PBL jadi

28
Demam Tifoid Lukitasari Ayu Galuh Ardhi Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA, Jakarta 1 [email protected] PENDAHULUAN Pada kasus kita kali ini, dari anamnesis didapatkan demam naik turun selama 7 hari khususnya pada sore hari dan konstipasi selama 5 hari. Ada baiknya dalam melakukan anamnesis kita menanyakan apakah pasien dalam waktu beberapa minggu terakhir baru pulang dari berpergian ke daerah-daerah endemis. Kemudian pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu tubuh 39.5 o C, tekanan darah 105/75 mmHg, lien teraba, hepar teraba serta nyeri tekan. Kecurigaan utama dari gejala-gejala tersebut adalah pasien terkena demam tifoid. Namun ada kemungkinan pula pasien terkena malaria atau DBD. Perhatian pertama saya pada demam yang dialami pasien. Demam dapat mengindikasikan adanya infeksi atau reaksi inflamasi. Ada beberapa tipe demam yang mungkin kita jumpai. Demam septic : suhu badan meningkat tinggi kemudian turun (belum sampai batas normal) kemudian naik lagi. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat 1 Alamat Korespondensi: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510 Telephone: (021) 5694-2061 (hunting), Fax: (021) 563-1731

description

hmghghghghg hgmgmh gm gmgm

Transcript of PBL jadi

Page 1: PBL jadi

Demam Tifoid

Lukitasari Ayu Galuh Ardhi

Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA, Jakarta1

[email protected]

PENDAHULUAN

Pada kasus kita kali ini, dari anamnesis didapatkan demam naik turun selama 7

hari khususnya pada sore hari dan konstipasi selama 5 hari. Ada baiknya dalam

melakukan anamnesis kita menanyakan apakah pasien dalam waktu beberapa minggu

terakhir baru pulang dari berpergian ke daerah-daerah endemis. Kemudian pada

pemeriksaan fisik didapatkan suhu tubuh 39.5oC, tekanan darah 105/75 mmHg, lien

teraba, hepar teraba serta nyeri tekan.

Kecurigaan utama dari gejala-gejala tersebut adalah pasien terkena demam tifoid.

Namun ada kemungkinan pula pasien terkena malaria atau DBD.

Perhatian pertama saya pada demam yang dialami pasien. Demam dapat

mengindikasikan adanya infeksi atau reaksi inflamasi. Ada beberapa tipe demam yang

mungkin kita jumpai.

Demam septic : suhu badan meningkat tinggi kemudian turun (belum sampai

batas normal) kemudian naik lagi. Sering disertai keluhan menggigil dan berkeringat

Demam remiten : suhu badan dapat turun setiap hari namun tidak pernah mencapai

suhu badan normal. Perbedaan suhu tidak lebih dari dua derajat, tidak sebesar perbedaan

pada demam septic.

Demam interremiten : suhu badan turun ketingkat normal selama beberapa jam atau satu

hari. Bila demam setiap dua hari sekali dinamakan deman tersiana dan bila terjadi pada

hari ketiga disebut demam quartana.

Demam kontinyu : suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari saru derajat.

Ada pula demam yang disebut sebagai “demam belum terdiagnosis” atau FUO

(fever unknown origin). Ini adalah keadaan dimana seorang pasien mengalami demam

terus menerus selama 3 minggu dan tetap belum ditemukan sebabnya. Untuk keadaan ini

1Alamat Korespondensi:Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaArjuna Utara No. 6 Jakarta 11510Telephone: (021) 5694-2061 (hunting),Fax: (021) 563-1731

Page 2: PBL jadi

dapat dilakukan terapi ad juventus sebagai pilihan terapi, yaitu pemberian kloramfenikol

untuk prasangka tifoid, obat antituberkulosis untuk prasangka tuberkulosis, aspirin untuk

demam reumatik, antikoagulansia untuk emboli paru dan kortikosteroid untuk keadaan

seperti lupus eritematosus sistemik atau rheumatoid.

EPIDEMIOLOGI

Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan

sanitasi lingkungan. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan

penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan

sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. Bedasarkan hasil Survei

Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995

tifoid tidak lagi termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi.1

PATOGENESIS

Kuman Salmonella thypi (S. thypi) dan Salmonella parathypi (S. parathypi) dapat

masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan yang telah terkontaminasi. Walaupun

sebagian kuman dapat dimusnahkan didalam lambung kita namun ada sebagian yang

lolos ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imun humoral usus

(IgA) kurang baik, maka kuman akan menembus sel epitel dam selanjutnya ke lamina

propria. Di lamina propria ini kuman dapat berkembang biak dan difaosit oleh makrofag.

Di dalam makrofag kuman juga dapat hidup dan dibawa ke plak peyeri ileum distal lalu

ke kelenjar getah bening mesenterika. Melalui duktus torasikus kuman dapat masuk

kedalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterinemia pertama yang asimtomatik) dan

menyebar keseluruh organ retikuloendotelial terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini

kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang

sinusoid dan selanjutnya masuk ke sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakterinemia

kedua yang disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.2

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak dan

bersama cairan empedu disekresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian

kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah

menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah

teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan

beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi

2

Page 3: PBL jadi

sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular,

gangguan mental, dan koagulasi.2

Di dalam plak peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan hyperplasia jaringan,

pendarahan saluran cerna dapat terjadi karena erosi pembuluh darah sekitar plak peyeri

yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear

di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan

otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.

Edotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya

komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan

organ lainnya.

GAMBARAN KLINIS

Penegakan diagnosis sedini mungkin dapat sangat menolong dalam memberikan

terapi dan meminimalkan komplikasi, maka pengetahuan gambaran klinis penyakit ini

sangatlah penting walaupun pada kasus tertentu diperlukan pemeriksaan tambahan agar

diagnosis dapat ditegakkan dengan tepat.

Masa tunas tifoid berkisar 10-14 hari. Gelaja klinis yang timbul bervariasi mulai

dari yang ringan hingga berat, mulai yang asimptomatik hingga munculnya gejala-gejala

yang khas.

Pada minggu pertama dapat dirasakan oleh pasien keluhan serupa infeksi akut

pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, mialgia, anoreksia, perasaan tidak enak

pada perut, batuk, dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya ditemukan

suhu badan meningkat dan sifat demam yang perlahan-lahan dan terutama pada sore

hingga malam hari.

Memasuki minggu ke dua, mulai ditemukan gejala yang lebih jelas berupa demam

brakikardia relatif, yaitu pada setiap kenaikan suhu 1oC tidak disertai dengan peningkatan

denyut nadi 8x per menit, ditemukan pula lidah yang kotor pada bagian tengah dan

unungnya merah seperti tremor, adanya hepatomegali, splenomegali, meteroismus,

gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.3

PEMERIKSAAN PENUNJANG

3

Page 4: PBL jadi

Selain dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, apabila diagnosa yang pasti

belum dapat ditegakkan pemeriksaan laboratorium akan sangat menolong dalam

menentukan diagnosa.

Pada demam tifoid, pemeriksaan darah perifer sering ditemukan leucopenia, yaitu

jumlah leukosit menurun, tetapi dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau justru

leukositosis (jumlah leukosit meningkat). Leukositosis dapat terjadi walaupun tidak

disertai infeksi sekunder, infeksi sekunder adalah infeksi yang disebabkan oleh

mikroorganisme yang menyertai suatu infeksi oleh mikroorganisme jenis lain.dorlan

Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit, dapat terjadi aneosinofilia maupun

limfopenia. Limfopenia biasanya disertai dengan nilai hitung jenis leukosit yang sangat

meningkat. Selain itu, dapat ditemukan pula anemia ringan atau trimbositopenia

(penurunan jumlah trombosit). Anemia ini juga dapat berpengaruh pada laju endap darah

(LED), dengan menurunnya jumlah eritrosit maka laju endap darah meningkat. Dari LED

yang meningkat ini dapat dicurigai adanya kerusakan jaringan dan perubahan kandungan

pada plasma darah.

Pemeriksaan rutin lain adalah uji Widal, yaitu uji untuk mengetahui adanya

agglutinin pada antigen O dan H pada S. thypi dan S. parathypi. Selain itu, ada pula uji

TUBEX®, Typhidot, dan dipstik yang akan saya bahas lebih lanjut.

UJI WIDAL

Uji ini dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman S. thypi. Pada uji

widal, terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. thypi dan antibody

yang disebut agglutinin. Antigen yang diguanakan pada uji Widal adalah suspensi

Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal

adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam serum penderita tersangka

demam tifoid,2 yaitu:

a) Agglutinin O (dari tubuh kuman)

b) Agglutinin H (flagella kuman), dan

c) Agglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang digunakan

untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya, semakin bear

kemungkinan terinfeksi kuman ini.

Pembentukan agglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,

kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-empat,

4

Page 5: PBL jadi

lalu tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut, mula-mula timbul

agglutinin O kemudian diikuti agglutinin H. pada orang yang telah sembuh,

agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan agglutinin H

menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk

menentukan kesembuhan penyakit.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu:

a) Pengobatan dini dengan antibiotik

b) Gangguan pembentukan antibody dan pemberian kortikosetroid

c) Waktu pengambilan darah

d) Daerah tempat pasien tinggal, endemic atau non-endemic.

e) Riwayat vaksinasi

f) Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan

demam tifoid akibat demam tifod masa lalu atau vaksinasi

g) Faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang dan

strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer agglutinin yang

bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya

kesepakatan saja, berlaku hanya setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di

berbagai laboratorium setempat.

UJI TUBEX ®

Uji ini merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa

menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibody S. thypi O9 pada

serum pasien, dengan cara menghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang

terkonjugasi pada partikel latex berwarna dengan lipopolisakarida S. thypi yang

terkonjugasi pada partikel magnetic latex. Hasil positif uji TUBEX® ini

menunjukkan terdapat infeksi Salmonella serogroup D walau tidak secara spesifik

menunjuk pada S. thypi. Infeksi oleh S. parathypi akan memberikan hasil negatif.

Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat

merangsang respons imun secara independen terhadap timus dan merangsang

mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. karena sifat-sifatnya tersebut, respon

terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap antigen O9

dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke

2-3 untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji TUBEX® hanya dapat

5

Page 6: PBL jadi

mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat

dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi masa lampau.

Pemeriksaan ini terdiri dari 3 komponen, tabung berbentuk V, reagen A

yang mengandung partikel magnetic diselubungi dengan antigen S. thypi O9, dan

Reagen B yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubingi

dengan antibody monoclonal spesifik untuk antigen O9. Konsep pemeriksaan ini

adalah, jika serum tidak mengandung antibody terhadap antigen O9 reagen B akan

beraksi dengan reagen A. Ketika diletakkan pada daerah mengandung medan

magnet (magnet rak), komponen magnet yang dikandung reagen A akan tertarik

pada magnet rak, dengan membawa serta pewarna yang dikandung oleh reagen B.

akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya merupakan

gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, apabila serum mengandung antigen O9,

antibody pasein akan berikatan dengan reagen A menyebabkan reagen B tidak

ikut tertarik ke medan magnet dan memberikan warna biru pada larutan.2

UJI TYPHIDOT

Uji typhidot dapat mendeteksi antibody IgM dan IgG yang terdapat pada

protein membran luar S. thypi. Hasil positif pada uji typhidot didapatkan 2-3 hari

setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik antibody IgM dan IgG

terhadap antigen S. thypi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa.

Pada kasus reinfeksi, respon imun sekunder (IgG) teraktivasi secara

berlebihan sehingga IgM sulit terdeteksi. IgG dapat bertahan sampai 2 tahun

sehingga pendeteksian IgG saja tidak dapat membedakan antara infeksi akut

dengan kasus reinfeksi. Untuk mengatasi masalah tersebut, uji ini kemudian

dimodifikasi dengan menginaktivasi total IgG pada sampel serum. Uji ini disebut

dengan uji Typhidot-M, memungkinan ikatan antara antigen dengan IgM spesifik

yang ada pada serum pasien.

UJI IgM DIPSTICK

Uji ini secara spesifik mendeteksi antibody IgM spesifik terhadap S. thypi

pada spesimen serum atau whole blood. Uji ini menggunakan strip yang

mengandung antigen lipopolisakarida (LPS) S. thypi dan anti IgM (sebagai

kontrol), reagen deteksi yang mengandung antibody anti IgM yang dilekati

dengan lateks pewarnaan, cairan membasahi strip sebelum diinkubasi dengan

6

Page 7: PBL jadi

reagen dan serum pasien. Komponen perlengkapan ini stabil untuk disimpan

selama 2 tahun pada suhu 4-25oC di tempat kering tanpa paparan sinar.

Pemeriksaan dimulai dengan inkubasi strip pada larutan campuran reagen deteksi

dan serum, selama 3 jam pada suhi kamar. Setelah inkubasi, strip dibilas dengan

air mengalir dan dikeringkan. Secara semi kuantitatif, diberikan penilaian

terhadap garis uji dengan membandingkannya dengan reference strip. Garis

kontrol harus terwarna dengan baik.

KULTUR DARAH

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi

hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan

beberapa hal sebagai berikut karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai

berikut:

a) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah

telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat

dan pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin

negatif.

b) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5cc darah). Bila darah

yang dibiakkan terlalu sedikit, hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil

sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu

(oxagall) untuk petumbuhan kuman;

c) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibody dalam

darah pasien. Antibody (agglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga

biakan darah dapat negatif

d) Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat agglutinin semakin

meningkat.

Demam Tifoid Demam Berdarah Dengue Malaria

Etiologi kuman S. typhi virus Dengue Plasmodium

Epidemiolog

i

Terkait dengan sanitasi

lingkungan

wilayah Asia Tenggara,

Pasifik barat, dan Karibia

lebih dari 100 negara di

benua Afrika, Asia,

Amerika Selatan, dan

Karibia.

7

Page 8: PBL jadi

Vektor -nyamuk Aedes aegypti,

Aedes albopictus.Nyamuk Anopheles

Masa Tunas 10-14 hari - 12-28 hari

Gambaran

Deman

Demam meningkat

perlahan-lahan terutama

sore dan malam hari.

Demam selama 2-7 hari

demam periodic (kuartana

atau tersiana). Trias

Malaria.

Pemeriksaan

Fisik

Lidah berselaput (putih

kotor terutama dibagian

tengah lidah),

hepatomegali,

splenomegali.

Dapat ditemukan petikie

atau uji bendung positif.Splenomegali

Pemeriksaan

Penunjang

Dapat ditemukan

leucopenia, tetapi ada

kemungkinan leukosit

normal atau justru

leukositosis. Anemia

ringan, trombositopenia,

LED meningkat. Uji

kultur darah positif.

Leucopenia,

trombositopenia,

peningkatan atau

penurunan hematokrit

>20%, pemeriksaan IgG

dan IgM terhadap dengue.

Anemia, LED meningkat.

Tergantung jumlah

Eritrosit yang

menangdung parasit per

1000 sel, bila jumlahnya >

100.000/uL menandakan

infeksi berat.

PENATA LAKSANAAN

Sampai saat ini, masih dianut trilogy penatalaksanaan tifoid, yaitu:

1. Istirahat dan perawatan. Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk

mencegah komplikasi . tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti

makan, minum, buang air kecil, dan buang air besar, akan membantu dan

mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan

tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi

untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorangan tetap

perlu diperhatikan dan dijaga.

2. Diet dan terapi penunjang. Diet merupakan hal yang penting dalam proses

penyembuhan penyakit deman tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan

8

Page 9: PBL jadi

keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan

semakin lama.

Dimasa lampai penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian

ditingkatkan mejadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet

tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring

tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau

perforasi usus.

3. Pemberian antimikroba. Obat-obat antrimikroba yang sering digunakan untuk

mengobati demam tifoid adalah:

a. Kloramfenikol. Di Indonesia, kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama

untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500mg per hari

dapat diberikan secara oral maupun intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari

bebas panas. Penyuntikan intramuscular tidak dianjurkan karena hidrolisis ester

ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman

penggunaan, obat ini dapat menurunakn demam rata-rata 7 hari.4

b. Tiamfenikol. Dosis dan efektifitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan

kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya

anemia aplastik lebih rendah dibanding kloramfenikol. Demam turun pada hari ke

5 atau 6.4

c. Kotrimoksazol. Efektivitasnya sama dengan kloramfenikol hanya dosis

pemberiannya berbeda. Pada orang dewasa, 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung

sulfametoksazol 400mg dan 80mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.

d. Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam

lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar

50-150mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.

e. Sefalosporin Generasi Ketiga. Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi

ketiga yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang

dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100cc diberikan selama 30

menit perinfus sekali sehari diberikan selama 3 sampai 5 hari.2

f. Golongan Fluorokinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan

pemberiannya:

Norfloksasin dosis 2 x 400mg/hari selama 14 hari

Siprofoksasin dosis 2 x 500mg/hari selama 6 hari

Ofloksasin dosis 2 x 400mg/hari selama 7 hari

9

Page 10: PBL jadi

Pefloksasin dosis 400mg/hari selama 7 hari

Fleroksasin dosis 400mg/hari selama 7 hari

Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ketiga atau menjelang hari

keempat. Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada penggunaan

norfloksasin yang merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki

bioavaibilitas tidak sebaik fluorokuinolon yang dikembangkan kemudian.

Azitromisin. Dosis 2 x 500mg dapat diberikan secara oral maupun suntikan

intravena. Jika dibandingkan dengan fluorokuinolon, menurut tinjauan oleh

Eeva EW dan Bukirwa H tahun 2008, azitromisin terbukti secara signifikan

mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap, terutama juka penelitian

mengikutsertakan pula strain MDR (multi drug resistence) maupun NARST

(Nalidix Acid Resistant S. thypi). Jika dibandingnkan dengan ceftriakson,

penggunaan azitromisin mampu menghasilkan konsentrasi dalam darah

cenderung rendah. Antibiotika akan terkonsentrasi di dalam sel, sehingga

pengobatan infeksi oleh S. typhi yang merupakan kuman intraselular lebih

efektif.2

Kortikosteroid. Pemberian steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau

demam tifoid yang mengalami syok septic dengan dosis 3 x 5mg

Kombinasi Obat Antimikroba

Kombinasi 2 antibiotika atau lebih diindikaikan hanya pada keadaan tertentu saja

antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang pernah terbukti

ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella.

Pengobatan Demam Tifoid pada Wanita Hamil

Kloramfenikol tidak dianjurkan pada trimester ketiga kehamilan karena

dikawatirkan dapat terjadi partus premature, kematian fetus intrauterine, dan grey

syndrome pada neonatus. Tiamfenikol tidak dianjurkan digunakan pada trimester pertama

karena kemungkinan efek teratogenik terhadap fetus pada manusia belum dapat

disingkirkan. Pada kehamilan lebih lanjut, tiamfenikol dapat digunakan. Demikian juga

obat golongan fluorokuinolon maupun kotrimoksazol tidak boleh digunakan untuk

10

Page 11: PBL jadi

mengobati demam tifoid. Obat yang dianjurkan adalah ampisilin, amoksisilin, dan

seftriakson.3

TATA LAKSANA KOMPLIKASI

Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat

diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat

terjadi pada demam tifoid yaitu komplikasi intestinal dan ekstra-intestinal.

Komplikasi Intestinal

Pendarahan intestinal. Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum

terminalis) dapat berbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang

terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh

darah maka terjadi perdarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus

maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat

terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor.

Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang

tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga

penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah

ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam dengan faktor

hemostatis dalam batas normal. Jika penanganan terlambat, mortalitas cukup

tinggi sekitar 10-32%, bahkan ada yang melaporkan sampai 80%. Bila transfusi

yang diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan

bedah perlu dipertimbangkan.

Perforasi usus. Terjadi sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul

pada minggu ketiga namun dapat pula timbul pada minggu pertama. Selain gejala

umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan

perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan

bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda

ileus. Bising usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak

ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya

adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis

dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi. Bila pada gambaran

foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum

atau subdiafragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan

11

Page 12: PBL jadi

terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa faktor yang dapat

meningkatkan kejadian perforasi adalah umur (20-30tahun), lama demam,

modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita. Antibiotik

diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S. thypi tetapi juga

untuk mengatasi kuman yang bersifat fakultatif da anaerobic pada flora usus.

Umumnya diberikan antibiotik spectrum kuas dengan kombinasi kloramfenikol

dan ampisilin intravena. Untuk kontaminasi usus dapat diberikan dalam jumlah

yang cukup serta pasien dipuasakan dan dipasang nasogastric tube. Transfusi

darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah dalam jumlah yang

signifikan akibat perdarahan intestinal.2

Komplikasi Ekstra-Intestinal

Komplikasi Hematologi. Komplikasi hematologi berupa tromositopenia,

hipofibro-genemia, peningkatan prothrombin time, peningkatan partian

thromboplastin time, peningkatan fibrin degradation products sampai koagulasi

intravascular diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien demam

tifoid. Trombositopenia saja sering dijumpai, hal ini mungkin karena menurunnya

produksi trombosit di sumsum tulang selama proses infeksi atau mengingkatnya

destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obat juga memegang

peranan. Penyebab KID pada demam tifoid berlum dapat diketauhi dengan jelas.

Hal-hal yang sering ditemukan adalah endotoksin mengaktifasi beberapa sistem

biologik, koagulasi, dan fibrinolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin dan histamin

menyebabkan vasokonstriksi serta kerusakan endotel pembuluh darah dan

selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme koagulasi, baik KID

kompensata maupun dekompensata. Bila terjadi KID dekompensata dapat

diberikan transfusi darah, substitusi trombosit dan/atau faktor-faktro koagulasi

bahkan heparin, meskipun ada pula yang tidak sependapat tentang manfaat

pemberian heparin pada demam tifoid.3

Hepatitis Tifosa. Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada 50%

kasus dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S. typhi darpada S.

paratyphy. Untuk membedakan apakah hepatitis ini karena tifoid, virus, malaria,

atau amuba, maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter labolatorium, dan

bila perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid kenaikan enzim transaminase

tidak relevan dengan kenaikan bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis oleh

12

Page 13: PBL jadi

karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan

sistem imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatoensedalopati

dapat terjadi.

Pankreatitis Tifosa. Merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada demam

tifoid. Pankreatitis sendiri dapat disebabkan oleh mediator pro-inflamasi, virus,

bakteri, cacing, maupun zat farmakologik. Pemeriksaan enzim amilase dan lipase

serta ultrasongrafi/CT-scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan akurat.

Penatalaksanaan pankreatitis tifosa sama seperti penanganan pakreatitis pada

umumnya, antibiotik yang diberikan adalah antibiotik intravena seperti seftriakson

atau kuinolon.

Miokarditis. Hal ini terjadi pada 1-5% penderita demam tifoid sedangkan

kelainan elektrokardiografi dapat terjadi pada 10-15% penderita. Pasien dengan

miokarditis biasanya tanpa gejala kardiovaskular atau dapat berupa keluahan sakit

dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik. Sedangkan

perikarditis sangat jarang terjadi. Perubahan ekektrokardiografi yang menetap

disertai aritmia mempunyai prognosis yang buruk. Kelainan ini disebabkan

kerukasan miokardium oleh kuman S. typhi dan miokarditis sering menyebabkan

kematian. Biasanya dijumpai pada pasien yang sakit berat, keadaan akut, dan

fulminan.

Manifestasi Neuropskiatrik/Tifoid Toksis. Manifestasi neuropsikiatrik dapat

berupa delirium dengan atau tanpa kejang, semi-koma atau koma, Parkinson

rigidity/transient parkinsonism, sindrom otak akut, mioklonus generalisata,

meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis,

meningitis, polyneuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, dan psikosis. Terkadang

gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan

kesadaran akut dengan atau tanpa disertai kelaian neurologis lainnya dan dalam

pemeriksaan cairan otak asih dalam baras normal. Sindrom klinis seperti ini oleh

beberpa peneliti disebut sebagai tifoid toksik. Diduga faktor sosial ekonomi yang

buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi,

kebudayaan dan kepercayaan (adat) yang masi terbelakang ikut mempermudah

terjadinya hat tersebut dan akibatnya meningkatkan kematian. Semua kasus tifoid

toksik, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4 x 400mg

ditambah ampisilin 4 x 1 gr dan deksametason 3x 5mg.

13

Page 14: PBL jadi

PENCEGAHAN DEMAM TIFOID

Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akan

berdampak cukup besar terhadap penurunan anggaran pengobatan pribadi maupun

negara, mendatangkan devisa negara yang berasal dari wisarawan mancanegara karena

telah hilangnya predikat negara endemic dan hiperendemik sehingga mereka tidak takut

lagi terserang tifoid saat berada di daerah kunjungan wisata.

Tindakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus luar

biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman Salmonella

typhi sebagai agen penyakit dan faktor penjamu (host) serta faktor lingkungan.

Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu:

1) Identifikasi dan eradiksi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid maupun

kasus karier tifoid. Tindakan identifikasi atau penyaringan terhadap pengidap kuman

Salmonella typhi ini cukup sulit dan memerlukan biaya besar baik ditinjau dari pribadi

maupun skala nasional. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu, mendatangi

sasaran maupun pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau

swasta. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola sarana

makanan-minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel, sampai pabrik

beserta distributornya. Sasaran lainnya adalah yang terkait dengan pelayanan

masyarakat, yaitu petugas kesehatan, guru, petugas kebersihan, serta pengelola sarana

umum lainnya.

2) Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi Salmonella typhi akut

maupun karier. Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun di rumah dan

lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman Salmonella typhi.

3) Proteksi pada orang yang beresiko terinfeksi. Sarana proteksi pada populasi ini

dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah endemic maupun hiperendemik.

Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya endemis atau non-endemis, tingkat risiko

tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya,

serta golongan individu beresiko (golongan imunokompromais maupun golongan

rentan).5

Tindakan preventif berdasarkan lokasi, antara lain:

14

Page 15: PBL jadi

a) Daerah non-endemic.

Tanpa ada outbreak atau epidemi.

o Sanitasi air dan kebersihan lingkungan

o Pengelolaan serta distribusi makanan dan minuman

o Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier

Bila ada kejadian epidemi tifoid.

o Pencarian dan eliminasi sumber penularan

o Pemeriksaan air minum dan mandi-cuci-kakus

o Penyuluhan higine serta sanitasi pada populasi umum daerah tersebut

b) Daerah endemic.

Memasyarakatkan pengelolaan bahan makanan dan minuman yang memenuhi

standar prosedur kesehatan

Pengunjung ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan,

menjauhi makanan segar (buah/sayur)

Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung

VAKSINASI

Indikasi vaksin adalah bila anda akan mengunjungi daerah endemic, anda terpapar

dengan penderita karier tifoid, dan bila anda adalah petugas laboratorium/mikrobiologi

kesehatan. Ada 2 macam vaksin yang dapat diberikan:

Vaksin oral : -Ty21a (vivotif Berna) belum beredar di Indonesia.

Vaksin pareternal : ViCPS (Typhim Vi/Pasteur Marieux), vaksin kapsul

polisakarida.

Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3 kali secara bermakan

menurunkan 66% selama 5 tahun. Usia sasaran vaksin berbeda efektivitasnya, dilaporkan

insidens turun pada 53% anak lebih dari 10 tahun sedangkan anak usia 5-9 tahun insidens

turun 17%.

Vaksin parenteral non-aktif relatif lebih sering menyebabkan reaksi efek samping

serta tidak seefektif dibangingkan dengan ViCPS maupun Ty21a oral. Jenis vaksin dan

jadwal pemberiannya, yang ada saat ini di Indonesia hanya ViCPS.

Dalam pemilihan vaksin ini perlu kita perhatikan pula efek samping yang

ditimbulkan. Pada vaksin Ty21a demam timbul pada orang yang mendapat vaksin 0-5%,

sakit kepala 0-5% sedangkan pada ViCPS efek sampingnya lebih kecil. Demam 0,25%,

15

Page 16: PBL jadi

malaise 0,5%, sakit kepala 1,5%, rash 5%, reaksi nyeri lokal 17%. Efek samping terbesar

pada vaksin parenteral adalah heat-phenol inactivated, yaitu demam 6,7-24%, nyeri

kepala 9-10% dan reaksi lokal edema 3-35% bahkan reaksi berat termasuk hipotensi,

nyeri dada, dan syok dilaporkan pernah terjadi merskipun sporadis dan sangat jarang

terjadi.2

Untuk efektivitas vaksin ini sendiri, dilaporkan adanyanya kenaikan titer antiboidy

4 kali lipat setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 2-3 minggu

dan 90% bertahan selama 3 tahun. Kemampuan proteksi 77% pada daerah endemic dan

60% pada daerah hiperendemic.

Indikasi Vaksinasi

Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid tergantung pada faktor resiko yang

berkaitan, yaitu individual atau populasi dengan situasi epodemiologinya. Populasi

contohnya pada anak usia sekolah di daerah endemic, petugas militer, petugas kesehatan

dan labolatorium serta petugas industri makanan-minuman.

Meskipun telah kita lakukan pencegahan dan vaksinasi, tetap masih ada

kemungkinan terjadinya outbreak demam tifoid. Faktor resiko ini kita sebut sebagain

kasus demam tifoid karier.

Pada daerah endemic dan hiperendemik penyandang kuman S. typhi ini jauh lebih

banyak serta sanitasi lingkingan dan sosial ekonomi rendah semakin mempersulit usaha

penanggulangannya. Angka kejadian demam tifoid di Indonesia sebesar 1000/100.000

populasi per tahun. Diantara demam tifoid yang sembuh klinis, pada 20% diantaranya

masih ditemukan kuman S. typhi setelah 2 bulan dan 10% masuk ditemukan pada bulan

ke-3 serta yang masih ditemukan satu tahun kemudian sekitar 3%. Kasus karier

meningkat seiring peningkatan umur dan adanya penyakit kandung empedu, serta

gangguan traktus urinarius.

Tifoid karier tidak menimbulkan gejala klinis dan 25% kasus menyangkal adanya

riwayat sakit demam tifoid akut. Proses patofisiologis dan patogenesis tifoid karier masih

belum jelas. Mekanisme pertahanan tubuh terhadap S. typhi belum jelas. Imunitas selular

diduga berperan penting dalam hal ini. Sedangkan pemeriksaan respon imun berdasarkan

serologi antibody IgG dan IgM S. typhi antara tifoid karier dan tifoid akut tidak

menunjukkan perbedaan bermakna.

16

Page 17: PBL jadi

Sarana lain untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan serologi Vi,

dilaporkan bahwa 75% dan spesifitas 92% bila ditemukan kadar titer antibody Vi sebesar

160.

Kesulitan eradiksi kasus karier berhubungan dengan ada tidaknya batu empedu

dan sikatrik kronik pada saluran empedu. Kasus karier ini juga meningkat pada seorang

yang terkena infeksi saluran kencing secara kronis, batu, striktur, hidronefrosis, dan

tuberkulosis maupun tumor di traktus urinarius. Oleh karena itulah insidens tifoid karier

mengingkat pada wanita maupun usia lanjut karena adanya faktor tersebut diatas.

PROGNOSIS

Dilaporkan angka kematian karena demam tifoid di Indonesia telah ditekan secara

signifikan setelah adanya obat-obat dan vaksinasi, seiring dengan pengetahuan

masyarakat akan pentingnya sanitasi lingkungan.

Pada kasus ini, besar kemungkinan pasien akan sembuh dengan penanganan yang

segera, tepat, dan teratur. Penyakit ini dapat memburuk apabila tidak ada kerja sama yang

baik antara dokter dan pasien.

17

Page 18: PBL jadi

DAFTAR PUSTAKA

1. Timmreck T. Epidemiologi suatu pengantar. Jakarta: EGC;2005.

2. Sudoyi AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu

penyakit dalam jilid III Ed.V. Jakarta: Interna Publishing;2009.

3. Subbagian Penyakit Tropik dan Infeksi Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Buku

panduan dan diskusi demam tifoid. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan

Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;2000.

4. Gunawan SG. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru;2007.

5. Yatim M. Macam-macam penyakit menular dan pencegahannya. Jakarta: Pustaka

Obor Populer; 2005.

18