Proposal PBL

download Proposal PBL

of 44

description

pbl-ISPA-kesehatan masyarakat

Transcript of Proposal PBL

25

A. PENDAHULUANInfeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia, tanpa atau disertai radang parenkim paru (Alsagaff dan Mukty, 2006). ISPA dapat ditularkan melalui air ludah, darah, bersin, udara pernafasan yang mengandung kuman yang terhirup oleh orang sehat ke saluran pernafasannya. Infeksi saluran pernafasan bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus dan sering terjadi pada cuaca dingin. Infeksi saluran pernapasan akut disebabkan oleh virus atau bakteri. Penyakit ini diawali dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala seperti tenggorokan sakit atau nyeri telan, pilek, batuk kering atau berdahak. Sebagian besar dari infeksi saluran pernafasan hanya bersifat ringan, namun demikian ISPA pada anak akan menderita pneumonia hingga kematian bila infeksi paru ini tidak diobati dengan antibiotik, perbaikan gizi dan lingkungan yang bersih. Penyakit infeksi ini dapat menyerang semua umur, tetapi balita merupakan kelompok paling rentan untuk terinfeksi penyakit ini. Menurut World Health Organization (WHO), penyakit ISPA merupakan penyakit yang paling sering menyebabkan kematian pada anak balita, sehingga ISPA masih merupakan penyakit yang mengakibatkan kematian cukup tinggi. Tingkat kematian balita secara global mengalami penurunan sebesar 41%, dari tingkat estimasi 87 kematian per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi 51 kematian per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2011 (WHO, 2012a). World Health Organization (WHO) memperkirakan insidensi ISPA di negara berkembang 0,29% (151 juta jiwa) dan negara industri 0,05% (5 juta jiwa) (WHO, 2012b). Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering dijumpai di negara-negara berkembang, seperti di Indonesia maupun di negara maju. Kematian akibat ISPA tersebut sebagian besar disebabkan oleh pneumonia. Sebagai kelompok penyakit, ISPA juga merupakan penyebab utama kunjungan pasien ke sarana kesehatan yakni sebanyak 40% - 60% kunjungan berobat di puskesmas dan 15% - 30% kunjungan berobat di rumah sakit (Depkes RI, 2002). ISPA menempati urutan pertama penyakit yang diderita pada kelompok bayi dan balita di Indonesia. Menurut hasil Riskesdas (2013) lima provinsi di Indonesia dengan kasus ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%). Hasil Riskesdas pada tahun 2007 juga menunjukkan bahwa Nusa Tenggara Timur sebagai provinsi tertinggi dengan ISPA. Period prevalence ISPA Indonesia menurut Riskesdas tahun 2013 (25,0%) tidak jauh berbeda dengan hasil pada tahun 2007 (25,5%). Karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%). Dilihat menurut jenis kelamin, penderita ISPA tidak berbeda antara laki-laki dan perempuan (Kemenkes, 2013).Berdasarkan Profil Kesehatan Jawa Tengah (2012), persentase penemuan dan penanganan balita penderita pneumonia pada balita adalah sebesar 9,10%. Wilayah Kabupaten Purbalingga yang memiliki 22 puskesmas, dari seluruh kasus ISPA pada balita tahun 2012, terdapat ISPA dengan pneumonia sebanyak 2,7 % dan ISPA bukan pneumonia 97,3 % (Program P2 ISPA DKK Purbalingga, 2012). Tercatat juga di PKD Kalitinggar bahwa balita penderita ISPA dalam kurun waktu Agustus 2013-Februari 2014 ada sebanyak 102 orang. Melihat prevalensi ISPA yang masih tinggi, maka diperlukan upaya untuk menangani kasus ISPA dari berbagai pihak yang terlibat dalam bidang kesehatan, termasuk institusi pendidikan dalam bidang kesehatan.Terjadinya Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dapat dipengaruhi atau ditimbulkan oleh tiga hal yaitu adanya kuman (terdiri dari lebih dari 300 jenis bakteri, virus, dan riketsia), keadaan daya tahan tubuh (status nutrisi, imunisasi) dan keadaan lingkungan (rumah yang kurang ventilasi, lembab, basah, dan kepadatan penghuni). Faktor risiko yang secara umum dapat menyebabkan terjadinya ISPA adalah keadaan sosial ekonomi menurun, gizi buruk, pencemaran udara dan asap rokok (Depkes, 2002). Trisnawati (2012) juga menjelaskan pada penelitiannya bahwa secara umum terdapat tiga faktor risiko terjadinya ISPA, yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak serta faktor perilaku. Faktor lingkungan meliputi pencemaran udara dalam rumah (asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi yang tinggi), ventilasi rumah, kepadatan hunian, dan status sosial ekonomi. Faktor individu anak meliputi umur, berat badan lahir, status gizi, vitamin A dan status imunisasi. Faktor perilaku meliputi perilaku pencegahan dan penanggulangan ISPA pada balita atau peran aktif keluarga/masyarakat dalam menangani penyakit ISPA.ISPA merupakan penyakit yang dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan sekitar. Lingkungan yang tidak sehat akan memudahkan terjadinya penyakit ISPA. Lingkungan yang paling kecil lingkupnya adalah rumah. Kondisi rumah yang tidak sehat akan mempengaruhi terjadinya ISPA. Berdasarkan hasil survei pendahuluan pada kegiatan PBL I, faktor lingkungan yang dapat menjadi faktor risiko kejadian ISPA di Desa Kalitinggar, yaitu pemakaian atap asbes pada sebagian rumah warga (23,3%) dan pengelolaan sampah dengan cara dibakar (82,6%). Asbes yang cukup banyak digunakan sebagai atap rumah juga menjadi faktor penyebab penyakit ISPA. Debu asbes yang berjatuhan dan terhirup oleh anggota keluarga dapat menggangu pernafasan dan menyebabkan ISPA. Pembakaran sampah yang menjadi kebiasaan warga juga dapat menjadi pemicu timbulnya ISPA. Status gizi juga mempengaruhi terjadinya ISPA. Balita dengan status gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Data Puskesmas Padamara (2012) menunjukkan bahwa tidak ada balita yang mengalami gizi buruk, namun demikian terdapat 39 balita mengalami gizi kurang dari total 3.864 jumlah balita yang ada. Hal tersebut juga didukung oleh data PKD Kalitinggar bahwa terdapat balita dengan gizi kurang sebesar 5%.Tidak hanya lingkungan dan status gizi, namun faktor perilaku juga turut mempengaruhi kejadian ISPA. Hasil survei pendahuluan PBL I di Desa Kalitinggar menunjukkan bahwa terdapat persentase yang cukup besar (75,6%) untuk banyaknya perilaku merokok dalam keluarga. Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui faktor risiko tetinggi kejadian ISPA pada balita di Desa Kalitinggar adalah faktor lingkungan (atap dan pengelolaan sampah), status gizi kurang dan faktor perilaku merokok dalam keluarga.Jurusan Kesehatan Masyarakat Universitas Jenderal Soedirman mengadakan Praktik Belajar Lapangan II (PBL II) yang merupakan kegiatan lanjutan dari Praktik Belajar Lapangan I (PBL I). Melalui kegiatan PBL II ini, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui faktor-faktor masalah kesehatan dari prioritas masalah kesehatan di PBL I. Berdasarkan hasil pelaksanaan kegiatan PBL I di Desa Kalitinggar, serta melalui metode MCUA dan Focus Group Discussion didapatkan prioritas utama masalah kesehatan yaitu Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Berdasarkan hasil penetapan prioritas masalah melalui MCUA dan FGD, melalui kegiatan PBL II ini mahasiswa diharapkan dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA dan alternatif pemecahan masalahnya di Desa Kalitinggar, Kecamatan Padamara, Kabupaten Purbalingga.B. TUJUAN1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari PBL II adalah untuk memgetahui faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA pada balita di Desa Kalitinggar beserta alternatif-alternatif pemecahan masalahnya.

2. Tujuan Khusus

a. Mendeskripsikan karakteristik responden meliputi usia, pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan.b. Mendeskripsikan karakteristik balita meliputi usia, jenis kelamin, dan berat badan saat lahir.c. Mendeskripsikan tingkat pengetahuan ibu, perilaku merokok dalam rumah, perilaku membakar sampah keluarga, status gizi balita, pemberian ASI Eksklusif, jenis atap rumah, luas ventilasi rumah, tingkat kepadatan hunian, jenis bahan bakar memasak, dan jenis obat anti nyamuk. d. Mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan ibu dengan kejadian ISPA pada balita.e. Mengetahui hubungan antara perilaku merokok dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita.f. Mengetahui hubungan antara perilaku membakar sampah dengan kejadian ISPA pada balita.g. Mengetahui hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita.h. Mengetahui hubungan antara pemberian ASI Eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita.i. Mengetahui hubungan antara jenis atap rumah dengan kejadian ISPA pada balita.j. Mengetahui hubungan antara luas ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita.k. Mengetahui hubungan antara tingkat kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita.l. Mengetahui hubungan antara jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak dengan kejadian ISPA pada balita.m. Mengetahui hubungan antara jenis obat anti nyamuk dengan kejadian ISPA pada balita.n. Mengetahui faktor yang paling dominan mempengaruhi kejadian ISPA di Desa Kalitinggar.

o. Menentukan alternatif pemecahan masalah ISPA di Desa Kalitinggar.

C. MANFAAT

1. Bagi Puskesmas Padamara dan Instansi Pemerintahan Sebagai bahan informasi mengenai faktor-faktor yang berpengaruh pada kejadian penyakit ISPA sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan untuk menetapkan kebijakan dan perencanaan dalam rangka program pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA di Desa Kalitinggar, Kecamatan Padamara, Kabupaten Purbalingga.

2. Bagi Masyarakat Desa Kalitinggar

Kegiatan ini dapat membantu masyarakat dalam memberikan informasi dan menambah pengetahuan masyarakat tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian ISPA di Desa Kalitinggar, sehingga masyarakat dapat melakukan upaya preventif secara mandiri.

3. Bagi Jurusan Kesehatan Masyarakat

a. Kegiatan PBL II dapat meningkatkan kerjasama dengan instansi pemerintah melalui kerjasama dari mahasiswa.

b. Melalui hasil PBL II dapat diperoleh umpan balik yang berkaitan dengan pengintegrasian mahasiswa dengan pembangunan masyarakat, sehingga kurikulum Jurusan Kesehatan Masyarakat lebih dapat disesuaikan.

c. Kegiatan PBL II merupakan wujud dari salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat.

4. Bagi MahasiswaKegiatan PBL II ini memberikan pengalaman belajar kepada mahasiswa, sehingga mampu menganalisis masalah kesehatan masyarakat, menambah wawasan dan meningkatkan penerapan ilmu kesehatan masyarakat di masyarakat.

D. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian ISPAInfeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih 14 hari. ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara stimulan atau berurutan (Muttaqin, 2008). Alsagaff dan Mukty (2006) menyebutkan bahwa ISPA merupakan radang akut saluran pernafasan atas maupun bawah yang disebabkan infeksi bakteri, virus, maupun riketsia tanpa disertai radang parenkim paru. ISPA menurut Habeahan (2009) adalah infeksi saluran pernafasan yang berlangsung selama 14 hari. Saluran nafas yang dimaksud adalah organ mulai dari hidung sampai alveoli paru beserta organ adneksanya seperti sinus, ruang telinga tengah, dan pleura.

2. Etiologi ISPAISPA paling sering disebabkan oleh karena infeksi virus. Etiologi ISPA lainnya yaitu bakteri atau jamur. Bakteri selain sebagai etiologi primer ISPA, juga sebagai penyebab super infeksi ISPA akibat virus (Meneghetti, 2007). Menurut Suhandayani (2007), etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofillus, Bordetelia dan Korinebakterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adnovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain.3. Klasifikasi ISPA

Klasifikasi penyakit ISPA menurut Muttaqin (2008) dibedakan untuk golongan umur di bawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun.

a. Golongan Umur Kurang 2 Bulan

1) Pneumonia Berat

Bila disertai salah satu tanda tarikan kuat di dinding pada bagian bawah atau napas cepat. Batas napas cepat untuk golongan umur kurang 2 bulan yaitu 6x per menit atau lebih.

2) Bukan Pneumonia (batuk pilek biasa)

Bila tidak ditemukan tanda tarikan kuat dinding dada bagian bawah atau napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur kurang 2 bulan, yaitu:

a) Kurang bisa minum (kemampuan minumnya menurun sampai kurang dari volume yang biasa diminum)

b) Kejang

c) Kesadaran menurun

d) Stridor

e) Wheezing

f) Demam / dingin.

b. Golongan Umur 2 Bulan-5 Tahun

1) Pneumonia Berat

Bila disertai napas sesak yaitu adanya tarikan di dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas (pada saat diperiksa anak harus dalam keadaan tenang, tidak menangis atau meronta).

2) Pneumonia Sedang

Bila disertai napas cepat. Batas napas cepat ialah :

a) Untuk usia 2 bulan-12 bulan = 50 kali per menit atau lebih

b) Untuk usia 1-4 tahun = 40 kali per menit atau lebih.

3) Bukan Pneumonia

Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah dan tidak ada napas cepat. Tanda bahaya untuk golongan umur 2 bulan-5 tahun yaitu :

a) Tidak bisa minum

b) Kejang

c) Kesadaran menurun

d) Stridor

e) Gizi buruk

Klasifikasi ISPA menurut Depkes RI (2002) adalah :

a. ISPA Ringan

Seseorang yang menderita ISPA ringan apabila ditemukan gejala batuk, pilek dan sesak.b. ISPA Sedang

ISPA sedang apabila timbul gejala sesak nafas, suhu tubuh lebih dari 39 C dan bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok.

c. ISPA Berat

Gejala meliputi: kesadaran menurun, nadi cepat atau tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung nadi membiru (sianosis) dan gelisah.4. Tanda dan Gejala ISPA

Pada umumnya suatu penyakit saluran pernapasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang ringan. Dalam perjalanan penyakit mungkin gejala-gejala menjadi lebih berat dan bila semakin berat dapat jatuh dalam keadaan kegagalan pernapasan dan mungkin meninggal. Bila sudah dalam kegagalan pernapasan maka dibutuhkan penatalaksanaan yang lebih rumit, meskipun demikian mortalitas masih tinggi, maka perlu diusahakan agar yang ringan tidak menjadi lebih berat dan yang sudah berat cepat-cepat ditolong dengan tepat agar tidak jatuh dalam kegagalan pernapasan (Rasmaliah, 2004).

Tanda-tanda bahaya ISPA dapat dilihat berdasarkan tanda-tanda klinis dan tanda-tanda laboratoris. Tanda-tanda klinis, yaitu :

a. Pada sistem respiratorik adalah: tachypnea, napas tak teratur (apnea), retraksi dinding thorak, napas cuping hidung, cyanosis, suara napas lemah atau hilang, grunting expiratoir dan wheezing.

b. Pada sistem cardial adalah: tachycardia, bradycardiam, hypertensi, hypotensi dan cardiac arrest.

c. Pada sistem cerebral adalah : gelisah, mudah terangsang, sakit kepala, bingung, papil bendung, kejang dan coma.

d. Pada hal umum adalah : letih dan berkeringat banyak.

Selain tanda-tanda klinis di atas, terdapat pula tanda-tanda secara laboratoris penyakit ISPA yaitu :

a. Hypoxemia b. Hypercapnia dan

c. Acydosis (metabolik dan atau respiratorik) (Rasmaliah, 2004).

Tanda dan gejala berdasarkan derajat keparahan penyakit dapat dibagi menjadi tiga tingkat yaitu :

a. ISPA Ringan

Adapun tanda dan gejala ISPA ringan antara lain adalah :

1) Batuk

2) Pilek (keluar ingus dari hidung)

3) Serak (bersuara parau pada waktu menangis atau berbicara)

4) Demam (panas)

b. ISPA Sedang

Tanda dan gejala ISPA sedang antara lain :

1) Pernapasan yang cepat (lebih dari 50 x/menit)

2) Wheezing (napas menciut-ciut)

3) Panas 38oC atau lebih

4) Sakit telinga atau keluar cairan

5) Bercak-bercak menyerupai campak

c. ISPA Berat

Tanda dan gejala ISPA berat antara lain :

1) Chest indrawng (pernafasan dada kedalam)

2) Stridor (pernafasan ngorok)

3) Tidak mau makan

4) Sianosis (kulit kebiru-biruan)

5) Nafas cuping hidung

6) Kejang

7) Dehidrasi

8) Kesadaran menurun (Depkes RI, 2002).

5. Penatalaksanaan ISPA

Pedoman penatalaksanaan kasus ISPA akan memberikan petunjuk standar pengobatan penyakit ISPA yang akan berdampak mengurangi penggunaan antibiotik untuk kasus-kasus batuk pilek biasa, serta mengurangi penggunaan obat batuk yang kurang bermanfaat. Strategi penatalaksanaan kasus mencakup pula petunjuk tentang pemberian makanan dan minuman sebagai bagian dari tindakan penunjang yang penting bagi pederita ISPA. Penatalaksanaan ISPA meliputi langkah atau tindakan sebagai berikut (Smeltzer & Bare, 2002) :a. Pemeriksaan

Pemeriksaan untuk memperoleh informasi tentang penyakit anak dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada ibunya, melihat dan mendengarkan anak. Hal ini penting agar selama pemeriksaan anak tidak menangis (bila menangis akan meningkatkan frekuensi napas), untuk ini diusahakan agar anak tetap dipangku oleh ibunya. Menghitung napas dapat dilakukan tanpa membuka baju anak. Bila baju anak tebal, mungkin perlu membuka sedikit untuk melihat gerakan dada. Untuk melihat tarikan dada bagian bawah, baju anak harus dibuka sedikit. Tanpa pemeriksaan auskultasi dengan steteskop penyakit pneumonia dapat didiagnosa dan diklasifikasi.

b. Program Pemberantasan ISPA (P2 ISPA) mengklasifikasi ISPA sebagai berikut :

1) Pneumonia berat ditandai secara klinis oleh adanya tarikan dinding dada kedalam (chest indrawing).

2) Pneumonia ditandai secara klinis oleh adanya napas cepat.

3) Bukan pneumonia ditandai secara klinis oleh batuk pilek, bisa disertai demam, tanpa tarikan dinding dada kedalam, tanpa napas cepat. Rinofaringitis, faringitis dan tonsilitis tergolong bukan pneumonia.

c. Pengobatan

1) Pneumonia berat dapat dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral, oksigendan sebagainya.

2) Pneumonia dapat diberi obat antibiotik kotrimoksasol peroral. Bila penderita tidak mungkin diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian kontrmoksasol keadaan penderita menetap, dapat dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau penisilin prokain.

3) Bukan pneumonia tanpa pemberian obat antibiotik. Tanda bahaya setiap bayi atau anak dengan tanda bahaya harus diberikan perawatan khusus untuk pemeriksaan selanjutnya.

4) Perawatan di rumah, beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita ISPA.

a) Mengatasi panas (demam)

Untuk anak usia 2 bulan sampai 5 tahun demam diatasi dengan memberikan parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan demam harus segera dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk waktu 2 hari. Cara pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan diminumkan. Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih, celupkan pada air (tidak perlu air es).b) Mengatasi batuk

Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu jeruk nipis sendok teh dicampur dengan kecap atau madu sendok teh , diberikan tiga kali sehari.

c) Pemberian makanan

Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang yaitu lebih sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI pada bayi yang menyusu tetap diteruskan.

d) Pemberian minuman

Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak dari biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak, kekurangan cairan akan menambah parah sakit yang diderita.

6. Pencegahan ISPA

a. Menjaga keadaan gizi anda dan keluarga agar tetap baik dan memberikan ASI eksklusif pada bayi anda.

b. Menjaga pola hidup bersih dan sehat, istirahat/tidur yang cukup dan olah raga teratur.

c. Membiasakan cuci tangan teratur menggunakan air dan sabun atau hand sanitizer terutama setelah kontak dengan penderita ISPA. Ajarkan pada anak untuk rajin cuci tangan untuk mencegah ISPA dan penyakit infeksi lainnya.

d. Melakukan imunisasi pada anak anda. Imunisasi yang dapat mencegah ISPA diantaranya imunisasi influenza, imunisasi DPT-Hib/DaPT-Hib, dan imunisasi PCV.

e. Hindari kontak yang terlalu dekat dengan penderita ISPA.

f. Hindari menyentuh mulut atau hidung anda setelah kontak dengan flu. Segera cuci tangan dengan air dan sabun atau hand sanitizer setelah kontak dengan penderita ISPA.

g. Mencegah anak berhubungan terlalu dekat dengan saudaranya atau anggota keluarga lainnya yang sedang sakit ISPA.Tindakan semi isolasi mungkin dapat dilakukan seperti anak yang sehat tidur terpisah dengan anggota keluarga lain yang sedang sakit ISPA.

h. Upayakan ventilasi yang cukup dalam ruangan/rumah (Depkes, 2002).

7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi ISPA Berdasarkan Modifikasi Teori John Gordon dan Model Pendekatan Precede-Proceed

Menurut John Gordon bahwa timbulnya suatu penyakit dipengaruhi oleh adanya pengaruh faktor pejamu (host) dan lingkungan (environment) yang digambarkan dengan model tuas. Agent suatu penyakit meliputi agent biologis dan non-biologis, misalnya agent fisik, kimia. Faktor host adalah faktor-faktor intrinsik yang dapat mempengaruhi kerentanan pejamu terhadap faktor agent. Sedangkan faktor lingkungan adalah elemen-elemen ekstrinsik yang dapat mempengaruhi keterpaparan pejamu terhadap faktor agent (Depkes, 2002).Notoadmodjo (2010) menyebutkan bahwa Green (1980) mengembangkan suatu model pendekatan yang dapat untuk membuat perencanaan dan evaluasi kesehatan yang dikenal sebagai kerangka PRECEDE (predisposing, reinforcing and enabling causes in Educational Diagnosis and Evaluation). Kemudian disempurnakan pada tahun 1991 menjadi PRECEDE-PROCEED (Policy, Regulatory Organizational Construct in Ediucational and Environmental Development) yang dilakukan bersama-sama dalam proses perencanaan, implementasi dan evaluasi. PRECEDE digunakan pada fase diagnosis masalah, penetapan prioritas masalah dan tujuan program, sedangkan PROCEED digunakan untuk menetapkan sasaran dan kriteria kebijakan serta implementasi dan evaluasi.Langkah-langkah model pendekatan precede-proceed adalah (1) fase diagnosis sosial, (2) fase diagnosis epidemiologi, (3) fase diagnosis perilaku dan lingkungan, (4) diagnosis pendidikan dan organisasional, (5) fase diagnosis administratif dan kebijakan (Green, 2000 dalam Astuti, 2008).Ada 3 (tiga) faktor yang dapat berpengaruh atau menjadi sebab terjadinya masalah perilaku pada fase diagnosis perilaku dan lingkungan :a. Faktor predisposisi (predisposing) yaitu faktor yang mempermudah dan mendasari untuk terjadinya perilaku tertentu. Yang termasuk kelompok predisposisi ini adalah :

1) Pengetahuan

2) Sikap

3) Nilai-nilai dan budaya

4) Kepercayaan dari orang tersebut tentang dan terhadap perilaku tertentu tersebut.

5) Beberapa karakteristik individu, misalnya umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan.

b. Faktor pemungkin (enabling) yaitu faktor yang memungkinkan untuk terjadinya perilaku tertentu tersebut, terdiri atas :

1) Ketersediaan pelayanan kesehatan

2) Ketercapaian pelayanan kesehatan baik dari segi jarak maupunbiaya dan sosial.

3) Adanya peraturan-peraturan dan komitmen masyarakat dalam menunjang perilaku tertentu tersebut.

c. Faktor penguat (reinforcing) yaitu faktor yang memperkuat atau kadang-kadang justru dapat memperlunak untuk terjadinya perilaku tersebut. Yang termasuk faktor penguat antara lain : pendapat, dukungan, kritik baik dari keluarga, teman-teman sekerja atau lingkungannya, bahkan juga dari petugas kesehatan sendiri (Notoadmodjo, 2010).

Modifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi ISPA berdasarkan teori John Gordon dan Precede Proceed adalah sebagai berikut :

a. Agent (infectious agent)

ISPA dapat disebabkan oleh berbagai penyebab seperti bakteri, virus, mycoplasma, jamur dan lain-lain yang jumlahnya lebih 300 macam. ISPA bagian atas umumnya disebabkan oleh virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri, virus, dan mycoplasma. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptococus, Stapilococcus, Pneumococcus, Hemofillus Bordetella dan Corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus (termasuk di dalamnya virus influenza, virus para influenza, dan virus campak), Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, dan Herpesvirus. Pada tahun 2009, Departemen Kesehatan Republik Indonesia menambahkan program P2ISPA, yaitu ISPA akibat polusi udara. Terjadinya pencemaran disinyalir dapat menyebabkan timbulnya penyakit ISPA. Adapun bahan pencemar (polutan) utama yang dapat menimbulkan masalah kesehatan masyarakat, yaitu partikulat (PM10 atau PM2,5), karbon monoksida (CO), ozon (O3), nitrogen dioksida (NO2), dan sulfur dioksida (SO2). Pencemaran udara ini banyak disebabkan oleh aktivitas manusia (seperti kegiatan transportasi, kegiatan industri, kegiatan rumah tangga) dan sumber alami (meliputi gunung berapi, rawa-rawa, kebakaran hutan, dan sebagainya).b. Host (Pejamu)

1) Status ASI EksklusifMenurut Depkes RI (2004) ASI Eksklusif merupakan pemberian ASI tanpa makanan dan minuman tambahan lain pada bayi berumur nol bulan sampai 6 bulan, bahkan air putih tidak diberikan dalam tahap ASI Eksklusif ini. ASI Eksklusif merupakan tindakan efektif untuk menyelamatkan kehidupan anak dan dapat mencegah 13-15% dari setiap kematian 9 juta anak (Nkala dan Msuya, 2011).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan UNICEF merekomendasikan pemberian. ASI Eksklusif enam bulan pertama untuk pemberian makan bayi dan anak kecil yang optimal disamping pemberian ASI pada umur satu jam pertama dan juga pengenalan makanan pelengkap yang cukup bergizi serta aman bagi bayi pada usia enam bulan bersama dengan kelanjutan ASI sampai umur dua tahun (WHO, 2010).Pemberian ASI eksklusif dapat mempengaruhi kejadian ISPA. Bayi yang diberi ASI eksklusif lebih jarang terkena sakit dibandingkan bayi yang tidak diberi ASI eksklusif sampai usia 6 bulan (Hardjito, 2011). Menurut penelitian Horta et al (2007) menunjukkan bahwa dari 51 responden yang memberikan ASI eksklusif sebanyak 16 responden, yang pernah mengalami sakit 3 kali dalam 6 bulan sebanyak 10 responden dan yang mengalami sakit lebih dari 3 kali dalam 6 bulan sebanyak 6 responden. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa semakin lama anak mendapatkan ASI, maka semakin kuat sistem imun tubuhnya. Peningkatan sistem imunitas pada bayi dapat dilihat dari frekuensi bayi yang mengalami sakit. Bayi yang sering mengalami sakit dapat diketahui pada saat bayi lahir sampai 6 bulan apakah diberikan ASI atau tidak. Hal ini dikarenakan ASI mengandung berbagai jenis antibodi yang melindungi si kecil dari serangan kuman penyebab infeksi. Antibodi tersebut mulai dari Immunoglobulin A (IgA), IgG, IgM, IgD dan IgE.

2) Status giziStatus gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di dalam tubuh. Status gizi dibagi menjadi tiga kategori, yaitu status gizi kurang, gizi normal, dan gizi lebih (Almatsier, 2005).

Interaksi antara infeksi dan Kekurangan Kalori Protein (KKP) telah lama dikenal, kedua keadaan ini sinergistik, saling mempengaruhi, yang satu merupakan predisposisi yang lainnya. Pada KKP, ketahanan tubuh menurun dan virulensi pathogen lebih kuat sehingga menyebabkan keseimbangan yang terganggu dan akan terjadi infeksi, sedangkan salah satu determinan utama dalam mempertahankan keseimbangan tersebut adalah status gizi anak (Hidayat, 2009).Masalah gizi dalam penelitian Anwar dan Riyadi (2009) menunjukkan bahwa anak Baduy menghadapi masalah gizi kronis dan juga akut. Tidak hanya itu, anak-anak Baduy Luar ini juga mengalami masalah gizi ganda (double-burden). Hasil penelitian menunjukkan anak Baduy rata-rata mempunyai Z-score BB/U -1.18 dan TB/U -1.65. Penelitian ini menyebutkan bahwa terjadinya masalah gizi tidak hanya disebabkan oleh asupan gizi yang kurang, tetapi juga dipengaruhi oleh penyakit infeksi. Anak yang mendapatkan makanan yang cukup, tetapi sering diserang diare, atau penyakit ISPA dan demam, akhirnya dapat juga menderita kurang gizi. Pada anak yang mendapatkan makanan yang tidak cukup, maka daya tahan tubuhnya melemah. Dalam keadaan demikian anak tersebut mudah diserang penyakit infeksi yang dapat mengurangi nafsu makannya dan menyebabkan kurang gizi.c. Environment (lingkungan)Faktor di luar penderita yang akan mempengaruhi keberadaan host yang terdiri dari lingkungan biologis, fisik dan sosial. Dalam penelitian ini yang berperan sebagai faktor lingkungan meliputi :

1) Ventilasi

Ventilasi merupakan proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Terdapat dua macam ventilasi yaitu ventilasi alamiah dimana aliran udara di dalam ruangan terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang-lubang pada dinding dan ventilasi buatan dimana mempergunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan udara, contohnya kipas angin, mesin penghisap debu (Notoarmodjo, 2003).

Penularan penyakit saluran pernafasan lebih besar terjadi karena jumlah/konsentrasi kuman lebih banyak pada udara yang tidak tertukar. Adapun rumah yang memiliki ventilasi yang jelek akan menyebabkan terganggu pertukaran udara dari dalam dan luar rumah dan dapat menyebabkan terjadinya 3 faktor yaitu: kekurangan oksigen dalam udara, bertambahnya konsentrasi CO2 dan adanya bahan-bahan racun organik yang ikut terhirup. Di samping itu ruangan dengan ventilasi yang tidak baik yang sudah dihuni oleh manusia akan mengalami kenaikan kelembaban yang disebabkan oleh penguapan cairan tubuh dari kulit atau karena uap pernafasan jika udara terlalu banyak mengandung uap air, maka udara basah yang dihirup berlebihan akan mengganggu fungsi paru-paru/pernafasan (Soemirat S.J, 2000).Menurut hasil penelitian Dewi (2012) menunjukkan bahwa ada hubungan antara luas ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang. Dengan nilai OR>1 menunjukkan bahwa hubungan antara luas ventilasi merupakan faktor resiko penyebab penyakit. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa balita yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat 2 SD

(Kemenkes RI, 2010)

6.ASI EksklusifPemberian air susu ibu (ASI) dari ibu terhadap anaknya umur 0-6 bulan secara kontinyu tanpa diberikan makanan tambahan apapun

Wawancara dengan kuesioner

Data Primera. Tidak

b. Ya

Ordinal

7.Jenis Atap RumahHasil observasi

terhadap jenis bahan

yang digunakan sebagai atap rumahObservasi dengan cheklistData primer

a. Tidak memenuhi syarat, apabila tidak terbuat dari asbes.

b. Memenuhi syarat, apabila terbuat dari bukan asbes.

(PMK RI No. 1077 Tahun 2011)

Ordinal

8.VentilasiHasil observasi dan perhitungan luas ventilasi terhadap luas lantaiObservasi dengan cheklistData primer

a. Tidak memenuhi syarat (luasnya < 10% luas lantai)

b. Memenuhi syarat luasnya 10% luas lantai)

(PMK RI No. 1077 Tahun 2011)

Ordinal

9.Tingkat Kepadatan hunianHasil perhitungan

terhadap luas lantai

dengan jumlah penghuniObservasi dengan cheklistData primer

a. Tidak memenuhi syarat, apabila luas kamar tidur