MK-Annisah Herya Kirana.pdf

20
1 UNIVERSITAS INDONESIA GAYA HIDUP MASYARAKAT BADUI SINAI MAKALAH NON SEMINAR Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora ANNISAH HERYA KIRANA 1206221102 FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ARAB DEPOK 2016 Gaya hidup …, Annisah Herya Kirana, FIB UI, 2016

Transcript of MK-Annisah Herya Kirana.pdf

1

UNIVERSITAS INDONESIA

GAYA HIDUP MASYARAKAT BADUI SINAI

MAKALAH NON SEMINAR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora

ANNISAH HERYA KIRANA

1206221102

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI ARAB

DEPOK

2016

Gaya hidup …, Annisah Herya Kirana, FIB UI, 2016

2

Gaya hidup …, Annisah Herya Kirana, FIB UI, 2016

3

Gaya hidup …, Annisah Herya Kirana, FIB UI, 2016

4

Gaya Hidup Masyarakat Badui Sinai

Annisah Herya Kirana

1206221102

Program Studi Arab, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia

[email protected]

Abstrak

Jurnal ini membahas tentang gaya hidup masyarakat Badui Sinai Mesir, antara lain mengenai pola organisasi, nilai-nilai sosial dan hubungan sosial mereka dengan kelompok masyarakat lainnya. Sebagaimana pengertian masyarakat

Badui pada umumnya, masyarakat Badui Sinai merupakan masyarakat keturunan Arab yang hidup bersama di

wilayah Semenanjung Sinai Mesir dengan kondisi geografisnya yang ekstrim dan menerapkan pola kehidupan

nomaden dan semi-nomaden. Kondisi lingkungan hidup mereka yang keras tersebut nantinya berperan penting dalam

membentuk pola organisasi sosial dan nilai-nilai sosial mereka, seperti sikap keberanian, kegigihan dan

solidaritasnya. Seorang syekh atau amir berperan penting dalam mengoordinasi masyarakat Badui yang tinggal di

lingkungan yang keras tersebut. Tanpa adanya seorang pemimpin, hidup di wilayah padang pasir akan terasa sulit.

Seiring berkembangnya zaman, gaya hidup masyarakat Badui tersebut mulai ditinggalkan. Salah satu faktornya yaitu

pembangunan peradaban modern. Akan tetapi, kini masyarakat Badui Sinai masih dihadapkan dengan kondisi yang

sulit. Mereka belum merasakan sepenuhnya hasil dari pembangunan peradaban tersebut. Penulisan jurnal ini

menggunakan metodologi penelitian kualitatif-deskriptif dengan teknik penelitian kajian pustaka.

Kata Kunci: Badui; Gaya Hidup; Mesir; Semenanjung Sinai.

The Bedouin’s Lifestyle in Sinai Peninsula

Abstract

This journal article discusses Bedouin of Sinai in Egypt and its lifestyle, which are the organization pattern, social

values and the social relationship with other communities. Bedouin of Sinai are Arabian descent of nomads and

semi-nomads who live together in Egypt’s Sinai Peninsula with its extreme geographical condition. The harsh

condition has an important role in shaping the organization pattern and their social values, such as bravery,

persistence and solidarity. A syekh or an amir takes a siginificant role in coordinating the Bedouin people, whose life

in that desert will not be easy without the existence of a leader. As time goes by, this kind of lifestyle is no longer

adopted due to the development of modern civilization. However, Bedouin of Sinai ironically do not feel the

beneficial impacts of the civilization development and still struggle with various difficult conditions. This journal

uses a qualitative-descriptive method in conducting the textual analysis.

Keywords: Bedouin, Egypt, Lifestyle, Sinai Peninsula

Gaya hidup …, Annisah Herya Kirana, FIB UI, 2016

5

1. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Suku Badui merupakan penduduk Arab yang tinggal di padang pasir dan bergaya hidup

nomaden (badawa). Nama suku ini berasal dari bahasa Arab yang berarti sederhana, terbuka

(badaa), dan dari situ kata gurun (baadiya) berasal, lalu hal itu menunjukkan bahwa gurun

dianggap sebagai tanah atau dataran terbuka yang sangat luas. Jika melihat pola organisasi

sosialnya, badawa didefinisikan sebagai pola kehidupan padang rumput yang diorganisasikan

secara tribal dalam baadiya. Secara historis, suku Badui tinggal di wilayah-wilayah gurun, seperti

Semenanjung Arab, Suriah, Yordania, Israel, Palestina, Iraq, Mesir, Afrika Utara, daerah-daerah

terpencil Afrika dan Asia Tengah1.

Penaklukan Mesir oleh orang-orang Arab pada tahun 641 M menimbulkan gelombang

migrasi suku-suku Badui Arab dari Semenanjung Arab ke Mesir2. Suku Badui pertama kali

menempati Sinai pada awal abad ke tujuh. Sebagaimana Badui pada umumnya, mereka hidup

nomaden dengan penuh kehormatan, keramahan dan balas dendam berbasis sistem kekerabatan

mereka yang rumit sehubungan dengan tempat tinggal mereka di Sinai yang keras dan serba

kekurangan3. Gaya hidup Badui sangat sederhana dengan keseimbangan yang baik antara waktu

kerja dan waktu luang. Mereka adalah masyarakat tertutup, namun sangat ramah. Ikatan keluarga

dan tradisi yang kuat memainkan peranan paling penting di seluruh aspek kehidupan mereka4.

1.2.Tujuan Penulisan dan Rumusan Masalah

Penulisan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan gaya hidup masyarakat Badui Sinai,

Mesir secara umum mengingat jumlah suku Badui di Mesir tidak sedikit dan tidak benar-benar

homogen. Adapun rumusan masalahnya, yaitu:

1. Bagaimana gaya hidup masyarakat Badui Sinai?

2. Hal apa saja yang mempengaruhi masa depan gaya hidup Badui Sinai?

1Juan Eduardo Campo, 2009, Encyclopedia of Islam, New York: Facts on File, hlm. 98. 2Reuven Aharoni, 2007, The Pasha’s Bedouin: Tribes and State in Egypt of Mehemet Ali 1805-1848, New York:

Routledge, hlm. 17. 3www.brookings.edu/research/opinions/2012/02/15-egypt-bedouin-akins-ahmed diakses pada 13 Desember 2015

pukul 14:35 WIB. 4http://discoversinai.net/english/sinai-bedouin, diakses pada 20 Desember 2015 pukul 14:42WIB.

Gaya hidup …, Annisah Herya Kirana, FIB UI, 2016

6

2. METODOLOGI PENELITIAN

Jurnal yang membahas tentang pola kehidupan Badui Sinai ini disusun berdasarkan metode

penelitian kualitatif-deskriptif dengan menggunakan teknik penelitian kajian pustaka. Sumber-

sumber yang dipakai berasal dari buku, jurnal, serta situs berita online dan edukasi yang

berhubungan dengan topik jurnal. Metode ini dipilih dengan tujuan untuk menggambarkan atau

menjelaskan pola kehidupan Badui Sinai secara umum dengan sebagian besar menggunakan

dasar-dasar teori yang dikemukakan oleh Halim Barakat dalam bukunya yang berjudul Dunia

Arab.

3. HASIL PENELITIAN

Masyarakat Badui Sinai merupakan sekelompok masyarakat Arab pendatang yang berasal

dari negara-negara tetangga Mesir. Beberapa dari mereka ada yang mempraktekkan kehidupan

nomaden dan semi-nomaden secara terus menerus sebelum pada akhirnya gaya hidup tersebut

mulai terancam punah karena faktor alam dan kebijakan pemerintah yang terus mengembangkan

pembangunan peradaban modern. Meskipun masyarakat Badui pada masa sekarang sudah banyak

yang tinggal menetap, pengertian Arab Badui tidak berubah, yakni penduduk Arab yang tinggal

di padang pasir dan bergaya hidup nomaden. Adanya pembangunan peradaban modern pada

kenyataannya belum dirasakan betul oleh masyarakat Badui Sinai. Mereka justru dihadapkan

dengan kondisi yang sulit. Di satu sisi, mereka menyerah dengan gaya hidup mereka, tetapi di sisi

lain mereka masih belum mendapatkan perlakuan yang adil dari pemerintah setempat.

4. PEMBAHASAN

4.1. Geografis Sinai

Semenanjung Sinai atau yang lebih sering disebut dengan Sinai merupakan semenanjung

berbentuk segitiga yang ada di Mesir. Orang-orang Mesir juga menyebutnya The Land of

Turquoise atau Ard ul-Fairuz. Luas areanya sekitar 60.000 km2. Sinai terletak di antara Laut

Mediterania dan Laut Merah. Sebelah barat Sinai terdapat Teluk Suez dan di sebelah timurnya

Gaya hidup …, Annisah Herya Kirana, FIB UI, 2016

7

terdapat Teluk Aqaba. Semenanjung ini merupakan satu-satunya wilayah Mesir yang berada di

benua Asia. Semenanjung inilah yang menjembatani dua daratan dari benua yang berbeda5.

Semenanjung Sinai merupakan wilayah tektonik. Secara fisik, Semenanjung Sinai dibagi

menjadi delapan wilayah, yaitu bukit pasir di pesisir Mediterania, pegunungan yang meliputi

gunung Maghara, Yelleq dan Hilal, gurun pasir di tepi terusan Suez, dataran tinggi berbatu Tih

meliputi drainese utama yakni Wadi Al-Arish, lembah yang terletak di antara pegunungan Sinai

dan dataran tinggi Tih, pegunungan Sinai, dataran Qa, dan tepi pantai Aqaba. Bagian utara Sinai

beriklim Laut Mediterania sedangkan bagian selatannya beriklim tropis. Curah hujan sangat

sedikit6.

Formasi geomorfologi Sinai selatan yang unik menyebabkan iklim dan tanaman yang lebih

bervariasi dibandingkan tempat lain. Keragaman hayati tingkat tinggi yang ada di wilayah Sinai

juga disebabkan oleh kondisi temperatur dan kelembaban yang berbeda. Menurut Moustafa

(2000), karakteristik tanaman gurun yang paling jelas dan umum yaitu pertumbuhan tanaman

yang langka dan hampir tidak ada pepohonan akibat kekeringan yang sering terjadi7. Hewan yang

paling banyak adalah unta dan hewan ternak, seperti kambing dan domba. Burung-burung juga

sering ditemukan di sini, terutama saat musim semi dan gugur, sedangkan reptil, serigala, dan

kambing hutan hampir tidak ditemukan8.

4.2. Badui Sinai

Beberapa suku Badui di Mesir datang dari berbagai negara-negara sekitarnya. Penaklukan

Mesir oleh orang-orang Arab pada tahun 641 M menimbulkan gelombang migrasi suku-suku

Arab ke Mesir dari Semenanjung Arab. Gelombang migrasi suku-suku Badui ke Mesir semakin

meningkat setelah dinasti Fatimiyah menaklukan Mesir pada abad ke 10 M. Di antara mereka,

terdapat suku Berber yang berasal dari Afrika Utara dan mengalami proses arabisasi di Mesir.

Pada zaman Dinasti Mamluk, kelompok-kelompok baru bermunculan dengan nama-nama yang

berbeda. Kelompok-kelompok tersebut bermunculan sebagai akibat dari lamanya federasi

berkuasa atau mereka sengaja melepaskan diri dari kelompok besar. Perpecahan tersebut

5Claire Salanne, 2009, Etude de La Turquoise: De Ses Traitments et imitations, Thesis, Universite de Nantes. 6Ned H. Greenwood, 1997, The Sinai: A Physical Geography, Austin: University of Texas Press, hlm.3-4. 7uqu.edu.sa>plugins>filemanager>files diakses pada 13 Desember 2015 pukul 20:26 WIB. 8 Ned H. Greenwood, 1997, The Sinai: A Physical Geography, Austin: University of Texas Press, hlm.4.

Gaya hidup …, Annisah Herya Kirana, FIB UI, 2016

8

biasanya terjadi karena sengketa lahan, pertumbuhan demografi, peningkatan kekuatan politik

dan ekonomi kelompok tertentu yang memutuskan untuk memisahkan diri dan menjadi mandiri9.

Wilayah kekuasaan suku-suku Badui di Sinai saat ini tumpang tindih, bahkan mungkin ada

beberapa wilayah tempat tinggal suku yang terletak di dalam satu wilayah kekuasaan suku lain10

.

Klasifikasi suku Badui Sinai sama seperti Badui pada umumnya, yakni dibagi berdasarkan

mata pencaharian. Berdasarkan pekerjaan, suku Badui terbagi menjadi Badui-pastoralis dan

Badui-semi pastoralis. Kelompok Badui-pastoralis adalah masyarakat Badui yang bermata

pencaharian sebagai penggembala. Hewan-hewan yang biasa mereka ternakkan adalah kambing,

unta, domba, kuda, dan sapi. Kelompok Badui inilah yang paling nomaden dan umumnya tinggal

di pelosok gurun11

. Hewan ternak mereka, khususnya unta memiliki banyak kegunaan, baik

untuk tradisi maupun untuk kehidupan sehari-hari. Selain dianggap sebagai 'hadiah dari Tuhan',

unta adalah sumber makanan utama dan sarana transportasi bagi banyak orang Badui12

. Adapun

kelompok Badui-semi pastoralis adalah kelompok yang mempraktekkan peladangan berpindah di

oase-oase dan desa-desa serta secara rutin mengarungi gurun.

Dataran Sinai merupakan rumah bagi para penduduk gurun. Sebagian besar dari mereka

tinggal di utara semenanjung. Suku Badui terdiri dari 14 suku besar. Sebagian besar mereka

terhubung dengan Badui di Negev, Yordania dan utara Arab Saudi. Masing-masing dari mereka

hidup dengan adat dan budaya mereka sendiri. Sukwarka yang tinggal di pesisir utara Al-Arish

adalah suku terbesar. Ada juga Tarabin yakni suku yang tinggal di wilayah utara dan selatan

Sinai. Bersama dengan mereka, juga tinggal suku Tyaha. Selain itu, ada juga suku Huwaitat yang

berasal dari Hejaz, Arab Saudi tinggal di tenggara Suez.

Sembilan suku Badui di selatan Sinai dikenal secara kolektif sebagai Towara atau Arab al-

Tor. Suku tersebut adalah suku Badui paling miskin, bahkan mereka sering sekali mengemis

kepada turis-turis dan para biarawan memberikan mereka makanan. Hal tersebut disebabkan oleh

iklim Sinai bagian selatan yang sangat ekstrim13

. Dua suku Towara pertama yang tinggal di Sinai

adalah Aleqat dan Suwalha. Mereka tiba setelah umat Muslim menaklukan Mesir. Suku terbesar

9Reuven Aharoni, 2007, The Pasha’s Bedouin: Tribes and State in Egypt of Mehemet Ali 1805-1848, New York:

Routledge, hlm. 17-18. 10http://discoversinai.net/english/sinai-bedouin, diakses pada 20 Desember 2015 pukul 14:42WIB. 11Halim Barakat, 2012, Dunia Arab, Bandung: Nusa Media, hlm. 67. 12Marc Breulmann, dkk, 2015, The Camel From Tradition to Modern Times,Doha: UNESCO, hlm.10. 13Larry Winter Roeder, 2005, Lecture Book on The Sinai Bedouin Tribes, hlm. 122.

Gaya hidup …, Annisah Herya Kirana, FIB UI, 2016

9

di selatan Sinai adalah Muzeina yang hidup di wilayah pesisir antara Sharm al-Syeikh dan

Nuwaiba sedangkan suku dengan jumlah anggota yang sedikit yaitu Jabaliyyah tinggal di tengah

pegunungan sekitar biara St. Katherine. Anggota suku Jabaliyyah merupakan keturunan orang-

orang Makedonia yang dikirim oleh Kaisar Justinian untuk membangun dan melindungi biara

pada abad ke enam Masehi14

.

4.3. Organisasi Sosial Badui Sinai

Organisasi kesukuan diatur berdasar norma-norma solidaritas yang berbasis hubungan darah

dan ikatan simbiotik, kesetaraan, serta keperwiraan. Organisasi sosial ini berhubungan dengan

kerasnya kehidupan padang pasir yang menuntut adanya militansi dan pergerakan konstan dalam

mencari air dan padang rumput. Organisasi kesukuan dirancang untuk melindungi individu yang

terseret ke situasi bahaya. Individu dalam masyarakat seperti ini bertindak sangat loyal kepada

keluarga dan sukunya serta menampilkan banyak komitmen terhadap mereka15

.

Struktur organisasi dan tingkatannya dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan dari wewenang

pusat yang terletak di pinggiran gurun. Selanjutnya, kondisi pembentukan lembaga politik dalam

konfederasi memungkinkan berkembangnya dasar kepemimpinan yang formasi politiknya lebih

kuat16

. Umumnya, organisasi sosial Badui Sinai memiliki karakteristik kooperatif. Terdapat tiga

unit dasar dalam organisasi sosial Badui, yaitu keluarga (beit, ahl, ‘aila, usra), sub-suku (hamula,

fakhdh, batn, far’), dan suku (qabilla) atau klan (‘asyira).

Unit terbesar di dalam organisasi sosial Badui adalah suku atau klan. Unit ini lebih lebih kuat

dan menyatu. Para anggota suku bergerak, berkemah, menggembalakan domba dan berladang

bersama-sama dalam koordinasi penuh di bawah otoritas satu orang. Satu suku umumnya terdiri

dari empat sampai enam sub-suku yang menyandarkan garis keturunannya pada satu sosok nenek

moyang. Contohnya, Suku Aleqat terdiri dari (sub-suku) Wilad Selmi, Aqlamat, Faranja,

Hamada17

, Jarajira, Kureisat, Tleilat dan Suwada. Akan tetapi, tidak semua sub-suku tersebut

keturunan dari satu nenek moyang yang sama seperti suku Faranja yang dulunya adalah bagian

14Matthew Firestone, 2010, Egypt: Country Guide Series, Melbourne: Lonely Planet, hlm. 486. 15Elbadour Ibrahim, 2012, Particularities of Bedouin’s Social Life, HSSRP, vol.1, no.1, hlm. 78. 16Reuven Aharoni, 2007, The Pasha’s Bedouin: Tribes and State in Egypt of Mehemet Ali 1805-1848, New York:

Routledge, hlm. 37. 17Hamada saat ini tidak lagi menjadi bagian dari Aleqat dan merupakan bagian dari suku Muzeina sejak tahun 1935.

Perpecahan terjadi karena dulu Syeikh Mudakil Suleiman (syeikh Aleqat) dan Syeikh ‘Aid (syeikh Hamada) saling

membunuh ayah mereka. Larry Winter Roeder, 2005, Lecture Book on The Sinai Bedouin Tribes, hlm. 73.

Gaya hidup …, Annisah Herya Kirana, FIB UI, 2016

10

dari Muzeina18

. Suku bertugas untuk mengatur hubungan dengan suku-suku lain dan pemerintah.

Suku-suku tersebut bermukim di area yang telah ditentukan (Ben David, 1981). Selain itu, tujuan

dibentuknya suku juga untuk saling membantu antar anggotanya, di semua aspek kehidupan,

antara lain ekonomi, sosial dan politik19

.

Menurut Emanuel Marx, suku merupakan hasil kumulatif dari usaha yang dibentuk oleh

sekelompok individu dan kelompok untuk bekerja sama satu sama lain dalam menangani

permasalahan mengenai sumber makanan, air dan pertahanan, bahkan suatu kepemimpinan dapat

dengan mudah menjamin dan mengembangkan akses ke sumber-sumber padang rumput dan air

wilayah kekuasaannya. Suku-suku Badui biasanya membatasi penerimaan anggota baru

berdasarkan serangkaian aturan. Sebuah suku dengan jumlah anggotanya yang sangat banyak

akan menemukan kesulitan dalam mengkoordinasi aksi kolektif jika ia tidak memiliki satu

kepemimpinan formal. Seorang kepala suku mampu meminimalisir peperangan antar anggota

sukunya20

.

Selain itu, ia juga bisa menentang aturan pemerintah setempat mengenai tuntutan pajak dan

pelatihan militer. Dengan membayar pajak, suku Badui menjadi warga yang dilindungi, tetapi

biasanya pemerintah tersebut memberikan pelatihan militer atau tekanan administratif sebagai

gantinya. Sebagai contoh, pada paruh kedua abad ke 19 M, suku Rwala lebih memilih untuk

bermigrasi dari Al-Sham ketika mereka berada di bawah tekanan kepemimpinan Ibnu Rasyid dan

bergabung dengan keluarga Sya’alan. Contoh lain, pada pertengahan kedua abad 18 M, Awlad

Habib merekrut banyak sub-suku di wilayah delta yang merasa tertekan di bawah kepemimpinan

rezim Ottoman.

Sebuah suku dipimpin oleh seorang syekh atau amir. Syekh tertinggi disebut dengan Syekh Al-

Masyaikh (pemimpin para pemimpin) (Ashkenazi, 1957). Syekh merupakan pemberi keputusan

terakhir bagi setiap permasalahan suku. Perannya yang lain yaitu di masa perang ia harus berdiri

sebagai panglima perang. Ia dan anak-anaknya adalah hakim tertinggi yang memimpin anggota

sukunya ke tempat-tempat padang rumput seangkan di masa sekarang ia menjadi mediator

rekonsiliasi konflik dan mediator antara kelompok Badui dengan pemerintah. Wewenang syekh

18Larry Winter Roeder, 2005, Lecture Book on The Sinai Bedouin Tribes, hlm. 73. 19Halim Barakat, 2012, Dunia Arab, Bandung: Nusa Media, hlm. 68. 20Reuven Aharoni, 2007, The Pasha’s Bedouin: Tribes and State in Egypt of Mehemet Ali 1805-1848, New York:

Routledge, hlm. 37.

Gaya hidup …, Annisah Herya Kirana, FIB UI, 2016

11

diatur berdasarkan dewan tetua suku, tetapi pada prakteknya ia merupakan pengatur undang-

undang dan semua anggota suku tunduk dengan perintahnya, serta penentuan hak veto berada di

kuasanya (El-Fuel, 1976)21

.

Sub-suku merupakan unit kedua organisasi sosial suku Badui. Sub-suku adalah gabungan dari

beberapa keluarga. Biasanya sejumlah keluarga akan bergabung dan pergi bersama ketika mereka

mengetahui sumber daya alam yang melimpah,. Kelompok-kelompok ini kadang-kadang

dihubungkan dengan garis keturunan patriarki yang terhubung dengan ikatan pernikahan. Sub-

suku biasanya terdiri dari lima generasi atau lebih. Sub-suku merupakan unit pertahanan. Mereka

bertugas menjaga sumber-sumber air dan tempat penggembalaan. Baik keluarga maupun sub-

suku sama-sama menikmati jaminan kesetaraan dan kebebasan. Keputusan-keputusan penting

dibuat berdasarkan consensus berbagai keluarga besar22

.

Keluarga merupakan unit terkecil dari oraganisasi sosial Badui. Pusat aktivitas keseharian dan

penggembalaan terjadi di sini. Satu keluarga dipimpin oleh seorang ayah selagi ia masih masih

hidup, dan ketika ayah tersebut meninggal, setiap anak membentuk sub-keluarganya sendiri (Sal-

Man, 1980). Masyarakat Arab adalah masyarakat patriarki, di mana ayah adalah kepala keluarga,

yang sosoknya dominan dan karismatik. Semua anggota keluarga di bawah kontrolnya dan

mereka semua menghormatinya. Ayah memiliki kuasa penuh untuk memutuskan segala sesuatu

yang berhubungan dengan kehidupan keluarga (Al-Krenawi, 2000). Conthonya, pernikahan anak,

terutama anak perempuan, selalu diatur oleh ayahnya. Anak perempuan tidak boleh menikah

dengan laki-laki di luar suku Badui, tetapi jika laki-laki tersebut tetap ingin menikahi perempuan

Badui, ia harus menjadi anggota suku terlebih dahulu23

.

Umumnya terdapat tiga atau empat orang dewasa (pasangan suami-isteri, orang tua atau

saudara) dan beberapa orang anak. Orang tua, saudara kandung yang lebih tua, kakek-nenek, bibi,

paman, dan sepupu semua memiliki peranan dalam membesarkan anak-anak. Pada usia enam

atau tujuh tahun, anak mulai melakukan tugas rumah tangga yang sederhana dan tidak lama

21Elbadour Ibrahim, 2012, Particularities of Bedouin’s Social Life, HSSRP, vol.1, no.1, hlm. 76. 22Halim Barakat, 2012, Dunia Arab, Bandung: Nusa Media, hlm. 68. 23Larry Winter Roeder, 2005, Lecture Book on The Sinai Bedouin Tribes, hlm. 78.

Gaya hidup …, Annisah Herya Kirana, FIB UI, 2016

12

kemudian bekerja penuh sebagai anggota keluarga. Masa remaja hampir tidak dikenali. Pada usia

16 atau 17 tahun, individu diterima sebagai anggota penuh masyarakat Badui24

.

Dalam organisasi sosial suku Badui, perbedaan kelas sosial-ekonomi jarang terjadi. Hal itu

diminimalisir oleh ikatan darah, ikatan simbiotik dan konsep kepemilikan komunal. Kesetaraan

dalam kekayaan dan status serta ketiadaan perbedaan kelas semakin dikokohkan oleh dasar nilai

egaliter dan model pengambilan keputusan secara konsensus. Meskipun begitu, hierarki status

dan kekuasaan tetap menjadi relasi antar suku. Suku-suku badui yang lemah harus membayar

khuwwa (uang perlindungan) kepada suku-suku Badui yang lebih tinggi statusnya. Perbedaan

hierarki status juga membuat jarang terjadinya pernikahan antar suku yang memiliki perbedaan

derajat kehormatan, bahkan mereka juga percaya bahwa menikah dengan suku yang status sosial

lebih rendah akan menghilangkan kehormatan25

.

4.4.Agama Masyarakat Badui Sinai

Suku-suku Badui Sinai tidak memiliki institusi religius. Kebanyakan masyarakat Badui

adalah muslim sunni bermadzhab Maliki, tetapi di antara mereka, seperti dari suku Muzeina dan

Jabaliyyah, juga masih ada yang mempercayai dewi hujan, umm el-gheith, dan Kristen26

. Sistem

keagamaan mereka meliputi gabungan yang cukup kompleks antara kepercayaan dan praktek-

praktek islam ortodoks dengan adat-istiadat. Mereka lebih menerapkan adat istiadat mereka

sendiri (al-‘araf), tetapi mereka yang muslim juga menjalankan rukun islam dan mempercayai

hal yang ghaib seperti jin serta penggambaran surga.

Mereka secara tradisional menetapkan ahli agama yang mereka sebut syeikh yang berasal dari

wilayah perbatasan pemukiman. Syeikh mengahabiskan waktu beberapa bulan untuk

mengajarkan anak-anak Badui membaca al-Quran. Seseorang dari pedesaan atau pemukiman

yang dicari oleh masyarakat Badui untuk langkah-langkah kuratif dan preventif disebut gatib.

Berdasarkan islam, masyarakat Badui juga menyembelih kambing atau domba ketika anak

mereka lahir, hanya saja mereka menyebutnya berbeda, yaitu foo-ela27

. Dengan demikian, agama

24http://www.bedawi.com/Bedouin_Family_EN.html diakses pada 20 Desember 2015 pukul 15:39 WIB. 25Halim Barakat, 2012, Dunia Arab, Bandung: Nusa Media, hlm. 69. 26Larry Winter Roeder, 2005, Lecture Book on The Sinai Bedouin Tribes, hlm. 109. 27http://www.bedawi.com/Religion_EN.html diakses pada 20 Desember 2015 pukul 19:13 WIB.

Gaya hidup …, Annisah Herya Kirana, FIB UI, 2016

13

memiliki makna yang berbeda di mata masyarakat Badui, tetapi memiliki asumsi fundamental

yang sama dengan para pemeluk Islam di perkotaan.

Masyarakat Badui masih memegang adat-istiadat meskipun agama Islam telah sampai kepada

mereka bertahun-tahun lamanya. Contohnya, mereka masih percaya bahwa dengan menggunakan

aksesoris berbentuk mata berwara biru yang mereka sebut hasset akan melindungi mereka dari

hal-hal yang buruk28

. Kepercayaan terhadap Tuhan dan syeikh berhubungan erat dengan praktek

medis suku Badui Sinai. Mereka meyakini bahwa Tuhan memberi manusia penyakit sebagai

hukuman atas perbuatan buruk mereka atau sebagai ujian bagi iman mereka dan hanya Tuhan lah

yang Maha Penyembuh, sedangkan syeikh membantu menyembuhkan penyakit. Ketika mereka

sembuh, mereka melakukan semacam upacara yang di dalamnya ada zikir dan sajian makanan

sebagai simbol rasa syukur kepada Tuhan yang telah menyembuhkan29

.

4.5.Orientasi Nilai Sosial-Budaya Badui Sinai

Terdapat lima orientasi nilai yang menjadi ciri utama pola kehidupan masyarakat Badui, yaitu

solidaritas kesukuan, keperwiraan, keramahan, individualitas, dan kebersahajaan. Solidaritas

kesukuan merupakan strategi bertahan hidup dalam lingkungan gurun yang keras. Selain itu,

mereka juga mengembangkan sikap mandiri, membagi rata hak kepemilikan, hidup dalam

kelompok-kelompok kecil dan bergantung kepada kemampuan mengingat mereka rentan

mendapat serangan dari pihak luar dan hidup dalam lingkungan yang terisolasi30

.

Sebagaimana Badui pada umumnya, masyarakat Badui Sinai terkenal sebagai kelompok yang

menjunjung tinggi keramahan, kesopanan,dan kejujuran. Mereka juga sangat menghormati

perempuan. Satu sifat lagi yang tidak kalah penting dari masyarakat Badui yaitu dermawan.

Kedermawanan sangat diperlukan oleh masyarakat Badui karena mereka menjalani kerasnya

hidup di gurun-gurun, sehingga kedermawanan merupakan bagian dari cara hidup mereka dan hal

itu telah diajarkan oleh Islam. Dahulu, masyarakat Badui sering menolak pemberian zakat,

bahkan dengan tujuan untuk membantu Badui yang sedang kesusahan sekali pun, karena di

samping mereka lebih suka memberi, mereka juga ingin mempertahankan kehormatan mereka.

Akan tetapi, saat ini tidak semuanya seperti itu. Beberapa kelompok Badui, terutama yang tinggal

28http://www.bedawi.com/Religion_EN.html diakses pada 20 Desember 2015 pukul 19:13 WIB 29Saad Eddin Ibrahim, 1977, Arab Society in Transition,Kairo: Cairo Press, hlm. 459. 30Halim Barakat, 2012, Dunia Arab, Bandung: Nusa Media, hlm. 70.

Gaya hidup …, Annisah Herya Kirana, FIB UI, 2016

14

di dekat biara St. Katheirine, hidup mengandalkan bantuan dari biarawan-biarawan di St.

Katherine.

Seperti yang telah disebutkan pada paragraf sebelumnya, masyarakat Badui adalah

masyarakat yang sangat menjunjung tinggi keramahan. Mereka akan memberikan sajian makanan

yang terbaik dan menawarkan orang lain untuk bermalam bahkan kepada orang asing sekalipun.

Sebuah puisi Arab lama mengatakan bahwa mereka sangat senang dan merasa terhormat jika ada

tamu yang mengunjungi mereka dan mereka akan menganggap tamu itu sebagai raja31

. Seorang

anggota suku dinilai dari bagaimana ia memperlakukan tamu-tamunya. Menolak tamu saja saja

dengan sebuah penghinaan bagi mereka.

Masyarakat Badui juga tidak segan memberikan perlindungan kepada orang-orang yang

meminta perlindungan kepada mereka. Masyarakat Badui Sinai memiliki aturan yang

membolehkan orang lain mengajukan perlindungan kepada mereka dan hukum tersebut bernama

Dakhila. Jika seseorang dikejar-kejar serangan, orang tersebut boleh masuk ke tenda atau rumah

untuk meminta Dakhila. Lalu orang-orang Badui akan membentuk barisan perlindungan

untuknya. Tidak hanya itu, mereka juga akan memberikan makanan, pakaian dan mengantarkan

orang tersebut ke tempat yang aman. Selain Dakhila, mereka juga memiliki konsep Wajh, yaitu

konsep bepergian di bawah proteksi anggota Badui32

. Jika ingin bepergian melalui jalur laut dan

terhindar dari pembajakan, seseorang harus membayar uang perlindungan, setelah itu barulah

seorang anggota suku Budui akan turut serta berlayar.

4.6.Hubungan Sosial Antara Badui Sinai dengan Masyarakat Desa dan Kota

Relasi sosial juga disebut hubungan sosial merupakan hasil dari interaksi (rangkaian tingkah

laku) yang sistematik antara dua orang atau lebih dan bersifat timbal balik serta saling

mempengaruhi. Dikatakan sistematik karena terjadinya secara teratur dan berulang kali dengan

pola yang sama. Secara umum, terdapat dua jenis relasi sosial dalam masyarakat, yaitu relasi

sosial assosiatif dan relasi sosial dissosiatif. Relasi sosial assosiatif merupakan relasi yang

berbentuk kerja sama, akomodasi, asimilasi dan akulturasi serta proses interaksi yang cenderung

31Larry Winter Roeder, 2005, Lecture Book on The Sinai Bedouin Tribes, hlm. 54. 32Larry Winter Roeder, 2005, Lecture Book on The Sinai Bedouin Tribes, hlm. 56.

Gaya hidup …, Annisah Herya Kirana, FIB UI, 2016

15

menjalin kesatuan dan meningkatkan solidaritas anggota kelompok, sedangkan relasi dissosiatif

merupakan relasi yang berbentuk oposisi, contohnya persaingan, pertentangan, dan perselisihan33

.

Sumber-sumber tertulis membahas dua jenis pola relasi yang terjadi antara masyarakat Badui,

desa dan kota yaitu pola relasi assosiatif atau kooperatif dan pola relasi dissosiatif atau

kontradiktif. Sebagian sumber memfokuskan diri pada pola dissosiatif. Ibnu Khaldun mengatakan

bahwa perbedaan antara kedua jenis masyarakat tersebut terjadi karena pola kehidupan sehari-

hari mereka yang berbeda. Pola dissosiatif antara ketiganya disebabkan oleh konflik kepentingan

instrinsik mereka. Ketiganya saling memiliki sentiment-sentimen sendiri satu sama lain34

.

Masyarakat kota dan desa memandang rendah Badui yang dianggap primitif, pemalas, parasit dan

suka merampok.

Relasi sosial dissosiatif antara ketiganya semakin berkurang di beberapa negara Arab sejak

tahun 1950-an. Hal ini disebabkan oleh berbagai perkembangan kontemporer, seperti

pembangunan pemukiman Badui dan migrasi. Masyarakat Badui Sinai memperoleh bahan

pangan dan pakan ternak dari masyarakat desa yang mayoritas adalah masyarakat agraris. Selain

itu, mereka juga memperoleh layanan pendidikan, kesehatan, dan politik dari masyarakat kota35

.

Kegiatan perekonomian mereka juga tidak lepas dari kota. Mereka menjual hasil tambang

permata dan hasil pertanian mereka seperti zaitun, kayu putih, dan tomat ke kota36

.

Masyarakat desa dan kota juga membutuhkan mereka, terutama dalam hal pasokan hewan

ternak dan perlindungan wilayah. Wilayah Semenanjung Sinai juga merupakan salah satu tempat

wisata yang menarik di Mesir. Untuk membantu industria pariwisata di Semenanjung Sinai

antara lain di sekitar St.Katherine dan Serebit el-Khedim, perusahaan-perusahaan pariwisata

mempekerjakan masyarakat Badui Sinai sebagai pemandu pariwisata dan penuntun unta. Suku

Aleqat pernah melayani kunjungan duta besar Amerika Serikat pada tahun 198837

.

Sentimen terhadap Badui Sinai sempat muncul kembali pada tahun 2000-an. Hal ini

disebabkan oleh penculikan warga negara asing yang terjadi di Semenanjung Sinai. Pada tahun

33http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/33733/4/Chapter%20II.pdf, diakses pada 20 Desember 2015 pukul

20:16 WIB. 34Halim Barakat, 2012, Dunia Arab, Bandung: Nusa Media, hlm. 89. 35Halim Barakat, 2012, Dunia Arab, Bandung: Nusa Media, hlm. 89. 36Larry Winter Roeder, 2005, Lecture Book on The Sinai Bedouin Tribes, hlm. 113, 119. 37Larry Winter Roeder, 2005, Lecture Book on The Sinai Bedouin Tribes, hlm. 74-75.

Gaya hidup …, Annisah Herya Kirana, FIB UI, 2016

16

2012, 25 orang pekerja asal Cina ditawan. Beberapa minggu setelah aksi penawanan tersebut,

muncul kasus penculikan dua wanita asal Amerika dan merampok telepon seluler serta dompet

milik tiga turis lainnya saat mereka berlibur di Semenanjung Sinai. Kelompok Badui Sinai

mengakui da bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Alasan mereka melakukan penculikan

tersebut adalah mereka menuntut pembebasan beberapa anggota suku mereka yang ditahan oleh

pemerintah Mesir. Sentimen tersebut kemudian hilang seiring pengakuan salah satu wanita yang

diculik mereka. Ia mengatakan bahwa mereka mendapatkan pelayanan yang baik dan tidak takut

sama sekali dengan kelompok Badui tersebut. Mereka juga sangat baik dan melayani mereka

sebagaimana keluarga38

.

4.7. Masa Depan Gaya Hidup Badui Sinai

Ada beberapa pendapat mengenai masa depan gaya hidup Badui. Muhammad Marzuqi

berpendapat bahwa aspek-aspek peradaban modern seperti proyek hunian, pendidikan,

pembangunan jalan, pengadaan listrik, peluang kerja di kota dan aspek lainnya telah

menyebabkan punahnya budaya nomaden seiring meninggalnya generasi tua mereka. Selain

faktor aspek peradaban modern, faktor kebijakan pemerintah, alam dan perang juga

menyebabkan menyusutnya budaya nomaden. Contohnya, gaya hidup Badui di Suriah berakhir

sekitar tahun 1958 hingga 1961 seiring melandanya kekeringan parah39

, dan perang saudara yang

terjadi di Suriah membuat beberapa masyarakat Badui menjadi pengungsi dan menemukan

tempat tinggal di Yordania40

, Turki, Libanon dan negara-negara lain. Kemudian, kebijakan

pemerintah di beberapa negara Arab seperti Mesir, Irak, dan negara-negara Arab produsen

minyak berkeinginan untuk meningkatkan standar hidup warganya yang secara perlahan

menyebabkan masyarakat Badui menjadi warga yang hidup menetap.

Perencanaan pariwisata secara siginifikan terlaksana pada tahun 1994, ketika pemerintah

Mesir di bawah presiden Hosni Mubarak dan lembaga bantuan internasional datang dengan

proyek-proyek yang luas untuk mengembangkan Teluk Aqaba. Selain untuk keuntungan

finansial, pariwisata juga menjadi alat politik pemerintah untuk mengakomodasi secara cepat

38http://www.dailymail.co.uk/news/article-2096002/Sinai-Peninsula-kidnapping-American-tourists-praise-

kidnappers-release-Egypt.html, diakses pada 21 Desember 2015 pukul 22:09 WIB. 39 Marina Leybourne, Ronald Jaubert, Richard N. Tutwiler, Changes in Migration and Feeding Patterns Among

Semi-nomadic pastoralists in Northern Syria, hlm.7. 40 http://www.aljazeera.com/video/middleeast/2012/03/20123103261649274.html diakses pada 21 Desember 2015

pukul 18:26 WIB.

Gaya hidup …, Annisah Herya Kirana, FIB UI, 2016

17

migrasi internal dari pusat daerah guna membantu nasionalisasi Semenanjung Sinai. Tindakan

nasionalisasi pertama, yaitu dengan mendeklarasikan kepemilikan seluruh tanah di Semenanjung

Sinai menjadi milik negara berdasarkan Undang-Undang No.143 pada tahun 1981. Meskipun

masyarakat Badui mampu menyediakan dana yang diperlukan untuk meregistristasi lahannya,

negara lebih suka menjual terutama untuk warga asing dan perusahaan atau warga negara asing41

.

Diskriminasi terhadap masyarakat Badui Sinai terus berlangsung selama beberapa dekade.

Proyek pembangunan di Sinai, termasuk pabrik semen tidak banyak memberi masyarakat Badui

kesempatan untuk bekerja. Pihak pabrik lebih memilih pekerja-pekerja asal kota. Hal seperti ini

terjadi pula di bidang pariwisata. Mereka juga hanya diberikan pekerjaan sebagai pemandu hotel,

cleaning service atau buruh harian, sedangkan profesi-profesi lainnya diisi oleh pekerja imigran

asal kota. Angka pengangguran di kalangan Badui Sinai bertambah. Hal ini yang terkadang

membuat mereka terpaksa melakukan penyelundupan ganja42

.

Menurut Gilbert, kebijakan perubahan gaya hidup dan pariwisata memberikan dampak

finansial yang besar bagi masyarakat Badui Sinai, tetapi tidak begitu lama. Setelah itu, mereka

menderita karena harus kehilangan sebagian besar gaya hidup nomadennya dan beradaptasi

dengan kultur baru yang sangat berbeda. Suku Muzeina dan Tarabin yang memiliki teritori di

pesisir Laut Merah harus kehilangan gaya hidup nomaden mereka dan tinggal di sekitar pesisir

kota-kota pariwisata. Mereka juga menderita secara moril. Suku-suku Badui Sinai dianggap

menjadi ancaman terhadap kedaulatan negara, tidak taat dan tidak bertanggung jawab.

Pendapat lain mengenai masa depan gaya hidup Badui disampaikan oleh Saad Eddin Ibrahim.

Menurutnya berbagai upaya untuk meleburkan orang-orang Badui ke dalam sektor-sektor

kehidupan modern hanya bisa berhasil dalam dua bidang, yaitu ladang minyak dan tentara

pertahanan nasional, seperti halnya yang terjadi di Arab Saudi. Di Mesir sendiri, 73 suku Badui

yang memberikan bantuan militer untuk melakukan perlawanan terhadap kelompok teroris Ansar

Bayt al-Maqdis (ABM). Kelompok teroris tersebut mengakui sejumlah penyerangan terhadap

41 Nadeem Karkabi, 2013, Lifestyle Migration in South Sinai, Egypt: Nationalisation, Privileged Citizenship and

Indigenous Rights, International Review of Social Research, vol. 3, hlm.7 42www.brookings.edu/research/opinions/2012/02/15-egypt-bedouin-akins-ahmed diakses pada 13 Desember 2015

pukul 14:35 WIB.

Gaya hidup …, Annisah Herya Kirana, FIB UI, 2016

18

instalasi-instalasi militer Mesir di Semenanjung Sinai43

. Meskipun demikian, mereka masih tidak

diizinkan untuk bergabung dengan tentara nasional, belajar di lembaga-lembaga kepolisian dan

militer, menduduki jabatan di pemerintahan dan mebentuk partai politik mereka sendiri44

.

Masyarakat Badui juga dianggap masih terkungkung dalam pola-pola ekonomi subsisten, yakni

tingkat produktivitas kegiatan rendah dan tingkat produksi hanya cukup untuk kehidupan yang

sederhana dengan cara barter meskipun saat ini sudah tidak banyak yang menggunakannya. Akan

tetapi, masyarakat Badui saat ini sudah mulai mengenal uang sebagai nilai tukar.

5. KESIMPULAN

Masyarakat Badui Sinai merupakan masyarakat badui yang hidup di wilayah Semenanjung

Sinai, Mesir. Nilai-nilai sosial mereka yang mereka miliki tidak terlepas dari kondisi geografis

tempat tinggal mereka yang keras dan serba kekurangan. Kondisi Semenanjung Sinai yang keras

dan penuh persaingan menuntut mereka untuk menjadi kelompok yang tangguh, pemberani,

dermawan, dan hidup dalam kesederhanaan. Secara umum, organisasi sosial terdiri dari dari tiga

unit, yaitu keluarga, sub-suku dan suku besar. Organisasi sosial mereka juga dipegaruhi oleh

kondisi geografis. Di tengah-tengah kehidupan gurun diperlukan satu pemimpin syeikh yang

mampu memimpin dan menyatukan sub-sub suku, karena tanpa pemimpin peperangan antar sub-

suku akan lebih sering terjadi. Seiring berjalannya waktu, peranan syeikh tidak hanya mengurusi

masalah internal suku saja, tetapi ia juga yang memediasi antara pemerintah dengan suku.

Pendapat umum masih mengatakan bahwa suku Badui diklasifikasikan menjadi dua, yaitu

nomaden dan semi-nomaden. Akan tetapi, pada masa sekarang, pengklasifikasian tersebut mulai

kabur karena gaya hidup Badui Sinai mulai terkikis seiring berkembangnya zaman. Faktor-faktor

utama yang menyebabkan menurunnya gaya hidup Badui Sinai, yaitu aspek-aspek peradaban

modern dan kebijakan pemerintah. Akan tetapi, kebijakan pemerintah tersebut tidak selalu

menguntungkan masyarakat Badui Sinai, bahkan sering mengintimidasi dan mengakibatkan

mereka melakukan tindakan nekad seperti penculikan dan penyulundupan ganja. Sekalipun usaha

43http://thecairopost.youm7.com/news/148367/news/73-sinai-tribes-unite-to-assist-military-in-sinai-bedouin-leader,

diakses pada 21 Desember pukul 21:39 WIB 44http://www.irinnews.org/report/92998/egypt-bedouins-begin-to-demand-equal-citizenship-rights, diakses pada 11

Januari 2015 pukul 17:23 WIB.

Gaya hidup …, Annisah Herya Kirana, FIB UI, 2016

19

menyatukan suku badui dengan aspek-aspek peradaban modern hanya berhasil dalam bidang

kemiliteran dan perminyakan, bukan berarti mereka adalah ancaman bagi terbentuknya sebuah

negara modern dan tidak bisa beradaptasi. Mereka memerlukan adaptasi yang cukup panjang

dengan budaya baru yang datang sebagaimana saat Islam datang kepada mereka.

Perlakuan diskriminasi terhadap masyarakat Badui Sinai harus segera dihentikan karena hal

tersebut akan membuat masyarakat Badui semakin tertinggal. Adanya pembangunan peradaban

modern seharusnya menjadi ladang bagi pemerintah untuk meningkatkan sumber daya seluruh

warga negaranya, termasuk masyarakat Badui sehingga mereka bisa mengikuti perkembangan

zaman tanpa harus kehilangan budaya asli mereka serta tidak hidup dalam kemiskinan. Gaya

hidup masyarakat Badui Sinai yang unik sebetulnya bisa menjadi daya tarik pariwisata Mesir.

Melalui pariwisata, pemerintah Mesir bisa memperkenalkan dan melestarikan budaya suatu

bangsa serta meningkatkan taraf hidup bangsa tersebut sebagaimana yang terjadi di Yordania.

Daftar Referensi

Buku dan Jurnal:

Aharoni, Reuven. 2007. The Pasha’s Bedouin: Tribes and State in Egypt of Mehemet Ali 1805-

1848. New York: Routledge.

Barakat, Halim. 2012. Dunia Arab. Bandung: Nusa Media.

Breulmann, Marc, dkk. 2015. The Camel From Tradition to Modern Times. Doha: UNESCO.

Campo, Juan Eduardo. 2009. Encyclopedia of Islam, New York: Facts On File.

Firestone, Matthew. 2010. Egypt: Country Guide Series. Melbourne: Lonely Planet.

Greenwood, Ned H. 1997. The Sinai: A Physical Geography. Austin: University of Texas Press.

Ibrahim, Elbadour. 2012. Particularities of Bedouin’s Social Life. HSSRP. Vol.1. no.1.

Ibrahim, Saad Eddin. 1977. Arab Society in Transition. Kairo: Cairo Press.

Karkabi, Nadeem. 2013. Lifestyle Migration in South Sinai, Egypt: Nationalisation, Privileged

Citizenship and Indigenous Rights. International Review of Social Research. Vol. 3.

Leybourne, Marina Ronald Jaubert, Richard N. Tutwiler. 1993. Changes in Migration and

Feeding Patterns Among Semi-nomadic pastoralists in Northern Syria. Overseas

Development Institute. Vol.34.

Roeder, Larry Winter. 2005. Lecture Book on The Sinai Bedouin Tribes.

Gaya hidup …, Annisah Herya Kirana, FIB UI, 2016

20

Website:

http://www.brookings.edu/research/opinions/2012/02/15-egypt-bedouin-akins-ahmed, diakses

pada 13 Desember 2015 pukul 14:35 WIB.

http://discoversinai.net/english/sinai-bedouin, diakses pada 20 Desember 2015 pukul 14:42 WIB.

http://thecairopost.youm7.com/news/148367/news/73-sinai-tribes-unite-to-assist-military-in-

sinai-bedouin-leader, diakses pada 21 Desember pukul 21:39 WIB

http://www.aljazeera.com/video/middleeast/2012/03/20123103261649274.html diakses pada 21

Desember 2015 pukul 18:26 WIB.

http://www.bedawi.com/Bedouin_Family_EN.html diakses pada 20 Desember 2015 pukul 15:39

WIB.

http://www.bedawi.com/Religion_EN.html diakses pada 20 Desember 2015 pukul 19:13 WIB.

http://www.dailymail.co.uk/news/article-2096002/Sinai-Peninsula-kidnapping-American-

tourists-praise-kidnappers-release-Egypt.html, diakses pada 21 Desember 2015 pukul

22:09 WIB.

Gaya hidup …, Annisah Herya Kirana, FIB UI, 2016