PPN,p
Click here to load reader
-
Upload
humanistik -
Category
Documents
-
view
181 -
download
4
Transcript of PPN,p
EMAS PERHIASAN
Krisis finansial global yang terjadi saat ini semakin menguatkan teori diversifikasi yang menyatakan don’t put all your eggs in one basket, karena seiring dengan kejatuhan pasar saham maka bagi investor yang melakukan investasi hanya di pasar saham merasakan dalam waktu sesaat nilai investasinya terjun bebas. Oleh karena itu saat ini sebagian orang mulai memikirkan bentuk investasi apa yang relatif aman, mungkin investasi dalam emas bisa menjadi salah satu pilihan portofolio investasi. Pada kesempatan ini saya tidak akan membahas mengenai investasi emas , tetapi mengenai pelaksanaan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi Pedagang Emas.
Dasar Hukum
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 83/KMK.03/2002 tanggal 8 Maret 2002 Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP – 168/PJ/2002 tanggal 28 Maret 2002 Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE – 12/PJ.52/2002 tanggal 28 Maret 2002
Pengusaha Toko Emas Perhiasan
Pengusaha Toko Emas Perhiasan adalah orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha di bidang penyerahan emas perhiasan, berdasarkan pesanan maupun penjualan langsung, baik hasil produksi sendiri maupun pihak lain yang memiliki karakteristik pedagang eceran.
Emas Perhiasan
Emas Perhiasan adalah perhiasan dalam bentuk apapun yang bahannya sebagian atau seluruhnya dari emas dan atau logam mulia lainnya, termasuk yang dilengkapi dengan batu permata dan atau bahan lain yang melekat atau terkandung dalam emas perhiasan tersebut.
Harga Jual Emas Perhiasan
Harga Jual Emas Perhiasan adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh Pengusaha Toko Emas Perhiasan karena penyerahan emas perhiasan, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Menghitung PPN
Dalam menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang terutang, Pengusaha Toko Emas Perhiasan dapat menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai dengan cara sebagai berikut:
a. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan Emas Perhiasan oleh Pengusaha Toko Emas Perhiasan adalah sebesar 10% X Harga Jual Emas Perhiasan.b. Jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha Toko Emas Perhiasan adalah sebesar 10% X 20% X jumlah seluruh penyerahan Emas Perhiasan.
Pajak Masukan
Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan Emas Perhiasan yang dilakukan oleh Pengusaha Toko Emas Perhiasan yang menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak
PERDAGANGAN ECERAN
Disadari bahwa melaksanakan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan benar bagi pedagang kecil atau istilahnya dikenal dengan Pedangan Eceran merupakan hal yang sulit dilakukan. Untuk mempermudah Pedangan Eceran dalam melaksanakan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai terdapat dua pilihan yaitu:
1. Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan dimana penghasilan netonya untuk PPh menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, atau
2. Menggunakan Mekanisme Umum
Pedangan Eceran Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan
Ketentuan yang mengatur adalah Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 252/KMK.03/2002 Jo. KMK Nomor 553/KMK.04/2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Memilih dikenakan Pajak dengan Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 01/PMK.03/2007.
Defenisi Pedangan Eceran
Pedagang Eceran yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah Pengusaha Orang Pribadi dengan jumlah peredaran bruto dan atau penerimaan bruto selama 1 (satu) tahun buku tidak lebih dari Rp. 1.800.000.000,00 (satu miliar delapan ratus juta rupiah) yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaan utamanya adalah melakukan usaha perdagangan dengan cara sebagai berikut:
a. Menyerahkan Barang Kena Pajak melalui suatu tempat penjualan eceran seperti toko, kios, atau dengan cara penjualan yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, atau dengan cara penjualan yang dilakukan dari rumah ke rumah;
b. Menyediakan Barang Kena Pajak yang diserahkan di tempat penjualan secara eceran tersebut; dan
c. Melakukan transaksi jual beli secara spontan tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak atau lelang dan pada umumnya bersifat tunai,
dan pembeli pada umumnya datang ke tempat penjualan tersebut langsung membawa Barang Kena Pajak yang dibelinya.
Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan
a. Pajak Keluaran dihitung dengan cara mengalikan nilai peredaran bruto dan atau penerimaan bruto yang terutang Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak yang bersangkutan dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai.
b. Nilai peredaran bruto dan atau penerimaan bruto sebagaimana dimaksud dalam huruf a, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
c. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan ditetapkan sebagai berikut:
1. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pedagang Eceran dengan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, sebesar 80% (delapan puluh persen) dikalikan dengan Pajak Keluaran sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
2. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan Pengusaha Kena Pajak selain Pedagang Eceran, sebesar 70% (tujuh puluh persen) dikalikan dengan Pajak Keluaran sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
3. Untuk penyerahan Jasa Kena Pajak, sebesar 40% (empat puluh persen) dikalikan dengan Pajak Keluaran sebagaimana dimaksud dalam huruf a.”
Kewajiban Membuat Pencatatan
1. Untuk keperluan pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, Pengusaha Kena Pajak
wajib membuat catatan nilai peredaran bruto dan atau penerimaan bruto yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak.
2. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak di samping melakukan penyerahan yang terutang pajak juga
melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dipisah antara penyerahan yang terutang pajak dan penyerahan yang tidak terutang pajak.
Penghentian menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan
Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak tidak lagi memenuhi syarat untuk dikenakan Pajak Penghasilan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, maka mulai permulaan tahun buku berikutnya Pengusaha Kena Pajak tidak lagi diperkenankan menggunakan pedoman
pengkreditan Pajak Masukan.
Kewajiban Memberitahukan ke Kantor Pajak sebelum menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan
Sebelum menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan Pengusaha Kena Pajak wajib memberitahukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan dengan cara membubuhkan catatan pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang bersangkutan tentang penggunaan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan.
Pedangan Eceran Menggunakan Mekanisme Umum
Ketentuan yang mengatur adalah Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 402/KMK.03/2002 Jo. Nomor 253/KMK.03/2002, Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP – 102/PJ.52/2003 jo. KEP – 342/PJ./2002
Pajak Keluaran
Atas penyerahan barang dagangan oleh Pedagang Eceran Selain Yang Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, terutang Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% (sepuluh persen) dari harga jual.
Pajak Masukan
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran adalah:a. Pajak Masukan atas perolehan Barang selain Barang dagangan;b. Pajak Masukan atas perolehan Jasa Kena Pajak.
Kewajiban Membuat Faktur Pajak
Pedagang Eceran Selain Yang Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, wajib membuat Faktur Pajak, memungut dan menyetor pajak yang terutang, serta melaporkannya pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.
Faktur Pajak Sederhana
1. Slip Cash Register atau Segi Cash Register yang dibuat oleh Pedagang Eceran Selain Yang Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dapat diperlakukan sebagai Faktur Pajak Sederhana.
2. Apabila dalam harga jual Barang Kena Pajak sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai, Slip Cash Register atau Segi Cash Register sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diberi keterangan “untuk Barang Kena Pajak harga sudah termasuk PPN”.
3. Pencantuman alamat Pedagang Eceran pada Slip Cash Register atau Segi Cash Register sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disingkat.
Contoh Penghitungan PPN Pedangan Eceran
Toko Glory menjual pakaian untuk konsumen di Blok M Square dengan omzet penjualan setahun Rp 800 juta. Dalam menghitung penghasilan neto untuk Pajak Penghasilan Joshua pemilik Toko Glory menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
Selama bulan September 2008 omzet penjualannya adalah Rp 150 juta dan membeli bahan dagangannya sebesar Rp 80 juta. Penghitungan PPN atas Toko Glory untuk bulan September 2008 adalah sebagai berikut:
Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan
Peredaran Usaha Usaha Rp 150.000.000
Pajak Keluaran 10% x Rp 150.000.000 = Rp 15.000.000
Pajak Masukan 80% x Rp 15.000.000 = Rp 12.000.000
PPN Kurang Bayar = Rp 3.000.000
Jika Menggunakan Mekanisme Umum
Peredaran Usaha Usaha Rp 150.000.000
Pajak Keluaran 10% x Rp 150.000.000 = Rp 15.000.000
Pembelian Rp 80.000.000
Pajak Masukan 10% x Rp 80.000.000 = Rp 8.000.000
PPN Kurang Bayar = Rp 7.000.000
JASA SEWA GUNA USAHA
Dalam menjalankan kegiatan perusahaan pada waktu tertentu akan timbul kebutuhan untuk melakukan ekspansi dengan menambah barang modal yang tujuannya meningkatkan produksi perusahaan. Terdapat dua opsi yang dapat dipilih perusahaan berkenaan dengan cara
memperoleh barang modal tersebut yaitu dengan membeli baik yang dananya bisa dari sisa cash perusahaan atau hutang ke bank atau kreditur lain. Cara lain adalah dengan menyewa barang modal yang dibutuhkan dari perusahaan leasing (Sewa Guna Usaha).
Berkaitan dengan kegiatan penyewaan dengan cara leasing maka berikut ini akan disampaikan ketentuan yang mengatur bagaimana perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing).
Defenisi
a.Sewa-guna-usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh Lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala;
b.Barang modal adalah setiap aktiva tetap berwujud, termasuk tanah sepanjang di atas tanah tersebut melekat aktiva tetap berupa bangunan (plant), dan tanah serta aktiva dimaksud merupakan satu kesatuan kepemilikan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dan digunakan secara langsung untuk menghasilkan atau meningkatkan, atau memperlancar produksi dan distribusi barang atau jasa oleh Lessee;
c.Lessor adalah perusahaan pembiayaan atau perusahaan sewa-guna-usaha yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dan melakukan kegiatan sewa-guna-usaha;
d.Lessee adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari Lessor;
e. Pembayaran Sewa-guna-usaha (Lease Payment) adalah jumlah uang yang harus dibayar secara berkala oleh Lessee kepada Lessor selama jangka waktu yang telah disetujui bersama sebagai imbalan penggunaan barang modal berdasarkan perjanjian sewa-guna-usaha;
f. Piutang sewa-guna-usaha (Lease Receivable) adalah jumlah seluruh pembayaran sewa guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha;
g.Harga Perolehan (Acquisition Cost) adalah harga beli barang modal yang dilease ditambah dengan biaya langsung;
h.Nilai pembiayaan adalah jumlah pembiayaan untuk pengadaan barang modal yang secara riil dikeluarkan oleh Lessor;
i. Angsuran Pokok Pembiayaan adalah bagian dari pembayaran sewa-guna-usaha yang diperhitungkan sebagai pelunasan atas nilai pembiayaan;
j. Imbalan Jasa Sewa-guna-usaha adalah bagian dari pembayaran sewa-guna-usaha yang diperhitungkan sebagai pendapatan sewa-guna-usaha bagi Lessor;
k.Nilai Sisa (Residual Value) adalah nilai barang modal pada akhir masa sewa-guna-usaha yang telah disepakati oleh Lessor dengan Lessee pada awal masa sewa-guna-usaha;
l. Simpanan Jaminan (Security Deposit) adalah jumlah uang yang diterima Lessor dari Lessee pada permulaan masa lease sebagai jaminan untuk kelancaran pembayaran lease;
m.Masa Sewa-guna-usaha (Lease Term) adalah jangka waktu sewa-guna-usaha yang dimulai sejak diterimanya barang modal yang disewa-guna-usaha oleh Lessee sampai dengan perjanjian sewa-guna-usaha berakhir;
n. Masa Sewa-guna-usaha Pertama adalah jangka waktu sewa-guna-usaha barang modal untuk transaksi sewa-guna-usaha yang pertama kalinya;
o.Opsi adalah hak Lessee untuk membeli barang modal yang disewa-guna-usaha atau memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa-guna-usaha.
Jenis-Jenis Leasing
Kegiatan sewa-guna-usaha dapat dilakukan secara :a. sewa-guna-usaha dengan hak opsi (finance lease);b. sewa-guna-usaha tanpa hak opsi (operating lease).
Kegiatan sewa-guna-usaha digolongkan sebagai sewa-guna-usaha dengan hak opsi apabila memenuhi semua kriteria berikut :
a. jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor;
b. masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan bangunan;
c. perjanjian sewa-guna-usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
Kegiatan sewa-guna-usaha digolongkan sebagai sewa-guna-usaha tanpa hak opsi apabila memenuhi semua kriteria berikut :
a. jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewa-guna-usahakan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor;
b. perjanjian sewa-guna-usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
Kewajiban Lessor dan Lesee
· Lessor hanya diperkenankan memberikan pembiayaan barang modal kepada lessee yang telah memiliki NPWP, mempunyai kegiatan usaha dan atau pekerjaan bebas.
· Lessee dilarang menyewa-guna-usahakan kembali barang modal yang disewa-guna-usaha kepada pihak lain.
· Lessor wajib menempelkan plakat atau etiket pada barang modal yang disewa-guna-usahakan dengan mencantumkan nama dan alamat lessor serta pernyataan bahwa barang modal dimaksud terikat dalam perjanjian sewa-guna-usaha.
· Plakat atau etiket harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga dengan mudah barang modal tersebut dapat dibedakan dari barang modal lainnya yang pengadaannya tidak dilakukan secara sewa-guna-usaha.
· Selama masa sewa-guna-usaha, lessee bertanggung jawab untuk memelihara agar plakat atau etiket sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini tetap melekat pada barang modal yang disewa-guna-usaha.
Perjanjian Sewa-Guna-Usaha
· Setiap transaksi sewa-guna-usaha wajib diikat dalam suatu perjanjian sewa-guna-usaha (lease agreement).
· Perjanjian sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut :
a. jenis transaksi sewa-guna-usaha;
b. nama dan alamat masing-masing pihak;
c. nama, jenis, type dan lokasi penggunaan barang modal;
d. harga perolehan, nilai pembiayaan, pembayaran sewa-guna-usaha, angsuran pokok pembiayaan, imbalan jasa sewa-guna-usaha, nilai sisa, simpanan jaminan, dan ketentuan asuransi atas barang modal yang disewa-guna-usahakan;
e. masa sewa-guna-usaha;
f. ketentuan mengenai pengakhiran transaksi sewa-guna-usaha yang dipercepat, dan penetapan kerugian yang harus ditanggung lessee dalam hal barang modal yang disewa-guna-usaha dengan hak opsi hilang, rusak atau tidak berfungsi karena sebab apapun;
g.opsi bagi penyewa-guna-usaha dalam hal transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi;
h. tanggung jawab para pihak atas barang modal yang disewa-guna-usaha.
· Perjanjian sewa-guna-usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini wajib dibuat dalam bahasa Indonesia, dan apabila dipandang perlu dapat diterjemahkan kedalam bahasa asing
Pelaksanaan Hak Opsi
· Pada saat berakhirnya masa sewa-guna-usaha dari transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi, lessee dapat melaksanakan opsi yang telah disetujui bersama pada permulaan masa sewa-guna-usaha.
· Opsi untuk membeli dilakukan dengan melunasi pembayaran nilai sisa barang modal yang disewa-guna-usaha.
· Dalam hal lessee memilih untuk memperpanjang jangka waktu perjanjian sewa-guna-usaha, maka nilai sisa barang modal yang disewa-guna-usahakan digunakan sebagai dasar dalam menetapkan piutang sewa-guna-usaha.
· Dalam hal lessee menggunakan opsi membeli maka dasar penyusutannya adalah nilai sisa barang modal.
Perlakuan Akuntansi
Akuntansi transaksi sewa-guna-usaha dilaksanakan sesuai dengan standar akuntansi di bidang sewa-guna-usaha di Indonesia.
Perlakuan Perpajakan
Sewa-guna-usaha Dengan Hak Opsi
Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessor adalah sebagai berikut :
a. penghasilan lessor yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah sebagian dari pembayaran sewa guna usaha dengan hak opsi yang berupa imbalan jasa sewa guna usaha;
b. lessor tidak boleh menyusutkan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan dengan hak opsi;
c. dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam Pasal 3 Keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pengakuan penghasilan pihak lessor;
d. lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya sejumlah 2,5% (dua setengah persen) dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang sewa-guna-usaha dengan hak opsi.
e. kerugian yang diderita karena piutang sewa-guna-usaha yang nyata-nyata tidak dapat ditagih lagi dibebankan pada cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang telah dibentuk pada awal tahun pajak yang bersangkutan;
f. dalam hal cadangan penghapusan piutang ragu-ragu tersebut tidak atau tidak sepenuhnya dibebani untuk menutup kerugian dimaksud maka sisanya dihitung sebagai penghasilan, sedangkan apabila cadangan tersebut tidak mencukupi maka kekurangannya dapat dibebankan sebagai biaya yang dikurangkan dari penghasilan bruto.
Pajak Pertambahan Nilai
Atas penyerahan jasa dalam transaksi sewa-guna-usaha dengan hak opsi dari lessor kepada lessee, dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessee adalah sebagai berikut :
a. selama masa sewa-guna-usaha, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usaha, sampai saat lessee menggunakan hak opsi untuk membeli;
b. setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, lessee melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa (residual value) barang modal yang bersangkutan;
c. pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee kecuali pembebanan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto lessee sepanjang transaksi sewa-guna-usaha tersebut memenuhi ketentuan dalam Pasal 3 Keputusan ini;
d. dalam hal masa sewa-guna-usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan dalam Pasal 3 Keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya sewa-guna-usaha.
Lessee tidak memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang berdasarkan perjanjian sewa-guna-usaha dengan hak opsi.
Sewa-guna-usaha Tanpa Hak Opsi
Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessor adalah sebagai berikut :
a. seluruh pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang diterima atau diperoleh lessor merupakan obyek Pajak Penghasilan.
b. lessor membebankan biaya penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan tanpa hak opsi, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 beserta peraturan pelaksanaannya.
Perlakuan Pajak Penghasilan bagi lessee adalah sebagai berikut :
a. pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang dibayar atau terutang oleh lessee adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
b. lessee wajib memotong Pajak Penghasilan Pasal 23 atas pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang dibayarkan atau terutang kepada lessor.
Pajak Pertambahan Nilai
Atas penyerahan jasa dalam transaksi sewa-guna-usaha tanpa hak opsi dari lessor kepada lessee, terhutang Pajak Pertambahan Nilai.
Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25
Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk setiap bulan yang terutang oleh lessor adalah jumlah Pajak Penghasilan sebagai hasil penerapan tarif Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan terhadap Penghasilan Kena Pajak berdasarkan laporan keuangan triwulanan terakhir sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 20 Keputusan ini disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
REAL /INDUSTRIAL ESTATE
DPP atas PKP Real Estate dan Industrial Estate ( SE - 55/PJ.3/1985 ) Jo S - 1376/PJ.3/1986 ) :- DPP atas Penyerahan Tanah Matang
(Kavling) = 80% x Harga Jual Tanah Matang
PPN yang terutang = 10% x 80% x Harga Jual Tanah Matang = 8% x Harga Jual Tanah Matang- DPP atas Penyerahan Bangunan beserta
Tanahnya = (80% x Harga Jual Tanah) + Harga Jual
Bangunan
PPN yang Terutang = (8% x Harga Jual Tanah) + (10% x Harga Jual Bangunan)
Sejak 1 Juni 2002, atas penyerahan tanah dan/atau bangunan oleh perusahaan estat atau industrial estat dikenakan PPN berdasarkan ketentuan umum yaitu sebesar 10% dari harga jual tanpa terlebih dahulu dikurangkan 20% dari harga jual tanah matang (SE - 22/PJ.51/2002)
DASAR PENGENAAN PPN UNTUK PENYERAHAN BANGUNAN OLEH PENGUSAHA BIDANG REAL ESTATE DAN INDUSTRIAL ESTATE. (SERI PPN-
60) Surat Edaran Dirjen Pajak : SE-55/PJ.3/1985
Tanggal :8/20/1985
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
1. Sebagaimana diketahui bersama, Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena
Pajak. Barang Kena Pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya adalah barang
bergerak maupun tidak bergerak sebagai hasil proses pabrikasi.
2. Pengusaha Real Estate/Industrial Estate adalah pabrikan dari Barang Kena Pajak yang menurut sifat
atau hukumnya adalah barang tidak bergerak berupa bangunan beserta ikutannya, Yang dimaksud
ikutannya disini adalah, bidang tanah yang di atasnya berdiri bangunan tersebut, bidang tanah
sebagai pekarangan bangunan tersebut, pagar pekarang sekeliling bangunan tersebut dan saluran air/
got/riol, sarana jalan, pipa leding, tiang dan kabel listrik yang merupakan bagian kelengkapan
bangunan tersebut.
3. Untuk pembelian bahan-bahan juga digunakan dalam pembuatan bangunan beserta ukurannya dan
fasilitas lingkungan di luar bangunan tersebut, serta yang digunakan untuk proses pengolahan dan
pematangan tanah menjadi siap bangun, oleh Pengusaha Real Estate/Industrial Estate telah dibayar
Pajak Pertambahan Nilai sebagai Pajak Masukan, kecuali atas perolehan dan pembebasan tanah untuk
lokasi bangunan.
4. Tanah sebagai bidang maupun sebagai benda/zat padat alamiah bukan Barang Kena Pajak. Hak atas
tanah (baik hak milik, hak guna bangunan maupun hak guna usaha dan hak lainnya atas tanah)
adalah barang tidak berwujud, karenanya atas penyerahannya tidak terhutang Pajak Pertambahan
Nilai. Sebagai bagian/ikutan dari bangunan, nilai/harga tanah merupakan bagian dari harga bangunan
yang diperhitungkan oleh Pengusaha Real Estate/Industrial Estate kepada pembeli.
5. Sesuai dengan persyaratan perizinan bagi usaha Real Estate/Industrial Estate, maka pengusaha yang
bersangkutan diwajibkan menyediakan sebagian tanah lokasi untuk keperluan sarana jalan umum,
bangunan umum dan fasilitas public utility lainnya yang akhirnya akan menjadi milik Pemerintah.
Biaya pembangunan sarana tersebut, serta nilai tanah yang diserahkan kepada Pemerintah, akan
menjadi (dibebankan sebagai) bagian dari harga bangunan yang diperhitungkan kepada pembeli
seperti halnya pembebanan tersebut pada butir 4 diatas.
6. Pembebanan biaya yang diperhitungkan ke dalam harga bangunan sebagaimana disebutkan pada
butir 4 dan 5 diatas menyebabkan harga jual bangunan yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak
menjadi tinggi. Akhirnya Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar/dipikul pembeli menjadi tinggi pula.
Hal ini dapat menimbulkan ketidak adilan dan persaingan kurang sehat yang merugikan Pengusaha
Real Estate/Industrial Estate jika terjadi penjualan bangunan oleh pihak perorangan/badan lain bukan
Real Estate/Industrial Estate. Penyerahan tanah siap bangun atau bangunan oleh pihak perorangan/
badan lain tersebut tidak terhutang Pajak Pertambahan Nilai karena mereka bukan Pengusaha Kena
Pajak.
7. Untuk mencegah timbulnya keadaan sebagaimana disebutkan pada butir 6 diatas, maka perlu
ditetapkan suatu pedoman penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan
bangunan oleh Pengusaha Real Estate/Industrial Estate, yang didasarkan pada harga jual bangunan,
dikurangi harga perolehan/pembebasan tanah sebelum tanah itu dimatangkan/siap bangun yang
diserahkan kepada Pemerintah sebagaimana disebutkan pada butir 5 diatas.
8. Dengan memperhatikan uraian dan keterangan yang terlampir dalam surat REI kepada Menteri
Keuangan tanggal 25 Maret 1985 No.: 117/REJ/1985 maka bagian harga perolehan/pembebasan
tanah yang menjadi dasar pengurangan untuk penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai tersebut sebesar 35% dari harga/nilai tanah sebelum dimatangkan/siap bangun. Untuk jelasnya
diberikan contoh sebagai berikut :
8.1. Harga (rata-rata) pembebasan sebidang tanah, Rp.30.000.000,-
Biaya pematangan Rp.20.000.000,-
Margin dan biaya lain-lain, Rp.10.000.000,-
______________
Rp.60.000.000,-
Harga jual yang menjadi Dasar Pengenaan PPN adalah :
Rp.60.000.000,- -/- (35% x Rp.30.000.000,-)Rp.49.500.000,-
Rp. 49.500.000,-
PPN = 10% x -------------------- = Rp.4.950.000,-
Rp. 49.000.000,-
8.2. Harga bangunan berikut tanah terdiri atas Rp. 100.000.000,-
- Harga (rata-rata) pembebasan tanah Rp. 30.000.000,-
- Biaya pematangan Rp. 20.000.000,-
- Biaya pembuatan bangunan Rp. 40.000.000,-
- Margin dll. Rp. 10.000.000,-
______________
Rp.100.000.000,-
Penghitungan Dasar Pengenaan PPN adalah :
Rp.100.000.000,- -/- (35% x Rp.30.000.000,-) Rp. 89.500.000,-
Rp. 89.500.000,-
PPN = 10% x -------------------- = Rp. 8.950.000,-
Rp. 89.500.000,-
Demikian penegasan kami, dan hendaknya pedoman ini dapat diberitahukan kepada para Pengusaha Kena
Pajak yang bersangkutan yang berada di wilayah kerja Saudara masing-masing.
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,