Makalah UAS Kaka_ Viktim

download Makalah UAS Kaka_ Viktim

If you can't read please download the document

Transcript of Makalah UAS Kaka_ Viktim

Kedudukan Korban Tindak Pidana Narkoba dalam Perspektif ViktimologisUjian Akhir Semester Genap Mata Kuliah Teori Viktimologi

Oleh Ika Novitasari 0706284345 Departemen Kriminologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Depok, 2009

BAB I PENDAHULUAN

1.A. LATAR BELAKANG MASALAH Jumlah narapidana dan tahanan narkoba memang jauh lebih besar dibanding kasus pidana lainnya. Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta, 30% penghuni rumah tahanan (rutan) dan lapas adalah mereka yang tersangkut kasus narkoba. Para pengguna narkoba atau pecandu harus mendapatkan kemudahan atas akses rehabilitasi untuk penanganan dan pemberantasan narkoba. Namun, hal itu tidak mudah, karena sampai saat ini pecandu masih dianggap sebagai pelanggar hukum.1 Mestinya, pemerintah harus dapat memilah antara pecandu dan pengedar, karena pecandu itu korban, dan dapat dipastikan dengan semakin meningkatnya pecandu, maka tindak pidana narkoba juga akan meningkat.2 Pasal 41 UU Psikotropika menyebutkan 'Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang psikotropika dapat diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan'. Sedangkan Pasal 47 ayat (1) UU Narkoba menyatakan hakim yang memeriksa perkara pecandu narkoba dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan apabila pelaku terbukti bersalah. Masa di panti rehabilitasi ini harus dihitung juga sebagai masa menjalani hukuman. Bila pecandu narkoba tak dinyatakan bersalah, hakim juga dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pecandu narkoba itu dikirim ke panti rehabilitasi. Dalam kondisi masyarakat Indonesia saat ini, para pengguna narkoba memang masih banyak dianggap sebagai seorang pelaku kriminal, dan banyak pula dari mereka yang diasingkan dari masyarakat atau kehidupan sosial. Padahal sesungguhnya mereka adalah korban-korban yang terjebak dalam lingkaran hitam dunia narkotika dan harus dengan segera diselamatkan sebelum terlambat. 1.B. PERUMUSAN MASALAH1 Resosialisasi dan Rehabilitasi bagi Pemakai Narkoba, http://m.kompas.com 2 Kemudahan Akses Rehabilitasi untuk Pemakai Narkoba, www.kabarindonesia.com

Kedudukan korban dalam tindak pidana narkoba sering menjadi kontroversi, dimana mereka bertindak sebagai seorang pelaku kejahatan ataukah korban, dan ataukah pelaku yang juga sekaligus korban kejahatan. Tindak pidana yang berhubungan dengan narkoba dikualifikasikan menjadi beberapa bentuk tindak pidana, namun yang sering terjadi di masyarakat adalah berhubungan dengan pemakai dan pengedar narkoba. Jika berbicara tentang pengedar narkoba, sudah jelas kiranya telah terjadi interaksi antara pengedar dan pembeli narkoba, keduanya merupakan pelaku tindak pidana narkoba. Akan tetapi, jika kita berbicara tentang pemakai narkoba, sejauh ini masih terdapat perbedaan sudut pandang mengenai pemakai narkoba. Hukum positif menyatakan, pemakai narkoba adalah pelaku tindak pidana karena telah memenuhi kualifikasi dalam undang-undang narkoba. Jika pemakai adalah pelaku tindak pidana, maka siapakah korban dari tindak pidana tersebut, sedangkan saat ini sudah mulai bermunculan banyak pendapat yang menyatakan bahwa pengguna narkoba adalah seorang korban, bukan pelaku kejahatan.

1.C. SIGNIFIKANSI PENULISAN

a. Signifikansi akademis

: diharapkan penulisan makalah ini memperkaya dan

mengembangkan studi mengenai kedudukan korban dalam tindak pidana narkoba dalam perspektif viktimologis. b. Signifikansi praktis : diharapkan dapat memberikan gambaran tentang bagaimana peliknya permasalahan kontroversi kedudukan korban dalam tindak pidana narkoba di Indonesia dengan perspektif viktimologis.

1.D. SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I Pendahuluan Dalam bab ini, penulis menguraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, signifikansi penulisan, serta yang terakhir adalah sistematika penulisan.

BAB II Kerangka Pemikiran Bab ini berisi tentang landasan teori terkait dengan permasalahan yang diangkat, yaitu pemikiran mengenai korban kejahatan yang dapat ditinjau dari dua sudut pandang yaitu, sudut pandang hukum positif dan sudut pandang sosiologis ; pemikiran Sellin dan Wolfgang yang mengkualifikasikan jenis-jenis korban kejahatan ; dan pemikiran Stephen Schafer yang berbeda dengan pemikiran Sellin dan Wolfgang dimana Stephen Schafer memiliki kriteria tersendiri dalam membagi korban kejahatan. selain itu, terdapat sub bab definisi konseptual untuk menjelaskan hal-hal terkait.

BAB III Analisa Permasalahan Bab ini berisikan analisa permasalahan yang diangkat oleh penulis dengan mempergunakan kerangka pemikiran sebagai acuan, serta dengan beragam sumber yang penulis dapatkan mengenai kedudukan korban dalam tindak pidana narkoba khususnya dalam perspektif viktimologis. . BAB IV Kesimpulan Bab ini berisi tentang kesimpulan dari bab-bab sebelumnya.

BAB II KERANGKA PEMIKIRAN

2.A. LANDASAN TEORI Korban dalam kejahatan dapat ditinjau dari dua sudut pandang yaitu, sudut pandang hukum positif dan sudut pandang sosiologis. Permasalahan kedua yang akan dibahas adalah mengenai kedudukan korban tindak pidana narkoba dalam perspektif viktimologis. Sebagai batasan pembahasan, tindak pidana narkoba yang dibahas disini adalah tindak pidana sebagaimana tercantum dalam pasal 85 ayat (1) sampai (3) (penggunaan narkotika golongan I, II dan III bagi diri sendiri) Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan pasal 59 ayat (1) huruf a (penggunaan psikotropika golongan I) Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Menjawab permasalahan tersebut, Sellin dan Wolfgang memberikan kualifikasi jenis-jenis korban kejahatan (Lilik Mulyadi, 2004: 115) sebagai berikut: 1. Primary victimization adalah korban individual, jadi korban disini adalah korban perorangan bukan korban kolektiv atau kelompok; 2. Secondary victimization, maksud dari korban dengan bentuk seperti ini adalah, korbannya badan hukum atau kelompok ; 3. Tertiary victimization yang menjadi korban adalah masyarakat luas, boleh juga dikatakan, bahwa korbannya abstrak dan tidak berhubungan langsung dengan kejahatan ; 4. Mutual victimization, yang menjadi korban adalah pelaku sendiri, korban tidak menyadari bahwa dirinya adalah korban dari kejahatan yang dilakukannya sendiri; 5. No victimization, istilah no victimization bukan berarti tidak ada korban. Korban tetap ada akan tetapi tidak dapat segera diketahui keberadannya atau posisinya sebagai korban. Berbeda dengan Sellin dan Wolfgang, Stephen Schafer memiliki kriteria tersendiri dalam membagi korban kejahatan. Pembagian menurut Stephen Schafer adalah sebagai berikut: 1. Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan

menjadi korban karena potensial. Untuk itu dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada di pihak korban; 2. Provocative victims, merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku bersama-sama; 3. Participating victims, hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Pertanggung jawaban sepenuhnya berada di tangan pelaku; 4. Biologically weak victims adalah kejahatan karena faktor fisik korban. Pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya; 5. Socially weak victims adalah korban yang yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti para gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Pertanggungjawabannya terletak pada penjahat atau masyarakat; 6. Self victimizating victims adalah korban yang dilakukan sendiri (korban semu). Untuk itu pertanggung jawabannya terletak pada korban sepenuhnya karena sekaligus sebagai pelaku; 7. Political victims, adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali ada adanya perubahan konstelasi politik.

2.B. DEFINISI KONSEPTUAL Rumusan mendasar dari suatu kejahatan adalah adanya pelaku dan korban kejahatan. Menurut Arif Gosita (Arif Gosita, 1983: 76), kejahatan adalah suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan yang saling mempengaruhi. Berdasarkan definisi kejahatan yang diuraikan oleh Arif Gosita di atas, dapatlah kita ambil suatu kesimpulan, bahwa kejahatan merupakan hasil interaksi manusia. Para kriminolog sepakat, bahwa kejahatan merupakan produk dari masyarakat. Selama masyarakat masih mengadakan interaksi satu dengan yang lain selama itu pula kejahatan akan tetap muncul. Ada korban, ada kejahatan dan sebaliknya, ada kejahatan ada korban. Rangkaian kata ini menyatakan, apabila terdapat korban kejahatan, jelas terjadi suatu kejahatan.

Kejahatan sebagaimana didefiniskan oleh Arif Gosita tersebut adalah kejahatan dalam arti luas. Kejahatan dalam arti luas tidak hanya yang dirumuskan dalam undang-undang, tetapi juga tindakan yang menimbulkan penderitaan dan tidak dapat dibenarkan serta dianggap jahat oleh masyarakat. Kejahatan dalam arti sempit adalah Mijsdriff atau crime yang merupakan bagian dari tindak pidana atau delict. Dua sudut pandang yang berbeda satu dengan yang lainnya tentang kedudukan korban, yaitu dalam tataran hukum positif dan sosiologis. Sudut pandang hukum positif menjabarkan tentang kedudukan korban dilihat dari hukum positif yang berlaku di Indonesia, sedangkan dalam sudut pandang sosiologis mengkaji tentang kedudukan korban apabila dihubungkan dengan proses kriminalisasi dan dekriminalisasi. 1. Menurut hukum positif, suatu perbuatan dikatakan sebagai suatu perbuatan pidana atau tindak pidana jika perbuatan tersebut melawan hukum (melanggar undang-undang) dan terdapat unsur kesalahan dalam diri pelaku tindak pidana tersebut. Jika unsur melawan hukum dan unsur kesalahan tersebut telah terpenuhi, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana dan pelaku dapat dikenakan sanksi pidana. Kedudukan korban dalam kejahatan menurut hukum positif tidaklah mutlak, dalam artian korban bukanlah unsur terpenuhinya rumusan suatu kejahatan atau tindak pidana. 2. Sudut Pandang Sosiologis. Berbeda halnya dengan sudut pandang hukum positif yang menyatakan, bahwa kedudukan korban bukanlah unsur mutlak terjadinya kejahatan, pandangan sosiologis memiliki pandangan yang berbeda. Dalam pandangan sosiologis, korban memilki posisi yang cukup vital dalam hubungannya dengan kejahatan. Korban adalah salah satu tolok ukur dalam menentukan kejahatan. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai kejahatan kalo ada pihak yang dirugikan, dan pihak tersebut disebut dengan korban.

BAB III

ANALISIS PERMASALAHAN

Pada sub pembahasan di atas telah disinggung, bahwa kedudukan korban dalam kejahatan dapat ditinjau dari dua sudut pandang yaitu, sudut pandang hukum positif dan sudut pandang sosiologis. Permasalahan kedua yang akan dibahas adalah mengenai kedudukan korban tindak pidana narkoba dalam perspektif viktimologis. Sebagai batasan pembahasan, tindak pidana narkoba yang dibahas disini adalah tindak pidana sebagaimana tercantum dalam pasal 85 ayat (1) sampai (3) (penggunaan narkotika golongan I, II dan III bagi diri sendiri)Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan pasal 59 ayat (1) huruf a (penggunaan psikotropika golongan I) Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Sejauh ini, dalam undang-undang narkoba, baik dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika maupun Undang-undang nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika dalam pasal yang telah disebutkan di atas, tidak dicantumkan rumusan yang tegas tentang kedudukan pelaku dan korban. Walaupun dalam hukum positif dinyatakan secara tegas kedudukan korban bukanlah hal mutlak dalam suatu tindak pidana, namun dalam tindak pidana narkoba ini kedudukan korban tidak ditinjau dari segi mutlak atau tidaknya, melainkan seseorang yang melakukan tindak pidana tersebut (pasal 85 Undang-undang Narkotika dan pasal 59 Undang-undang Psikotropika) disebut sebagai pelaku ataukah korban kejahatan narkoba. Hubungan antara pelaku dan korban kejahatan yang oleh Stephen Schafer dinyatakan sebagai teori criminal-victim relationship tidak tergambar secara nyata dalam tindak pidana narkoba ini. Korban suatu kejahatan dapat dibagi-bagi dan dibedakan secara tegas oleh Sellin dan Wolfgang maupun oleh Stephen Schafer. Pada intinya Stephen Schafer menekankan pembagian korban berdasarkan partisipasinya, Schafer menyatakan bahwa korban mempunyai tanggungjawab fungsional yakni secara aktif menghindari untuk menjadi korban dan tidak memprovokasi serta memberikan kontribusi terhadap terjadinya tindak pidana. Kontribusi korban dalam tindak pidana sering disebut dengan istilah victim precipitation. Apabila dihubungkan dengan permasalahan kedudukan korban dalam tindak pidana narkoba, dimanakah peranan atau kedudukan korban dalam tindak pidana

tersebut? Kedudukan korban tersebut dapat termasuk dalam kategori mutual victimization menurut Sellin dan Wolfgang atau self victimizating victims menurut Stephen Schafer. Secara normatif, pelaku tindak pidana tersebut adalah pelaku, karena memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana disyaratkan dalam segi objektif maupun subjektif. Namun dalam perspektif viktimologis, pelaku tindak pidana tersebut adalah mutual victimization atau self victimizating victims. Pelaku tidak sadar bahwa dia adalah korban dari kejahatannya sendiri, korban berpartisipasi penuh terhadap kejahatan tersebut karena korban adalah pelaku.

BAB IV

KESIMPULAN

Hubungan antara pelaku dan korban kejahatan yang oleh Stephen Schafer dinyatakan sebagai teori criminal-victim relationship tidak tergambar secara nyata dalam tindak pidana narkoba ini. Schafer menyatakan bahwa korban mempunyai tanggungjawab fungsional yakni secara aktif menghindari untuk menjadi korban dan tidak memprovokasi serta memberikan kontribusi terhadap terjadinya tindak pidana. Kontribusi korban dalam tindak pidana sering disebut dengan istilah victim precipitation. Kedudukan korban tersebut dapat termasuk dalam kategori mutual victimization menurut Sellin dan Wolfgang atau self victimizating victims menurut Stephen Schafer. Dalam perspektif viktimologis, pelaku tindak pidana tersebut adalah mutual victimization yang memiliki asumsi bahwa yang menjadi korban adalah pelaku sendiri, korban tidak menyadari bahwa dirinya adalah korban dari kejahatan yang dilakukannya sendiri atau self victimizating victims. Pelaku tidak sadar bahwa dia adalah korban dari kejahatan yang dilakukannya sendiri, korban berpartisipasi penuh terhadap kejahatan tersebut karena korban adalah pelaku.

DAFTAR PUSTAKA

Arif Gosita, 1983: 76. Sellin dan Wolfgang dalam tulisan Lilik Mulyadi, 2004: 115. Resosialisasi dan Rehabilitasi bagi Pemakai Narkoba. http://m.kompas.com Kemudahan Akses Rehabilitasi untuk Pemakai Narkoba. www.kabarindonesia.com Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta : Penerbit Balai Pustaka, 2005 Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika. www.bnn.com Penanganan korban narkoba. hukumonline.com