presentasi kasus neurologi KOAS FK UNS EPILEPSI SIMPTOMATIK ET CAUSA GLIOBLASTOMA

download presentasi kasus neurologi KOAS FK UNS EPILEPSI SIMPTOMATIK ET CAUSA GLIOBLASTOMA

of 40

description

PRESENTASI KASUS EPILEPSI SIMPTOMATIK ET CAUSA GLIOBLASTOMA, KOAS FK UNS RSDM

Transcript of presentasi kasus neurologi KOAS FK UNS EPILEPSI SIMPTOMATIK ET CAUSA GLIOBLASTOMA

BAB I

STATUS PASIENA. IDENTITAS PASIENNama: Ny. TUmur: 38 tahun

Jenis Kelamin: PerempuanAgama: IslamPekerjaan : BuruhAlamat: Kadipiro, Banjarsari, Jawa TengahNo. RM:01287275Tanggal Masuk: 27 April 2015B. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama

Kejang2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluhkan kejang 2 jam sebelum masuk rumah sakit saat pasien sedang tidur dengan posisi duduk tegap dan kaki menekuk kaku 2x, mata melirik keatas, keluar buih, mengompol (-), selama 30 menit, sempart berhenti sebentar kemudian kejang lagi. Diantara kedua kejang pasien tidak sadar, setelah kejang pasien tidak sadar kurang lebih 30 menit dan saat sadar pasien bingung sebentar. Bicara pelo (-), wajah merot ke kanan (-), tersedak (-), demam (-), pusing berputar (-), nyeri kepala (-), muntah (-), kejang (-), gangguan BAB dan BAK (-). Kelemahan anggota gerak (-), gangguan perilaku (-), gangguan memori (-). 3. Riwayat Penyakit Dahulu

Limfoma maligna : dalam terapiRiwayat operasi: Kel. Axilla 2 bulan yang lalu

Riwayat stroke: disangkalRiwayat tekanan darah tinggi

: disangkalRwayat penyakit jantung: disangkal Riwayat sakit gula: disangkalRiwayat kejang: disangkalRiwayat trauma sebelumnya: disangkal4. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit dengan keluhan serupa : disangkalRiwayat sakit gula

: disangkalRiwayat tekanan darah tinggi: disangkalRiwayat sakit jantung

: disangkal5. Riwayat KebiasaanRiwayat minum alkohol: disangkalRiwayat merokok

: disangkal6. Riwayat GiziSebelum sakit, pasien makan tiga kali sehari, porsi sedang dengan nasi dan lauk pauk seadanya.Pasien sering memakan makanan yang bersantan dan digoreng.7. Riwayat Sosial EkonomiPasien dirumah tinggal bersama anaknya, pasien bekerja sebagai buruh. Pasien dirawat di RSDM dengan biaya dari BPJS.ANAMNESIS SISTEMa. Sistem saraf pusat:nyeri kepala (-), kejang (-)b. Sistem Indera Mata:berkunang- kunang (-),pandangan dobel (-), penglihatan kabur (-), pandangan berputar (-)

Hidung: mimisan (-), pilek (-)

Telinga:pendengaran berkurang (-), berdenging (-), keluar cairan (-), darah (-), nyeri (-)c. Mulut

: sariawan (-), gusi berdarah (-), mulut kering (-), gigi tanggal (-), gigi goyang (-), bicara pelo (-)d. Tenggorokan: sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-)

e. Sistem respirasi:sesak nafas (-), batuk (-), batuk darah (-), mengi (-) tidur mendengkur (-)

f. Sistem kardiovaskuler: sesak nafas saat beraktivitas (-), nyeri dada (-), berdebar-debar (-)

g. Sistem gastrointestinal:mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-), susah BAB (-), perut sebah (-), mbeseseg (-), kembung (-), nafsu makan berkurang (-), ampek (-), tinja lunak, warna kuningh. Sistem muskuloskeletal:nyeri (-), nyeri sendi (-), kaku (-)

i. Sistem genitourinaria:mengompol (-), sulit mengontrol kencing (-)j. Ekstremitas atas:luka (-), tremor (-), ujung jari terasa dingin (-), kesemutan(-/-), bengkak (-), kelemahan (-/-), sakit sendi (-), panas (-) berkeringat (-)

k. Ekstremitas bawah :luka (-), tremor (-), ujung jari terasa dingin (-), kesemutan (+/-), sakit sendi lutut kiri (-), kelemahan (-/+)l. Sistem neuropsikiatri:kejang (-), gelisah (-),mengigau (-), emosi tidak stabil (-)

m. Sistem Integumentum:kulit sawo matang, pucat (-), kering (-)C. PEMERIKSAAN FISIKStatus GeneralisVS :TD: 130/90 mmHgNadi: 99x/menitRR: 18x/menitSuhu: 36,7 CVAS: 2-3Status Neurologisa. Kesadaran

: GCS E4V5M6b. Fungsi luhur

: sdec. Fungsi vegetatif

: dbnd. Fungsi sensorik

: dbne. Fungsi koordinasi

: sdef. Fungsi sensorik

: N N N Ng. Fungsi otonom

: dbnh. Fungsi collumna vertebralis: dbni. Fungsi motorik dan reflek:

Kekuatan

Tonus

R. Fisiologis

R. Patologis55

N N +2/+2 +2/ +2

+ +

55

N N +2/+2 +2/+2

- -

j. Nervus Cranialis

1. N. II, III

: refleks cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm)2. N. III, IV, VI: pergerakan bola mata dbn3. N.VII

: dbn4. N. XII

: dbnk. Meningeal Sign

Kaku kuduk

: (-)

Tanda Brudzinski I: (-) Tanda Brudzinski II: (-) Tanda Brudzinski III: (-)

Tanda Brudzinski IV: (-)

Tanda Kernig

: (-/-)D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Laboratorium Darah 27 April 2015Pemeriksaan27/4/2015SatuanNilai normal

Hematologi Rutin

Hb10.4g/dl13.5 17.5

Hct32(33 45

AL6.2103/(l4.5 - 11.0

AT268103/(l150 - 450

AE3.72106/(l4.50 5.90

Kimia Klinik

GDS87mg/dl60-140

SGOT31u/l0-35

SGPT19u/l0-45

Kreatinin0.8mg/dl0.9 -1.3

Ureum30mg/dl< 50

Elektrolit

Na138mmol/L136-145

K3.1mmol/L3.7-5.4

Cl106mmol/L98-106

2. EKG

Irama

: Sinus Ritme

Rate

: 81x/menit

Axis

:Normoaxis3. Foto Thoraks PA

Foto Thoraks PA:

Cor: besar dan bentuk normal, tampak kalsifikasi aortic knobPulmo: tampak perselubungan dengan airbronchogram di paracardial kananSinus costophrenicus kanan kiri tajam

Hemidiaphragma kanan kiri normal

Trakhea di tengah

Sistema tulang baikKesimpulan:

1. Perselubungan dengan airbronchogram di paracardial kanan DD :Pneumonia

TB Paru

2. Aortosclerosis4. MSCT Scan Kepala Tanpa KontrasPemeriksaan MSCT Scan Kepala irisan axial reformat sagital/coronal tanpa kontras:Tampak multiple tetntakel edem di lobus frontalis dan lobus parietalis kanan kiriLesi tampak mendesak cornu anterior ventrikel lateralis kanan serta menyebabkan deviasi midline ke kiri sejauh 0,97 cm

Sistem ventrikel dan sistema diluar lesi normal

Pons, cerebellum dan cerebellopontin angle tak tampak kelainan

Orbita, masoid dan sinus paranasales kanan kiri tak tampak kelainan

Craniocerebral space tak tampak kelainanCalvaria intak

Kesimpulan:Multiple tentakel edema di lobus frontalis parietalis bilateral yang mendesak cornu anterior ventrikel lateralis kanan serta menyebabkan deviasi medline ke kiri sejauh 0,97 cm DD :1.Infeksi

2. Metastasis

Saran : MRI kepala dengan kontrasE. RESUMEPasien mengeluhkan kejang 2 jam sebelum masuk rumah sakit saat pasien sedang tidur dengan posisi duduk tegap dan kaki menekuk kaku 2x, mata melirik keatas, keluar buih, mengompol (-), selama 30 menit, sempart berhenti sebentar kemudian kejang lagi. Diantara kedua kejang pasien tidak sadar, setelah kejang pasien tidak sadar kurang lebih 30 menit dan saat sadar pasien bingung sebentar. Bicara pelo (-), wajah merot ke kanan (-), tersedak (-), demam (-), pusing berputar (-), nyeri kepala (-), muntah (-), kejang (-), gangguan BAB dan BAK (-). Kelemahan anggota gerak (-), gangguan perilaku (-), gangguan memori (-).F. ASSESMENT K: Status epileptikusT: CortexE: Acute Simtimatic seizure e.c. dd tuberkulomaG. PENATALAKSANAAN

1. O2 3 liter/menit nasal canul2. Infus Asering 0.9% 20 tpm3. Injeksi Stesolid 10mg i.v. jika kejang4. Injeksi fenitoin 100mg dlm 30 cc Nacl 0,9% /8jam5. Asam folat 1x50 mg p.o.6. Vitamin B1 2x100 mg p.oH. PLANNING1. Mondok bangsal2. Plain head CT Scan3. Ro Thorax4. EKG 5. Lab Lengkap6. Konul bedah onko dan Interna7. EEGI. PROGNOSISAd vitam

: dubia ad bonam

Ad sanam

: dubia ad bonamAd fungsionam: dubia ad bonamJ. Progress Report

Tanggal28 4 2015

SubjektifKejang

ObjektifGCS E4V5M6Tensi : 110/70 mmHg

Nadi : 84 x/ menitRespirasi : 20x/menit, reguler

Suhu : 36,8C (per axiller)Fungsi luhur: dbn

Meningeal sign: -

N. Cranialis:

II, III pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+

III, IV, VI gerak bola mata kesan dbn

VII, XII dbn

Motorik:

K

5

5T

N

N5

5N

NRF

+3+3RP

+++3+3

--Hoffman TromerSensorik : dbn

Otonom : dbn

Koordinasi : dbn

AssessmentK : Rw status epileptikus

T : Cortex

E : Akut simtomatik seizure e.c susp. Tuberkuloma

PlanningP. Tx :

O2 3 lpm k/p

Inf.sering 20 tpm

Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam

Unj. Diazepam 10 mg IV bila kejang

Phenitoin 1 x 100 mg

Vit B6 2 x 1 tab

Asam folat 1 x 1 tab

KSR 2 x1 tab

P. Dx :

Tunggu hasil CT scan

Konsul EEG

Hari ini cek laboratorium lengkap

Konsul paru

Tanggal29 4 2015

SubjektifKejang (-)

ObjektifGCS E4V5M6Tensi : 110/70 mmHg

Nadi : 80 x/ menitRespirasi : 18x/menit, reguler

Suhu : 36,7C (per axiller)Fungsi luhur: dbn

Meningeal sign: -

N. Cranialis:

II, III pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+

III, IV, VI gerak bola mata kesan dbn

VII, XII dbn

Motorik:

K

5

5T

N

N5

5N

NRF

+3+3RP

+++3+3

--Hoffman TromerSensorik : dbn

Otonom : dbn

Koordinasi : dbn

AssessmentK : Rw status epileptikus

T : Cortex

E : Akut simtomatik seizure e.c susp. Tuberkuloma

PlanningP. Tx :

O2 3 lpm k/p

Inf.sering 20 tpm

Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam

Inj. Diazepam 10 mg IV bila kejang

Inj. Vit B12 500mcg/12 jam

Phenitoin 1 x 100 mg

Vit B6 2 x 1 tab

Asam folat 1 x 1 tab

KSR 2 x1 tab

Allopurinol 0 0 1

P. Dx :

Tunggu jadwal EEG

Tunggu protokol MRI dengan kontras

Tanggal30 4 - 2015

SubjektifKejang

ObjektifGCS E4V5M6Tensi : 120/80 mmHg

Nadi : 88 x/ menitRespirasi : 18 x/menit, reguler

Suhu : 36,8C (per axiller)Fungsi luhur: dbn

Meningeal sign: -

N. Cranialis:

II, III pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+

III, IV, VI gerak bola mata kesan dbn

VII, XII dbn

Motorik:

K

5

5T

N

N5

5N

NRF

+3+3RP

+++3+3

--Hoffman TromerSensorik : dbn

Otonom : dbn

Koordinasi : dbn

AssessmentK : Rw status epileptikus

T : Cortex

E : Akut simtomatik seizure e.c susp. Tuberkuloma

PlanningP. Tx :

O2 3 lpm k/p

Inf.sering 20 tpm

Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam

Inj. Diazepam 10 mg IV bila kejang

Phenitoin 1 x 100 mg

Vit B6 2 x 1 tab

Asam folat 1 x 1 tab

KSR 2 x1 tab

Allopurinol 0 0- 1

P. Dx :

Tunggu jadwal EEGTunggu jadwal MRI brain dengan kontras Konfirmasi paru apakah acc pindah Anggrek 1?

Tanggal2 5 2015

SubjektifKejang (-)

ObjektifGCS E4V5M6Tensi : 110/70 mmHg

Nadi : 84 x/ menitRespirasi : 20x/menit, reguler

Suhu : 36,8C (per axiller)Fungsi luhur: dbn

Meningeal sign: -

N. Cranialis:

II, III pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+

III, IV, VI gerak bola mata kesan dbn

VII, XII dbn

Motorik:

K

5

5T

N

N5

5N

NRF

+3+3RP

+++3+3

--Hoffman TromerSensorik : dbn

Otonom : dbn

Koordinasi : dbn

AssessmentK : Rw status epileptikus

T : Cortex

E : Akut simtomatik seizure e.c susp. Tuberkuloma

PlanningP. Tx :

O2 3 lpm k/p

Inf.sering 20 tpm

Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam

Inj. Diazepam 10 mg IV bila kejang

Phenitoin 1 x 100 mg

Vit B6 2 x 1 tab

Asam folat 1 x 1 tab

KSR 2 x1 tab

Allopurinol 0 0 1

P. Dx :

Tunggu jadwal EEG

Tunggu jadwal MRI brain dengan kontras

Tanggal3 5 2015

SubjektifKejang (-)

ObjektifGCS E4V5M6Tensi : 110/70 mmHg

Nadi : 84 x/ menitRespirasi : 20x/menit, reguler

Suhu : 36,8C (per axiller)Fungsi luhur: dbn

Meningeal sign: -

N. Cranialis:

II, III pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+

III, IV, VI gerak bola mata kesan dbn

VII, XII dbn

Motorik:

K

5

5T

N

N5

5N

NRF

+3+3RP

+++3+3

--Hoffman TromerSensorik : dbn

Otonom : dbn

Koordinasi : dbn

AssessmentK : Rw status epileptikus

T : Cortex

E : Akut simtomatik seizure e.c susp. Tuberkuloma

PlanningP. Tx :

O2 3 lpm k/p

Inf.sering 20 tpm

Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam

Inj. Diazepam 10 mg IV bila kejang Inj. Vit B12 500 mcg/12 jamPhenitoin 1 x 100 mg

Vit B6 2 x 1 tab

Asam folat 1 x 1 tab

KSR 2 x1 tab

Allopurinol 0 0 1

P. Dx :

Tunggu jadwal EEG

MRI brain kontras 6 5 2015

Tanggal4 5 2015

SubjektifKejang (-)

ObjektifGCS E4V5M6Tensi : 110/70 mmHg

Nadi : 84 x/ menitRespirasi : 20x/menit, reguler

Suhu : 36,8C (per axiller)Fungsi luhur: dbn

Meningeal sign: -

N. Cranialis:

II, III pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+

III, IV, VI gerak bola mata kesan dbn

VII, XII dbn

Motorik:

K

5

5T

N

N5

5N

NRF

+3+3RP

+++3+3

--Hoffman TromerSensorik : dbn

Otonom : dbn

Koordinasi : dbn

AssessmentK : Rw status epileptikus

T : Cortex

E : Akut simtomatik seizure e.c susp. Tuberkuloma

PlanningP. Tx :

O2 3 lpm k/p

Inf.sering 20 tpm

Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam

Inj. Diazepam 10 mg IV bila kejang Inj. Vit B 12 500 mcg/12 jam Phenitoin 1 x 100 mg

Vit B6 2 x 1 tab

Asam folat 1 x 1 tab

KSR 2 x1 tab

Allopurinol 0 0 1

P. Dx :

Tunggu jadwal EEG

MRI brain kontras 6 5 2015

Tanggal8 5 2015

SubjektifKejang (-)

ObjektifGCS E4V5M6Tensi : 110/70 mmHg

Nadi : 84 x/ menitRespirasi : 20x/menit, reguler

Suhu : 36,8C (per axiller)Fungsi luhur: dbn

Meningeal sign: -

N. Cranialis:

II, III pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+

III, IV, VI gerak bola mata kesan dbn

VII, XII dbn

Motorik:

K

5

5T

N

N5

5N

NRF

+3+3RP

+++3+3

--Hoffman TromerSensorik : dbn

Otonom : dbn

Koordinasi : dbn

AssessmentK : Rw status epileptikus

T : Cortex

E : Akut simtomatik seizure e.c susp. Tuberkuloma

PlanningP. Tx :

O2 3 lpm k/p

Inf.sering 20 tpm

Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam

Inj. Diazepam 10 mg IV bila kejang Inj. Vit B12 500 mcg/12 jam Phenitoin 1 x 100 mg

Vit B6 2 x 1 tab

Asam folat 1 x 1 tab

KSR 2 x1 tab

Allopurinol 0 0 1

P. Dx :

Tunggu jadwal EEG

MRI brain dengan kontras 6 5 2015

Tanggal6 5 2015

SubjektifKejang (-)

ObjektifGCS E4V5M6Tensi : 110/70 mmHg

Nadi : 84 x/ menitRespirasi : 20x/menit, reguler

Suhu : 36,8C (per axiller)Fungsi luhur: dbn

Meningeal sign: -

N. Cranialis:

II, III pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya +/+

III, IV, VI gerak bola mata kesan dbn

VII, XII dbn

Motorik:

K

5

5T

N

N5

5N

NRF

+3+3RP

+++3+3

--Hoffman TromerSensorik : dbn

Otonom : dbn

Koordinasi : dbn

AssessmentK : Rw status epileptikus

T : Cortex

E : Akut simtomatik seizure e.c susp. Tuberkuloma

PlanningP. Tx :

O2 3 lpm k/p

Inf.sering 20 tpm

Inj. Phenitoin 100 mg/12 jam

Inj. Diazepam 10 mg IV bila kejang Inj. Vit B12 500 mcg/12 jamPhenitoin 1 x 100 mg

Vit B6 2 x 1 tab

Asam folat 1 x 1 tab

KSR 2 x1 tab

Allopurinol 0 0 1

P. Dx :

Hari ini MRI brain kontras

Tunggu hasil EEG

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik.

B. ETIOLOGI

1. Idiopatik; sebagian besar epilepsy pada anak

2. Factor herediter,ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai bangkitan kejang seperti sklerosis tuberose, neurofibromatosis, angiomatosis ensefalotrigeminal, fenilketonuria, hipoparatiroidisme, hipoglikemia.

3. Factor genetic; pada kejang demem dan breath holding spells

4. Kelainan congenital otak; atropi, porensefali, agenesis korpus kalosum

5. Gangguan metabolik; hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia

6. Infeksi; radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan

7. selaputnya,toxoplasmosis

8. Trauma; kontusio serebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural

9. Neoplasma otak dan selaputnya

10. Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen

11. Keracunan; timbale (Pb), kapur barus, fenotiazin,air

12. Lain-lain; penyakit darah,gangguan keseimbangan hormone,degenerasi serebral,dan

13. lain-lain.

(Anonim, 2008)

C. PATOFISIOLOGI

1. Patofisiologi Epilepsi Umum

Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien bengong dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.3 Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion (tabel 3). Contoh: Generalized epilepsy with febrile seizure plus, benign familial neonatal convulsions.

Tabel 3. Mutasi kanal ion pada beberapa jenis epilepsi4-6

Kanal

Gen

Sindroma

Voltage-gated

Kanal Natrium

SCN1A, SCN1B,

Generalized epilepsies with

SCN2A, GABRG2

febrile seizures plus

Kanal Kalium

KCNQ2, KCNQ3

Benign familial neonatal

convulsions

Kanal Kalsium

CACNA1A, CACNB4 Episodic ataxia tipe 2

CACNA1H

Childhood absence epilepsy

Kanal Klorida

CLCN2

Juvenile myoclonic epilepsy

Juvenile absence epilepsy

Epilepsy with grand mal

seizure on awakening

Ligand-gated

Reseptor asetilkolin

CHRNB2, CHRNA4

Autosomal dominant frontal

lobe epilepsi

Reseptor GABA

GABRA1, GABRD

Juvenile myoclonic epilepsy

Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion natrium (natrium influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas depolarisasi dan repolarisasi yang normal pada sel neuron (gambar 1A). Jika terjadi mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat pada generalized epilepsy with febrile seizures plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan sedangkan kalium refluks tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang berlangsung berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron (gambar1B). Hal yang sama terjadi pada benign familial neonatal convulsion dimana terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi efluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron (gambar 1C)

Gambar 1. Mutasi kanal ion32. Patofisiologi Epilepsi Parsial

Patofisiologi epilepsi parsial yang dapat diterangkan secara jelas adalah epilepsi lobus temporal yang disebabkan oleh sklerosis hipokampus. Pada sklerosis hippokampus terjadi hilangnya neuron di hilus dentatus dan sel piramidal hipokampus. Pada keadaan normal terjadi input eksitatori dari korteks entorhinal ke hippokampus di sel granula dentatus dan input inhibitori dari interneuron di lapisan molekular dalam (inner layer molecular) (gambar 2). Sel granula dentatus relatif resisten terhadap aktivitas hipersinkroni, dan dapat menginhibisi propagasi bangkitan yang berasal dari korteks entorhinal,

Gambar 2. Hippokampus3

Pada sklerosis hippocampus terjadi sprouting akson mossy-fiber balik ke lapisan molekular dalam (karena sel pyramidalis berkurang). Mossy fibers yang aberant ini menyebabkan sirkuit eksitatori yang rekuren dengan cara membentuk sinaps pada dendrit sel granula dentatus sekelilingnya. Di samping itu interneuron eksitatori yang berada di gyrus dentatus berkurang (yang secara normal mengaktivasi interneuron inhibitori), sehingga terjadi hipereksitabilitas (gambar 3).

Gambar 3. Sel granula dentatus3

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi neurogenesis postnatal di hippocampus. Suatu bangkitan mencetuskan peningkatan aktivitas mitosis di daerah proliferatif gyrus dentatus sehingga terjadi diferensiasi sel granula dentatus baru dan pada akhirnya terjadi ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi. Teori patofisiologi yang lain adalah terjadi perubahan komposisi dan ekspresi reseptor GABAa. Pada keadaan normal, reseptor GABAa terdiri dari 5 subunit yang berfungsi sebagai inhibitori dan menyebabkan hiperpolarisasi neuron dengan cara mengalirkan ion klorida. Pada epilepsy lobus temporal, terjadi perubahan ekspresi reseptor GABAa di sel granula dentatus berubah sehingga menyebabkan sensitivitas terhadap ion Zinc meningkat dan akhirnya menghambat mekanisme inhibisi.3,4 Mekanisme epilepsi lain yang dapat diterangkan adalah terjadinya epilepsi pada cedera otak. Jika terjadi suatu mekanisme cedera di otak maka akan terjadi eksitotoksisitas glutamat dan menigkatkan aktivitas NMDA reseptor dan terjadi influx ion calsium yang berlebihan dan berujung pada kematian sel. Pada plastisitas maka influx ion calsium lebih sedikit dibandingkan pada sel yang mati sehingga tidak terjadi kematian sel namun terjadi hipereksitabilitas neuron.

3. Patofisiologi Anatomi Seluler

Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak. Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi (focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental.1 Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik.6 Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebutsebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi.6-8 Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi.7 Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa 4.9 Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron.9 Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar.

(Fitri Octaviana, 2008)D. MANIFESTASI KLINIS

1. Epilepsi Umum

a. Major

Grand mal (meliputi 75% kasus epilepsi) meliputi tipe primer dan sekunder Epilesi grand mal ditandai dengan hilang kesadaran dan bangkitan tonik-tonik. Manifestasi klinik kedua golongan epilepsi grand mal tersebut sama, perbedaan terletak pada ada tidaknya aura yaitu gejala pendahulu atau preiktal sebelum serangan kejang-kejang. Pada epilepsi grand mal simtomatik selalu didahului aura yang memberi manifestasi sesuai dengan letak focus epileptogen pada permukaan otak. Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, mencium bau-bauan tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan sebagainya. Bangkitan sendiri dimulai dengan hilang kesadaran sehingga aktivitas penderita terhenti. Kemudian penderita mengalami kejang tonik. otot-otot berkontraksi sangat hebat, penderita terjatuh, lengan fleksi dan tungkai ekstensi. Udara paru-paru terdorong keluar dengan deras sehingga terdengar jeritan yang dinamakan jeritan epilepsi. Kejang tonik ini kemudian disusul dengan kejang klonik yang seolah-olah mengguncang-guncang dan membanting-banting tubuh si sakit ke tanah. Kejang tonik-klonik berlangsung 2 -- 3 menit. Selain kejang-kejang terlihat aktivitas vegetatif seperti berkeringat, midriasis pupil, refleks cahaya negatif, mulut berbuih dan sianosis. Kejang berhenti secara berangsur-angsur dan penderita dalam keadaan stupor sampai koma. Kira-kira 45 menit kemudian penderita bangun, termenung dan kalau tak diganggu akan tidur beberapa jam. Frekuensi bangkitan dapat setiap jam sampai setahun sekali.

b. Minor :

Elipesi petit mal yang sering disebut pykno epilepsi ialah epilepsi umum yang idiopatik. Meliputi kira-kira 3 -- 4% dari kasus epilepsi. Umumnya timbul pada anak sebelum pubertas (4 -- 5tahun). Bangkitan berupa kehilangan kesadaran yang berlangsung tak lebih dari 10 detik. Sikap berdiri atau duduk sering kali masih dapat dipertahankan Kadang-kadang terlihat gerakan alis, kelopak dan bola mata. Setelah sadar biasanya penderita dapat melanjutkan aktivitas semula. Bangkitan dapat berlangsung beberapa ratus kali dalam sehari. Bangkitan petit mal yang tak ditanggulangi 50% akan menjadi grand mal. Petit mal yang tidak akan timbul lagi pada usia dewasa dapat diramalkan berdasarkan 4 ciri : Timbul pada usia 4 -- 5 tahun dengan taraf kecerdasan yang normal, harus murni dan hilang kesadaran hanya beberapa detik, mudah ditanggulangi hanya dengan satu macam obat, Pola EEG khas berupa gelombang runcing dan lambat dengan frekuensi 3 per detik. Bangkitan mioklonus Bangkitan berupa gerakan involunter misalnya anggukan kepala, fleksi lengan yang teijadi berulang-ulang. Bangkitan terjadi demikian cepatnya sehingga sukar diketahui apakah ada kehilangan kesadaran atau tidak. Bangkitan ini sangat peka terhadap rangsang sensorik. Bangkitan akinetik. Bangkitan berupa kehilangan kelola sikap tubuh karena menurunnya tonus otot dengan tiba-tiba dan cepat sehingga penderita jatuh atau mencari pegangan dan kemudian

dapat berdiri kembali. Ketiga jenis bangkitan ini (petit mal, mioklonus dan akinetik) dapat terjadi pada seorang penderita dan disebut trias Lennox-Gastaut. Spasme infantil. Jenis epilepsi ini juga dikenal sebagai salaamspasm atau sindroma West. Timbul pada bayi 3 -- 6 bulan dan lebih sering pada anak laki-laki. Penyebab yang pasti belum diketahui, namun selalu dihubungkan dengan kerusakan otak yang luas seperti proses degeneratif, gangguan akibat trauma, infeksi dan gangguan pertumbuhan. Bangkitan dapat berupa gerakan kepala kedepan atau keatas, lengan ekstensi, tungkai tertarik ke atas, kadang-kadang disertai teriakan atau tangisan, miosis atau midriasis pupil, sianosis dan berkeringat. Bangkitan motorik. Fokus epileptogen terletak di korteks motorik. Bangkitan kejang pada salah satu atau sebagian anggota badan tanpa disertai dengan hilang kesadaran. Penderita seringkali dapat melihat sendiri gerakan otot yang misalnya dimulai pada ujung jari tangan, kemudian ke otot lengan bawah dan akhirnya seluruh lengan. Manifestasi klinik ini disebut Jacksonian marche

2. Epilepsi parsial ( 20% dari seluruh kasus epilepsi).

a. Bangkitan sensorik

Bangkitan sensorik adalah bangkitan yang terjadi tergantung dari letak fokus epileptogen pada koteks sensorik. Bangkitan somato sensorik dengan fokus terletak di gyrus post centralis memberi gejala kesemutan, nyeri pada salah satu bagian tubuh, perasaan posisi abnormal atau perasaan kehilangan salah satu anggota badan. Aktivitas listrik pada bangkitan ini dapat menyebar ke neron sekitarnya dan dapat mencapai korteks motorik sehingga terjadi kejang-kejang.

b.Epilepsi lobus temporalis.

Jarang terlihat pada usia sebelum 10 tahun. Memperlihatkan gejala fokalitas yang khas sekali. Manifestasi klinik fokalitas ini sangat kompleks karena fokus epileptogennya terletak di lobus temporalis dan bagian otak ini meliputi kawasan pengecap, pendengar, penghidu dan kawasan asosiatif antara ketiga indra tersebut dengan kawasan penglihatan. Manifestasi yang kompleks ini bersifat psikomotorik, dan oleh karena itu epilepsi jenis ini dulu disebut epilepsi psikomotor. Bangkitan psikik berupa halusinasi dan bangkitan motorik la-zimnya berupa automatisme. Manifestasi klinik ialah sebagai berikut: Kesadaran hilang sejenak, dalam keadaan hilang kesadaran ini penderita masuk ke alam pikiran antara sadar dan mimpi (twilight state), dalam keadaan ini timbul gejala fokalisasi yang terdiri dari halusinasi dan automatisme yang berlangsung beberapa detik sampai beberapa jam. Halusinasi dan automatisme yang mungkin timbul : Halusinasi dengan automatisme pengecap, halusinasi dengan automatisme membaca, halusinasi dengan automatisme penglihatan, pendengaran atau perasaan aneh.

(Anonim, 2008)

E. Klasifikasi Epilepsi

Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut klasifikasi bangkitan epilepsi dan klasifikasi sindroma epilepsi. Klasifikasi sindroma epilepsi berdasarkan faktor-faktor tipe bangkitan (umum atau terlokalisasi), etiologi (simtomatik atau idiopatik), usia, dan situasi yang berhubungan dengan bangkitan. Sedangkan klasifikasi epilepsi menurut bangkitan epilepsi berdasarkan gambaran klinis dan elektroensefalogram.1

Klasifikasi internasional bangkitan epilepsi (1981)1

I . Bangkitan Parsial

Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)

1. Dengan gejala motorik

2. Dengan gejala sensorik

3. Dengan gejala otonomik

4. Dengan gejala psikik

Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)

1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan

kesadaran

a. Bangkitan parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran

b. Dengan automatisme

2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan

a. Dengan gangguan kesadaran saja

b. Dengan automatisme

Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)

1. Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum

2. Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum

Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial

3. kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum

II. Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi)

A. Bangkitan lena

B. Bangkitan mioklonik

C. Bangkitan tonik

D. Bangkitan atonik

E. Bangkitan klonik

F. Bangkitan tonik-klonik

III. Bangkitan epileptik yang tidak tergolongkan

Klasifikasi epilepsi berdasarkan sindroma1

Localization-related (focal, partial) epilepsies

Idiopatik

Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes

Childhood epilepsy with occipital paroxysm

Symptomatic

Subklasifikasi dalam kelompok ini ditentukan berdasarkan lokasi anatomi yang diperkirakan berdasarkan riwayat klinis, tipe kejang predominan, EEG interiktal dan iktal, gambaran neuroimejing

Kejang parsial sederhana, kompleks atau kejang umum sekunder berasal dari lobus frontal, parietal, temporal, oksipital, fokus multipel atau fokus tidak diketahui

Localization related tetapi tidak pasti simtomatik atau idiopatik

Epilepsi Umum

Idiopatik

Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions

Benign myoclonic epilepsy in infancy

Childhood absence epilepsy

Juvenile absence epilepsy

Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal)

Epilepsy with grand mal seizures upon awakening

Other generalized idiopathic epilepsies

Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik

Wests syndrome (infantile spasms)

Lennox gastaut syndrome

Epilepsy with myoclonic astatic seizures

Epilepsy with myoclonic absences

Simtomatik

Etiologi non spesifik

Early myoclonic encephalopathy

Specific disease states presenting with seizuresF. DIAGNOSIS AWALLangkah awal adalah menentukan untuk membedakan apakah ini serangan kejang atau bukan , dalam hal ini memastikannya biasanya dengan melakukan wawancara baik dengan pasien, orangtua atau orang yang merawat. Beberapa pertanyaan yang perlu diajukan adalah untuk menggambarkan kejadian sebelum , selama dan sesudah serangan kejang itu berlangsung. Dengan mengetahui riwayat kejadian serangan kejang tersebut biasanya dapat memberikan informasi yang lengkap dan baik mengingat pada kebanyakan kasus, dokter tidak melihat sendiri serangan kejang yang dialami pasien (Ahmed, Spencer 2004, Mardjono 2003).Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut (Ahmed, Spencer 2004, Hadi 1993, Harsono 2001, Kustiowati dkk 2003).

1.Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini? Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi kongenital. Serangan kejang umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul serangan kejang biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan patologis di otak seperti stroke atau tumor otak dsb.

2.Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala peringatan yang dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul disebut dengan aura dimana suatu aura itu bila muncul sebelum serangan kejang parsial sederhana berarti ada fokus di otak. Sebagian aura dapat membantu dimana letak lokasi serangan kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan adanya dj vu dan atau ada sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen yang mungkin merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan penglihatan sementara mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan aura hal ini disebabkan terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika aura dilaporkan oleh pasien sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis.

3.Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien tidak dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan dengan saksi mata yang mengetahui serangan kejang berlangsung. Apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan kejang terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah pasien dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung? Apakah mata berkedip berlebihan pada serangan kejang terjadi? Apakah ada gerakan automatism pada satu sisi ? Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah lidah tergigit? Apakah pasien mengompol ? Serangan kejang yang berasal dari lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks.

4.Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah post ictal period Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien lalu tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang disebut Todds Paralysis yang menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia dengan tidak disertai gangguan kesadaran menggambarkan gangguan berbahasa di hemisfer dominan. Pada Absens khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan kejang.

5.Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga dan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu malam hari.

6.Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu, drug abuse, reading & eating epilepsy. Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun keluarganya dapat membantu dalam mencegah serangan kejang.

7.Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu untuk mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat obat obat anti kejang .

8.Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang digunakan spesifik bermanfaat ?

9.Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan setiap jenis serangan kejang secara lengkap.

10.Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang? Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat serangan kejang ada yang diawali dengan aura tetapi tidak ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang atau mungkin ada aura , sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk mengurangi bahaya terjadinya luka.

11.Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang menyertai.

Riwayat medik dahulu.

Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan informasi yang berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan serangan kejang dan pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat membantu untuk pengobatan selanjutnya (Ahmed, Spencer 2004).

1.Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun proses persalinannya?

2.Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau respiratory distress?

3.Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?

4.Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah serangan kejang demam sederhana sekitar 2 % dan serangan kejang demam kompleks 13 %.

5.Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis? atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang disertai serangan kejang. Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat adanya cysticercosis.

6.Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala, perdarahan intra serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?

7.Apakah ada riwayat tumor otak?

8.Apakah ada riwayat stroke?

Riwayat sosial.

Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi dan ini penting sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan sekaligus untuk bahan evaluasi (Ahmed, Spencer 2004).

1.Apa latar belakang pendidikan pasien? Tingkat pendidikan pasien epilepsi mungkin dapat menggambarkan bagaimana sebaiknya pasien tersebut dikelola dengan baik. Dan juga dapat membantu mengetahui tingkat dukungan masyarakat terhadap pasien dan bagaimana potensi pendidikan kepada pasien tentang cara menghadapi penyakit yang dialaminya itu.

2.Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya? Pasien epilepsi yang seragan kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan produktif. Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh waktu. Tetapi bila serangan kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk memperoleh dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu tantangan tersendiri. Pasien sebaiknya dianjurkan memilih bekerja dikantoran, sebagai kasir atau tugas - tugas yang tidak begitu berisiko, tetapi bagi pasien yang bekerja di bagian konstruksi, mekanik dan pekerjaan yang mengandung risiko tinggi diperlukan penyuluhan yang jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak membahayakan dirinya.

3.Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan epilepsi yang serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan kesadaran sebaiknya tidak mengemudikan kendaraan bermotor. Hal ini bisa membahayakan dirinya maupun masyarakat lainnya. Dibeberapa negara mempunyai peraturan sendiri tentang pasien epilepsi yang mengemudikan kendaraan bermotor.

4.Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral? Apakah pasien merencanakan kehamilan pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi wanita sebaiknya diberi penyuluhan terlebih dahulu tentang efek teratogenik obat-obat anti epilepsi, demikian juga beberapa obat anti epilepsi dapat menurun efeknya bila pasien juga menggunakan kontrasepsi oral seperti fenitoin, karbamasepin dan fenobarbital. Dan bagi pasien yang sedang hamil diperlukan obat tambahan seperti asam folat untuk mengurangi risiko terjadinya neural tube defects pada bayinya.

5.Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko terjadinya serangan kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum-minuman alkohol. Selain berinteraksi dengan obat-obat anti epilepsi tetapi dapat juga menimbulkan ekstraserbasi serangan kejang khususnya sesudah minum alkohol .

Riwayat keluarga.

Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik dimana manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh Juvenile myoclonic epilepsy (JME), familial neonatal convulsion, benign rolandic epilepsy dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang demam plus (Ahmed, Spencer 2004).

Riwayat allergi.

Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi hipersensitif. Bila terdapat semacam rash perlu dibedakan apakah ini terbatas karena efek fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar matahari atau karena efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas? (Ahmed, Spencer 2004)

Riwayat pengobatan.

Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa lama sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya. (Ahmed, Spencer 2004)

Riwayat Pemeriksaan penunjang lain.

Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan pemeriksaan penunjang seperti elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau MRI. (Ahmed, Spencer 2004)

G. PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI.Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah ada sindrom neurokutaneus seperti caf au lait spots dan iris hamartoma pada neurofibromatosis, Ash leaf spots , shahgreen patches , subungual fibromas , adenoma sebaceum pada tuberosclerosis, port - wine stain ( capilarry hemangioma) pada sturge-weber syndrome. Juga perlu dilihat apakah ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu serangan kejang berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada dupytrens contractures yang dapat terlihat oleh karena pemberian fenobarbital jangka lama. (Ahmed, Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004). Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, gait , koordinasi, saraf kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi. Dysmorphism dan gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis.(Ahmed, Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004, Sisodiya, Duncan 2000).

H. PEMERIKSAAN LABORATORIUM.

Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen , kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya drug abuse (Ahmed, Spencer 2004, Oguni 2004).

I. PEMERIKSAAN ELEKTROENSEFALOGRAFI.

Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut (Duncan, Kirkpatrick, Harsono 2001, Oguni 2004)

1.Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan EEG akan membantu dalam membuat diagnosis, mebgklarifikasikan jenis serangan kejang yang benar dan mengenali sindrom epilepsi.

2.Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti 3-Hz spike-wave complexes adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang spesifik.

3.Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat menjelaskan manifestasi klinis daripadaaura maupun jenis serangan kejang. Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan dengan cermat.

Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :

1.Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting sekali.

2.Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan adanya epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.

3.Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG mungkin saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada pasien epilepsi anak.

4.Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran epileptiform difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat membingungkan untuk menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam serangan kejang parsial atau serangan kejang umum.

J. PEMERIKSAAN VIDEO-EEG

Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi, atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi (Kirpatrick, Sisodiya, Duncan 2000, Stefan, 2003).

K. PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural diotak (Harsono 2003, Oguni 2004)

Indikasi CT Scan kepala adalah: (Kustiowati dkk 2003)

-Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan struktural di otak.

-Perubahan serangan kejang.

-Ada defisit neurologis fokal.

-Serangan kejang parsial.

-Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.

-Untuk persiapan operasi epilepsi.

CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi:T1 dan T2 weighted dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan saggital (Duncan, Kirkpatrick, Kustiowati dkk 2003).

L. PEMERIKSAAN NEUROPSIKOLOGI

Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi (Oguni 2004, Sisodiya 2000).

BAB III

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed Z, Spencer S.S (2004) : An Approach to the Evaluation of a Patient for Seizures and Epilepsy, Wisconsin Medical Journal, 103(1) : 49-55.Anonymous (2003) : Diagnosis of Epilepsy, Epilepsia, 44 (Suppl.6) :23-24Anonym. 2008. Epilepsi. http://ilmukedokteran.net/pdf/Ilmu-Penyakit-Saraf/epilepsi.pdf. Duncan R : Diagnosis of Epilepsy in Adults, available from http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy supplement/E Duncan.pdf.Fitri Octaviana. 2008. Epilepsi. http://www.dexa-medica.com/images/publication_upload090109170636001231472906MEDICINUS_NOV_DES%2708.pdf . Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto Mangunkusumo. Jakarta.Hadi S (1993) : Diagnosis dan Diagnosis Banding Epilepsi, Badan Penerbit UNDIP Semarang : 55-63.Harsono (2001) : Epilepsi, edisi 1, GajahMada University Press, Yogyakarta.Kirkpatrick M : Diagnosis of Epilepsy in Children, available from http://www.rcpe.ac.uk/publications/articles/epilepsy supplement/F Kirkpatrick.pdf.Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.Mardjono M (2003) : Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan Penatalaksanaannya dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi, Agoes A (editor); 129-148.Oguni H (2004) : Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia, 48 (Suppl.8):13-16Sirven J.I, Ozuna J (2005) : Diagnosing epilepsy in older adults, Geriatricts, 60,10: 30-35.Sisodiya S.M, Duncan J (2000) : Epilepsy : Epidemiology, Clinical Assessment, Investigation and Natural History, Medicine International,00(4);36-41.Stefan H (2003) : Differential Diagnosis of Epileptic Seizures and Non Epileptic Attacks, Teaching Course : Epilepsy 7th Conggres of the European Federation of Neurological Societies, Helsinki.9