendengar
atau pembaca. 2) Kalimatnya sudah koheren tetapi proposisi apa yang dimaksudkan tidak
jelas sehingga dapat menyebabkan salah tafsir. 3) Tidak menunjukkan dengan jelas bahwa
kita sedang menyatakan nilai kebenaran dari kalimat kita
4.2 Pernyataan Sederhana dan Pernyataan Kompleks
12
Proposisi yang dikandung, ada dua jenis pernyataan, yaitu pernyataan sederhana dan
pernyataan kompleks. Pernyataan sederhana adalah pernyataan yang hanya mengandung satu
proposisi. Pernyataan kompleks adalah pernyaataan yang mengandung lebih dari satu
proposisi.
Proposisi yang dikandung oleh suatu pernyataan juga disebut komponen logika dari
pernyataan. Komponen logika adalah komponen yang turut menentukan benar atau salahnya
suatu pernyataan.
Tidak semua kalimat kompleks (kalimat yang mengandung lebih dari satu komponen)
merupakan pernyataan kompleks, karena komponen itu belum tentu merupakan komponen
logika. Komponen yang mengikuti kata-kata yang menunjukkan sikap atau pendapat pribadi,
seperti pikir, harap, kira, dan percaya bukan merupakan komponen logika.
4.3 Jenis-jenis Pernyataan Kompleks
Hubungan di antara proposisi atau pernyataan sederhana dalam pernyataan kompleks
ditunjukkan oleh penggunaan kata penghubung seperti tidak, dan, atau, jika, dan maka. Ada
empat jenis pernyataan kompleks, yaitu:
1) Negasi (bukan P)
2) Konjungsi (P dan Q), dan
3) Disjungsi (P atau Q)
4) Kondisional (Jika P maka Q)
Dalam praktiknya, tidak mudah menemukan struktur logika suatu pernyataan atau
suatu argumen. Hal itu dapat terjadi karena 1) ada lebih dari satu cara untuk mengungkapkan
keempat jenis pernyataan kompleks tersebut di atas, dan 2) struktur logika suatu pernyataan
sering kali tersembunyi.
4.3.1 Hubungan Kondisional: Kondisi Niscaya dan Kondisi yang Mencukupi
Ada dua kondisi yang merupakan bentuk khusus dari hubungan kondisional, yaitu
yang mencukupi (sufficient condition, S) dan kondisi niscaya (necessary condition, N). Hanya
jika pernyataan kondisional Jika S maka N adalah benar.
Ada lima jenis hubungan itu, yang berikut ini didaftarkan beserta contohnya.
1) Kausal
a. Mencabut jantung Dul merupakan kondisi yang mencukupi untuk membunuhnya.
2) Konseptual
a. Kondisi niscaya untuk tergolong manusia adalah mampu menggunakan simbol.
13
3) Definisional
a. Kondisi niscaya dan mencukupi untuk disebut mahasiswa adalah orang yang
terdaftar secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi.
4) Regulatori
a. Lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi merupakan kondisi niscaya untuk kuliah di
universitas negeri.
5) Logis
a. Menjadi kucing hitam adalah kondisi niscaya untuk berwarna hitam.
4.4 Hubungan Antar-pernyataan
Ada pengetahuan tertentu yang dapat langsung disimpulkan dari suatu pernyataan.
Oleh para ahli logika, ini disebut hubungan langsung.
4.4.1 Kesimpulan Langsung: Oposisi dari Proposisi
Pernyataan kategorikal adalah pernyataan yang terdiri dari subjek dan predikat yang
membenarkan atau menidakkan bahwa individu adalah anggota suatu kelompok. Ada empat
jenis pernyataan kategorikal, yakni yang berikut.
A: Semua S adalah P. (Universal-afirmatif)
E: Tidak ada S yang P. (Universal-negatif)
I: Beberapa S adalah P. (Partikular-afirmatif)
O: Beberapa S bukan P. (Partikular-negatif)
Kontradiksi (A dan O; E dan I)
Dalam hubungan ini, tidak mungkin keduanya benar dan tidak mungkin keduanya salah
(Salah satu pasti benar).
Kontrari (A dan E)
Dalam hubungan ini tidak mungkin keduanya benar, tapi mungkin saja keduanya salah.
Subkontrari (I dan E)
Dalam hubungan ini mungkin saja keduanya benar, tetapi tidak mungkin keduanya salah
Subalternasi (A dan I; E dan O)
Jika superalternasinya (A atau E) benar, maka subalternasinya (I atau O) benar.
4.4.2 Konsistensi dan Inkonsistensi
Dua pernyataan disebut inkonsisten jika, dan hanya jika keduanya tidak mungkin benar pada
saat yang bersamaan. Pada kondisi yang sebaliknya, dua pernyataan itu disebut konsisten;
artinya, kedua pernyataan itu mungkin sama-sama benar pada saat bersamaan.
4.4.3 Implikasi, Ekuivalensi, dan Independensi Logis
14
Implikasi
Pernyataan P mengimplikasikan pernyataan Q ketika secara logis tidak mungkin P benar dan
Q salah pada waktu yang bersamaan.
Ekuivalensi
Dua pernyataan secara logis ekuivalen bila keduanya saling mengimplikasikan. Jadi
dua pernyataan yang secara logis ekuivalen memiliki makna yang sama. Beberapa pernyataan
yang secara logis ekuivalen;
1. Negasi dari suatu konjungsi [Bukan (P dan Q)] ekuivalen dengan disjungsi dari negasi
konjung-konjungnya [Bukan-P atau Bukan-Q]
2. Negasi dari suatu disjungsi [Bukan-(P atau Q)] ekuivalen dengan konjungsi dari
negasidisjung-disjungnya [Bukan-P dan Bukan-Q]
3. Suatu pernyataan kondisional [Jika P maka Q] ekuivalen dengan pernyataan yang
menolak bahwa antesedennya benar dan konsekuennya salah [Bukan-(P dan bukan-Q)],
4. Suatu disjungsi [P atau Q] ekuivalen dengan pernyataan kondisional yang antesedennya
merupakan negasi dari salah satu disjung dan konsekuennya adalah disjung yang lain [Jika
Bukan-P maka Q, atau Jika Bukan-Q maka P]
Independensi Logis
Dua pernyataan disebut secara logis independen jika secara logis tidak berhubungan; jadi,
kedua pernyataan maupun negasinya tidak saling mengimplikasikan.
V. Penalaran
Penalaran adalah penarikan kesimpulan berdasarkan alasan-asalan yang relevan.
Ungkapan verbal dari penalaran adalah argumentasi.
V.1Penyimpulan Langsung
Fungsi akal manusia adalah mencapai kebenaran. Kebenaran pertama-tama dapat dicapai
melalui penyimpulan langsung (immediate inference) yang ditarik sesuai dengan prinsip-
prinsip logika. Prinsip-prinsip logika terdiri atas prinsip identitas, prinsip kontradiksi, dan
prinsip tanpa nilai tengah (excluded middle). Prinsip identitas menyatakan bahwa X = X
(sesuatu adalah sesuatu itu sendiri. Prinsip kontradiksi menyatakan bahwa jika X = X maka
tidak mungkin X tidak sama dengan X (sesuatu adalah dirinya sendiri, tidak mungkin sesuatu
itu sekaligus bukan dirinya sendiri). Prinsip tanpa nilai tengah menyatakan bahwa untuk
proposisi apa pun, proposisi itu hanya dapat benar atau salah.
Penyimpulan langsung dilakukan melalui indera. Penyimpulan langsung menghasilkan
pengetahuan dasar bagi manusia yang bersumber dari pengalaman empirik. Akan tetapi
15
penyimpulan langsung tidak membawa kita beranjak jauh dari informasi-informasi asal
sehingga tidak dapat menambah pengetahuan lebih banyak lagi.
V.2PenyimpulanTakLangsung
Penyimpulan melalui perbandingan ide-ide adalah penyimpulan tak langsung. Putusan
yang dihasilkan adalah hasil dari mempertemukan dua ide yang diperbandingkan dengan
perantaraan ide ketiga yang sudah diketahui sebelumnya.
Dua Jenis Penalaran
Ada dua jenis penaralan, yaitu deduksi atau penalaran deduktif dan induksi atau penalaran
induktif. Kedua jenis penalaran ini diperlukan dalam proses pencapaian kebenaran.
Deduksi adalah proses penalaran yang dengannya kita membuat suatu kesimpulan dari
suatu hukum, dalil, atau prinsip yang umum kepada suatu keadaan yang khusus yang
tercakup dalam hukum, dalil, atau prinsip yang umum itu.Induksi adalah proses penalaran
yang dengannya kita menyimpulkan hukum, dalil, atau prinsip umum dari kasus-kasus
khusus (individual).
V.3KesalahanPenyimpulan
Kesalahan penyimpulan digolongkan atas dua, yakni kesalahan material dan kesalahan
formal. Kesalahan material adalah kesalahan putusan yang digunakan sebagai pertimbangan
yang seharusnya memberikan fakta atau kebenaran. Kesalahan formal ialah kesalahan yang
berasal dari urutan penyimpulan yang tidak konsisten.
V.4Argumentasi
Ungkapan verbal dari penalaran atau penyimpulan tak langsung adalah argumentasi. Di
dalam argumentasi terkandung term yang merupakan ungkapan verbal dari ide dan proposisi
yang merupakan ungkapan verbal dari putusan.
Proposisi yang dijadikan dasar dari kesimpulan disebut premis atau anteseden. Subjek (S)
dan Predikat (P) dari kesimpulan masing-masing disebut ekstrem minor dan ekstrem mayor
yang cakupannya lebih luas dari subjek.Ungkapan dari ide ketiga yang menghubungkan ide
pertama dan ide kedua yang diperbandingkan dalam argumentasi disebut term tengah (middle
term, disingkat M).Term tengah (M) harus muncul di premis mayor maupun premis minor
sebagai perbandingan, tetapi tidak boleh muncul dalam kesimpulan.
16
Ada dua macam argumentasi yang umum digunakan dalam logika, yaitu silogisme
kategoris dan silogisme hipotetis. Silogisme kategoris adalah argumentasi yang menggunakan
proposisi kategoris yang oleh Aristoteles disebut analitika. Silogisme hipotetis adalah
argumentasi yang menggunakan proposisi hipotetis (silogisme hipotetis) yang oleh
Aristoteles disebut dialektika.
VI. Argumen Deduktif
6.1 Definisi Penalaran Deduktif
Penalaran deduktif adalah proses perolehan kesimpulan yang terjamin validitasnya
jika bukti yang tersedia benar dan penalaran yang digunakan untuk menghasilkan kesimpulan
tepat. Lazimnya deduksi juga dipahami sebagai pembuatan pernyataan khusus berdasarkan
pernyataan-pernyataan yang lebih umum.
6.2 Karakteristik Penalaran Deduktif
Diawali dengan generalisasi yang dianggap benar (self-evident)yang menghasilkan
premis-premis, lalu dari situ diturunkan kesimpulan yang koheren dengan premis-premisnya.
Bentuk deduksi yang paling umum digunakan adalah silogisme yang terdiri atas premis
mayor, premis minor, kesimpulan.
6.3 Silogisme
Silogisme sahih jika kesimpulannya dibuat berdasarkan premis-
premisnya
dengan bentuk-bentuk yang tepat. Sedangkan penilaian benar (true)
diberikan jika silogisme valid dan klaimnya akurat (informasinya sesuai
dengan fakta).
6.3.1 Silogisme Kategoris
Bentuk dasar silogisme kategoris ialah: Jika A adalah bagian dari C maka
B adalah bagian dari C (Adan B adalah anggota dari C). Silogisme kategoris ini
mengikuti hukum “Semua atau Tidak Sama Sekali”
6.3.2 Delapan hukum Silogisme
(Keterangan: P = Predikat/mayor; S = Subjek/minor; M = Term tengah
(Middle term); u =Universal; p = partikular; + = afirmatif; dan − = negatif.)
1. Silogisme hanya mengandung tiga term
2. Term mayor atau term minor tidak boleh menjadi universal dalam kesimpulan
17
jika dalam premis hanya bersifat pertikular
3. Term tengah tidak boleh muncul dalam kesimpulan
4. Term tengah harus digunakan sebagai proposisi universal dalam premispremis,
setidak-tidaknya satu kali
5. Jika kedua premis afirmatif, maka kesimpulan juga afirmatif
6. Tidak boleh kedua premis negatif, setidaknya salah satu harus afirmatif
7. Kalau salah satu premis negatif, kesimpulan harus negatif. Kalau salah satu
premis partikular, kesimpulan harus partikular.
8. Tidak boleh kedua premis partikular, setidaknya salah satu harus universal
VII. Argumen Induktif
7.1. DefinisiInduksi
Istilah argument induktif mencakup proses-proses inferensial dalam
mendukung atau memperluas keyakinan kita pada kondisi yang
mengandung risiko atau ketidakpastian.Argumen induktif dapat dipahami
sebagai hipotesis yang mengandung risiko dan ketidakpastian.
Ketidakpastian dalam argument induktif muncul dalam dua area yang
berhubungan, yaitu dalam premis-premis argument dan dalam asumsi-
asumsi inferensial argumen.
Jika kita menerima bahwa premis-premis benar, maka kita juga harus
menerima bahwa kesimpulannya benar. Informasi dalam premis-premis
secara logis tidak mencakup pernyataan apa pun yang merupakan
kontradiksi dari kesimpulan. Informasi dalam premis-premis itu secara logis tidak
mencakup pernyataan apa pun yang merupakan kontradiksi dari kesimpulan. Kemungkinan
lain, asumsi inferensialnyalah yang tidak pasti benar sehingga orang yang mengajukan
argumen terpaksa membuat argument induktif.
Dalam semua argument induktif, ada premis atau asumsi inferensial yang lemah yang
mencerminkan ketidakpastian karena informasi ada yang kurang lengkap. Jadi, karakteristik
semua argument induktif adalah bahwa dalam kondisi ketidakpastian atau kurangnya
informasi, kita langsung mengambil kesimpulan dengan risiko kesimpulan tersebut salah.
18
Karena argument induktif mempunyai karakteristik ketidakpastian, kesimpulan dari
suatu argument induktif sering disebut hipotesis. Walaupun ada masalah-masalah teoretis,
para ahli logika sering kali setuju mana yang termasuk dalam penalaran induktif yang baik.
VII.1.1Induksi Enumeratif (Generalisasi Induktif)
Induksi enumeratif, atau generalisasi induktif, adalah proses yang menggunakan premis-
premis yang menggambarkan karakteristik sampel untuk mengambil kesimpulan umum
mengenai kelompok asal sampel itu. Begitu terkenalnya jenis argument ini sampai-sampai
beberapa penulis mendefinisikan argumen induktif sebagai argumen yang “bergerak dari
premis-premis particular kekesimpulan umum.”
Secara umum induksi enumerative dapat dianggap sebagai argument dari sampel.
Individu yang diobservasi merupakan sampel yang diambil dari populasi yang lebih besar.
Kesimpulan dibuat mengenai populasi secara keseluruhan.
Pernyataan-pernyataan yang menggambarkan hasil observasi individual didaftarkan yang
disebut table konfirmasi. Tetapi, table konfirmasi tidak selalu dibuat. Namun, bukti lebih
sering diringkas dalam bentuk statistic mengenai sampel yang diobservasi. Agar dapat
diterima, argumen yang berdasarkan sampel harus mempunyai asumsi bahwa sampel itu
representative terhadap populasi dan cukup besar sehingga dapat menyediakan perkiraan
yang terandalkan (reliable).
Dalam semua argumen yang didasarkan pada suatu sampel, selalu harus dipertanyakan
apakah sampelnya cukup besar dan representative terhadap populasi sehingga kesimpulannya
dapat dipercaya. Mengambil kesimpulan yang terlalu kuat berdasarkan sampel yang terlalu
kecil berarti melakukan percontoh salah (error sampel) yang tidak cukup.
VI.1.1 Induksi Enumeratif (Generalisasi Induktif)
Proses yang menggunakan premis-premis yang menggambarkan karakteristik sampel
untuk mengambil kesimpulan umum mengenai kelompok asal sampel itu. Dalam masing-
masing argumen itu, premis-premisnya merupakan contoh dari individu-individu yang
mempunyai karakteristik tertentu. Kesimpulannya menggeneralisasikan bahwa individu dari
kelompok itu mempunyai karakteristik itu sampai dengan batas tertentu.
Secara umum induksi enumeratif dapat dianggap sebagai argumen dari sampel.
Individu yang diobservasi merupakan sampel yang diambil dari populasi yang lebih besar,
19
yang kebanyakan anggotanya belum diobservasi. Induksi enumeratif sangat bervariasi dalam
hal kualitas pengumpulan dan presentasi datanya, dan dalam kekuatan kesimpulannya.
Karena itu, kita dapat menggunakan pola argumen ini sebagai perkiraan kasar untuk
mengevaluasi argumen jenis ini secara cepat.
VI.1.2 Spesifikasi Induktif: Silogisme Statistikal
Silogisme statistikal—jenis spesifikasi induktif yang paling umum digunakan sehari-hari—
merupakan kebalikan dari proses generalisasi induktif. Penyimpulan dalam silogisme
statistikal bergerak dari generalisasi mengenai suatu kelompok ke kesimpulan yang lebih
spesifik mengenai satu anggota kelompok itu atau lebih.
Apakah suatu argumen dapat diterima atau tidak juga tergantung pada apa yang kita
ketahui mengenai anggota S dan sejauh mana anggota S itu representatif terhadap M. Jika
situasi anggota S itu tidak sama, maka penerapan generalisasi itu pada percontoh S patut
dipertanyakan. Bila S sangat kecil jika dibandingkan dengan M, atau S adalah individu
tunggal, maka dapat atau tidak dapat diterimanya argumen tergantung pada ukuran N selain
pada ketepatan premis statistiknya.
VI.1.3 Induksi Eliminatif atau Diagnostik
Argumen induktif eliminatif atau diagnostik mempunyai premis-premis yang
menggambarkan suatu konfigurasi fakta atau data yang berbeda-beda, yang merupakan bukti
dari kesimpulannya. Induksi jenis ini menghasilkan kesimpulan yang merupakan penjelasan
terbaik, tetapi tidak statistikal. Dalam argumen eliminatif atau diagnostik, datanya tidak
berupa repetisi dari jenis observasi yang sama.
Unsur-unsur yang merupakan ciri khas dari argumen diagnostik, yaitu premis-premis
yang mengungkapkan bukti, kondisi pembatas, dan hipotesis bantuan.
VIII. Sesat Pikir
8.1. Pengertian Sesat Pikir (Fallacies)
Menurut Copi, sesat pikir adalah perbincangan yang mungkin terasa betul, tetapi yang
setelah diuji terbukti tidak betul.
8.2. Sesat Pikir Formal
A. Dalam Deduksi
Dalam deduksi, penalaran ditentukan oleh bentuknya. Jika sebuah penalaran bentuknya tidak
sesuai dengan bentuk deduksi yang baku, maka penalaran itu tidak sahih dan tergolong sesat
pikir.
1. Empat Term (Four Terms)
20
Seperti namanya, sesat pikir jenis empat term terjadi jika ada empat term yang diikutsertakan
dalam silogisme padahal silogisme yang sahih hanya mempunyai tiga term.
2. Term tengah yang tidak terdistribusikan (undistributed middle terms)
Term tengahnya tidak memadai menghubungkan term mayor dan term minor, misalnya
3. Proses Ilisit (Illicit process)
Proses ilisit adalah perubahan tidak sahih dari term mayor atau term minor.
4. Premis-premis afirmatif tetapi kesimpulannya negatif
Pernyataan yang menyatakan sesuatu secara positif tetapi dalam kesimpulan digunakan
proposisi negatif (pernyataan yang menegasi sesuatu).
5. Premis negatif dan kesimpulan afirmatif
Sesat pikir ini terjadi jika dalam premis digunakan proposisi negatif tetapi dalam kesimpulan
digunakan proposisi afirmatif.
6. Dua premis negatif
Sesat pikir dua premis negatif terjadi jika dalam silogisme kedua premis yang digunakan
adalah proposisi negatif.
7. Mengafirmasi konsekuensi
Sesat pikir mengafirmasi konsekuensi adalah pembuatan kesimpulan yang diturunkan dari
pernyataan yang hubungan antara anteseden dan konsekuensinya tidak niscaya tetapi
diperlakukan seolah-olah hubungan itu suatu keniscayaan.
8. Menolak anteseden
Pembuatan kesimpulan yang diturunkan dari pernyataan yang hubungan antara anteseden dan
konsekuensinya tidak niscaya tetapi diperlakukan seolah-olah hubungan itu suatu
keniscayaan. Tetapi dalam bentuk ini yang ditolak adalah antesedennya.
9. Mengiyakan suatu pilihan dalam suatu susunan argumentasi disjungsi subkontrer
Terjadi jika hubungan atau di antara dua hal diperlakukan sebagai pengingkaran oleh hal
yang satu terhadap hal yang lain. Atau belum tentu menunjukkan suatu.
10. Mengingkari suatu pilihan dalam suatu disjungsi yang kontrer (dan)
Bentuk sesat pikir ini terjadi jika dua hal yang dihubungkan dengan kata dan diperlakukan
seolah-olah nilai kebenaran (benar atau tidak benar) dari gabungan keduanya sama dengan
nilai kebenaran dari setiap hal yang digabungkan, atau nilai tidak benar dari gabungan dari
dua hal itu seolah-olah disebabkan oleh salah satunya.
8.3. Sesat Pikir Nonformal
1. Perbincangan dengan ancaman
21
2. Salah guna (Abusive), secara logis tidak relevan
3. Argumentasi berdasarkan kepentingan (circumstantial)
4. Argumentasi berdasarkan ketidaktahuan
5. Argumentasi berdasarkan belas kasihan
6. Argumentasi yang disangkutkan dengan orang banyak
7. Argumentasi dengan kewibawaan ahli walaupun keahliannya tidak relevan
8. Accident atau argumentasi berdasarkan ciri-ciri tak esensial
9. Perumusan yang tergesa-gesa (converse accident)
10. Sebab yang salah
11. Penalaran sirkular
12. Sesat pikir karena terlalu banyak pertanyaan yang harus dijawab sehingga jawaban tak
sesuai dengan pertanyaan
13. Kesimpulan tak relevan.
14. Makna ganda (equivocation)
15. Makna ganda ketata-bahasaan (amphiboly)
16. Sesat pikir karena perbedaan logat atau dialek bahasa
17. Kesalahan komposisi
18. Kesalahan divisi
19. Generalisasi tak memadai
BAB IV
DASAR-DASAR ETIKA
I. Perbedaan Etika dan Moral
Etika spesifik mengacu kepada studi sistematis dan filosofis tentang bagaimana kita
seharusnya bertindak (Borchert, 2006, 279). Etika punya fokus tentang bagaimana kita
mendefinisikan sesuatu itu baik atau tidak.
Moralitas mengacu pada nilai baik atau tidak baik yang disepakati dan diadopsi dalam
suatu lingkungan tertentu (Borchert, 2006, 280). Artinya, moralitas lebih dipahami sebagai
suatu keyakinan untuk menjalani hidup yang baik.
Moralitas sangat berhubungan dengan etika karena hal itu adalah objek kajiannya.
Etika adalah suatu abstraksi dalam memahami atau mendefinisikan moral dengan melakukan
refleksi atasnya.
II. Klasifikasi Etika
22
a. Etika Normatif
Melalui pertimbangan-pertimbangan tentang apa saja kriteria-kriteria yang harus
dijalankan agar suatu tindakan atau kepusan itu menjadi baik (Kagan, 1997, 2).
b. Etika Terapan
Sebuah penerapan teori-teori etika secara lebih spesifik kepada topik-topik
kontroversial baik pada domain privat atau publik seperti perang, hak-hak
binatang, hukuman mati dan lain-lain. Syarat dapat dijadikan etika terapan adalah
kelompok-kelompok yang saling berhadapan terkait dengan permasalahan moral
(ada yang setuju, ada yang menolak), mempunyai dimensi dilemma etis.
Singkatnya, etika terapan digunakan untuk menggambarkan upaya untuk
menggunakan metode filosofis mengidentifikasi apasaja yang benar secara moral
terkait dengan tindakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia.
c. Etika Deskriptif
Untuk menggambarkan tentang apa yang dianggap oleh seseorang atau
masyarakat sebagai bernilai etis serta apa kriteria etis yang digunakan untuk
menyebut seseorang itu etis atau tidak (Kitchener, 2000, 3).
d. Metaetika
Fokus dari metaetika adalah makna dari pernyataan-pernyataan yang ada di dalam
etika. Metaetika mengembangkan berbagai cara untuk menjelaskan apa yang
dimaksud dengan bahasa etika dengan intensi bahwa pernyataan-pernyataan etis
punya makna.
III. Realisme Etis dan Non. Realisme Etis
Gagasan realisme etis berpusat pada manusia menemukan kebenaran etis yang
memiliki eksistensi independen di luar dirinya. realisme etis dalam bentuk absolutisme etis
tidak sesuai dengan keragaman budaya dan tradisi. Di samping keberatan itu, absolutisme
moral yang tidak memperhitungkan konsekuensi dari suatu tindakan atau keadaan etis untuk
menghasilkan fakta etis.
Gagasan utama dari nonrealisme etis adalah manusia yang menciptakan kebenaran
etis (Callcut, 2009, 46). Relativisme menghormati keragaman budaya
dan tindakan manusia yang berbeda pula dalam cara merespon situasi yang berbeda.
Relativisme moral tidak menyediakan cara untuk mengatasi perbedaan
moral antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain.
IV. Kegunaan Etika
23
Etika dapat menyediakan sebuah gambaran utuh dan lebih mengedepankan
rasionalitas ketika berhadapan dengan isu-isu tersebut. Peran etika, yaitu menawarkan suatu
prinsip-prinsip yang memungkinkan kita untuk mengambil pandangan yang lebih jernih
dalam melihat isu-isu moral.
Menggunakan kerangka etika, dua orang yang saling berdebat mengenai masalah
moral dapat menemukan apa yang mereka tidak sepakat tentang sesuatu, bisa menyadari
bahwa mereka hanyalah tidak sepakat pada salah satu bagian tertentu dari masalah tersebut.
Semua jenis prinsip-prinsip etika dapat menghilangkan kebingungan dan memperjelas
masalah. Etika sangat memperhitungkan bukan hanya diri sendiri, tetapi juga orang lain.
V. Immanuel Kant dan Etika Kewajiban
Dalam pengertian Kant, individu yang mempunyai sikap etis harus dapat memikirkan
dan bertindak atas kehendaknya sendiri. Tindakan etis berhubungan dengan agen moral itu
sendiri. Menurut Immanuel Kant, prinsip moral datang dari rasio praktis individu tersebut
sebagai agen moral. Tujuan dari sikap moral adalah untuk mencapai kebaikan bersama tetapi
tujuan itu dicapai secara kesadaran individual yang memiliki otonomi.
Konsep kewajiban (deontologis) adalah salah satu dasar dari tindakan etis. Suatu
tindakan memiliki nilai moral yang baik bila tindakan itu terlepas dari kepentingan individu,
dan hanya bertujuan terhadap prinsip kewajiban tersebut adalah pengertian dari konsep
kewajiban. Pengetahuan akan kebaikan terlihat dari rasio praktis (pemahaman tentang
kebaikan dan mampu menyesuaikan pilihan-pilihannya dengan apa yang dipertimbangkan
baik secara universal).
Pada filsafat moral Kant, ia menekankan bahwa individu tidak boleh
memiliki kepentingan disaat ia berbuat kebaikan, tujuannya adalah kewajiban
terhadap kebaikan itu sendiri.
VI. John Stuart Mill dan Konsep Etika Utilitarian
Pandangan konsekuensialis menyatakan bahwa segala tindakan dianggap bernilai secara
moral bila mempertimbangkan hasil akhir dari tindakan. Konsekuensialis menegaskan bahwa
suatu tindakan itu dapat dinilai baik bila menyebabkan kebahagiaan bagi individu serta
orang-orang disekitarnya. Secara moral baik adalah keadaan yang menimbulkan kebahagiaan.
Menurut Mill, ada tingkatan dalam kebahagiaan, yaitu kebahagiaan yang bertingkat tinggi
karena itulah kebahagiaan itu memiliki nilai moral, contoh melakukan aktivitas hobi dengan
kebahagiaan yang didapatkan ketika melakukan kebaikan untuk orang lain bertempat di
24
tingkatan yang amat berbeda. Tingkatan ini mengimplikasikan suatu anggapan bahwa tidak
semua kebahagiaan itu memuaskan individu secara sempurna.
Dalam melakukan apapun kita terpaut dengan hasil akhir dari suatu pilihan, dan bagi
kaum utilitarian, konsekuensi yang dipikirkan adalah bagaimana multiplikasi suatu
kebahagiaan, dan menghindari kesengsaraan.
VII. W. D Ross; Intuisi dan Kewajiban
W. D Ross beranggapan dengan teori pandangan moral intuitif. Ross berargumen bahwa
seseorang mengetahui secara intuitif perbuatan apa yang bernilai baik maupun buruk.
Kebahagiaan tidak dapat secara mudah disamakan dengan kebaikan, justru kebaikan adalah
bentuk nilai moral yang lebih tinggi. Jadi tujuan moral adalah mencapai kebaikan bukan
kebahagiaan.
Ross berargumen mengenai pendapat Mill bahwa di luar dari kebahagiaan terdapat
berbagai hal yang menurutnya lebih tepat untuk dijadikan prinsip tindakan moral yakni
kebaikan melalui karakter yang mulia, atau berdasarkan intelegensia.
Adanya perbedaan antara padangan kewajiban oleh Kant dan Ross, yaitu kewajiban
sempurna mengandaikan bahwa tidak ada perselisihan menyangkut tindakan moral mana
yang harus diprioritaskan. Kant menyebutkan kewajiban imperatif yang bernilai subjektif dan
Ross menyebutkan kewajiban kondisional yang bernilai objektif.
Penelaahan secara objektif yang dimaksud oleh Ross adalah bahwa pada faktanya
manusia memiliki kecerdasan untuk membandingkan pilihan moral manakah yang paling
menyebakan kebaikan utama. Melalui cara ini, menurut Ross, maka kita dapat
menghindarkan generalisasi yang dapat mengakibatkan keburukan.
DAFTAR PUSTAKA
Takwin, Bagus, Fristian Hadinata, dan Saraswati Putri. (2013). Kekuatan dan
Keutamaan Karakter, Filsafat, Logika, dan Etika. Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.