Portofolio Eklampsia

56
Portofolio (Kasus II) Topik:Eklampsia Tanggal (Kasus) : 21 Juli 2015 Presenter : dr. Apriliza Ralasati Tanggal Presentasi : 24 Juli 2015 Pendamping : dr. Sartika Sadikin Tempat Presentasi : RSUD RUPIT Objektif Presentasi : Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil Deskripsi : Ibu hamil, 29 tahun, G3 P2 A0 hamil 32-33 minggu, riwayat kejang berulang Tujuan : mengatasi kejang, mengakhiri persalinan dengan trauma sekecil-kecilnya, melahirkan janin dengan kemungkinan hidup besar, mencegah komplikasi (sindroma HELLP, IUFD, dll). Bahan Bahasan : Tinjauan Pustaka Riset Kasus Audit Cara membahas Diskusi Presentasi dan diskusi Email Pos Data Pasien: Nama : Ny. T Umur : 29 tahun Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Alamat : Ma. Rupit Agama : Islam Bangsa : Indonesia No. Reg : 21081511 Nama RS: RSUD RUPIT Telp : Terdaftar sejak : Data utama untuk bahan diskusi: 1. Diagnosis / Gambaran Klinis:

description

eklampsia belom selesai

Transcript of Portofolio Eklampsia

Page 1: Portofolio Eklampsia

Portofolio (Kasus II)

Topik:Eklampsia

Tanggal (Kasus) : 21 Juli 2015 Presenter : dr. Apriliza Ralasati

Tanggal Presentasi : 24 Juli 2015 Pendamping : dr. Sartika Sadikin

Tempat Presentasi : RSUD RUPIT

Objektif Presentasi :

Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka

Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa

Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil

Deskripsi : Ibu hamil, 29 tahun, G3 P2 A0 hamil 32-33 minggu, riwayat kejang berulang Tujuan : mengatasi kejang, mengakhiri persalinan dengan trauma sekecil-kecilnya, melahirkan janin dengan kemungkinan hidup besar, mencegah komplikasi (sindroma HELLP, IUFD, dll).Bahan Bahasan : Tinjauan

Pustaka Riset Kasus Audit

Cara membahas Diskusi Presentasi dan diskusi

Email Pos

Data Pasien: Nama : Ny. TUmur : 29 tahunPekerjaan : Ibu Rumah TanggaAlamat : Ma. RupitAgama : IslamBangsa : Indonesia

No. Reg : 21081511

Nama RS: RSUD RUPIT Telp : Terdaftar sejak :

Data utama untuk bahan diskusi:

1. Diagnosis / Gambaran Klinis:

G2P1A0 Hamil 32-33 minggu dengan eklampsia,belum inpartu dengan Riwayat kejang berulang dan riwayat sc 1x.

2. Riwayat Pengobatan : -

Page 2: Portofolio Eklampsia

3. Riwayat Kesehatan / Penyakit :

Hipertensi sejak kelahiran anak 1. Kejang seperti ini juga pernah terjadi pada kehamilan sebelumnya yaitu kelahiran anak pertama, dengan gejala yang mirip dengan kehamilan yang sekarang. Riwayat operasi caesar pada kehamilan sebelumnya, tahun 2012.

4. Riwayat Keluarga : Ayah pasien menderita Hipertensi dan DM

5. Riwayat Pekerjaan : pasien bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga

6. Riwayat KB : KB suntik di puskesmas tahun 2012

7. Lain-lain : Pemeriksaan Fisik

Status Generalis : KU / Kes : SS / CM, TD : 170/100 mmHg, F. Nadi : 118x/mnt, Suhu : 36,7 °C, RR : 22 x/mnt

Ekstremitas : Edema +/+, akral hangat

Status Obstetri :Inspeksi Simetris, membesar sesuai dengan kehamilan, striae gravidarum (+),

scar / bekas operasi (+)

Palpasi Leopold I : TFU 29 cm, teraba satu bagian besar, bulat, lunak, tidak

melenting.

Leopold II : Kanan : teraba bagian-bagian kecil janin.

Kiri: teraba bagian keras seperti papan.

Leopold III : teraba satu bagian besar, bulat, keras dan melenting

Leopold IV : kepala belum masuk PAP

TFU 29 cm, HIS (-), DJJ 134 dpm, teratur.VT : Portio kaku, tebal 2 cm, Pembukaan (-), Ketuban(+), Kepala Hodge I.

Pemeriksaan Laboratorium:

LED : 94 mm(↑) , Leukosit : 12.100 /µl, Hb : 14,3 gr/dl (↑),

Ht : 43,2 %, Trombosit : 195.000 /µl , protein urin (++)

2

Page 3: Portofolio Eklampsia

Daftar Pustaka:

1. Cunningham, FG et.al. Hypertensive Disorder in Pregnancy. Williams Obstetrics, 21st ed. Prentice Hall International Inc. Appleton and Lange. Connecticut. 2001. 653 - 694.

2. Wiknjosastro, H. Pre-eklampsi Berat. Ilmu Kandungan edisi ketiga. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 1999. 281-308.

3. Jenklus D. Pre-eclamptic Toxaemia, Interuniversity school for study of pathophysiology of pregnancy. Dubrovnik,1989.

4. SMF Kebidanan RSUP Fatmawati , Pre-eklampsi, Standard Operatif Pelaksanaan Medis 1998.

5. Jurnal penatalaksanaan Pre-eklampsi dan Eklampsi Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS. Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, April 1998.

6. Bagian Obstetri Ginekologi FK Unpad Pre-eklampsi, Obstetri Patologi, 1983.7. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Preeklampsi berat dan

Eklampsi. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.Jakarta.2002.8. Visser, W et.al. Temporising Management of Severe Pre-eclampsia With and Without the

HELLP Syndrome. British Journal of Obstetrics and Gynecology. Volume 102. Number 2, February 1995. 111 – 117.

9. Martin, JN et.al. Early Risk Assessmentof Severe Pre-eclampsia: Admission Battery of Symptoms and Laboratory Test to Predict Likelihood of Subsequent Significant Maternal Morbidity. American Journal of Obstetrics and Gynecology. Part 1. Volume 180. Number 6. 1999. 1407 – 1414.

10. Anwar, AD et.al. Penggunaan Nifedipin Pada Penderita Preeklampsia Berat. Majalah Obstetri dan Ginekologi Indonesia. Volume 22. Nomor 1. Januari 1998. 8 – 13.

11. Liem, KH et.al. Preeclampsia. 2013. http://emedicine.medscape.com/article/1476919-overview

12. Ross, MG et.al. Eclampsia. 2012. http://emedicine.medscape.com/article/253960-overview

Hasil Pembelajaran

1. Penegakan diagnosa Eklampsia.2. Penatalaksanaan wanita hamil dengan pre-eklampsia & eklampsia.3. Edukasi kepada pasien & keluarga tentang pre-eklampsia & eklampsia.

1. Subjektif :Keluhan Utama : Kejang sejak +1 jam SMRS.

Keluhan Tambahan : Sakit kepala, mual dan muntah sejak + 1 jam SMRS.

Pasien datang dengan keluhan kejang hilang timbul sejak +1 Jam SMRS. Kejang

seperti ini juga pernah terjadi pada kehamilan sebelumnya yaitu kelahiran anak pertama,

dengan gejala yang mirip dengan kehamilan yang sekarang. Pasien juga mengatakan dirinya

saat ini sedang hamil 8 bulan. HPHT : 17 Oktober 2014. TP : 24 Agustus 2015. Dirinya

3

Page 4: Portofolio Eklampsia

menderita darah tinggi ketika pasien hamil anak pertama (2011-2012). Keluar air – air

disangkal. Keluar lendir darah disangkal. Adanya mules – mules yang menjalar sampai ke

pinggang disangkal. Adanya riwayat keluar darah secara tiba – tiba dari kemaluan juga

disangkal. Gerakan janin masih dirasakan pasien. Pasien saat ini mengeluhkan adanya sakit

kepala, mual dan muntah sejak ± 1 jam SMRS. Adanya pandangan kabur sejak hamil (+).

Nyeri ulu hati. Riwayat operasi caesar pada kehamilan sebelumnya (+) tahun 2012.

2. Objektif :

Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak Sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tanda-Tanda Vital

Tekanan Darah : 170/100 mmHg

Nadi : 118x/menit

Suhu : 36,7 oC

RR : 22 x/mnt

Kepala : Normochepali, rambut hitam tebal, sukar dicabut.

Mata : CA -/-, SI -/-

THT : Faring Hiperemis (-), Tonsil T1 – T1 tenang

Leher : KGB tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak membesar.

Cor : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : Suara nafas vesikuler, Rh-/-, Wh-/-

Mammae : Simetris, hiperpigmentasi pada areola, benjolan (-), retraksi puting

(-).

Abdomen : Lihat status obstetrikus.

Ekstremitas : Edema +/+, akral hangat

Genitalia : Labia Mayor oedema -/-, Bloody Show ( - )

Status Obstetri

Inspeksi : Simetris, membesar sesuai dengan kehamilan, striae gravidarum

4

Page 5: Portofolio Eklampsia

(+), scar / bekas operasi (+)

Palpasi : Leopold I : TFU 29 cm, teraba satu bagian besar, bulat, lunak,

tidak melenting.

Leopold II : Kanan : teraba bagian-bagian kecil janin.

Kiri: teraba bagian keras seperti papan.

Leopold III : teraba satu bagian besar, bulat, keras dan melenting

Leopold IV : kepala belum masuk PAP

His : -

Auskultasi : DJJ : 134 dpm

Pemeriksaan Dalam :

Inspeksi : v/u tenang.

Inspekulo : tidak dilakukan

Vaginal Toucher :

Portio kaku, tebal 2 cm, Pembukaan (-), Ketuban(+), Kepala Hodge I.

Pemeriksaan Laboratorium:

Darah rutin: LED : 94 mm(↑) , Leukosit : 12.100 /µl, Hb : 14,3 gr/dl (↑), Ht : 43,2 %,

Trombosit : 195.000 /µl

Urin Rutin: Protein (++)

3. Assessment :Ny T berusia 29 tahun sudah menikah, pekerjaan ibu rumah tangga, datang dengan keluhan

utama kejang dan keluhan tambahan sakit kepala, mual, dan muntah. Pasien pernah mengalami

kejang pada kehamilan sebelumnya. Saat ini pasien sedang hamil 8 bulan, dengan HPHT: 17

Oktober 2014 dan TP: 24 Agustus 2015.

Pada pemeriksaan fisik

Dari kondisi tersebut, kita menilai bahwa pasien mengalami keadaan berulang dari kehamilan

sebelumnyapertama mengalami gejala prodromal berupa badan pasien terasa lesu. Pasien

kemudian mengalami demam yang meningkat dan mengigil pada malam hari, demam turun

5

Page 6: Portofolio Eklampsia

disertai keringat serta demam turun tapi badan masih terasa hangat pada pagi hari. Dari gejala

klinis ini, kita menilai bahwa pasien mengalami pola demam khas pada malaria, yaitu trias

malaria dimana terdapat tiga fase yaitu fase dingin, fase panas dan fase berkeringat.

Hal ini disebabkan oleh pecahnya sel darah merah yang terinfeksi Plasmodium dapat

menyebabkan timbulnya gejala demam disertai menggigil. Periodisitas demam pada malaria

berhubungan dengan waktu pecahnya sejumlah skizon matang dan keluarnya merozoit yang

masuk aliran darah (sporulasi). Respon yang terjadi bila organisme penginveksi telah menyebar

di dalam darah, yaitu pengeluaran suatu bahan kimia oleh makrofag yang disebut pirogen

endogen (TNF alfa dan IL-1).

Gambar 1 : siklus malaria (gambar diperoleh dari cdc.gov)

Pirogen endogen ini menyebabkan pengeluaran prostaglandin, suatu perantara kimia lokal yang

dapat menaikan termostat hipotalamus yang mengatur suhu tubuh. Setelah terjadi peningkatan

titik patokan hipotalamus, terjadi inisiasi respon dingin, dimana hipotalamus mendeteksi suhu

tubuh di bawah normal, sehingga memicu mekanisme respon dingin untuk meningkatkan suhu.

6

Page 7: Portofolio Eklampsia

Respon dingin tersebut berupa menggigil dengan tujuan agar produksi panas meningkat dan

vasokonstriksi kulit untuk segera mengurangi pengeluaran panas. Pasien juga mengalami pola

demam seperti pada demam tifoid yaitu demam menurun pada pagi hari namun badan masih

terasa hangat dan pasien masih dapat beraktivitas seperti biasa.

Pada keluhan tambahan didapatkan keluhan berupa kepala pasien terasa sakit yang umumnya

disebabkan oleh infeksi Plasmodium melepaskan toksin malaria atau GPI sehingga mengaktifasi

makrofag dan mensekresikan IL 2 dan terjadi sintesis bradikinin mestimulus /respon serabut saraf

di otak sehingga timbullah sakit kepala. Pasien juga mengeluh sulit BAB, sakit perut, muntah dan

nafsu makan menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh infeksi dari malaria maupun salmonella

thypii yang menginvasi sistem pencernaan pasien. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa pada

demam tifoid terjadi mekanisme dimana masuknya kuman Salmonella typhi (S typhi) dan

Salmonella paratyphi (S.paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang

terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan di dalam lambung, sebagian lolos masuk

ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak.

Pada riwayat penyakit dahulu pasien menyangkal pernah mengalami penyakit yang sama

sebelumnya. Pasien juga menyangkal pada keluarga dan lingkungan sekitar menderita penyakit

yang sama. Pasien tidak mendapatkan transfuse darah sebelumnya. Pasien tidak berpergian ke

daerah endemis malaria. Dari anamnesis ini pasien masih dalam diagnosis malaria dengan

diagnosis banding demam tifoid.

Pada riwayat kebiasaan pasien diketahui bahwa pasien menjalani pola kebersihan lingkungan dan

higienitas yang kurang baik. Hal ini dapat mengarahkan pasien pada kemungkinan terjadinya

infeksi salmonella thypii yang masuk melalui perantara makanan maupun minuman pasien yang

kurang higienis.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital pasien dalam batas normal, kesadaran pasien baik.

Pada pemeriksaan status generalisata didapatkan lidah kotor (+) , nyeri tekan pada epigastrium

serta lien shuffner 1. Lidah kotor disini disebabkan oleh penumpukan bakteri pada epitel lidah

dan terjadi deskuamasi sel epitel. Lien teraba shuffner 1 menunjukkan adanya banyak parasit

dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak

terinfeksi. Hal ini menunjukkan pemeriksaan yang mengarah pada malaria dan tifoid karena tifoid

juga dapat ditemukan splenomegali.

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan pada pemeriksaan widal titer O yang meningkat yaitu

7

Page 8: Portofolio Eklampsia

sebesar 1/360 yang menunjukkan peningkatan antibodi tubuh terhadap bakteri salmonella thypii.

Pemeriksaan darah pada demam tifoid terutama titer O paling baik ditemukan pada seminggu

pertama pasien mengalami keluhan demam.

Pemeriksaan mikrobiologi menunjukkan adanya malaria falciparum pada pasien.

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang maka diagnosis mengarah

kepada Malaria Falciparum dan demam tifoid.

4. Plan :

Diagnosis : Malaria falciparum dan demam tifoid

Penatalaksanaan :Non farmakologi :

- Tirah baring- Diet lunak rendah serat

Farmakologi :- IVFD RL gtt xxx/menit- Ranitidin 2x50mg (iv)- Tiamfenikol 4 x 500mg (p.o)- FDC (Fixed Drug Combination) DHP 1 x 3 tablet (p.o) dan Primakuin 1 x 2 tablet

(p.o)-

PrognosisVitam : dubia ad bonamFunctionam : dubia ad bonamEdukasi keluarga :

1. Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai penyakit dan tatalaksana yang akan diberikan

2. Memberikan penjelasan kepada keluarga pasien mengenai kondisi klinis pasien jika penyakit pasien terulang kembali dan tanda-tanda yang mengharuskan pasien dibawa secepatnya kerumah sakit.

3. Memperbaiki higienitas maupun sanitasi di lingkungan keluarga agar preventif terhadap penyakit tifoid menyeluruh.

Edukasi pasien :Modifikasi gaya hidup, modifikasi pola makan, edukasi agar pasien berobat teraturKonsultasi : Jika terjadi komplikasi lebih lanjut, pasien dirujuk ke penyakit dalam.

8

Page 9: Portofolio Eklampsia

TINJAUAN PUSTAKA

1. Malaria Falciparum

1.1 Definisi

Plasmodim falsiparum adalah salah satu organisme penyebab malaria.

Plasmodium ini merupakan jenis yang paling berbahaya dibanding dengan

plasmodium yang lain yang menginfeksi manusia seperti P. vivax, P. malariae dan

P. ovale. Saat ini P. falciparum merupakan salah satu spesies penyebab malaria

yang paling banyak diteliti. Hal tersebut karena spesies ini banyak menyebabkan

angka kematian dan kesakitan pada manusia, selain itu juga karena dapat

ditumbuhkan dalam jangka waktu yang lama secara in vitro.1, 2

1.2 Epidemiologi

Penyakit ini pernah diberantas di banyak negara, namun kemudian muncul

kembali. Saat ini malaria berjangkit di 103 negara dan separuh penduduk dunia

hidup di tempat beresiko mengalami malaria. Dari 300 juta penduduk yang

9

Page 10: Portofolio Eklampsia

terjangkit malaria, 3 juta diantaranya meninggal dunia yang berarti beberapa ratus

dalam tiap jamnya.1

Selain kemunculannya kembali, masalah lainnya adalah resisitensi parasit

terhadap obat anti malaria dan resistensi nyamuk terhadap pestisida. Malaria juga

mengancam daerah-daerah yang sebelumnya bukan daerah endemic malaria,

mengancam kesehatan traveler serta member beban kepada masyarakat.1

Pada tahun 2006 terjadi Kejadian Luar Biasa malaria di beberapa daerah.

Upaya penanggulangan baik dengan pengobatan secara massal, survey demam,

penyemprotan rumah, penyelidikan vector penyakit dan tindakan lain telah

dilakukan dengan baik. Beberapa factor yang turut membuat terjadinya KLB ini

disebabkan oleh adanya perubahan lingkungan tempat perindukan potensial

semakin meluas atau semakin bertambah. Salah satu yang menyebabkan KLB

(Kejadian Luar Biasa) ini adalah malaria Falsiparum.2

1.3 Patogenesis

Patogenesis malaria sangat kompleks dan seperti pathogenesis penyakit

infeksi pada umumnya melibatkan factor parasit, factor penjamu, factor social dan

lingkungan. Ketiga factor tersebut saling terkait satu sama lain dan menentukan

manisfestasi klinis malaria yang bervasiasimulai dari yang terberat seperti malaria

serebral sampai infeksi yang paling ringan, yaitu infeksi asimtomatik.2, 3

10

Page 11: Portofolio Eklampsia

Pada factor parasit berbagai factor menentukan dalam terjadinya infeksi ini

meliputi resistensi terhadap obat anti malaria, kemampuan parasit dalam

menghindari diri dari respon system imun tubuh host melalui variasi antigenic.

Factor yang paling penting dari parasit adalah pembentukkan sitoadherens dan

pembentukan roset serta berbagai toksin dalam malaria. Sitoadherens adalah

ikatan antara eritrosit yang terinfeksi dengan endotel vascular terutama kapiler

postvenula, menyebabkan terjadinya sekuestrasi parasit pada kapiler-kapiler

organ. Hal ini menyebabkan eritrosit yang terinfeksi melekat pada kapiler-kapiler

organ tubuh, menimbulkan gangguan aliran darah local dan jika berat akan

11

Page 12: Portofolio Eklampsia

menimbulkan iskemia dan hipoksia dengan hasik akhir adalah kegagalan organ.

Sedangkan roseting adalah ikatan antara eritrosit yang terinfeksi dengan beberapa

eritrosit yang tidak terinfeksi membentuk suatu gumpalan yang disebut roset.

Roseting terjadi karena eritrosit yang terinfeksi melepaskan protein tertentu yang

menimbulkan perlekatan dengan eritrosit yang tidak terinfeksi. Hal ini akan

mengakibatlkan rusaknya eritrosit lain yang normal sehingga asupan oksigen

menjadi terganggu, terjadi hipoksia organ dan terjadi gagal organ.1, 2

Toksin parasit sebagian berasal dari parasit sendiri sebagian berasal dari

eritrosit terinfeksi yang pecah sewaktu proses skizogoni yang mengeluarkan

toksin seperti glycosylphosphatidylinositols (GPI), hemozosin atau yang berasal

dari antigen parasit seperti MSP-1, MSP-2, RAP-1. Toksin tersebut akan

merangsang pengeluaran NO dengan memicu enzim inducible nitric oxide

synthase (iNOS). Pengeluaran NO dalam jumlah berebihan akan mengganggu

berbagai fungsi sel tubuh. Kadar NO yang terlalu tinggi juga akan meningkatkan

sitoadherens dan sekuasterasi parasit.3, 4, 6

Faktor pejamu yang berperan meningkatkan infeksi malaria adalah seperti

umur, genetic, nutrisi, imunitas dan terutama peran dari mediator yang dihasilkan

oleh makrofag, limfosit, leokosit, sel endotel, trombosit akibat rangsangan dari

toksin ataupun antigen parasit. Di daerah endemis stabil, malaria berat terutama

malaria serebral umumnya diderita oleh anak-anak umur 1-4 tahun , setelah itu

hanya ditemukan anemia pada usia pubertas sedangkan pada dewasa umumnya

adalah asimtomatik. Hal ini mungkin disebabkan respon imun terhadap malaria

pada anak terbentuk lebih lambat. Di daerah endemis tidak stabil malaria berat

12

Page 13: Portofolio Eklampsia

dapat ditemukan hampir pada semua umur. Selain itu ada beberapa penelitian

bahwa orang dewasa non-imun lebih peka terhadap malaria berat dibanding

dengan anak-anak non-imun, tetapi orang dewasa non-imun mampu membentuk

imunitas klinik dan parasitologis lebih cepat dibanding anak-anak non-imun.2, 4

Faktor nutrisi mungkin berperan menentukan kepekaan dalam malaria

berat. Pada beberapa penelitian malaria berat sangat jarang ditemukan pada anak-

anak. Defisiensi besi, riboflavin, PABA mungkin mempunyai efek protektif

terhadap malaria berat karena kekurangan zat gizi tersebut akan menghambat pula

pertumbuhan parasit.1

1.4 Gejala Klinis

Gejala klinis malaria meliputi keluhan dan tanda klinis yang merupakan

petunjuk penting dalam diagnosis malaria. Gejala klinis tersebut dipengaruhi oleh

strain plasmodium, imunitas tubuh dan jumlah parasit yang menginfeksi. Gejala

tersebut juga dipengaruhi oleh endemisitas tempat infeksi (berhubungan dengan

imunitas) dan pengaruh pemberian pengobatan profilaksis atau pengobatan yang

tidak adekuat. Gejala P. falciparum umumnya lebih berat dan lebih akut

dibandingkan dengan jenis lain, sedangkan gejala oleh P. malariae dan P. ovale

ditemukan yang paling ringan.4

Gejala-gejala prodormal malaria hampir sama dengan penyakit infeksi

lain, yaitu adanya lesu, malaise, sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri tulang

dan otot, anorexia, perut tidak enak, diare ringan dan kadang-kadang merasa

dingin di punggung. Keluhan ini dapat sering terjadi pada infeksi P. vivax dan P.

13

Page 14: Portofolio Eklampsia

ovale. Sedangkan pada P. falciparum dan P. malariae gejala ini dapat tidak jelas

bahkan dapat muncul mendadak. Setelah itu dapat terjadi gejala khas Trias

Malaria yang secara berurutan, yaitu menggigil, demam, berkeringat. Trias

malaria ini dapat berlangsung 6-10 jam dan lebih sering terjadi pada infeksi P.

vivax. Pada P. falciparum menggigil dapat berlangsung lebih berat ataupun tidak

ada. Periode bebas panas pada P. falciparum berlangsung 12 jam, pada P. vivax

dan P. Ovale berlangsung 36 jam, pada P. Malariae berlangsung 60 jam.1, 2

Beberapa gejala klinis khas dari keempat jenis parasit yang menyebabkan

malaria antara lain:

Plasmodium Manisfestasi klinis

Falciparum Gejala gastrointestinal (mual muntah),

hemolisis, anemia, ikterus,

hemoglobinuria, syok, algid malaria,

gejala serebral (sakit kepala, kejang),

edema paru, hipoglikemi, gagal ginjal

akut, kelainan retina, kematian

Vivax Anemia kronik, splenomegali, rupture

limpa

Ovale Sama dengan vivax

Malariae Splenomegali menetap, limpa jarang

rupture, sindrom nefrotik

14

Page 15: Portofolio Eklampsia

1.5 Diagnosis dan Penatalaksaan

Diagnosis malaria yang cepat dan tepat merupakan hal yang sangat

diperlukan dalam penatalaksanaan kasus malaria. Hal tersebut terutama

berhubungan dengan infeksi P. falciparum yang dapat menyebabkan malaria berat

ataupun malaria dengan komplikasi. Bagi seorang dokter umum anamnesis

adanya riwayat bepergian ke daerah endemis malaria selama lebih kurang 2

minggu sebelum timbul gejala klinis dapat sangat membantu dalam diagnosis.

Gejala klinis yang khas antara lain demam tinggi yang dapat disertai gangguan

kesadaran, ikterik, gangguan berkemih, muntah-muntah hebat, pembesaran limpa

dan trias Malaria dapat terjadi pada seseorang yang baru pertama terinfeksi

malaria. Bagi orang yang bertempat tinggal di daerah endemis biasanya penderita

sudah mempunyai kekebalan walaupun tidak spesifik sehingga gejalanya hanya

berupa demam, sakit kepala, lemah, kadang menggigil dan sebagainya.2

Meskipun anamnesis dan pemeriksaan fisis sangat mendorong kearah

malaria, diagnosis pasti tetap harus ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium.

Bila pada hapusan darah dan laboratorium terdapat plasmodium dan antibody

terhadap malaria maka diagnosis pasti malaria dapat ditegakkan. Bila pada

hapusan darah dan laboratorium negative, maka pemeriksaan perlu dilakukan

berulang-ulang. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan yang sangat sensitive

dan spesifik untuk deteksi Plasmodium seperti melalui Moleculer Assay, ELISA

15

Page 16: Portofolio Eklampsia

dan PCR. Pemeriksaan PCR sangat berguna pada kasus-kasus dengan derajat

parasitemia yang rendah.2, 6, 8

Pengobatan malaria falsiparum

Lini pertama: dengan Fixed Dose Combination = FDC yang terdiri dari

Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP) tiap tablet mengandung 40 mg

Dihydroartemisinin dan 320 mg Piperakuin.

            

Untuk dewasa dengan Berat Badan (BB) sampai dengan 59 kg  diberikan DHP

peroral 3 tablet satu kali per hari  selama 3 hari dan Primakuin 2 tablet sekali

sehari satu kali pemberian, sedang untuk BB > 60 kg diberikan 4 tablet DHP satu

kali sehari selama 3 hari dan Primaquin 3 tablet sekali sehari satu kali pemberian. 

Dosis DHA = 2 - 4 mg / kgBB (dosis tunggal), Piperakuin = 16 - 32 mg / kgBB

(dosis tunggal), Primakuin = 0,75 mg / kgBB (dosis tunggal). 

Pengobatan malaria falsiparum yang tidak respon terhadap pengobatan DHP.

Lini kedua: Kina + Doksisiklin / Tetrasiklin + Primakuin. Dosis kina = 10 mg /

kgBB / kali (3x / hari selama 7 hari), Doksisiklin = 3,5 mg / kgBB per hari  

(dewasa, 2x / hr selama 7 hari), 2,2 mg / kgBB / hari (8-14 tahun, 2x / hr selama 7

hari), Tetrasiklin = 4-5 mg / kgBB / kali (4x / hari selama 7 hari).

16

Page 17: Portofolio Eklampsia

Pengobatan malaria vivax dan ovale  

Lini pertama: Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin (DHP), diberikan peroral

satu kali per hari  selama 3 hari, primakuin= 0,25mg / kgBB / hari (selama 14

hari). 

Pengobatan malaria vivax yang tidak respon terhadap pengobatan DHP.  

Lini kedua: Kina + Primakuin. Dosis kina = 10 mg / kgBB / kali (3x / hr selama 7

hari), Primakuin = 0,25 mg / kgBB (selama 14 hari).

•        Pengobatan malaria vivax yang relaps (kambuh):

-        Diberikan lagi regimen DHP yang sama tetapi dosis primakuin ditingkatkan

menjadi 0,5 mg / kgBB / hari.

-        Dugaan relaps pada malaria vivax adalah apabila pemberian Primakiun dosis 0,25

mg / kgBB / hr sudah diminum selama 14 hari dan penderita sakit kembali dengan

parasit positif dalam kurun waktu 3 minggu sampai 3 bulan setelah pengobatan. 

Pengobatan malaria malariae  

Cukup diberikan DHP 1 kali perhari selama 3 hari dengan dosis sama dengan

pengobatan malaria lainnya dan dengan dosis sama dengan pengobatan malaria

lainnya dan tidak diberikan Primakuin. 

Pengobatan infeksi campuran antara malaria falsiparum dengan malaria

vivax / malaria ovale dengan DHP.

17

Page 18: Portofolio Eklampsia

Pada penderita dengan infeksi campuran diberikan DHP 1 kali per hari selama 3

hari, serta DHP 1 kali per hari selama 3 hari serta Primakuin dosis 0,25 mg /

kgBB selama 14 hari.

Pengobatan malaria pada ibu hamil 

•        Trimester pertama:

-        Kina tablet 3x 10 mg / kg BB + Klindamycin 10 mg / kgBB selama 7 hari.

•        Trimester kedua dan ketiga diberikan DHP tablet selama 3 hari.

•        Pencegahan / profilaksis digunakan Doksisiklin 1 kapsul 100 mg / hari diminum 2

hari sebelum pergi hingga 4 minggu setelah keluar / pulang dari daerah endemis.

2. Demam Tifoid

2.1 DEFINISI

Demam tifoid adalah penyakit, yang disebabkan oleh Salmonella typhi.

Penyakit ini ditularkan melalui konsumsi makanan atau minuman yang

terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terinfeksi..  Demam tifoid adalah

penyakit infeksi pada usus halus. Demam tifoid disebut juga paratyphoid fever,

enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis. (1)

Gejala biasanya berkembang 1-3 minggu setelah terpapar  dan

menunjukkan gejala yang mungkin ringan atau berat. Gejala termasuk demam

tinggi, malaise, sakit kepala, konstipasi atau diare, muncul bintik merah pada

18

Page 19: Portofolio Eklampsia

dada, dan pembesaran limpa dan hati. Carrier yang sehat dapat memperlihatkan

gejala penyakit akut. (1)

Demam tifoid dapat diobati dengan antibiotik. Namun, resistansi terhadap

antimikroba telah meluas. (1)

2.2                EPIDEMIOLOGI

Demam tifoid terjadi diseluruh dunia, terutama di Negara berkembang

yang memiliki sanitasi yang buruk. Demam tifoid endemik di Asia, Afrika,

Amerika latin, dan pasifik. Demam tifoid merupakan penyakit endemik di

Indonesia. Insidensi demam  tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait

dengan sanitasi lingkungan. Di daeral rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000

penduduk sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk.

Perbedaan insidensi di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih

yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang

kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. (2)

2.3 ETIOLOGI

Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sedangkan demam

paratifoid disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, Salmonella paratyphi B dan

Salmonella paratyphi C. (3)

Salmonella typhi tergolong dalam famili Enterobacteriaceae, adalah

kuman  gram negatif  berbentuk batang, memiliki flagella, tidak membentuk

spora, fakultatif anaerobik bergerak aktif. Bakteri ini mempunyai panjang kurang

19

Page 20: Portofolio Eklampsia

lebih 3 mikron lebar 0,5 mikron. Kuman ini memiliki 3 macam antigen. Antigen

somatik O atau antigen somatik berasal dari dinding sel kuman, antigen flagelar

(H) berasal dari cambuk kuman dan antigen Vi berupa bahan termolabil yang

diduga sebagi pelapis tipis dinding sel kuman. Antigen O merupakan bahan

kompleks polisakarida yang penting untuk menentukan virulensi kuman. (3)

2.4 PATOGENESIS

Masuknya kuman Salmonella typhi (S typhi) dan Salmonella paratyphi

(S.paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang

terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan di dalam lambung,

sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila

respons imunitas humral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan

menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di

lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama

oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam  makrofag dan

selanjutnya dibawa ke plague peyeri ileum distal dan kemudian  ke kelenjar getah

bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torakikus kuman yang terdapat di

dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia

pertama yang asimtomatik), dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotial

tubuh terutama hati dan limpa . Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel

fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan

selanjutnya masuk ke dalam  sirkulasi darah lagi mengakibakan bakterimia yang

kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. (2)

20

Page 21: Portofolio Eklampsia

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak

dan bersama cairan empedu dieksresikan secara “intermitten” ke dalam lumen

usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke

dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,

berhubung  makrofag  telah teraktivasi dan hiperaktif  maka saat fagositosis

kuman  Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang

selanjutnya akan  menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam,

malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental,

dan koagulasi. (2)

Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi

hyperplasia  jaringan (S.typhi  intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas

tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna

dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri yang sedang

mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di

dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke

lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. (2)

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat

timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler,

pernapasan, dan gangguan organ lainnya. (2)

2.5 DIAGNOSIS

Penegakan kasus sedini mungkin sangat bermanfaat agar bisa diberikan

terapi yang tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis

penyakit ini sangat penting untuk membantu mendeteksi secar dini. Walaupun

21

Page 22: Portofolio Eklampsia

pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu

menegakkan diagnosis. (2)

Untuk Mendiagnosis klinis demam tifoid cukup sulit. Di area endemik

tifoid, demam yang tidak deketahui penyebabnya yang berlangsung lebih dari satu

minggu dapat di curigai demam tifoid. Kultur darah dapat dijadikan diagnosis

standar. Kultur sumsum tulang lebih sensitif. Kultur darah kurang sensitif

dibandingkan dengan  kultur  sumsum  tulang karena jumlah mikroorganisme

yang ditemukan lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah yang ditemukan di

sumsum tulang. Kultur darah lebih sensitif pada minggu pertama yang dapat

menurun dengan  pemberian antibiotik. Kultur tinja ditemukan positif pada 30%

kasus dan memiliki sensitivitas tergantung pada jumlah tinja dan lama

penyakit. (4)

Penggunaan tes widal masih kontroversial karena sensitivitas, spesifitas

dan nilai prediksi yang digunakan sangat bervariasi tergantung letak area

geografis. Tes ini mendeteksi aglutinasi antibodi terhadap antigen O dan H dari

Salmonella enterica serotype typhi. Meskipun begitu, tes widal masih digunakan

pada daerah lokal yang telah diketahui cut of point nya. (4)

A.    MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis demam tifoid bervariasi mulai dari yang ringan hingga

yang bentuk yang berat seperti syok toksik. Gejala yang ditimbulkan seperti

demam tinggi (104oF), keringat banyak, gangguan buang air besar berupa

konstipasi pada dewasa dan diare pada anak, malaise, mialgia, batuk kering yang

menyerupai bronkhitis, anoreksia, mual, dan pada pada beberapa kasus ditemukan

22

Page 23: Portofolio Eklampsia

non-bloody diarrhea. Jika demam  lebih darai 5 hari, bintik-bintik merah mungkin

ditemukan.

Masa inkubasi pada demam tifoid tanpa komplikasi berkisar 10-14 hari.

Malaise dan letargi dapat berlanjut hingga beberapa bulan saat penyakit muncul.

Jika tidak di obati, demam tifoid dapat berkembang hingga ke stadium empat

dimana tiap stadium berakhir dalam 1 minggu.

Pada minggu pertama, suhu tubuh meningkat secara perlahan-lahan

dengan  baradikardi relatif, malaise, nyeri kepala dan batuk. Pada beberapa kasus

ditemukan perdarahan dari hidung dan nyeri perut.

Pada minggu kedua demam berkisar 104oF dan denyut jantung yang

lambat.  Delirium kadang di temukan.  Bintik merah pada dada bagian bawah dan

abdomen  ditemukan pada 30% pasien. Gejala abdominal makin jelas dengan di

temukannnya nyeri pada kuadran kanan bawah. Diare dengan frekuensi 6-8 kali

per hari, namun konstipasi juga sering ditemukan. Lien dan hepar teraba dan

tegang.

Pada minggu ketiga demam, komplikasi mulai muncul seperti perdarahan

intestinal, ensefalitis, abses metastase, colesistisis, endokarditis dan osteitis.

Sekitar 10-15% demam  tifoid mengalami komplikasi. Perforasi usus terjadi 1-3%

dan menjadi peritonitis dan  menyebabkan  kematian jika tidak segera di

intervensi bedah.

Pada minggu ke empat demam, pasien yang mengalami delirium

menunjukkan gejala dehidrasi. Komplikasi lain termasuk DIC, pneumonia yang

sering terjadi pada anak dan  jarang  pada dewasa. Pada kasus yang jarang terjadi

23

Page 24: Portofolio Eklampsia

seperti granuloma hepar, lien dan sum-sum tulang, abses hepar dan lien, efusi

pleura, sindrom fagosit, pseudotumor cerebri, endokarditis hemolitik dan

perikarditis. (5)

B.     PEMERIKSAAN LABORATORIUM PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium  untuk membantu menegakkan diagnosis

demam  tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi;

(2) pemeriksaan  bakteriologis dengan isolasi dan biakan  kuman; (3) uji

serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler. (6)

1. PEMERIKSAAN DARAH TEPI

            Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit

normal, bisa menurun atau  meningkat, mungkin didapatkan  trombositopenia dan

hitung  jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan

aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh

beberapa ilmuwan mendapatkan  bahwa hitung  jumlah dan jenis leukosit serta

laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal

yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam

tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi

dugaan kuat diagnosis demam tifoid. (6)

           

2. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI ISOLASI / BIAKAN

            Diagnosis pasti demam  tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S.

typhi dalam  biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum

24

Page 25: Portofolio Eklampsia

atau dari rose spots. Berkaitan dengan  patogenesis penyakit, maka bakteri akan

lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit,

sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. (6)

            Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil

negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada

beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1)

jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu;

dan (3) waktu pengambilan darah. (6)

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak

kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan

untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih

sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat

menjelaskan  teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila

dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit

dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang

direkomendasikan  untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana

dikatakan  media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.

typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut. (6)

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan

pada  perjalanan  penyakit. Beberapa  peneliti  melaporkan biakan darah positif

40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-

50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel

penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan

25

Page 26: Portofolio Eklampsia

volume darah  dan  rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam

feses ditemukan  meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga

(75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama.

Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai

sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan

sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase

penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah

pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.

Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-

hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang

diambil dari duodenum dan memberikan  hasil yang cukup baik akan tetapi tidak

digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah

satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah

dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang. (6)

Kegagalan dalam  isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan

media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang

sangat minimal dalam darah, volume spesimen  yang  tidak mencukupi, dan waktu

pengambilan spesimen yang tidak tepat. (6)

Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai

sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang

dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri

sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis

baku dalam pelayanan penderita. (6)

26

Page 27: Portofolio Eklampsia

3. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI UJI SEROLOGIS

            Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam

tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi

maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji

serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa

antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini

meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX®; (3) metode enzyme immunoassay (EIA);

(4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan

dipstik.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai

penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan

adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen

spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang

diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang

digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan

spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit). (6)

3.1       UJI WIDAL

            Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan

sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi

aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda

terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah

27

Page 28: Portofolio Eklampsia

yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih

menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.

Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan

(slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat

dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan

teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji

hapusan.

            Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara

lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status

imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi;

gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-

endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan. (6)

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta

sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam

penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif

akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda

infeksi).3 Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia,

manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada

kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar

titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di

populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan

peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. (6)

28

Page 29: Portofolio Eklampsia

            3.2       TES TUBEX®

            Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang

sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang

berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan

menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada

Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat  dalam diagnosis infeksi akut karena

hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam

waktu beberapa menit

            Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,

beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai

sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.

            3.3       METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT

            Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik

IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM

menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi

terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi.

Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang

tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat

membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-

M® yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi

dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan

pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.

29

Page 30: Portofolio Eklampsia

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-

tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan

dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif

yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.2,8 Dikatakan bahwa

Typhidot-M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan

kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.

            Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan

spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang

dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran

nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat

digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan

sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah

bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan

diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila

hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.

            3.4       METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY

(ELISA)

            Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk

melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG

terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji

ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam

spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992)

mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada

30

Page 31: Portofolio Eklampsia

sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang

didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan

sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial

serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine

penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada

deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen

Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih

lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada

minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya

nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis. (6)

            3.5       PEMERIKSAAN DIPSTIK

            Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda

dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi

dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi

sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen

kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak

memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.

           

4. IDENTIFIKASI KUMAN SECARA MOLEKULER

            Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah

mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan

31

Page 32: Portofolio Eklampsia

teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase

chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur

teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang

bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah

serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi

dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis

masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian. (6)

2.6 PENATALAKSANAAN

Sampai saat ini masih di anut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu

istirahat dan perawatan dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat

penyembuhan, tatalaksana simtomatik dan suportif seperti pemberian cairan oral

atau intravena, pemberian antipiretik, nutrisi yang tepat dan transfusi darah bila

ada indikasi serta pemberian antimikroba untuk menghentikan dan mencegah

penyebaran kuman. (2)

Lebih dari 90% pasien dapat di berikan tatalaksana dirumah dengan

pemberian antibiotik oral, asuhan terpercaya dan cek up medis jika ada

komplikasi atau respon terapi yang gagal. Namun, pasien dengan muntah, diare

berat dan distensi abdomen harus dirawat di rumah sakit dan diberi antibiotik

parenteral. (7)

32

Page 33: Portofolio Eklampsia

a.       Tatalaksana Demam Tifoid tanpa Komplikasi

Strategi pemberian antibiotik pada kasus tifoid tanpa komplikasi dapat

dilihat pada tabel berikut

Kerentanan

Terapi optimal Obat efektif alternatifAntibiotik Dosis

harian mg/kg

Hari Antibiotik Dosis harian mg/kg

Hari

Sensitif Fluorokuinolon mis. Ofloxacin; ciprofloxacin

15 5-7 KloramfenikolAmoxicilin

Cotrimoxazole

50-7575-1008-40

14-211414

MDR FluorokuinolonCefixim

1515-20

5-77-14

AzitromicinCefixime

8-1015-20

77-14

Resisten kuinolon

AzitromicinCeftriaxon

8-1075

710-14

Cefixime 20 7-14

            Berdasarkan data dari Global Distribution to Salmonella enterica Serotype

Typhi tahun 1990-2002, seluruh dunia menjadi area endemik demam tifoid dan

pada beberapa area dilaporkan telah terjadi strain MDR dan strain yang resisten

asam nalidiksat. Di Indonesia sendiri dilaporkan menjadi daerah endemik namun

bukan daerah dengan strain MDR serta strain resisten asam nalidiksat. (4)

Florokuinolon secara luas dianggap optimal dalam pengobatan penderita

demam tifoid dewasa. Obat ini relatif murah, baik di toleransi serta lebih cepat

dan lebih efektif dibandingkan dengan obat lini pertama seperti kloramfenikol,

ampicilin, amoxicilin dan cotrimoxazole. Penetrasi florokuinolon sangat baik di

jaringan dan membasmih S.typhi pada stadium intraseluler serta lebih efektif di

kandung empedu jika dibandingkan obat lain. Florokuinolon cepat menghasilkan

33

Page 34: Portofolio Eklampsia

respon terapi, menghilangkan demam dan gejala lain demam tifoid dalam 3-5 hari

serta jumlah carier setelah pengobatan yang rendah (7). 

b.      Tatalaksana Demam Tifoid dengan Komplikasi

Jika telah terjadi komplikasi pada demam tifoid maka diberikan pengobatan

seperti berikut

Kerentanan

Obat parenteral optimal Obat alternatif parenteral efektifAntibiotik Dosis

harian mg/kg

Hari Antibiotik Dosis harian mg/kg

Hari

Sensitif Fluorokuinolon mis.ofloxacin

15 10-14

KloramfenikolAmoxicilin

Cotrimoxazole

1001008-40

14-211414

MDR Fluorokuinolon 15 10-14

CeftriaxoneCefotaxime

6080

10-1410-14

Resisten kuinolon

CeftriaxoneCefotaxime

6080

10-1410-14

Fluorokuinolone

20 7-14

            Pasien demam  tifoid yang masih dirawat atau  yang  telah  keluar harus

dipantau perkembangan komplikasi. Intervensi secara berkala dapat menurunkan

morbiditas dan mortalitas. Florokuinolon parenteral merupakan antibiotik pilihan

untuk infeksi berat. Pasien demam tifoid disertai dengan perubahan status mental

yang ditandai dengan delirium, stupor harus segera di evaluasi meningitis dengan

memeriksa cairan serebrospinal. Jika hasilnya normal namun dicurigai meningitis

tifoid, pasien dewasa maupun anak harus segera diterapi dengan dexametasone

dosis tinggi secara intravena dikombinasikan dengan antimikroba. Dexametasone

34

Page 35: Portofolio Eklampsia

diberikan pada fase awal 3 mg/kg secara i.v infus perlahan selama 30 menit dan

setelah enam jam kemudian diberikan 1 mg/kg dan diulang setiap enam jam.

Penggunaan hidrokortison pada dosis rendah tidak efektif. Penmberian steroid

dosis tinggi dapat diberikan jika hasil kultur darah pasien belum ada dan penyakit

memberat. (7)

            Pasien dengan perdarahan saluran cerna butuh perawatan intensif,

monitoring dan transfusi darah. Intervensi tidak dapat dilakukan jika terjadi

kehilangan darah yang signifikan. Konsultasi dengan bedah di indikasikan jika

dicurigai perforasi intestinal. Jika terjadi perforasi maka penanganan bedah harus

segera dilakukan tidak lebih dari enam jam. Metronidazole dan gentamicin atau

ceftriaxone dapat diberikan sebelum dan setelah pembedahan jika tidak

menggunakan fluorokuinolon untuk mencegah lolosnya bakteri melalui luka pada

usus ke cavum abdominal. (7)

            Sekitar 5-20% kasus akut dilaporkan menjadi relaps pada demam tifoid

yang telah mendapatkan pengobatan yang sempurna. Pada kasus ini terjadi

demam terjadi kembali setelah pengobatan antibiotik tuntas. Manifestasi klinis

lebih ringan dibandingkan pada awal penyakit. Kultur harus tetap dilakukan dan

pengobatan diberikan sesuai dengan standar. Pada kasus relaps harus dipastikan

bahwa tidak ada scistosomiasis. (7)

c.       Tatalaksana terhadap Carier

            Seseorang tersangka carier kronik jika tidak menunjukkan gejala namun

terus menunjukkan kultur tinja positif terhadap S.typhi setelah sembuh dari gejala

akut. Sekitar 1-5% pasien menjadi carier kronik. Jumlah carier lebih banyak pada

35

Page 36: Portofolio Eklampsia

wanita, usia lebih dari 50 tahun dan pasien dengan colelitiasis atau scistosomiasis.

Jika ditemukan colelitiasis atau scistosomiasis maka perlu dilakukan

colesistectomi atau pengobatan antiparasit di kombinasikan dengan antibiotik

untuk menghilangkan bakteri. Untuk mengeradikasi carier S.typhi, amoxicilin

atau ampicilin (100 mg/kg/hari) ditambah dengan probenecid (Benemid®)(1 gr

oral atau 23 mg /kg untuk anak) atau Cotrimoxazole (160-800 mg 2kali sehari) 

diberikan selama enam minggu. Sekitar 60% hasil kultur menjadi negatif. Sekitar

80% carier kronik sukses dengan pemberian 750 mg ciprofloxacin 2 kali sehari

selama 28 hari atau 400 mg norfloxacin. Obat kuinolon lain mungkin memberikan

hasil yang serupa. (7)

            Carier tidak boleh dilibatkan dalam kegiatan mengolah dan meyajikan

makanan juga pasien yang baru sembuh dan orang yang menunujukkan gejala

demam  tifoid. Meskipun hal ini sulit untuk dilakukan, pekerjaan yang menyentuh

makanan tidak bolh dilakukan hingga hasil kultur tinja negatif selama tiga kali

pemeriksaan. (7)

Dokter Pendamping

dr. Sartika Sadikin

36