Rangkuman MPKTA

38
1 RANGKUMAN BUKU AJAR I MPKT-A SYAHRUL RAMDANI 1406530906 MPKT-A 07

description

rangkuman mpkt a

Transcript of Rangkuman MPKTA

Page 1: Rangkuman MPKTA

1

RANGKUMAN

BUKU AJAR I MPKT-A

SYAHRUL RAMDANI

1406530906

MPKT-A 07

Page 2: Rangkuman MPKTA

2

BAB 1

KEKUATAN DAN KEUTAMAAN KARAKTER

Pembentukan karakter adalah salah satu kunci dari kemajuan dan pembangunan

bangsa. Berdasarkan kekuatan dan keutamaan karakter akan menimbulkan kebahagiaan yang

otentik adalah perpaduan perasaan-perasaan positif dan penilaian-penilaian terhadap hidup

yang memuaskan. Spiritualitas manusia merupakan dasar dari kekuatan karakter.

Kemampuan manusia untuk memperbaiki diri dan dunianya dari waktu ke waktu bersumber

pada daya-daya spiritualnya.

I. Definisi Kepribadian dan Karakter

Allport memandang kepribadian manusia adalah suatu organisasi yang teratur dan

tidak acak. Kepribadian sebagai sesuatu yang dinamis. Artinya, kepribadian manusia terus

bergerak dan berkembang. Kepribadian manusia tampil dalam perilaku yang melibatkan

aspek psikis seperti berpikir, mempercayai dan merasakan sesuatu. Kepribadian juga tampil

dalam perilaku yang melibatkan aspek fisik manusia seperti berjalan, berbicara dan

melakukan tindakan-tindakan motorik. Melalui kepribadian yang dinamis juga meliputi aspek

psikis dan fisik, kepribadian dipengaruhi faktor eksternal (lingkungan)-nya mempengaruhi

kepribadian manusia sehingga kepribadian yang dihasilkan adalah kepribadian yang unik.

Selain itu, kepribadian dilihat dari sejarah hidup, latar belakang budaya, ambisi, cita-cita,

karakter.

Allport menjelaskan karakter adalah segi-segi kepribadian yang ditampilkan keluar

dari, dan disesuaikan dengan nilai dan norma tertentu. Untuk membentuk karakter yang kuat,

orang perlu menjalani serangkaian proses pemelajaran, pelatihan dan peneladanan.

II. Kekuatan dan Keutamaan Karakter

Karakter yang kuat adalah karakter yang bercirikan keutamaan-keutamaan yang

merupakan keunggulan manusia. Keunggulan manusia dapat diperoleh dari bakat dan

kemampuan manusia, kondisi situasional yang dapat memunculkan atau menyurutkan

kekuatan-kekuatan itu serta pelatihan atau pembinaan yang dapat dilakukan untuk

mengembangkan karakter yang kuat. Penggalian, pengenalan, dan pengukuran keutamaan

dapat dilakukan melalui teknik inventori, skala sikap, wawancara mendalam, diskusi

kelompok terarah (focus-group discussion) dan simulasi.

III. Membedakan Keutamaan, Kekuatan Karakter dan Tema Situasional

Page 3: Rangkuman MPKTA

3

Keutamaan berada di level atas, lalu kekuatan di level tengah, dan tema situasional di

level bawah. Keutamaan (nilai biologis) sebagai nilai moral oleh karena itu keutamaan

dianggap sebagai dasar dari tindakan yang baik atau memiliki karakter yang baik. Berbagai

perilaku dapat dinilai berdasarkan keutamaan yang secara umum terdiri dari: kebijaksanaan,

courage (kesatriaan), kemanusiaan, keadilan, pengendalian atau pengelolaan diri, dan

transendensi.

Kekuatan karakter (nilai psikologis) adalah karakteristik yang dijadikan indikator

untuk mengenali adanya satu atau lebih keutamaan pada diri seseorang. Orang yang memiliki

satu atau dua kekuatan ini saja dapat dikatakan berkarakter baik, bahkan dapat disebut

memiliki keutamaan kebijaksanaan.

Tema situasional dari karakter adalah kebiasaan khusus yang mengarahkan orang

untuk mewujudkan kekuatan karakter dalam situasi tertentu. Tema situasional dapat muncul

dalam lingkungan yang meleluasakan individu tampil apa adanya, jujur dan tulus.

Lingkungan juga berperanan penting dalam memfasilitasi munculnya kekuatan karakter

melalui pemunculan tema situasional.

IV. Kriteria Karakter yang Kuat

1. Karakter yang mempunyai keutamaan terhadap pembentukan kehidupan yang

lebih baik untuk diri sendiri dan orang lain,

2. Karakter sebagai nilai moral yang baik,

3. Penampilan keutamaan pada karakter tidak menganggu orang lain,

4. Kekuatan karakter tampil dalam rentang tingkah laku individu yang mencakup

pikiran, perasaan, dan tindakan, serta dapat dikenali, dievaluasi dan

diperbandingkan derajat kuat lemahnya,

5. Karakter yang kuat dapat dibedakan dari ciri-ciri yang berlawanan dengannya,

6. Kekuatan karakter diwadahi oleh kerangka pikir ideal,

7. Kekuatan karakter dapat dibedakan dari sifat positif yang lain tetapi yang saling

terkait,

8. Kekuatan karakter tertentu menjadi ciri yang mengagumkan bagi orang lain,

9. Tidak semua ciri karakter yang kuat muncul pada seseorang,

10. Kekuatan karakter memiliki akar psiko-sosial; potensinya ada dalam diri sendiri,

dan aktualitanya dipengaruhi oleh lingkungan sosial.

V. Karakter dan Spiritualitas

Page 4: Rangkuman MPKTA

4

Kekuatan dalam keutamaan transendensi ditandai oleh kemampuan untuk

membayangkan apa yang mungkin ada di luar situasi yang dialami kini dan di sini.

Kemampuan membayangkan apa yang mungkin ada dan kemampuan melampaui situasi kini

dan di sini mensyaratkan adanya kemampuan memahami keterkaitan semua unsur alam

semesta. Kekuatan yang terkandung dalam keutamaan transendensi merupakan kekuatan

yang menghubungkan kehidupan manusia dengan seluruh alam semesta dan memberi makna

kepada kehidupan. Penghargaan ini juga dapat mengembangkan kekuatan karakter yang lain

menjadi penting dalam rangka memperjuangkan kehidupan yang indah dan sempurna.

Daya-daya spiritual menjadi kekuatan kita untuk bertahan dan setia menuju satu

tujuan. Daya-daya itu menghindarkan kita dari godaan dan menguatkan kita saat berada

dalam situasi yang sulit. daya-daya spiritual, manusia dapat melampaui dirinya, berkembang

terus sebagai makhluk yang self-trancendence (selalu mampu berkembang melampaui

dirinya).

VI. Keutamaan Karakter dan Kebahagiaan

Seligman (2004) menyebutkan tiga kebahagiaan, yaitu memiliki makna dari semua

tindakan yang dilakukan, mengetahui kekuatan tertinggi, dan menggunakan kekuatan

tertinggi untuk melayani sesuatu yang dipercayai sebagai hal yang lebih besar dari diri

sendiri. Kebahagiaan hanya dapat dicapai dengan memandang hidup sebagai hal yang

bermakna dan berharga, mengenali diri sendiri dan menemukan kekuatan-kekuatan kita, lalu

memanfaatkan kekuatan-kekuatan itu untuk kepentingan yang lebih besar.

BAB II

DASAR-DASAR FILSAFAT

1. PENDAHULUAN

Filsafat dan ilmu pengetahuan saling berkaitan. Filsafat ilmu berkaitan dengan asumsi,

fondasi, metode, dan implikasi dari ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu juga mempertimbangkan

masalah yang berlaku untuk ilmu tertentu, seperti filsafat biologi atau filsafat fisika. Disisi

lain, filsafat ilmu berurusan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab oleh ilmu

pengetahuan. Ada tiga bidang kajian filsafat yang dibutuhkan ilmu pengetahuan untuk

Page 5: Rangkuman MPKTA

5

menjadi dasar bagi aktivitas mencai pengetahuan, yaitu etika, epistemologi, dan logika. Etika

diperlukan karena tanpa adanya dasar etis, ilmu pengetahuan dapat menghasilkan kerugian

dan kerusakan dunia. Epistomologi untuk memberi dasar bagi perolehan pengetahuan. Logika

diperlukan untuk memastikan langkah-langkah perolehan pengetahuan yang benar.

Karakter dan filsafat memiliki hubungan yang saling menguatkan. Berfilsafat melibatkan

keseluruhan diri untuk terlibat dalam pencarian kebenaran dan mengandalkan pikiran.

Filsafat yang berarti cinta kebenaran menuntut orang yang menekuninya memeliki keutamaan

pengetahuan dan kebijaksanaan beserta kekuatan-kekuatan yang tercakup di dalamnya.

2. PENGERTIAN FILSAFAT

Filsafat adalah usaha manusia memahami segala perwujudan kenyataan kritis, radikal,

dan sistematis. Apa yang hendak diketahui filsafat tak terbatas, oleh karena itu proses

pemahaman itu berlangsung terus menerus.

Filsafat mempunyai sifat kritis dalam mengupayakan pengetahuan universal. Istilah kritis

dalam filsafat berarti memilah-milah objek dan kemampuan menilai objek. Dilain hal, kritis

dalam berfilsafat diartikan sebagai terbuka pada kemungkinan-kemungkinan baru, menjajaki

kemungkinan perpaduan dua hal yang bertentangan, tidak membakukan dan membekukan

pikiran-pikiran yang sudah ada, serta selalu hati-hati dan waspada terhadap berbagai

kemungkinan kebekuan pikiran.

Sifat utama filsafat yang lain adalah radikal. Pemahaman yang ingin diperolah dari

kegiatan filsafat adalah pemahaman yang mendalam. Dari pemahaman yang mendalam dapat

menggantikan penjelasan lama yang lebih lengkap. Sifat lainnya yaitu sistematis. Sistematis

dalam berfilsafat adalah memahami segala sesuatu itu dilakukan menurut suatu aturan

tertentu, runut, dan bertahap serta hasilnya dituliskan mengikuti suatu aturan tertetntu pula.

Filsafat juga mencakup logika, yaitu memegang keyakinan akan daya argumen dan

penalaran.

Kegiatan filosofis merupakan perenungan atau pemikiran yang sifatnya kritis, bersifat

koheren. Objek filsafat haruslah menyangkut sesuatu yang nyata dan jelas. Filsafat menelaah

masalah yang dapat dipikirkan manusia. Seorang filsuf membiacarakan tiga hal, yaitu dunia

di sekitarnya, dunia yang ada didalam dirinya, dan perbuatan berpikir itu sendiri.

3. CABANG DAN ALIRAN FILSAFAT

Page 6: Rangkuman MPKTA

6

Filsafat berdasarkan sistematika permasalahannya terbagi menjadi ontologi,

epistemologi, dan axiologi. Ontologi didefinisikan dalam kajian filsafat adalah hakikat ada,

eksistensi, atau realitas, serta kategori dasar keberadaan dan hubungan mereka. Ontologi

dibagi menjadi dua subbidang yaitu ontologi arti khusus dan metafisika. Dalam berfilsafat,

ontologi adalah sesuatu yang keberadaannya dipersepsi secara fisik dan tertangkap oleh indra.

Pengertian metafisika dalam filsafat adalah mengkaji hal-hal yang masih disangsikan

kehadirannya. Epistemolagi dalam cabang filsafat mengkaji teori-teori tentang sumber-

sumber, hakikat, dan batas-batas pengetahuan. Empat cabang epistomologi adalah

epistomologi dalam arti sempit, filsafat ilmu, metodologi, dan logika. Epistomologi dalam

arti sempit mengkaji hakikat pengetahuan yang ditelurusi melalui sumber pengetahuan,

struktur pengetahuan, keabsahan pengetahuan, dan batas-batas pengetahuan. Filsafat ilmu

pengethauan mengkaji ciri-ciri dan cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan. Metodologi

mengkaji dengan memperoleh pengetahuan secara sistematis, logis, sahih, dan teruji.

Terakhir, logis mengkaji teknik-teknik dan kaidah-kaidah penalaran yang tepat. Axiologi

mengkaji pengalaman dan penghayatan dari perilaku-perilaku manusia.

Beberapa aliran yang cukup berpengaruh dalam sejarah perkembangan filsafat adalah

rasionalisme, empirisme, kritisisme, idealisme, vitalisme, dan fenomenologi. Rasionalisme

berpandangan bahwa semua pengetahuan bersumber dari akal (rasio). Empirisme yang

menekankan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Kritisisme adalah kritik terhadap

rasionalisme dan empirisme yang terlalu ekstrem. Idealisme proses mental yang sifatnya

subjektif. Vitalisme memandang hidup tidak sepenuhnya dijelaskan secara mekais karena

pada hakikatnya manusia berbeda dengan benda mati. Fenomologi mengkaji gejala-gejala

dan memandang kesadaran dan gejala selalu terkait.

4. ALTERNATIF LANGKAH BELAJAR FILSAFAT

Langkah belajar filsafat adalah memecahkan masalah filsafat secara umum dan mengkaji

aliran filsafat tertentu. Filsuf memperoleh makna istilah-istilah dengan cara melakukan

analisis terhadap istilah-istilah berdasarkan pengenalan objyeknya dalam kenyataan.

Pemakaian istilah yang tepat dimulai dari pemakaian bahasa yang tepat. Bahasa adalah

medium filsafat karena harus mendapatkan makna yang tepat dan memadai. Setelah analisis

istilah, filsuf berusaha untuk memadukan hasil-hasil penyelidikan melalui aktivitas sintesis.

Dalam aktivitas sintesis, filsuf membandingkan bagian dari makna istilah yang dihasilkan

dari aktivitas analisis kemudia mencari menemukan kesamaan makna diantra mereka. Setelah

Page 7: Rangkuman MPKTA

7

itu, dilakukan filosofis analisis, yaitu pengumpulan semua pengetahuan yang dapat

dikumpulkan oleh manusia untuk menyusun suatu pandangan tentang dunia. Metode

pembelajaran filsafat dapat digunakan untuk pembelajaran di bidang ilmu pengetahuan lain.

Berpikir filosofis merupakan satu cara untuk membangun keutamaan pengetahuan dan

kebijaksanaan dengan kekuatan-kekuatan yang dikandungnya.

BAB III

DASAR-DASAR LOGIKA

I. Logika

Secara umum, ada dua pengertian logika, yaitu sebagai cabang filsafat dan sebagai

cabang matematika. Sebagai cabang filsafat diartikan dengan mengkaji prinsip, hukum,

metode berpikir yang benar, tepat, dan lurus. Sebagai cabang matematika diartikan dengan

mengkaji seluk-beluk perumusan pernyataan atau persamaan yang benar dengan

menggunakan bahasa formal dalam literatur matematika.

Dalam sejarah filsafat, Aristoteles sebagai filsuf pertama yang mengungkapkan logika

secara komprehensif. Secara filosofi, logika bertujuan untuk memperoleh pengetahuan

melalui penalaran yang benar. Dalam penalaran, logika berperan sebagai cabang

epistemologi. Logika berhubungan erat dengan bahasa ilmiah dalam sebuah penalaran.

Dalam matematika, logika merupakan upaya menyusun bahasa matematika yang formal,

baku, dan jernih maknanya, serta dalam kajian tentang penyimpulan dan pembuatan paragraf

yang benar. Matematika merupakan logika klasik, dalam pengertian logika dan matematika

saling berkaitan. Logika memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang relevan dengan aspek

matematis.

Di lain hal, logika merupakan alat yang dibutuhkan dalam kajian berbagai ilmu

pengetahuan dan juga kehidupan sehari-hari. Logika berhubungan dengan pemahaman

manusia dalam kesehariannya karen menggunakan bahasa sebagai medianya. Dua pengertian

Page 8: Rangkuman MPKTA

8

lain dari logika, yakni kajian tentang kebenaran khusus dan kajian ciri-ciri umum dari

putusan. Tujuan dari kebenaran khusus adalah logika berperan untuk menjelaskan fakta

tertentu. Tujuan dari ciri-ciri umum dari putusan adalah satu kebenaran mengandung semua

kumpulan kebenaran lainnya.

II. Kategori

Kategori yang digunakan untuk mengenali dan mengelompokkan benda-benda.

Kategori dapat dibedakan berdasarkan sifat umum atau khusus. Bermula dari sifat yang

umum lalu dibentuk dalam kata-kata khusus yang mencirikan sifat umum. Aristoteles

mengajukan jenis-jenis kategori yang menurutnya dapat diterapkan pada semua benda yang

ada di dunia, yaitu (1) substansi’ (2) kualitas, (3) kuantitas atau ukuran, (4) relasi, (relatio),

(5) aksi (actio), (6) reaksi atau terkena aksi (pasif, menderita, pasio), (7) waktu (kapan), (8)

lokasi (dimana), (9) posisi (dalam arti posisi fisik atau posture, silus) dan (10) memiliki atau

mengenakan (habitus).

Immanuel Kant berargumen bahwa pikiran manusia sudah memiliki pengetahuan

bawaan dalam bentuk kategori-kategori. Setiap pemahaman tentang sesuatu selalu dalam

kerangka ruang dan waktu. Pemahaman tentang ruang dan waktu sudah ada dalam pikiran

manusia sebagai pengetahuan bawaan. Kant menemukan bahwa fungsi berpikir manusia yang

tetuang dalam putusan-putusan dapat dikategorikan dalam empat kelompok besar, kuantitas

(quantity), kualitas (quality), relasi (relation) dan modalitas (modality). Masing kelompok

terdiri dari tiga momenta yang biasa disebut sebagai kategori. Kuantitas mencakup kategori

universal, partikular dan singular. Kualitas mencakup kategori afirmatif, negatif dan infinit.

Relasi mencakup kategori kategorikal, hipotetikal dan disjunktif. Modalitas mencakup

kategori problematik (problematical), asertorik (assertorical) dan apodeiktik (apodeictical).

Hegel mengartikan kategori sebagai ide-ide yang menjelaskan realitas. kategori.

Berbeda dari Aristoteles dan Kant, Hegel menyatakan bahwa jenis-jenis kategori dan

jumlahnya yang tepat tidak dapat ditentukan sebelum sistem realitas dijelaskan secara

lengkap.

Charles Sanders Pierce memahami kategori sebagai istilah-istilah paling umum yang

dapat digunakan untuk membagi-bagi atau menggolong-golongkan pengalaman.

Ryle (1949) berpendapat bahwa kategori berjumlah tak terhingga dan tak teratur.

Totalitas dari kategori tidak terletak pada prinsip yang menentukan hirarki dari jenis-jenis hal

yang tak terbatas. Kesalahan kategorikal bagi Ryle dimulai dari penentuan sejumlah kategori

yang diklaim sebagai fundamental, dasar dan mutlak

Page 9: Rangkuman MPKTA

9

III. Term, Definisi dan Divisi

3.1 Term

Hasil dari pembentukan ide ini adalah konsep. Setiap konsep ditandakan dalam

bentuk term. Rangkaian term yang bermakna adalah pernyataan. Term merupakan tanda

untuk menyatakan suatu ide yang dapat diinderai (sensible) sesuai dengan pakat

(conventional). Tanda itu dapat bersifat formal dan instrumental. Tanda formal digunakan

berdasarkan kesamaan antara tanda dan yang ditandai seperti gambar, potret, film, dan huruf

hieroglif. Tanda instrumental digolongkan atas dua, yakni tanda alamiah dan tanda

konvensional. Tanda alamiah digunakan berdasarkan kaitan alamiah antara tanda dan yang

ditandai, misalnya asap menandai api, rasa sakit menandai gangguan pada tubuh, dan tangis

menandai kesedihan. Tanda konvensional digunakan berdasarkan kesepakatan sejumlah

orang tertentu pada waktu tertentu, misalnya sandi Morse, tanda lalu-lintas, dan bahasa.

Tiga jenis makna term dan penggabungannya dalam kalimat, yakni makna denotatif,

makna kesan (sense), dan makna emotif. Makna denotatif merujuk kepada satu arti yang

tertera dalam kamus. Makna kesan (sense) adalah makna term berdasarkan penggabungannya

dengan kata lain. Makna emotif ialah makna term yang didasarkan pada perasaan atau emosi,

sikap--baik secara tersurat maupun secara tersirat.

3.2 Definisi

Definisi juga diperlukan untuk dapat memahami sebuah kalimat secara jelas dan

sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan. Kendala yang sering muncul dalam

pembuatan definisi adalah keterbatasan pengetahuan dan keterbatasan term.

3.2.1 Penggolongan Definisi

Definisi dibagi menjadi dua, yaitu definisi nominal dan definisi real. Definisi nominal

ialah definisi yang menerangkan makna kata seperti yang dimuat dalam kamus. Definisi real

adalah definisi yang menerangkan arti hal itu sendiri dengan dilakukan analisis.

Definisi real dibedakan atas dua, yakni definisi esensial dan definisi deskriptif.

Definisi esensial menerangkan inti (esensi) dari suatu hal dengan menyebutkan genus dan

diferentia-nya. Genus adalah kelompok besar atau kelas dari hal yang akan dijelaskan,

sedangkan diferentia adalah ciri khas yang hanya ada pada hal yang didefinisikan.

Page 10: Rangkuman MPKTA

10

Definisi deskriptif mengemukakan segi-segi yang positif tetapi belum tentu esensial

mengenai suatu hal. Definisi deskriptif dibedakan atas empat, yakni definisi distingtif,

definisi genetik, definisi kausal, dan definisi aksidental. Definisi distingtif menunjukkan

properti. Definisi genetik menyebutkan asal mula atau proses terjadinya suatu hal. Definisi

kausal menunjukkan penyebab atau akibat dari sesuatu hal.

3.2.2 Aturan Membuat Definisi

Syarat membuat definisi dimulai dari definisi harus lebih jelas dari yang

didefinisikan; jika tidak, maka definisi akan kehilangan fungsinya, erm-term yang sulit

dimengerti (tidak lazim), definisi tidak boleh mengandung ide atau term dari yang

didefinisikan, definisi dan yang didefinisikan harus dapat dibolak-balik dengan pas, definisi

harus dinyatakan dalam kalimat positif.

3.3 Divisi

Penguraian terhadap kriteria tertentu menjadi sebuah bagian-bagian disebut divisi.

3.3.1 Divisi Real atau Aktual

Penguraian dengan divisi real atau aktual dilakukan berdasarkan bagian-bagian yang

ada pada objek itu sendiri—baik fisik maupun metafisik—terlepas dari aktivitas mental

manusia. Divisi berdasarkan bagian fisik dilakukan berdasarkan faktor-faktor fisik yang dapat

dipisahkan, satu dari yang lain. Bagian itu dapat berupa bagian yang esensial atau bagian

yang integral. Bagian-bagian yang essensial ialah bagian-bagian yang harus lengkap. Bagian

integral ialah bagian-bagian yang tidak harus lengkap.

Divisi berdasarkan bagian metafisik dilakukan berdasarkan bagian-bagian yang

merupakan esensi dari sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena dalam

kenyataannya bagian-bagian itu merupakan ketunggalan.

3.3.2 Divisi Logis

Divisi logis mental manusialah yang membagi keseluruhan hal menjadi bagian-bagian

dan menambahkan unsur-unsur tertentu kepada suatu hal untuk menjadikannya kelas

atau sub-kelas.

3.3.3 Aturan Pembuatan Divisi

Page 11: Rangkuman MPKTA

11

Didalam sebuah divisi adanya aturan bahwa tidak boleh ada bagian yang terlewati,

bagian tidak boleh melebihi keseluruhan, tidak boleh ada bagian yang meliputi bagian yang

lain, divisi harus jelas dan teratur, jumlah bagian harus terbatas; kalau kebanyakan akan

kacau.

IV. Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi

4.1. Pengertian Kalimat, Pernyataan, dan Proposisi

Kalimat didefinisikan sebagai: serangkaian kata yang disusun berdasarkan

aturanaturan tata bahasa dalam suatu bahasa, dan dapat digunakan untuk tujuan menyatakan,

menanyakan, atau memerintahkan sesuatu hal.

Secara umum, struktur kalimat berita terdiri dari subjek-predikat-objek. Kalimat

perintah umumnya dimulai dengan kata kerja.

Pernyataan adalah kalimat yang digunakan untuk membuat suatu klaim atau

menyampaikan sesuatu yang bisa benar atau salah. Pernyataan memiliki nilai kebenaran

(truth value). Artinya, suatu pernyataan bisa dinilai benar atau salah.

Proposisi ialah makna yang diungkapkan melalui pernyataan, atau dengan kata lain

arti atau interpretasi dari suatu pernyataan. Proposisi juga dapat dipahami sebagai makna dari

kalimat berita, mengingat bahwa pernyataan merupakan kalimat berita yang dapat dinilai

benar atau salah.

Tiga hal yang menjadi konsekuensi dari definisi kalimat, pernyataan dan

proposisi tersebut. Pertama, kalimat yang tidak bermakna atau tidak koheren tidak

mengungkapkan proposisi apa pun. Kedua, pernyataan atau kalimat yang berbeda dapat

mengungkapkan proposisi yang sama. Ketiga, kalimat atau pernyataan yang sama dapat

mengungkapkan proposisi yang berbeda.

Untuk membuat suatu pernyataan yang baik, perlu dilakukan hal-hal

berikut. Pertama, membangun suatu kalimat yang mengungkapkan suatu proposisi.

Kedua, mengusahakan supaya proposisi yang ingin diungkapkan menjadi jelas. Akhirnya,

membuat pernyataan mengenai nilai kebenaran kalimat itu.

Kesalahan yang mungkin terjadi dalam pembuatan kalimat atau pernyataan adalah

yang berikut. 1) Kalimatnya tidak koheren sehingga tidak dapat dimaknai oleh pendengar

atau pembaca. 2) Kalimatnya sudah koheren tetapi proposisi apa yang dimaksudkan tidak

jelas sehingga dapat menyebabkan salah tafsir. 3) Tidak menunjukkan dengan jelas bahwa

kita sedang menyatakan nilai kebenaran dari kalimat kita

4.2 Pernyataan Sederhana dan Pernyataan Kompleks

Page 12: Rangkuman MPKTA

12

Proposisi yang dikandung, ada dua jenis pernyataan, yaitu pernyataan sederhana dan

pernyataan kompleks. Pernyataan sederhana adalah pernyataan yang hanya mengandung satu

proposisi. Pernyataan kompleks adalah pernyaataan yang mengandung lebih dari satu

proposisi.

Proposisi yang dikandung oleh suatu pernyataan juga disebut komponen logika dari

pernyataan. Komponen logika adalah komponen yang turut menentukan benar atau salahnya

suatu pernyataan.

Tidak semua kalimat kompleks (kalimat yang mengandung lebih dari satu komponen)

merupakan pernyataan kompleks, karena komponen itu belum tentu merupakan komponen

logika. Komponen yang mengikuti kata-kata yang menunjukkan sikap atau pendapat pribadi,

seperti pikir, harap, kira, dan percaya bukan merupakan komponen logika.

4.3 Jenis-jenis Pernyataan Kompleks

Hubungan di antara proposisi atau pernyataan sederhana dalam pernyataan kompleks

ditunjukkan oleh penggunaan kata penghubung seperti tidak, dan, atau, jika, dan maka. Ada

empat jenis pernyataan kompleks, yaitu:

1) Negasi (bukan P)

2) Konjungsi (P dan Q), dan

3) Disjungsi (P atau Q)

4) Kondisional (Jika P maka Q)

Dalam praktiknya, tidak mudah menemukan struktur logika suatu pernyataan atau

suatu argumen. Hal itu dapat terjadi karena 1) ada lebih dari satu cara untuk mengungkapkan

keempat jenis pernyataan kompleks tersebut di atas, dan 2) struktur logika suatu pernyataan

sering kali tersembunyi.

4.3.1 Hubungan Kondisional: Kondisi Niscaya dan Kondisi yang Mencukupi

Ada dua kondisi yang merupakan bentuk khusus dari hubungan kondisional, yaitu

yang mencukupi (sufficient condition, S) dan kondisi niscaya (necessary condition, N). Hanya

jika pernyataan kondisional Jika S maka N adalah benar.

Ada lima jenis hubungan itu, yang berikut ini didaftarkan beserta contohnya.

1) Kausal

a. Mencabut jantung Dul merupakan kondisi yang mencukupi untuk membunuhnya.

2) Konseptual

a. Kondisi niscaya untuk tergolong manusia adalah mampu menggunakan simbol.

Page 13: Rangkuman MPKTA

13

3) Definisional

a. Kondisi niscaya dan mencukupi untuk disebut mahasiswa adalah orang yang

terdaftar secara resmi sebagai pelajar di perguruan tinggi.

4) Regulatori

a. Lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi merupakan kondisi niscaya untuk kuliah di

universitas negeri.

5) Logis

a. Menjadi kucing hitam adalah kondisi niscaya untuk berwarna hitam.

4.4 Hubungan Antar-pernyataan

Ada pengetahuan tertentu yang dapat langsung disimpulkan dari suatu pernyataan.

Oleh para ahli logika, ini disebut hubungan langsung.

4.4.1 Kesimpulan Langsung: Oposisi dari Proposisi

Pernyataan kategorikal adalah pernyataan yang terdiri dari subjek dan predikat yang

membenarkan atau menidakkan bahwa individu adalah anggota suatu kelompok. Ada empat

jenis pernyataan kategorikal, yakni yang berikut.

A: Semua S adalah P. (Universal-afirmatif)

E: Tidak ada S yang P. (Universal-negatif)

I: Beberapa S adalah P. (Partikular-afirmatif)

O: Beberapa S bukan P. (Partikular-negatif)

Kontradiksi (A dan O; E dan I)

Dalam hubungan ini, tidak mungkin keduanya benar dan tidak mungkin keduanya salah

(Salah satu pasti benar).

Kontrari (A dan E)

Dalam hubungan ini tidak mungkin keduanya benar, tapi mungkin saja keduanya salah.

Subkontrari (I dan E)

Dalam hubungan ini mungkin saja keduanya benar, tetapi tidak mungkin keduanya salah

Subalternasi (A dan I; E dan O)

Jika superalternasinya (A atau E) benar, maka subalternasinya (I atau O) benar.

4.4.2 Konsistensi dan Inkonsistensi

Dua pernyataan disebut inkonsisten jika, dan hanya jika keduanya tidak mungkin benar pada

saat yang bersamaan. Pada kondisi yang sebaliknya, dua pernyataan itu disebut konsisten;

artinya, kedua pernyataan itu mungkin sama-sama benar pada saat bersamaan.

4.4.3 Implikasi, Ekuivalensi, dan Independensi Logis

Page 14: Rangkuman MPKTA

14

Implikasi

Pernyataan P mengimplikasikan pernyataan Q ketika secara logis tidak mungkin P benar dan

Q salah pada waktu yang bersamaan.

Ekuivalensi

Dua pernyataan secara logis ekuivalen bila keduanya saling mengimplikasikan. Jadi

dua pernyataan yang secara logis ekuivalen memiliki makna yang sama. Beberapa pernyataan

yang secara logis ekuivalen;

1. Negasi dari suatu konjungsi [Bukan (P dan Q)] ekuivalen dengan disjungsi dari negasi

konjung-konjungnya [Bukan-P atau Bukan-Q]

2. Negasi dari suatu disjungsi [Bukan-(P atau Q)] ekuivalen dengan konjungsi dari

negasidisjung-disjungnya [Bukan-P dan Bukan-Q]

3. Suatu pernyataan kondisional [Jika P maka Q] ekuivalen dengan pernyataan yang

menolak bahwa antesedennya benar dan konsekuennya salah [Bukan-(P dan bukan-Q)],

4. Suatu disjungsi [P atau Q] ekuivalen dengan pernyataan kondisional yang antesedennya

merupakan negasi dari salah satu disjung dan konsekuennya adalah disjung yang lain [Jika

Bukan-P maka Q, atau Jika Bukan-Q maka P]

Independensi Logis

Dua pernyataan disebut secara logis independen jika secara logis tidak berhubungan; jadi,

kedua pernyataan maupun negasinya tidak saling mengimplikasikan.

V. Penalaran

Penalaran adalah penarikan kesimpulan berdasarkan alasan-asalan yang relevan.

Ungkapan verbal dari penalaran adalah argumentasi.

V.1Penyimpulan Langsung

Fungsi akal manusia adalah mencapai kebenaran. Kebenaran pertama-tama dapat dicapai

melalui penyimpulan langsung (immediate inference) yang ditarik sesuai dengan prinsip-

prinsip logika. Prinsip-prinsip logika terdiri atas prinsip identitas, prinsip kontradiksi, dan

prinsip tanpa nilai tengah (excluded middle). Prinsip identitas menyatakan bahwa X = X

(sesuatu adalah sesuatu itu sendiri. Prinsip kontradiksi menyatakan bahwa jika X = X maka

tidak mungkin X tidak sama dengan X (sesuatu adalah dirinya sendiri, tidak mungkin sesuatu

itu sekaligus bukan dirinya sendiri). Prinsip tanpa nilai tengah menyatakan bahwa untuk

proposisi apa pun, proposisi itu hanya dapat benar atau salah.

Penyimpulan langsung dilakukan melalui indera. Penyimpulan langsung menghasilkan

pengetahuan dasar bagi manusia yang bersumber dari pengalaman empirik. Akan tetapi

Page 15: Rangkuman MPKTA

15

penyimpulan langsung tidak membawa kita beranjak jauh dari informasi-informasi asal

sehingga tidak dapat menambah pengetahuan lebih banyak lagi.

V.2PenyimpulanTakLangsung

Penyimpulan melalui perbandingan ide-ide adalah penyimpulan tak langsung. Putusan

yang dihasilkan adalah hasil dari mempertemukan dua ide yang diperbandingkan dengan

perantaraan ide ketiga yang sudah diketahui sebelumnya.

Dua Jenis Penalaran

Ada dua jenis penaralan, yaitu deduksi atau penalaran deduktif dan induksi atau penalaran

induktif. Kedua jenis penalaran ini diperlukan dalam proses pencapaian kebenaran.

Deduksi adalah proses penalaran yang dengannya kita membuat suatu kesimpulan dari

suatu hukum, dalil, atau prinsip yang umum kepada suatu keadaan yang khusus yang

tercakup dalam hukum, dalil, atau prinsip yang umum itu.Induksi adalah proses penalaran

yang dengannya kita menyimpulkan hukum, dalil, atau prinsip umum dari kasus-kasus

khusus (individual).

V.3KesalahanPenyimpulan

Kesalahan penyimpulan digolongkan atas dua, yakni kesalahan material dan kesalahan

formal. Kesalahan material adalah kesalahan putusan yang digunakan sebagai pertimbangan

yang seharusnya memberikan fakta atau kebenaran. Kesalahan formal ialah kesalahan yang

berasal dari urutan penyimpulan yang tidak konsisten.

V.4Argumentasi

Ungkapan verbal dari penalaran atau penyimpulan tak langsung adalah argumentasi. Di

dalam argumentasi terkandung term yang merupakan ungkapan verbal dari ide dan proposisi

yang merupakan ungkapan verbal dari putusan.

Proposisi yang dijadikan dasar dari kesimpulan disebut premis atau anteseden. Subjek (S)

dan Predikat (P) dari kesimpulan masing-masing disebut ekstrem minor dan ekstrem mayor

yang cakupannya lebih luas dari subjek.Ungkapan dari ide ketiga yang menghubungkan ide

pertama dan ide kedua yang diperbandingkan dalam argumentasi disebut term tengah (middle

term, disingkat M).Term tengah (M) harus muncul di premis mayor maupun premis minor

sebagai perbandingan, tetapi tidak boleh muncul dalam kesimpulan.

Page 16: Rangkuman MPKTA

16

Ada dua macam argumentasi yang umum digunakan dalam logika, yaitu silogisme

kategoris dan silogisme hipotetis. Silogisme kategoris adalah argumentasi yang menggunakan

proposisi kategoris yang oleh Aristoteles disebut analitika. Silogisme hipotetis adalah

argumentasi yang menggunakan proposisi hipotetis (silogisme hipotetis) yang oleh

Aristoteles disebut dialektika.

VI. Argumen Deduktif

6.1 Definisi Penalaran Deduktif

Penalaran deduktif adalah proses perolehan kesimpulan yang terjamin validitasnya

jika bukti yang tersedia benar dan penalaran yang digunakan untuk menghasilkan kesimpulan

tepat. Lazimnya deduksi juga dipahami sebagai pembuatan pernyataan khusus berdasarkan

pernyataan-pernyataan yang lebih umum.

6.2 Karakteristik Penalaran Deduktif

Diawali dengan generalisasi yang dianggap benar (self-evident)yang menghasilkan

premis-premis, lalu dari situ diturunkan kesimpulan yang koheren dengan premis-premisnya.

Bentuk deduksi yang paling umum digunakan adalah silogisme yang terdiri atas premis

mayor, premis minor, kesimpulan.

6.3 Silogisme

Silogisme sahih jika kesimpulannya dibuat berdasarkan premis-

premisnya

dengan bentuk-bentuk yang tepat. Sedangkan penilaian benar (true)

diberikan jika silogisme valid dan klaimnya akurat (informasinya sesuai

dengan fakta).

6.3.1 Silogisme Kategoris

Bentuk dasar silogisme kategoris ialah: Jika A adalah bagian dari C maka

B adalah bagian dari C (Adan B adalah anggota dari C). Silogisme kategoris ini

mengikuti hukum “Semua atau Tidak Sama Sekali”

6.3.2 Delapan hukum Silogisme

(Keterangan: P = Predikat/mayor; S = Subjek/minor; M = Term tengah

(Middle term); u =Universal; p = partikular; + = afirmatif; dan − = negatif.)

1. Silogisme hanya mengandung tiga term

2. Term mayor atau term minor tidak boleh menjadi universal dalam kesimpulan

Page 17: Rangkuman MPKTA

17

jika dalam premis hanya bersifat pertikular

3. Term tengah tidak boleh muncul dalam kesimpulan

4. Term tengah harus digunakan sebagai proposisi universal dalam premispremis,

setidak-tidaknya satu kali

5. Jika kedua premis afirmatif, maka kesimpulan juga afirmatif

6. Tidak boleh kedua premis negatif, setidaknya salah satu harus afirmatif

7. Kalau salah satu premis negatif, kesimpulan harus negatif. Kalau salah satu

premis partikular, kesimpulan harus partikular.

8. Tidak boleh kedua premis partikular, setidaknya salah satu harus universal

VII. Argumen Induktif

7.1. DefinisiInduksi

Istilah argument induktif mencakup proses-proses inferensial dalam

mendukung atau memperluas keyakinan kita pada kondisi yang

mengandung risiko atau ketidakpastian.Argumen induktif dapat dipahami

sebagai hipotesis yang mengandung risiko dan ketidakpastian.

Ketidakpastian dalam argument induktif muncul dalam dua area yang

berhubungan, yaitu dalam premis-premis argument dan dalam asumsi-

asumsi inferensial argumen.

Jika kita menerima bahwa premis-premis benar, maka kita juga harus

menerima bahwa kesimpulannya benar. Informasi dalam premis-premis

secara logis tidak mencakup pernyataan apa pun yang merupakan

kontradiksi dari kesimpulan. Informasi dalam premis-premis itu secara logis tidak

mencakup pernyataan apa pun yang merupakan kontradiksi dari kesimpulan. Kemungkinan

lain, asumsi inferensialnyalah yang tidak pasti benar sehingga orang yang mengajukan

argumen terpaksa membuat argument induktif.

Dalam semua argument induktif, ada premis atau asumsi inferensial yang lemah yang

mencerminkan ketidakpastian karena informasi ada yang kurang lengkap. Jadi, karakteristik

semua argument induktif adalah bahwa dalam kondisi ketidakpastian atau kurangnya

informasi, kita langsung mengambil kesimpulan dengan risiko kesimpulan tersebut salah.

Page 18: Rangkuman MPKTA

18

Karena argument induktif mempunyai karakteristik ketidakpastian, kesimpulan dari

suatu argument induktif sering disebut hipotesis. Walaupun ada masalah-masalah teoretis,

para ahli logika sering kali setuju mana yang termasuk dalam penalaran induktif yang baik.

VII.1.1Induksi Enumeratif (Generalisasi Induktif)

Induksi enumeratif, atau generalisasi induktif, adalah proses yang menggunakan premis-

premis yang menggambarkan karakteristik sampel untuk mengambil kesimpulan umum

mengenai kelompok asal sampel itu. Begitu terkenalnya jenis argument ini sampai-sampai

beberapa penulis mendefinisikan argumen induktif sebagai argumen yang “bergerak dari

premis-premis particular kekesimpulan umum.”

Secara umum induksi enumerative dapat dianggap sebagai argument dari sampel.

Individu yang diobservasi merupakan sampel yang diambil dari populasi yang lebih besar.

Kesimpulan dibuat mengenai populasi secara keseluruhan.

Pernyataan-pernyataan yang menggambarkan hasil observasi individual didaftarkan yang

disebut table konfirmasi. Tetapi, table konfirmasi tidak selalu dibuat. Namun, bukti lebih

sering diringkas dalam bentuk statistic mengenai sampel yang diobservasi. Agar dapat

diterima, argumen yang berdasarkan sampel harus mempunyai asumsi bahwa sampel itu

representative terhadap populasi dan cukup besar sehingga dapat menyediakan perkiraan

yang terandalkan (reliable).

Dalam semua argumen yang didasarkan pada suatu sampel, selalu harus dipertanyakan

apakah sampelnya cukup besar dan representative terhadap populasi sehingga kesimpulannya

dapat dipercaya. Mengambil kesimpulan yang terlalu kuat berdasarkan sampel yang terlalu

kecil berarti melakukan percontoh salah (error sampel) yang tidak cukup.

VI.1.1 Induksi Enumeratif (Generalisasi Induktif)

Proses yang menggunakan premis-premis yang menggambarkan karakteristik sampel

untuk mengambil kesimpulan umum mengenai kelompok asal sampel itu. Dalam masing-

masing argumen itu, premis-premisnya merupakan contoh dari individu-individu yang

mempunyai karakteristik tertentu. Kesimpulannya menggeneralisasikan bahwa individu dari

kelompok itu mempunyai karakteristik itu sampai dengan batas tertentu.

Secara umum induksi enumeratif dapat dianggap sebagai argumen dari sampel.

Individu yang diobservasi merupakan sampel yang diambil dari populasi yang lebih besar,

Page 19: Rangkuman MPKTA

19

yang kebanyakan anggotanya belum diobservasi. Induksi enumeratif sangat bervariasi dalam

hal kualitas pengumpulan dan presentasi datanya, dan dalam kekuatan kesimpulannya.

Karena itu, kita dapat menggunakan pola argumen ini sebagai perkiraan kasar untuk

mengevaluasi argumen jenis ini secara cepat.

VI.1.2 Spesifikasi Induktif: Silogisme Statistikal

Silogisme statistikal—jenis spesifikasi induktif yang paling umum digunakan sehari-hari—

merupakan kebalikan dari proses generalisasi induktif. Penyimpulan dalam silogisme

statistikal bergerak dari generalisasi mengenai suatu kelompok ke kesimpulan yang lebih

spesifik mengenai satu anggota kelompok itu atau lebih.

Apakah suatu argumen dapat diterima atau tidak juga tergantung pada apa yang kita

ketahui mengenai anggota S dan sejauh mana anggota S itu representatif terhadap M. Jika

situasi anggota S itu tidak sama, maka penerapan generalisasi itu pada percontoh S patut

dipertanyakan. Bila S sangat kecil jika dibandingkan dengan M, atau S adalah individu

tunggal, maka dapat atau tidak dapat diterimanya argumen tergantung pada ukuran N selain

pada ketepatan premis statistiknya.

VI.1.3 Induksi Eliminatif atau Diagnostik

Argumen induktif eliminatif atau diagnostik mempunyai premis-premis yang

menggambarkan suatu konfigurasi fakta atau data yang berbeda-beda, yang merupakan bukti

dari kesimpulannya. Induksi jenis ini menghasilkan kesimpulan yang merupakan penjelasan

terbaik, tetapi tidak statistikal. Dalam argumen eliminatif atau diagnostik, datanya tidak

berupa repetisi dari jenis observasi yang sama.

Unsur-unsur yang merupakan ciri khas dari argumen diagnostik, yaitu premis-premis

yang mengungkapkan bukti, kondisi pembatas, dan hipotesis bantuan.

VIII. Sesat Pikir

8.1. Pengertian Sesat Pikir (Fallacies)

Menurut Copi, sesat pikir adalah perbincangan yang mungkin terasa betul, tetapi yang

setelah diuji terbukti tidak betul.

8.2. Sesat Pikir Formal

A. Dalam Deduksi

Dalam deduksi, penalaran ditentukan oleh bentuknya. Jika sebuah penalaran bentuknya tidak

sesuai dengan bentuk deduksi yang baku, maka penalaran itu tidak sahih dan tergolong sesat

pikir.

1. Empat Term (Four Terms)

Page 20: Rangkuman MPKTA

20

Seperti namanya, sesat pikir jenis empat term terjadi jika ada empat term yang diikutsertakan

dalam silogisme padahal silogisme yang sahih hanya mempunyai tiga term.

2. Term tengah yang tidak terdistribusikan (undistributed middle terms)

Term tengahnya tidak memadai menghubungkan term mayor dan term minor, misalnya

3. Proses Ilisit (Illicit process)

Proses ilisit adalah perubahan tidak sahih dari term mayor atau term minor.

4. Premis-premis afirmatif tetapi kesimpulannya negatif

Pernyataan yang menyatakan sesuatu secara positif tetapi dalam kesimpulan digunakan

proposisi negatif (pernyataan yang menegasi sesuatu).

5. Premis negatif dan kesimpulan afirmatif

Sesat pikir ini terjadi jika dalam premis digunakan proposisi negatif tetapi dalam kesimpulan

digunakan proposisi afirmatif.

6. Dua premis negatif

Sesat pikir dua premis negatif terjadi jika dalam silogisme kedua premis yang digunakan

adalah proposisi negatif.

7. Mengafirmasi konsekuensi

Sesat pikir mengafirmasi konsekuensi adalah pembuatan kesimpulan yang diturunkan dari

pernyataan yang hubungan antara anteseden dan konsekuensinya tidak niscaya tetapi

diperlakukan seolah-olah hubungan itu suatu keniscayaan.

8. Menolak anteseden

Pembuatan kesimpulan yang diturunkan dari pernyataan yang hubungan antara anteseden dan

konsekuensinya tidak niscaya tetapi diperlakukan seolah-olah hubungan itu suatu

keniscayaan. Tetapi dalam bentuk ini yang ditolak adalah antesedennya.

9. Mengiyakan suatu pilihan dalam suatu susunan argumentasi disjungsi subkontrer

Terjadi jika hubungan atau di antara dua hal diperlakukan sebagai pengingkaran oleh hal

yang satu terhadap hal yang lain. Atau belum tentu menunjukkan suatu.

10. Mengingkari suatu pilihan dalam suatu disjungsi yang kontrer (dan)

Bentuk sesat pikir ini terjadi jika dua hal yang dihubungkan dengan kata dan diperlakukan

seolah-olah nilai kebenaran (benar atau tidak benar) dari gabungan keduanya sama dengan

nilai kebenaran dari setiap hal yang digabungkan, atau nilai tidak benar dari gabungan dari

dua hal itu seolah-olah disebabkan oleh salah satunya.

8.3. Sesat Pikir Nonformal

1. Perbincangan dengan ancaman

Page 21: Rangkuman MPKTA

21

2. Salah guna (Abusive), secara logis tidak relevan

3. Argumentasi berdasarkan kepentingan (circumstantial)

4. Argumentasi berdasarkan ketidaktahuan

5. Argumentasi berdasarkan belas kasihan

6. Argumentasi yang disangkutkan dengan orang banyak

7. Argumentasi dengan kewibawaan ahli walaupun keahliannya tidak relevan

8. Accident atau argumentasi berdasarkan ciri-ciri tak esensial

9. Perumusan yang tergesa-gesa (converse accident)

10. Sebab yang salah

11. Penalaran sirkular

12. Sesat pikir karena terlalu banyak pertanyaan yang harus dijawab sehingga jawaban tak

sesuai dengan pertanyaan

13. Kesimpulan tak relevan.

14. Makna ganda (equivocation)

15. Makna ganda ketata-bahasaan (amphiboly)

16. Sesat pikir karena perbedaan logat atau dialek bahasa

17. Kesalahan komposisi

18. Kesalahan divisi

19. Generalisasi tak memadai

BAB IV

DASAR-DASAR ETIKA

I. Perbedaan Etika dan Moral

Etika spesifik mengacu kepada studi sistematis dan filosofis tentang bagaimana kita

seharusnya bertindak (Borchert, 2006, 279). Etika punya fokus tentang bagaimana kita

mendefinisikan sesuatu itu baik atau tidak.

Moralitas mengacu pada nilai baik atau tidak baik yang disepakati dan diadopsi dalam

suatu lingkungan tertentu (Borchert, 2006, 280). Artinya, moralitas lebih dipahami sebagai

suatu keyakinan untuk menjalani hidup yang baik.

Moralitas sangat berhubungan dengan etika karena hal itu adalah objek kajiannya.

Etika adalah suatu abstraksi dalam memahami atau mendefinisikan moral dengan melakukan

refleksi atasnya.

II. Klasifikasi Etika

Page 22: Rangkuman MPKTA

22

a. Etika Normatif

Melalui pertimbangan-pertimbangan tentang apa saja kriteria-kriteria yang harus

dijalankan agar suatu tindakan atau kepusan itu menjadi baik (Kagan, 1997, 2).

b. Etika Terapan

Sebuah penerapan teori-teori etika secara lebih spesifik kepada topik-topik

kontroversial baik pada domain privat atau publik seperti perang, hak-hak

binatang, hukuman mati dan lain-lain. Syarat dapat dijadikan etika terapan adalah

kelompok-kelompok yang saling berhadapan terkait dengan permasalahan moral

(ada yang setuju, ada yang menolak), mempunyai dimensi dilemma etis.

Singkatnya, etika terapan digunakan untuk menggambarkan upaya untuk

menggunakan metode filosofis mengidentifikasi apasaja yang benar secara moral

terkait dengan tindakan dalam berbagai bidang kehidupan manusia.

c. Etika Deskriptif

Untuk menggambarkan tentang apa yang dianggap oleh seseorang atau

masyarakat sebagai bernilai etis serta apa kriteria etis yang digunakan untuk

menyebut seseorang itu etis atau tidak (Kitchener, 2000, 3).

d. Metaetika

Fokus dari metaetika adalah makna dari pernyataan-pernyataan yang ada di dalam

etika. Metaetika mengembangkan berbagai cara untuk menjelaskan apa yang

dimaksud dengan bahasa etika dengan intensi bahwa pernyataan-pernyataan etis

punya makna.

III. Realisme Etis dan Non. Realisme Etis

Gagasan realisme etis berpusat pada manusia menemukan kebenaran etis yang

memiliki eksistensi independen di luar dirinya. realisme etis dalam bentuk absolutisme etis

tidak sesuai dengan keragaman budaya dan tradisi. Di samping keberatan itu, absolutisme

moral yang tidak memperhitungkan konsekuensi dari suatu tindakan atau keadaan etis untuk

menghasilkan fakta etis.

Gagasan utama dari nonrealisme etis adalah manusia yang menciptakan kebenaran

etis (Callcut, 2009, 46). Relativisme menghormati keragaman budaya

dan tindakan manusia yang berbeda pula dalam cara merespon situasi yang berbeda.

Relativisme moral tidak menyediakan cara untuk mengatasi perbedaan

moral antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain.

IV. Kegunaan Etika

Page 23: Rangkuman MPKTA

23

Etika dapat menyediakan sebuah gambaran utuh dan lebih mengedepankan

rasionalitas ketika berhadapan dengan isu-isu tersebut. Peran etika, yaitu menawarkan suatu

prinsip-prinsip yang memungkinkan kita untuk mengambil pandangan yang lebih jernih

dalam melihat isu-isu moral.

Menggunakan kerangka etika, dua orang yang saling berdebat mengenai masalah

moral dapat menemukan apa yang mereka tidak sepakat tentang sesuatu, bisa menyadari

bahwa mereka hanyalah tidak sepakat pada salah satu bagian tertentu dari masalah tersebut.

Semua jenis prinsip-prinsip etika dapat menghilangkan kebingungan dan memperjelas

masalah. Etika sangat memperhitungkan bukan hanya diri sendiri, tetapi juga orang lain.

V. Immanuel Kant dan Etika Kewajiban

Dalam pengertian Kant, individu yang mempunyai sikap etis harus dapat memikirkan

dan bertindak atas kehendaknya sendiri. Tindakan etis berhubungan dengan agen moral itu

sendiri. Menurut Immanuel Kant, prinsip moral datang dari rasio praktis individu tersebut

sebagai agen moral. Tujuan dari sikap moral adalah untuk mencapai kebaikan bersama tetapi

tujuan itu dicapai secara kesadaran individual yang memiliki otonomi.

Konsep kewajiban (deontologis) adalah salah satu dasar dari tindakan etis. Suatu

tindakan memiliki nilai moral yang baik bila tindakan itu terlepas dari kepentingan individu,

dan hanya bertujuan terhadap prinsip kewajiban tersebut adalah pengertian dari konsep

kewajiban. Pengetahuan akan kebaikan terlihat dari rasio praktis (pemahaman tentang

kebaikan dan mampu menyesuaikan pilihan-pilihannya dengan apa yang dipertimbangkan

baik secara universal).

Pada filsafat moral Kant, ia menekankan bahwa individu tidak boleh

memiliki kepentingan disaat ia berbuat kebaikan, tujuannya adalah kewajiban

terhadap kebaikan itu sendiri.

VI. John Stuart Mill dan Konsep Etika Utilitarian

Pandangan konsekuensialis menyatakan bahwa segala tindakan dianggap bernilai secara

moral bila mempertimbangkan hasil akhir dari tindakan. Konsekuensialis menegaskan bahwa

suatu tindakan itu dapat dinilai baik bila menyebabkan kebahagiaan bagi individu serta

orang-orang disekitarnya. Secara moral baik adalah keadaan yang menimbulkan kebahagiaan.

Menurut Mill, ada tingkatan dalam kebahagiaan, yaitu kebahagiaan yang bertingkat tinggi

karena itulah kebahagiaan itu memiliki nilai moral, contoh melakukan aktivitas hobi dengan

kebahagiaan yang didapatkan ketika melakukan kebaikan untuk orang lain bertempat di

Page 24: Rangkuman MPKTA

24

tingkatan yang amat berbeda. Tingkatan ini mengimplikasikan suatu anggapan bahwa tidak

semua kebahagiaan itu memuaskan individu secara sempurna.

Dalam melakukan apapun kita terpaut dengan hasil akhir dari suatu pilihan, dan bagi

kaum utilitarian, konsekuensi yang dipikirkan adalah bagaimana multiplikasi suatu

kebahagiaan, dan menghindari kesengsaraan.

VII. W. D Ross; Intuisi dan Kewajiban

W. D Ross beranggapan dengan teori pandangan moral intuitif. Ross berargumen bahwa

seseorang mengetahui secara intuitif perbuatan apa yang bernilai baik maupun buruk.

Kebahagiaan tidak dapat secara mudah disamakan dengan kebaikan, justru kebaikan adalah

bentuk nilai moral yang lebih tinggi. Jadi tujuan moral adalah mencapai kebaikan bukan

kebahagiaan.

Ross berargumen mengenai pendapat Mill bahwa di luar dari kebahagiaan terdapat

berbagai hal yang menurutnya lebih tepat untuk dijadikan prinsip tindakan moral yakni

kebaikan melalui karakter yang mulia, atau berdasarkan intelegensia.

Adanya perbedaan antara padangan kewajiban oleh Kant dan Ross, yaitu kewajiban

sempurna mengandaikan bahwa tidak ada perselisihan menyangkut tindakan moral mana

yang harus diprioritaskan. Kant menyebutkan kewajiban imperatif yang bernilai subjektif dan

Ross menyebutkan kewajiban kondisional yang bernilai objektif.

Penelaahan secara objektif yang dimaksud oleh Ross adalah bahwa pada faktanya

manusia memiliki kecerdasan untuk membandingkan pilihan moral manakah yang paling

menyebakan kebaikan utama. Melalui cara ini, menurut Ross, maka kita dapat

menghindarkan generalisasi yang dapat mengakibatkan keburukan.

DAFTAR PUSTAKA

Takwin, Bagus, Fristian Hadinata, dan Saraswati Putri. (2013). Kekuatan dan

Keutamaan Karakter, Filsafat, Logika, dan Etika. Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.