PHK Last

download PHK Last

of 25

Transcript of PHK Last

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Sebuah fakta yang tidak perlu diragukan lagi lagi tentang Indonesia memiliki banyak Sumber Daya Alam yang berlimpah tetapi sebagian besar penduduk Indonesia yang tidak memiliki standar hidup yang layak karena dijerat kemiskinan. Hal ini bisa dilihat dari tingginya tingkat pengangguran di Indonesia. Menurut Badan Pusar Statistik, jumlah pengangguran di Indonesia hingga bulan Februari 2011 mencapai 8,12 juta orang dengan jumlah angkatan kerja mencapai 119,4 juta orang. Salah satu penyebab tingginya pengangguran di Indonesia adalah tingginya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak oleh perusahaan-perusahaan. Banyak penyebab perusahaan melakukan PHK, mulai dari alasan-alasan yang sesuai dengan UU sampai dengan alasan-alasan yang dilarang oleh Undang-undang. Atas dasar alasan efisiensi, cost reduction dan peningkatan profit, ada perusahaan yang berani melakukan PHK, apakah hal ini dibenarkan oleh Undang-undang ? Dari sisi pekerja, setiap individu memiliki kewajiban dan hak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagai manusia yang dituntut untuk mengolah dan menata kehidupan yang bermartabat dan layak. Maka dalam hal ini bahwa setiap individu untuk selalu menjalankan aktifitas dengan bekerja pada berbagai sektor kehidupan, dan salah satunya adalah bekerja sebagai karyawan buruh. Menjadi persoalan besar pada kondisi negara kita yang kini terpuruk, di tengah-tengah krisis ekonomi yang semakin sulit, pengangguran dimana-mana, sulitnya lapangan kerja lebih diperparah lagi dengan menjamurnya pemutusan hubungan kerja dan kebijakan-kebijakan yang sering kali bertentangan dengan Undang-undang, masalah ini telah menjadi budaya dikalangan Perusahaan. Sesuai amanah UU 13 tahun 2003, PHK merupakan pilihan terakhir yang baru dapat dilakukan setelah memenuhi seluruh syarat-syarat yang ada. Ibarat api yang membakar kayu, pasti akan menimbulkan asap dan meninggalkan abu; demikian juga PHK yang akan menimbulkan masalah. Sebagian besar tindakan PHK (khususnya atas inisiatif perusahaan) di Indonesia selalu menimbulkan konflik, pertentangan, kontra antara perusahaan dengan1

karyawan atau kelompok karyawan. Salah satu pandangan yang akan dibahas dalam makalah ini mengenai PHK sebagai salah satu cara perusahaann untuk mendapatkan tenaga kerja baru yang fresh tanpa memperhitungkan kompensasi kepada pekerja yang di PHK dan efek merger beberapa perusahaan yang kemudian menimbulkan keputusan PHK. RUMUSAN MASALAH 1. Apakah kebijakan negara di Indonesia sudah adil terhadap pekerja dan pengusaha dalam menetapkan kebijakan tentang PHK? dari segi sahnya PHK maupun kompensasi yang akan diberikan kepada pekerja yang di PHK? 2. Bagaimana kebijakan yang adil pengusaha terhadap pekerja sehingga kebijakan tersebut jujur dan tidak diskriminatif dan dapat mensejahterakan pekerja secara optimal dalam hal kontrak kerja baik keadaan normal atau saat terjadinya merger / akuisisi dengan perusahaan lain?

2

BAB II PEMBAHASAN o Undang-Undang terkait 1. Undang- Undang Nomor 13 tahun 2003 Bab XII tentang Pemutusan Hubungan Kerja (undang dilampirkan dengan file PDF)

Pengertian PHK PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. (Pasal 1 ayat 25)

Tergantung alasannya, PHK mungkin membutuhkan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI) mungkin juga tidak. Meski begitu, dalam praktek tidak semua PHK yang butuh penetapan dilaporkan kepada instansi ketenagakerjaan, baik karena tidak perlu ada penetapan, PHK tidak berujung sengketa hukum, atau karena pekerja tidak mengetahui hak mereka.

Sebelum Pengadilan Hubungan Industrial berdiri pada 2006, perselisihan hubungan Industrial masih ditangani pemerintah lewat Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) serta Pengadilan Tata Usaha Negara.

Pekerja kontrak dan tetap Pengaturan kompensasi PHK berbeda untuk pekerja kontrak (terikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu-PKWT) dan pekerja tetap (terikat Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu-PKWTT). Dalam hal kontrak, pihak yang memutuskan kontrak diperintahkan membayar sisa nilai kontrak tersebut. Sedangkan bagi pekerja tetap, diatur soal wajib tidaknya pengusaha memberi kompensasi atas PHK tersebut.

Dalam PHK terhadap pekerja tetap, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima pekerja. Perlu dicatat, kewajiban ini hanya berlaku bagi pengusaha yang melakukan PHK terhadap pekerja untuk waktu tidak tertentu. Pekerja dengan kontrak mungkin menerima pesangon bila diatur dalam perjanjiannya.3

Alasan/sebab PHK Terdapat bermacam-masam alasan PHK, dari mulai pekerja mengundurkan diri, tidak lulus masa percobaan hingga perusahaan pailit. Selain itu:

- Selesainya PKWT - Pekerja melakukan kesalahan berat - Pekerja melanggar perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama / peraturan -perusahaan - Pekerja mengajukan PHK karena pelanggaran pengusaha - Pekerja menerima PHK meski bukan karena kesalahannya - Pernikahan antar pekerja (jika diatur oleh perusahaan) - PHK Massal karena perusahaan rugi, force majeure, atau melakukan efisiensi. - Peleburan, penggabungan, perubahan status - Perusahaan pailit - Pekerja meninggal dunia (Pasal 154 dan 166) - Pekerja mangkir 5 hari atau lebih dan telah dipanggil 2 kali secara patut - Pekerja sakit berkepanjangan - Pekerja memasuki usia pensiun

PHK Sukarela

Pekerja dapat mengajukan pengunduran diri kepada pengusaha secara tertulis tanpa paksaan/intimidasi. Terdapat berbagai macam alasan pengunduran diri, seperti pindah ke tempat lain, berhenti dengan alasan pribadi, dan lain-lain. Untuk mengundurkan diri, pekerja harus memenuhi syarat: (i) mengajukan permohonan selambatnya 30 hari sebelumnya, (ii) tidak ada ikatan dinas, (iii) tetap melaksanakan kewajiban sampai mengundurkan diri.

Undang-undang melarang pengusaha memaksa pekerjanya untuk mengundurkan diri. Namun dalam praktik, pengunduran diri kadang diminta oleh pihak pengusaha. Kadang kala, pengunduran diri yang tidak sepenuhnya sukarela ini merupakan solusi terbaik bagi pekerja maupun pengusaha. Disatu sisi, reputasi pekerja tetap terjaga. Disisi lain pengusaha tidak perlu mengeluarkan pesangon lebih besar apabila

4

pengusaha harus melakukan PHK tanpa ada persetujuan pekerja. Pengusaha dan pekerja juga dapat membahas besaran pesangon yang disepakati.

Pekerja yang mengajukan pengunduran diri hanya berhak atas kompensasi seperti sisa cuti yang masih ada, biaya perumahan serta pengobatan dan perawatan, dll sesuai Pasal 156 (4). Pekerja mungkin mendapatakan lebih bila diatur lain lewat perjanjian. Untuk biaya perumahan terdapat silang pendapat antara pekerja dan pengusaha, terkait apakah pekerja yang mengundurkan diri berhak atas 15% dari uang pesangon dan penghargaan masa kerja.

PHK Tidak Sukarela

a. PHK oleh Pengusaha Seseorang dapat dipecat (PHK tidak sukarela) karena bermacam hal, antara lain rendahnya performa kerja, melakukan pelanggaran perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau kebijakan-kebijakan lain yang dikeluarkan pengusaha. Tidak semua kesalahan dapat berakibat pemecatan. Hal ini tergantung besarnya tingkat kesalahan.

Pengusaha dimungkinkan memPHK pekerjanya dalam hal pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Ini, setelah sebelumnya kepada pekerja diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut. Surat peringatan masingmasing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Pengusaha dapat memberikan surat peringatan kepada pekerja untuk berbagai pelanggaran dan menentukan sanksi yang layak tergantung jenis pelanggaran. Pengusaha dimungkinkan juga mengeluarkan misalnya SP 3 secara langsung, atau terhadap perbuatan tertentu langsung memPHK. Hal ini dengan catatan hal tersebut diatur dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB), dan dalam ketiga aturan tersebut, disebutkan secara jelas jenis pelanggaran yang dapat mengakibatkan PHK. Tak lupa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

5

Selain karena kesalahan pekerja, pemecatan mungkin dilakukan karena alasan lain. Misalnya bila perusahaan memutuskan melakukan efisiensi, penggabungan atau peleburan, dalam keadaan merugi, pailit, maupun PHK terjadi karena keadaan diluar kuasa pengusaha (force majeure).

Undang-Undang tegas melarang pengusaha melakukan PHK dengan alasan: (Pasal 153) a. pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus; b. pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; c. pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; d. pekerja menikah; e. pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya; f. pekerja mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam PK, PP, atau PKB; g. pekerja mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja, pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, perjanjian perusahaan, atau perjanjian kerja bersama; h. pekerja yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan; i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan; j. pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan. Kesalahan Berat (Pasal 158) Semenjak Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan inkonstitusional, maka pengusaha tidak lagi dapat langsung melakukan PHK apabila ada dugaan pekerja melakukan kesalahan berat. Berdasarkan asas praduga tak bersalah, pengusaha baru dapat melakukan PHK apabila pekerja terbukti melakukan6

kesalahan berat yang termasuk tindak pidana. Atas putusan MK ini, Depnaker mengeluarkan surat edaran yang berusaha memberikan penjelasan tentang akibat putusan tersebut.

Yang termasuk kesalahan berat ialah: a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan; b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja; d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja; e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja; f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan; g. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja; h. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau i. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

b. Permohonan PHK oleh Pekerja Pekerja juga berhak untuk mengajukan permohonan PHK ke LPPHI bila pengusaha melakukan perbuatan seperti (i) menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja; (ii) membujuk dan/atau menyuruh pekerja untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (iii) tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 bulan berturut-turut atau lebih; (iv) tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja; (v) memerintahkan pekerja untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; (vi) memberikan

7

pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.

c. PHK oleh Hakim PHK dapat pula terjadi karena putusan hakim. Apabila hakim memandang hubungan kerja tidak lagi kondusif dan tidak mungkin dipertahankan maka hakim dapat melakukan PHK yang berlaku sejak putusan dibacakan.

d. PHK karena Peraturan Perundang-undangan Pekerja yang meninggal dunia, Perusahaan yang pailit, dan force majeure merupakan alasan PHK diluar keinginan para pihak. Meski begitu dlama praktek force majeure sering dijadikan alasan pengusaha untuk mem-PHK pekerjanya.

Mekanisme PHK Pekerja, pengusaha dan pemerintah wajib untuk melakukan segala upaya untuk menghindari PHK. Apabila tidak ada kesepakatan antara pengusaha

pekerja/serikatnya, PHK hanya dapat dilakukan oleh pengusaha setelah memperoleh penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI).

Selain karena pengunduran diri dan hal-hal tertentu dibawah ini, PHK harus dilakukan melalui penetapan Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial (LPPHI). Hal-hal tersebut adalah : a. pekerja masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya; b. pekerja mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali; c. pekerja mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; d. pekerja meninggal dunia. e. Pekerja ditahan f. Pengusaha tidak terbukti melakukan pelanggaran yang dituduhkan pekerja melakukan permohonan PHK

8

Selama belum ada penetapan dari LPPHI, pekerja dan pengusaha harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Sambil menunggu penetapan, pengusaha dapat melakukan skorsing, dengan tetap membayar hak-hak pekerja.

Perselisihan PHK Perselisihan PHK termasuk kategori perselisihan hubungan industrial bersama perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja. Perselisihan PHK timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat antara pekerja dan pengusaha mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak. Perselisihan PHK antara lain mengenai sah atau tidaknya alasan PHK, dan besaran kompensasi atas PHK.

Penyelesaian Perselisihan PHK Mekanisme perselisihan PHK beragam dan berjenjang.

1. Perundingan Bipartit (Pasal 1 ayat 18, Pasal 3 - Pasal 7) Perundingan Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha dan pekerja atau serikatpe kerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian perselisihan.

Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang ditandatangai para Pihak. isi risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI. Apabila tercapai kesepakatan maka Para pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka tandatangani. Kemudian Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada PHI wilayah oleh para pihak ditempat Perjanjian Bersama dilakukan. Perlkunya menddaftarkan perjanjian bersama, ialah untuk menghindari kemungkinan slah satu pihak ingkar. Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi.

Apabila gagal dicapai kesepakatan, maka pekerja dan pengusaha mungkin harus menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit.

9

2. Perundingan Tripartit (Pasal 1 ayat 19) Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah. Dalam pengaturan UUK, terdapat tiga forum penyelesaian yang dapat dipilih oleh para pihak:

a. Mediasi (Pasal 8 - Pasal 16) Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas tenagakerja kemudian menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak membuta perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran.

b. Konsiliasi (Pasal 7 - Pasal 28) Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan produk berupa anjuran.

c. Arbitrase (Pasal 29 - Pasal 54) Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak mengikat, putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi pihak yang menolak putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke Mahkamah Agung. Karena adanya kewajiban membayar arbiter, mekanisme arbitrase kurang populer.

3. Pengadilan Hubungan Industrial (Pasal 55 - Pasal 58) Pihak yang menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini untuk pertamakalinya didirikan di tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga akan didirikan di tiap kabupaten/ kota. Tugas pengadilan ini antara lain mengadili perkara perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan PHK, serta menerima permohonan dan melakukan eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar.10

Selain mengadili Perselisihan PHK, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) mengadili jenis perselisihan lainnya: (i)Perselisihan yang timbul akibat adanya perselisihan hak, (ii) perselisihan kepentingan dan (iii) perselisihan antar serikat pekerja.

4. Kasasi / Mahkamah Agung (Pasal 109 dan Pasal 110) Pihak yang menolak Putusan PHI soal Perselisihan PHK dapat langsung mengajukan kasasi (tidak melalui banding) atas perkara tersebut ke Mahkamah Agung, untuk diputus.

Kompensasi PHK Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) yang seharusnya diterima. UP, UPMK, dan UPH dihitung berdasarkan upah karyawan dan masa kerjanya.

Perhitungan uang pesangon (UP) paling sedikit sebagai berikut : Masa Kerja Uang Pesangon (Pasal 156 ayat 2) masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 (satu) bulan upah; masa kerja 1 - 2 tahun, 2 (dua) bulan upah; masa kerja 2 - 3 tahun, 3 (tiga) bulan upah; masa kerja 3 - 4 tahun 4 (empat) bulan upah; masa kerja 4 - 5 tahun 5 (lima) bulan upah; masa kerja 5 - 6 tahun 6 (enam) bulan upah; masa kerja 6 - 7 tahun 7 (tujuh) bulan upah. masa kerja 7 8 tahun 8 (delapan) bulan upah; masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Perhitungan uang penghargaan masa kerja (UPMK) ditetapkan sebagai berikut : Masa Kerja UPMK (Pasal 156 ayat 3) masa kerja 3 - 6 tahun 2 (dua) bulan upah; masa kerja 6 - 9 tahun 3 (tiga) bulan upah; masa kerja 9 - 12 tahun 4 (empat) bulan upah; masa kerja 12 - 15 tahun 5 (lima) bulan upah;11

masa kerja 15 - 18 tahun 6 (enam) bulan upah; masa kerja 18 - 21 tahun 7 (tujuh) bulan upah; masa kerja 21 - 24 tahun 8 (delapan) bulan upah; masa kerja 24 tahun atau lebih 10 bulan upah

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima (UPH) meliputi : (Pasal 156 ayat 4) a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja; c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Alasan PHK dan Hak Atas Pesangon Besaran Perkalian pesangon, tergantung alasan PHKnya. Besaran Pesangon dapat ditambah tapi tidak boleh dikurangi. Besaran Pesangon tergantung alasan PHK sebagai berikut:

Alasan PHK Besaran Kompensasi Mengundurkan diri (kemauan sendiri) -Berhak atas UPH (Pasal 162 ayat 1) Tidak lulus masa percobaan -Tidak berhak kompensasi (Pasal 154) Selesainya PKWT -Tidak Berhak atas Kompensasi Pekerja melakukan kesalahan berat - Berhak atas UPH (Pasal 158) Pekerja melakukan Pelanggaran Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Bersama, atau Peraturan Perusahaan- - 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH (Pasal 160 ayat 1) Pekerja mengajukan PHK karena pelanggaran pengusaha - 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH Pekerja menerima PHK meski bukan karena kesalahannya- Tergantung kesepakatan Pernikahan antar pekerja (jika diatur oleh perusahaan) - 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH12

PHK Massal karena perusahaan rugi atau force majeure- 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH PHK Massal karena Perusahaan melakukan efisiensi. - 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH Peleburan, Penggabungan, perubahan status dan Pekerja tidak mau melanjutkan hubungan kerja- 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH Peleburan, Penggabungan, perubahan status dan Pengusaha tidak mau melanjutkan hubungan kerja - 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH Perusahaan pailit - 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH Pekerja meninggal dunia- 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH Pekerja mangkir 5 hari atau lebih dan telah dipanggil 2 kali secara patut - UPH dan Uang pisah (Pasal 158 ayat 1) Pekerja sakit berkepanjangan atau karena kecelakaan kerja (setelah 12 bulan) 2 kali UP, 2 kali UPMK, dan UPH Pekerja memasuki usia pensiun - Sesuai Pasal 167 UU 13/2003 Pekerja ditahan dan tidak dapat melakukan pekerjaan (setelah 6 bulan)- 1 kali UPMK dan UPH Pekerja ditahan dan diputuskan bersalah - 1 kali UPMK dan UPH

2. Undang- Undang Nomor 12 tahun 1964 Pasal 1 (1) (2) Pengusaha harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Pemutusan hubungan kerja dilarang: a. selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus-menerus; b. selama buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap Negara yang ditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadat yang diperintahkan agamanya dan yang disetujui Pemerintah.13

Pasal 2 Bila setelah diadakan segala usaha pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindarkan, pengusaha harus merundingkan maksudnya untuk memutuskan hubungan kerja dengan organisasi buruh yang bersangkutan atau dengan buruh sendiri dalam hal buruh itu tidak menjadi anggota dari salah-satu organisasi buruh. Pasal 3 (1) Bila perundingan tersebut dalam pasal 2 nyata-nyata tidak menghasilkan persesuaian paham, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan buruh, setelah memperoleh izin Panitia Penyelsaian Perselisihan Perburuhan Daerah (Panitia Daerah), termaksud pada pasal 5 Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran-Negara tahun 1957 No. 42) bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan, dan dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (Panitia Pusat) termaksud pada pasal 12 Undang-undang tersebut di atas bagi pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran. (2) Pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran dianggap terjadi jika dalam satu perusahaan dalam satu bulan, pengusaha memutuskan hubungan kerja dengan 10 orang buruh atau lebih, atau mengadakan rentetan pemutusan-pemutusan hubungan kerja yang dapat menggambarkan suatu itikad untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran. Pasal 4 Izin termaksud pada pasal 3 tidak diperlukan, bila pemutusan hubungan kerja dilakukan terhadap buruh dalam masa percobaan. Lamanya masa percobaan tidak boleh melebihi tiga bulan dan adanya masa percobaan harus diberitahukan lebih dahulu pada calon buruh yang bersangkutan. Pasal 5 (1) Permohonan izin pemutusan hubungan kerjabeserta alasan alasan yang menjadi dasarnya harus diajukan secara tertulis kepada Panitia Derah, yang wilayah

14

kekuasaannya meliputi tempat kedudukan pengusaha bagi pemutusan hubungan kerja perseorangan dan kepada Panitia Pusatbagi pemutusan hubungan kerja secara besarbesaran. (2) Permohonan izin hanya diterima oleh Panitia Daerah/ Panitia Pusat bila ternyata bahwa maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan seperti termaksud dalam pasal 2, tetapi perundingan ini tidak menghasilkan persesuaian paham. Pasal 6 Panitia Daerah dan Panitia Pusat menyelesaikan permohonan izin pemutusan hubungan kerja dalam waktu sesingkat-singkatnya, menurut tata-cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan. Pasal 7 (1) Dalam mengambil keputusan terhadap permohonan izin pemutusan hubungan kerja, Panitia Daerah dan Panitia Pusat disamping ketentuan-ketentuan tentang hal ini yang dimuat dalam Undang-undangNo. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran-Negara tahun 1957 No. 42), memperhatikan keadaan dan perkembangan lapangan kerja serta kepentingan buruh dan perusahaan. (2) Dalam hal Panitia Daerah atau Panitia Pusat memberikan izin maka dapat ditetapkan pula kewajiban pengusaha untuk memberikan kepada buruh yang bersangkutan uang pesangon, uang jasa dan ganti kerugian lain-lainnya. (3) Penetapan besarnya uang pesangon, uangjasa dan ganti kerugian lainnya diatur di dalam Peraturan Menteri Perburuhan. (4) Dalam Peraturan Menteri Perburuhan itu diatur pula pengertian tentang upah untuk keperluan pemberian uang pesangon,uang jasa dan ganti kerugian tersebut di atas. Pasal 8 Terhadap penolakan pemberian izin oleh Panitia Daerah, atau pemberian izin dengan syarat, tersebut pada pasal 7 ayat (2), dalam waktu empat belas hari setelah putusan diterima15

oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik buruh dan/atau pengusaha maupun organisasi buruh/atau organisasi pengusaha yang bersangkutan dapat minta banding kepada Panitia Pusat. Pasal 9 Panitia Pusat menyelesaikan permohonan banding menurut tata-cara yang berlaku untuk penyelesaian perselisihan perburuhan dalam tingkat bandingan. Pasal 10 Pemutusan hubungan kerja tanpa izin seperti tersebut pada pasal 3 adalah batal karena hukum. Pasal 11 Selama izin termaksud pada pasal 3 belum diberikan, dan dalam hal ada permintaan banding tersebut pada pasal 8, Panitia Pusat belum memberikan keputusan, baik pengusaha maupun buruh harus tetap memenuhi segala kewajibannya. Pasal 12 Undang-undang ini berlaku bagi pemutusan hubungan kerja yang terjadi diperusahaan-perusahaan Swasta, terhadap seluruh buruh dengan tidak menghiraukan status kerja mereka,asal mempunyai masa kerja lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut. Pasal 13 Ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang belum diatur di dalam Undang-undang ini ditetapkan olehMenteri Perburuhan.

16

Pandangan pakar / ahli Dengan penguatan Lembaga Tripartit maka permasalahan ketenagakerjaan diharapkan dengan cepat dapat teratasi. Mengenai PHK sepihak perlu dirumuskan beberapa langkah penyelesaian berupa formula-formula cepat agar kedua belah pihak sama-sama tidak dirugikan, Beliau menyatakan bahwa sebenarnya masalah-masalah PHK sebenarnya dapat diatasi dengan lembaga tripartit tetapi dalam prakteknya banyak yang tidak dilaksanakan sehingga masalah yang muncul di Indonesia semakin berlarut-larut Muhaimin Iskandar, Menteri tenaga kerja dan transmigrasi

"Semua pihak harus memahami masalah ini (PHK). Saat ini saja masih ada pemerintah daerah yang menaikkan upah minimum hingga 17 persen. Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris telah mengeluarkan kebijakan untuk mengantisipasi bertambahnya jumlah pengangguran. Pemerintah Inggris, misalnya, telah memutuskan membatasi jumlah imigran untuk menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi warganya" saat terjadi PHK besar-besaran pertengahan tahun 2009. pernyataan ini bermaksud untuk menghimbau perusahaanperusahaan tidak ikut-ikutan melakukan PHK karena akan mendorong kemerosotan ekonomi yang semakin parah." Chris Kanter, pengamat ekonomi, vice president KADIN (Forbes magazine)

17

Kasus PHK di Indonesia PHK yang Unik PT Bina Mega

Di balik keberhasilan perusahaan yang pernah dipimpin oleh (alm) Alex Sutanto ini ternyata tersirat praktek-praktek perburuan yang relative bertangan besi. Karyawan sering diberhentikan dengan alasan yang kurang dapat diterima, sehingga di lain waktu perusahaan dapat membuka kembali lowongan kerja demi mendapatkan tenaga-tenaga baru, baik yang fresh graduate maupun yang telah berpengalaman namun dengan masa kerja yang dimulai dari 0 (nol) tahun. Menurut Pengacara Wily Bustam SH, dari banyak karyawan yang merasakan pahitnya diberhentikan dari PT. Bina Mega hanya segelintir orang saja yang berani melawan dengan melakukan gugatan perdata perburuhan melalui lembaga Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Salah seorang di antara karyawan yang berani melawan kesewenang-wenang perusahaan bonafit itu adalah Kurniawan, dengan jabatan terakhir sebagai staf keuangan PT. Bina Mega. Perusahaan yang bergerak di bidang developer yang masuk dalam 10 terbesar di Jakarta Selatan ini mengajukan gugatan juga via Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui PHI Jalan Letjen MT Haryono, Jakarta Selatan. Kurniawan diperlakukan tidak nyaman dahulu dalam aktivitas kerjanya, sehingga pada puncaknya saat ia masuk kerja mendapatkan kondisi meja kerja yang sudah kosong dan bersih dari semua alat kerja, dokumen, buku-buku kerja. Begitu ia tanyakan kepada Manager Personalia ia hanya mendapat jawaban, Kalau mau masuk kerja, masuk saja jangan banyak tanya-tanya. Sejak kejadian di atas hingga hari ini ia belum mendapatkan kepastian pesangon yang bila setara dengan 2PMTK (Peraturan Menteri Tenaga Kerja sesuai dengan pasal 156 ayat 2 UU 13 Tahun 2003 dikalikan 2), maka bernilai Rp.231.527.644,-. Uang sebanyak itu tentu sangat18

bermanfaat bagi pekerja seukuran Kurniawan, apalagi saat ini, setelah mengabdi 19 tahun di PT.Bina Mega, bukanlah perkara mudah untuk mendapatkan pekerjaan yang baru. Apakah lazim terjadi dimana-mana sebuah praktek PHK Yang Unik: Bikin Tidak Betah, Karyawan Resah, Keluar Sukarela, Tidak Ada Pesangon? Sumber: http://ptbinamega.blogspot.com/2010/09/phk-yang-unik-pt-bina-mega.html

Kasus PHK PT Securicor

Berawal pada tanggal 19 juli 2004 lahirlah sebuah merger antara Group 4 Flack dengan Securicor International di tingkat internasional. Terkait dengan adanya merger di tingkat international, maka para karyawan PT. Securicor yang diwakili oleh Serikat Pekerja Securicor Indonesia mengadakan pertemuan dengan pihak manajemen guna untuk membicarakan status mereka terkait dengan merger di tingkat Internasional tersebut. Akan tetapi, pertemuan tersebut tidak menghasilkan solusi apapun, dan justru karyawan PT. Securicor yang semakin bingung dengan status mereka. Bahwa kemudian, Presiden Direktur PT Securicor Indonesia, Bill Thomas mengeluarkan pengumuman bahwa PHK mulai terjadi, sehingga divisi PGA dan ES telah menjadi imbasnya, yang lebih ironisnya adalah Ketua Serikat Pekerja Securicor cabang Surabaya di PHK karena alasan perampingan yang dikarenakan adanya merger di tingkat internasional.Yang memutuskan rapat itu adalah Branch manager Surabaya. Pada tanggal 8 Maret 2005. PHK ini mengakibatkan 11 karyawan kehilangan pekerjaan. Proses yang dilakukan ini juga tidak prosedural karena tidak ada anjuran dari P4P seperti di atur dalam UU tahun 1964 tentang PHK di atas 9 orang harus terlebih dahulu melaporkan ke instansi (P4P). Akan tetapi pihak, PT. Securicor dan kuasa hukumnya, Elsa Syarief, SH, selalu mengatakan tidak ada merger dan tidak ada PHK, akan tetapi pada kenyataanya justru PHK terjadi. Mengacu pada hal tersebut dengan ketidakjelasan status mereka maka karyawan PT. Securicor memberikan surat 0118/SP Sec/IV/2005, hal pemberitahuan mogok kerja19

kepada perusahaan dan instansi yang terkait pada tanggal 25 April 2005 sebagai akibat dari gagalnya perundingan tentang merger (deadlock). Persoalan ini terus bergulir dari mulai adanya perundingan antara manajemen PT. Securicor Indonesia dengan Serikat Pekerja Securicor Indonesia (SPSI) dimana pihak perusahaan diwakili oleh Leny Tohir selaku Direktur Keuangan dan SPSI di wakili oleh Fitrijansyah Toisutta akan tetapi kembali deadlock, sehingga permasalahan ini ditangani oleh pihak Disnakertrans DKI Jakarta dan kemudian dilanjutkan ke P4P, dan P4P mengeluarkan putusan dimana pihak pekerja dalam putusannya dimenangkan. Fakta dari P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat) Agar pengusaha PT.Securicor Indonesia, memanggil dan mempekerjakan kembali pekerja Sdr. Denny Nurhendi, dkk (284 orang) pada posisi dan jabatan semula di PT. Securicor Indonesia terhitung 7 (tujuh) hari setelah menerima anjuran ini; Agar pengusaha PT.Securicor Indonesia, membayarkan upah bulan mei 2005 kepada pekerja sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang; Agar pekerja sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang, melaporkan diri untuk bekerja kembali pada pengusaha PT.Securicor Indonesia terhitung sejak 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat anjuran ini Akan tetapi pihak perusahaan tidak menerima isi putusan tersebut. Kemudian perusahaan melakukan banding ke PT. TUN Jakarta dan melalui kuasa hukumnya Elsza Syarief, S.H., M.H. memberikan kejelasan bahwa perusahaan tidak mau menerima para karyawan untuk kembali bekerja dengan alasan Pihak Perusahaan sudah banyak yang dirugikan dan para pekerja sendiri menolak untuk bekerja kembali sehingga sudah dianggap mengundurkan diri. Ternyata ungkapan tersebut tidak benar dan itu hanya rekayasa perusahaan karena selama ini berdasarkan bukti-bukti yang ada bahwa para pekerja sama sekali tidak minta untuk di PHK dan tidak pernah mengutarakan kepada kuasa hukum perusahaan soal pengunduran diri atapun mengeluarkan surat secara tertulis untuk minta di PHK. Justru kuasa hukum dari perusahaan menganggap para karyawan telah melakukan pemerasan dan melakukan intimidasi. Dan itu kebohongan besar. Sebab berdasarkan bukti pihak pekerja hanya meminta pihak pengusaha untuk membayar pesangon sebanyak 5 PMTK apabila terjadi PHK massal dan ternyata perusahaan tidak merespon. Adapun terkait dengan aksi demo yang dilakukan oleh para serikat pekerja adalah untuk meminta:20

Dasar Tuntutan Bahwa pekerja tetap tidak pernah minta di PHK. Akan tetapi apabila terjadi PHK massal maka para pekerja minta untuk dibayarkan dengan ketentuan normatif 5 kali sesuai dengan pasal 156 ayat 2,3 dan 4 UU No. 13 tahun 2003 Bahwa Penggugat melakukan pemutusan hubungan kerja bertentangan dengan pasal 3 ayat (1) UU No. 12 tahun 1964 karena penggugat mem-PHK pekerja tidak mengajukan ijin kepada P4 Pusat Bahwa para pekerja meminta uang pembayaran terhitung dari bulan juli 2005 dan meminta dibayarkan hak-haknya yang selama ini belum terpenuhi. Perjalanan kasus ini telah melewati proses-proses persidangan di P4 Pusat yang telah diputus pada tanggal 29 Juni 2005, dan putusan itu telah diakui dan dibenarkan oleh Majlis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta yang telah diambil dan dijadikan sebagai Pertimbangan hukum. Kemudian dengan melalui pertimbangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta pada hari Rabu, tanggal 11 Januari 2006 harumnya keadilan telah berpihak kepada buruh (238 karyawan) dan Majlis Hakim menolak isi gugatan penggugat untuk seluruhnya. Dan kondisi sekarang pihak perusahaan, melalui kuasa hukumnya tersebut telah mengajukan permohonan kasasi. dan surat tersebut telah diberitahukan ke PBHI sebagai pihak termohon kasasi II Intervensi, dengan putusan yang telah diputuskan bisa menjadi nilai-nilai keadilan, kebenaran dan kejujuran yang sejati. Sumber : http://www.pbhi.or.id

o ANALISA KASUS Untuk kasus pertama, kasus PT Bina Mega. PT Bina Mega tanpa alasan yang jelas melakukan PHK lalu tidak membayarkan pesangon sesuai UU no 13 tahun 2003 Pasal 156 ayat 1 "Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima". Sesuai dengan ketentuan Pasal 170, maka PT Bina Mega wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayarkan segala kewajibannya yang menjadi hak bagi pekerja.

21

Setelah diselidiki PT. Bina mempunyai banyak sisi kelemahan, di antaranya adalah adanya dilarangnya pembentukan serikat pekerja di perusahaan yang sebenarnya adalah hak pekerja untuk membuat serikat pekerja atau tidak. Kedua, pemberian Jamsostek baru mulai 2001 setelah belasan tahun sebelumnya berdiri, namun tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan jamsostek UU no 3 tahun 1992 Kasus PHK PT Securicor berawal karena ketidakjelasan status para pekerja akibat adanya merger di tingkat internasional. Hal ini mendorong karyawan PT. Securicor untuk melakukan mogok kerja kepada perusahaan dan instansi yang terkait sebagai akibat dari gagalnya perundingan tentang merger (deadlock). Karyawan buruh Securicor yang telah bekerja puluhan tahun dan menggantungkan nasibnya pada PT.Securicor pada akhirnya menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Padahal dalam kenyataan, yang juga telah ditemukan pada fakta P4P, PHK yang dilakukan oleh PT Securicor jelas-jelas tidak adanya kejelasan dan kejujuran pihak PT. Securicor atas penilaiannya hasil kinerja terhadap para karyawannya. PHK tersebut menunjukkan tidak adanya kesetaraan pendapatan yang diperoleh antara karyawan satu dengan karyawan lain, terbukti dengan PHK yang awalnya peruntukkannya hanya untuk beberapa karyawan, malah meluas mencapai ratusan karyawan (238 orang), padahal PT Securicor sendiri belum memenuhi kewajibannya untuk memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya, dengan dalih tidak terjadinya proses merger di pihak internasional. Dengan demikian, PHK yang terjadi tidak lebih dari PHK secara sepihak. Jika kita telusuri lebih dalam, kasus di atas membuktikan adanya ketidakmampuan manajemen perusahaan dalam melakukan pengelolaan sumber daya manusianya. Sebelum melakukan PHK, perusahaan seharusnya bisa mempertanggungjawabkan keputusan yang mereka ambil. PT. Securicor di atas jelas belum mampu memenuhi tahapan ini dengan baik. Ketika tahapan lewat meja hijau dipenuhi untuk penyelesaian sengketa PHK tersebut, PT Securicor memberi kejelasan bahwa perusahaan tidak mau menerima para karyawan untuk kembali bekerja dengan alasan Pihak Perusahaan sudah banyak yang dirugikan dan para pekerja sendiri menolak untuk bekerja kembali sehingga sudah dianggap mengundurkan diri. Ternyata ungkapan tersebut tidak benar dan itu hanya rekayasa perusahaan karena selama ini berdasarkan bukti-bukti yang ada bahwa para pekerja sama sekali tidak minta untuk di PHK dan tidak pernah mengutarakan kepada kuasa hukum perusahaan soal pengunduran diri atapun mengeluarkan surat secara tertulis untuk minta di PHK.

22

Selanjutnya, masalah PHK ini kemudian juga menyinggung masalah keadilan yang diterima pekerja. Hal tersebut terbukti dari adanya penolakan besar-besaran lewat unjuk rasa yang dilakukan oleh karyawan PT. Securicor. Karyawan berada dalam ketidakjelasan status, dimana tidak ada penjelasan yang dinilai adil terkait PHK yang dilakukan. Selain itu, perusahaan juga dinilai karyawan tidak menjunjung nilai-nilai moral akibat adanya PHK tersebut, yang nantinya dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan sebelum pengambilan keputusan terjadi. Manajemen perusahaan juga mengesampingkan empati terhadap karyawannya yang dalam hal ini telah melakukan pengabdian pada perusahaan selama puluhan tahun. PT PT Securicor melanggar UU no 13 tahun 2003 Pasal 163 ayat 1 " Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4)."

23

BAB III PENUTUP Kesimpulan: Masih banyak perusahaan yang tidak mau membayar hak-hak dari karyawan, yaitu gaji mereka. Dan masih banyak juga perusahaan yang kurang memperhatikan kesejahteraan dari karyawannya. Karyawan sendiri juga kurang tau bagaimana cara menuntut gajinya agar bisa cair. Dan seharusnya perusahaan memberikan sosialisasi pada karyawan agar mereka mengetahui bagaimana cara untuk mengurus hak-haknya tersebut. Saran ke Pihak Pemerintah

Masih banyak pelanggaran peraturan yang sudah ditetapkan pemerintah, baik perusahaan itu sendiri maupun pekerja dari perusahaan tersebut (walaupun jarang). Penambahan peraturanperaturan baru agar PHK yang dilakukan perusahaan tidak merugikan pihak manapun dan meminimalisir penyelewengan PHK. Perlu dibentuk suatu komisi atau lebih mengintensifkan lembaga yang ada seperti lembaga tripartit agar maupun pekerja tidak dirugikan. masing-masing pihak baik perusahaan

Saran ke Pihak Pengusaha

Perjanjian kerja atau kesepakatan kerja diawal masa perekrutan harus lebih detail dan jelas agar jika terjadi keputusan PHK yang mau tidak mau harus diambil, pihak pekerja tidak merasa dirugikan oleh perusahaan. Dengan kejelasan perjanjian kerja seperti ini tentu hubungan perusahaan dan pekerja akan lebih baik, citra perusahaan pun lebih terjaga di mata masyarakat

Saran ke Pihak Pekerja

Para Pekerja sebaiknya mengerti dengan jelas tentang peraturan yang mengatur tentang hak hak yang dapat mereka peroleh tentang pemutusan hubungan kerja dan kompensasi yang dapat diperoleh. Pekerja perlu mengenali peraturan-peraturan yang sudah disiapkan pemerintah denga baik dan mengetahui dengan jelas perjanjian kerja dengan perusahaan tempat pekerja tersebut melamar pekerjaan diawal masa perekrutannya.

24

DAFTAR PUSTAKA http://hukumpedia.com/index.php?title=Pemutusan_hubungan_kerja_(PHK) http://www.tribunnews.com/2010/03/20/lembaga-tripartit-harus-bantu-selesaikan-phksepihak www.ksbsi.or.id/download/UU-13-2003-ketenagakerjaan.pdf http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=14&jd=PHK+yang+Unik&dn=20100621125 512

25