Makalah Putusan Mk

23
MAKALAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura Dosen Pengampu: Helmy Boemiya S.H.,M.H Disusun Oleh: ANDREAS OKTODIKA (130111100) DWI ROWDHOTUL PUTRI (130111100144) FARADIBA SIENDI (130111100120) TAUFIKUR RAHMAN (130111100) NIKI YULIANI (130111100)

description

makalah putusan

Transcript of Makalah Putusan Mk

MAKALAHPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSIDisusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Mahkamah KonstitusiFakultas Hukum Universitas Trunojoyo MaduraDosen Pengampu:Helmy Boemiya S.H.,M.H

Disusun Oleh:ANDREAS OKTODIKA (130111100)DWI ROWDHOTUL PUTRI (130111100144)FARADIBA SIENDI (130111100120)TAUFIKUR RAHMAN (130111100)NIKI YULIANI (130111100)

BAB IPENDAHULUANHukum Acara Mahkamah Konstitusi sebagai hukum formal (procedural law) memiliki fungsi sebagai publiekrechtelijk instrumentarium untuk menegakkan hukum materiil (handhaving van het materiele recht), yaitu hukum tata negara materiil (materiele staatsrecht). Hukum tata negara materiil ini meliputi berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku secara formal dalam praktik penyelenggaraan negara yang berpuncak pada konstitusi atau Undang-Undang Dasar sebagai the supreme law of the land.Dalam rangka menegakkan hukum materiil, mengawal dan menegakkan supremasi konstitusi, demokrasi, keadilan dan hak-hak konstitusional warga negara, Undang-Undang Dasar 1945 telah memberikan 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi untuk: (1) menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar; (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; (3) memutus pembubaran partai politik; (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan (5) memutus pendapat DPR atas dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, atau perbuatan tercela dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Atas dasar kewenangandan kewajiban konstitusional inilah, hukum acara (procedural law) diperlukan untuk mengatur mekanisme atau prosedur beracara di Mahkamah Konstitusi.Hukum Acara Mahkamah Konstitusi mengatur penegakan hukum yang materinya telah ditentukan dalam hukum materiilnya het materiele recht moet gehandhaafd worden en dat gebeurt in een process. Jadi, hukum materiil harus ditegakkan dan hal itu terjadi di dalam suatu acara. Hukum yang mengatur acara inilah yang disebut dengan formeel recht atau procedural law.

Putusan dalam peradilan merupakan perbuatan hakim sebagai pejabat Negara yang berwenang diucapkan dalam siding terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan oleh para pihak kepadanya[footnoteRef:1]. Sebagai perbuatan hukum yang akan menyelesaikan sengketa yang dihadapkan kepadanya, maka putusan hakim itu merupakan tindakan negara dimana kewenangannya dilimpahkan kepada hakim baik berdasarkan UUD 1945 maupun Undang-undang. [1: M.P. Stein, Onder een vonnis dient men te verstaan de door de rechters als bevoegd overheids orgaan verrichte rechtshandeling, strekkend tot beslissing van het aan hen voorgelegde geschill tussen partijen, Hal:158]

RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana jenis dan sifat putusan Mahkamah Konstitusi ?2. Aspek-aspek apa saja yang ada pada putusan Mahkamah Konstitusi ?TUJUAN1. Mengetahui jenis dan sifat putusan Mahkamah Konstitusi2. Mengetahui aspek pada putusan Mahkamah Konstitusi

BAB IIPEMBAHASAN2.1 Jenis dan Sifat Putusan Mahkamah KonstitusiPernyataan sikap atau perbuatan pejabat berwenang yang menyelesaikan sengketa yang dibawakan kehadapannya dapat dibedakan antara putusan yang mengakhiri sengketa tersebut dan putusan yang belum menyebab berakhirnya sengketa. Jenis putusan yang disebut pertama dikenal dengan putusan akhir, yaitu satu sikap dan pernyataan pendapat yang benar-benar mengakhiri sengketa tersebut. Dalam persidangan dan hukum acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, tentu ini diartikan bahwa putusan tersebut telah final dan mengikat (final and binding).Terdapat dua jenis putusan hakim dalam suatu proses peradilan, yaitu putusan yang mengakhiri suatu perkara atau sengketa yang diadili atau putusan akhir dan putusan yang menjadi bagian dari proses peradilan yang belum mengakhiri perkara atau sengketa yang disebut dengan putusan sela atau putusan provisi. Putusan sela atau putusan provisi adalah putusan yang diberikan oleh majelis hakim atas permohonan pihak yang bersengketa terkait dengan suatu hal yang berhubungan dengan perkara yang diperiksa atau atas pertimbangan hakim. Putusan sela dapat berupa permintaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau terkait dengan status hukum tertentu sebelum putusan akhir dijatuhkan.Dalam hukum acara MK, putusan provisi pada awalnya hanya terdapat dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara. Pasal 63 UU MK menyatakan bahwa MK dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan sampai ada putusan MK.Pada perkembangannya, putusan sela juga dikenal dalam perkara pengujian UU dan perselisihan hasil Pemilu. Putusan sela dalam perkara pengujian UU pertama kali dijatuhkan dalam proses pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), perkara Nomor 133/PUU-VII/2009. Dalam proses persidangan perkara tersebut atas permohonan dari pemohon, MK memberikan putusan sela yang pada intinya menyatakan bahwa ketentuan Pasal 30 UU KPK mengenai pemberhentian pimpinan KPK yang menjadi terdakwa tidak dapat dilaksanakan terlebih dahulu sebelum ada putusan MK mengenai pengujian pasal yang dimaksud.Untuk perkara perselisihan hasil Pemilu, putusan sela diatur dalam PMK Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah; PMK Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan PMK Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden. Putusan Sela dalam PMK Nomor 16 Tahun 2009 dan PMK Nomor 17 Tahun 2009 diartikan sebagai putusan yang dijatuhkan oleh hakim sebelum putusan akhir berupa putusan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu berkaitan dengan objek yang dipersengketakan yang hasilnya akan dipertimbangkan dalam putusan akhir.[footnoteRef:2] Di dalam hukum acara, khususnya dalam hukum acara perdata terdapat pandangan yang oleh beberapa ahli telah dianggap sebagai salah satu prinsip hukum acara, yaitu hakim dilarang memutus melebihi apa yang dimohonkan (ultra petita). Ketentuan tersebut berdasarkan Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) RBg. [2: Lihat Pasal 1 angka 19 PMK Nomor 16/PMK/2009 dan Pasal 1 angka 9 PMK Nomor 17/PMK/2009.]

Namun demikian berdasarkan karakteristik perkara yang menjadi wewenang MK, tidaklah dapat dikatakan bahwa larangan ultra petita tersebut dapat diterapkan untuk peradilan di MK. Kewenangan pengujian undang-undang yang dimiliki oleh MK pada prinsipnya bersifat publik walaupun pengajuannya dapat dilakukan oleh individu tertentu yang hak konstitusionalnya dirugikan oleh ketentuan undang-undang. Hal itu sesuai dengan objek pengujiannya yaitu ketentuan undang-undang sebagai norma yang bersifat abstrak dan mengikat secara umum. Dalam hal pengujian UU misalnya, jelas bahwa perkara ini menyangkut kepentingan umum yang akibat hukumnya mengikat semua orang (erga omnes). Larangan ultra petita berlaku dalam lapangan hukum perdata karena inisiatif untuk mempertahankan atau tidak satu hak yang bersifat privat yang dimiliki individu tertentu terletak pada kehendak atau pertimbangan individu itu bahkan, perkembangan dan kebutuhan pemenuhan tuntutan keadilan telah menyebabkan larangan tersebut tidak lagi diberlakukan secara mutlak. Dalam pertimbangan hukum putusan tentang UU KKR, MK menyebutkan adanya putusan Mahkamah Agung yang menegaskan bahwa Pasal 178 ayat (2) dan ayat (3) HIR serta Pasal 189 ayat (2) dan ayat (3) RBg tentang larangan ultra petita tidak berlaku secara mutlak karena adanya kewajiban hakim bersikap aktif dan harus berusaha memberikan putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara. Selain itu, dalam setiap gugatan, dakwaan, ataupun permohonan biasanya selalu dicantumkan permohonan kepada hakim untuk menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono) sehingga hakim memiliki keleluasaan untuk menjatuhkan putusan lebih dari petitum.Dilihat dari amar dan akibat hukumnya, putusan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu declaratoir, constitutief, dan condemnatoir. Putusan declaratoir adalah putusan hakim yang menyatakan apa yang menjadi hukum. Misalnya pada saat hakim memutuskan pihak yang memiliki hak atas suatu benda atau menyatakan suatu perbuatan sebagai perbuatan melawan hukum.Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu keadaan hukum dan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru. Sedangkan putusan condemnatoir adalah putusan yang berisi penghukuman tergugat atau termohon untuk melakukan suatu prestasi. Misalnya, putusan yang menghukum tergugat membayar sejumlah uang ganti rugi.Secara umum putusan MK bersifat declaratoir dan constitutief. Putusan MK berisi pernyataan apa yang menjadi hukumnya dan sekaligus dapat meniadakan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru. Dalam perkara pengujian UU, putusan yang mengabulkan bersifat declaratoir karena menyatakan apa yang menjadi hukum dari suatu norma undang-undang, yaitu bertentangan dengan UUD 1945. Pada saat yang bersamaan, putusan tersebut meniadakan keadaan hukum berdasarkan norma yang dibatalkan dan menciptakan keadaan hukum baru. Demikian pula dalam putusan perselisihan hasil Pemilu, putusan MK menyatakan hukum dari penetapan KPU tentang hasil Pemilu apakah benar atau tidak. Apabila permohonan dikabulkan, MK membatalkan penetapan KPU itu yang berarti meniadaan keadaan hukum dan menciptakan keadaan hukum baru.Menurut Maruarar Siahaan, putusan MK yang mungkin memiliki sifat condemnatoir adalah dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, yaitu memberi hukuman kepada pihak termohon untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Pasal 64 ayat (3) UU MK menyatakan bahwa dalam hal permohonan dikabulkan untuk perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, MK menyatakan dengan tegas bahwa termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan.[footnoteRef:3] [3: Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal. 240]

2.2 Aspek-Aspek Putusan Mahkamah Konstitusi2.2.1 Rapat Permusyawaratan HakimSetelah pemeriksaan persidangan selesai, hakim Mahkamah Konstitusi akan melakukan musyawarah untuk mengambil sikap apakah akan mengabulkan permohonan, menolak atau menyatakan tidak dapat diterima. Rapat permusyawatan hakim (RPH) untuk pengambilan putusan akhir dalam sengketa yang dihadapkan padanya harus memenuhi kuorum sekurang-kurangannya 7 (tujuh) orang hakim. Ini terjadi hanya karena ada dua hal-hal luar biasa baik karena sakit atau halangan tetap yang belum dapat diatasi.Dalam hal biasa, kuorum itu harus dengan pleno lengkap yang dihadiri oleh 9 (Sembilan) orang hakim. RPH pada tahap pertama akan lebih dahulu mendenganrkan laporan panel hakim yang menangani perkara tersebut yang akan melaporkan hasil-hasil pemeriksaan perkara, baik mengenai legal issue maupun pendapat ahli dan keterangan saksi tentang fakta yang relevan dengan perkara yang dihadapi.Setelah itu, panel hakim akan memberikan rekomendasi tentang arah penyelesaian perkara jika panel hakim terdiri dari 3 (tiga) orang anggota memiliki kesamaan pendapat. Jika tidak, pendapat individual hakim panel bersama-sama dengan pendapat hukum hakim konstitusi yang dibuat secara tertulis akan didengar satu per satu.Ketua Siding pleno akan lebih dahulu memetakan pendapat yang dikemukakan dengan membuat peta pendapat yang sama dan mencoba pendekatan perbedaan yang ada diantara hakim. Selalu diusahakan musyawarah yang sungguh-sungguh diantara hakim konstitusi dengan saling mengemukakan argument yang berusaha mendekatkan pandangan-pandangan yang berbeda. Apabila perbedaan pendapat itu tidak lagi diperkecil dan bahkan tidak dapat dipertemukan, maka ketua sidang pleno akan mengambil kebijaksanaan terakhir dengan melakukan pemungutan suara. Mayoritas sederhana (simple majority) dengan perbandingan 5 (lima) suara telah cukup untuk mengambil keputusan apakah mengabulkan atau menolak permohonan. Pendapat hakim yang berbeda (dissenting opinion), jika hakim yang bersangkutan menghendaki dapat dimuat dalam putusan. Garis yang harus dipedomani dalam hal menyangkut etik dalam mengemukakan pendapat berbeda adalah pendapat berbeda harus ditulis dengan menghormati putusan mayoritas mahkamah konstitusi.Pendapat berbeda diharapkan tidak dilakukan dengan mencela putusan mahkamah konstitusi melainkan dengan menekankan pada titik tolak persidangan atau teori yang dianut dalam memberikan pendapat yang berbeda tersubut. RPH akan menugaskan panel hakim perkara yang bersangkutan untuk menyusun draf putusan mahkamah konstitusiyang akan diumumkan kecuali kalau secara keseluruhan anggota panel berada dalam kubu pendpat yang berbeda. Dalam hal yang demikian, maka tugas untuk menyusun rancangan putusan akan diserahkan pada salah seorang hakim yang menyetujui pendapat mayoritas.Rancangn putusan yang dibuat kemudian disajikan di depan rapat pleno untuk diperhalus. Setelah disetujui, rancangan putusan yang demikian akan dibacakan dihadapan siding yang terbuka untuk umum. Setelah pengumuman putusan tersebut, maka putusan akan ditandatangani kesembilan hakim serta panitera pengganti.

2.2.2 Sususnan dan Isi PutusanPutusan MK dibuat berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti yang diperiksa di persidangan dan keyakinan hakim.[footnoteRef:4] Putusan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 alat bukti.[footnoteRef:5] [4: Pasal 45 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003.5 Pasal 45 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003.] [5: ]

Putusan yang telah dicapai dalam RPH dapat diucapkan dalam sidang pleno pengucapan putusan hari itu juga, atau dapat ditunda pada hari lain. Jadwal sidang pengucapan putusan harus diberitahukan kepada para pihak.[footnoteRef:6] Putusan ditandatangani oleh hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus, serta oleh panitera. [6: 6 Pasal 45 ayat (9) dan ayat (10) UU No. 24 Tahun 2003.]

MK memberi putusan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap putusan MK harus memuat:[footnoteRef:7] [7: 7 Pasal 48 UU No. 24 Tahun 2003.]

a. kepala putusan berbunyi: DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA;b. identitas pihak, dalam hal ini terutama adalah identitas pemohon dan termohon (jika dalam perkara dimaksud terdapat pihak termohon), baik prinsipal maupun kuasa hukum;c. ringkasan permohonan;d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;f. amar putusan; dan g. hari, tanggal putusan, nama hakim konstitusi, dan panitera.Bagian ringkasan permohonan dan pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan dalam praktik putusan MK dimuat pada bagian Duduk Perkara. Pada bagian ini memuat ringkasan seluruh proses persidangan yang terjadi, mulai dari ringkasan permohonan, alat bukti yang diajukan, keterangan pihak terkait, keterangan saksi pemohon, keterangan ahli pemohon, keterangan saksi termohon/pihak terkait, keterangan ahli termohon/pihak terkait, serta keterangan ahli dari MK (jika ada). Pada bagian pertimbangan hukum terdiri dari dua bagian, yaitu tentang kewenangan Mahkamah dan legal standing pemohon, serta tentang pokok perkara. Pada bagian pertama, MK akan mempertimbangkan apakah permohonan merupakan kewenangan MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus. Jika merupakan kewenangan MK, pertanyaan selanjutnya yang dipertimbangkan adalah apakah pemohon memiliki legal standing mengajukan permohonan dimaksud.Pada bagian pertimbangan hukum atas pokok perkara, ditentukan isu hukum yang harus dipertimbangan dan dijawab yang menentukan amar putusan. Berbagai isu hukum tersebut diberikan pertimbangansatu-persatu, bahkan terhadap keterangan saksi dan ahli juga dijawab oleh majelis hakim, baik menyetujui maupun menolak keterangan itu. Di akhir pertimbangan, dicantumkan kesimpulan (konklusi) dan dilanjutkan dengan amar putusan.Selain bagian-bagian di atas, Pasal 45 ayat (10) UU No. 24 Tahun 2003 mengamanatkan bahwa pendapat anggota Majelis Hakim yang berbeda dimuat dalam putusan. Pendapat berbeda memang mungkin, dan dalam praktik sering terjadi, karena putusan dapat diambil dengan suara terbanyak jika musyarawah tidak dapat mencapai mufakat.Pendapat berbeda dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (1) dissenting opinion; dan (2) concurent opinion atau consenting opinion. Dissenting opinion adalah pendapat berbeda dari sisi substansi yang memengaruhi perbedaan amar putusan. Sedangkan concurent opinion adalah pendapat berbeda yang tidak memengaruhi amar putusan. Perbedaan dalam concurent opinion adalah perbedaan pertimbangan hukum yang mendasari amar putusan yang sama.84 Concurent opinion karena isinya berupa pertimbangan yang berbeda dengan amar yang sama tidak selalu harus ditempatkan secara terpisah dari hakim mayoritas, tetapi dapat saja dijadikan satu dalam pertimbangan hukum yang memperkuat amar putusan.Sedangkan dissenting opinion, sebagai pendapat berbeda yang memengaruhi amar putusan harus dituangkan dalam putusan. Dissenting opinion merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban moral hakim konstitusi yang berbeda pendapat serta wujud transparansi agar masyarakat mengetahui seluruh pertimbangan hukum putusan MK.Adanya dissenting opinion tidak memengaruhi kekuatan hukum putusan MK. Putusan MK yang diambil secara mufakat oleh 9 hakim konstitusi tanpa perbedaan pendapat memiliki kekuatan yang sama, tidak kurang dan tidak lebih, dengan putusan MK yang diambil dengan suara terbanyak dengan komposisi 5 berbanding 4.Dalam praktik putusan MK, penempatan dissenting opinion mengalami beberapa perubahan. Pertama kali, dissenting ditempatkan pada bagian pertimbangan hukum Mahkamah setelah pertimbangan hukum mayoritas, baru diikuti dengan amar putusan. Pada perkembangannya, penempatandemikian dipandang akan membingungkan masyarakat yang membaca putusan karena setelah membaca dissenting baru membaca amar putusan yang tentu saja bertolak belakang. Terlebih lagi apabila dissenting tersebut cukup banyak sebanding dengan pertimbangan hukum hakim mayoritas. Oleh karena itu penempatan dissenting tersebut kembali diubah, yaitu setelah amar putusan tetapi sebelum bagian penutup dan tanda tangan hakim konstituti serta panitera pengganti.86 Saat ini, dissenting ditempatkan setelah penutup dan tanda tangan hakim konstitusi namun sebelum nama dan tanda tangan panitera pengganti.

2.2.3 Pelaksanaan dan Akibat Putusan mahkamah konstitusi, sebagaimanan telah diuraikan diatas, kebanyakan jenisnya terutama dalam pengujian undang-undang adalah besifat declaratoir constitutive. Yang artinya, putusan mahkamah konstitusi tersebut menciptakan atau meniadakan suatu keadaan hukum yang baru atau juga membentuk hukum baru sebagai negative-legislator, yang disebut Hans kelsen adalah melalui satu pernaytaan. Sifat decalratoir tidak membutuhkan satu aparat yang melakukan pelaksanaan putusan mahkamah konstitusi.Eksekusi demikian dibutuhkan dalam jenis-jenis putusan pengadilan biasa yang bersifat condemnatoir, yang menghukum salah satu pihak untuk melakukan sesuatu, misalnya membayar sejumlah uang. Putusan pengadilan biasa pun yang sifatnya declaratoir, seperti pernyataan bubarnya perkawinan karena perceraian, dengan sendirinya keadaan hukum baru tersebut berlaku sejak diumumkannya putusan dalam siding yang terbuka untuk umum. Tidakdibutuhkan aparat khusus untuk melaksanakan karena bunyi putusan hanya berupa pernyataan tentang berlakunya keadaan hukum baru.Meskipun dibutuhkan langkah untuk mendaftarkan perceraian tersebut, hal demikian tidak dipandang sebagai pelaksanaan atau eksekusi putusan. Atau juga kalau hal itu dipandang sebagai bentuk eksekusi atas putusan dimaksud, bentuknya hanya sebatas tindakan administrasi berupa pencatatan di catatan sipil. Demikian putusan mahkamah konstitusi dengan amar menyatakan bagian undang-undang atau pasal-pasal atau ayat tertentu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, putusan tersebut telah mempunyai hukum mengikat sejak diumumkan dalam sidang terbuka untuk umum. Namun, sebagai syarat untuk diketahui secara umum, putusan demikian, diumumkan dalam berita negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan. tidak dibutuhkan adanya suatu aparat khusus untuk melaksanakan putusan tersebut, karena sifatnya yang declaratoir.Yang menjadi persoalan hukum sekarang jikalau undang-undang yang akan diberlakukan harus lebih dulu diumumkan dan dimuat dalam lembaran negara mengapa putusan mahkamah konstitusi yang membatalkan undang-undang tersebut melalui pernyataannya tidak mempunyai kekuatan mengikat, hal itu merupakan sebagai hukum, hanya diumumkan dalam berita negara sehinggaakibat hukum putusan hukum yang sederajad dengan undang_undang yang di batal kan tampak nya secara teoritis merupakan masalah hukum yang serius.Kalau pemerintah ataub lembaga negara lain tidak mematuhi putusan tersebgut dan justru masi tetap memberlakukan undang_undang yang telah di nyatakan mahkamah konstitusi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,hal itu merupakan suatu tindakan yang pengawasan nya ada dalam mekanisme hukum dan tata negara itu sendiri.perbuatan yang di dasar kan undang_undang yang sudah di nyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah perbuatan melawan hukum,dan demi hukum batal sejak semula.Jika konsekuensi hukum yang terjadi berupa kerugian ifnansial, aparat negar atau blenbaga negara tersebut menanggung akibat hukum yang dapat bersifat pribadi (personal liabilty) untuk mengganti kerugian yang dituntut melalui peradilan biasa yang dapat ditegakkan secara paksa akan tetapi, dari sudut konstitusi, perbuatan melawan hukum demikian, jika dilakukan pemerintah atau presiden, boleh jadi akan memicu proses politik yang diadakan di DPR yang dapat bermua bahwa presiden akan tidak lagi memenuhi syarat menjadi presiden karena alasan yang disebut dalam UUD 1945. Putusan mahkamah konstitusi sejak diucapkan dihadapan sidang terbuka untuk umum, dapat menpunyai 3 (tiga) kekuatan, yaitu (1) kekuatan mengikat, (2) kekuatan pembuktian, dan (3) eksekutorial. Jenis kekuatan putusan yang demikian dikenal dalam teori hukum acara perdata pada umumnya dan haln ini dapat juga diterapkan dalam hukum acara mahkamah konstitusi.1. Kekuatan Mengikatmahkamah konstitusi berwenang mengadili perkara konstitusi di tingkat pertama dan terakhir putusannya bersifat final. Itu berarti bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.2. Kekuatan Pembuktian Pasal 60 UUMK menentukan bahwa muatan ayat, pasal dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan untuk diuji kembali. Dengan demikian, adanya putusan mahkamah yang telah menguji undang-undang, merupakan alat bukti yang dapat digunakan bahwa telah diperoleh suatu kekuatan pasti (gezag van gewijsde).3. Kekuatan Eksekutorial Sebagai suatu perbuatan hukum pejabat negara yangb dimaksudkan untuk mengakhiri sengketa kyang akan meniadakan atau menciptakan hukum yang baru, maka tentu saja diharapkan bahwa putusan tersebut tidak hanya merupakan kata-kata diatas kertas.Sebagai putusan hakim, setiap orang kemudian akan berbicara bagaimana pelaksanaannya dalam kenyataan. Akantetapi, sebagaimana telah disinggung diatas berbeda dengan putusan hakim biasa, atas putusan maka suatu keputusan yang mengikat para pihak dalam perkara perdata member hak pada pihak yang dimenangkan untuk meminta putusan tersebut dieksekusi jikalau menyangkut penghukuman atas pihak yang kalah untuk melakukan sesuatu atau pembayaran sejumlah uang. Dalam hal demikian dikatakan bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum tetep itu mempunyai kekuatan eksekutortial, yaitu agar putusan itu dilaksanakan, dan jika perlu dengan kekuatan paksa (met steke arm). 2.2.4 Akibat Hukum Putusan Mahkamah KonstitusiMahkamah konstitusi sebagai negative legislator, boleh jadi mengabulkan permohonan pemohon atau menolaknya. Akan tetapi, juga ada kemungkinan bahwa permohonan dinyatakan tidak diterima karena tidak memenuhi syarat formal yang diharuskan. Putusan mahkamah konstitusi meniadakan satu keadaan hukum atau menciptakan hak atau kewenangan tertentu. Dengan kata lain, putusan itu akan membawa akibat tertentu yang mempengaruhi satu keadaan hukum dan/atau kewenangan.Akibat hukum yang timbul dari satu putusan hakim jika menyangkut pengujian terhadap undang-undang yang diatur dalam pasal 58 undang-undang mahkamah konstitusi. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:undang-undang yang yang diuji oleh mahkamah konstitusi tetap berlaku sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-undang Dasar negara republik Indonesia tahun 1945. Ini berarti, bahwa putusan hakim mahkamah konstitusi yang menyatakan satu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan tidak boleh berlaku surut. Akibat hukum yang timbul dari putusan itu dihitung sejak putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Oleh karena itu, akibat hukum yang timbul dari belakunya satu undang-undang sejak diundangkan sampai diucapkan putusan yang menyatakan undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tetap sah dan mengikat.Akan tetapi, secara teoritis ada hal-hal yang memerlukan perhatian. Apakah ketentuan ketentuan pasal 58 UU MK tersebut berlaku secara umum dan mutlak? Di dalalm undang-undang Mahkamah Konstitusi korea selatan secara tegas disebut adanya pengecualian pasal 47 ayat (2) dari the constitusional court act korea selatan mengatur hal yang sama dengan bunyi pasal 58 undang-undang mahkamah konstitusi dengan mengecualikan jika yang dinyatakan inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah menyangkut ungang-undang hukum pidana, pernyataan tersebut berlaku surut (extunc) mulai dari saat diundangkannya undang-undang tersebut.Semua putusan yang menghukum terdakwa atas dasar undang-undang hukum pidana demikian menjadi batal dan dengan sendirinya menyebabkan terdakwa tersebut harus dibebaskan. Bahkan hukuman yang sudah dijalani berdasarkan undang-undang yang dinyatakan batal, harus juga dinyatakan tidak berlaku meskipun terdapat beberapa pengecualian dalam pelaksanaannya. Teradapat dua putusan Mahakamah Konstitusi yang dapat dijadikan acuan studi tentang akibat hukum putusan yang menyatakan batalnya satu undang-undang. Pertama, perkara no. 013/puu-i/2003 yang diputus tanggal 22 juli 2004 tentang pengujian undang-undang no. 16 tahun 2002 tentang pemberlakuan undang-undang no.15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme secara retroaktif untuk peristiwa bom Bali. Kedua, adalah putusan perkara no. 018/puu-i/2003 tentang pengujian undang-undang no. 45 tahun 1999 tentang pembentukan provinsi irian jaya barat. Undang-undang yang terakhir ini tidak menyangkut hukum pidana tetapi tetap menari untuk menjadi objek penelitian dari segi tidak berlaku surutnya kebatalan undang-undang yang diuji tersebut. 2.2.5 Akibat Hukum Putusan Impeachmemt Mahkamah KonstitusiKarena alasan yang telah diutarakan tentang penyebutan kewenangan mahkamah konstitusi untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir pada 4 (empat) jenis sengketa, tetapi menyebut kewajiban memutus perkara impeachment presiden/wakil presiden secara terpisah memerlukan penjelasan tersendiri. Akibat hukum mahkamah konstitusi tantang impeachment presiden perlu dibicarakan secara khusus. Meskipun dari sudut politik, seandainya proses impeachment telah berhasil memperoleh putusan mahkamah konstitusi yang membenarkan pendapat DPR dengan menyatakan presiden dan/atau wakil presiden bersalah melakukan pelanggaran hukum, maka proses politik tersebut belum mencapai tahap akhir.DPR melalui keputusan sidang Paripurna masih akan mengajukan usul pemberhentian presiden/wakil presiden dilampiri putusan Mahkamah Konstitusi tersebut kepada MPR. MPR dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima usul dimaksud akan bersidang untuk memutuskan dengan satu keputusan yang harus di setujui 2/3 anggota yang hadir dan sidang MPR demikian harus dihadiri minimal dari keseluruhan anggota MPR. Apakah proses politik yang demikian mempunyai akibat hukum tertentu yang mempengaruhi sifat mengikat putusan mahkamah konstitusi, yang menyatakan presiden/wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum? ada argument yang menyatakan bahwa pembuat undang-undang memisahkan 4 (empat) kewenangan mahkamah konstitusi dalam pasal 10 undang-undang mahkamah konstitusi ayat (1) dengan menyatakan mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, hanya sepanjang menyangkut pengujian undang-undang, sengketa kewenangan lembaga negara, pembubaran parpol dan perselisihan hasil pemilihan umum.Adapun terhadap pejabat DPR tentang pelanggaran hukum presiden/wakil presiden, disebutkan bahwa mahkamah konstitusi wajib memutusnya apakah hal tersebut mempunyai akibat hukum terhadap putusan mahkamah konstitusi, sehingga dalam hal demikian putusan mahkamah konstitusi tidak mempunyai kekuatan mengikat dan masih dapat dipersoalkan oleh MPR, terutama karena dalam pasal 7B ayat (7) UUD 1945 MPR masih memberi kesempatan kepada presiden/wakil presiden yang telah dinyatakan melakukan perbuatan melanggar hukum oleh mahkamah konstitusi, untuk menyampaikan penjelasan. Oleh karena itu, syarat kuorum yang ditentukan dalam pasal 7B ayat (7) UUD 1945 tersebut kemungkinan besar presiden/wakil presiden yang telah dinyatakan oleh mahkamah konstitusi melanggar hukum tidak berhasi dipecat.dalam hal demikian dikatakan bahwa putusan mahkamah konstitusi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak bersifat final.Pendapat demikian tidak tepat, kaena harus dibedakan secara tegas antara proses politik dan proses hukum. sebagai satu proses hukum, meskipun pasal 10 ayat (1) undang-undang mahkamah konstitusi yang memuat sifat final putusan mahkamah konstitusi hanya menyangkut 4 (empat) kewenangan, sedangkan terhadap proses impeachment yang diatur dalam ayat (2) tidak disebutkan secara tegas, maka ukuran untuk menentukan apakah putusan satu peradilan telah bersifat final dan mempunyai kekuatan mengikat adalah ada tidaknya badan yang berwenang secara hukum meninjau ulang (review) putusan pengadilan tersebut, serta ada tidaknya mekanisme dalam hukum acara tentang siapa dan bagaimana cara peninjauan ulang tersebut dilakukan.Kedua ukuran tersebut tidak ditemukan baik dalam UUD 1945 maupun dalam undang-undang Mahkamah konstitusi. Kalau demikian adanya, maka putusan mahkamah konstitusi tentang impeachment presiden/wakil presiden tersebut secara yuridis telah final dan karenanya pasal 47 undang-undang mahkamah konstitusi yang menyatakan putusan mahkamah konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum berlaku terhadapnya. Oleh karena itu, putusan mahkamah konstitusi tentang impeachment presiden tersebut mempunyai kekuatan mengiukat secara hukum, dan sepanjang mengenai amar yang menyatakan presiden melakukan perbuatan melanggar hukum yang didakwakan DPR, mengikat seluruh lembaga, aparat pemerintahan dan warga masyarakat. Putusan yang demikian dikatakan orga omnes.

BAB IIIKESIMPULAN3.1 KesimpulanMenjatuhkan putusan adalah salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang telah diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusisebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final and binding yaitu bersifat final dan mengikat. Putusan Mahkamah Konstitusi ini menimbulkan akibat hukum

3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKAMaruar Siahaan. 2012. HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Edisi 2. Jakarta. Sinar Grafika.Mahkamah Konstitusi. 2010. HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI. Jakarta. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ( Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316 ) Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Pedoman Beracara Dalam Perselishan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah