Patofisiologi Sn Elbert Word 97-03k
-
Upload
nyoman-arya-adi-wangsa -
Category
Documents
-
view
220 -
download
4
description
Transcript of Patofisiologi Sn Elbert Word 97-03k
PATOFISIOLOGI
SINDROM NEFROTIK
Penulis :
Elbert Wiradarma
030.10.091
Pembimbing :
dr. Mas Wishnuwardhana, Sp.A
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA BEKASI
PERIODE 10 AGUSTUS – 17 OKTOBER 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
DEFINISI
Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik penyakit glomerular yang ditandai dengan 4
gejala sebagai berikut : proteinuria masif (> 40 mg/ m2 LPB/ jam atau dipstik ≥ 2+),
hipoalbuminemia (< 2.5 g/ dL), edema, dan hiperkolesterolemia/ hiperlipidemia (> 200 mg/ dL).
Kadang-kadang disertai hematuria, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal.
PATOFISIOLOGI
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama terjadinya sindrom nefrotik, namun
penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan
adalah hilangnya muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler
glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin
yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia
merupakan akibat utama dari proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar
albumin serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan konsekuensi terjadi
ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid plasma intravaskuler. Keadaan
ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke
ruang interstitial yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi
efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium di renal. Retensi natrium dan air ini
timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler
tetap normal. Retensi cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan
demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi
cairan ke ruang interstitial.
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang memicu aktivitas sistem
renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), hormon katekolamin serta ADH (anti diuretik hormon)
dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat dan
kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori underfill. Dalam teori ini dijelaskan
bahwa peningkatan kadar renin plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia.
Tetapi ternyata tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut.
Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma dan
penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbullah konsep baru yang
disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme
intrarenal primer dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal
primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema
terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat
menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah
sebagai akibat hipervolemia.
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses yang dinamik dan mungkin
saja kedua proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu berlainan pada
individu yang sama, karena patogenesis penyakit glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi
rangsangan yang lebih dari satu. Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik disertai
pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya α-glikoprotein sebagai
perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun
dengan pemberian infus albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal. Pada status
nefrosis, hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat.
Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL (low density lipoprotein),
lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan
peningkatan VLDL ( very low density lipoprotein).
Mekanisme hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan
lipoprotein hati, dan menurunnya katabolisme. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan
peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan sintesis hati dan gangguan
konversi VLDL dan IDL menjadi LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya
aktivitas enzim LPL ( lipoprotein lipase) diduga merupakan penyebab berkurangnya
katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik
plasma atau viskositas yang menurun. Sedangkan kadar HDL turun diduga akibat berkurangnya
aktivitas enzim LCAT ( lecithin cholesterol acyltransferase ) yang berfungsi sebagai katalisasi
pembentukan HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati
untuk katabolisme. Penurunan aktivitas LCAT diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang
terjadi pada SN.
Gambar 1. Skema patofisiologi sindrom nefrotik
DIAGNOSIS
Sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 gejala klinik yang khas, yaitu :
1. Proteinuria masif atau proteinuria nefrotik
Keadaan dimana dalam urin terdapat protein ≥ 40 mg/m2 LBP/jam atau > 50 mg/kgBB/ 24 jam,
atau rasio albumin/ kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg, atau dipstik ≥2+. Proteinuria pada
sindrom nefrotik kelainan minimal relatif selektif, yang terbentuk terutama oleh albumin.
2. Hipoalbuminemia
Albumin serum < 2,5 g/dl. Harga normal kadar albumin plasma pada anak dengan gizi baik
berkisar antara 3.6-4.4 g/dl. Pada sindrom nefrotik retensi cairan dan sembab baru akan terlihat
apabila kadar albumin plasma turun dibawah 2.5-3.0 g/dl, bahkan sering dijumpai kadar
albumin plasma yang jauh dibawah kadar tersebut.
3. Edema
4. Hiperkolesterolemia/ hiperlipidemia
Pasien sindrom nefrotik idiopatik mengalami hiperkolesterolemia (kolesterol serum lebih dari
200 mg/dl).
KLINIS
Gejala klinis pada sindrom nefrotik :
Edema palpebra atau pretibia. Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema
skrotum/ labia mayora dan perut.
Kadang-kadang disertai oliguria (buang air kemih berkurang), dapat disertai BAK berwarna
kemerahan dan gejala infeksi, nafsu makan berkurang, serta diare.
Bila disertai sakit perut hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya peritonitis.
Pada pemeriksaan fisik harus disertai pemeriksaan berat badan, tinggi badan, lingkar perut,
dan tekanan darah.
Dalam laporan ISKDC (International study of kidney diseases in children), pada sindrom
nefrotik kelainan minimal (SNKM) ditemukan 22% dengan hematuria mikroskopik, 15-
20% disertai hipertensi, dan 32% dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah
yang bersifat sementara.
PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:
Urinalisis dan bila perlu biakan urin
Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
pertama pagi hari
Pemeriksaan darah
o Darah tepi lengkap (Hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit, hematokrit,
LED)
o Kadar albumin dan kolesterol plasma
o Kadar ureum, kreatinin,serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan rumus
Schwarzt
o Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik pemeriksaan
ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear antibody), dan anti ds-DNA
PENGELOLAAN
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan
pengobatan non-spesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema dan mengobati
komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol
edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat dikombinasi dengan tiazid,
metalazon dan atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan
mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0.8-1.0 g/kg
BB/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi angiotensin
(angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II
receptor antagonists) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek
aditif dalam menurunkan proteinuria.
Risiko tromboemboli pada SN meningkat dan perlu mendapat penanganan. Walaupun
pemberian antikoagulan jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu studi terbukti
memberikan keuntungan. Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan meningkatkan risiko
penyakit kardiovaskular, tetapi bukti klinik dalam populasi menyokong pendapat perlunya
mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan
lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliseride dan meningkatkan kolesterol HDL.
Terapi non-medikamentosa :
Istirahat sampai edema berkurang (pembatasan aktivitas)
Restriksi protein dengan diet protein 0,8 g/kgBB ideal/hari + ekskresi protein dalam
urin/24jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga 0,6 g/kgBB
ideal/hari + ekskresi protein dalam urin/24 jam.
Pembatasan garam atau asupan natrium sampai 1 – 2 gram/hari. Menggunakan garam
secukupnya dalam makanan dan menghidari makanan yang diasinkan.
Diet rendah kolestrol < 600 mg/hari
Pembatasan asupan cairan terutama pada penderita rawat inap ± 900 sampai 1200 ml/ hari.
Terapi medikamentosa :
Pemberian albumin i.v. secara bertahap yang disesuaikan dengan kondisi pasien hingga
kadar albumin darah normal kembali dan edema berkurang seiring meningkatnya kembali
tekanan osmotik plasma.
Diuretik: diberikan pada pasien yang tidak ada perbaikan edema pada pembatasan garam,
sebaiknya diberikan tiazid dengan dikombinasi obat penahan kalsium seperti spirinolakton,
atau triamteren tapi jika tidak ada respon dapat diberikan: furosemid, asam etakrin, atau
butematid. Selama pengobatan pasien harus dipantau untuk deteksi kemungkinan
komplikasi seperti hipokalemia, alkalosis metabolik, atau kehilangan cairan intravaskuler
berat. Perlu diperhatikan bahwa pemberian diuretikum harus memperhatikan kadar
albumin dalam darah, apabila kadar albumin kurang dari 2 gram/l darah, maka penggunaan
diuretikum tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan syok hipovolemik. Volume dan
warna urin serta muntahan bila ada harus dipantau secara berkala.
Pemberian ACE-inhibitors misalnya captopril atau lisinopril untuk menurunkan
pembuangan protein dalam air kemih dan menurunkan konsentrasi lemak dalam darah.
Tetapi pada penderita yang memiliki kelainan fungsi ginjal yang ringan sampai berat, obat
tersebut dapat meningkatkan kadar kalium darah sehingga tidak dianjurkan bagi penderita
dengan gangguan fungsi ginjal.
Kortikosteroid: prednison 1 - 1.5 mg/kg/hari po 6 - 8 minggu pada dewasa. Pada pasien
yang tidak respon dengan prednisone, mengalami relap dan pasien yang ketergantungan
dengan kortikosteroid, remisi dapat diperpanjang dengan pemberian cyclophosphamide 2 -
3 mg/kg/hari selama 8-12 minggu atau chlorambucil 0.15 mg/kg/hari 8 minggu. Obat-obat
tersebut harus diperhatikan selama pemberian karena dapat menekan hormon gonadal
(terutama pada remaja prepubertas), dapat terjadi sistitis hemorrhagik dan menekan
produksi sel sumsum tulang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonym. Cyclophosphamide untuk sindroma nefrotik [artikel]. Website: Indonesia
Kidney Care Club. [cited 2015, June 29]. Available:
http://www.ikcc.or.id/content.php?c=2&id=170.
2. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. 4th
ed. Jakarta: IPD FKUI. 2007. Hal: 547-9.
3. Carta A. Gunawan. Sindrom Nefrotik: Patogenesis dan Penatalaksanaan. Cermin
Dunia Kedokteran No. 150, 2006 53. [cited 2015, June 29]. Available:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/18_150_SindromaNefrotikPatogenesis.pdf/
18_150_Sin dromaNefrotikPatogenesis.html.
4. A. Aziz Rani, Soegondo S. Mansjoer A. et all. Sindrom Nefrotik. Panduan Pelayanan
Medik PAPDI. 3rd ed. Jakarta : PB. PABDI. 2009.
5. Hull PR. Goldsmith DJ. Nephrotic syndrome in Adult [clinical review]. 2008:
vol.336.Website: BMJ. [cited 2015 June, 29]
6. Price, Braunwald, Kasper, et all. Nephrotic Syndrome. Harrison’s Manual Of
Medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill. 2008. Page: 803-6.