Pemeriksaan Fisik Sistem Persyarafan
description
Transcript of Pemeriksaan Fisik Sistem Persyarafan
A. Pemeriksaan Fisik Sistem Persyarafan
1. Persiapan Alat :
a. Snelen cart
b. Bahan untuk penciuman seperti kopi, gula dan teh
c. Tong spatel
d. Reflek hamer
e. Garpu tala dan penlight
f. Lidi dan kapas
2. Langkah-langkah :
a. Pemeriksaan Tanda-tanda Perangsangan Selaput Meningen
1) Tanda kaku kuduk
Bila leher ditekuk secara pasif terdapat tahanan, sehingga dagu tidak dapat
menempel pada dada kemungkinan kaku kuduk positif (+)
2) Tanda kernig
Fleksi tungkai atas tegak lurus, lalu dicoba meluruskan tungkai bawah pada
sendi lutut. Normal, bila tungkai bawah membentuk sudut 1350 terhadap
tungkai atas. Kernig (+) bila ekstensi lutut pasif akan menyebabkan rasa sakit
terhadap hambatan.
3) Tanda laseque
Fleksi sendi paha dengan sendi lutut yang lurus akan menimbulkan nyeri
sepanjang M. ischiadicus
4) Tanda Brudzinski I : Letakkan satu tangan pemeriksa dibawah kepala klien
dan tangan lain didada klien untuk mencegah badan tidak terangkat.
Kemudian kepala klien difleksikan kedada secara pasif. Brudzinski I positif
(+) bila kedua tungkai bawah akan fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut.
5) Tanda Brudzinski II : Tanda Brudzinski II positif (+) bila fleksi tungkai klien
pada sendi panggul secara pasif akan diikuti oleh fleksi tungkai lainnya pada
sendi panggul dan lutut.
b. Pemeriksaan GCS (Glasgow Coma Scale)
1) Menilai mata (E)
Respon membuka mata (E = Eye) :
4 : Spontan
3 : Dengan perintah
2 : Dengan nyeri
1 : Tidak berespon
2) Menilai verbal (V)
Respon Verbal (V= Verbal)
5 : Berorientasi
4 : Bicara membingungkan
3: Kata-kata tidak tepat
2 : Suara tidak dapat dimengerti
1 : Tidak ada respons
3) Menilai motorik (M)
Respon Motorik (M= Motorik)
6 : Dengan perintah
5 : Melokalisasi nyeri
4 : Menarik area yang nyeri
3 : Menjauhi rangsangan nyeri (fleksi abnormal)
2 : Ekstensi abnormal/postur deserebrasi
1 : Tidak berespon
c. Tingkat Kesadaran
1) Kompos mentis, yaitu sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun
terhadap lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa
dengan baik.
2) Apatis, yaitu keadaan di mana pasien tampak segan dan acuk tak acuh
terhadap lingkungannya.
3) Delirium, yaitu penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan siklus
tidur bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh gelisah, kacau,
disorientasi dan meronta-ronta.
4) Somnolen (letergia, obtundasi, hipersomnia), yaitu keadaan mengantuk yang
masih dapat pulih bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti, pasien akan
tertidur kembali.
5) Sopor (stupor), yaitu keadaan mengantuk yang dalam, pasien masih dapat
dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi
pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban
verbal yang baik.
6) Semi-koma (koma ringan), yaitu penurunan kesadaran yang tidak
memberikan respons terhadap rangsang verbal, dan tidak dapat
dibangunkan sama sekali, tetapi refleks (kornea, pupil) masih baik. Respons
terhadap rangsang nyeri tidak adekuat.
7) Koma, yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, tidak ada gerakan
spontan dan tidak ada respons terhadap rangsang nyeri.
d. Pemeriksaan Syaraf Cranial
1. Test nervus I (Olfactory) : Fungsi penciuman
a. Test pemeriksaan, klien tutup mata dan minta klien mencium benda yang
baunya mudah dikenal seperti sabun, tembakau, kopi dan sebagainya.
b. Bandingkan dengan hidung bagian kiri dan kanan.
2. Test nervus II (Optikus) : Fungsi aktifitas visual dan lapang pandang
a. Test aktifitas visual, tutup satu mata klien kemudian suruh baca dua baris
di koran, ulangi untuk satunya.
b. Test lapang pandang, klien tutup mata kiri, pemeriksa di kanan, klien
memandang hidung pemeriksa yang memegang pena warna cerah,
gerakkan perlahan obyek tersebut, informasikan agar klien langsung
memberitahu klien melihat benda tersebut, ulangi mata kedua.
3. Test nervus III, IV, VI (Oculomotorius, Trochlear dan Abducens) : Fungsi
koordinasi gerakan mata dan kontriksi pupil mata (N III).
a. Test N III Oculomotorius (respon pupil terhadap cahaya), menyorotkan
senter kedalam tiap pupil mulai menyinari dari arah belakang dari sisi klien
dan sinari satu mata (jangan keduanya), perhatikan kontriksi pupil kena
sinar.
b. Test N IV Trochlear, kepala tegak lurus, letakkan obyek kurang lebih 60
cm sejajar mid line mata, gerakkan obyek kearah kanan. Observasi
adanya deviasi bola mata, diplopia, nistagmus.
c. Test N VI Abducens, minta klien untuk melihat kearah kiri dan kanan tanpa
menengok.
4. Test nervus V (Trigeminus) : Fungsi sensasi, caranya : dengan mengusap
pilihan kapas pada kelopak mata atas dan bawah.
a. Refleks kornea langsung maka gerakan mengedip ipsilateral.
b. Refleks kornea consensual maka gerakan mengedip kontralateral.
Usap pula dengan pilihan kapas pada maxilla dan mandibula dengan
mata klien tertutup. Perhatikan apakah klien merasakan adanya
sentuhan.
c. Fungsi motorik, caranya : klien disuruh mengunyah, pemeriksa
melakukan palpasi pada otot temporal dan masseter.
5. Test nervus VII (Facialis)
a. Fungsi sensasi, kaji sensasi rasa bagian anterior lidah, terhadap asam,
manis, asin pahit. Klien tutup mata, usapkan larutan berasa dengan
kapas/teteskan, klien tidak boleh menarik masuk lidahnya karena akan
merangsang pula sisi yang sehat.
b. Otonom, lakrimasi dan salvias
c. Fungsi motorik, kontrol ekspresi muka dengancara meminta klien untuk :
tersenyum, mengerutkan dahi, menutup mata sementara pemeriksa
berusaha membukanya
6. Test nervus VIII (Acustikus) : Fungsi sensoris
a. Cochlear (mengkaji pendengaran), tutup satu telinga klien, pemeriksa
berbisik di satu telinga lain, atau menggesekkan jari bergantian kanan-
kiri.
b. Vestibulator (mengkaji keseimbangan), klien diminta berjalan lurus,
apakah dapat melakukan atau tidak.
7. Test nervus IX (Glossopharingeal) dan nervus X (Vagus)
a. N IX, mempersarafi perasaan mengecap pada 1/3 posterior lidah, tapi
bagian ini sulit di test demikian pula dengan M.Stylopharingeus. Bagian
parasimpatik N IX mempersarafi M. Salivarius inferior.
b. N X, mempersarafi organ viseral dan thoracal, pergerakan ovula, palatum
lunak, sensasi pharynx, tonsil dan palatum lunak. Test : inspeksi gerakan
ovula (saat klien menguapkan “ah”) apakah simetris dan tertarik keatas.
Refleks menelan : dengan cara menekan posterior dinding pharynx
dengan tong spatel, akan terlihat klien seperti menelan.
8. Test nervus XI (Accessorius)
a. Klien disuruh menoleh kesamping melawan tahanan. Apakah
Sternocledomastoideus dapat terlihat ? apakah atropi ? kemudian palpasi
kekuatannya.
b. Minta klien mengangkat bahu dan pemeriksa berusaha menahan —- test
otot trapezius.
9. Nervus XII (Hypoglosus)
a. Mengkaji gerakan lidah saat bicara dan menelan
b. Inspeksi posisi lidah (mormal, asimetris / deviasi)
c. Keluarkan lidah klien (oleh sendiri) dan memasukkan dengan cepat dan
minta untuk menggerakkan ke kiri dan ke kanan.
e. Pemeriksaan kekuatan otot
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan cara observasi dan pemeriksaan
kekuatan.
1) Massa otot
Hypertropi, normal dan atropi
2) Tonus otot
Dapat dikaji dengan jalan menggerakkan anggota gerak pada berbagai
persendian secara pasif.
Bila tangan / tungkai klien ditekuk secara berganti-ganti dan berulang dapat
dirasakan oleh pemeriksa suatu tenaga yang agak menahan pergerakan
pasif sehingga tenaga itu mencerminkan tonus otot. Bila tenaga itu terasa
jelas maka tonus otot adalah tinggi. Keadaan otot disebut kaku.
Bila kekuatan otot klien tidak dapat berubah, melainkan tetap sama. Pada
tiap gerakan pasif dinamakan kekuatan spastis. Suatu kondisi dimana
kekuatan otot tidak tetap tapi bergelombang dalam melakukan fleksi dan
ekstensi extremitas klien. Sementara penderita dalam keadaan rileks,
lakukan test untuk menguji tahanan terhadap fleksi pasif sendi siku, sendi
lutut dan sendi pergelangan tangan. Normal, terhadap tahanan pasif yang
ringan / minimal dan halus.
3) Kekuatan otot
Aturlah posisi klien agar tercapai fungsi optimal yang diuji. Klien secara aktif
menahan tenaga yang ditemukan oleh sipemeriksa. Otot yang diuji biasanya
dapat dilihat dan diraba. Gunakan penentuan singkat kekuatan otot dengan
skala Lovett’s (memiliki nilai 0 – 5)
0 = tidak ada kontraksi sama sekali.
1 = gerakan kontraksi.
2 = kemampuan untuk bergerak, tetapi tidak kuat melawan tahanan atau
gravitasi.
3 = cukup kuat untuk mengatasi gravitasi.
4 = cukup kuat tetapi bukan kekuatan penuh.
5 = kekuatan kontraksi yang penuh.
f. Aktifitas Refleks
Pemeriksaan aktifitas refleks dengan ketukan pada tendon menggunakan refleks
hammer. Skala untuk peringkat refleks yaitu :
0 = tidak ada respon
1 = hypoactive / penurunan respon, kelemahan ( + )
2 = normal ( ++ )
3 = lebih cepat dari rata-rata, tidak perlu dianggap abnormal ( +++ )
4 = hyperaktif, dengan klonus ( ++++)
Refleks-refleks yang diperiksa adalah :
1. Refleks Patella
Pasien berbaring terlentang, lutut diangkat ke atas sampai fleksi kurang lebih
300. Tendon patella (ditengah-tengah patella dan tuberositas tibiae) dipukul
dengan refleks hammer. Respon berupa kontraksi otot quadriceps femoris
yaitu ekstensi dari lutut.
2. Refleks Biceps
Lengan difleksikan terhadap siku dengan sudut 900 , supinasi dan lengan
bawah ditopang pada alas tertentu (meja periksa). Jari pemeriksa
ditempatkan pada tendon m. biceps (diatas lipatan siku), kemudian dipukul
dengan refleks hammer.
Normal jika timbul kontraksi otot biceps, sedikit meningkat bila terjadi fleksi
sebagian dan gerakan pronasi. Bila hyperaktif maka akan terjadi penyebaran
gerakan fleksi pada lengan dan jari-jari atau sendi bahu.
3. Refleks Triceps
Lengan ditopang dan difleksikan pada sudut 900°, tendon triceps diketuk
dengan refleks hammer (tendon triceps berada pada jarak 1-2 cm diatas
olekranon).
Respon yang normal adalah kontraksi otot triceps, sedikit meningkat bila
ekstensi ringan dan hyperaktif bila ekstensi siku tersebut menyebar keatas
sampai otot-otot bahu atau mungkin ada klonus yang sementara.
4. Refleks Achilles
Posisi kaki adalah dorsofleksi, untuk memudahkan pemeriksaan refleks ini
kaki yang diperiksa bisa diletakkan / disilangkan diatas tungkai bawah
kontralateral. Tendon achilles dipukul dengan refleks hammer, respon normal
berupa gerakan plantar fleksi kaki.
5. Refleks Abdominal
Dilakukan dengan menggores abdomen diatas dan dibawah umbilikus. Kalau
digores seperti itu, umbilikus akan bergerak keatas dan kearah daerah yang
digores.
6. Refleks Babinski
Merupakan refleks yang paling penting. Ia hanya dijumpai pada penyakit
traktus kortikospinal. Untuk melakukan test ini, goreslah kuat-kuat bagian
lateral telapak kaki dari tumit kearah jari kelingking dan kemudian melintasi
bagian jantung kaki. Respon Babinski timbul jika ibu jari kaki melakukan
dorsifleksi dan jari-jari lainnya tersebar. Respon yang normal adalah fleksi
plantar semua jari kaki.
g. Fungsi Sensorik
Pemeriksaan sensorik adalah pemeriksaan yang paling sulit diantara
pemeriksaan sistem persarafan yang lain, karena sangat subyektif sekali. Oleh
sebab itu sebaiknya dilakukan paling akhir dan perlu diulang pada kesempatan
yang lain (tetapi ada yang menganjurkan dilakukan pada permulaan
pemeriksaan karena pasien belum lelah dan masih bisa konsentrasi dengan
baik). Gejala paresthesia (keluhan sensorik) oleh klien digambarkan sebagai
perasaan geli (tingling), mati rasa (numbless), rasa terbakar/panas (burning),
rasa dingin (coldness) atau perasaan-perasaan abnormal yang lain. Bahkan
tidak jarang keluhan motorik (kelemahan otot, twitching / kedutan, miotonia,
cramp dan sebagainya) disajikan oleh klien sebagai keluhan sensorik.
Bahan yang dipakai untuk pemeriksaan sensorik meliputi:
1) Jarum yang ujungnya tajam dan tumpul (jarum bundel atau jarum pada
perlengkapan refleks hammer), untuk rasa nyeri superfisial.
2) Kapas untuk rasa raba.
3) Botol berisi air hangat / panas dan air dingin, untuk rasa suhu.
4) Garpu tala, untuk rasa getar.
5) Lain-lain (untuk pemeriksaan fungsi sensorik diskriminatif) seperti :Jangka,
untuk 2 (two) point tactile dyscrimination.
6) Benda-benda berbentuk (kunci, uang logam, botol, dan sebagainya), untuk
pemeriksaan stereognosis
7) Pen / pensil, untuk graphesthesia.
h. Tanda-tanda Peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK)
Peningkatan tekanan intrakranial (intracranial pressure,ICP) didefinisikan
sebagai peningkatan tekanan dalam rongga kranialis. Kranium dan kanalis
vertebralis yang utuh, bersama-sama dengan durameter membentuk suatu
wadah atau yang biasa disebut ruang intrakranial yang ditempati oleh jaringan
otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume
tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intrakranial sebesar 50 sampai 200
mm H2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan normal, ICP dipengaruhi oleh
aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat sementara waktu sampai tingkat yang
jauh lebih tinggi dari normal. Beberapa aktivitas tersebut adalah pernapasan
abdominal dalam, batuk, dan mengedan. Kenaikan sementara ICP tidak
menimbulkan kesukaran, tetapi kenaikan tekanan yang menetap mengakibatkan
rusaknya kehidupan jaringan otak.
Jika diukur tekanan intrakranial yang normal adalah 5-15 mm Hg. Penulis lain
mencatat tekanan intrakranial adalah 5-20 mm.
Bila terjadi kenaikan yang relatif kecil dari volume otak, keadaan ini tidak akan
cepat menyebabkan tekanan tinggi intrakranial. Sebab volume yang meninggi ini
dapat dikompensasi dengan memindahkan cairan serebrospinalis dari ronga
tengkorak ke kanalis spinalis dan disamping itu volume darah intrakranial akan
menurun oleh karena berkurangnya peregangan durameter. Hubungan antara
tekanan dan volume ini dikenal dengan complience. Jika otak, darah dan cairan
serebrospinalis volumenya terus menerus meninggi, maka mekanisme
penyesuaian ini akan gagal dan terjadilah tekanan tinggi intrakranial.
1) Tanda - tanda TIK meningkat
a) Hipertensi
Tekanan darah sistemik akan terus meningkat sebanding dengan
peningkatan TIK
b) Bradicardi
Peningkatan TIK hingga 33 mmHg (450 mm H2O) menurunkan secara
bermakna aliran darah ke otak (cerebral blood flow, CBF). Iskemia yang
terjadi merangsang pusat vasomotor, dan tekanan darah sistemik
meningkat. Rangsangan pada pusat inhibisi jantung mengakibatkan
bradikardia
c) Papil Edema
Papil edem juga merupakan salah satu gejala dari tekanan tinggi
intrakranial. Udem papilla nervus optikus merupakan tanda yang paling
menyakinkan. Karena tekanan tinggi intrakranial akan menyebabkan
oklusi vena sentralis retina, sehingga terjadilah edem papil. Barley dan
kawan-kawan, mengemukakan bahwa papil edem ditemukan pada 80%
anak dengan tumor otak.
d) Muntah Proyektil
Muntah dijumpai pada 1/3 penderita dengan gejala tumor otak dan
biasanya disertai dengan nyeri kepala. Muntah tersering adalah akibat
tumor di fossa posterior. Muntah tersebut dapat bersifat proyektil atau
tidak dan sering tidak disertai dengan perasaan mual serta dapat hilang
untuk sementara waktu.
e) Nyeri Kepala
Nyeri kepala akibat peregangan dura dan pembuluh darah; papiledema
akibat tekanan dan pembengkakan diskus optikus. Nyeri kepala pada
tumor otak terutama ditemukan pada orang dewasa dan kurang sering
pada anak-anak. Nyeri kepala terutama terjadi pada waktu bangun tidur,
karena selama tidur PCO2 arteri serebral meningkat sehingga
mengakibatkan peningkatan dari serebral blood flow dan dengan
demikian mempertinggi lagi tekanan intrakranium. Juga lonjakan tekanan
intrakranium sejenak karena batuk, mengejan atau berbangkis akan
memperberat nyeri kepala. Pada anak kurang dari 10-12 tahun, nyeri
kepala dapat hilang sementara dan biasanya nyeri kepala terasa
didaerah bifrontal serta jarang didaerah yang sesuai dengan lokasi tumor.
Pada tumor didaerah fossa posterior, nyeri kepala terasa dibagian
belakang dan leher.