Quesioner Dan SPSS

115
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Penglihatan merupakan indera yang penting bagi manusia. Jika ketajaman penglihatan menurun, maka penglihatan menjadi kabur. Penurunan ketajaman penglihatan khususnya pada anak-anak merupakan masalah kesehatan yang penting. Berdasarkan data dari WHO pada tahun 2004 prevalensi kelainan refraksi pada umur 5-15 tahun sebanyak 12,8 juta orang (0,97%). 1,2 Menurut WHO tahun 2009 bila prevalensi defisiensi vitamin A (<20 μg/dl) lebih dari 15% termasuk masalah kesehatan masyarakat. 3 Dari data tersebut ditemukan bahwa kelainan yang timbul akibat kelainan refraksi yang tidak dikoreksi. Menurut penelitian yang dilakukan Seema S (2010) terhadap anak SD di Rural Haryana, India, terdapat 22% siswa yang mengalami penurunan ketajaman penglihatan. 4 Penelitian oleh Rahi JS terhadap 1328 anak sekolah di India pada tahun 2005 terdapat 245 anak (18,6%) yang mengalami gangguan ketajaman penglihatan hingga kebutaan karena kekurangan vitamin A. 5 Kurangnya vitamin A akan menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan melalui gangguan pada kornea (media refraksi) ataupun sensitivitas saraf (retina). Penurunan ketajaman penglihatan yang terjadi dapat ringan hingga berat bahkan kebutaan. Menurut Riskesdas yang dilakukan pada tahun 2007 menyatakan bahwa di Indonesia proporsi penurunan ketajaman penglihatan pada usia 6 1

description

hhh

Transcript of Quesioner Dan SPSS

Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Penglihatan merupakan indera yang penting bagi manusia. Jika ketajaman penglihatan

menurun, maka penglihatan menjadi kabur. Penurunan ketajaman penglihatan khususnya pada

anak-anak merupakan masalah kesehatan yang penting. Berdasarkan data dari WHO pada tahun

2004 prevalensi kelainan refraksi pada umur 5-15 tahun sebanyak 12,8 juta orang (0,97%).1,2

Menurut WHO tahun 2009 bila prevalensi defisiensi vitamin A (<20 μg/dl) lebih dari 15%

termasuk masalah kesehatan masyarakat.3 Dari data tersebut ditemukan bahwa kelainan yang

timbul akibat kelainan refraksi yang tidak dikoreksi. Menurut penelitian yang dilakukan Seema S

(2010) terhadap anak SD di Rural Haryana, India, terdapat 22% siswa yang mengalami

penurunan ketajaman penglihatan.4 Penelitian oleh Rahi JS terhadap 1328 anak sekolah di India

pada tahun 2005 terdapat 245 anak (18,6%) yang mengalami gangguan ketajaman penglihatan

hingga kebutaan karena kekurangan vitamin A.5 Kurangnya vitamin A akan menyebabkan

penurunan ketajaman penglihatan melalui gangguan pada kornea (media refraksi) ataupun

sensitivitas saraf (retina). Penurunan ketajaman penglihatan yang terjadi dapat ringan hingga

berat bahkan kebutaan. Menurut Riskesdas yang dilakukan pada tahun 2007 menyatakan bahwa

di Indonesia proporsi penurunan ketajaman penglihatan pada usia 6 tahun keatas sebesar 4,8%.6

Hasil penelitian oleh Lely et al (2014) mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan

ketajaman penglihatan pada pelajar SD Katolik Santa Theresia 2 di Manado didapatkan faktor

screen time (> 2 jam/hari) menunjukkan persentase sebanyak 80% dengan p = 0,025. Faktor

jarak membaca menunjukkan persentase 72,9% yaitu jarak membaca <30 cm dengan p = 0,011.7

Sedangkan penelitian yang dilakukan Fachrian D et al (2009) pada pelajar SD “X” di Jatinegara

Jakarta Timur, didapatkan prevalensi kelainan tajam penglihatan (visus kurang dari 6/6)

didapatkan sebesar 51,9% dan didapatkan sebesar 58,9% berjenis kelamin perempuan.

Ditemukan juga bahwa dari seluruh responden yang mengalami kelainan tajam penglihatan

didapatkan 68,4% responden memiliki status gizi normal – lebih. Namun tidak ditemukan

adanya hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dan status gizi dengan gangguan

ketajaman penglihatan.8

1

Saat ini belum ada penelitian mengenai hubungan penurunan ketajaman penglihatan

dengan pola makan yang mengandung vitamin A di Jakarta Barat. Selain pola makan yang

mengandung vitamin A, faktor-faktor lain seperti pengetahuan, sikap dan perilaku anak,

penghasilan orangtua, jenis kelamin, lama dan jarak membaca, pemberian suplemen vitamin A,

dan status gizi juga perlu dikaji pengaruhnya terhadap penurunan ketajaman penglihatan. Oleh

karena itu dilakukan penelitian awal yang memperlihatkan hubungan penurunan ketajaman

penglihatan dengan pola makan yang mengandung vitamin A dan faktor-faktor lainnya di salah

satu SMPN di wilayah kerja puskesmas kelurahan Sukabumi Selatan, kecamatan Kebon Jeruk,

Jakarta Barat.

1.2 Rumusan Masalah

1. Data WHO pada tahun 2004 menunjukkan prevalensi kelainan refraksi di seluruh

dunia pada umur 5-15 tahun sebanyak 12,8 juta orang (0,97%).

2. Menurut WHO tahun 2010 bila prevalensi defisiensi vitamin A di seluruh dunia (<20

μg/dl) lebih dari 15% termasuk masalah kesehatan masyarakat.

3. Menurut Riskesdas yang dilakukan pada tahun 2007 menyatakan bahwa di Indonesia

proporsi penurunan ketajaman penglihatan pada usia 6 tahun keatas sebesar 4,8% dan

0,9% mengalami kebutaan.

4. Prevalensi kelainan tajam penglihatan (visus kurang dari 6/6) pada tahun 2009 di

Jatinegara Jakarta Timur didapatkan sebesar 51,9% dan didapatkan sebesar 58,9%

berjenis kelamin perempuan.

5. Belum pernah ada penelitian mengenai hubungan antara penurunan ketajaman

penglihatan dengan pola makanan yang mengandung vitamin A di Jakarta.

1.3. Hipotesis

Kurangnya konsumsi makanan yang mengandung vitamin A dapat menyebabkan

penurunan ketajaman penglihatan.

2

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan penurunan ketajaman penglihatan dengan pola

makanan yang mengandung vitamin A dan faktor-faktor lainnya pada siswa/i SMPN 271

di wilayah kerja puskesmas Sukabumi Selatan, kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat

periode 27 – 31 Juli 2015.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Diketahuinya distribusi frekuensi penurunan ketajaman penglihatan pada siswa/i

SMPN 271 di wilayah kerja puskesmas Sukabumi Selatan, kecamatan Kebon Jeruk,

Jakarta Barat periode 27 – 31 Juli 2015.

2. Diketahuinya sebaran pola makanan yang mengandung vitamin A dalam 1 bulan

terakhir pada siswa/i SMPN 271 di wilayah kerja puskesmas Sukabumi Selatan,

kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat periode 27 – 31 Juli 2015.

3. Diketahuinya sebaran pengetahuan, sikap dan perilaku anak, penghasilan orangtua,

jenis kelamin, lama dan jarak membaca, pemberian suplemen vitamin A dan status

gizi pada siswa/i SMPN 271 di wilayah kerja puskesmas Sukabumi Selatan,

kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat periode 27 – 31 Juli 2015.

4. Diketahuinya hubungan antara pengetahuan, sikap dan perilaku anak, penghasilan

orangtua, jenis kelamin, lama dan jarak membaca, pemberian suplemen vitamin A

dan status gizi dengan penurunan ketajaman penglihatan pada siswa/i SMPN 271 di

wilayah kerja puskesmas Sukabumi Selatan kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat,

periode 27 – 31 Juli 2015.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat bagi Peneliti

1. Memperoleh pengalaman belajar dan pengetahuan dalam melakukan penelitian.

2. Menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh saat kuliah dan

membandingkannya dengan keadaan yang sebenarnya dalam masyarakat.

3

3. Mengembangkan daya nalar, minat, dan semangat, serta pengalaman penelitian.

4. Memberikan keterampilan bagi mahasiswa/i kedokteran untuk memberikan sebagian

ilmunya berupa penyuluhan mengenai pola makan yang mengandung vitamin A yang

baik bagi kesehatan mata.

1.5.2. Manfaat bagi Perguruan Tinggi

1. Mengamalkan Tridarma perguruan tinggi dalam melaksanakan fungsi atau tugas

perguruan tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan, penelitian,

dan pengabdian bagi masyarakat.

2. Mewujudkan UKRIDA sebagai masyarakat ilmiah dalam peran sertanya di bidang

kesehatan.

3. Meningkatkan saling pengertian dan kerjasama antara mahasiswa/i dan staf pengajar.

1.5.3. Manfaat bagi Pihak Masyarakat

1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai pola makan yang mengandung

vitamin A dan faktor-faktor lainnya yang baik untuk kesehatan mata sehingga dapat

mempengaruhi pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap pola makan sehat sehari –

harinya.

2. Sebagai sumber informasi bagi siswa/i SMPN 271 di wilayah kerja puskesmas

Sukabumi Selatan periode 27 – 31 Juli 2015 untuk memperbaiki pola makannya dan

meningkatkan derajat kesehatan.

1.6. Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian ini adalah siswa/i SMPN 271 di wilayah kerja puskesmas

Sukabumi Selatan, kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat periode 27 – 31 Juli 2015.

4

Bab II

Tinjauan Pustaka

2.1 Dasar Teori

2.1.1 Vitamin A

2.1.1.1 Definisi Vitamin A

Vitamin A merupakan salah satu vitamin yang larut dalam lemak atau minyak. Vitamin A

stabil terhadap panas, asam dan alkali tetapi sangat mudah teroksidasi oleh udara dan akan rusak

pada suhu tinggi. Vitamin A merupakan komponen penting dari retina (selaput jala), maka fungsi

utama adalah untuk penglihatan. Disamping itu vitamin A juga membantu pertumbuhan,

mempunyai peranan penting dalam jaringan epitel termasuk mensuplai selaput lendir pada

bagian mata, sistem kekebalan tubuh, serta termasuk sebagai anti oksidan untuk tubuh.9,10

Pada anak sekolah ditemukan masalah defisiensi vitamin A. Menurut Wiryatmaji B,

kadar serum vitamin A <20 μg/dl pada anak sekolah sebesar 24%. Menurut WHO bila prevalensi

defisiensi vitamin A (<20 μg/dl) lebih dari 15% termasuk masalah kesehatan masyarakat.1

2.1.1.2 Sumber Vitamin A

Pada dasarnya sumber vitamin A dilihat berdasarkan sumber asalnya. Dua jenis vitamin

A berdasarkan sumbernya adalah sebagai berikut:9

a. Retinol

Retinol adalah jenis vitamin A yang didapatkan dari hewan. Bentuk vitamin ini dapat

dimanfaatkan secara langsung oleh tubuh dan tidak mengalami pengolahan di dalam

tubuh.

b. Karotenoid

Karotenoid adalah salah satu bentuk pro vitamin A yang diolah menjadi retinol oleh

tubuh. Sumber makanan yang memiliki karotenoid adalah sayuran, buah-buahan dan

beberapa tanaman umbi.

5

Kandungan vitamin A serta beta karoten yang masuk kedalam tubuh dapat dipengaruhi

oleh proses pengolahan makanan. Pemasakan yang berlebihan maupun pengeringan mampu

mengurangi kandungan karoten di dalam sayur-sayuran. Vitamin A meskipun relatif stabil, dapat

rusak bila mengalami proses oksidasi sehingga dalam menilai asupan antioksidan, perlu

diperhatikan proses pengolahan makanan yang dilakukan.10

2.1.1.3 Patofisiologi

Dalam gejala klinis defisiensi vitamin A akan tampak bila cadangan vitamin A dalam hati

dan organ-organ tubuh lain sudah menurun dan kadar vitamin A dalam serum mencapai garis

bawah yang diperlukan untuk mensuplai kebutuhan metabolik mata. Deplesi vitamin A dalam

tubuh merupakan proses yang memakan waktu lama. Diawali dengan habisnya persediaan

vitamin A di dalam hati, menurunnya kadar vitamin A plasma (kelainan biokimia), kemudian

terjadi disfungsi sel batang pada retina (kelainan fungsional) dan akhirnya timbul perubahan

jaringan epitel (kelainan anatomis). Penurunan vitamin A pada serum tidak menggambarkan

defisiensi vitamin A dini karena deplesi telah terjadi jauh sebelumnya.11 Pada anak-anak yang

mengalami tumbuh kembang, jika konsumsi makanan yang mengandung vitamin A tidak

memenuhi angka kecukupan gizi yang dianjurkan, maka xeroftalmia akan terlihat dalam

beberapa minggu.12 Risiko kekurangan vitamin A meningkat pada pasien yang mengalami

gangguan penyerapan lemak, fibrosis kistik, penyakit Celiac (Sprue), kurangnya enzim pankreas,

Inflammatory Bowel Disease (IBD), kolestasis dan yang telah dilakukan operasi “small-bowel

bypass”. Risiko juga meningkat pada vegetarian, pengungsian, imigrans, alkoholism, balita dan

anak – anak yang belum masuk sekolah yang berada di bawah garis kemiskinan. Pasien – pasien

ini seharusnya dianjurkan untuk mengkonsumsi vitamin A.13-15

Vitamin A merupakan “body regulators” dan berhubungan erat dengan proses-proses

metabolisme. Secara umum fungsi tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu:11

- Yang berhubungan dengan penglihatan

- Yang tidak berhubungan dengan penglihatan

Fungsi yang berhubungan dengan penglihatan di jelaskan melalui mekanisme Rods

(batang) yang ada di retina yang sensitif terhadap cahaya dengan intensitas yang rendah,

6

sedangkan Cones (kerucut) untuk cahaya dengan intensitas yang tinggi dan untuk menangkap

cahaya berwarna. Pigmen yang sensitif terhadap cahaya dari Rods disebut sebagai Rhodopsin.11

Ada dua macam sel reseptor pada retina, yaitu sel kerucut (sel konkus) dan sel batang (sel

basilus). Retina adalah kelompok prostetik pigmen fotosensitif dalam batang maupun kerucut,

perbedaan utama antara pigmen penglihatan dalam batang (rhodopsin) dan dalam kerucut

(iodopsin) adalah protein alami yang terikat pada retina. Vitamin A berfungsi dalam penglihatan

normal pada cahaya remang. Di dalam mata, retinol (bentuk vitamin A yang terdapat di dalam

darah) dioksidasi menjadi retinal. Retinal kemudian mengikat protein opsin dan membentuk

rhodopsin (suatu pigmen penglihatan). Rhodopsin merupakan zat yang menerima rangsangan

cahaya dan mengubah energi cahaya menjadi energi biolistrik yang merangsang indra

penglihatan. Beta karoten efektif dalam memperbaiki fotosensivitas pada penderita dengan

protoporfiria erithopoetik.11

Mata membutuhkan waktu beradaptasi dan dapat melihat dari ruangan dengan cahaya

terang ke ruangan dengan cahaya remang-remang. Bila seseorang berpindah dari tempat terang

ke tempat gelap, akan terjadi regenerasi rhodopsin secara maksilmal. Rhodopsin sangat penting

dalam penglihatan di tempat gelap. Kecepatan mata untuk beradaptasi, berhubungan langsung

dengan vitamin A yang tersedia di dalam darah untuk membentuk rhodopsin. Apabila kurang

vitamin A, rhodopsin tidak terbentuk dan akan menyebabkan timbulnya tanda pertama

kekurangan vitamin A yaitu rabun senja.11

Kekurangan vitamin A dapat mengakibatkan kelainan pada sel-sel epitel pada selaput

lendir mata. Kelainan tersebut karena terjadinya proses metaplasi sel-sel epitel, sehingga kelenjar

tidak memproduksi cairan yang dapat menyebabkan terjadinya kekeringan pada mata yang

disebut xerosis konjungtiva. Bila kondisi ini berlanjut akan terjadi yang disebut bercak bitot

(Bitot Spot) yaitu suatu bercak putih, berbentuk segi tiga di bagian temporal dan diliputi bahan

seperti busa.11

Defisiensi lebih lanjut menyebabkan xerosis kornea, yaitu kornea menjadi kering dan

kehilangan kejernihannya karena terjadi pengeringan pada selaput yang menutupi kornea. Pada

stadium yang lanjut, kornea menjadi lebih keruh, berbentuk infiltrat, berlaku pelepasan sel-sel

epitel kornea, yang berakibat pada pelunakan dan pecahnya kornea. Mata juga dapat terkena

infeksi. Tahap terakhir deri gejala mata yang terinfeksi adalah keratomalasia (kornea melunak

dan dapat pecah) sehingga menyebabkan kebutaan total.11

7

2.1.1.4 Akibat Kekurangan Vitamin A

Vitamin A menjadi satu-satunya vitamin yang bisa membentuk kesehatan mata. Akibat

kekurangan vitamin A paling sering menimbulkan masalah pada kesehatan mata.  Kekurangan

vitamin A dapat menimbulkan beberapa gangguan kesehatan di bawah ini.4,9,11

1. Rabun senja (nyctalopia). Rabun senja adalah salah satu gejala umum yang paling sering

ditemukan pada orang yang kekurangan vitamin A. Gejala ini dapat diobati dengan banyak

mengkonsumsi vitamin A yang berasal dari hewan (retinol).

2. Frinoderma, pembentukan epitel kulit tangan dan kaki terganggu sehingga kulit tangan

tampak bersisik. Terjadi hiperkeratosis folikular karena adanya tumpukan keratin yang

mengelilingi folikel rambut.

3. Perdarahan pada selaput usus, ginjal dan paru – paru

4. Terhentinya proses pertumbuhan

5. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan gangguan secara langsung terhadap mata seperti

kekeringan pada kornea, penglihatan kabur dan infeksi pada kornea. Area abnormal dari

proliferasi sel skuamosa dan keratinisasi konjungtiva (bercak Bitot) dapat dilihat pada anak

muda dengan kekurangan vitamin A. Akibat paling parah dari kekurangan vitamin A adalah

muncul kerusakan pada bagian retina yang sulit untuk diobati sehingga biasanya

menyebabkan kebutaan. Vitamin A memegang peranan penting dalam fototransduksi. Sel

kerucut bertanggung jawab dalam penyerapan cahaya dan penglihatan warna pada cahaya

yang cukup / terang. Sedangkan sel batang pada retina, all-trans-retinol dikonversi menjadi

11-cis-retinol, dimana keduanya bergabung dengan membran yang mengikat protein yang

disebut opsin untuk menjadi rhodopsin. Menurut suatu penelitian di India oleh JS Rahi pada

tahun 2005 didapatkan sebanyak 245 dari 1318 (18,6%) anak yang mengalami gangguan

penglihatan hingga kebutaan akibat kekurangan vitamin A.4

6. Jika tubuh tidak cukup mendapatkan vitamin A, maka tubuh tidak mempunyai sistem

kekebalan terutama yang berkaitan dengan pernafasan seperti asma dan penyakit saluran

pernafasan.

7. Tanda – tanda lain kekurangan vitamin A adalah berlebihnya deposisi periosteal karena

kurangnya aktivitas osteoklast, anemia, keratinisasi membran mukosa, dan gangguan sistem

imun humoral dan sel. Terdapat banyak mekanisme biologi dimana kekurangan vitamin A

dapat menyebabkan anemia. Mekanisme tersebut dibagi menjadi 3 kategori, yaitu

8

memodulasi eritropoiesis (sel progenitor eritrosit), memodulasi kekebalan tubuh terhadap

penyakit infeksi yang dapat menyebabkan anemia, dan memodulasi metabolisme zat besi.

Ada tumpang tindih antara mekanisme – mekanisme ini, dimana metabolisme besi dan

eritropoiesis juga dimodulasi oleh infeksi.

Jadi, manfaat vitamin A ternyata sangat penting untuk kesehatan, baik untuk kesehatan

mata, kulit, kelenjar, maupun kesehatan badan. Sekalipun pada waktu lahir bayi memiliki

simpanan vitamin A, ASI tetap menjadi sumber yang penting dari vitamin A dan karoten. Hati,

telur dan keju merupakan sumber-sumber vitamin A yang baik. Vitamin A juga terdapat dalam

beta-karoten serta karotenoid lainnya. Vitamin A adalah salah satu zat gizi esensial yang tidak

bisa diproduksi sendiri oleh tubuh manusia. Untuk memperolehnya harus di ambil dari sumber

diluar tubuh terutama dari sumber alam, seperti bahan sereal, umbi, biji-bijian, sayuran, buah-

buahan, hewani dan bahan-bahan olahan lainnya.10

2.1.1.5 Kebutuhan Vitamin A

Vitamin A atau aseroftol mempunyai fungsi-fungsi penting di dalam tubuh yaitu:16,17,18

a. Pertumbuhan sel-sel epitel

b. Proses oksidasi dalam tubuh

c. Mengatur rangsang sinar pada saraf mata

Semua anak, walaupun mereka dilahirkan dari ibu yang berstatus gizi baik dan tinggal di

negara maju, terlahir dengan cadangan vitamin A yang terbatas dalam tubuhnya (hanya cukup

memenuhi kebutuhan untuk sekitar dua minggu). Di negara berkembang pada bulan-bulan

pertama kehidupannya, bayi sangat bergantung pada vitamin A yang terdapat dalam ASI. Oleh

sebab itu sangatlah penting bahwa ASI mengandung cukup vitamin A.17,19

Anak-anak yang sama sekali tidak mendapatkan ASI akan beresiko lebih tinggi terkena

xeropthalmia dibandingkan dengan anak-anak yang mendapatkan ASI walau hanya dalam jangka

waktu tertentu. Berbagai studi yang dilakukan mengenai vitamin A ibu nifas memperlihatkan

hasil yang berbeda-beda.17,19

9

Tabel 2.1. Kebutuhan vitamin A menurut umur18

Kategori

Umur

Vitamin A: Recommended Daily

Allowance (RDA) dalam

mikrogram (mcg) dari Retinol

Activity Equivalents (RAE)

Vitamin A: Upper Limit (UL)

dalam mikrogram (mcg) dari

Retinol Activity Equivalent

(RAE)

Bayi

0-6 bulan

7-12 bulan

400 mcg/hari atau 1320 IU/hari

500 mcg/hari atau 1650 IU/hari

600 mcg/hari atau 2000 IU/hari

600 mcg/hari atau 2000 IU/hari

Anak – anak

1-3 tahun

4-8 tahun

300 mcg/hari atau 1000 IU/hari

400 mcg/hari atau 1320 IU/hari

600 mcg/hari atau 2000 IU/hari

900 mcg/hari atau 3000 IU/hari

Laki – laki

9-13 tahun

14-18 tahun

19 – 70 tahun

600 mcg/hari atau 2000 IU/hari

900 mcg/hari atau 3000 IU/hari

900 mcg/hari atau 3000 IU/hari

1700 mcg/hari atau 5610 IU/hari

2800 mcg/hari atau 9240 IU/hari

3000 mcg/hari atau 10000 IU/hari

Perempuan

9-13 tahun

14-18 tahun

19-70 tahun

600 mcg/hari atau 2000 IU/hari

700 mcg/hari atau 2320 IU/hari

700 mcg/hari atau 2320 IU/hari

1700 mcg/hari atau 5610 IU/hari

2800 mcg/hari atau 9240 IU/hari

3000 mcg/hari atau 10000 IU/hari

Wanita hamil

< 19 tahun

19-50 tahun

750 mcg/hari atau 2500 IU/hari

770 mcg/hari atau 2565 IU/hari

2800 mcg/hari atau 9240 IU/hari

3000 mcg/hari atau 10000 IU/hari

Laktasi

< 19 tahun

19-50 tahun

1200 mcg/hari atau 4000 IU/hari

1300 mcg/hari atau 4300 IU/hari

2800 mcg/hari atau 9240 IU/hari

3000 mcg/hari atau 10000 IU/hari

Nb: Tidak ada batas asupan atas untuk vitamin A dari beta-karoten.

Anak-anak usia enam bulan yang ibunya mendapatkan kapsul vitamin A setelah

melahirkan, menunjukkan bahwa terdapat penurunan jumlah kasus demam pada anak-anak

tersebut dan waktu kesembuhan yang lebih cepat saat mereka terkena ISPA.17,19

10

Ibu hamil dan menyusui seperti halnya juga anak-anak, berisiko mengalami KVA karena

pada masa tersebut ibu membutuhkan vitamin A yang tinggi untuk pertumbuhan janin dan

produksi ASI.17,19

Upaya meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber vitamin A melalui proses

Komunikasi Informasi Edukasi (KIE) merupakan upaya yang paling aman. Namun disadari

bahwa penyuluhan tidak akan segera memberikan dampak nyata. Selain itu kegiatan konsumsi

kapsul vitamin A masih bersifat rintisan. Oleh sebab itu penanggulangan KVA saat ini masih

bertumpu pada pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi.9,11

a. Bayi umur 6-11 bulan, baik sehat maupuan tidak sehat, dengan dosis 100.000 SI (warna

biru). Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak pada bulan Februari dan Agustus.

b. Anak balita umur 1-5 tahun, baik sehat maupun tidak sehat, dengan dosis 200.000 SI (warna

merah). Satu kapsul diberikan satu kali secara serentak pada bulan Februari dan Agustus.

c. Ibu nifas, paling lambat 30 hari setelah melahirkan, diberikan satu kapsul vitamin A dosis

200.000 SI (warna merah), dengan tujuan agar bayi memperoleh vitamin A yang cukup

melalui ASI.

2.1.3.6 Makanan yang Mengandung Vitamin A

Makanan yang mengandung vitamin A dari hewan biasanya disebut dengan retinol. Ada

banyak jenis daging atau produk olahan dari hewan yang mengandung vitamin A. Vitamin A

dari buah dan sayur dikenal dengan sebuatan karotenoid, ada banyak sayuran dan buah buahan

yang mengandung vitamin A.20

Tabel 2.2. Daftar bahan makanan yang mengandung vitamin A20

No Nama Makanan Retinol β−¿Karoten Karoten Total

1 Nasi 0 0 0

2 Jagung Kuning 0 0 225

3 Nasi Ketan Putih 0 0 0

4 Nasi Tim 0 0 0

5 Bihun 0 0 0

6 Biskuit 0 0 0

No Nama Makanan Retinol β−¿Karoten Karoten Total

11

7 Mi 0 0 0

8 Mi Ayam 39,4 0 166

9 Tepung Terigu 0 0 0

10 Bakwan 0 0 0

11 Lapis Legit 41 0 1032

12 Martabak 0 0 0

13 Nasi Rames 96 0 3140

14 Roti Putih 0 0 0

15 Spaghetti 42 0 940

16 Kentang 0 0 0

17 Singkong 0 0 0

18 Ubi 0 0 4427

19 Keripik Kentang 0 15 0

20 Keripik Singkong 0 0 0

21 Kerupuk MiKuning 0 0 333

22 Kerupuk Udang 0 0 0

23 Kacang Hijau 0 0 120

24 Kacang Kedelai 0 0 31

25 Kacang Tanah 0 0 0

26 Kelapa 0 0 0

27 Emping 0 0 0

28 Tahu 0 0 0

29 Tempe 0 0 0

30 Bayam 0 0 2293

31 Caisim 0 0 4188

32 Kacang Panjang 0 125,2 0

33 Daun Sawi 0 0 6460

34 Daun Singkong 0 0 7052

35 Jamur 0 0 0

36 Kangkung 0 0 5542

No Nama Makanan Retinol β−¿Karoten Karoten Total

37 Timun 0 0 314

12

38 Labu 0 0 70

39 Nangka Muda 0 0 25

40 Tauge 0 0 20

41 Terong 0 0 30

42 Tomat 0 0 600

43 Wortel 0 0 7125

44 Capcai 44,5 0 1640

45 Gado – Gado 3 0 5929

46 Ketoprak 3 0 435

47 Sayur Asem 14 0 2075

48 Semur Jengkol 0 0 81

49 Alpukat 0 0 180

50 Apel 0 0 90

51 Belimbing 0 0 170

52 Dukuh 0 0 0

53 Durian 0 0 175

54 Jeruk 0 0 190

55 Jambu 0 0 0

56 Kedondong 0 0 0

57 Lemon 0 0 0

58 Mangga 0 316 0

59 Nanas 0 0 90

60 Pisang 0 0 79

61 Pepaya 0 0 365

62 Salak 0 0 0

63 Ayam 245 0 0

64 Bebek 273 0 0

65 Daging Kambing 0 0 0

66 Daging Sapi 9 0 0

No Nama Makanan Retinol β−¿Karoten Karoten Total

67 Ayam Kentucky 36 0 50

68 Babi 0 0 0

13

69 Beef Burger 218 0 7540

70 Usus Ayam 0 0 0

71 Cumi – Cumi 0 0 0

72 Ikan 45 0 0

73 Pempek Tenggiri 0 0 0

74 Telur Ayam 203 0 125

75 Susu Sapi 39 0 0

76 Usus Sapi 518 0 0

77 Keju 227 0 0

78 Es Krim 158 0 0

79 Coklat 0 0 30

80 Yoghurt 22 0 0

81 Margarine 606 0 0

82 Mentega 1000 0 0

83 Minyak ikan 24242 0 0

84 Minyak kacang tanah 0 0 0

85 Minyak kelapa 0 0 0

86 Minyak kelapa sawit 0 18181 0

87 Minyak wijen 0 0 0

88 Minyak zaitun 0 0 0

89 Kopi 0 0 0

90 Markisa squash 0 23 75

91 Sirup 0 0 0

92 Teh hijau / Teh melati 0 8400 0

93 Bawang merah / putih 0 0 0

94 Cabai hijau 0 0 260

95 Cabai merah 0 0 470

96 Cabai rawit 0 0 11050

No Nama Makanan Retinol β−¿Karoten Karoten Total

97 Kecap 0 0 0

98 Saos tomat 0 0 570

99 Daun bawang 0 218,4 0

14

100 Kecap 0 0 0

101 Telur puyuh 95 80 0

102 Ikan teri 13 0 28

103 Hati 13303 0 0

104 Sosis daging 0 0 0

105 Udang 18 0 0

Pada tahun 1988, menurut WHO/FAO, sejumlah provitamin A dalam diet memiliki

aktivitas vitamin A yang sama dengan 1 mcg retinol adalah 6 mcg ß-karoten atau 12 mcg

provitamin A karotenoid lainnya. Efisiensi konversi ini disebut sebagai bioefficacy. Sehingga

2 mcg ß-karoten dalam minyak atau 12 mcg ß-karoten dalam makanan memiliki aktifitas vitamin

A yang sama dengan 1 mcg retinol. US Institute of Medicine (IOM) dengan faktor konversi baru,

mengusulkan agar 12 mg ß-karoten dalam diet memiliki aktifitas vitamin A yang sama sebagai

1 mcg retinol. Namun dengan menggunakan tingkat konversi baru IOM, populasi di negara-

negara berkembang tidak bisa mencapai kecukupan. Beberapa studi di Indonesia dan Vietnam

menemukan bahwa sebanyak 21 mcg ß-karoten dalam diet campuran (dengan rasio

sayuran untuk buah 4:1) aktivitas vitamin A yang sama sebagai 1 mcg retinol. Oleh karena itu,

mengendalikan kekurangan vitamin A di negara-negara berkembang tidak hanya membutuhkan

sebuah suplemen vitamin tetapi juga pendekatan berbasis pangan, termasuk fortifikasi makanan

dan pengenalan strain tanaman baru dengan peningkatan aktifitas vitamin A.13,17

2.1.3.7 Penatalaksanaan

Tanda-tanda khas pada mata karena kekurangan vitamin A dimulai dari rabun senja (XN)

dimana penglihatan penderita akan menurun pada senja hari bahkan tidak dapat melihat di

lingkungan yang kurang cahaya. Pada tahap ini penglihatan akan membaik dalam waktu 2-4 hari

dengan pemberian kapsul vitamin A yang benar. Bila dibiarkan dapat berkembang menjadi

xerosis konjungtiva (X1A). Selaput lendir atau bagian putih bola mata tampak kering, berkeriput,

dan berubah warna menjadi kecoklatan dengan permukaan terlihat kasar dan kusam. Xerosis

konjungtiva akan membaik dalam 2-3 hari dan kelainan pada mata akan menghilang dalam

waktu 2 minggu dengan pemberian kapsul vitamin A yang benar. Bila tidak ditangani akan

tampak bercak putih seperti busa sabun atau keju yang disebut bercak Bitot (X1B) terutama di

15

daerah celah mata sisi luar. Pada keadaan berat akan tampak kekeringan pada seluruh permukaan

konjungtiva atau bagian putih mata, serta konjungtiva tampak menebal, berlipat-lipat dan

berkerut-kerut. Bila tidak segera diberi vitamin A, dapat terjadi kebutaan dalam waktu yang

sangat cepat. Tetapi dengan pemberian kapsul vitamin A yang benar dan dengan pengobatan

yang benar bercak bitot akan membaik dalam 2-3 hari dan kelainan pada mata akan menghilang

dalam 2 minggu.9,17

Tahap selanjutnya bila tidak ditangani akan terjadi xerosis kornea (X2) dimana

kekeringan akan berlanjut sampai kornea atau bagian hitam mata. Kornea tampak suram dan

kering dan permukaannya tampak kasar. Keadaan umum anak biasanya buruk dan mengalami

gizi buruk, menderita penyakit campak, ISPA, diare. Pemberian kapsul vitamin A dan

pengobatan akan menyebabkan keadaan kornea membaik setelah 2-5 hari dan kelainan mata

sembuh setelah 2-3 minggu. Bila tahap ini berlanjut terus dan tidak segera diobati akan terjadi

keratomalasia (X3A) atau kornea melunak seperti bubur dan ulserasi kornea (X3B) atau

perlukaan. Selain itu keadaan umum penderita sangat buruk. Pada tahap ini kornea dapat pecah.

Kebutaan yang terjadi bila sudah mencapai tahap ini tidak bisa disembuhkan. Selanjutnya akan

terjadi jaringan parut pada kornea yang disebut xeropthalmia scars (XS) sehingga kornea mata

tampak menjadi putih atau bola mata tampak mengempis.9,17

2.1.2 Penurunan Ketajaman Penglihatan

2.1.2.1 Kelainan Refraksi

Kelainan refraksi mata atau refraksi anomali adalah keadaan dimana bayangan tegas

tidak dibentuk pada retina tetapi di bagian depan atau belakang bintik kuning dan tidak terletak

pada satu titik yang tajam. Sinar tidak dibiaskan tepat pada retina, tetapi dapat di depan atau di

belakang retina dan tidak terletak pada satu titik fokus. Kelainan refraksi dapat diakibatkan

terjadinya kelainan kelengkungan kornea dan lensa, perubahan indeks bias, dan kelainan panjang

sumbu bola mata. Ametropia adalah suatu keadaan mata dengan kelainan refraksi sehingga pada

mata yang dalam keadaan istirahat memberikan fokus yang tidak terletak pada retina. Ametropia

dapat ditemukan dalam bentuk kelainan miopia (rabun jauh), hipermetropia (rabun dekat), dan

astigmat. Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas

kornea, cairan mata, lensa, benda kaca dan panjangnya bola mata.21

16

2.1.2.2 Pemeriksaan Visus

Pemeriksaan tajam penglihatan merupakan pemeriksaan fungsi mata. Gangguan

penglihatan memerlukan pemeriksaan untuk mengetahui sebab kelainan mata yang

mengakibatkan turunnya tajam penglihatan. Tajam penglihatan perlu dicatat pada setiap mata

yang memberikan keluhan mata. Untuk mengetahui tajam penglihatan seseorang dapat dilakukan

dengan kartu Snellen dan bila penglihatan kurang maka tajam penglihatan diukur dengan

menentukan kemampuan melihat jumlah jari (hitung jari), ataupun proyeksi sinar. Untuk

besarnya kemampuan mata membedakan bentuk dan rincian benda ditentukan dengan

kemampuan melihat benda terkecil yang masih dapat dilihat pada jarak tertentu.22

Biasanya pemeriksaan tajam penglihatan ditentukan dengan melihat kemampuan

membaca huruf-huruf berbagai ukuran pada jarak baku untuk kartu. Pasiennya dinyatakan

dengan angka pecahan seperti 20/20 untuk penglihatan normal. Pada keadaan ini, mata dapat

melihat huruf pada jarak 20 kaki yang seharusnya dapat dilihat pada jarak tersebut. Tajam

penglihatan normal rata-rata bervariasi antara 6/4 hingga 6/6 (atau 20/15 atau 20/20 kaki). Tajam

penglihatan maksimum berada di daerah fovea, sedangkan beberapa faktor seperti penerangan

umum, kontras, berbagai uji warna, waktu papar dan kelainan refraksi mata dapat merubah tajam

penglihatan mata.22

Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pada mata tanpa atau dengan kacamata. Setiap

mata diperiksa terpisah. Biasakan memeriksa tajam penglihatan kanan terlebih dahulu kemudian

kiri lalu mencatatnya. Dengan gambar kartu Snellen ditentukan tajam penglihatan dimana mata

hanya dapat membedakan dua titik tersebut membentuk sudut satu menit. Satu huruf hanya dapat

dilihat bila seluruh huruf membentuk sudut lima menit dan setiap bagian dipisahkan dengan

sudut satu menit. Makin jauh huruf harus terlihat, maka makin besar huruf tersebut harus dibuat

karena sudut yang dibentuk harus tetap lima menit.22

Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya dilakukan pada jarak lima atau enam meter.

Pada jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan beristirahat atau tanpa akomodasi. Pada

pemeriksaan tajam penglihatan dipakai kartu baku atau standar, misalnya kartu baca Snellen

yang setiap hurufnya membentuk sudut lima menit pada jarak tertentu sehingga huruf pada baris

tanda 60, berarti huruf tersebut membentuk sudut lima menit pada jarak 60 meter; dan pada baris

tanda 30, berarti huruf tersebut membentuk sudut lima menit pada jarak 30 meter. Huruf pada

17

baris tanda 6 adalah huruf yang membentuk sudut lima menit pada jarak enam meter, sehingga

huruf ini pada orang normal akan dapat dilihat dengan jelas.22

Dengan kartu Snellen standar ini dapat ditentukan tajam penglihatan atau kemampuan

melihat seseorang, seperti:22

- Bila tajam penglihatan 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada jarak enam meter,

yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak enam meter.

- Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan angka 30, berarti

tajam penglihatan pasien adalah 6/30.

- Bila pasien hanya dapat membaca huruf pada baris yang menunjukkan angka 50, berarti

tajam penglihatan pasien adalah 6/50.

- Bila tajam penglihatan adalah 6/60 berarti ia hanya dapat terlihat pada jarak enam meter

yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter.

- Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen maka dilakukan uji

hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal pada jarak 60 meter.

- Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang diperlihatkan pada jarak

tiga meter, maka dinyatakan tajam 3/60. Dengan pengujian ini tajam penglihatan hanya

dapat dinilai dampai 1/60, yang berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter.

- Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan tajam penglihatan pasien yang lebih

buruk daripada 1/60 sedangkan pada orang normal dapat melihat.

2.1.2.3 Faktor – faktor Lain yang Mempengaruhi Ketajaman Penglihatan

Penurunan ketajaman penglihatan dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti usia,

kesehatan mata dan tubuh dan latar belakang pasien. Ketajaman penglihatan cenderung menurun

sesuai dengan meningkatnya usia seseorang. Jenis kelamin bukan merupakan suatu faktor yang

mempengaruhi ketajaman penglihatan seseorang.23 Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Siregar et al mengenai perbedaan karakteristik jenis kelamin terhadap kelainan refraksi pada

siswa/i di SD dan SMP RK Budi Mulia Pematang Siantar didapatkan sebanyak 73 siswa dari 95

siswa yang mengalami kelainan refraksi dan yang lebih mendominasi adalah pada jenis kelamin

perempuan (58,9%). Namun hasil analisis data menunjukkan tidak ada perbedaan yang

signifikan mengenai perbedaan jenis kelamin tersebut.24 Dari penelitian yang dilakukan di

Sumatra, Indonesia, didapat bahwa penyebab tertinggi terjadinya low vision atau visual

18

impairment adalah katarak, kelainan refraksi yang tidak dikoreksi, amblyopia, Age-related

Macular Degeneration, Macular Hole, Optic Atrophy dan trauma.25 Kelainan refraksi merupakan

suatu kelainan mata yang herediter.26 Beberapa faktor yang menyebabkan kelainan refraksi:

2.1.2.3.1 Genetika (Herediter)

Penelitian genetika menunjukkan bahwa miopia ringan dan sedang biasanya bersifat

poligenik, sedangkan miopia berat bersifat monogenik. Penelitian pada pasangan kembar

monozigot menunjukkan bahwa jika salah satu dari pasangan kembar ini menderita miopia,

terdapat risiko sebesar 74% pada pasangannya untuk menderita miopia juga dengan perbedaan

kekuatan lensa di bawah 0,5 D. Salah satu faktor yang dapat berhubungan dengan ketajaman

penglihatan adalah faktor genetika orangtua dan menggunakan kacamata. Suatu penelitian oleh

Lely et all di sekolah dasar katolik santa Theresia 2 manado didapatkan sebanyak 39 dari 70

siswa (48,8%) yang menunjukkan penurunan visus memiliki orangtua yang menggunakan

kacamata. Menurut penelitian Abimanyu JK pada tahun 2010 pada anak sekolah dasar di

kabupaten Tanggamus didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara genetika dengan

adanya kejadian penurunan ketajaman penglihatan (p < 0,05) pada siswa – siswi tersebut.7,27

2.1.2.3.2 Jarak Menonton

Selain genetika yang menyebabkan panjangnya sumbu bola mata, faktor kebiasaan juga

mempengaruhi hal tersebut. Salah satunya adalah kebiasaan membaca dekat, menonton yang

terlalu dekat, dan kurangnya pencahayaan dalam jangka waktu yang lama dan sering. Beberapa

dugaan teori mengatakan bahwa seringnya membaca ataupun menonton yang dekat dapat

memaksa mata menggunakan ototnya secara berlebih untuk membuat mata konvergen, sehingga

otot mata lama kelamaan akan hipertrofi dan membuat aksis bola mata menjadi cenderung

panjang. Sedangkan lamanya akomodasi akan memaksa otot siliaris berkontraksi untuk

mencembungkan lensa mata. Bila hal ini terus menerus terjadi dalam jangka waktu yang lama,

seiring terjadinya kekakuan lensa karena degeneratif, maka lensa akan menjadi lebih cembung

dan pembiasaan yang terjadi lebih kuat untuk seterusnya.28,29

Selain itu, radiasi sinar biru dari televisi juga mempengaruhi kesehatan mata melalui

retina. Pancaran sinar dari layar televisi merupakan salah satu sumber sinar biru, selain pancaran

19

sinar matahari, lampu neon, dan komputer. Sinar yang memiliki panjang gelombang cahaya 400-

500 nm pada spektrum sinar yang masih dapat diterima mata bisa menyebabkan kerusakan dan

menimbulkan luka fotokimia pada retina mata anak. Menurut Sitorus RS, jika hal ini terus

berkelanjutan bisa menyebabkan makula degeneratif yang terjadi pada anak saat dewasa. Dalam

jangka waktu pendek, dampak sinar biru dapat mengganggu kerja retina sehingga menghambat

proses pembelajaran melalui mata.28

Sinar biru merupakan sinar proses pembelajaran melalui mata yang bersifat paling

merusak dan dapat mencapai retina. Bayi dilahirkan dengan lensa yang relatif jernih atau bening

yang secara bertahap dan alami berubah menjadi kuning sejalan dengan usia. Risiko terbesar

kerusakan akibat sinar biru yaitu sekitar 70- 80 persen sinar biru dapat mencapai retina pada usia

0-2 tahun dan 60-70 persen pada usia 2 hingga 10 tahun. Adapun sinar biru yang mencapai retina

pada usia 60 hingga 90 tahun hanya mencapai 20 persen.28

Orang tua biasanya hanya menghimbau anak – anak untuk tidak menonton TV dekat-

dekat tanpa menjelaskan secara detil sedekat atau sejauh apa anak seharusnya menonton TV.

Hasil penelitian Abimanyu JK (2010) pada anak sekolah dasar di kabupaten Tanggamus

memperkuat perkiraan teori ini, dimana hasilnya adalah jarak menonton mempunyai OR 3,333

(CI 95%: 1,944 – 5,713) dan p < 0,05.30

Ternyata untuk menghitung jarak aman menonton TV, ada rumus yang berlaku secara

internasional untuk menghitung jarak aman menontonnya agar tidak berefek buruk terhadap

mata.30

Ukuran layar televisi adalah jarak diagonal layar dari ujung layar kiri atas ke ujung layar

kanan bawah. Berikut ini jarak aman menonton TV berdasarkan rumus tersebut dan hanya

terpaut dari ukuran layar televisi yang popular di Indonesia: 14 inchi = 1,78 meter (1 inchi adalah

0,0254 meter).30

17 inchi = 0,4318 meter

20 inchi = 0,508 meter

21 inchi = 0,5334 meter

29 inchi = 0,7366 meter

20

Rumus jarak aman nonton TV = Ukuran layar televisi (inchi) x 5

32 inchi = 0,8128 meter

50 inchi = 1,27 meter

2.1.2.3.3 Lama Melihat Layar, Intensitas Cahaya dan Pencahayaan

Penerangan ruang kerja yang kurang dapat mengakibatkan kelelahan mata, akan tetapi

penerangan yang terlalu kuat dapat menyebabkan kesilauan. Menurut Grandjen menyatakan

bahwa penerangan yang didesain tidak baik akan menimbulkan gangguan atau kelelahan

penglihatan selama kerja.31 Berdasarkan hasil penelitian oleh Lely et al mengenai faktor-faktor

yang berhubungan dengan ketajaman penglihatan pada pelajar SD Katolik Santa Theresia 2 di

Manado didapatkan faktor screen time (>2 jam/hari) menunjukkan persentasi sebanyak 80%.

Faktor posisi membaca menunjukkan persentase 65,7% yaitu posisi duduk tidak tegak. Faktor

jarak membaca menunjukkan persentase 72,9% yaitu jarak membaca <30 cm.27

Pengaruh dari penerangan yang kurang memenuhi syarat akan mengakibatkan:27

a. Kelelahan mata sehingga berkurangnya daya dan efisiensi kerja.

b. Kelelahan mental.

c. Keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala disekitar mata,

d. Kerusakan indra mata.

Selanjutnya pengaruh kelelahan pada mata tersebut akan bermuara kepada penurunan

performance kerja, termasuk:27

a. Kehilangan produktifitas

b. Kualitas kerjanya rendah

c. Banyak terjadi kesalahan

d. Kecelakaan kerja meningkat

Meskipun sudah banyak manfaat yang dapat diperoleh dari pemakaian komputer, namun

belum banyak yang menyadari banyak pemakaian komputer dalam waktu lama dan terus

menerus serta dengan jumlah penerangan yang kurang.32

Penggunaan komputer dengan kondisi penerangan yang kurang dan dalam waktu lama

beresiko terkena mata lelah atau astenopia. Data organisasi kesehatan sedunia (WHO)

menunjukkan angka kejadian berkisar 40-90%. Astenopia adalah gejala yang diakibatkan oleh

21

upaya berlebihan dari sistem penglihatan yang berada dalma kondisi kurang sempurna untuk

memperoleh ketajaman penglihatan. Penglihatan terasa buram, ganda, kemampuan melihat

warna menurun. Gejala diikuti sakit kepala, bahu, punggung dan pinggang vertigo serta

kembung.32

Menurut Jeffery Anshell, optometris di California yang dikutip oleh Iis Faizah Hanum,

menyatakan karakteristik layar/monitor komputer (VDT) dan kebutuhan bekerja dengan

menggunakan komputer, dapat memicu timbulnya masalah mata dan penglihatan. Apabila kedua

mata fokus pada satu titik dalam jangka waktu lama, lensa mata akan mengalami stuck at the

focal point yang akan menimbulkan keluhan kelelahan mata.32

Berbagai gejala yang timbul pada pekerja komputer yang bekerja dengan penerangan

yang kurang selain diakibatkan karena sedikit cahaya yang masuk ke bola mata, juga karena

mata seorang pekerja komputer berkedip lebih sedikit dibandingkan normal. Berkurangnya

kedipan, menyebabkan mata menjadi kering dan terasa terbakar.32

Computer Vision syndrom (CVS) dapat diakibatkan karena berkurangnya aliran air mata

atau disebabkan oleh terlalu besarnya refleksi maupun silau monitor. Saat kita menatap

komputer, maka kedipan mata berkurang sebesar 2/3 kali dibandingkan kondisi normal, yang

mengakibatkan mata menjadi kering, teriritasi, tegang, dan lelah. Jarak melihat layar komputer

yang ideal adalah sekitar 50-100 cm. Penerangan lingkungan dan penerangan dari komputer

yang tidak tepat juga akan mengakibatkan ketegangan dan kelelahan pada mata. CVS dapat

muncul dengan segera setelah pemakaian komputer dalam jangka waktu dalam atau lebih dari 4

jam, namun ada yang muncul setelah beberapa hari kemudian.32

Kelelahan mata dapat menjadi jika mata berfokus pada objek berjarak dekat dalam waktu

yang lama, karena otot-otot mata harus bekerja lebih keras untuk melihat objek berjarak sangat

dekat, terutama jika disertai dengan penerangan yang terlalu redup atau terlalu menyilaukan. Jika

seseorang bekerja melihat objek bercahaya diatas dasar berwarna pada jarak dekat terus-menerus

dalam jangka waktu tertentu, maka harus berakomodasi dalam jangka waktu yang panjang.

Kelelahan mata dapat menyebabkan daya akomodasi mata menurun. Lama melihat layar yang

ideal adalah maksimal selama 30 menit kemudian diselingi dengan mengistirahatkan mata dari

menatap layar.32

22

Sinar biru pada layar berperan dalam kerusakan retina yang mengakibatkan penurunan

ketajaman penglihatan. Maka bila seseorang menatap terlalu lama terhadap layar komputer,

televisi, ataupun sejenisnya dapat merusak mata.32

Pada saat membaca sebaiknya dilakukan di tempat yang terang dan gunakan

lampu dengan cahaya yang berwarna putih.34 Menurut penelitian yang dilakukan Seema S

et al terhadap anak SD di Rural Haryana, terdapat 24 dari 109 siswa yang mengalami penurunan

ketajaman penglihatan (22%). Penurunan ketajaman penglihatan memiliki hubungan yang

bermakna dengan menonton TV dalam keadaan pencahayaan yang gelap (p<0,01). Dr. Anand

Shroff dalam satu artikelnya berpendapat bahwa menonton TV dalam ruangan dengan

pencahayaan yang cukup, atau bahkan pencahayaan ringan akan lebih baik untuk penglihatan

mata.1

Jumlah sumber cahaya yang tersedia juga mempengaruhi kepekaan mata terhadap warna

tertentu. Tingkat luminansi yang diukur dengan luxmeter juga akan mempengaruhi kemampuan

mata melihat objek gambar dan pada usia tua diperlukan intensitas penerangan lebih besar untuk

melihat objek gambar. Semakin besar luminansi dari sebuah objek, rincian objek yang dapat

dilihat oleh mata juga akan semakin bertambah. Iluminasi atau intensitas penerangan adalah flux

cahaya yang jatuh pada suatu bidang atau permukaan, sehingga suatu intensitas penerangan

adalah lumen/m2 atau lux (lx).1

2.1.2.3.4 Jarak Membaca

Saat ini sangat kurang perhatian mengenai gangguan penglihatan khususnya pada anak

sekolah, padahal lingkungan belajar yang tidak baik menjadi salah satu pemicu terjadinya

penurunan ketajaman penglihatan pada anak, seperti membaca tulisan di papan tulis dengan jarak

yang terlalu jauh tanpa didukung oleh pencahayaan kelas yang memadai, anak membaca buku

dengan jarak yang terlalu dekat, dan sarana prasarana sekolah yang tidak ergonomis saat proses

belajar mengajar.27

Faktor lingkungan yang paling banyak berperan pada miopia adalah adanya aktivitas

pekerjaan dekat yang terus menerus. Penelitian yang dilakukan oleh Saw dkk dalam Fachrian

dkk, menggambarkan hubungan antara nearwork atau aktivitas melihat dekat dengan miopia

pada anak di singapura. Nearwork merupakan pengaruh lingkungan yang kuat terhadap

perkembangan pertambahan miopia. Seiring kemajuan teknologi dan telekomunikasi seperti

23

televise, komputer, video game, dan lain-lain secara langsung maupun tidak langsung akan

meningkatkan aktivitas melihat dekat terutama pada anak-anak di daerah perkotaan. Jarak

membaca yang dianjurkan ideal adalah 30 cm, karena jarak antara cahaya yang masuk pada

permukaan kornea ke retina sekitar 33 mm. Dengan sudut 40-70 derajat dari permukaan meja.27

Pengujian statistik mencari hubungan antara jarak membaca dengan ketajaman

penglihatan menunjukkan nilai p=0,011 (p<0,05) sehingga ada hubungan antara jarak membaca

dengan ketajaman penglihatan pada pelajar Sekolah Dasar Katolik 02 Kota Manado yang

didukung oleh penelitian dari Wati (2008) yang menunjukkan nilai p=0,000 (p<0,05) sehingga

ada hubungan yang bermakna antara jarak membaca dengan ketajaman penglihatan. Hal ini

disebabkan karena jarak membaca yang dilakukan siswa-siswi Sekolah Dasar Katolik Santa

Theresia 02 Kota Manado terlalu dekat dan didukung oleh proses pembelajaran yang terlalu

dipaksakan sehingga ketajaman penglihatan siswa-siswi menjadi tidak normal.27

2.1.2.3.5 Lama Membaca

Sebaiknya tidak membaca selama 1 jam secara terus menerus. Selingi dengan istirahat

berupa melemparkan pandangan ke arah yang jauh, atau memejamkan mata sehingga otot mata

rileks. Saat beristirahat setelah membaca, disarankan mengalihkan penglihatan ke objek alami

yang hijau atau biru seperti tanaman atau langit. Ini akan mengembalikan fungsi warna pada

mata menjadi normal kembali setelah menatap bacaan.1 Penelitian Fachrian D et al pada pelajar

SD “X” di Jatinegara Jakarta Timur menemukan bahwa 55,7% responden dengan penurunan

ketajaman penglihatan memiliki aktivitas melihat dekat dan lama dengan peningkatan risiko

kelainan tajam penglihatan sebesar empat kali lipat (OR 3,0; 95% CI 1,2 – 7,4).8

2.1.2.3.6 Posisi Tubuh Saat Membaca

Posisi membaca sambil berbaring memang menyenangkan dan sedikit lebih rileks,

namun posisi ini sangat tidak baik meskipun terasa nyaman dan santai. namun apalah gunanya

serasa santai namun efek yang di tibulkan sangat besar terhadap kesehatan mata kita salah satu

resikonya mata akan menjadi minus atau slinder. sebenarnya hal besar yang membuat mata kita

menjadi beresiko minus atau slinder bukanlah pada posisi tidurnya tetapi melainkan arah

lampunya atau cahaya lampunya yang tidak merata diterima oleh retina mata kita.1

24

Untuk menghindari akan efek negatif yang di timbulkan oleh posisi berbaring saat

membaca, sebaiknya kita perlu mengetahui bagaimana posisi membaca yang baik. Ada beberapa

hal yang harus diperhatikan saat membaca, yaitu sebaiknya duduklah pada saat membaca. Bahan

bacaan berada 60 derajat dari posisi horizontal dan posisi mata pada saat membaca mata melihat

lurus kebawah (bukan lurus kedepan) dengan jarak yang ideal 15-25 cm, namun jarak ini

bukanlah patokan buat kita, carilah jarak yang menurut Anda yang enak dan tidak menyebabkan

kelelahan pada mata anda namun jaraknya tidak kurang dari jarak ideal.1 Menurut penelitian

Abimanyu JK (2010) pada anak sekolah dasar di Kabupaten Tanggamus, ditemukan persentase

65, 7 % anak – anak membaca dengan posisi duduk tidak tegak (p=0,114).

2.1.2.3.7 Suplemen Vitamin A

Vitamin A pada suplemen dalam bentuk utuh karotenoid, dengan 40-60% karotenoid

akan diserap langsung oleh saluran pencernaan. Penggunaan suplemen vitamin A berperan

sebagai antioksidan dan meningkatkan imun tubuh, mencegah pilek, influenza dan infeksi.

Vitamin A dalam dosis besar juga bisa menjadi racun, namun peristiwa ini jarang terjadi karena

beta karoten diubah menajdi vitamin A di hati dan tidak bisa menjadi overdosis.28 Menurut

penelitian yang dilakukan Ossa pada pengemudi bus malam, terdapat perbedaan yang bermakna

antara ketajaman penglihatan sebelum dan sesudah pemberian suplemen vitamin A (p = 0,011).

2.1.2.3.8 Status Gizi

Anak sekolah merupakan sumber daya manusia (SDM) di masa depan sebagai generasi

penerus bangsa yang potensinya dan kualitasnya masih perlu ditingkatkan. Untuk

mempersiapkan SDM yang tangguh, sehat dan produktif perlu perhatian sedini mungkin. Untuk

mewujudkan harapan seperti itu masih banyak kendala yang harus diatasi. Beberapa hasil

penelitian mengungkapkan sebagian anak sekolah masih mengalami berbagai gangguan gizi.

Hasil RISKESDAS gizi anak sekolah (6-I4 tahun) secara nasional dengan kategori kurus dan

sangat kurus menurut indeks IMT menurut umur pada laki-laki sebesar 13,3% dan perempuan

10,9%. Data Riskesdas (2010) Jawa Tengah menunjukkan status gizi remaja umur 16-18 tahun

menurut kategori TB/U yang memiliki tubuh pendek sebesar 23,9 % dan yang memiliki status

gizi normal sebesar 70,3%. Status gizi remaja Jawa Tengah yang dihitung dengan rumus IMT

25

didapatkan remaja yang memiliki tubuh kurus sebesar 6,7%, normal 91,0% dan gemuk 0,7%.

Status gizi berdasarkan indeks IMT rnenurut umur menggambarkan kekurangan gizi pada saat

ini. Gangguan gizi selain makro (energi dan protein), dapat juga disebabkan kurang zat gizi

mikro (zat besi,vitamin A dan seng)atau kombinasi dari ketiganya. Saat ini status gizi secara

antropometri lebih dikaitkan dengan asupan zat gizi makro (karbohidrat, kalori, protein dan

lemak). Padahal peranan zat gizi makro tidak akan optimal tanpa kehadiran zat gizi mikro. Rata-

rata konsumsi orang dewasa yang dianjurkan sebesar 2100 kalori per hari merupakan patokan

global dengan asumsi di dalamnya tersedia zat gizi mikro yang memadai. Pada kenyataannya

masih ditemukan kekurangan zat gizi mikro seperti zat besi dan vitamin A di masyarakat.

Berdasarkan survey pendahuluan dilakukan peneliti pada 13 Januari 2014 di SMP

Muhammadiyah 1 Kartasura memiliki status gizi siswa-siswi SMP Muhammadiyah 1 Kartasura

50% status gizi kurang dan 18,7% status gizi overweight.35 Data Riskesdas (2010), secara umum

persentase anak remaja di Indonesia yang memiliki tubuh pendek hampir mencapai 30%, anak

yang kurus mencapai 8,9% dan anak yang kegemukan mencapai 1,4%.28

Ada cara sederhana untuk mengecek apakah status gizi sudah cukup baik atau belum,

yaitu dengan menggunakan metode Body Mass Index (BMI).34

BMI=berat badan(dalam kg)

kuadrat tinggi badan(dalam m)

Indeks massa tubuh (IMT) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi

orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan atau kelebihan berat badan.

2.1.2.3.9 Status Ekonomi

Pilihan seseorang terhadap jenis dan kualitas makanan turut dipengaruhi oleh ekonomi,

salah satunya pekerjaan. Pekerjaan disini memang tidak secara langsung mempengaruhi status

gizi, tetapi pekerjaan ini dihubungkan dengan pendapatan dalam keluarga yang pada akhirnya

akan mempengaruhi perubahan gaya hidup, dalam hal ini terutama perubahan pada komsumsi

yang menentukan status gizi anak. Sebagai contoh, orang kelas menengah ke bawah atau orang

miskin di desa tidak sanggup membeli makanan yang bergizi tinggi terus menerus. Misalnya,

keluarga yang tidak mampu membeli daging setiap hari untuk anak – anaknya, dan yang dapat

26

diberikan setiap hari hanyalah nasi dengan lauk pauk yang sedikit seperti ikan asin, maka asupan

gizinya mungkin tidak mencukup kebutuhan sehari – harinya. Pendapatan akan membatasi

seseorang untuk mengkonsumsi makanan yang mahal harganya.34,35

2.1.3 Pengetahuan, Sikap dan Perilaku terhadap Pola Makan yang Mengandung Vitamin

A

Definisi pengetahuan secara luas yaitu hasil penginderaan seseorang melalui penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa, dan raba tehadap suatu objek tertentu. Selain itu, pengetahuan

dapat diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan bertahan lebih lama dibanding tidak didasari dengan pengetahuan.36

Tentunya sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Notoatdmodjo di atas maka

semakin baik pengetahuan gizi anak maka diharapkan akan semakin baik pula perilaku makan

yang dimiliki oleh anak tersebut. Anak yang memiliki pengetahuan yang baik maka akan

memiliki kesadaran tinggi untuk selalu memilih makanan yang mengandung banyak vitamin.

Bukan hanya didasari oleh tradisi keluarga, tetapi lebih dari itu mereka memang benar-benar

mengetahui dan memahami manfaat vitamin bagi tubuh mereka. Oleh karena itu, hal ini

mencerminkan bahwa sangat penting memberikan pengetahuan gizi pada anak-anak sejak dini.37

Husaini (1995) mengemukakanbahwa kurang pengetahuan tentang gizi, masa bodoh dan

curiga terhadap makanan tertentu dapat menimbulkan kurang gizi walaupun bahan makanan

cukup tersedia. Berbeda bila ia mempunyai pengetahuan yang cukup, maka seseorang dapat

berubah sikap dan perilakunya.38

Sikap menurut Sunaryo (2004) adalah kecenderungan bertindak dari individu, berupa

respon tertutup terhadap stimulus ataupun objek tertentu. Jadi, sikap merupakan reaksi atau

respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek.Sikap belum

merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan suatu

perilaku. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek dilingkungan tertentu sebagai

suatu penghayatan terhadap objek.39

Sikap mengenai gizi terbentuk dari pengetahuan tentang gizi yang dimiliki. Pengetahuan

gizi yang baik otomatis akan membuat sikap seseorang terhadap gizi menjadi baik pula.

Kecenderungan anak yang memiliki pengetahuan gizi baik akan memilih untuk mengkonsumsi

makanan yang mengandung banyak gizi.

27

Pekerjaan orangtua

Pendapatankeluarga

Gaya hidup anak

Pola makan anak

Vitamin A

Sel Batang

RetinolHewaniDimetabolisme

Sel Kerucut

Rhodopsin Iodopsin

Perilaku anak

Sikap anak

Pengetahuan anak

Seorang ahli psikologi, Skinner (1983), merumuskan bahwa perilaku merupakan respon

atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Masa anak merupakan masa

ketika seseorang sudah mulai dapat belajar untuk mengembangkan pola-pola dan perilaku yang

telah dibentuk oleh orangtua. Demikian juga dengan perilaku makan. Demikian juga dengan

perilaku makan, pada masa anak usia sekolah, anak mulai mengembangkan perilaku makannya

sendiri karena adanya pengaruh dari luar rumah. Salah satu masalah yang sering terjadi pada

masa anak-anak dan berkaitan dengan perilaku makan adalah kekurangan gizi. Anak yang

dibiasakan oleh orangtua atau sangat senang makan makanan yang tidak bergizi dan tidak

banyak mengandung vitamin dapat menjadikan anak mengalami kekurangan gizi.40

2.2 Kerangka Teori

28

Pola makan yang mengandung vitamin A

Penurunan ketajaman penglihatan

Lama layar

Lama membaca Status gizi

Jenis Kelamin

2.3 Kerangka Konsep

29

Bab III

Metode Penelitian

30

3.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah studi observasional dengan rancangan analitik dan pendekatan

cross sectional mengenai hubungan antara pola makan yang mengandung vitamin A dengan

penurunan ketajaman penglihatan pada siswa/i SMPN 271 di wilayah kerja puskesmas Sukabumi

Selatan periode 24 - 31 Juli 2015.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 24 - 31 Juli 2015 di SMPN 271, Kelurahan

Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta.

3.3 Populasi

Populasi target adalah semua siswa/i SMPN 271 di Kelurahan Sukabumi Selatan,

Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta. Populasi terjangkau

adalah semua siswa/i SMPN 271 yang pada tanggal 24 - 31 Juli 2015 berada di sekolah di

kelurahan Sukabumi Selatan.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi

3.4.1 Kriteria inklusi

Semua siswa/i SMPN 271 yang pada tanggal 24 - 31 Juli 2015 berada di sekolah di

kelurahan Sukabumi Selatan.

3.4.2 Kriteria eksklusi

3.4.2.1 Semua siswa/i SMPN 271 yang pada tanggal 24 – 31 juli 2015 tidak hadir di tempat

penelitian dilakukan.

3.4.2.2 Semua siswa/i SMPN 271 yang mempunyai riwayat penyakit Glaukoma, Katarak,

Ablasio Retina, Diabetes Mellitus tipe 1, Penyakit hati, malabsorbsi lemak, fibrosis

kistik, penyakit Celiac (Sprue), Pancreatic Enzyme Deficiency, Inflammatory Bowel

Disease (IBD), kolestasis, dan telah menjalani operasi small bowel bypass.

3.4.2.3 Semua siswa/i SMPN 271 yang tidak bersedia dan tidak dapat mengikuti penelitian.

31

3.5 Besar Sampel

Melalui rumus dibawah ini, didapatkan besar sampel penelitian sebagai berikut :

n1=(Zα )2 pq

L2

n2 = n1 + (10%. n1)

n1 = jumlah sampel minimal

n2 = jumlah sampel ditambah substitusi 10% (substitusi adalah persen subjek penelitian

yangmungkin drop out)

zα = nilai konversi pada tabel kurva normal, dengan nilai α = 5% didapatkan zα pada kurva

normal = 1,96

p = Proporsi variabel yang ingin diteliti, yaitu siswa/i SMPN 271 yang mengalami

penurunan ketajaman penglihatan karena kekurangan vitamin A. Suatu penelitian yang

dilakukan di Pematang Siantat menyatakan terdapat 58,9% anak – anak yang

mengalami penurunan ketajaman penglihatan. Kami akan mengambil proporsi variabel

yang telah ada dari suatu penelitian, yaitu 58,9%. Maka p = 58,9% = 0,589

q = 100% - p = 100% - 58,9 % = 41,1% = 0,411

L = Derajat kesalahan yang masih diterima adalah 10%

Berdasarkan rumus diatas, didapatkan angka :

n1 = (1,96)2× 0,589 ×0,411

(0,1)2

n1 = 92,99

untuk menjaga adanya kemungkinan subjek penelitian yang drop out, maka dihitung :

n2 = 92,99 + (10% x 92,99)

n2 = 102,289 dibulatkan menjadi 103 subjek penelitian

Jadi, jumlah sampel yang dibutuhkan adalah 103 orang

3.6 Teknik Pengambilan Sampel

32

Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan teknik cluster sampling. Para

siswa/i yang telah terpilih disebarkan quesioner untuk pengisian kuesioner.

3.7 Cara Kerja

Mengumpulkan data mengenai SMP – SMP yang berada di wilayah kerja Sukabumi

Selatan. Didapatkan 1 SMP di daerah Sukabumi Selatan Kebon Jeruk, Kemudian di

pilihlah SMPN 271.

Mengumpulkan bahan ilmiah dan merencanakan desain penelitian.

Membuat kuesioner sebagai instrumen pengukuran data

Melakukan uji coba kuesioner di SMPN 82, Kelurahan Wijaya Kusuma, Kecamatan

Grogol Petamburan.

Melakukan koreksi kuesioner.

Menghubungi pihak Fakultas Kedokteran UKRIDA untuk surat permohonan izin

melakukan penelitian di SMPN 271, kecamatan Kebon Jeruk, kelurahan Sukabumi

Selatan.

Membawa surat permohonan dari FK UKRIDA kepada kantor kecamatan bagian

pendidikan dasar untuk pembuatan surat permohonan izin penelitian dari bagian suku

dinas pendidikan kecamatan Kebon Jeruk kepada kepala sekolah SMPN 271.

Mengantar surat ke sub bagian TU sekolah SMPN 271 untuk merencanakan kegiatan

pengambilan data penelitian sebanyak 2 hari.

Menentukan jumlah sampel minimal 103 siswa/i dari total siswa/i SMPN 271 tingkat 8

dan tingkat 9 yang berjumlah 576 orang. Tingkat 7 seluruhnya tereksklusi karena tidak

dapat diganggu, mereka sedang menjalani kegiatan Masa Orientasi Peserta Didik Baru

(MOPDB). Pemilihan sampel menggunakan metode cluster sampling. Berikut adalah

detilnya :

Jumlah total siswa/i SMPN 271 tingkat 8 dan tingkat 9: 576 orang. Tingkat 8 memiliki 8

kelas, setiap kelas memiliki 36 siswa/i. Tingkat 9 memiliki 8 kelas, setiap kelas memiliki

36 siswa/i. Teknik pemilihan 2 kelas pada setiap angkatan menggunakan cluster sampling

dimana akan dipilih 2 kelas untuk tingkat 8 dan 2 kelas untuk tingkat 9.

Jumlah siswa/i 2 kelas dari tingkat 8 SMPN 271: 2 x 36 = 72 orang

Jumlah siswa/i 2 kelas dari tingkat 9 SMPN 271: 2 x 36 = 72 orang

Total adalah 72 x 2 = 144 sampel

33

Namun terdapat 19 siswa/i yang masuk ke kriteria eksklusi sehingga sampel yang didapat

sebanyak 125 orang.

Melakukan pengumpulan data-data dengan menggunakan instrumen penelitian berupa

kuesioner, stadiometer, penggaris dan snellen chart di SMPN 271, Kelurahan Sukabumi

Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta.

Melakukan pengolahan, analisis, dan interpretasi data dengan program SPSS.

Penulisan laporan penelitian.

Pelaporan penelitian.

3.8 Pengumpulan Data

Data primer dikumpulkan dengan memakai bantuan kuesioner, pengukuran manual jarak

membaca dan melakukan pengukuran tinggi badan, berat badan, dan ketajaman visus di

SMPN 271, Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta

Barat, Provinsi DKI Jakarta periode 24 - 31 Juli 2015.

3.9 Identifikasi Variabel

Dalam penelitian ini digunakan variabel terikat (dependent) dan variabel bebas

(independent).

- Variabel Dependent: Gangguan ketajaman penglihatan

- Variabel Independent: Pola konsumsi makanan yang mengandung vitamin A,

pengetahuan, sikap, perilaku tentang vitamin A dan makanan yang mengandung vitamin

A, tablet vitamin A, jarak membaca, lama membaca, lama melihat layar dan status gizi.

3.10 Manajemen dan Analisis Data

Terhadap data-data yang sudah dikumpulkan dilakukan pengolahan berupa proses

editing, verifikasi dan koding. Selanjutnya dimasukkan dan diolah dengan menggunakan

program SPSS. Data yang didapat akan disajikan dalam bentuk tekstular dan tabuler.

34

Terhadap data yang telah diolah dilakukan analisis dengan cara uji statistik menggunakan

uji chi square yang sesuai. Kemudian data diinterpretasikan secara deskriptif korelatif antar

variabel-variabel yang telah ditentukan.

3.11 Definisi Operasional

3.11.1 Murid SMP

Murid SMP adalah setiap laki-laki atau perempuan yang sedang menjalani jenjang

pendidikan dasar formal di Indonesia setelah menyelesaikan pendidikan sekolah dasar (SD) atau

yang sederajat.

3.11.2 Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah suatu karakteristik yang membedakan individu sesuai dengan peran

reproduktif.

Alat ukur : Kuesioner

Skala : Nominal

Hasil ukur : Laki-laki, Perempuan

3.11.3 Status Ekonomi

Status ekonomi adalah suatu keadaan yang dimiliki seorang ayah dan ibu dalam keluarga

untuk memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya yang dapat dinilai dari

pendapatan ayah dan pendapatan ibu.

Terbagi atas:

< Rp 2.700.000,00

≥ Rp 2.700.000,00

Alat ukur : Kuesioner

Skala : Ordinal

Hasil ukur : < Rp 2.700.000,00, ≥ Rp 2.700.000,00

Koding

Kode 0: < Rp 2.700.000,00

Kode 1: ≥ Rp 2.700.000,00

35

3.11.4 Pengetahuan

Pengetahuan adalah pemahaman tentang pentingnya fungsi vitamin A bagi tubuh dan

dampak yang terjadi jika tubuh kekurangan vitamin A.

Didapat berdasarkan total nilai yang diperoleh dari 7 pertanyaan, maka jumlah total nilai

maksimal adalah 35 dan total nilai minimal adalah 7. Maka interval adalah 35 – 7 = 28.

Dengan teknik skoring sebagai berikut :

Pengetahuan kurang : (60% x 28) + 7 = 23,8. Maka data yang dimasukkan ke dalam kategori

kurang bila skor < 24.

Pengetahuan cukup : Data yang dimasukkan ke dalam kategori kurang bila skor 24 - 29.

Pengetahuan baik : (80% x 28) + 7 = 29,4. Maka data yang dimasukkan ke dalam kategori baik

bila skor > 29.

Terbagi atas :

Kurang : < 24

Cukup : 24 - 29

Baik : >29

Alat ukur : Kuesioner

Skala : Ordinal

Hasil ukur : Kurang, Cukup, Baik

Koding

Kode 0 : Kurang

Kode 1 : Cukup

Kode 2 : Baik

3.11.5 Sikap

Sikap adalah tanggapan responden terhadap pentingnya fungsi vitamin A bagi tubuh dan

dampak yang terjadi jika tubuh kekurangan vitamin A dalam bentuk persetujuan.

Didapat berdasarkan total nilai yang diperoleh dari 7 pertanyaan, maka jumlah total nilai

maksimal adalah 35 dan total nilai minimal adalah 7. Maka interval adalah 35 – 7 = 28.

Dengan teknik skoring sebagai berikut :

36

Sikap kurang : (60% x 28) + 7 = 23,8. Maka data yang dimasukkan ke dalam kategori kurang

bila skor < 24.

Sikap cukup : Data yang dimasukkan ke dalam kategori kurang bila skor 24 - 29.

Sikap baik : (80% x 28) + 7 = 29,4. Maka data yang dimasukkan ke dalam kategori baik bila

skor > 29.

Terbagi atas:

Kurang : < 24

Cukup : 24 – 29

Baik : > 29

Alat ukur : Kuesioner

Skala : Ordinal

Hasil ukur : Kurang, Cukup, Baik

Koding

Kode 0 : Kurang

Kode 1 : Cukup

Kode 2 : Baik

3.11.6 Perilaku

Perilaku adalah suatu respon yang didapat dari lingkungan dan menjadi kebiasaan, dalam

hal ini tentang perilaku makan makanan yang mengandung vitamin A.

Didapat berdasarkan total nilai yang diperoleh dari 5 pertanyaan, maka jumlah total nilai

maksimal adalah 25 dan total nilai minimal adalah 5. Maka interval adalah 25 – 5 = 20.

Dengan teknik skoring sebagai berikut :

Perilaku kurang : (60% x 20) + 5 = 17. Maka data yang dimasukkan ke dalam kategori kurang

bila skor < 17.

Perilaku cukup baik: Data yang dimasukkan ke dalam kategori kurang bila skor 17 - 21

Perilaku baik : (80% x 20) +5 = 21. Maka data yang dimasukkan ke dalam kategori baik bila

skor > 21.

Terbagi atas:

Kurang : skor <17

Cukup : skor 17 – 21

37

Baik : skor >21

Alat ukur : Kuesioner

Skala : Ordinal

Hasil ukur : Kurang, Cukup, Baik

Koding

Kode 0: Kurang

Kode 1: Cukup

Kode 2: Baik

3.11.7 Suplemen Vitamin A

Suplemen vitamin A adalah suatu suplemen tambahan yang mengandung vitamin A

yang berfungsi dalam sistem penglihatan, fungsi pembentukan kekebalan dan fungsi reproduksi.

Dihitung dalam satuan IU dengan kadar maksimal 10.000 IU/hari.

Terbagi atas:

Tidak : Responden tidak mengkonsumsi suplemen yang mengandung vitamin A

Kurang : Responden mengkonsumsi suplemen vitamin A dengan kadar < 700 IU/hari

Cukup : responden mengkonsumsi suplemen vitamin A dengan kadar 700 IU/hari

sampai dengan 2799 UI/hari

Lebih : Responden yang mengkonsumsi suplemen vitamin A ≥ 2800 IU/hari

Alat ukur : Kuesioner

Skala pengukuran : Ordinal

Hasil pengukuran : Tidak mengkonsumsi, kurang, cukup, lebih

Koding

Kode 0 : Tidak

Kode 1 : Kurang

Kode 2 : cukup

Kode 3 : lebih

3.11.8 Lama Melihat Layar Komputer

38

Lama melihat layar komputer adalah seberapa lama seseorang dapat melihat layar

komputer tanpa mengistirahatkan matanya seperti melihat ketempat lain > 5 menit dan hanya

terpaku kepada layar komputer, yang dinilai dalam hitungan menit.

Terbagi atas:

Tidak baik : > 30 menit

Baik : ≤ 30 menit

Alat ukur : Kuesioner

Skala pengukuran : Ordinal

Hasil pengukuran : > 30 menit, ≤ 30 menit

Koding

Kode 0: > 30 menit

Kode 1: ≤ 30 menit

3.11.9 Jarak Membaca

Jarak membaca adalah jarak yang biasa digunakan seseorang untuk membaca buku yang

dinilai dalam sentimeter (cm).

Terbagi atas:

Tidak baik : < 30 cm

Baik : ≥ 30 cm

Alat ukur : Penggaris

Skala pengukuran : Ordinal

Hasil pengukuran : < 30 cm, ≥ 30 cm

Koding:

Kode 0 : < 30 cm

Kode 1 : ≥ 30 cm

3.11.10 Lama Membaca

Lama membaca adalah waktu yang dibutuhkan oleh seseorang dalam membaca media

cetak secara terus menerus tanpa ada istirahat > 5 menit yang dinilai dalam hitungan menit.

Terbagi atas: :-Tidak baik : > 30 menit

- Baik : ≤ 30 menit

39

Alat ukur : Kuesioner

Skala pengukuran : Ordinal

Hasil pengukuran : > 30 menit, ≤ 30 menit

Koding

Kode 0: > 30 menit

Kode 1: ≤ 30 menit

3.11.11 Status Gizi

Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dinilai

dengan perhitungan berat badan dibagi tinggi badan dalam meter kuadrat.

Terbagi atas:

Kurang : IMT <18,5

Normal : IMT 18,5 – 22,9

Lebih : IMT > 23

Alat ukur : Stadiometer

Skala pengukuran : Ordinal

Hasil pengukuran : Kurang, Normal, Lebih

Koding:

Kode 0: Kurang

Kode 1: Normal

Kode 2: Lebih

3.11.12 Gangguan Ketajaman Penglihatan

Gangguan ketajaman penglihatan adalah suatu ketidakmampuan masing - masing mata

untuk mengidentifikasi simbol-simbol berwarna hitam dengan latar belakang putih dengan jarak

yang telah distandarisasi serta ukuran dari simbol yang bervariasi.

Terbagi atas:

< 20/20 : Bila salah satu atau kedua mata memiliki hasil pengukuran visus < 20/20

≥ 20/20 : Bila kedua mata memiliki hasil pengukuran visus ≥ 20/20

Alat ukur : Snellen Chart

Skala : Ordinal

Hasil ukur : < 20/20, ≥ 20/20

40

Koding

Kode 0: < 20/20

Kode 1: ≥ 20/20

3.11.13 Pola Konsumsi Makanan yang Mengandung Vitamin A

Pola konsumsi makanan yang mengandung vitamin A adalah suatu cara atau usaha dalam

pengaturan jumlah dan jenis makanan yang mengandung senyawa prabentuk vitamin A (retinol)

dan provitamin A (beta karoten dan karotenoid lainnya), dimana asupan vitamin A per harinya

akan dirata – ratakan menjadi satu nilai. Diukur dalam 1 minggu untuk mewakili angka asupan

vitamin A dalam makanan perhari.

Terbagi atas:

Kurang: Laki-laki : <900 µgr/hari atau <3000 IU/hari

Perempuan : <700 µgr/hari atau <2320 IU/hari

Cukup: Laki-laki : 900-2799 µgr/hari atau 3000-9239 IU/hari

Perempuan : 700-2799 µgr/hari atau 2320-9239 IU/hari

Lebih : ≥2800 µgr/ atau 9240 IU/hari

Alat ukur : Food Frequency Questioner (FFQ) selama 1 minggu dan tabel

Recommended Daily Allowance (RDA) Vitamin A

Skala : Ordinal

Hasil ukur : Kurang, Cukup, Lebih

Koding

Kode 0: Kurang

Kode 1: Cukup

Kode 2: Lebih

3.12 Etika Penelitian

Responden yang telah mengisi kuesioner dan dilakukan pengukuran tinggi badan, berat

badan, jarak membaca serta ketajaman penglihatan pada penelitian ini dijamin kerahasiaannya

terhadap data-data yang didapat.

41

Bab IV

Hasil Penelitian

Berdasarkan penelitian yang dilakukan mengenai pengaruh pola makanan yang

mengandung vitamin A dan faktor-faktor lainnya terhadap penurunan ketajaman penglihatan di

SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli

– 31 Juli 2015. Maka diperoleh hasil dari pengumpulan data pada 125 sampel penelitian.

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Pola Makanan yang Mengandung Vitamin A di SMPN 271

Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli –

31 Juli 2015

Pola Makanan Yang

mengandung Vitamin A

Frekuensi Persentase (%)

Kurang 112 89.6

Cukup 10 8.0

Lebih 3 2.4

Total 125 100.00

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin, Status Ekonomi, Pengetahuan, Sikap,

Perilaku, Suplemen Vitamin A, Lama Membaca, dan Status Gizi di SMPN 271 Kelurahan

Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli 2015

VARIABEL FREKUENSI PRESENTASI (%)

JENIS KELAMIN

Laki-laki 46 36,8

Perempuan 79 63,2

STATUS EKONOMI

< Rp 2.700.000,00 83 66,4

≥ Rp 2.700.000,00 42 33,6

42

VARIABEL FREKUENSI PRESENTASI (%)

PENGETAHUAN

Kurang 9 7,2

Cukup 80 64

Baik 36 28,8

SIKAP

Kurang 75 60

Cukup 48 38,4

Baik 2 1,6

PERILAKU

Kurang 92 73,6

Cukup 32 25,6

Baik 1 0,8

SUPLEMEN VITAMIN A

Tidak Mengonsumsi 100 80,0

Kurang 15 12,4

Cukup 5 4,0

Lebih 5 4,0

LAMA MELIHAT LAYAR

Tidak baik (> 30 menit) 74 59,2

Baik (≤ 30 menit) 40,8 51,0

LAMA MEMBACA

Tidak baik (> 30 menit) 48 38,4

Baik (≤ 30 menit) 77 61,6

43

VARIABEL FREKUENSI PRESENTASI (%)

JARAK MEMBACA

Tidak baik (< 30 menit) 58 46,4

Baik (≥30 menit) 67 53,6

STATUS GIZI

Kurang 52 41,6

Normal 50 40,0

Lebih 23 18,4

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Ketajaman Penglihatan Siswa/i di SMPN 271 Kelurahan

Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli 2015

VARIABEL FREKUENSI PRESENTASI (%)

VISUS

< 20/20 105 84,0

≥20/20 20 16,0

Tabel 4.4 Hubungan Antara Pola Makanan yang Mengandung Vitamin A dengan

Penurunan Ketajaman Penglihatan di SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan,

Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli 2015

Variabel Visus

<20/20 >=20/20

Total Uji Nilai p H0

Pola Makanan

yang mengandung

Vit A

Kurang 95 17 112

- - -Cukup 8 2 10

Lebih 2 1 3

Total 105 20 125

df: 2

44

H0: Tidak ada hubungan antara pola makanan yang mengandung vitamin A dengan penurunan

ketajaman penglihatan di SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk,

Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli 2015

Terdapat 3 sel dengan nilai expected cells kurang dari 5 sehingga dilakukan penggabungan

kategori cukup dan lebih menjadi kategori cukup. Setelah dilakukan penggabungan kategori

melalui uji Fisher didapatkan nilai p=0,436 (p > 0,05) sehingga H0 diterima.

Tabel 4.5 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Penurunan Ketajaman Penglihatan di

SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode

24 Juli – 31 Juli 2015

Variabel Visus

<20/20 >=20/20

Total Uji Nilai p H0

Jenis kelamin

Laki-laki 33 13 46

Uji X2 0.009 DitolakPerempuan 72 7 79

Total 105 20 125

df: 1

H0: Tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan penurunan ketajaman penglihatan di SMPN

271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31

Juli 2015

Tabel 4.6 Hubungan Antara Status Ekonomi dengan Penurunan Ketajaman Penglihatan di

SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode

24 Juli – 31 Juli 2015

Variabel Visus

<20/20 >=20/20

Total Uji Nilai p H0

Status Ekonomi

< Rp 2.700.000,00 66 17 83

Uji X2 0.096 Diterima≥ Rp 2.700.000,00 39 3 42

Total 105 20 125

df: 1

45

H0: Tidak ada hubungan antara status ekonomi dengan penurunan ketajaman penglihatan di

SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli

– 31 Juli 2015

Tabel 4.7 Hubungan Antara Pengetahuan dengan Penurunan Ketajaman Penglihatan di

SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode

24 Juli – 31 Juli 2015

Variabel Visus

<20/20 >=20/20

Total Uji Nilai p H0

Pengetahua

n

Kurang 8 1 9

Uji X2 0.813 DiterimaCukup 66 14 80

Baik 31 5 36

Total 105 20 125

df: 2

H0: Tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan penurunan ketajaman penglihatan di SMPN

271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31

Juli 2015

Tabel 4.8 Hubungan Antara Sikap dengan Penurunan Ketajaman Penglihatan di SMPN

271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli

– 31 Juli 2015

Variabel Visus

<20/20 >=20/20

Total Uji Nilai p H0

Sikap

Kurang 64 11 75

- - -Cukup 40 8 48

Baik 1 1 2

Total 105 20 125

46

df: 2

H0: Tidak ada hubungan antara sikap dengan penurunan ketajaman penglihatan di SMPN 271

Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli

2015

Terdapat 2 sel dengan nilai expected cells kurang dari 5 sehingga dilakukan penggabungan

kategori cukup dan lebih menjadi kategori cukup. Setelah dilakukan penggabungan kategori

melalui uji Chi-square didapatkan nilai p=0,803 (p > 0,05) sehingga H0 diterima.

Tabel 4.9 Hubungan Antara Perilaku dengan Penurunan Ketajaman Penglihatan di

SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode

24 Juli – 31 Juli 2015

Variabel Visus

<20/20 >=20/20

Total Uji Nilai p H0

Perilaku

Kurang 79 13 92

- - -Cukup 26 6 32

Baik 0 1 1

Total 105 25 125

df: 2

H0: Tidak ada hubungan antara perilaku dengan penurunan ketajaman penglihatan di SMPN 271

Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli

2015

Terdapat sel bernilai nol pada kategori baik sehingga dilakukan penggabungan kategori cukup

dan baik menjadi kategori baik. Setelah dilakukan penggabungan kategori melalui uji statistik

Chi-square didapatkan nilai p=0,500 (p > 0,05) sehingga H0 diterima.

47

Tabel 4.10 Hubungan Antara Pemberian Suplemen Vitamin A dengan Penurunan

Ketajaman Penglihatan di SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon

Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli 2015

Variabel Visus

<20/20 >=20/20

Total Uji Nilai p H0

Suplemen vit A

Tidak mengonsumsi 86 14 100

- - -

Kurang 13 2 15

Cukup 3 2 5

Lebih 3 2 5

Total 105 20 125

df: 1

H0: Tidak ada hubungan antara pola pemberian suplemen vitamin A dengan penurunan

ketajaman penglihatan di SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk,

Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli 2015

Terdapat 5 sel dengan nilai expected cells kurang dari 5 sehingga dilakukan penggabungan

kategori cukup dan lebih menjadi kategori cukup. Setelah dilakukan penggabungan kategori

masih terdapat 2 sel dengan nilai expected kurang dari 5 sehingga dilakukan penggabungan

kategori kurang dan cukup menjadi kategori mengonsumsi suplemen melalui uji Fisher

didapatkan p=0,232 (p>0,05) sehingga H0 diterima.

48

Tabel 4.11 Hubungan Antara Lama Menatap Layar Komputer dengan Penurunan

Ketajaman Penglihatan di SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon

Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli 2015

Variabel Visus

<20/20 >=20/20

Total Uji Nilai p H0

Lama Melihat

Layar

Tidak baik (> 30

menit)

61 13 74

Uji X2 0.743 Diterima

Baik (≤ 30 menit) 44 7 51

Total 105 20 125

df: 1

H0: Tidak ada hubungan antara lama menatap layar komputer di SMPN 271 Kelurahan

Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli 2015

Tabel 4.12 Hubungan Antara Jarak Membaca dengan Penurunan Ketajaman Penglihatan

di SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat

Periode 24 Juli – 31 Juli 2015

Variabel Visus

<20/20 >=20/20

Total Uji Nilai p H0

Jarak Membaca

Dekat (<30 cm) 47 11 58

Uji X2 0.551 DiterimaCukup (≥ 30 cm) 58 9 67

Total 105 20 125

df: 1

H0: Tidak ada hubungan antara jarak membaca dengan penurunan ketajaman penglihatan di

SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli

– 31 Juli 2015

49

Tabel 4.13 Hubungan Antara Lama Membaca Terus-menerus tanpa Berhenti dengan

Penurunan Ketajaman Penglihatan di SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan,

Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli 2015

Variabel Visus

<20/20 >=20/20

Total Uji Nilai p H0

Lama Membaca

Tidak baik (> 30

menit)

41 7 48

Uji X2 0.928 Diterima

Baik (≤ 30 menit) 64 13 77

Total 105 20 125

df: 1

H0: Tidak ada hubungan antara lama membaca terus-menerus dengan penurunan ketajaman

penglihatan di SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat

Periode 24 Juli – 31 Juli 2015

Tabel 4.14 Hubungan Antara Status Gizi dengan Penurunan Ketajaman Penglihatan di

SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode

24 Juli – 31 Juli 2015

Variabel Visus

<20/20 >=20/20

Total Uji Nilai p H0

Status Gizi

Kurang 43 9 52

Uji X2 0.225 DiterimaNormal 40 10 50

Lebih 22 1 23

Total 93 32 125

df: 2

H0: Tidak ada hubungan antara status gizi dengan penurunan ketajaman penglihatan di SMPN

271 Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31

Juli 2015

50

Bab V

Pembahasan

5.1 Sebaran Penurunan Ketajaman Penglihatan pada Siswa/i SMPN 271, Kelurahan

Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat, Provinsi DKI

Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015

Pada tabel 4.3, didapati distribusi penurunan ketajaman penglihatan (visus) kurang dari

20/20 dengan jumlah subjek 105 orang dengan persentase 84,0%. Diikuti visus 20/20 atau lebih

sebanyak 20 orang dengan persentase 16%.

Pada penelitian Fachrian D et al pada pelajar SD “X” di Jatinegara Jakarta Timur,

didapatkan prevalensi visus kurang dari 6/6 atau 20/20 sebesar 51,9%. Hal ini sesuai dengan

hasil penelitian kami dimana terdapat 84,0% yang memiliki visus kurang dari 20/20. Namun

pada penelitian Pettiss dan Gianini, terdapat data studi internasional yang menunjukkan bahwa

hanya sekitar 25% anak – anak usia sekolah memiliki suatu bentuk defisiensi penglihatan.

Perbedaan ini mungkin terjadi karena adanya perbedaan geografis, genetik, gaya hidup, budaya,

sosial, dan ekonomi.

5.2 Analisis Univariat Jenis Kelamin, Status Ekonomi, Pengetahuan, Sikap, Perilaku,

Suplemen Vitamin A, Lama Melihat Layar dan Membaca Buku, Jarak Membaca Buku,

Status Gizi, dan Asupan Vitamin A Siswa/i SMPN 271, Kelurahan Sukabumi Selatan,

Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli

sampai 31 Juli 2015

Pada tabel 4.2, didapati distribusi terbanyak pada jenis kelamin perempuan dengan

jumlah subjek 79 orang dengan persentase 63,2%. Diikuti jenis kelamin laki-laki sebanyak 46

orang dengan persentase 36,8%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Siregar et al,

dimana didapatkan perempuan mengalami penurunan ketajaman penglihatan yang lebih banyak

(58,9%) daripada laki – laki.

51

Pada tabel 4.2, didapati distribusi terbanyak pada pendapatan kurang dari Rp

2.700.000,00 dengan jumlah subjek 83 orang dengan persentase 66,4%. Diikuti pendapatan lebih

dari Rp 2.700.000,00 sebanyak 42 orang dengan persentase 33,6%.

Pada tabel 4.2, didapati distribusi terbanyak pada tingkat pengetahuan cukup dengan

jumlah subjek 80 orang dengan persentase 64,0%. Diikuti tingkat pengetahuan baik sebanyak 36

orang dengan persentase 28,8% dan tingkat pengetahuan kurang sebanyak 9 orang dengan

persentase 7,2%.

Pada tabel 4.2, didapati distribusi terbanyak pada sikap yang kurang dengan jumlah

subjek 75 orang dengan persentase 60,0%. Diikuti sikap yang cukup sebanyak 48 orang dengan

persentase 38,4% dan sikap baik sebanyak 2 orang dengan persentase 1,6%.

Pada tabel 4.2, didapati distribusi terbanyak pada perilaku yang kurang dengan jumlah

subjek 92 orang dengan persentase 73,6%. Diikuti perilaku yang cukup sebanyak 33 orang

dengan persentase 25,6% dan perilaku yang baik sebanyak 1 orang dengan persentase 0,8%.

Pada tabel 4.2, didapati distribusi terbanyak pada yang tidak mengkonsumsi suplemen

vitamin A dengan jumlah subjek 100 orang dengan persentase 80%. Diikuti yang mengkonsumsi

suplemen vitamin A kategori kurang sebanyak 15 orang dengan persentase 12,4%, lalu

mengkonsumsi suplemen vitamin A kategori cukup sebanyak 5 orang dengan persentase 4%, dan

mengkonsumsi suplemen vitamin A kategori lebih sebanyak 5 orang dengan persentase 4%.

Pada tabel 4.2, didapati distribusi terbanyak pada yang melihat layar selama lebih dari 30

menit dengan jumlah subjek 74 orang dengan persentase 59,2%. Diikuti yang menatap layar

selama 30 menit atau kurang sebanyak 51 orang dengan persentase 40,8%.

Pada tabel 4.2, berdasarkan tabel jarak membaca buku, didapati distribusi terbanyak pada

yang membaca buku dengan jarak 30 cm atau lebih dengan jumlah subjek 67 orang dengan

persentase 53,6%. Diikuti yang membaca buku dengan jarak kurang dari 30 cm sebanyak 58

orang dengan persentase 46,4%.

Pada tabel 4.2, didapati distribusi terbanyak pada yang membaca buku selama 30 menit

atau kurang dengan jumlah subjek 77 orang dengan persentase 61,6%. Diikuti yang membaca

buku selama lebih dari 30 menit sebanyak 48 orang dengan persentase 38,4%.

Pada tabel 4.2, didapati distribusi terbanyak pada status gizi kurang dengan jumlah subjek

52 orang dengan persentase 41,6%. Diikuti status gizi normal sebanyak 50 orang dengan

persentase 40.0% dan status gizi lebih sebanyak 23 orang dengan persentase 18,4%.

52

Pada tabel 4.1, didapati distribusi terbanyak pada asupan vitamin A kurang dengan

jumlah subjek 112 orang dengan persentase 89,6%. Diikuti asupan vitamin A cukup sebanyak 10

orang dengan persentase 80% dan asupan vitamin A yang lebih sebanyak 3 orang dengan

persentase 2,4%.

5.3 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Ketajaman Penglihatan Siswa/i SMPN

271, Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat,

Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015

Hubungan antara jenis kelamin terhadap ketajaman penglihatan melalui uji Chi Square

dengan Continuity Correction didapatkan p = 0,009, karena p < 0,05 maka Ho ditolak. Artinya,

terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan ketajaman penglihatan.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Siregar et al pada siswa/i di SD

dan SMP RK Budi Mulia Pematang Siantar yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang

signifikan mengenai perbedaan jenis kelamin pada penurunan ketajaman penglihatan. Hal ini

mungkin terjadi karena adanya berbagai faktor yang mempengaruhi penurunan ketajaman

penglihatan seperti genetik, gaya hidup, sosial, budaya, dan ekonomi. Tidak didapatkan teori

yang menyatakan hubungan antara jenis kelamin dengan penurunan ketajaman penglihatan, oleh

karena itu hal tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor – faktor lainnya.

5.4 Hubungan Antara Status Ekonomi dengan Ketajaman Penglihatan Siswa/i SMPN

271, Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat,

Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015

Hubungan antara status ekonomi terhadap ketajaman penglihatan melalui uji Chi-Square

dengan Continuity Correction didapatkan p = 0,096, karena p > 0,05 maka Ho diterima. Artinya

tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status ekonomi dengan ketajaman penglihatan.

Hal ini dapat terjadi karena tidak hanya status ekonomi saja yang mempengaruhi

penurunan ketajaman penglihatan yang disebabkan oleh multifaktorial ini. Walaupun status

ekonomi dapat mempengaruhi konsumsi daging, uang jajan anak, desain rumah (termasuk

jumlah lampu, televisi, komputer, dan meja belajar), konsumsi suplemen, ataupun sebagai

53

pencerminan pendidikan orangtua yang dapat mempengaruhi pola makan dan gaya hidup anak,

namun mungkin saja rumah orangtua bukanlah satu – satunya tempat anak untuk menjalani

hidupnya. Adanya saudara dan tetangga dapat juga mempengaruhi gaya hidup anak. Sebenarnya

status ekonomi sebaiknya menggunakan pendapatan per kapita sebagai indikator kemakmuran,

namun kami mendapat keterbatasan dalam mengetahui jumlah penghasilan yang tepat dari siswa

SMP tersebut. Beberapa siswa tidak diberitahu persis berapa jumlahnya, sehingga hanya

mengetahui di bawah UMR atau lebih dari UMR.

5.5 Hubungan Antara Pengetahuan dengan Penurunan Ketajaman Penglihatan Siswa/i

SMPN 271, Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta

Barat, Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015

Hubungan antara pengetahuan terhadap ketajaman penglihatan melalui uji Chi-Square

didapatkan p = 0,813, karena p >0,05 maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara pengetahuan dengan ketajaman penglihatan.

Belum didapatkan data penelitian hubungan antara pengetahuan dengan ketajaman

penglihatan. Namun terdapat hasil penelitian Permatasari NIY pada anak TK di Surakarta, yang

menyatakan adanya hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan praktek pemilihan

multivitamin (p = 0,007). Hubungan ini didapatkan dengan pengambilan data langsung kepada

pengetahuan ibu, bukan pengetahuan anak, dimana pengetahuan ibu diharapkan yang akan

mempengaruhi pola makan anak, gaya hidup anak, lingkungan rumah, dan konsumsi suplemen

vitamin A. Pengetahuan anak tidak berhubungan dengan penurunan ketajaman penglihatan

karena sebaik apapun pengetahuan anak tersebut, gaya hidupnya, pola makannya, dan

lingkungannya tetaplah mengikuti aturan dari orangtuanya.

54

5.6 Hubungan Antara Sikap dengan Ketajaman Penglihatan Siswa/i SMPN 271,

Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat,

Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015

Hubungan antara sikap terhadap ketajaman penglihatan melalui uji Chi-Square dengan

Continuity Correction didapatkan p = 0,803, karena p > 0,05 maka Ho diterima. Artinya, tidak

terdapat hubungan yang bermakna antara sikap dengan ketajaman penglihatan.

Penelitian Somahia T et al menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara sikap

orangtua terhadap kelainan refraksi pada anak dengan nilai p = 0,003. Hal ini berbeda dengan

penelitian kami dimana sikap yang dinilai adalah sikap anak tersebut sehingga tidak ditemukan

adanya hubungan yang bermakna. Gaya hidup, pola makan, dan lingkungan dimana seorang

anak tumbuh sangat dipengaruhi oleh orangtuanya. Sayangnya, pada penelitian ini tidak

memungkinkan untuk mendapatkan data mengenai pengetahuan, sikap, dan perilaku orangtua.

5.7 Hubungan Antara Perilaku dengan Ketajaman Penglihatan Siswa/i SMPN 271,

Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat,

Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015

Hubungan antara perilaku terhadap ketajaman penglihatan melalui uji Chi-Square dengan

Continuity Correction didapatkan p = 0,500, karena p > 0,05 maka Ho diterima. Artinya, tidak

terdapat hubungan yang bermakna antara perilaku dengan ketajaman penglihatan.

Penelitian Somahia T et al menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara

perilaku orangtua terhadap kelainan refraksi pada anak dengan nilai p = 0,003. Sama dengan

pembahasan bagian sikap di atas, hal ini berbeda dengan penelitian kami dimana perilaku yang

dinilai adalah perilaku anak tersebut sehingga tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna.

Gaya hidup, pola makan, dan lingkungan dimana seorang anak tumbuh sangat dipengaruhi oleh

orangtuanya.

55

5.8 Hubungan Antara Konsumsi Suplemen Vitamin A dengan Ketajaman Penglihatan

Siswa/i SMPN 271, Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya

Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015

Hubungan antara konsumsi suplemen vitamin A terhadap ketajaman penglihatan melalui

Uji Fisher didapatkan p = 0,232, karena p > 0,05 maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat

hubungan yang bermakna antara konsumsi suplemen vitamin A dengan ketajaman penglihatan.

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Ossa pada pengemudi bus

malam yang menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna antara ketajaman penglihatan

sebelum dan sesudah pemberian suplemen vitamin A (p = 0,011). Dari penelitian Ossa tersebut

tampak pengaruh dari pemberian suplemen vitamin A terhadap ketajaman penglihatan mata. Hal

ini dapat dikarenakan vitamin A dalam bentuk aktifnya yaitu retinol akan bekerja membantu sel

batang (menjadi bentuk rhodopsin) pada suasana malam, maka pengaruh kerja dari pemberian

vitamin A akan nampak, sedangkan pada penelitian kami terhadap anak SMP dilakukan pada

siang hari. Selain itu ketajaman penglihatan sangat dipengaruhi berbagai faktor lainnya selain

kadar vitamin A dalam darah.

5.9 Hubungan Antara Lama Melihat Layar Komputer dengan Ketajaman Penglihatan

Siswa/i SMPN 271, Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya

Jakarta Barat, Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015

Hubungan antara lama melihat layar terhadap ketajaman penglihatan melalui uji Chi-

Square dengan Continuity Correction didapatkan p = 0,743, karena p > 0,05 maka Ho diterima.

Artinya, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara lama melihat layar dengan ketajaman

penglihatan.

Lama melihat layar secara terus menerus idealnya dilakukan dengan waktu 30 menit atau

kurang. Menatap layar lebih dari 30 menit secara terus menerus akan menyebabkan

berkurangnya aliran air mata atau disebabkan oleh terlalu besarnya refleksi maupun silau

monitor. Pada penelitian ini kebanyakan siswa/I SMPN 271 mempunyai kebiasaan menatap layar

lebih dari 30 menit. Akan tetapi dalam uji statistik tidak ditemukan adanya hubungan antara lama

menatap layar dengan penurunan ketajaman penglihatan. Hal ini disebabkan menatap layar lebih

56

dari 30 menit membuat mata lelah dan tidak mengakibatkan perubahan aksis bola mata atau

kelengkungan kornea yang menyebabkan gangguan ketajaman penglihatan.

5.10 Hubungan Antara Jarak Membaca dengan Ketajaman Penglihatan Siswa/i SMPN

271, Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat,

Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015

Hubungan antara jarak membaca terhadap ketajaman penglihatan melalui uji Chi-Square

dengan Continuity Correction didapatkan p = 0,551, karena p > 0,05 maka Ho diterima. Artinya,

tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jarak membaca dengan ketajaman penglihatan.

Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Lely et al (2004) mengenai

hubungan antara jarak membaca dengan ketajaman penglihatan pada pelajar Sekolah Dasar

Katolik 02 Kota Manado menunjukkan nilai p=0,011 (p<0,05) sehingga ada hubungan bermakna

antara jarak membaca dengan ketajaman penglihatan. Hal ini berbanding terbalik dengan

penelitian ini dimana nilai p=0,195 (p > 0,05). Membaca dekat akan membuat otot mata bekerja

lebih keras untuk mengkonvergen kedua mata sehingga dapat berakibat perubahan aksis mata.

Pada penelitian ini kebanyakan siswa/I SMPN 271 tidak mempunyai kebiasaan membaca dekat.

Hal ini tidak berarti siswa/I SMPN 271 bebas dari gangguan penglihatan karena faktor-faktor

lain dapat juga mempengaruhi ketajaman mata sehingga membuat jarak membaca dengan

ketajaman penglihatan tidak ada hubungan kemaknaan.

5.11 Hubungan Antara Lama Membaca dengan Ketajaman Penglihatan Siswa/i SMPN

271, Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat,

Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015

Hubungan antara lama membaca terhadap ketajaman penglihatan melalui uji Chi-Square

dengan Continuity Correction didapatkan p = 0,903, karena p > 0,05 maka Ho diterima. Artinya,

tidak terdapat hubungan yang bermakna antara lama membaca dengan ketajaman penglihatan.

Lama membaca seharusnya tidak dilakukan lebih dari 30 menit secara terus menerus.

Membaca secara terus menerus selama lebih dari 30 menit akan membuat mata menjadi lelah.

Pada penelitian ini kebanyakan siswa/I SMPN 271 mempunyai kebiasaan lama membaca 30

57

menit atau kurang secara terus menerus. Kebiasaan ini merupakan kebiasaan yang baik karena

dapat mencegah astenopia atau kelelahan mata. Hasil dari pengolahan data pada penelitian ini

menunjukkan tidak ada hubungan antara lama membaca dengan penurunan ketajaman

penglihatan. Hal ini dapat disebabkan karena lama membaca hanya menyebabkan astenopia dan

hanya menyebabkan gangguan penglihatan sementara yang menghilang dengan mengistirahatkan

mata.

5.12 Hubungan Antara Status Gizi dengan Ketajaman Penglihatan Siswa/i SMPN 271,

Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta Barat,

Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015

Hubungan antara status gizi terhadap ketajaman penglihatan melalui uji Chi-Square

didapatkan p = 0,225, karena p > 0,05 maka Ho diterima. Artinya,tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara status gizi dengan ketajaman penglihatan.

Pada penelitian ini ditemukan bahwa kebanyakan siswa/I SMPN 271 mempunyai status

gizi yang kurang. Status gizi ini ditentukan oleh besarnya IMT masing-masing siswa/i. IMT yang

kurang menunjukkan bahwa asupan gizi siswa/I yang kurang. Gangguan gizi selain makro

(energi dan protein), dapat juga disebabkan kurang zat gizi mikro (zat besi,vitamin A dan seng)

atau kombinasi dari ketiganya. Saat ini status gizi secara antropometri lebih dikaitkan dengan

asupan zat gizi makro (karbohidrat, kalori, protein dan lemak). Pada penelitian ini didapatkan

tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi dengan ketajaman penglihatan. Hal ini

dapat disebabkan karena gangguan gizi yang terjadi hanya sekitar asupan gizi makro

(karbohidrat, kalori, protein dan lemak) yang tidak ada hubungannya dengan ketajaman

penglihatan.

58

5.13 Hubungan Antara Asupan Vitamin A dengan Ketajaman Penglihatan Siswa/i

SMPN 271, Kelurahan Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Kotamadya Jakarta

Barat, Provinsi DKI Jakarta tanggal 24 Juli sampai 31 Juli 2015

Hubungan antara asupan vitamin A terhadap ketajaman penglihatan melalui uji Fisher

didapatkan p = 0,436, karena p > 0,05 maka Ho diterima. Artinya, tidak terdapat hubungan yang

bermakna antara asupan vitamin A dengan ketajaman penglihatan.

Asupan vitamin A yang dibutuhkan tubuh diukur berdasarkan jumlah retinol yang masuk

ke dalam tubuh. Asupan retinol berdasarkan umur 14-18 tahun berkisar antara 900 mcg – 2800

mcg retinol untuk laki-laki dan 700 mcg – 2800 mcg untuk perempuan. Asupan vitamin A

didapatkan dari makanan yang kita makan sehari-hari. Tidak semua jenis makanan mengandung

vitamin A yang tinggi sehingga pengaturan pola makan yang sesuai akan menentukan jumlah

asupan vitamin A dalam tubuh. Pola makan itu sendiri dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, dan

perilaku seseorang terhadap vitamin A. Asupan vitamin A yang kurang akan menyebabkan

berbagai efek dalam tubuh yang salah satunya adalah gangguan penglihatan. Pada penelitian ini

ditemukan kebanyak dari siswa/I SMPN 271 mempunyai asupan vitamin A yang kurang. Akan

tetapi setelah di uji statistik ditemukan tidak ada hubungan antara asupan vitamin A dengan

ketajaman penglihatan (p=0,164). Penelitian ini berbanding terbalik dari penelitian oleh Rahi JS,

dkk terhadap 1328 anak sekolah di India pada tahun 2005, terdapat 245 anak (18,6%) yang

mengalami gangguan ketajaman penglihatan hingga kebutaan karena kekurangan vitamin A. Hal

ini dapat disebabkan karena faktor recall asupan makanan yang dibuat hanya seminggu.

Setidaknya recall harus dilakukan selama sebulan penuh. Akan tetapi karena keterbatasan waktu

penelitian dan tidak mungkinnya mengingat kembali asupan makanan apa saja yang dimakan

sebulan sebelumnya maka kami memilih waktu 1 minggu untuk recall makanan yang telah

dimakan. Sulitnya untuk mengetahui secara persis mengenai takaran makanan yang sangat

bervariasi juga menurunkan tingkat ketelitian perhitungan vitamin A. Selain itu, efek kekurangan

vitamin A hingga menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan membutuhkan perjalanan

yang lama. Efek awal yang ditemukan berupa sulitnya adaptasi dalam tempat gelap dan

bukannya gangguan ketajaman penglihatan.

59

Bab VI

Kesimpulan dan Saran

6.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian mengenai pengaruh pola makan yang mengandung vitamin A dan

faktor – faktor lainnya terhadap penurunan ketajaman penglihatan, di SMPN 271, Kelurahan

Sukabumi Selatan, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat periode 24 – 31 Juli 2015, dapat

diambil kesimpulan:

Dari total 125 siswa/i SMPN 271, didapatkan yang terbanyak adalah jenis kelamin

perempuan sebanyak 79 orang (63,2%), pola makan yang kurang mengandung vitamin A

sebanyak 112 orang (89,6%), status ekonomi kurang dari UMR sebanyak 83 orang (66,4%),

memiliki pengetahuan cukup baik sebanyak 80 orang (64%), memiliki sikap kurang baik

sebanyak 75 orang (60%), memiliki perilaku kurang baik sebanyak 92 orang (73,6%), tidak

mengkonsumsi suplemen vitamin A sebanyak 100 orang (80%), menatap layar lebih dari 30

menit sebanyak 74 orang (59,2%), membaca dengan jarak yang sesuai 67 orang (53,6%),

membaca 30 menit atau kurang sebanyak 77 orang (61,6%), memiliki gizi kurang sebanyak

52 orang (41,6%).

Tidak terdapat hubungan antara pola makan yang mengandung vitamin A terhadap

penurunan ketajaman penglihatan.

Terdapat hubungan antara jenis kelamin terhadap penurunan ketajaman penglihatan.

Tidak terdapat hubungan antara status ekonomi, pengetahuan, sikap, dan perilaku siswa/i,

suplemen vitamin A, lama menatap layar, jarak membaca, lama membaca, dan status gizi

terhadap penurunan ketajaman penglihatan.

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, salah satu faktor yang bermakna

adalah jenis kelamin, dimana jenis kelamin merupakan faktor yang tak dapat diintervensi.

Namun pada sebaran distribusi diketahui bahwa kebanyakan siswa/i SMPN 271 memiliki status

gizi yang kurang. Kami menyarankan pihak sekolah untuk mengadakan kantin yang menjual

60

makanan dengan kecukupan gizi yang baik dan sekolah untuk bekerjasama mengadakan

penyuluhan dan program perbaikan gizi.

Kami juga menyarankan untuk dilakukan penelitian berdesain kohort karena pada

penelitian berdesain kros seksional ini, terdapat masalah dalam hal recall makanan selama 1

minggu dimana memerlukan daya ingat yang dapat menimbulkan ketidaktepatan. Kepatuhan

untuk mengisi food frequency quesioner juga sulit untuk didapatkan, sehingga kami

menyarankan untuk menggunakan imbalan setelah pengisian kuesioner. Kami juga mengalami

kesulitan dalam menghitung kadar vitamin A dalam setiap makanan karena kurangnya

standarisasi takaran pengukuran makanan yang sangat bervariasi.

61

Daftar Pustaka

1. Gianini, R.J., Masi, E., Coelho, E.C., Oréfice, F.R., dan Moraes, R.A., 2004. Prevalence of

Low Visual Acuity in Public School’s Students from Brazil. Rev Saúde Pública 38(2).

2. Resnikof S. 2004 Nov. Global data on visual impairment in the year 2002. Bulletin of the

World Health Organization. 82(11).

3. Yuniar R, Fitrah E. Jurnal penelitian: Hubungan zat gizi mikro dengan status gizi pada anak

remaja SLTP. PGM 2010, 33(1): 14-22. Diunduh: Selasa, 28 Juli 2015.

4. Seema S, Minakshi K, Manish G. Effect of television watching on vision of school children

in Rural Haryana. The internet journal of preventive medicine. 2010; 2(1).

5. Rahi JS, Sripathi S, Gilbert CE. Childhood blindness due to vitamin A deficiency in India:

regional variations. Arch Dis Child (2005) 72: 330-33.

6. Departemen Kesehatan RI. Riset kesehatahan dasar 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008: 80.

7. Lely IP, Woodford BSJ, Ricky CS. 2014. Faktor – faktor yang berhubungan dengan

ketajaman penglihatan pada pelajar sekolah dasar katolik Santa Theresia 2 kota Manado.

Manado: Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sam Ratulangi.

8. Fachrian D, Rahay AB, Naseh AJ, Rerung NET, Pramesti M, Sari EA, et al. Prevalensi

kelainan tajam penglihatan pada pelajar SD “X” Jatinegara Jakarta Timur. Jakarta: FK UPN.

2009.

9. 100 makanan yang mengandung vitamin A super tinggi. 3 Maret 2015. Diunduh dari

http://halosehat.com/gizi-nutrisi/panduan-gizi/100-makanan-yang-mengandung-vitamin-a-

super-tinggi. 9 Juli 2015.

10. Mutia N, Hartini N, Hakim M. Kurang asupan vitamin A, C, E dan beta karoten

meningkatkan kejadian preeklampsia di RSUP dr. Sardjito. Yogyakarta: Gizi Indon (2010)

33(2): 136-42.

11. Adawiyah R. All about KVA. 11 Juni 2012. Diunduh dari

http://www.kompasiana.com/rabiatuladawiah/all-about-kva-kurang-vitamin-

a_551110aea33311c539ba954f. 10 Juli 2015.

12. Almatsier S. Dasar ilmu gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004: 247-56.

62

13. Al-Saleh I, El-Doush I, Billedo G. Age and gender-related reference values for serum dl-

alpha-tocopherol and all-trans-retinol levels in Saudi population. Int J Vitam Nutr Res. 2007

Sep. 77(5):326-35.

14. Ansstas G. Vitamin A deficiency. 11 Juni 2014. Diunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/126004-clinical#showall. 29 Juli 2015.

15. Semba RD, Bloem MW. The anemia of vitamin A deficiency: epidemiology and

pathogenesis. European Journal of Clinical Nutrition (2002) 56, 271-281.

16. Kemenkes RI. Pedoman gizi seimbang. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI, 2014: 2-3.

17. Brun PJ. Effects of vitamin A deficiency on retinoid and energy metabolism in liver and

white adipose tissue. USA: University of Connecticut, 2008: 1-37.

18. Departemen Kesehatan RI. Deteksi dan tatalaksana kasus xeroftamia: pedoman bagi tenaga

kesehatan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, 2003: 20-38.

19. McLaren DS, Kraemer K. Manual on vitamin A deficiency disorder (VADD). World Rev

Nutr Diet. Basel, Karger. 2012, 103(1): 148-65.

20. Mahmud MK, Zulfianto NA. Tabel komposisi pangan indonesia. Jakarta: PT Elex Media

Komputindo, 2008: 1-45.

21. Saw S, et al. Causes of low vision and blindness in rural indonesia. Br J Ophthalmol (2005)

87 : 1075-78.

22. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2012: 98-105.

23. Tarigan R. 2012. Kelainan refraksi pada anak usia sekolah di SD dan SMP Era Ibang

Medan. Skripsi. Medan: Fakultas Keperawatan, Universitas Sumatera Utara.

24. Yani DA. Kelainan refraksi dan kacamata. Surabaya: Surabaya Eye Clinic (2008) 17: 68-72.

25. Siregar, Votranica N. 2012. Perbedaan karakteristik jenis kelamin terhadap kelainan refraksi

pada siswa/i di SD dan SMP RK Budi Mulia Pematang Siantar. Skripsi. Medan: Fakultas

Keperawatan, Universitas Sumatera Utara.

26. Gregory S, Luis C, Jayne W. Growth and developtment of the eye. Pediatric ophtalmology

and strabismus. Singapura: American Academy Ophtalmology, 2009: 128-32.

27. Hayes, Gerry, et all. Physiology of the eye. 2000. Diunduh dari: www.iknow.net. 9 Juli

2015.

28. Smith BT, Belani S, Ho AC. Ultraviolet and near-blue light effects on the eye. Int

Ophthalmol Clin. 2005 Winter;45(1):107-15.

63

29. Pendit BU. Vaughan & Asbury: oftalmologi umum. Edisi 17. Jakarta: Penerbit buku

kedokteran EGC; 2010.h.395.

30. Abimanyu JK. Faktor yang berhubungan dengan kelainan refraksi myopia pada anak

sekolah dasar di Kabupaten Tanggamus tahun 2009/2010. Yogyakarta: Universitas Gadjah

Mada; 2013.

31. Nurmaya R. Skripsi: hubungan intensitas penerangan dan lama paparan cahaya layar

monitor dengan kelelahan mata pekerja komputer di kelurahan X. Diunduh: selasa, 28 juli

2015.

32. Bahaya membaca sambil tiduran. 2 Maret. Diunduh dari

https://26nuril9a.wordpress.com/2013/03/02/bahaya-membaca-sambil-tiduran/. 29 Juli 2015.

33. Riordan EP, Whitcher JP. Oftalmologi umum Vaughan & Asbury. Edisi ke-17. Jakarta:

EGC, 2009: 28-32.

34. Arisman. Gizi dalam daur kehidupan. Jakarta: EGC, 2004: 78.

35. Hardani R. Pola makan sehat. Diunduh dari

http://kharisma.de/files/home/makalah_rika.pdf. 7 Juli 2015.

36. Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

37. Irina M, Kodrat P, Murwanto B. Perilaku sarapan pagi anak sekolah dasar. Jurnal Kesehatan,

Volume V, Nomor 1, April 2014, hlm 90-97.

38. Husaini, MA. 1997. Peranan Gizi dan Pola Asuh Meningkatkan Kualitas Tumbuh Kembang

Anak. Puslitbang Gizi, Bogor.

39. Sunaryo. 2004. Psikologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.

40. Skinner. 1983. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.

64

Lampiran

Gambaran konsumsi makanan pada siswa SMPN 271

Formulir metode recall 7 hari

No. Responden: _______________

Nama: Umur: Jenis kelamin: P/L

...., ... Juli 2015

Waktu

Maka

n

Nama Masakan

Bahan Makanan

JenisBanyaknya

URT Gr

Pagi

Siang

Malam

65

Kuesioner Penelitian

Hubungan Antara Pola Makan yang Mengandung Vitamin A dan

Faktor – faktor Lainnya Terhadap Penurunan Ketajaman Penglihatan

pada Anak SMPN 271 di Kelurahan Sukabumi Selatan

Jakarta Barat Juli 2015

Tanggal pengisian kuesioner: No. Kuesioner:

Semua data yang tercantum di bawah ini akan DIRAHASIAKAN !!!

I. Data Umum

Nama :_________________________

Umur :_________________________

Alamat :_________________________

Jenis kelamin : P/L (*coret yang tidak perlu)

Pendidikan (beri tanda pada salah satu pilihan di bawah ini)

SMP 2

SMP 3

Berilah tanda (x) pada jawaban dari setiap pertanyaan di bawah ini!

I. Status Ekonomi

Berilah tanda (x) pada jawaban dari setiap pertanyaan di bawah ini!

1. Penghasilan rata – rata per bulan:

a. < Rp 2.700.000,00

b. ≥ Rp 2.700.000,00

II. Pengetahuan Vitamin A

Berilah tanda (x) pada jawaban dari setiap pertanyaan di bawah ini!

1. Apakah manfaat dari mengkonsumsi sayuran dan buah?

a. Sebagai sumber tenaga, pembangun, dan pengatur (3)

b. Untuk menjaga kesehatan (5)

66

c. Dapat mengenyangkan perut (1)

2. Apakah zat gizi yang terkandung dalam sayuran dan buah?

a. Karbohidrat dan vitamin (3)

b. Vitamin, mineral, dan serat (5)

c. Lemak (1)

3. Apakah manfaat/kegunaan vitamin, mineral, dan serat yang terkandung dalam

sayuran dan buah?

a. Sebagai zat pembangun dan pelindung (5)

b. Mencegah terjadinya penyakit (3)

c. Mengenyangkan perut (1)

4. Apa manfaat dari vitamin A?

a. Kesehatan mata, pertumbuhan jaringan tubuh, kekebalan tubuh (5)

b. Kekebalan tubuh, anti kanker, mengenyangkan perut (3)

c. Memperbaiki rabun jauh (1)

5. Manakah makanan di bawah yang mengandung vitamin A?

a. Tomat, bayam, wortel, daging, ikan (5)

b. Kangkung, daun bawang, jeruk, daging (1)

c. Wortel, nanas, tauge, ikan (3)

6. Apakah gejala awal kekurangan vitamin A?

a. Sakit mata (1)

b. Mata kering (3)

c. Rabun senja / rabun ayam (5)

7. Apakah akibat paling membahayakan yang ditimbulkan dari kurang vitamin A?

a. Kebutaan (5)

b. Rabun senja (3)

c. Buta warna (1)

67

III. Sikap

Berilah tanda centang pada salah satu pilihan pada salah satu kolom dari setiap

pernyataan di bawah ini!

No. Pernyataan Sikap 1 2 3 4 5

1 Saya mengkonsumsi sayur dan buah setiap hari

untuk menjaga kesehatan tubuh

2 Saya cenderung hanya makan daging saja setiap

harinya untuk memenuhi kebutuhan vitamin A

3 Saya lebih memilih memakan telur rebus

daripada telur dadar untuk dimakan

4 Jika dirumah disediakan jus wortel dan sirup

maka saya akan memilih minum jus wortel

5 Saya akan menambahkan sate hati ayam pada

bubur ayam yang saya makan

6 Daripada makan mie ayam saya lebih memilih

makan gado-gado

7 Saya mengkonsumsi makanan mengandung

vitamin A untuk mencegah kebutaan

Ket: 1=Sangat tidak setuju; 2=Tidak setuju; 3=Cukup setuju; 4=Setuju; 5=Sangat Setuju

1 = skor 1, 2 = skor 2, 3 = skor 3, 4 = skor 4, 5 = skor 5

IV. Perilaku

Berilah tanda (x) pada jawaban dari setiap pertanyaan di bawah ini!

1. Seberapa sering Anda mengkonsumsi sayuran?a. Setiap hari (5)b. 3-4 hari sekali (3) c. Seminggu sekali (1)

2. Apa sayuran yang Anda makan?a. Jamur kuping, jamur shitake, jamur kancing (1)b. Bayam, kangkung, wortel (5)c. Sawi, kembang kol, tauge (3)

68

3. Seberapa sering Anda mengkonsumsi buah?a. Setiap hari (5)b. 3-4 hari sekali (3) c. Seminggu sekali (1)

4. Seberapa sering Anda mengkonsumsi daging?a. Setiap hari (5)b. 3-4 hari sekali (3)c. Seminggu sekali (1)

5. Apa jenis masakan yang anda makan?a. Sayur ditumis (3)b. Sayur digoreng (1)c. Sayur lalapan (5)

V. Faktor – faktor Lain yang MempengaruhiBerilah tanda (x) pada jawaban dari setiap pertanyaan di bawah ini!

A. Suplemen Vitamin A1. Berapa kadar tablet/kapsul/sirup suplemen vitamin A yang Anda konsumsi setiap

hari?a. Tidak pernah mengkonsumsi (0)b. < 700 mcg (1)c. 700 mcg – 2799 mcg (2)d. > 2800 mcg (3)

B. Lama membaca1. Berapa lama Anda biasanya mengerjakan PR atau belajar tanpa mengistirahatkan

mata?a. ≤ 30 menitb. > 30 menit

Terima Kasih Atas Kerjasamanya!!

Selamat Belajar!!

69

Lampiran Hasil SPSS

Hasil SPSS Hubungan Antara Penurunan Ketajaman Penglihatan dengan Pola Makanan yang

Mengandung Vitamin A dan Faktor-faktor Lainnya di SMPN 271 Kelurahan Sukabumi Selatan,

Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta Barat Periode 24 Juli – 31 Juli 2015.

Analisis Univariat Ketajaman Penglihatan

Analisis Univariat Asupan Vitamin A

Analisis Univariat Jenis Kelamin

70

Analisis Univariat Status Ekonomi

Analisis Univariat Pengetahuan

Analisis Univariat Sikap

Analisis Univariat Perilaku

71

Analisis Univariat Pemberian Suplemen Vitamin A

Analisis Univariat Jarak Membaca

Analisis Univariat Lama Membaca

Analisis Univariat Status Gizi

72

Hubungan Asupan Vitamin A dengan Ketajaman Penglihatan

73

Hubungan Jenis Kelamin dengan Ketajaman Penglihatan

74

Hubungan Status Ekonomi dengan Ketajaman Penglihatan

Hubungan Pengetahuan dengan Ketajaman Penglihatan

75

Hubungan Sikap dengan Ketajaman Penglihatan

76

Hubungan Perilaku dengan Ketajaman Penglihatan

77

78

Hubungan Pemberian Suplemen Vitamin A dengan Ketajaman Penglihatan

79

80

Hubungan Jarak Membaca dengan Ketajaman Penglihatan

Hubungan Lama Membaca dengan Ketajaman Penglihatan

81

Hubungan Status Gizi dengan Ketajaman Penglihatan

82