Panduan Pelayanan Kasus Emergensi

34
5/19/2018 PanduanPelayananKasusEmergensi-slidepdf.com http://slidepdf.com/reader/full/panduan-pelayanan-kasus-emergensi 1/34 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang  Pelayanan gawat darurat merupakan bentuk pelayanan yang bertujuan untuk menyelamatkan kehidupan penderita, mencegah kerusakan sebelum tindakan/tenaga kesehatanan selanjutnya dan menyembuhkan penderita pada kondisi yang berguna bagi kehidupan. Karena sifat pelayanan gawat daruarat yang cepat dan tepat, maka sering dimanfaatkan untuk memperoleh pelayanan pertolongan pertama dan bahkan pelayanan rawat jalan bagi penderita dan keluarga yang menginginkan pelayanan secara cepat. Oleh karena itu diperlukan tenaga kesehatan yang mempunyai kemampuan yang bagus dalam mengaplikasikan asuhan pengkajian gawat darurat untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan baik aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak atau tidak di perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat dikendalikan.  Asuhan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek pengkajian gawat darurat yang diberikan kepada klien oleh tenaga kesehatan yang berkompeten di ruang gawat darurat. Asuhan pengkajianyang diberikan meliputi biologis, psikologis, dan sosial klien baik aktual yang timbul secara bertahap maupun mendadak, maupun resiko tinggi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi asuhan pengkajian gawat darurat, yaitu : kondisi kegawatan seringkali tidak terprediksi baik kondisi klien maupun jumlah klien yang datang ke ruang gawat darurat, keterbatasan sumber daya dan waktu, adanya saling ketergantungan yang sangat tinggi diantara profesi kesehatan yang bekerja di ruang gawat darurat, pengkajian diberikan untuk semua usia dan sering dengan data dasar yang sangat mendasar, tindakan yang diberikan harus cepat dan dengan ketepatan yang tinggi !aryuani, "##$%.  !engingat sangat pentingnya pengumpulan data atau informasi yang mendasar pada kasus gawat darurat, maka setiap tenaga kesehatan gawat darurat harus berkompeten dalam melakukan pengkajian gawat darurat. Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam melakukan pengkajian awal yang akan menentukan bentuk pertolongan yang akan diberikan kepada pasien. &emakin cepat pasien ditemukan maka semakin cepat pula dapat dilakukan pengkajian awal sehingga pasien tersebut dapat segera mendapat pertolongan sehingga terhindar dari kecacatan atau kematian.  Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu : pengkajian primer dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan sur'ei primer untuk mengidentifikasi masalah(masalah yang mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan sur'ei sekunder. )ahapan pengkajian primer meliputi : A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga  jalan nafas disertai kontrol ser'ikal* +: +reathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat* : irculation, mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan* -: -isability, mengecek status neurologis* : posure, en'iromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia 0older, "##"%. 1

description

panduan mergensi di IGD

Transcript of Panduan Pelayanan Kasus Emergensi

Pengkajian Gawat Darurat pada Pasien Dewasa

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelayanan gawat darurat merupakan bentuk pelayanan yang bertujuan untuk menyelamatkan kehidupan penderita, mencegah kerusakan sebelum tindakan/tenaga kesehatanan selanjutnya dan menyembuhkan penderita pada kondisi yang berguna bagi kehidupan. Karena sifat pelayanan gawat daruarat yang cepat dan tepat, maka sering dimanfaatkan untuk memperoleh pelayanan pertolongan pertama dan bahkan pelayanan rawat jalan bagi penderita dan keluarga yang menginginkan pelayanan secara cepat. Oleh karena itu diperlukan tenaga kesehatan yang mempunyai kemampuan yang bagus dalam mengaplikasikan asuhan pengkajian gawat darurat untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan baik aktual atau potensial mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak atau tidak di perkirakan tanpa atau disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat dikendalikan. Asuhan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek pengkajian gawat darurat yang diberikan kepada klien oleh tenaga kesehatan yang berkompeten di ruang gawat darurat. Asuhan pengkajianyang diberikan meliputi biologis, psikologis, dan sosial klien baik aktual yang timbul secara bertahap maupun mendadak, maupun resiko tinggi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi asuhan pengkajian gawat darurat, yaitu : kondisi kegawatan seringkali tidak terprediksi baik kondisi klien maupun jumlah klien yang datang ke ruang gawat darurat, keterbatasan sumber daya dan waktu, adanya saling ketergantungan yang sangat tinggi diantara profesi kesehatan yang bekerja di ruang gawat darurat, pengkajian diberikan untuk semua usia dan sering dengan data dasar yang sangat mendasar, tindakan yang diberikan harus cepat dan dengan ketepatan yang tinggi (Maryuani, 2009). Mengingat sangat pentingnya pengumpulan data atau informasi yang mendasar pada kasus gawat darurat, maka setiap tenaga kesehatan gawat darurat harus berkompeten dalam melakukan pengkajian gawat darurat. Keberhasilan pertolongan terhadap penderita gawat darurat sangat tergantung dari kecepatan dan ketepatan dalam melakukan pengkajian awal yang akan menentukan bentuk pertolongan yang akan diberikan kepada pasien. Semakin cepat pasien ditemukan maka semakin cepat pula dapat dilakukan pengkajian awal sehingga pasien tersebut dapat segera mendapat pertolongan sehingga terhindar dari kecacatan atau kematian.

Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu : pengkajian primer dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan pengkajian primer meliputi : A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai kontrol servikal; B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat; C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan; D: Disability, mengecek status neurologis; E: Exposure, enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia (Holder, 2002).

Pengkajian primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam nyawa pasien. Pengkajian primer dilakukan secara sekuensial sesuai dengan prioritas. Tetapi dalam prakteknya dilakukan secara bersamaan dalam tempo waktu yang singkat (kurang dari 10 detik) difokuskan pada Airway Breathing Circulation (ABC). Karena kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat darurat sehingga memerlukan pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih dari 10 menit akan menyebabkan kematian. Oleh karena itu pengkajian primer pada penderita gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien (Mancini, 2011).

BAB II

TINJAUAN TEORI

Tenaga kesehatanan pada pasien yang mengalami injuri oleh tim trauma agak berbeda dengan pengobatan secara tradisional, di mana penegakan diagnosa, pengkajian dan manajemen penatalaksanaan sering terjadi secara bersamaan dan dilakukan oleh dokter yang lebih dari satu. Seorang leader tim harus langsung memberikan pengarahan secara keseluruhan mengenai penatalaksanaan terhadap pasien yang mengalami injuri, yang meliputi (Fulde, 2009) :

1. Primary survey

2. Resuscitation

3. History

4. Secondary survey

5. Definitive care

A. Primary SurveyPrimary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :

1. Airway maintenance dengan cervical spine protection2. Breathing dan oxygenation3. Circulation dan kontrol perdarahan eksternal

4. Disability-pemeriksaan neurologis singkat

5. Exposure dengan kontrol lingkungan

Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk tenaga kesehatanan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).

Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert., DSouza., & Pletz, 2009) :

a) General Impressions

1. Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.2. Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera3. Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)b) Pengkajian AirwayTindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).

Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :

1. Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas dengan bebas?

2. Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:

a. Adanya snoring atau gurglingb. Stridor atau suara napas tidak normal

c. Agitasi (hipoksia)

d. Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movementse. Sianosis

3. Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan potensial penyebab obstruksi :

a. Muntahan

b. Perdarahan

c. Gigi lepas atau hilang

d. Gigi palsu

e. Trauma wajah

4. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.

5. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.

6. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi :

a. Chin lift/jaw thrustb. Lakukan suction (jika tersedia)

c. Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airwayd. Lakukan intubasi

c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).

Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :

1. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.

a. Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.b. Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.

c. Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.

2. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.

3. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.

4. Penilaian kembali status mental pasien.

5. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan

6. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:

a. Pemberian terapi oksigen

b. Bag-Valve Masker

c. Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang benar), jika diindikasikan

d. Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures7. Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi sesuai kebutuhan.

d) Pengkajian CirculationShock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000)..Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :

a. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.

b. CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.

c. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian penekanan secara langsung.

d. Palpasi nadi radial jika diperlukan:

1. Menentukan ada atau tidaknya

2. Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)

3. Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)

4. Regularity

e. Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary refill).

f. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi

e) Pengkajian Level of Consciousness dan DisabilitiesPada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :

1. A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang

diberikan

2. V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa

3. dimengerti

4. P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas

5. awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)

6. U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri

maupun stimulus verbal.

f) Expose, Examine dan Evaluate Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).

Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:

1. Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien

2. Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis.

(Gilbert., DSouza., & Pletz, 2009)

Alur Primary Survey pada Pasien Medical Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care Council, 2012).

Alur Primary Survey pada Pasien Trauma Dewasa (Pre-Hospital Emergency Care Council, 2012).

B. Secondary AssessmentSurvey sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik. 1. Anamnesis

Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:

a. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.

b. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.

c. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.

Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):

A: Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)

M: Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani

pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obatP: Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah

diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)

L: Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa

jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam komponen ini)

E: Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang

menyebabkan adanya keluhan utama)

Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan kondisi pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat digunakan beberapa pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing Association, 2007):

a. C. have you ever felt should Cut down your drinking?

b. A. have people Annoyed you by criticizing your drinking?

c. G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?

d. E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver or get rid of a hangover (Eye-opener)

Jawaban Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan dengan masalah konsumsi alkohol.

Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan dalam proses pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : dalam setahun terakhir ini seberapa sering pasanganmu (Emergency Nursing Association, 2007):

a. Hurt you physically?

b. Insulted or talked down to you?

c. Threathened you with physical harm?

d. Screamed or cursed you?Akronim PQRST ini digunakan untuk mengkaji keluhan nyeri pada pasien yang meliputi :

a. Provokes/palliates : apa yang menyebabkan nyeri? Apa yang membuat nyerinya lebih baik? apa yang menyebabkan nyerinya lebih buruk? apa yang anda lakukan saat nyeri? apakah rasa nyeri itu membuat anda terbangun saat tidur?b. Quality : bisakah anda menggambarkan rasa nyerinya?apakah seperti diiris, tajam, ditekan, ditusuk tusuk, rasa terbakar, kram, kolik, diremas? (biarkan pasien mengatakan dengan kata-katanya sendiri.c. Radiates: apakah nyerinya menyebar? Menyebar kemana? Apakah nyeri terlokalisasi di satu titik atau bergerak?d. Severity : seberapa parah nyerinya? Dari rentang skala 0-10 dengan 0 tidak ada nyeri dan 10 adalah nyeri hebate. Time : kapan nyeri itu timbul?, apakah onsetnya cepat atau lambat? Berapa lama nyeri itu timbul? Apakah terus menerus atau hilang timbul?apakah pernah merasakan nyeri ini sebelumnya?apakah nyerinya sama dengan nyeri sebelumnya atau berbeda?Setelah dilakukan anamnesis, maka langkah berikutnya adalah pemeriksaan tanda-tanda vital. Tanda tanda vital meliputi suhu, nadi, frekuensi nafas, saturasi oksigen, tekanan darah, berat badan, dan skala nyeri.Berikut ini adalah ringkasan tanda-tanda vital untuk pasien dewasa menurut Emergency Nurses Association,(2007).

Komponen Nilai normalKeterangan

Suhu36,5-37,5Dapat di ukur melalui oral, aksila, dan rectal. Untuk mengukur suhu inti menggunakan kateter arteri pulmonal, kateter urin, esophageal probe, atau monitor tekanan intracranial dengan pengukur suhu. Suhu dipengaruhi oleh aktivitas, pengaruh lingkungan, kondisi penyakit, infeksi dan injury.

Nadi 60-100x/menitDalam pemeriksaan nadi perlu dievaluais irama jantung, frekuensi, kualitas dan kesamaan.

Respirasi 12-20x/menitEvaluasi dari repirasi meliputi frekuensi, auskultasi suara nafas, dan inspeksi dari usaha bernafas. Tada dari peningkatan usah abernafas adalah adanya pernafasan cuping hidung, retraksi interkostal, tidak mampu mengucapkan 1 kalimat penuh.

Saturasi oksigen>95%Saturasi oksigen di monitor melalui oksimetri nadi, dan hal ini penting bagi pasien dengan gangguan respirasi, penurunan kesadaran, penyakit serius dan tanda vital yang abnormal. Pengukurna dapat dilakukan di jari tangan atau kaki.

Tekanan darah 120/80mmHgTekana darah mewakili dari gambaran kontraktilitas jantung, frekuensi jantung, volume sirkulasi, dan tahanan vaskuler perifer. Tekanan sistolik menunjukkan cardiac output, seberapa besar dan seberapa kuat darah itu dipompakan. Tekanan diastolic menunjukkan fungsi tahanan vaskuler perifer.

Berat badan Berat badan penting diketahui di UGD karena berhubungan dengan keakuratan dosis atau ukuran. Misalnya dalam pemberian antikoagulan, vasopressor, dan medikasi lain yang tergantung dengan berat badan.

2. Pemeriksaan fisik

a. Kulit kepala

Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang dengan cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang kepala penderita. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi, laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta adanya sakit kepala (Delp & Manning. 2004).

b. Wajah

Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri. Apabila terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS.

1) Mata

: periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah isokor atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies visus dan acies campus), apakah konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis, exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia2) Hidung

:periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.

3) Telinga :periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunanatau hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum4) Rahang atas

: periksa stabilitas rahang atas

5) Rahang bawah: periksa akan adanya fraktur6) Mulut dan faring: inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/ tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil meradang atau tidak (tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri c. Vertebra servikalis dan leher

Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi, edema, ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan) dan suara serak harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder.d. Toraks

Inspeksi: Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang

untuk adanya trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan irama denyut jantung, (lombardo, 2005)Palpasi: seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul,

emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.

Perkusi: untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan

Auskultasi: suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi jantung (murmur, gallop, friction rub)e. Abdomen

Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan adanya perdarahan internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam, massa, denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya perdarahan intra abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal lavage, ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).

f. Pelvis (perineum/rectum/vagina)

Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk mengontrol perdarahan dari fraktur pelvis (Tim YAGD 118, 2010).

Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi, edema, atau kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh memegang 20 sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit dikenali, jika pasien hamil, denyut jantung janin (pertama kali mendengar dengan Doppler ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang rasa sakit atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing berkurang, Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

g. Ektremitas

Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan lupa untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat pelapasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat menggerakan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah), mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD 118, 2010). Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi harus diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari periksa adanya clubbing finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik.

Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan berat pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament dapat menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal dapat dikenal pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain mungkin menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak lengkap bila belum dilakukan pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan yang muncul adalah

1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi syok yang dpat berakibat fatal

2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam keadaan tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah kelainan ini dikenali.

3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah penderita mulai sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

h. Bagian punggung

Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka, hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada kolumna vertebra periksa adanya deformitas.i. Neurologis

Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik. Peubahan dalam status neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short atau long spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese, hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia ( kesukaran dalam mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan respon sensori

C. Focused Assessment

Focused assessment atau pengakajian terfokus adalah tahap pengkajian pada area pengkajiangawat darurat yang dilakukan setelah primary survey, secondary survey, anamnesis riwayat pasien (pemeriksaan subyektif) dan pemeriksaan obyektif (Head to toe). Di beberapa negara bagian Australia mengembangkan focused assessment ini dalam pelayanan di Emergency Department, tetapi di beberapa Negara seperti USA dan beberapa Negara Eropa tidak menggunakan istilah Focused Assessment tetapi dengan istilah Definitive Assessment (Okeefe et.al, 1998).

Focused assessment untuk melengkapi data secondary assessment bisa dilakukan sesuai masalah yang ditemukan atau tempat dimana injury ditemukan. Yang paling banyak dilakukan dalam tahap ini adalah beberapa pemeriksaan penunjang diagnostik atau bahkan dilakukan pemeriksaan ulangan dengan tujuan segera dapat dilakukan tindakan definitif.

D. Reassessment

Beberapa komponen yang perlu untuk dilakukan pengkajian kembali (reassessment) yang penting untuk melengkapi primary survey pada pasien di gawat darurat adalah :

KomponenPertimbangan

Airway

Pastikan bahwa peralatan airway : Oro Pharyngeal Airway, Laryngeal Mask Airway , maupun Endotracheal Tube (salah satu dari peralatan airway) tetap efektif untuk menjamin kelancaran jalan napas. Pertimbangkan penggunaaan peralatan dengan manfaat yang optimal dengan risiko yang minimal.

Breathing

Pastikan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan pasien :

Pemeriksaan definitive rongga dada dengan rontgen foto thoraks, untuk meyakinkan ada tidaknya masalah seperti Tension pneumothoraks, hematotoraks atau trauma thoraks yang lain yang bisa mengakibatkan oksigenasi tidak adekuat

Penggunaan ventilator mekanik

CirculationPastikan bahwa dukungan sirkulasi menjamin perfusi jaringan khususnya organ vital tetap terjaga, hemodinamik tetap termonitor serta menjamin tidak terjadi over hidrasi pada saat penanganan resusitasicairan.

Pemasangan cateter vena central

Pemeriksaan analisa gas darah

Balance cairan

Pemasangan kateter urin

DisabilitySetelah pemeriksaan GCS pada primary survey, perlu didukung dengan :

Pemeriksaan spesifik neurologic yang lain seperti reflex patologis, deficit neurologi, pemeriksaan persepsi sensori dan pemeriksaan yang lainnya.

CT scan kepala, atau MRI

Exposure

Konfirmasi hasil data primary survey dengan

Rontgen foto pada daerah yang mungkin dicurigai trauma atau fraktur

USG abdomen atau pelvis

E. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan hemodinamika penderita dalam keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Dalam melakukan secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik seperti :

1) Endoskopi

Pemeriksaan penunjang endoskopi bisa dilakukan pada pasien dengan perdarahan dalam. Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi kita bisa mngethaui perdarahan yang terjadi organ dalam. Pemeriksaan endoskopi dapat mendeteksi lebih dari 95% pasien dengan hemetemesis, melena atau hematemesis melena dapat ditentukan lokasi perdarahan dan penyebab perdarahannya. Lokasi dan sumber perdarahan yaitu:

a. Esofagus:Varises,erosi,ulkus,tumor

b. Gaster

:Erosi, ulkus, tumor, polip, angio displasia, Dilafeuy, varises

gastropati kongestif

c. Duodenum :Ulkus, erosi,

Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur varises dan perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding dan non variceal bleeding) (Djumhana, 2011).

2) Bronkoskopi

Bronkoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk melihat keadaan intra bronkus dengan menggunakan alat bronkoskop. Prosedur diagnostik dengan bronkoskop ini dapat menilai lebih baik pada mukosa saluran napas normal, hiperemis atau lesi infiltrat yang memperlihatkan mukosa yang compang-camping. Teknik ini juga dapat menilai penyempitan atau obstruksi akibat kompresi dari luar atau massa intrabronkial, tumor intra bronkus. Prosedur ini juga dapat menilai ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening, yaitu dengan menilai karina yang terlihat tumpul akibat pembesaran kelenjar getah bening subkarina atau intra bronkus (Parhusip, 2004).

3) CT Scan

CT-scan merupakan alat pencitraan yang di pakai pada kasus-kasus emergensi seperti emboli paru, diseksi aorta, akut abdomen, semua jenis trauma dan menentukan tingkatan dalam stroke. Pada kasus stroke, CT-scan dapat menentukan dan memisahkan antara jaringan otak yang infark dan daerah penumbra. Selain itu, alat ini bagus juga untuk menilai kalsifikasi jaringan. Berdasarkan beberapa studi terakhir, CT-scan dapat mendeteksi lebih dari 90 % kasus stroke iskemik, dan menjadi baku emas dalam diagnosis stroke (Widjaya, 2002). Pemeriksaaan CT. scan juga dapat mendeteksi kelainan-kelainan seerti perdarahan diotak, tumor otak, kelainan-kelainan tulang dan kelainan dirongga dada dan rongga perur dan khususnya kelainan pembuluh darah, jantung (koroner), dan pembuluh darah umumnya (seperti penyempitan darah dan ginjal (ishak, 2012).4) USG

Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik non invasif menggunakan gelombang suara dengan frekuensi tinggi diatas 20.000 hertz ( >20 kilohertz) untuk menghasilkan gambaran struktur organ di dalam tubuh.Manusia dapat mendengar gelombang suara 20-20.000 hertz .Gelombang suara antara 2,5 sampai dengan 14 kilohertz digunakan untuk diagnostik. Gelombang suara dikirim melalui suatu alat yang disebut transducer atau probe. Obyek didalam tubuh akan memantulkan kembali gelombang suara yang kemudian akan ditangkap oleh suatu sensor, gelombang pantul tersebut akan direkam, dianalisis dan ditayangkan di layar. Daerah yang tercakup tergantung dari rancangan alatnya. Ultrasonografi yang terbaru dapat menayangkan suatu obyek dengan gambaran tiga dimensi, empat dimensi dan berwarna. USG bisa dilakukan pada abdomen, thorak (Lyandra, Antariksa, Syaharudin, 2011) 5) Radiologi Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dilakukan di ruang gawat darurat. Radiologi merupakan bagian dari spectrum elektromagnetik yang dipancarkan akibat pengeboman anoda wolfram oleh electron-elektron bebas dari suatu katoda. Film polos dihasilkan oleh pergerakan electron-elektron tersebut melintasi pasien dan menampilkan film radiologi. Tulang dapat menyerap sebagian besar radiasi menyebabkan pajanan pada film paling sedikit, sehingga film yang dihasilkan tampak berwarna putih. Udara paling sedikit menyerap radiasi, meyebabakan pejanan pada film maksimal sehingga film nampak berwarna hitam. Diantara kedua keadaan ekstrem ini, penyerapan jaringan sangat berbeda-beda menghasilkan citra dalam skala abu-abu. Radiologi bermanfaat untuk dada, abdoment, sistem tulang: trauma, tulang belakang, sendi penyakit degenerative, metabolic dan metastatik (tumor). Pemeriksaan radiologi penggunaannya dalam membantu diagnosis meningkat. Sebagian kegiatan seharian di departemen radiologi adalah pemeriksaan foto toraks. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemeriksaan ini. Ini karena pemeriksaan ini relatif lebih cepat, lebih murah dan mudah dilakukan berbanding pemeriksaan lain yang lebih canggih dan akurat (Ishak, 2012). 6) MRI (Magnetic Resonance Imaging)Secara umum lebih sensitive dibandingkan CT Scan. MRI juga dapat digunakan pada kompresi spinal. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya emboli paru, udara bebas dalam peritoneum dan faktor. Kelemahan lainnya adalah prosedur pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, hanya sedikit sekali rumah sakit yang memiliki, harga pemeriksaan yang sangat mahal serta tidak dapat diapaki pada pasien yang memakai alat pacemaker jantung dan alat bantu pendengaran (Widjaya,2002).BAB III

KEGAWATDARURATAN PSIKIATRI

Kedaruratan psikiatri merupakan cabang dari Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kedokteran Kedaruratan, yang dibuat untuk menghadapi kasus kedaruratan yang memerlukan intervensi psikiatrik. Tempat pelayanan kedaruratan psikiatri antara lain di rumah sakit umum, rumah sakit jiwa, klinik dan sentra primer. Kasus kedaruratan psikiatrik meliputi gangguan pikiran, perasaan dan perilaku yang memerlukan intervensi terapeutik segera, antara lain: (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)

a. Kondisi gaduh gelisah.

b. Tindak kekerasan (violence)

c. Tentamen Suicidum/percobaan bunuh diri

d. Gejala ekstra piramidal akibat penggunaan obat

e. Delirium

Evaluasi

Menilai kondisi pasien yang sedang dalam krisis secara cepat dan tepat aadalah tujuan utama dalam melakuka evaluasi kedaruratan psikiatrik. Tindakan segera yang harus dilakukan secara tepat adalah:

a. Menentukan diagnosis awal

b. Melakukan identifikasi faktor-faktor presipitasi dan kebutuhan segera pasien

c. Memulai terapi atau merujuk pasien ke fasilitas yang sesuai

Dalam proses evaluasi, dilakukan:

1. Wawancara Kedaruratan Psikiatrik

Wawancara dilakukan lebih terstruktur, secara umum fokus wawancara ditujukan pada keluhan pasien dan alasan dibawa ke unit gawat darurat. Keterangan tambahan dari pihak pengantar, keluarga, teman atau polisi dapat melengkapi informasi, terutama pada pasien mutisme, tidak kooperatif, negativistik atau inkoheren. Hubungan dokter-pasien sangat berpengaruh terhadap informasi yang diberikan. Karenanya diperlukan kemampuan mendengar, melakukan observasi dan melakukan interpretasi terhadap apa yang dkatakan ataupun yang tidak dikatakan oleh pasien, dan ini dilakukan dalam waktu yang cepat.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan psikiatrik standar meliputi: riwayat perjalanan penyakit, pemeriksaan status mental, pemeriksaan status fisik/neurologik dan jika perlu pemeriksaan penunjang. Yang pertama dan terpenting yang harus dilakukan oeh seorang dokter di unit gawat darurat adalah menilai tanda-tanda vital pasien. Tekanan ddarah, suhu, nadi adalah sesuatu yang mudah diukur dan dapat memberikan informasi bermakna. Misalnya seorang yang gaduh gelisah dan mengalami halusinasi, demam, frekuensi nadi 120 per menit dan tekanan darah meningkat, kemungkinan besar mengalami delirium dibandingkan dengan suatu gangguan psikiatrik. Lima hal yang harus ditentukan sebelum menangani pasien selanjutnya:

a. Keamanan pasien

Sebelum mengevaluasi pasien, dokter harus dapat memastikan bahwa situasi di UGD, jumlah pasien di ruangan tersebut aman bagi pasien. Jika intervensi verbal tidak cukup atau kontraindikasi, perlu dipikirkan pemberian obat atau pengekangan.

b. Medik atau psikiatrik?

Penting bagi dokter untuk menilai apakah kasusnya medik, psikiatrik atau kombinasi keduanya, sebab penanganannya akan jauh berbeda. Kondisi medik umum seperti trauma kepala, infeksi berat dengan demam inggi, kelainan metabolisme, intoksikasi atau gejala putus zat seringkali menyebabkan gangguan fungsi mental yang menyerupai gangguan psikiatrik umumnya. Dokter gawat darurat tetap harus menelusuri semua kemungkinan penyebab gangguan fungsi mental yang tampak.

c. Psikosis

Yang penting bukanlah penegakan diagnosisnya, tetapi seberapa jauh ketidakmampuannya dalam menilai realita dan buruknya tilikan. Hal ini dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pertolongan yang kita berikan serta kepatuhannya dalam berobat.

d. Suicidal atau homicidal

Semua pasien dengan kecenderungan bunuh diri harus dobservasi secara ketat. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan tindak kekerasan atau pikiran bunuh diri harus selalu ditanyakan kepada pasien.

e. Kemampuan merawat diri sendiri

Sebelum memulangkan pasien, harus dipertimbangkan apakah pasien mampu merawat dirinya sendir, mampu menjalankan saran yang dianjurkan. Ketidakmampuan pasien dan atau keluarganya untuk merawat pasien di rumah merupakan salah asatu indikasi rawat inap.

Adapun indikasi rawat inap antara lain adalah:

a. Bila pasien membahayakan diri sendiri atau orang lain,

b. Bila perawatan di rumah tidak memadai, dan

c. Perlu observasi lebih lanjut.

Pertimbangan Dalam Penegakan Diagnosis Dan Terapi

1. Diagnosis

Meskipun pemeriksaan gawat darurat tidak harus lengkap, namun ada beberapa hal yang harus dilakukan sesegera mungkin untuk keakuratan data , misalnya penapisan toksikologi ( tes urin untuk opioid, amfetamin), pemeriksaan radiologi, EKG dan tes laboratorium. Data penunjang seperti catatan medik sebelumnya, informasi dari sumber luar juga dikumpulkan sebelum memulai tindakan.

2. Terapi

Pemberian terapi obat atau pengekangan harus mengikuti prinsip terapi Maximum tranquilization with minimum sedation. Tujuannya adalah untuk:

a. Membantu pasien untuk dapat mengendalikan dirinya kembali

b. Mengurangi/menghilangkan penderitaannya

c. Agar evaluasi dapat dilanjutkan sampai didapat suatu kesimpulan akhir

Obat-obatan yang sering digunakan adalah:

a. Low-dose High-potency antipsychotics seperti haloperidol, trifluoperazine, perphenazine dsb

b. Atypical antipsychotics, seperti risperidone, quetiapine, olanzapine.

c. Injeksi benzodiazepine. Kombinasi benzodiazepine dan antipsikotik kadang sangat efektif.

A. Keadaan Gaduh Gelisah

Keadaan gaduh gelisah bukanlah diagnosis dalam arti kata sebenarnya, tetapi hanya menunjuk pada suatu keadaan tertentu, suatu sindrom dengan sekelompok gejala tertentu. Keadaan gaduh gelisah dipakai sebagai sebutan sementara untuk suatu gambaran psikopatologis dengan ciri-ciri utama gaduh dan gelisah. (Maramis dan Maramis, 2009).Etiologi

Keadaan gaduh gelisah merupakan manifestasi klinis salah satu jenis psikosis (Maramis dan Maramis, 2009):

1. Delirium

2. Skizofrenia katatonik

3. Gangguan skizotipal

4. Gangguan psikotik akut dan sementara

5. Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala psikotik

6. Amok

1. Psikosis karena gangguan mental organik: delirium

Pasien dengan keadaan gaduh-gelisah yang berhubungan dengan sindroma otak organik akut menunjukkan kesadaran yang menurun. Sindroma ini dinamakan delirium. Istilah sindroma otak organik menunjuk kepada keadaan gangguan fungsi otak karena suatu penyakit badaniah (Maramis dan Maramis, 2009).

Penyakit badaniah ini yang menyebabkan gangguan fungsi otak itu mungkin terdapat di otak sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan patologik-anatomik (misalnya meningo-ensefalitis, gangguan pembuluh darah otak, neoplasma intracranial, dan sebagainya), atau mungkin terletak di luar otak (umpamanya tifus abdominalis, pneumonia, malaria, uremia, keracunan atropine/kecubung atau alcohol, dan sebagainya) dan hanya mengakibatkan gangguan fungsi otak dengan manifestasi sebagai psikosa atau keadaan gaduh-gelisah, tetapi tidak ditemukan kelainan patologik-anatomik pada otak sendiri (Maramis dan Maramis, 2009).

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pada sindrom otak organik akut biasanya terdapat kesadaran menurun sedangkan pada sindrom otak organik menahun biasanya terdapat dementia. Akan tetapi suatu sindrom otak organik menahun (misalnya tumor otak, demensia paralitika, aterosklerosis otak, dan sebagainya) dapat saja pada suatu waktu menimbulkan psikosis atau pun keadaan gaduh gelisah. Untuk mengetahui penyebabnya secara lebih tepat, perlu sekali dilakukan evaluasi internal dan neurologis yang teliti (Maramis dan Maramis, 2009).

2. Skizofrenia dan gangguan skizotipal

Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu merupakan manifestasi suatu psikosis dari kelompok ini, yaitu psikosis yang tidak berhubungan atau sampai sekarang belum diketahui dengan pasti adanya hubungan dengan suatu penyakit badaniah seperti pada gangguan mental organik.

Skizofrenia merupakan psikosis yang paling sering didapat di negara kita. Secara mudah dapat dikatakan bahwa bila kesadaran tidak menurun dan terdapat inkoherensi serta afek-emosi yang inadequate, tanpa frustasi atau konflik yang jelas maka hal ini biasanya suatu skizofrenia. Diagnosa kita diperkuat bila kelihatan juga tidak ada perpaduan (disharmoni) antara berbagai aspek kepribadian seperti proses berpikir, afek-emosi, psikomotorik dan kemauan (kepribadian yang retak, terpecah-belah atau bercabang = schizo; jiwa = phren), yaitu yang satu meningkat, tetapi yang lain menurun. Pokok gangguannya terletak pada proses berpikir (Maramis dan Maramis, 2009).

Dari berbagai jenis skizofrenia, yang sering menimbulkan keadaan gaduh-gelisah ialah episode skizofrenia akut dan skizofrenia jenis gaduh-gelisah katatonik. Di samping psikomotor yang meningkat, pasien menunjukkan inkoherensi dan afek-emosi yang inadequate. Proses berpikir sama sekali tidak realistik lagi (Maramis dan Maramis, 2009).

3. Gangguan psikotik akut dan sementara

Gangguan ini timbul tidak lama sesudah terjadi stress psikologik yang dirasakan hebat sekali oleh individu. Stress ini disebabkan oleh suatu frustasi atau konflik dari dalam ataupun dari luar individu yang mendadak dan jelas, umpamanya dengan tiba-tiba kehilangan seorang yang dicintainya, kegagalan, kerugian dan bencana.Gangguan psikotik akut yang biasanya disertai keadaan gaduh-gelisah adalah gaduh-gelisah reaktif dan kebingungan reaktif (Maramis dan Maramis, 2009).4. Psikosis bipolar

Psikosisbipolar termasuk dalam kelompok psikosa afektif karena pokok gangguannya terletak pada afek-emosi. Tidak jelas ada frustasi atau konflik yang menimbulkan gangguan mental ini. Belum ditemukan juga penyakit badaniah yang dianggap berhubungan dengan psikosa bipolar, biarpun penelitian menunjuk kearah itu. Tidak ditemukan juga disharmoni atau keretakan kepribadian seperti pada skizofrenia; pada jenis depresi ataupun mania, bila aspek afek-emosinya menurun, maka aspek yang lain juga menurun, dan sebaliknya (Maramis dan Maramis, 2009).

Pada psikosa bipolar jenis mania tidak terdapat inkoherensi dalam arti kata yang sebenarnya, tetapi pasien itu memperlihatkan jalan pikiran yang meloncat-loncat atau melayang (flight of ideas). Ia merasa gembira luar biasa (efori), segala hal dianggap mudah saja. Psikomotorik meningkat, banyak sekali berbicara (logorea) dan sering ia lekas tersinggung dan marah (Maramis dan Maramis, 2009).

5. Amok

Amok adalah keadaan gaduh-gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi oleh faktor-faktor sosiobudaya. Karena itu PPDGJ-III (Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa ke-III di Indonesia) memasukkannya ke dalam kelompok Fenomena dan Sindrom yang Berkaitan dengan Faktor Sosial Budaya di Indonesia (culture bound phenomena). Efek malu (pengaruh sosibudaya) memegang peranan penting. Biasanya seorang pria, sesudah periode meditasi atau tindakan ritualistic, maka mendadak ia bangkit dan mulai mengamuk. Ia menjadi agresif dan destruktif, mungkin mula-mula terhadap yang menyebabkan ia malu,tetapi kemudian terhadap siapa saja dan apa saja yang dirasakan menghalanginya. Kesadaran menurun atau berkabut (seperti dalam keadaan trance). Sesudahnya terdapat amnesia total atau sebagian. Amok sering berakhir karena individu itu dibuat tidak berdaya oleh orang lain, karena kehabisan tenaga atau karena ia melukai diri sendiri, dan mungkin sampai ia menemui ajalnya(Maramis dan Maramis, 2009).

Menilai dan Memprediksi Perilaku Kekerasan

Tanda-tanda adanya perilaku kekerasan yang mengancam (Sadock, et al, 2007):

a. Pernah melakukan tindakan kekerasan beberapa saat yang lalu

b. Kata-kata keras /kasar atau ancaman akan kekerasan

c. Membawa benda-benda tajam atau senjata

d. Adanya perilaku agitatif

e. Adanya intoksikasi alkohol atau obat

f. Adanya pikiran dan perilaku paranoid

g. Adanya halusinasi dengar yang memerintahkan untuk melakukan tindak kekerasan.

h. Kegelisahan katatonik

i. Episode manik

j. Episode depresi agitatif

k. Gangguan Kepribadian tertentuMenilai resiko terjadinya perilaku kekerasan (Sadock, et al, 2007):

a. Adanya ide-ide untuk melakukan kekerasan

b. Adanya faktor demografik seperti jenis kelamin laki-laki, usia 15 24 tahun, status sosioekonomi yang rendah, dukungan sosial yang rendah

c. Adanya riwayat kekerasan sebelumnya, penjudi, pemabuk, penyalahgunaan zat psikoaktif,percobaan bunuh diri ataupun melukai diri sendiri, psikosisd. Adanya stresor (masalah pernikahan, kehilangan pekerjaan, dan lainnya)Tatalaksana

Bila seorang dalam keadaan gaduh gelisah dibawa kepada kita, penting sekali kita harus bersikap tenang. Dengan sikap yang meyakinkan, meskipun tentu waspada, dan kata-kata yang dapat menenteramkan pasien maupun para pengantarnya, tidak jarang kita sudah dapat menguasai keadaan (Maramis dan Maramis, 2009).

Bila pasien masih diikat, sebaiknya ikatan itu disuruh dibuka sambil tetap berbicara dengan pasien dengan beberapa orang memegangnya agar ia tidak mengamuk lagi. Biarpun pasien masih tetap dipegang dan dikekang, kita berusaha memeriksanya secara fisik. Sedapat-dapatnya tentu perlu ditentukan penyebab keadaan gaduh gelisah itu dan mengobatinya secara etiologis bila mungkin (Maramis dan Maramis, 2009).

Suntikan intramuskular suatu neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeutik tinggi (misalnya chlorpromazine HCL), pada umumnya sangat berguna untu mengendalikan psikomotorik yang meningkat. Bila tidak terdapat, maka suntikan neuroleptikum yang mempunyai dosis terapeurik rendah, misalnya trifluoperazine, haloperidol (5 10 mg), atau fluophenazine dapat juga dipakai, biarpun efeknya tidak secepat neuroleptikum kelompok dosis terapeutik tinggi. Bila tidak ada juga, maka suatu tranquailaizer pun dapat dipakai, misalnya diazepam (5 10 mg), disuntik secara intravena, dengan mengingat bahwa tranquilaizer bukan suatu antipsikotikum seperti neuroleptika, meskipun kedua-duanya mempunyai efek antitegang, anticemas dan antiagitasi (Maramis dan Maramis, 2009).

Efek samping neuroleptika yang segera timbul terutama yang mempunyai dosis terapeutik tinggi, adalah hipotensi postural, lebih-lebih pada pasien dengan susunan saraf vegetatif yang labil atau pasien lanjut usia. Untuk mencegah jangan sampai terjadi sinkop, maka pasien jangan langsung berdiri dari keadaan berbaring, tetapi sebaiknya duduk dahulu kira-kira satu menit (bila pasien sudah tenang) (Maramis dan Maramis, 2009).

Penjagaan dan perawatan yang baik tentu juga perlu, mula-mula agar ia jangan mengalami kecelakaan, melukai diri sendiri, menyerang orang lain atau merusak barang-barang. Bila pasien sudah tenang dan mulai kooperatif, maka pengobatan dengan neuroleptika dilanjutkan per oral (bila perlu suntikan juga dapat diteruskan). Pemberian makanan dan cairan juga harus memadai. Kita berusaha terus mencari penyebabnya, bila belum diketahui, terutama bila diduga suatu sindrom otak organik yang akut. Bila ditemukan, tentu diusahakan untuk mengobatinya secara etiologis (Maramis dan Maramis, 2009).

Gambar Diagram-alur penanggulangan keadaan gaduh-gelisah.

Pasien dengan amok, bila sampai kepada kita, biasanya sudah tidak mengamuk lagi, kita tinggal berusaha tambah menentramkan saja dan mengobati keadaan fisik bila sudah terganggu sewaktu dia dalam keadaan amok. Psikosis skizofrenia dan bipolar memerlukan pengobatan jangka panjang dengan neuroleptika (Maramis dan Maramis, 2009).

B. Tindak kekerasan (violence)

Violence atau tindak kekrasan adalah agresi fisik yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain. Jika hal itu diarahkan kepada dirinya sendiri, disebut mutilasi diri atau tingkah laku bunuh diri (suicidal behavior). Tindak kekerasan dapat timbul akibat berbagai gangguan psikiatrik, tetapi dapat pula terjadi pada orang biasa yang tidak dapat mengatasi tekanan hidup sehari-hari dengan cara yang lebih baik.

a. Gambaran klinis dan diagnosis

Gangguan psikiatrik yang sering berkaitan dengan tindak kekerasan adalah:

1. Gangguan psikotik, seperti skizofrenia dan manik, terutama bila paranoid dan mengalami halusinasi yang bersifat suruhan (commanding hallucination),

2. Intoksikasi alkohol atau zat lain,

3. Gejala putus zat akibat alkohol atau obat-obat hipnotik-seddatif

4. Katatonik furor

5. Depresi agitatif

6. Gangguan kepribadian yang ditandai dengan kemarahan dan gangguan pengendalian impuls (misalnya gangguan kepribadian ambang dan antisosial),

7. Gangguan mental organik, terutama yang mengenai lobus frontalis dan temporalis otak.

Faktor risiko lain terjadinya tindak kekerasan adalah :

1. Adanya pernyataan seseorang bahwa ia berniat melakukan tindak kekerasan,

2. Adanya rencana spesifik,

3. Adanya kesempatan atau suatu cara untuk terjadinya kekerasan,

4. Laki-laki,

5. Usia muda (15-24 tahun),

6. Tatus sosioekonomi rendah,

7. Adanya riwayat melakukan tndak kekrasan,

8. Tindakan antisosial lainnya

9. Riwayat percobaan bunuh diri.

Tujuan pertama menghadap pasien yang potensial untuk melakukan tindak kekerasan adalah mencegah kejadian itu. Tindakan selanjutnya aadalah membuat diagnoss sebagai dasar rencana penatalaksanaan, termasuk cara-cara untuk memperkecil kemungkinan terjadinya tindak kekerasan berikutnya.

Panduan wawancara dan Psikoterapi

a. Bersikaplah suportif dan tidak mengancam, tegas dan berikan batasan yang jelas bahwa kalau perlu pasien dapat diikat (physical restraints). Tentukan batasan itu dengan memberikan pilihan (misalnya pilih obat atau diikat), dan bukan dengan menyuruh pasien secara provokatif: minum tablet ini sekarang

b. Kaakan langsung kepada pasien bahwa tindak kekerasan tidak dapat diterima,

c. Tenangkan pasien bahwa ia aman di sini. Tunjukkan dan tularkan sikap tenang dan penuh kontrol.

d. Tawarkan obat kepada pasien untuk membantunya lebih tenang.

Evaluasi dan penatalaksanaan

1) Lindungi diri anda

a. Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersenjata

b. Jangan pernah mewawancarai pasien yang bersikap beringas (violent) seorang diri atau di ruang tertutup. Lepaskan hal-hal yang bisa dijambak/ditarik seperti kalung atau dasi.

c. Jangan melakukan pengikatan pasien seorang diri, serahkan urusan itu pada anggota staf yang terlatih.

d. Duduklah dengan jarak paling tidak sepanjang lengan

e. Jangan menantang atau menentang pasien psikotik.

f. Jangan duduk berdekatan dengan pasien paranoid, yang muungkin merasa bahwa anda mengancamnya

g. Waspadalah terhaddap tanda-tanda munculnya kekrasan. Selalu persiapkan rute untuk melarikan diri seandainya pasien menyerrnag anda. Jangan pernah membelakangi pasien

2) Waspada terhadap tanda-tanda munculnya kekerasan, antara lain:

a. Adanya kekerasan terhadap orang atau benda yang terjadi belum lama ini, gigi yang dikatupkan serta telapak yang dikepal,

b. Ancaman verbal,

c. Agitasi psikomotor,

d. Intoksikasi alkohol atau obat atau zat lain,

e. Waham kejar, dan

f. Senjata atau benda-benda yang dapat digunakan sebagai senjata (seperti garpu, asbak)

3) Pastikan bahwa terdapat jumlah staf yang cukup untuk mengikat pasien secara aman.

4) Pengikatan pasien hanya dilakukan oleh mereka yang telah terlatih. Biasanya setelah pasien diikat diberikan benzodiazepin atau antipsikotik untuk menenangkan pasien.

5) Lakukan evaluasi diagnostik yang tepat, meliputi TTV, pemeriksaan fisik dan wawancara pskiatrik.Terapi Psikofarmaka

Terapi obat tergantung diagnosisnya. Biasanya untuk menenagkan pasien diberikan obat antipsikotik atau benzodiazepin:

Flufenazine, trifluoperazine atau haloperidol 5mg per oral atau IM,

Olanzapine 2,5-10 mg per IM, maksimal 4 injeksi per hari, dengan dosis rata-rata per hari 13-14mg,

Atau lorazepam 2-4 mg, diazepam 5-10mg per IV secara pelahan (dalam 2 menit).

Bila dalam 20-30 menit kegelisahan tidak berkurang, ulangi dengan dosis yang sama. Hindari pemberian antipsikotik pada pasien yang mempunyai risiko kejang. Utnuk penderia epilepsi, mula-mula berikan antikonvulsan misalnya carbamazepine lalu berikan benzodiazepine. Pasien yang menderita ganggauan organik kronik seringkali memberikan respon yang baik dengan pemberian -blocker seperti propanolol. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)

C. Bunuh diri (suicide)/ Tentamen Suicidum

Bunuh diri atau suicide atau tentamen suicidum adalah kematian yang diniatkan dan dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010) atau segala perbuatan seseorang yang dapat mengakhiri hidupnya sendiri dalam waktu singkat (Maramis dan Maramis, 2009).Ada macam-macam pembagian bunuh-diri dan percobaan bunuh-diri. Pembagian Emile Durkheim masih dapat dipakai karena praktis, yaitu:1. Bunuh diri egoistik

Individu ini tidak mampu berintegrasi dengan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu itu seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan mengapa mereka tidak menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan dengan mereka yang menikah. Masyarakat daerah pedesaan mempunyai integrasi social yang lebih baik dari pada daerah perkotaan, sehingga angka suiside juga lebih sedikit.

2. Bunuh diri altruistik

Individu itu terikat pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa bahwa kelompok tersebut sangat mengharapkannya. Contoh: Hara-kiri: di Jepang, puputan di Bali beberapa ratus tahun yang lalu, dan di beberapa masyarakat primitive yang lain. Suiside macam ini dalam jaman sekarang jarang terjadi, seperti misalnya seorang kapten yang menolak meninggalkan kapalnya yang sedang tenggelam.

3. Bunuh diri anomik

Hal ini terjadi bila tedapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dengan masyarakat, sehingga individu tersebut meningglakan norma-norma kelakuan yang biasa. Individu itu kehilangan pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak dapat memberikan kepuasan kepadanya karena tidak ada pengaturan dan pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Hal ini menerangkan mengapa percobaan bunuh diri pada orang cerai pernikahan lebih banyak dari pada mereka yang tetap dalam pernikahan. Golongan manusia yang mengalami perubahan ekonomi yang drastis juga lebih mudah melakukan percobaan bunuh diri.

Helber Hendin mengemukakan beberapa hal psikodinamika bunuh-diri sebagai berikut:

1. Kematian sebagai pelepasan pembalasan (Death as retaliatory abandonment).

Suiside dapat merupakan usaha untuk mengurangi preokupasi tentang rasa takut akan kematian. Individu mendapat perasaan seakan-akan ia dapat mengontrol dan dapat mengetahui bilamana dan bagaimana kematian itu.

2. Kematian sebagai pembunuhan terkedik (ke belakang) (Death as retroflexed murder).

Bagi individu yang mengalami gangguan emosi hebat, suiside dapat mengganti kemarahan atau kekerasan yang tidak dapat direpresikan. Orang ini cenderung untuk bertindak kasar dan suiside dapat merupakan penyelesaian mengenai pertentangan emosi dengan keinginan untuk membunuh.

3. Kematian sebagai penyatuan kembali (Death as reunion).

Kematian dapat mempunyai arti yang menyenangkan, karena individu itu akan bersatu kembali dengan orang yang telah meninggal (reuni khayalan).

4. Kematian sebagai hukuman buat diri sendiri (Death as self punishment).

Menghukum diri sendiri karena kegagalan dalam pekerjaan jarang terjadi pada wanita, akan tetapi seorang ibu tidak mampu mencintai, maka keinginan menghukum dirinya sendiri dapat terjadi. Dalam rumah sakit jiwa, perasaan tak berguna dan menghukum diri sendiri merupakan hal yang umum. Mula-mula mungkin karena kegagalan, rasa berdosa karena agresi, individu itu mencoba berbuat lebih baik lagi, tetapi akhirnya ia menghukum diri sendiri untuk menjauhkan diri dari tujuan itu.Faktor Risiko

Berikut ini faktor-faktor resiko untuk bunuh diri (Sadock, et al, 2007):

a. Jenis kelamin

Perempuan lebih banyak melakukan percobaan bunuh diri dibanding laki-laki. Akan tetapi, keberhasilan bunuh diri lebih tinggi pada laki-laki. Hal ini berkaitan dengan metode bunuh diri yang dipilih. Laki-laki lebih banyak dengan gantung diri, meloncat dari tempat tinggi, dengan senjata api. Perempuan lebih banyak dengan overdosis obat-obatan atau menggunakan racun.

b. Usia

Kasus bunuh diri meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki, angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 45 tahun sedangkan pada perempuan angka bunuh diri tertinggi pada usia di atas 55 tahun. Orang yang lebih tua lebih jarang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi lebih sering berhasil.

c. Ras

Di Amerika Serikat ras kulit putih lebih banyak melakukan bunuh diri dibanding ras kulit hitam.

d. Status perkawinan

Pernikahan menurunkan angka bunuh diri, terutama jika terdapat anak di rumah. Orang yang tidak pernah menikah dua kali lebih beresiko untuk bunuh diri. Perceraian meningkatkan resiko bunuh diri. Janda atau duda yang pasangannya telah meninggal juga memiliki angka bunuh diri yang tinggi.

e. Pekerjaan

Semakin tinggi status sosial semakin tinggi resiko bunuh diri, tetapi status sosial yang rendah juga meningkatkan resiko bunuh diri. Pekerjaan sebagai dokter memiliki resiko bunuh diri tertinggi dibanding pekerjaan lain. Spesialisasi psikiatri memiliki resiko tertinggi, disusul spesialis mata dan spesialis anestesi. Pekerjaan lain yang memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri adalah pengacara, artis, dokter gigi, polisi, montir, agen asuransi. Orang yang tidak memiliki pekerjaan memiliki resiko lebih tinggi untuk bunuh diri.

f. Kesehatan fisik

Satu dari tiga orang yang melakukan bunuh diri memiliki masalah kesehatan dalam 6 bulan sebelum bunuh diri. Hilangnya mobilitas fisik, nyeri hebat yang kronik, pasien hemodialisis meningkatkan resiko bunuh diri.

g. Gangguan mental

Sekitar 95% dari semua orang yang mencoba atau melakukan bunuh diri memiliki gangguan mental. Gangguan mental tersebut terdiri dari depresi 80%, skizofrenia 10%, dan demensia atau delirium 5%. Di antara semua pasien dengan gangguan mental, 25% kecanduan juga kepada alkohol.

h. Kecanduan alkohol

Sekitar 15% pasien kecanduan alkohol melakukan bunuh diri. Sekitar 80% pasien bunuh diri akibat kecanduan alkohol adalah laki-laki. Sekitar 50% dari pasien kecanduan alkohol yang bunuh diri mengalami kehilangan anggota keluarga atau pasangan dalam satu tahun terakhir.

i. Gangguan kepribadian

Sebagian besar orang yang bunuh diri memiliki gangguan kepribadian. Gangguan kepribadian merupakan faktor predisposisi untuk gangguan depresi. Selain itu juga merupakan faktor predisposisi untuk kecanduan alkohol. Gangguan kepribadian juga dapat menyebabkan konflik dengan keluarga dan orang lain.

Gangguan Jiwa yang sering Berkaitan dengan Bunuh Diri, adalah gangguan mood, keterantungan alkohol, skizofrenia. Pencegahan tindak bunuh diri yang terbaik adalah dengan mendeteksi dini dan menatalaksana gangguan jiwa yang mungkin menjadi faktor kontribusi tadi.

Mengenali pasien yang berpotensi bunuh diri

Kemungkinan bunuh diri dapat terjadi apabila (Tomb, 2004):

a. Pasien pernah mencoba bunuh diri

b. Keinginan bunuh diri dinyatakan secara terang-terangan maupun tidak, atau berupa ancaman: kamu tidak akan saya ganggu lebih lama lagi (sering dikatakan pada keluarga)

c. Secara objektif terlihat adanya mood yang depresif atau cemas

d. Baru mengalami kehilangan yang bermakna (pasangan, pekerjaan, harga diri, dan lain-lain)

e. Perubahan perilaku yang tidak terduga: menyampaikan pesan-pesan, pembicaraan serius dan mendalam dengan kerabat, membagi-bagikan harta/barang-barang miliknya.

f. Perubahan sikap yang mendadak: tiba-tiba gembira, marah atau menarik diri.

Panduan Wawancara dan Psikoterapi

a. Pada waktu wawancaa, pasien mungkin secara spontan menjelaskan adanya ide bunuh diri. Bila tidak, tanyakan langsung.

b. Mulailah dengan menanyakan:

1. Apakah anda pernah merasa ingin menyerah saja?

2. Apakah anda pernah merasa bahwa lebih baik kalau anda mati saja?

c. Tanyakan isi pikiran pasien:

1. Berapa sering pikiran ini muncul?

2. Apakah pikiran tentang bunuh diri ini meningkat?

d. Selidiki :

1. Apakah pasien bisa mendapatkan alat dan cara untuk melaukan rencana bunuh dirinya?

2. Apakah mereka sudah mengambilkah aktif, isalnya mengumpulkan obat?

3. Seberapa pesimiskah mereka?

4. Aakah mereka bisa memikirkan bahwa kehidupannya akan membaik?

Evaluasi dan Penatalaksanaan

Pertolongan pertama biasanya dilakukan secara darurat di rumah (di tempat kejadian) dan atau di Unit Gawat Darurat di rumah sakit, di bagian penyakit dalam atau bedah. Dilakukan pengobatan terhadap luka-luka dan atau keracunan. Bila keracunan atau luka sudah dapat diatasi maka dilakukan evaluasi psikiatrik. Tidak ada hubungan antara beratnya gangguan fisik dengan beratnya gangguan psikologis. Penting sekali dalam pengobatan untuk menangani juga gangguan mentalnya. Untuk pasien dengan depresi dapat diberikan psikoterapi dan obat antidepresan (Maramis dan Maramis, 2009).

Ketika sedang mengevaluasi pasien dengan kecendrungan bunuh diri, jangan tinggalkan mereka sendiri di ruangan. Singkirkan benda-benda yang dapat membahayakan dari ruang tersebut. Etika mengevaluasi pasien yang baru melakukan percobaan bunuh diri, buatlah penilaian apakah hal itu direncanakan atau dilakukan secara impulsif.

Penatalaksanaan tergantung dari diagnosis yang ditegakkan. Pasien yang depresi berat boleh saja berobat jalan asalkan keluarganya dapat mengawasi pasien secara ketat di ruma. De bunuh diri pada pasien alkoholik umumnya hilang setelah sesudah menghentkan pengguanan alkohol itu. Pasien dengan gangguan kepribadian akan berespon baik bila mereka ditangani secara empatik dan dibantu untuk memecahkan masalah dengancara rasionald an bertanggung jawab.

Rawat inap jangka panjang diperlukan bagi pasien yang cendrung dan mempunyai kebiasaan melukai diri sendiri serta parasuicides. Parasuicides yaitu mereka yang berulangkali melakukan hal-hal berbahaya tetapi menyangkal adanya ide-ide bunuh diri. (Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto, 2010)

Terapi psikofarmaka

Seorang yang sedang dalam krisis karena baru ditinggal mati biasanya akan berfungsi lebih baik setelah mendapat tranquilizer ringan, tertama bila tidurnya terganggu. Obat pilihannya adalah golongan benzodiazepine, misalnya lorazepam 3x1 mg per hari selama 2 minggu. Jangan memberukan obat dalam jumlah banyak sekaligus terhdap pasien(rrespkan sedikit-seikit saja) dan pasien harus kontrol dalam bebeapa hari.

D. Sindroma Neuroleptik Maligna

Sindrom neuroleptik maligna adalah suatu sindrom toksik yang behubungan dengan penggunaan obat antipsikotik. Gejalanya meliputi : kekakuan otot, distonia, akinesia mutisme dan agitasi.

Gambaran Klinis dan Diagnosis

Ditandai oleh demam tinggi (dapat mencapai 41,5C), kekakuan otot yang nyata sampai seperti pipa (lead-pipe rigidity), instabilitas otonomik (takikardia, tekanan darah yang labil, keringat berlebih) dan gangguan kesadaran. Kekakuan yang parah dapat menyebabkan rhabdomyolysis, myaglobinuria dan akhirnya gagal ginjal. Penyulit lain dapat berupa tombosis vena, emboli paru dan kematian. Biasanya terjadi dalam hari-hari pertama pengguanaan antipsikotik pada saat dosis mulai ditingkatkan, umunya dalam 10 hari pertama pengobatan antipsikotik. Sindrom neuroleptik maligna paling mungkin terjadi pada pasien yang menggunakan antipsikotik potensi tinggi dalam dosis tinggi atau dosis yang meningkat cepat.

Menurut DSM-IV-TR, diagnosis sindrom neuroleptik maligna ditegakkan jika terdapat demam dan kekakuan otot yang parah disertai dengan 2 atau lebih gejala berikut:a. Diaforesis

b. Disfagia

c. Tremor

d. Inkontinensia

e. Penurunan kesadaran

f. Mutism

g. Takikardia

h. Tekanan darah yang meningkat atau labil

i. Leukositosis

j. Bukti laboratorium adanya kerusakan otot rangka

Patofisiologi

Patofisiologi sindrom neuroleptik maligna belum diketahui secara jelas. Timbulnya sindrom neuroleptik maligna akibat obat yang menghambat reseptor D2 menghasilkan hipotesis bahwa penghambatan reseptor D2 pada berbagai area di otak menjelaskan gejala klinis yang timbul. Hambatan reseptor D2 di formatio retikularis dapat menurunkan kesadaran. Hambatan reseptor D2 di jalur nigrostriatal dapat menyebabkan rigiditas. Hambatan reseptor D2 di hipotalamus dapat menyebabkan instabilitas otonom, gangguan pelepasan panas. Hiperpireksia terjadi akibat disfungsi hipotalamus dan kekakuan ototFaktor resiko

Jenis kelamin laki-laki dua kali lebih beresiko dibanding perempuan.Faktor predisposisi munculnya sindrom neuroleptik maligna adalah dehidrasi, malnutrisi, kelelahan, injeksi intramuskular neuroleptik, cedera kepala, infeksi, intoksikasi alkohol, pengunaan antipsikotik bersama dengan litium (Hall and Chapman, 2006). Gangguan ini dapat pula terjadi pada pasien yang baru menghentikan terapi dengan obat-obatan agoni dopaminergik seperti carbidopa, levodopa, amantadine dan bromocriptine.

Panduan Wawancara dan Psikoterapi

Sindrom neuroleptik maligna adalah kegawatdaruratan medik sehingga perlu dirawat di ICU. Kesadarannya terganggu, tanyakan perjalanan penyakitnya pada keluarga dan teman-temannya.

Evaluasi dan Penatalaksanaan

a. Pertimbangkan kemungkinan sindrom neuroleptik maligna pada pasien yang mendapat antipsikotik yang mengalami demam serta kekakuan otot.

b. Bila terdapat rigiditas rinan yang tidak berespon terhdap antikolinergik biasa dan bila demamnya tak jelas sebabnya, buatlah diagnosis sementara sindroma neuroleptik maligna.

c. Hentikna pemberian antipsikotik segera.

d. Monitor tanda-tanda vital secara berkala.

e. Lakukan pmeriksaan laboratorium

f. Hidrasi cepat intrvena daapt mencegah erjadinya renjatan dan menurnkan kemungkinan terjadiny agagal ginjal.

g. Sindrom ini biasanya berlangsung selama 15 hari. Setelah sebuh, masalah kemudian adalah pemberian naipsikotik selanjutnya apakah mengganti dari kelas yang berbeda atau kembali ke antipsikotik semula yang efektif.

Terapi Psikofarmaka

a. Amantadine 200-400 mg PO/hari dalam dosis terbagi

b. Bromocriptine 2,5 mg PO 2 atau 3 kali/hari , dapat dianikan sampai 45 mg/hari

c. Levodopa 50-100 mg/hari IV dlam infus terus-menerus

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons. (1997). Advanced trauma life support for doctors. instructor course manual book 1 - sixth edition. Chicago.Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The emergency nursing assessment process: a structured framedwork for a systematic approach. Australasian Emergency Nursing Journal, 12; 130-136Delp & manning. (2004) . Major diagnosis fisik . Jakarta: EGC.

Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118. (2010). Basic Trauma Life Support and Basic Cardiac Life Support Edisi Ketiga. Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118.

Diklat RSUP Dr. M. Djamil Padang. (2006). Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat darurat (PPGD). RSUP. Dr.M.Djamil Padang.

Djumhana, Ali. (2011). Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian Atas. FK. UNPAD. Diakses dari http://pustaka.unpad.ac.id/ tanggal 28 april 2013.Emergency Nurses Association (2007). Sheehy`s manual of emergency care 6th edition. St. Louis Missouri : Elsevier Mosby.

Fulde, Gordian. (2009). Emergency medicine 5th edition. Australia : Elsevier.

Gilbert, Gregory., DSouza, Peter., Pletz, Barbara. (2009). Patient assessment routine medical care primary and secondary survey. San Mateo County EMS Agency.Gindhi, R.M., Cohen, R.A., dan Kirzinger, W.K. (2012). Emergency room use among aults aged 18-64: early release of estimates from the national health interview survey, January-June 2011. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari http://www.cdc.gov/nchs/data/nhis/earlyrelease/emergency_room_use_january-june_2011.pdfHolder, AR. (2002 ).Emergency room liability. JAMA. Institute for Health Care Improvement. (2011). Nursing assessment form with medical emergency team (MET) guidelines. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari http://www.ihi.org/knowledge/Pages/Tools/NursingAssessmentFormwithMETGuidelines.aspx.Ishak, 2012. Pemeriksaan radiologi dan laboratorium untuk fisioterapis. Diakses dari http://www.slideshare.net/IshakMajid/radiologi-laboratorium-a4 tanggal 5 Mei 2013Lombardo, D. (2005). Patient asessment. In:NewburyL.,CriddleL.M.,ed.Sheehys manual of emergency care, ed 6.Philadelphia:Mosby.

Lyandra, april, Budhi, Antariksa, Syahrudin. (2011). Ultrasonografi Toraks. Jurnal Respiratori Inonesia Volume 31 diakses dari http://jurnalrespirologi.org/ tanggal 28 April 2013.

Lyer, P.W., Camp, N.H.(2005). Dokumentasi Ketenaga kesehatanan, Suatu Pendekatan Proses Ketenaga kesehatanan, Edisi 3. Jakarta: EGCMancini MR, Gale AT.(2011). Emergency care and the law. Maryland: Aspen Publication.

Maryuani, Anik & Yulianingsih. (2009). Asuhan kegawatdaruratan. Jakarta : Trans Info Media Medis. Okeefe, M.F.,Limmer D., Grand, H.D., Murray, R.H., Bergebon J.D., (1998). Emergency Care, eighth Ed., New Yersey, Prentice Hall. Inc. A. Simon & Schuster Co.

Parhusip. (2004). Bronkoskopi. Diakses dari http://repository.usu.ac.id tanggal 28 april 2013.

Practitioner Emergency Medical Technician. (2012). Clinical practice guidelines for pre-hospital emergency care. Ireland : Pre-Hospital Emergency Care Council. ISBN 978-0-9571028-2-8.

The National Institue for Health and Clinical Excellence. (2007). Head injury: triage, assessment, investigation and early management of head injury in infant, children and adults. London: The National Institue for Health and Clinical ExcellenceThygerson, Alton. (2006). First aid 5th edition. Alih bahasa dr. Huriawati Hartantnto. Ed. Rina Astikawati. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama. Vanderbilt Medical Center. (2011). Viewing and printing adult ED nursing assessment documentation. Diakses pada tanggal 28 April 2013, dari http://www.mc.vanderbilt.edu/documents/sss2/files/View_Print_Adult_ED_Nurs_Assess_Doc_2_10_11.docWidjaya, Cristina. (2002). Uji Diagnostik pemeriksaan kadar D-dimer plasma pada diagnosis stroke iskemik. FK. UNPAD. Diakses dari http://eprints.undip.ac.id tanggal 28 april 2013.

Wilkinson, Douglas. A., Skinner, Marcus. W. (2000). Primary trauma care standard edition. Oxford : Primary Trauma Care Foundation. ISBN 0-95-39411-0-8.Elvira, Sylvia D dan Gitayanti Hadisukanto ed. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI

Maramis, W.F. dan Maramis, A.A. 2009. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press.

Sadock, B.J., Sadock, V.A., et al. 2007. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott Williams & Wilkins.

Tomb, D.A. 2004. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC.

34