NEONATAL JAUNDICE.docx

40
RESPONSI KASUS IKTERUS NEONATORUM Oleh Andik Sunaryanto (0402005114) Pembimbing dr. I Nyoman Suciawan Sp. A 1

Transcript of NEONATAL JAUNDICE.docx

RESPONSI KASUS

IKTERUS NEONATORUM

Oleh

Andik Sunaryanto (0402005114)

Pembimbing

dr. I Nyoman Suciawan Sp. A

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

DI LABORATORIUM/SMF ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUD SINGARAJA DENPASAR

2009

1

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan

karunia-Nyalah maka tinjauan pustaka dan laporan kasus yang berjudul “Ikterus Neonatorum”

ini dapat selesai tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan tinjauan pustaka dan laporan

kasus ini adalah sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik madya di

bagian/SMF Ilmu Kesehatan anak FK UNUD/RSUD Singaraja.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan tugas ini banyak mendapat bantuan dari

bergagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis bermaksud mengucapkan rasa

terima kasih kepada:

1. Dr. Ketut Budiyasa Sp.A selaku kepala bagian di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD

Singaraja.

2. Dr. I Nyoman Suciawan Sp.A selaku pembimbing dalam penulisan responsi kasus ini.

3. Dr. Ketut Alit Sp. A dan semua staf medis bagian ilmu kesehatan anak RSUD Singaraja.

Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu saran

dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan sehingga dapat dihasilkan tinjauan

pustaka dan laporan kasus yang lebih baik di kemudian hari.

Singaraja, Oktober 2009

Penulis

2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................ii

DAFTAR ISI ...................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................2

2.1. Definisi ......................................................................................2

2.2. Epidemiologi ..............................................................................2

2.3. Metabolisme Bilirubin................................................................3

2.4. Etiologi, Faktor Risiko, Klasifikasi............................................3

2.5. Penegakan Diagnosis..................................................................7

2.6. Penatalaksanaan ……………………………………………… 10

2.7. Komplikasi..................................................................................13

BAB III LAPORAN KASUS ..........................................................................15

3.1. Identitas 15

3.2. Anamnesis...................................................................................15

3.3. Pemeriksaan Fisik ......................................................................16

3.4. Usulan Pemeriksaan.................................................................... 17

3.5. Hasil Laboratorium …………………………………………… 18

3.6. Diagnosa ……………………………………………………… 19

3.7. Problem List ………………………………………………….. 19

3.8. Penatalaksanaan.......................................................................... 19

3.9. Riwayat Perjalanan Penyakit Selama di RS ………………….. 19

BAB IV. PEMBAHASAN…………………………………………………… 22

DAFTAR PUSTAKA

3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Neonatus merupakan bayi yang berumur 0-28 hari. Masa ini merupakan masa transisi

dimana bayi memulai kehidupan diluar rahim ibunya. Begitu banyak perubahan yang dialami

sampai dari organ fisik maupun fungsi tubuhnya. Mengingat begitu besar perubahan yang terjadi

maka tak dapat diingkari begitu banyak juga permasalahan yang timbul karena hal tersebut.

Diantaranya adalah perubahan patologis yang memberikan pengaruh buruk terhadap

pertumbuhan dan perkembangan bayi. Salah satunya adalah terjadinya ikterus atau yang lebih

dikenal dengan bayi kuning. Ikterus neonatorum merupakan penyakit yang disebabkan oleh

penimbunan bilirubin dalam jaringan tubuh sehingga kulit,mukosa,dan sklera berubah warna

menjadi kuning. Ikterus ini banyak terjadi pada bayi baru lahir terutama pada bayi prematur dan

BBLR. Hal ini disebabkan karena organ hati yang berfungsi sebagai pemecah bilirubin belum

terbentuk sempurna atau belum berfungsi sempurna layaknya bayi cukup bulan. 1

Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian neonatus,

ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan bahwa angka

kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan. Di

Jakarta dilaporkan 32,19% menderita ikterus. Ikterus ini pada sebagian lagi mungkin bersifat

patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian,

karenanya setiap bayi dengan ikterus harus mendapat perhatian terutama apabila ikterus

ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau kadar bilirubin meningkat lebih dari 5

mg/dl dalam 24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1

minggu serta bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl juga merupakan keadaan yang menunjukkan

kemungkinan adanya ikterus patologik. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus harus

dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.

4

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Ikterus neonatorum adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir. Ikterus

adalah pewarnaan kuning dikulit, konjungtiva, dan mukosa yang terjadi karena meningkatnya

kadar bilirubin dalam darah. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum > 5 mg/dL. Atau

disebut dengan hiperbilirubinemia, yang dapat menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau

ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan. 1,2

Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi

dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi

bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi

karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.

Keadaan bayi kuning (ikterus) sangat sering terjadi pada bayi baru lahir, terutama pada BBLR

(Bayi Berat Lahir Rendah). Banyak sekali penyebab bayi kuning ini. Yang sering terjadi adalah

karena belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit (sel darah merah). Pada bayi

usia sel darah merah kira-kira 90 hari. Hasil pemecahannya, eritrosit harus diproses oleh hati

bayi. Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan eritrosit

disebut bilirubin, bilirubin ini yang menyebabkan kuning pada bayi. 1,2,3

2.2 Epidemiologi

Di Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan.

Sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional

Cipto Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir

sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas 12

mg/dL pada minggu pertama kehidupan.4 RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi cukup

bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar bilirubin di

atas 13 mg/dL.5 Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan kadar

bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6% bayi

cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbilirubinemia

ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal

(8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbilirubinemia. Data

5

yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens ikterus pada

tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis dan sisanya

ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%. Didapatkan juga

data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang bulan 22,8%.4

2.3 Metabolisme Bilirubin

Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh.

Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari

hem bebas atau eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan

proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang

mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air

tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah

melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut

kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar. Di dalam hepar terjadi mekanisme

ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati.

Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin (protein-Y) protein Z

dan glutation hati lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hati, tempat terjadinya

proses konjugasi.1

Prosedur ini timbul berkat adanya enzim glukotonil transferase yang kemudian

menghasilkan bentuk bilirubin indirek. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar

tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini

dikeskresi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi

urobilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus sebagian diabsorbsi

kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorbsi enterohepatik.1

Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari

pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus.

Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang

lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar. Peninggian kadar bilirubin ini

terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai puncaknya pada hari ke 5-7, kemudian akan menurun

kembali pada hari ke 10-14 kadar bilirubin pun biasanya tidak melebihi 10 mg/dl pada bayi

cukup bulan dan kurang dari 12 mg/dl pada bayi kurang bulan. Pada keadaan ini peninggian

6

bilirubin masih dianggap normal dan karenanya disebut ikterus fisiologik. Masalah akan timbul

apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjugasi hati menurun sehingga kumulasi

di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel

tubuh, misal kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dihari kemudian. 5,6

2.4. Etiologi, Faktor Risiko, Klasifikasi

1. Etiologi

Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:

a. Meningkatnya produksi bilirubin:

- Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur

lebih pendek.

b. Penurunan ekskresi bilirubin

- Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase,

UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) sehingga terjadi penurunan uptake

dalam hati dan penurunan konjugasi oleh hati.

- Peningkatan sirkulasi bilirubin enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya

enzim glukuronidase di usus dan belum ada nutrien.

2. Faktor Risiko 4

Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:

a. Faktor Maternal

- Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American, Yunani)

- Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)

- Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik, ASI.

b. Faktor Perinatal

- Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)

- Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

c. Faktor Neonatus

- Prematuritas

- Faktor genetik

- Polisitemia

- Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)

7

- Rendahnya asupan ASI

- Hipoglikemia

- Hipoalbuminemia

3. Klasifikasi 4,5,6

Ada 2 macam ikterus neonatorum:

1. Ikterus Fisiologis 4,5,6

• Ikterus yang timbul pada hari ke 2-3

• Tidak mempunyai dasar patologis

• Kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau tidak mempunyai potensi

menjadi kern ikterus

• Tidak menyebabkan morbiditas pada bayi

• Ikterus tampak jelas pada hari ke 5 dan 6 dan menghilang pada hari ke 10

2. Ikterus patologik

Ikterus yang cenderung menjadi patologik adalah: 4,5,6

1. Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan

2. Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5mg/dL atau lebih setiap 24 jam

3. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD, atau

sepsis)

4. Ikterus yang disertai oleh:

o Berat lahir <2000 gram

o Masa gestasi 36 minggu

o Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonates (SGNN)

o Infeksi

o Trauma lahir pada kepala

o Hipoglikemia, hiperkarbia

o Hiperosmolaritas darah

5. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada NCB) atau >14 hari (pada

NKB)

8

Ikterus di katakan patologik jika pigmennya, konsentrasinya dalam serum, waktu

timbulnya, dan waktu menghilangnya berbeda dari kriteria yang telah disebut pada Ikterus

fisiologik. Walaupun kadar bilirubin masih dalam batas-batas fisiologik, tetapi klinis mulai

terdapat tanda-tanda Kern Ikterus, maka keadaan ini disebut Ikterus patologik. Ikterus patologik

dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu: 8

a. Ikterus Prahepatik

Karena produksi bilirubin yang meningkat yang terjadi pada hemolisis sel darah merah.

Peningkatan pembentukan bilirubin dapat disebabkan oleh: Kelainan sel darah merah. Infeksi

seperti malaria, sepsis. Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat – obatan, maupun yang

berasal dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfusi dan eritroblastosis fetalis.

b. Ikterus Pascahepatik

Bendungan pada saluran empedu akan menyebabkan peninggian bilirubin konjugasi yang

larut dalam air. Akibatnya bilirubin mengalami akan mengalami regurgitasi kembali kedalam sel

hati dan terus memasuki peredaran darah, masuk ke ginjal dan di eksresikan oleh ginjal sehingga

ditemukan bilirubin dalam urin. Sebaliknya karena ada bendungan pengeluaran bilirubin

kedalam saluran pencernaan berkurang sehingga tinja akan berwarna dempul karena tidak

mengandung sterkobilin.

c. Ikterus Hepatoseluler

Kerusakan sel hati menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu sehingga bilirubin direk

akan meningkat dan juga menyebabkan bendungan di dalam hati sehingga bilirubin darah akan

mengadakan regurgitasi ke dalam sel hati yang kemudian menyebabkan peninggian kadar

bilirubin konjugasi di dalam aliran darah. Kerusakan sel hati terjadi pada keadaan: hepatitis,

sirosis hepatic, tumor, bahan kimia, dll.

2.5. Penegakan Diagnosis

1) Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab

Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan pemeriksaan

yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus untuk dapat

memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan itu ialah

menggunakan saat timbulnya ikterus seperti yang dikemukakan oleh Harper dan Yoon

yaitu:7

9

A. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama

Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan

dapat disusun sebagai berikut :

1. Inkompatibilitas darah Rh, AB0 atau golongan lain.

2. Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang-kadang bakteri).

3. Kadang-kadang oleh defisiensi G6PD.

B. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir

1. Biasanya ikterus fisiologis.

2. Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah AB0 atau Rh atau golongan lain.

Hal ini dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5

mg%/24 jam.

3. Defisiensi enzim G6PD juga mungkin.

4. Polisitemia

5. Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan hepar

subkapsuler dan lain-lain).

6. Hipoksia

7. Sferositosis, elipsitosis, dan lain-lain.

8. Dehidrasi asidosis

9. Defisiensi enzim eritrosit lainnya.

C. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama

1. Biasanya karena infeksi (sepsis)

2. Dehidrasi asidosis

3. Defisiensi enzim G6PD

4. Pengaruh obat

5. Sindrom Crigler-Najjar

6. Sindrom Gilbert

D. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya

1. Biasanya karena obstruksi

2. Hipotiroidisme

3. “Breast milk jaundice”

10

4. Infeksi

5. Neonatal hepatitis

Pemeriksaan yang perlu dilakukan :

a. Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala

b. Pemeriksaan darah tepi

c. Pemeriksaan penyaring G6PD

d. Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab

Ikterus baru dapat dikatakan fisiologis sesudah observasi dan pemeriksaan selanjutnya

tidak menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern

icterus.

WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai

berikut: 9

- Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya

matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan

dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.

- Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan

jaringan subkutan.

- Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.

(tabel 1)

Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus 9

Usia Kuning terlihat pada:

Tingkat Keparahan

IkterusHari 1 Bagian tubuh

manapuna Berat Hari 2 Lengan dan

Tungkaia

Hari 3 dan seterusnya

Tangan dan Kaki

a Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk memulai terapi sinar .

11

Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus

neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu

dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan

tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang

diperiksa adalah bilirubin total. Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila

kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.4

Gambar 1. Pembagian ikterus menurut Kramer4

Tabel 2.1 Hubungan kadar bilirubin (mg/dL) dengan daerah ikterus menurut Kramer

Daera

h

ikterus

Penjelasan Kadar bilirubin (mg/dL)

Prematur Aterm

1

2

3

4

5

Kepala dan leher

Dada sampai pusat

Pusat bagian bawah sampai lutut

Lutut sampai pergelangan kaki dan bahu sampai

pergelangan tangan

Kaki dan tangan termasuk telapak kaki dan

telapak tangan

4 – 8

5 – 12

7 – 15

9 – 18

> 10

4 – 8

5 – 12

8 – 16

11 – 18

> 15

12

2.6 Penatalaksanaan

1). Ikterus Fisiologis

Bayi sehat, tanpa faktor risiko, tidak diterapi. Perlu diingat bahwa pada bayi sehat, aktif, minum

kuat, cukup bulan, pada kadar bilirubin tinggi, kemungkinan terjadinya kernikterus sangat kecil.

Untuk mengatasi ikterus pada bayi yang sehat, dapat dilakukan beberapa cara berikut: 4

- Minum ASI dini dan sering

- Terapi sinar, sesuai dengan panduan WHO

- Pada bayi yang pulang sebelum 48 jam, diperlukan pemeriksaan ulang dan kontrol lebih

cepat (terutama bila tampak kuning).

Bilirubin serum total 24 jam pertama > 4,5 mg/dL dapat digunakan sebagai faktor

prediksi hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan sehat pada minggu pertama kehidupannya.

Hal ini kurang dapat diterapkan di Indonesia karena tidak praktis dan membutuhkan biaya yang

cukup besar.

Tata laksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO): 9

• Mulai terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan sebagai ikterus berat

• Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir sebelum

usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis

• Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan golongan

darah bayi dan lakukan tes Coombs:

o Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan terapi sinar.

o Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi sinar,

lakukan terapi sinar

o Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab hemolisis atau

bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring G6PD bila memungkinkan.

2) Mengatasi hiperbilirubinemia

1. Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Obat ini

bekerja sebagai “enzyme inducer” sehingga konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan

dengan cara ini tidak begitu efektif dan membutuhkan waktu 48 jam baru terjadi

penurunan bilirubin yang berarti. Mungkin lebih bermanfaat bila diberikan pada ibu

kira-kira 2 hari sebelum melahirkan bayi.

13

2. Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi. Contohnya

ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti

dengan plasma dengan dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum

transfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin

dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah

dikeluarkan dengan transfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar

sebagai sumber energi.

3. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi dapat

menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan transfusi

tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca

transfusi tukar. Indikasi terapi sinar adalah:11

a. bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar bilirubin >10 mg/dL.

b. bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin >15 mg/dL.

Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus-menerus, istirahat 12 jam, bila perlu dapat

diberikan dosis kedua selama 24 jam.

4. Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut :11

a.Kadar bilirubin tidak langsung >20 mg/dL

b. Kadar bilirubin tali pusat >4 mg/dL dan Hb <10 mg/dL

c.Peningkatan bilirubin >1 mg/dL

Tabel 2.2 Bagan penatalaksanaan ikterus menurut waktu timbulnya dan kadar bilirubin

Bilirubin

serum

(mg/dL)

<24 jam 24-48 jam 49-72 jam >72 jam

<2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500

<5 Tidak perlu terapi-observasi

5-9 Terapi sinar bila hemolisis

10-14 Transfusi tukar

bila hemolisis

Terapi sinar

15-19 Transfusi tukar Terapi sinar

>20 Transfusi tukar

Sumber : Suraatmaja dan Soetjiningsih (2000) dalam : Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUP

Sanglah, Denpasar, cetakan II

14

5. Terapi suportif, antara lain : 12

a.Minum ASI atau pemberian ASI peras.

b. Infus cairan dengan dosis rumatan.

3) Monitoring 12

Monitoring yang dilakukan antara lain:

1. Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit tidak dapat

digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi

mendapat terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan.

2. Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan baik, atau bila

sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan di RS.

4) Strategi Pencegahan 4

Pencegahan Primer

Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 – 12 kali/ hari untuk

beberapa hari pertama.

Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang

mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

Pencegahan Sekunder

Wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringan

serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.

Memastikan bahwa semua bayi secara rutin di monitor terhadap timbulnya ikterus

dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat

memeriksa tanda – tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 – 12 jam.

2.7 Komplikasi

Bahaya hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern icterus atau ensefalopati bilirubin

adalh sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin

tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan nuclei batang otak. Patogenesis kern

15

icterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interaksi antara kadar bilirubin indirek, pengikatan

oleh albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak, dan

suseptibilitas saraf terhadap cedera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia, dan perubahan

permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern icterus.

Pada bayi sehat yang menyusu kern icterus terjadi saat kadar bilirubin >30 mg/dL dengan

rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya pada minggu pertama kelahiran tapi dapat tertunda

hingga umur 2-3 minggu.

Gambaran klinis kern icterus antara lain:1

1) Bentuk akut :

a. Fase 1(hari 1-2) : menetek tidak kuat, stupor, hipotonia, kejang.

b. Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstensor, opistotonus, retrocollis,

demam.

c. Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni.

2) Bentuk kronis :

a. Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic neck reflexes,

keterampilan motorik yang terlambat.

b. Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus, tremor),

gangguan pendengaran.

Oleh karena itu terhadap bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut

sebagai berikut: 1

1. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan

2. Penilaian berkala pendengaran

3. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa

16

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama : By. DS

Jenis Kelamin : Laki - laki

Alamat : Ds. Pangkung Paruk

Tanggal Lahir : 13 September 2009

MRS : 24 September 2009 21.55

Tanggal pemeriksaan : 29 September 2009

3.2 Heteroanamnesis (Orang Tua)

Keluhan Utama : Panas badan

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien dikeluhkan panas badan sejak 1 hari SMRS. Panas dikatakan naik turun. Pada

awalnya pada pagi hari (24/09/09) pasien dikatakan tidak mau menetek, padahal sebelumnya

dikatakan netek kuat, kemudian siang hari pasien dikatakan panas badan, lalu dibawa ke bidan.

Kemudian oleh bidan diberikan puyer dan sirup penurun panas (nama obatnya lupa). Puyer

belum sempat diberikan oleh orangtua pasien, hanya sirup yang diberikan ke pasien, setelah

minum sirup, panas menurun. Ketika dibidan, oleh bidan dikatakan bahwa bayi layu sehingga

akhirnya dirujuk ke RS pada malam harinya. Keluhan lain pasien pilek sejak dari lahir sampai

saat SMRS (umur 11 hari), pilek dikatakan tersumbat, tidak meler. Sudah dibawa berobat

kebidan pada usia 5 hari dan diberi sirup (obatnya lupa namanya, sirup yang diberikan sama

dengan sirup penurun panas), namun belum sembuh juga sampai dengan pasien dibawa ke RS.

Keluhan batuk, muntah, mencret, tidak ada.

17

Riwayat penyakit terdahulu

Keluhan seperti ini baru pertama kali dialami pasien.

Riwayat keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan yang sama seperti ini.

Riwayat pengobatan

Pasien dibawa ke bidan dan diberi puyer dan sirup penurun panas. panas menurun setelah

diberi obat.

Riwayat kehamilan

Selama kehamilan, ibu dikatakan tidak ada keluhan dan tidak ada tanda-tanda kelainan.

Kehamilan ini adalah kehamilan pertama ibu pasien. Ibu pasien rutin melakukan ANC di bidan

setiap bulan. USG pada usia kehamilan 4 bulan di dr. Sp. OG. Umur kehamilan 8 bulan. Nyeri

BAK disangkal, keputihan disangkal, gerak anak terasa baik. Riwayat penyakit Ibu seperti

tekanan darah tinggi, kencing manis, penyakit jantung, dan asma tidak ada. Ibu pasien tidak

menggunakan obat-obatan kecuali yang diberikan dibidan. Ibu pasien juga minum jamu loloh

(jamu tradisional).

Riwayat persalinan

Pasien adalah anak pertama, dilahirkan dibidan desa, pada tanggal 13 September 2009

jam 23.20. Dikatakan oleh ibu pasien, bayi lahir spontan, merah, tidak kuning, segera menangis,

dengan BBL 2500 gr, PB 46 cm, tidak ada kelainan.

3.3 Pemeriksaan Fisik (29/9/2009)

Status Present

Keadaan umum : Lemah

Frekuensi napas : 38 kali/menit

HR : 134 kali/menit, regular, isi cukup.

Temperatur : 36,70 C

Berat Badan : 2520 gram

Status general

18

Kepala : Normocephali, UUB datar

Mata : anemis (-), ikterus (+), Refleks Pupil +/+ isokor

strabismus (-) cowong (-)

THT

Telinga : bentuk normal, sekret (-)

Hidung : napas cuping hidung (-), sekret (-)

Tenggorokan : faring hiperemis (+)

Leher

Inspeksi : benjolan (-)

Palpasi : pembesaran kelenjar (-),

Thorak : simetris

Jantung : S1S2 normal regular murmur (-)

Paru

Inspeksi : gerakan dada simetris

Palpasi : gerakan dada simetris

Perkusi : perkusi paru sonor

Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing -/-, stridor (-)

Abdomen

Inspeksi : Distensi (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Perkusi : timpani

Palpasi : Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba, turgor N

Extremitas : akral hangat (+), edema (-), sianosis (-),

deformitas (-)

Kramer V

3.4 Usulan Pemeriksaan

Cek darah lengkap

Cek bilirubin total dan direct

3.5 Hasil Laboratorium

19

1. Darah lengkap, 24 September 2009

WBC : 14,5 K/µL (4,0 – 9,0)

Neu : 4,5 30,7% (1,7-7,7 /42-85)

Lym : 7,9 54,8% (0,4-4,4 / 11-49)

Mo : 1,7 11,6% (0,0-0,8 / 0,0-0,9)

Eo : 0,3 2,1% (0,0-0,6 / 0,0-6,0)

Ba : 0,1 0,8% (0,0-0,2 / 0,0-2,0)

RBC : 4,37 (106/µL) (3,6-5,3)

HGB : 15,3 (g/dL) (12,0-18,0)

HCT : 47,6 % (36,0-56,0)

MCV : 109 fL (60-100)

MCH : 35 pg (27-32)

MCHC: 32,1 g/dL (32-36)

PLT : 376 (103/µL) (120-380)

2. Darah lengkap, 29 September 2009 10.13

WBC : 21,8 K/µL (4,0 – 9,0)

Neu : 9,4 43,2% (1,7-7,7 /42-85)

Lym : 7,3 33,6% (0,4-4,4 / 11-49)

Mo : 4,2 19,4% (0,0-0,8 / 0,0-0,9)

Eo : 0,1 0,3% (0,0-0,6 / 0,0-6,0)

Ba : 0,8 3,5% (0,0-0,2 / 0,0-2,0)

RBC : 4,03 (106/µL) (3,6-5,3)

HGB : 13,9 (g/dL) (12,0-18,0)

HCT : 43,9 % (36,0-56,0)

MCV : 109 fL (60-100)

MCH : 34,7 pg (27-32)

MCHC: 31,9 g/dL (32-36)

PLT : 246 (103/µL) (120-380)

Bilirubin Total 15,14 (0,0-1,6) mg/dl

Bilirubin Direct 2,74 (0,0-1,6) mg/dl

3.6 Diagnosis kerja : Sepsis + Ikterus Neonatorum

20

3.7 Problem List

Nampak kuning

Sepsis

3.8 Penatalaksanaan

IVFD Kaen 4A 8 tetes/menit

Cefotaxim 2x 200mg

Ampicillin 2x150mg

Aminofilin 2x150mg

Sonde ASI 10-15 cc

3.9 Riwayat Perjalanan Penyakit Selama di RS

Tanggal Subjektif/Objektif Assessment Planning

24/9/200

9

BBL: 2500 gr BBS: 2400 gr

Tax: 37 C

Pasien datang via UGD dengan

keluhan panas, tidak mau

menetek sejak kemarin. Bayi

lahir dibidan, BBL 2500 gr,

BBS 2400 gr, tiba di NICU KU

lemah, gerak/tangis (+)

menetek (+)

Darah lengkap, tanggal 24

September 2009

WBC : 14,5 K/µL (4,0 – 9,0)

RBC : 4,37 (106/µL) (3,6-5,3)

HGB : 15,3 (g/dL)(12,0-18,0)

HCT : 47,6 % (36,0-56,0)

PLT : 376 (103/µL)

Obs. Febris IVFD Kaen 4A 8

tetes/menit

Cefotaxime 2x 150mg

Cek kemampuan

menetek

k/p pasang sonde

Cek DL

25/9/200 BBS: 2400 gr Tax 36,8 Sepsis IVFD Kaen 4A 8

21

9 KU aktif, pilek (-), gerak tangis

(+), BAB/BAK (+), minum

netek, muntah (-)

tetes/menit

Cefotaxime 2x 150mg

ASI

26/9/200

9

BBS: 2520 gr Tax 36,6

KU: Bayi aktif, menyusu aktif,

gerak tangis (+), BAB/BAK

(+), minum netek, muntah (-)

Sepsis Tx/ lanjut

27/9/200

9

BBS: 2530 gr Tax 36,7

KU: Bayi aktif, menyusu aktif,

gerak tangis (+), BAB/BAK

(+), minum netek, muntah (-)

Sepsis Tx/ lanjut

28/9/200

9

BBS: 2500 gr Tax 38 C

KU: Bayi lemah, minum dot,

muntah (-), BAB/BAK (+),

ikterus (+)

Ikterus Kramer IV-V

Sepsis

Ikterus neonatorum

Fototerapi

Pasang NGT ASI

10-15 cc/jam.

IVFD Kaen 4A 8

tetes/menit

Cefotaxime 2x 150mg

29/9/200

9

BBS: 2520 gr Tax 36,7 C

Pukul 07.30 bayi apneu,

suction lendir (+), bagging

resusitasi berhasil.

KU: Bayi lemah, riwayat apneu

(+), ikterus (+), cyanosis (+)

Pukul 12.15 lapor hasil lab

WBC 21,8 (103)

RBC 4,03 (106)

HGB 13,9 g/dL

Sepsis

Ikterus neonatorum

IVFD Kaen 4A +

glukosa 40% 50 cc

15 tetes/menit

Cefotaxime 2x 200mg

Aminofilin 2x150mg

Sonde ASI 10-15 cc

Pdx/DL, Bilirubin

total dan direct.

Pukul 12.15

Cefotaxim 2x 200mg

Ampicillin 2x150mg

Tx/lain lanjut.

22

HCT 43,9

PLT 246 (103)

Bil. Total 15,14 (0,0-1,6) mg/dl

Bil. Direct 2,74 90,0-1,6) mg/dl

Pukul 13.30

KU: lemah, gerak tangis (+)

minum sonde, muntah (-),

residu (-), apneu (-), demam (+)

Tax 39 C parasetamol

Pukul 18.00 Tax 36,7 C

30/9/200

9

BBS: 2440 gr Tax 37 C

KU baik, Apneu (-), ikterus

(+), menghisap kuat

Sepsis

Ikterus neonatorum

Tx/ lanjut

Minum oral

1/10/200

9

BBS: 2530 Tax 37 C

KU aktif, ikterus berkurang,

minum kuat

Sepsis

Ikterus neonatorum

KAEN 4A 6 tetes

Cefotaxim 2x200mg

Ampicillin 2x150mg

Stop fototerapi

ASI

BAB 4

23

PEMBAHASAN

Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena

adanya deposisi produk akhir katabolisme hem yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada

neonatus akan tampak bila konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL. Hiperbilirubinemia adalah

keadaan kadar bilirubin dalam darah >13 mg/dL. Ikterus neonatorum, pada umumnya fisiologis,

kecuali:

a. Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan

b. Bilirubin total untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan > 10 mg/dL

c. Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/hari

d. Bilirubin direk > 2 mg/dL

e. Ikterus menetap pada bayi cukup bulan > 1 minggu atau pada bayi kurang bulan > 2

minggu

f. Terdapat faktor risiko

Diagnosis ikterus neonatorum ditegakkan dengan:

Dapat digunakan cara visual (sesuai panduan WHO), atau derajat kramer. Dan didukung dengan

pemeriksaan serum bilirubin. Pendekatan penegakkan diagnosis dan menentukan kemungkinan

penyebab pada pasien ini adalah menggunakan saat timbulnya ikterus seperti yang dikemukakan

oleh Harper dan Yoon yaitu:7 Pada pasien ini, ikterus timbul pada hari ke-15 dimana

kemungkinan penyebab ikterus pada pada akhir minggu pertama dan selanjutnya adalah: (1)

obstruksi (2) Hipotiroidisme (3)“Breast milk jaundice” (4)Infeksi/sepsis (5)Neonatal hepatitis

Pada kasus ini pasien didapatkan ikterus neonatorum + hiperbilirubinemia + sepsis, hal

ini didukung dari gejala klinis dan pemeriksaan penunjang. Penyebab ikterus pada bayi ini

adalah sepsis. Pasien dikeluhkan panas badan sejak pagi tanggal 24/09/09. Pasien dikatakan tidak

mau menetek, padahal sebelumnya dikatakan netek kuat, kemudian siang hari pasien dikatakan

panas badan, lalu dibawa ke bidan. Puyer belum sempat diberikan oleh orangtua pasien, hanya

sirup yang diberikan ke pasien, setelah minum sirup, panas menurun. Ketika dibidan, oleh

bidan dikatakan bahwa bayi layu sehingga akhirnya dirujuk ke RS pada malam harinya. Keluhan

lain pasien pilek sejak dari lahir sampai saat SMRS (umur 11 hari), pilek dikatakan tersumbat,

tidak meler. Sudah dibawa berobat kebidan pada usia 5 hari dan diberi sirup (obatnya lupa

namanya, sirup yang diberikan sama dengan sirup penurun panas), namun belum sembuh juga

24

sampai dengan pasien dibawa ke RS. Bayi baru kelihatan kuning pada tanggal 28/9/09 (umur 15

hari).

Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, frekuensi napas 38kali/menit,

HR 134 kali/menit, regular, isi cukup, suhu 36,70 C, berat badan 2520 gram. Didapatkan ikterus,

penampakan fisik kramer V. Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal.

Dari pemeriksaan penunjang 24/9/09 didapatkan kelainan leukositosis, WBC 14,5 K/µL

RBC 4,37 HGB 15,3 (g/dL) HCT 47,6 % PLT 376 (103/µL) Darah lengkap, 29 September

2009, WBC : 21,8 K/µL, RBC 4,03, HGB 13,9 (g/dL), HCT 43,9 %, PLT 246 (103/µL).

Bilirubin total 15,14 (0,0-1,6) mg/dl, Bilirubin direct 2,74 (0,0-1,6) mg/dl.

Pada kasus ini dari anamnesis diketahui bahwa tubuh pasien berwarna kuning mulai dari

kepala hingga telapak kaki sehingga sampai termasuk daerah ikterus no.5. Daerah ikterus no.5

pada bayi prematur menunjukkan kadar bilirubin > 10 mg/dL. Hal ini sesuai dengan hasil

pemeriksaan lab di mana kadar bilirubin total sebesar 15,14 mg/dL sehingga cara Kramer

kemungkinan masih relevan untuk dipakai, walaupun pengalaman membuktikan bahwa derajat

intensitas ikterus tidak selalu sama dengan tingginya kadar bilirubin darah.1

Tata laksana hiperbilirubinemia neonatorum adalah Fototerapi atau transfusi tukar.

Bilirubin

serum

(mg/dL)

<24 jam 24-48 jam 49-72 jam >72 jam

<2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500 <2500 >2500

<5 Tidak perlu terapi-observasi

5-9 Terapi sinar bila hemolisis

10-14 Transfusi tukar

bila hemolisis

Terapi sinar

15-19 Transfusi tukar Terapi sinar

>20 Transfusi tukar

Sumber : Suraatmaja dan Soetjiningsih (2000) dalam : Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUP

Sanglah, Denpasar, cetakan II

Pada kasus ini, jika dilihat dari bagan penatalaksanaan ikterus menurut waktu timbulnya

dan kadar bilirubin maka pasien ini seharusnya mendapat terapi terapi sinar (fototerapi) di mana

25

indikasi terapi pada pasien ini telah terpenuhi dimana Indikasi terapi sinar adalah bayi kurang

bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar bilirubin >10 mg/dL. 11

Mekanisme kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang

larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau urin. Ketika bilirubin mengabsorbsi

cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi. Juga terdapat konversi ireversibel menjadi

isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari plasma melalui

empedu. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar pada

manusia. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonyugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole

yang diekskresikan lewat urin. Foto isomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya

dan secara langsung bisa dieksreksikan melalui empedu. Hanya produk foto oksidan saja yang

bisa diekskresikan lewat urin.

Terapi suportif, antara lain Pemberian ASI dan infus cairan dengan dosis rumatan.

Pada pasien ini diberikan IVFD Kaen 4A ~ 15 tetes/menit, Sonde ASI 10-15 cc. Pemberian

Cefotaxime 2x 200mg untuk penanganan sepsis. Pada pasien juga diberikan Aminofilin

2x150mg dimana sebelumnya pasien memiliki riwayat apneu (29/9/09) pada pukul 07.30.

Perkembangan pasien saat dirawat selanjutnya menunjukkan perbaikan, sudah tidak pernah

apneu, suhu badan sudah menurun, mampu minum ASI kuat, kuning menghilang, sehingga pada

tanggal 1/10/09 fototerapi dihentikan.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Richard E., et al. 2003. Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed. Philadelpia: WB Saunders

Company.

2. Liawati R. 2008. Manajemen Asuhan Kebidanan pada Bayi Baru Lahir pada bayi Ny “D”

dengan Ikterik grade IV. Padang: Poltekes Depkes.

3. Rahmayani. 2008. Ikterus pada Bayi Baru Lahir. Padang: Poltekes Depkes.

4. Sudigdo dkk. 2004. Tatalaksana Ikterus Neonatorum. Jakarta: HTA Indonesia.

5. Mansjoer, A dkk. 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI

6. Arianti, R. 2009. Ikterik pada Bayi Baru Lahir. Padang: Poltekes Depkes.

7. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1985.

”Perinatologi”, dalam: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 2. Jakarta: Bagian Ilmu

Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

8. American Academy of Pediatrics. 2004. Clinical Practice Guideline. Management of

hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 114:297-

316.

9. WHO. 2003. Managing newborn problems:a guide for doctors, nurses, and midwives.

Departement of Reproductive Health and Research. Geneva: World Health Organization.

10. Martin CR, Cloherty JP. 2004. Neonatal Hyperbilirubinemia. In: Cloherty JP, Eichenwald

EC, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care, 5th edition. Philadelphia: Lippincott

Williams and Wilkins.

11. Hamid, H.A. 2000. “Ikterus Neonatorum”, dalam: Suraatmaja, S., Soetjiningsih (eds),

Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak RSUP Sanglah, Denpasar, cetakan II,

Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UNUD/RSUP Sanglah.

12. Kosim, M.S., Santosa, G.I., dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, edisi I,

Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, hal.296-300, 61-63.

27

28