PBL jadi
-
Upload
ira-vini-gloria-franky -
Category
Documents
-
view
222 -
download
1
description
Transcript of PBL jadi
Demam Tifoid
Lukitasari Ayu Galuh Ardhi
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA, Jakarta1
PENDAHULUAN
Pada kasus kita kali ini, dari anamnesis didapatkan demam naik turun selama 7
hari khususnya pada sore hari dan konstipasi selama 5 hari. Ada baiknya dalam
melakukan anamnesis kita menanyakan apakah pasien dalam waktu beberapa minggu
terakhir baru pulang dari berpergian ke daerah-daerah endemis. Kemudian pada
pemeriksaan fisik didapatkan suhu tubuh 39.5oC, tekanan darah 105/75 mmHg, lien
teraba, hepar teraba serta nyeri tekan.
Kecurigaan utama dari gejala-gejala tersebut adalah pasien terkena demam tifoid.
Namun ada kemungkinan pula pasien terkena malaria atau DBD.
Perhatian pertama saya pada demam yang dialami pasien. Demam dapat
mengindikasikan adanya infeksi atau reaksi inflamasi. Ada beberapa tipe demam yang
mungkin kita jumpai.
Demam septic : suhu badan meningkat tinggi kemudian turun (belum sampai
batas normal) kemudian naik lagi. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat
Demam remiten : suhu badan dapat turun setiap hari namun tidak pernah mencapai
suhu badan normal. Perbedaan suhu tidak lebih dari dua derajat, tidak sebesar perbedaan
pada demam septic.
Demam interremiten : suhu badan turun ketingkat normal selama beberapa jam atau satu
hari. Bila demam setiap dua hari sekali dinamakan deman tersiana dan bila terjadi pada
hari ketiga disebut demam quartana.
Demam kontinyu : suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari saru derajat.
Ada pula demam yang disebut sebagai “demam belum terdiagnosis” atau FUO
(fever unknown origin). Ini adalah keadaan dimana seorang pasien mengalami demam
terus menerus selama 3 minggu dan tetap belum ditemukan sebabnya. Untuk keadaan ini
1Alamat Korespondensi:Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaArjuna Utara No. 6 Jakarta 11510Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),Fax: (021) 563-1731
dapat dilakukan terapi ad juventus sebagai pilihan terapi, yaitu pemberian kloramfenikol
untuk prasangka tifoid, obat antituberkulosis untuk prasangka tuberkulosis, aspirin untuk
demam reumatik, antikoagulansia untuk emboli paru dan kortikosteroid untuk keadaan
seperti lupus eritematosus sistemik atau rheumatoid.
EPIDEMIOLOGI
Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan
sanitasi lingkungan. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan
penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan
sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. Bedasarkan hasil Survei
Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995
tifoid tidak lagi termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.1
PATOGENESIS
Kuman Salmonella thypi (S. thypi) dan Salmonella parathypi (S. parathypi) dapat
masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan yang telah terkontaminasi. Walaupun
sebagian kuman dapat dimusnahkan didalam lambung kita namun ada sebagian yang
lolos ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imun humoral usus
(IgA) kurang baik, maka kuman akan menembus sel epitel dam selanjutnya ke lamina
propria. Di lamina propria ini kuman dapat berkembang biak dan difaosit oleh makrofag.
Di dalam makrofag kuman juga dapat hidup dan dibawa ke plak peyeri ileum distal lalu
ke kelenjar getah bening mesenterika. Melalui duktus torasikus kuman dapat masuk
kedalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterinemia pertama yang asimtomatik) dan
menyebar keseluruh organ retikuloendotelial terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini
kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterinemia
kedua yang disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.2
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak dan
bersama cairan empedu disekresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah
teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan
beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
2
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular,
gangguan mental, dan koagulasi.2
Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan hyperplasia jaringan,
pendarahan saluran cerna dapat terjadi karena erosi pembuluh darah sekitar plak peyeri
yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear
di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan
otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.
Edotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya
komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan
organ lainnya.
GAMBARAN KLINIS
Penegakan diagnosis sedini mungkin dapat sangat menolong dalam memberikan
terapi dan meminimalkan komplikasi, maka pengetahuan gambaran klinis penyakit ini
sangatlah penting walaupun pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan tambahan agar
diagnosis dapat ditegakkan dengan tepat.
Masa tunas tifoid berkisar 10-14 hari. Gelaja klinis yang timbul bervariasi mulai
dari yang ringan hingga berat, mulai yang asimptomatik hingga munculnya gejala-gejala
yang khas.
Pada minggu pertama dapat dirasakan oleh pasien keluhan serupa infeksi akut
pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, mialgia, anoreksia, perasaan tidak enak
pada perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya ditemukan
suhu badan meningkat dan sifat demam yang perlahan-lahan dan terutama pada sore
hingga malam hari.
Memasuki minggu ke dua, mulai ditemukan gejala yang lebih jelas berupa demam
brakikardia relatif, yaitu pada setiap kenaikan suhu 1oC tidak disertai dengan peningkatan
denyut nadi 8x per menit, ditemukan pula lidah yang kotor pada bagian tengah dan
unungnya merah seperti tremor, adanya hepatomegali, splenomegali, meteroismus,
gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.3
PEMERIKSAAN PENUNJANG
3
Selain dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, apabila diagnosa yang pasti
belum dapat ditegakkan pemeriksaan laboratorium akan sangat menolong dalam
menentukan diagnosa.
Pada demam tifoid, pemeriksaan darah perifer sering ditemukan leucopenia, yaitu
jumlah leukosit menurun, tetapi dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau justru
leukositosis (jumlah leukosit meningkat). Leukositosis dapat terjadi walaupun tidak
disertai infeksi sekunder, infeksi sekunder adalah infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme yang menyertai suatu infeksi oleh mikroorganisme jenis lain.dorlan
Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit, dapat terjadi aneosinofilia maupun
limfopenia. Limfopenia biasanya disertai dengan nilai hitung jenis leukosit yang sangat
meningkat. Selain itu, dapat ditemukan pula anemia ringan atau trimbositopenia
(penurunan jumlah trombosit). Anemia ini juga dapat berpengaruh pada laju endap darah
(LED), dengan menurunnya jumlah eritrosit maka laju endap darah meningkat. Dari LED
yang meningkat ini dapat dicurigai adanya kerusakan jaringan dan perubahan kandungan
pada plasma darah.
Pemeriksaan rutin lain adalah uji Widal, yaitu uji untuk mengetahui adanya
agglutinin pada antigen O dan H pada S. thypi dan S. parathypi. Selain itu, ada pula uji
TUBEX®, Typhidot, dan dipstik yang akan saya bahas lebih lanjut.
UJI WIDAL
Uji ini dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman S. thypi. Pada uji
widal, terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. thypi dan antibody
yang disebut agglutinin. Antigen yang diguanakan pada uji Widal adalah suspensi
Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal
adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita tersangka
demam tifoid,2 yaitu:
a) Agglutinin O (dari tubuh kuman)
b) Agglutinin H (flagella kuman), dan
c) Agglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan
untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya, semakin bear
kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat,
4
lalu tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut, mula-mula timbul
agglutinin O kemudian diikuti agglutinin H. pada orang yang telah sembuh,
agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H
menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk
menentukan kesembuhan penyakit.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu:
a) Pengobatan dini dengan antibiotik
b) Gangguan pembentukan antibody dan pemberian kortikosetroid
c) Waktu pengambilan darah
d) Daerah tempat pasien tinggal, endemic atau non-endemic.
e) Riwayat vaksinasi
f) Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan
demam tifoid akibat demam tifod masa lalu atau vaksinasi
g) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang dan
strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer agglutinin yang
bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya
kesepakatan saja, berlaku hanya setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di
berbagai laboratorium setempat.
UJI TUBEX ®
Uji ini merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa
menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibody S. thypi O9 pada
serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang
terkonjugasi pada partikel latex berwarna dengan lipopolisakarida S. thypi yang
terkonjugasi pada partikel magnetic latex. Hasil positif uji TUBEX® ini
menunjukkan terdapat infeksi Salmonella serogroup D walau tidak secara spesifik
menunjuk pada S. thypi. Infeksi oleh S. parathypi akan memberikan hasil negatif.
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat
merangsang respons imun secara independen terhadap timus dan merangsang
mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. karena sifat-sifatnya tersebut, respon
terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap antigen O9
dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke
2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji TUBEX® hanya dapat
5
mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat
dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi masa lampau.
Pemeriksaan ini terdiri dari 3 komponen, tabung berbentuk V, reagen A
yang mengandung partikel magnetic diselubungi dengan antigen S. thypi O9, dan
Reagen B yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubingi
dengan antibody monoclonal spesifik untuk antigen O9. Konsep pemeriksaan ini
adalah, jika serum tidak mengandung antibody terhadap antigen O9 reagen B akan
beraksi dengan reagen A. Ketika diletakkan pada daerah mengandung medan
magnet (magnet rak), komponen magnet yang dikandung reagen A akan tertarik
pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna yang dikandung oleh reagen B.
akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya merupakan
gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, apabila serum mengandung antigen O9,
antibody pasein akan berikatan dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak
ikut tertarik ke medan magnet dan memberikan warna biru pada larutan.2
UJI TYPHIDOT
Uji typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada
protein membran luar S. thypi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari
setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan IgG
terhadap antigen S. thypi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.
Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) teraktivasi secara
berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun
sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat membedakan antara infeksi akut
dengan kasus reinfeksi. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian
dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini disebut
dengan uji Typhidot-M, memungkinan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik
yang ada pada serum pasien.
UJI IgM DIPSTICK
Uji ini secara spesifik mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap S. thypi
pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang
mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S. thypi dan anti IgM (sebagai
kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibody anti IgM yang dilekati
dengan lateks pewarnaan, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan
6
reagen dan serum pasien. Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan
selama 2 tahun pada suhu 4-25oC di tempat kering tanpa paparan sinar.
Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi
dan serum, selama 3 jam pada suhi kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan
air mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian
terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip. Garis
kontrol harus terwarna dengan baik.
KULTUR DARAH
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan
beberapa hal sebagai berikut karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai
berikut:
a) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah
telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat
dan pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin
negatif.
b) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5cc darah). Bila darah
yang dibiakkan terlalu sedikit, hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil
sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu
(oxagall) untuk petumbuhan kuman;
c) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibody dalam
darah pasien. Antibody (agglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga
biakan darah dapat negatif
d) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin
meningkat.
Demam Tifoid Demam Berdarah Dengue Malaria
Etiologi kuman S. typhi virus Dengue Plasmodium
Epidemiolog
i
Terkait dengan sanitasi
lingkungan
wilayah Asia Tenggara,
Pasifik barat, dan Karibia
lebih dari 100 negara di
benua Afrika, Asia,
Amerika Selatan, dan
Karibia.
7
Vektor -nyamuk Aedes aegypti,
Aedes albopictus.Nyamuk Anopheles
Masa Tunas 10-14 hari - 12-28 hari
Gambaran
Deman
Demam meningkat
perlahan-lahan terutama
sore dan malam hari.
Demam selama 2-7 hari
demam periodic (kuartana
atau tersiana). Trias
Malaria.
Pemeriksaan
Fisik
Lidah berselaput (putih
kotor terutama dibagian
tengah lidah),
hepatomegali,
splenomegali.
Dapat ditemukan petikie
atau uji bendung positif.Splenomegali
Pemeriksaan
Penunjang
Dapat ditemukan
leucopenia, tetapi ada
kemungkinan leukosit
normal atau justru
leukositosis. Anemia
ringan, trombositopenia,
LED meningkat. Uji
kultur darah positif.
Leucopenia,
trombositopenia,
peningkatan atau
penurunan hematokrit
>20%, pemeriksaan IgG
dan IgM terhadap dengue.
Anemia, LED meningkat.
Tergantung jumlah
Eritrosit yang
menangdung parasit per
1000 sel, bila jumlahnya >
100.000/uL menandakan
infeksi berat.
PENATA LAKSANAAN
Sampai saat ini, masih dianut trilogy penatalaksanaan tifoid, yaitu:
1. Istirahat dan perawatan. Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk
mencegah komplikasi . tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti
makan, minum, buang air kecil, dan buang air besar, akan membantu dan
mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan
tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi
untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorangan tetap
perlu diperhatikan dan dijaga.
2. Diet dan terapi penunjang. Diet merupakan hal yang penting dalam proses
penyembuhan penyakit deman tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan
8
keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan
semakin lama.
Dimasa lampai penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan mejadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet
tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring
tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau
perforasi usus.
3. Pemberian antimikroba. Obat-obat antrimikroba yang sering digunakan untuk
mengobati demam tifoid adalah:
a. Kloramfenikol. Di Indonesia, kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama
untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500mg per hari
dapat diberikan secara oral maupun intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari
bebas panas. Penyuntikan intramuscular tidak dianjurkan karena hidrolisis ester
ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman
penggunaan, obat ini dapat menurunakn demam rata-rata 7 hari.4
b. Tiamfenikol. Dosis dan efektifitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya
anemia aplastik lebih rendah dibanding kloramfenikol. Demam turun pada hari ke
5 atau 6.4
c. Kotrimoksazol. Efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya dosis
pemberiannya berbeda. Pada orang dewasa, 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung
sulfametoksazol 400mg dan 80mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.
d. Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam
lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar
50-150mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.
e. Sefalosporin Generasi Ketiga. Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi
ketiga yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang
dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100cc diberikan selama 30
menit perinfus sekali sehari diberikan selama 3 sampai 5 hari.2
f. Golongan Fluorokinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan
pemberiannya:
Norfloksasin dosis 2 x 400mg/hari selama 14 hari
Siprofoksasin dosis 2 x 500mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin dosis 2 x 400mg/hari selama 7 hari
9
Pefloksasin dosis 400mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin dosis 400mg/hari selama 7 hari
Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ketiga atau menjelang hari
keempat. Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada penggunaan
norfloksasin yang merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki
bioavaibilitas tidak sebaik fluorokuinolon yang dikembangkan kemudian.
Azitromisin. Dosis 2 x 500mg dapat diberikan secara oral maupun suntikan
intravena. Jika dibandingkan dengan fluorokuinolon, menurut tinjauan oleh
Eeva EW dan Bukirwa H tahun 2008, azitromisin terbukti secara signifikan
mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap, terutama juka penelitian
mengikutsertakan pula strain MDR (multi drug resistence) maupun NARST
(Nalidix Acid Resistant S. thypi). Jika dibandingnkan dengan ceftriakson,
penggunaan azitromisin mampu menghasilkan konsentrasi dalam darah
cenderung rendah. Antibiotika akan terkonsentrasi di dalam sel, sehingga
pengobatan infeksi oleh S. typhi yang merupakan kuman intraselular lebih
efektif.2
Kortikosteroid. Pemberian steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau
demam tifoid yang mengalami syok septic dengan dosis 3 x 5mg
Kombinasi Obat Antimikroba
Kombinasi 2 antibiotika atau lebih diindikaikan hanya pada keadaan tertentu saja
antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang pernah terbukti
ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella.
Pengobatan Demam Tifoid pada Wanita Hamil
Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ketiga kehamilan karena
dikawatirkan dapat terjadi partus premature, kematian fetus intrauterine, dan grey
syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan digunakan pada trimester pertama
karena kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus pada manusia belum dapat
disingkirkan. Pada kehamilan lebih lanjut, tiamfenikol dapat digunakan. Demikian juga
obat golongan fluorokuinolon maupun kotrimoksazol tidak boleh digunakan untuk
10
mengobati demam tifoid. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan
seftriakson.3
TATA LAKSANA KOMPLIKASI
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat
diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat
terjadi pada demam tifoid yaitu komplikasi intestinal dan ekstra-intestinal.
Komplikasi Intestinal
Pendarahan intestinal. Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum
terminalis) dapat berbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang
terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh
darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus
maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat
terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor.
Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang
tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga
penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah
ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor
hemostatis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup
tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfusi
yang diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan
bedah perlu dipertimbangkan.
Perforasi usus. Terjadi sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul
pada minggu ketiga namun dapat pula timbul pada minggu pertama. Selain gejala
umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan
perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan
bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda
ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak
ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya
adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis
dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi. Bila pada gambaran
foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum
atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan
11
terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa faktor yang dapat
meningkatkan kejadian perforasi adalah umur (20-30tahun), lama demam,
modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita. Antibiotik
diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S. thypi tetapi juga
untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif da anaerobic pada flora usus.
Umumnya diberikan antibiotik spectrum kuas dengan kombinasi kloramfenikol
dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan dalam jumlah
yang cukup serta pasien dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi
darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah dalam jumlah yang
signifikan akibat perdarahan intestinal.2
Komplikasi Ekstra-Intestinal
Komplikasi Hematologi. Komplikasi hematologi berupa tromositopenia,
hipofibro-genemia, peningkatan prothrombin time, peningkatan partian
thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation products sampai koagulasi
intravascular diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien demam
tifoid. Trombositopenia saja sering dijumpai, hal ini mungkin karena menurunnya
produksi trombosit di sumsum tulang selama proses infeksi atau mengingkatnya
destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obat juga memegang
peranan. Penyebab KID pada demam tifoid berlum dapat diketauhi dengan jelas.
Hal-hal yang sering ditemukan adalah endotoksin mengaktifasi beberapa sistem
biologik, koagulasi, dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin
menyebabkan vasokonstriksi serta kerusakan endotel pembuluh darah dan
selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi, baik KID
kompensata maupun dekompensata. Bila terjadi KID dekompensata dapat
diberikan transfusi darah, substitusi trombosit dan/atau faktor-faktro koagulasi
bahkan heparin, meskipun ada pula yang tidak sependapat tentang manfaat
pemberian heparin pada demam tifoid.3
Hepatitis Tifosa. Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50%
kasus dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S. typhi darpada S.
paratyphy. Untuk membedakan apakah hepatitis ini karena tifoid, virus, malaria,
atau amuba, maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter labolatorium, dan
bila perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase
tidak relevan dengan kenaikan bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh
12
karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan
sistem imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoensedalopati
dapat terjadi.
Pankreatitis Tifosa. Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam
tifoid. Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro-inflamasi, virus,
bakteri, cacing, maupun zat farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase
serta ultrasongrafi/CT-scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat.
Penatalaksanaan pankreatitis tifosa sama seperti penanganan pakreatitis pada
umumnya, antibiotik yang diberikan adalah antibiotik intravena seperti seftriakson
atau kuinolon.
Miokarditis. Hal ini terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan
kelainan elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan
miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluahan sakit
dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan
perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan ekektrokardiografi yang menetap
disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini disebabkan
kerukasan miokardium oleh kuman S. typhi dan miokarditis sering menyebabkan
kematian. Biasanya dijumpai pada pasien yang sakit berat, keadaan akut, dan
fulminan.
Manifestasi Neuropskiatrik/Tifoid Toksis. Manifestasi neuropsikiatrik dapat
berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma atau koma, Parkinson
rigidity/transient parkinsonism, sindrom otak akut, mioklonus generalisata,
meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis,
meningitis, polyneuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, dan psikosis. Terkadang
gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan
kesadaran akut dengan atau tanpa disertai kelaian neurologis lainnya dan dalam
pemeriksaan cairan otak asih dalam baras normal. Sindrom klinis seperti ini oleh
beberpa peneliti disebut sebagai tifoid toksik. Diduga faktor sosial ekonomi yang
buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi,
kebudayaan dan kepercayaan (adat) yang masi terbelakang ikut mempermudah
terjadinya hat tersebut dan akibatnya meningkatkan kematian. Semua kasus tifoid
toksik, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4 x 400mg
ditambah ampisilin 4 x 1 gr dan deksametason 3x 5mg.
13
PENCEGAHAN DEMAM TIFOID
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akan
berdampak cukup besar terhadap penurunan anggaran pengobatan pribadi maupun
negara, mendatangkan devisa negara yang berasal dari wisarawan mancanegara karena
telah hilangnya predikat negara endemic dan hiperendemik sehingga mereka tidak takut
lagi terserang tifoid saat berada di daerah kunjungan wisata.
Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus luar
biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman Salmonella
typhi sebagai agen penyakit dan faktor penjamu (host) serta faktor lingkungan.
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu:
1) Identifikasi dan eradiksi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid maupun
kasus karier tifoid. Tindakan identifikasi atau penyaringan terhadap pengidap kuman
Salmonella typhi ini cukup sulit dan memerlukan biaya besar baik ditinjau dari pribadi
maupun skala nasional. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu, mendatangi
sasaran maupun pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau
swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola sarana
makanan-minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel, sampai pabrik
beserta distributornya. Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan
masyarakat, yaitu petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan, serta pengelola sarana
umum lainnya.
2) Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi Salmonella typhi akut
maupun karier. Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun di rumah dan
lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman Salmonella typhi.
3) Proteksi pada orang yang beresiko terinfeksi. Sarana proteksi pada populasi ini
dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah endemic maupun hiperendemik.
Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya endemis atau non-endemis, tingkat risiko
tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya,
serta golongan individu beresiko (golongan imunokompromais maupun golongan
rentan).5
Tindakan preventif berdasarkan lokasi, antara lain:
14
a) Daerah non-endemic.
Tanpa ada outbreak atau epidemi.
o Sanitasi air dan kebersihan lingkungan
o Pengelolaan serta distribusi makanan dan minuman
o Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier
Bila ada kejadian epidemi tifoid.
o Pencarian dan eliminasi sumber penularan
o Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus
o Penyuluhan higine serta sanitasi pada populasi umum daerah tersebut
b) Daerah endemic.
Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi
standar prosedur kesehatan
Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,
menjauhi makanan segar (buah/sayur)
Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung
VAKSINASI
Indikasi vaksin adalah bila anda akan mengunjungi daerah endemic, anda terpapar
dengan penderita karier tifoid, dan bila anda adalah petugas laboratorium/mikrobiologi
kesehatan. Ada 2 macam vaksin yang dapat diberikan:
Vaksin oral : -Ty21a (vivotif Berna) belum beredar di Indonesia.
Vaksin pareternal : ViCPS (Typhim Vi/Pasteur Marieux), vaksin kapsul
polisakarida.
Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3 kali secara bermakan
menurunkan 66% selama 5 tahun. Usia sasaran vaksin berbeda efektivitasnya, dilaporkan
insidens turun pada 53% anak lebih dari 10 tahun sedangkan anak usia 5-9 tahun insidens
turun 17%.
Vaksin parenteral non-aktif relatif lebih sering menyebabkan reaksi efek samping
serta tidak seefektif dibangingkan dengan ViCPS maupun Ty21a oral. Jenis vaksin dan
jadwal pemberiannya, yang ada saat ini di Indonesia hanya ViCPS.
Dalam pemilihan vaksin ini perlu kita perhatikan pula efek samping yang
ditimbulkan. Pada vaksin Ty21a demam timbul pada orang yang mendapat vaksin 0-5%,
sakit kepala 0-5% sedangkan pada ViCPS efek sampingnya lebih kecil. Demam 0,25%,
15
malaise 0,5%, sakit kepala 1,5%, rash 5%, reaksi nyeri lokal 17%. Efek samping terbesar
pada vaksin parenteral adalah heat-phenol inactivated, yaitu demam 6,7-24%, nyeri
kepala 9-10% dan reaksi lokal edema 3-35% bahkan reaksi berat termasuk hipotensi,
nyeri dada, dan syok dilaporkan pernah terjadi merskipun sporadis dan sangat jarang
terjadi.2
Untuk efektivitas vaksin ini sendiri, dilaporkan adanyanya kenaikan titer antiboidy
4 kali lipat setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 2-3 minggu
dan 90% bertahan selama 3 tahun. Kemampuan proteksi 77% pada daerah endemic dan
60% pada daerah hiperendemic.
Indikasi Vaksinasi
Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid tergantung pada faktor resiko yang
berkaitan, yaitu individual atau populasi dengan situasi epodemiologinya. Populasi
contohnya pada anak usia sekolah di daerah endemic, petugas militer, petugas kesehatan
dan labolatorium serta petugas industri makanan-minuman.
Meskipun telah kita lakukan pencegahan dan vaksinasi, tetap masih ada
kemungkinan terjadinya outbreak demam tifoid. Faktor resiko ini kita sebut sebagain
kasus demam tifoid karier.
Pada daerah endemic dan hiperendemik penyandang kuman S. typhi ini jauh lebih
banyak serta sanitasi lingkingan dan sosial ekonomi rendah semakin mempersulit usaha
penanggulangannya. Angka kejadian demam tifoid di Indonesia sebesar 1000/100.000
populasi per tahun. Diantara demam tifoid yang sembuh klinis, pada 20% diantaranya
masih ditemukan kuman S. typhi setelah 2 bulan dan 10% masuk ditemukan pada bulan
ke-3 serta yang masih ditemukan satu tahun kemudian sekitar 3%. Kasus karier
meningkat seiring peningkatan umur dan adanya penyakit kandung empedu, serta
gangguan traktus urinarius.
Tifoid karier tidak menimbulkan gejala klinis dan 25% kasus menyangkal adanya
riwayat sakit demam tifoid akut. Proses patofisiologis dan patogenesis tifoid karier masih
belum jelas. Mekanisme pertahanan tubuh terhadap S. typhi belum jelas. Imunitas selular
diduga berperan penting dalam hal ini. Sedangkan pemeriksaan respon imun berdasarkan
serologi antibody IgG dan IgM S. typhi antara tifoid karier dan tifoid akut tidak
menunjukkan perbedaan bermakna.
16
Sarana lain untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan serologi Vi,
dilaporkan bahwa 75% dan spesifitas 92% bila ditemukan kadar titer antibody Vi sebesar
160.
Kesulitan eradiksi kasus karier berhubungan dengan ada tidaknya batu empedu
dan sikatrik kronik pada saluran empedu. Kasus karier ini juga meningkat pada seorang
yang terkena infeksi saluran kencing secara kronis, batu, striktur, hidronefrosis, dan
tuberkulosis maupun tumor di traktus urinarius. Oleh karena itulah insidens tifoid karier
mengingkat pada wanita maupun usia lanjut karena adanya faktor tersebut diatas.
PROGNOSIS
Dilaporkan angka kematian karena demam tifoid di Indonesia telah ditekan secara
signifikan setelah adanya obat-obat dan vaksinasi, seiring dengan pengetahuan
masyarakat akan pentingnya sanitasi lingkungan.
Pada kasus ini, besar kemungkinan pasien akan sembuh dengan penanganan yang
segera, tepat, dan teratur. Penyakit ini dapat memburuk apabila tidak ada kerja sama yang
baik antara dokter dan pasien.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Timmreck T. Epidemiologi suatu pengantar. Jakarta: EGC;2005.
2. Sudoyi AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid III Ed.V. Jakarta: Interna Publishing;2009.
3. Subbagian Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Buku
panduan dan diskusi demam tifoid. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2000.
4. Gunawan SG. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru;2007.
5. Yatim M. Macam-macam penyakit menular dan pencegahannya. Jakarta: Pustaka
Obor Populer; 2005.
18