Pengembangan Perusahaan (Makalah Pengganti UAS)

26
Hukum Perusahaan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada Gubernur) dalam Era Otonomi Daerah” Dosen : Prof. Dr. Sri Redjeki Hartono, S.H Oleh : Rudini Hasyim Rado 11010114410096

description

Hukum Perusahaan

Transcript of Pengembangan Perusahaan (Makalah Pengganti UAS)

Page 1: Pengembangan Perusahaan (Makalah Pengganti UAS)

Hukum Perusahaan

“Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada Gubernur) dalam Era Otonomi Daerah”

Dosen :

Prof. Dr. Sri Redjeki Hartono, S.H

Oleh :

Rudini Hasyim Rado11010114410096

Kelas Akhir PekanMagister Ilmu HukumUniversitas Diponegoro

Semarang2015

Page 2: Pengembangan Perusahaan (Makalah Pengganti UAS)

Hukum Perusahaan

Oleh : Rudini Hasyim Rado

P e n d a h u l u a n

A. Latar Belakang

Setiap negara di dunia tentu punya pendekatan tersendiri dalam

mengelola bangsanya termasuk Indonesia. Baik dalam urusan ekonomi, hukum

sampai pada persoalan politik dan pemerintahan. Secara umum, dunia dibelah

oleh dua sistem demokrasi baik pemilihan yang secara perwakilan langsung dan

perwakilan tidak langsung. Tentu selain itu juga tidak dapat dimunafikan banyak

pula negara yang bahkan menganut sistem demokrasi campuran (sistem

demokrasi tidak murni baik perwakilan langung maupun tidak langsung)

Pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah (pemilu/pilkada)

hakikatnya adalah alat atau instrumen untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat,

hal ini dapat ditarik dari amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 pada alinea keempat1 tujuan negara Republik

Indonesia diantaranya adalah melindungi segenap bangsa Indonesia (social

deffent) dan untuk memajukan kesejahteraan umum (social walfare) tanpa

terkecuali terhadap seluruh rakyat dan bangsa dunia.

Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya dilaksanakan

melalui sistem demokrasi perwakilan setidaknya pernah diterapkan sejak rezim

UU No. 22 Tahun 1948 dan berakhir pada rezim UU No. 22 Tahun 1999, baik

terhadap pemilihan presiden, gubernur, bupati dan walikota. Sedangkan sistem

perwakilan langsung mulai diterapkan sejak UU No. 32 Tahun 2004 hingga

sekarang.

Dengan demikian, pemilihan yang semula dilakukan melalui

perwakilan, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat. Sistem demokrasi

langsung ini mulai diterapkan sejak diterbitkannya Undang-Undang No. 32

Tahun 2004 yang merevisi UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan

Daerah, tentu dengan UU tersebut oleh sebagian khalayak menilai pilkada telah

menuju ke arah yang lebih demokratis. 1 Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, alinea keempat

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum...”

2

Page 3: Pengembangan Perusahaan (Makalah Pengganti UAS)

Menariknya berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda (telah

mencabut UU terdahulu UU 32 Tahun 2004) khusus untuk pilkada gubernur

dipilih secara tidak langsung melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Provinsi, meski disayangkan UU yang baru seumur jagung tersebut keluar

langsung di counter dengan diterbitkannya Perppu No. 2 Tahun 2014 untuk

membatalkan hal tersebut dan perppu tersebut telah diobjektifkan menjadi

Undang-Undang oleh DPR RI menjadi UU No. 2 Tahun 2015 serta dalam waktu

tidak berapa lama terjadi perubahan kedua atas UU No. 23 Tahun 2014 melalui

UU No. 9 Tahun 2015. Bahkan dalam dinamika politik akhir-akhir ini oleh

sebagian anggota DPR RI menginginkan direvisi kembali UU 23 Tahun 2014

untuk kesekian kalinya, hal demikian menurut Lita Tyesta ALW2 menjadi

pertanyaan serius apakah betul keinginan merevisi UU No. 23 Tahun 2014

tersebut adalah murni untuk kepentingan masyarakat atau untuk kepentingan

golongan tertentu. Terlepas dari semua itu terkhusus penerbitan perppu menjadi

UU No. 2 Tahun 2015 mengenai pemilihan tidak langsung kepala daerah

menjadi pemilihan langsung tersebut tentu masih debatable untuk lebih jelas

akan dibahas di pembahasan.

Untuk tidak menjadi rancu dengan ini dibedakan mengenai istilah

pemilihan umum (pemilu) dengan pemilihan kepala daerah (pilkada). Secara

umum istilah pemilu lebih sering merujuk kepada pemilihan anggota legislatif

dan presiden,3 untuk istilah “pilkada” (merujuk pada Undang-Undang No. 32

Tahun 2004 dan diganti dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014).

Sedangkan menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2014 dan terakhir diganti

dengan UU No. 9 Tahun 2015 tidak disebutkan pilkada akan tetapi hanya disebut

sebagai pemilihan gubernur, bupati dan walikota yang diadakan setiap 5 (lima)

tahun sekali. Secara nyata dua produk DPR kita ini memberikan pembedaan yang

nyata di mana Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 menamakan istilah

“pemilihan gubernur…” sedangkan Undang-Undang 23 Tahun 2014 menamakan

istilah “pemilihan kepala daerah/pilkada” (walau hanya penamaan/istilah, tetapi

jelas menunjukan ketidak-konsistenan dan keberagaman). Dalam penulisan

2 Disampaikan oleh Lita Tyesta ALW, Disela-sela Perkuliahan Otonomi Daerah pada Kelas Akhir Pekan Magister Ilmu Hukum Undip, (Sabtu, 23 Mei 2015).

3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”***

3

Page 4: Pengembangan Perusahaan (Makalah Pengganti UAS)

makalah ini disepakati menggunakan istilah pilkada (sesuai UU terdahulu yang

diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014 Jo. UU No. 2 Tahun 2015 jo. UU No. 9

Tahun 2015).

Oleh karena itu, inilah alasan penulis perlu menganalisis UU No. 23

Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah jo. Perppu No. 2 Tahun 2014 dan di

sahkan DPR RI menjadi UU No. 2 Tahun 2015 jo. UU No. 9 Tahun 2015 beserta

peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pilkada gubernur

lebih mendalam. Selain itu tulisan ini mengangkat dan membandingkan sistem

demokrasi (langsung dan tidak langsung) serta akan diselipkan pula beserta dasar

hukumnya dilihat dari konsistensi pada tataran ideal dan sebagainya.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang akan diangkat sebagai rumusan masalah dalam penulisan

ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah sistem demokrasi pemilihan kepala daerah (gubernur) dalam

era otonomi daerah di Indonesia saat ini?

2. Bagaimanakah tataran ideal pemilihan kepala daerah (gubernur) dalam

konteks ke-Indonesiaan?

P e m b a h a s a n

4

Page 5: Pengembangan Perusahaan (Makalah Pengganti UAS)

A. Sistem Demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur) dalam Era

Otonomi Daerah di Indonesia

1. Pengertian Demokrasi

Pada tanggal 18 Agustus 2000 merupakan hari bersejarah bagi bangsa

Indonesia karena pada hari tersebut bertepatan dengan amandemen UUD NRI

Tahun 1945 yang kedua, khususnya perubahan pada Pasal 18 ayat (4) berbunyi

sebagai berikut :4

Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.**

Dengan demikian ini merupakan babak baru dalam sistem pemilihan

kepada daerah dalam hal ini gubernur yang pada intinya dipilih secara

demokrasi. Sebelum kita terlalu jauh, dengan ini dipaparkan mengenai hakikat

atau arti daripada demokrasi itu sendiri.

Demokrasi (pemerintahan oleh rakyat) semula dalam pemikiran Yunani

berarti bentuk politik di mana rakyat sendiri memiliki dan menjalankan seluruh

kekuasaan politik.5 Secara garis besar demokrasi adalah sebuah sistem sosial

politik modern yang paling baik dari sekian banyak sistem maupun ideologi yang

ada dewasa ini.

Menurut pakar hukum tata negara M. Mahfud MD, ada dua alasan

dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara. Pertama,

hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas

fundamental; kedua, demokrasi sebagai asa kenegaraan secara esensial telah

memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara

sebagai organisasi tertingginya.6

Secara etimologi “demokrasi” terdiri dari dua kata Yunani yaitu

“demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau

“cratos” yang berarti kekuasaan dan kedaulatan. Gabungan dua kata demos-

cratein atau demos-cratos (demokrasi) memiliki arti suatu keadaan negara di

mana dalam sistem pemerintahannya kedaulatan berada di tangan rakyat,

4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.5 Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), Cet. III, hal. 154.6 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi

Manusia, dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006), hal. 130-131.

5

Page 6: Pengembangan Perusahaan (Makalah Pengganti UAS)

kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat, rakyat berkuasa,

pemerintahan rakyat, dan kekuasaan oleh rakyat.7

Sedangkan pengertian demokrasi menurut terminologi adalah seperti

yang dinyatakan oleh para ahli sebagai berikut:8

a. Abraham Lincoln menyatakan demokrasi adalah sistem

pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

b. Samuel Huntington berpendapat demokrasi ada jika para pembuat

keputusan kolektif yang paling kuat dalam sebuah sistem dipilih

melalui suatu pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala dan di

dalam sistem itu para calon bebas bersaing untuk memperoleh suara

dan hampir seluruh penduduk dewasa dapat memberikan suara.

c. Charles Costello mengungkapkan demokrasi adalah sistem sosial

dan politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan

pemerintah yang dibatasi hukum dan kebiasaan untuk melindungi

hak-hak perorangan warga negara.

d. C. F. Strong mengemukakan demokrasi adalah Suatu sistem

pemerintahan di mana mayoritas anggota dewan dari masyarakat

ikut serta dalam politik atas dasar sistem perwakilan yang menjamin

pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-

tindakannya pada mayoritas tersebut.

e. Hans Kelsen menyatakan Demokrasi adalah pemerintahan oleh

rakyat dan untuk rakyat. Yang melaksanakan kekuasaan Negara

ialah wakil-wakil rakyat yang terpilih. Dimana rakyat telah yakin,

bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan di

dalam melaksanakan kekuasaan Negara.

Pada kesempatan lain Haryono9 (Mantan Hakim MK), menyatakan

bahwa demokrasi bukan mengenai ukuran mayoritas atau minoritas, (mayoritas

menang dan minoritas kalah) itu berarti saja dengan membunuh minoritas, lebih

lanjut dikatakan bahwa demokrasi itu esensinya harus memberi ruang

7 Ibid, Lihat A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, hal. 131.8 Diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, diakses pada hari/tanggal: Senin, 2

Februari 2015, Pukul: 11.58 Wib.9 Disampaikan oleh Haryono, Disela-sela Perkuliahan Hukum Konstitusi pada Kelas Akhir

Pekan Magister Ilmu Hukum Undip, (Sabtu, 30 Mei 2015).

6

Page 7: Pengembangan Perusahaan (Makalah Pengganti UAS)

pendapat/diskusi (secara pluralisme) dan dibangun toleransi serta di atas toleransi

tersebut baik mayoritas dan minoritas dapat berdiri bersama.

Beberapa pandangan dan pengertian di atas, maka demokrasi bisa

diartikan dengan keadaan negara di mana dalam sistem pemerintahannya

kedaulatan berada di tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan

bersama rakyat, kekuasaan oleh rakyat atau melalui perwakilan rakyat yang

merupakan representasi rakyat di DPRD untuk mewujudkan cita bernegara.

2. Dasar Hukum Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada Gubernur)

Ketentuan peraturan perundang-undangan sebelumnya yakni UU No.

22 Tahun 1948 dan berakhir dengan UU No. 22 Tahun 1999 pemilihan kepala

daerah (gubernur) dipilih secara perwakilan tidak langsung. Praktis pasca

reformasi keadaan pun berubah dan pemilihan dilakukan melalui perwakilan

langsung seiiring dengan amandemen kedua UUD NRI Tahun 1945, kemudian

menyusul UU baik tentang pemerintahan daerah maupun UU pemilihan

pemilu/pilkada lainnya. Secara sederhana dan gamblang dijelaskan maka akan

dibagi menjadi tiga generasi pemberlakuan peraturan perundang-undangan

(generasi orde lama, generasi orde baru, generasi reformasi) khususnya mengenai

pemilihan kepala daerah gubernur.

Generasi orde lama ditandai dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 1948

Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di

Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya

Sendiri10 yang pada intinya menyatakan bahwa kepala daerah gubernur harus

diajukan oleh DPRD Provinsi untuk diangkat oleh Presiden.

Generasi orde baru salah satunya ditandai oleh UU No. 5 Tahun 1974

Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah11 yang memilih kepala daerah

tingkat I (gubernur) yakni DPRD Provinsi melalui musyawarah mufakat

setelahnya akan diajukan kepada Presiden untuk diangkat. Dapat disimpulkan

bahwa di sini lebih pada penggunaan peran sistem perwakilan tidak langsung.

10 Pasal 18 ayat (1) “Kepala Daerah Propinsi diangkat oleh Presiden dari sedikitnya-sedikitnya dua atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi.”

11 Pasal 15 ayat (1) Kepala Daerah Tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah...”, ayat (2) Hasil pemilihan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri sedikit-dikitnya dua (2) orang untuk diangkat salah seorang diantaranya

7

Page 8: Pengembangan Perusahaan (Makalah Pengganti UAS)

Awal munculnya generasi reformasi pasca lengsernya Soeharto diganti

Presiden B. J. Habibie dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 Tentang

Pemerintahan Daerah12 masih tetap menggunakan tradisi pemilihan perwakilan

tidak langsung.

Menariknya tonggak reformasi menuju puncaknya berkaitan dengan

pemilihan kepala daerah gubernur pasca keluarnya UU No. 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah13 dimana ditentukan bahwa pemilihan kepala

daerah gubernur dipilih melalui perwakilan langsung (one man one vote), di

mana kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat (kekuasaan rakyat). Namun

dalam perkembangan terkini UU di tersebut dicabut dan diundangkannya UU

No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah14 mengatur bahwa gubernur

dipilih oleh DPRD Provinsi sehingga berbeda dengan UU sebelumnya yang jelas

menyatakan bahwa gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal ini makin

diperkuat dengan UU No. 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati

dan Walikota yang sudah lebih dahulu keluar diatur dalam Pasal 1 angka 5

“Pemilihan gubernur... yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan

kedaulatan rakyat di provinsi... untuk memilih gubernur... demokratis melalui

lembaga perwakilan rakyat.”

Meski demikian UU No. 22 Tahun 2014 langsung di-counter dengan

dikeluarkannya Perppu No. 1 Tahun 2014 oleh Presiden dan disahkan DPR RI

melalui UU No. 1 Tahun 2015 jo UU No. 8 Tahun 2015 untuk mengganti UU

No. 22 Tahun 2014. Ketentuan tersebut disertai pula Perppu No. 2 Tahun 2014

dan telah diobjektifkan/disahkan DPR RI melalui UU No. 2 Tahun 2015 jo UU

No. 9 Tahun 2015 untuk membatalkan/menghapus ketentuan Pasal 101 ayat (1)

huruf d UU No. 23 Tahun 2014. Sebagaimana diketahui bersama bahwa presiden

memilih hak prerogatif dalam mengeluarkan perppu dalam hal ihwal kegentingan

yang memaksa,15 dan kedudukan perppu tersebut telah sejajar/setingkat dengan

UU karena telah diobjektifkan/disahkan oleh DPR RI. Dalam hal ini dapat dilihat

bersama apakah ada kegentingan memaksa tersebut atau tidak.12 Pasal 18 (1) huruf a “DPRD mempunyai tugas dan wewenang memilih Gubernur/Wakil

Gubernur...”13 Pasal 56 ayat (1) “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon

yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.”

14 Pasal 101 ayat (1) huruf d DPRD provinsi mempunyai tugas dan wewenang: memilih gubernur.

15 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 22 (1).

8

Page 9: Pengembangan Perusahaan (Makalah Pengganti UAS)

Bila kita kembali pada UU No. 22 Tahun 2014 penamaan/istilah

pemilihan kepala daerah (pilkada) berganti istilah langsung disebut pemilihan

gubernur saja (tanpa kepala daerah), anehnya berdasarkan UU No. 23 Tahun

2014 penamaan/istilah tetap pemilihan kepala daerah (pilkada). Hal sederhana

meskipun hanya persoalan penamaan/istilah namun para wakil rakyat kita yang

mengeluarkan produk tersebut tidak konsisten atau terjadi keberagaman

penamaan/istilah tersebut. Juga yang cukup menarik dari kedua UU tersebut di

atas pemilihan gubernur, bupati dan walikota bersifat tunggal tidak berpasang-

pasangnya dengan wakil-wakilnya seperti yang diatur oleh UU terdahulu. Salah

satu yang menjadi pertimbangan adalah sesuai penjelasan umum UU No. 22

Tahun 2014 yakni:

Berdasarkan evaluasi atas penyelenggaraan pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota secara langsung dan satu paket, sejauh ini menggambarkan fakta empiris bahwa biaya yang harus dikeluarkan oleh Negara dan oleh pasangan calon untuk menyelenggarakan dan mengikuti Pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota secara langsung sangat besar juga berpotensi pada peningkatan korupsi, penurunan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, peningkatan eskalasi konflik serta penurunan partisipasi pemilih.

Namun perkembangan terakhir DPR RI kemudian mengganti UU No.

22 Tahun dengan mengesahkan Perppu No. 1 Tahun 2014 menjadi UU No. 1

Tahun 2015 jo. UU No. 8 Tahun 201516 sebagai berikut:

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.

Mengenai pasangan calon ini dalam penjelasan umum UU ini pula

disebutkan bahwa Konsepsi di dalam Perppu adalah calon kepala daerah dipilih

tanpa wakil. Di dalam Undang-Undang ini, konsepsi tersebut diubah kembali

seperti mekanisme sebelumnya, yaitu pemilihan secara berpasangan atau paket.

B. Tataran Ideal Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur) dalam Konteks ke-

Indonesiaan

Sila ke-4 Pancasila mengajarkan kepada kita untuk menentukan sebuah

pilihan melalui cara musyawarah. Mengutamakan musyawarah dalam 16 Undang-Undang No. 8 Tahun 2015, Pasal 1 angka 1

9

Page 10: Pengembangan Perusahaan (Makalah Pengganti UAS)

mengambil putusan untuk kepentingan bersama. Musyawarah untuk mencapai

mufakat diliputi semangat kekeluargaan, sehingga kalau di breakdown falsafah

“musyawarah” mengandung 5 (lima) prinsip sebagai berikut: pertama,

conferencing (bertemu untuk saling mendengar dan mengungkapkan keinginan);

kedua, search solutions (mencari solusi atau titik temu atas masalah yang sedang

dihadapi); ketiga, reconciliation (berdamai dengan tanggungjawab masing-

masing); keempat, repair (memperbaiki atas semua akibat yang timbul); dan

kelima, circles (saling menunjang).17 Musyawarah/perwakilan esensinya adalah

kebijaksanaaan.

Tentu tidak dapat dielakan lagi musyarawah dalam menentukan pilihan

baik melalui sistem pemilihan langsung maupun tidak langsung masing-masing

memiliki kelebihan dan kekurangan. Terlepas dari itu semua DPR RI telah

mengesahkan Perppu No. 2 Tahun 2014 menjadi UU No. 2 Tahun 2015 jo UU

No. 9 Tahun 2015 yang intinya mengembalikan pemilihan kepala daerah melalui

perwakilan langsung (one man one vote).

Sebagai kajian keilmuan tentu kita tidak lantas berhenti sampai di situ,

karena tetap penting pula untuk mendalami mengenai bagaimana idealnya

pemilihan kepala daerah (gubernur) dalam konteks ke-Indonesiaan dewasa ini.

Dengan ini diberikan sedikit gambaran sistem atau mekanisme

pemilhan langsung. Sadu Wasistiono berpendapat bahwa kelebihan dan

kelemahan pemilihan Kepala Daerah secara langsung sebagai berikut :18

Kelebihan pemilihan Kepala Daerah secara langsung :

1. Demokrasi langsung akan dapat dijalankan secara lebih baik, sehingga makna kedaulatan ditangan rakyat akan nampak secara nyata;

2. Akan diperoleh kepala daerah yang mendapat dukungan luas dari rakyat sehingga memiliki legitimasi yang kuat. Pemerintah Daerah akan kuat karena tidak mudah diguncang oleh DPRD;

3. Melalui pemilihan Kepala Daerah secara langsung, suara rakyat menjadi sangat berharga. Dengan demikian kepentingan rakyat memperoleh perhatian yang lebih besar oleh siapapun yang berkeinginan mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah;

17 Kuat Puji Prayitno, Jurnal “Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis Filasofis dalam Penegakan hukum In Concreto, (FH. Univ. Jenderal Soedirman, 2012), hlm. 414.

18 Sadu Warsistiono, Bahan Diskusi Panel “Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Dan Dampaknya Secara Politis, Hukum, Pemerintahan Serta Sosial Ekonomi”, 2003, hal. 122.

10

Page 11: Pengembangan Perusahaan (Makalah Pengganti UAS)

4. Permainan politik uang akan dapat dikurangi karena tidak mungkin menyuap lebih dari setengah jumlah pemilih untuk memenangkan pemilihan Kepala Daerah.

Kelemahan pemilihan Kepala Daerah secara langsung :

1. Memerlukan biaya yang besar karena calon Kepala Daerah harus kampanye langsung menghadapi rakyat pemilih, baik secara fisik (door to door) maupun melalui media masa. Hanya calon yang memiliki cadangan dana yang besar atau didukung oleh sponsor saja yang mungkin akan ikut maju ke pemilihan Kepala Daerah;

2. Mengutamakan figur publik (public figure) atau aspek akseptabilitas saja, tetapi kurang memperhatikan kapabilitasnya untuk memimpin organisasi maupun masyarakat;

3. Kemungkinan akan terjadi konflik horisontal antar pendukung apabila kematangan politik rakyat di suatu daerah belum cukup matang. Pada masa lalu, rakyat sudah terbiasa dengan menang-kalah dalam berbagai pemilihan. Tetapi pada masa orde baru pemilihan Kepala Daerah penuh dengan rekayasa, sehingga sampai saat ini rakyat masih belum percaya (distrust) pada sistem yang ada;

4. Kemungkinan kelompok minoritas baik dilihat dari segi agama, suku, ras, maupun golongan akan tersisih dalam percaturan politik, apabila dalam kampanye faktor-faktor primordial itu yang lebih ditonjolkan.

Sebagaimana diungkapkan oleh Muhadam Labolo dalam makalah

“Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Prospek dan Tantangan dalam Masa

Transisi di Indonesia”:19

Pemilihan Kepala Daerah Langsung secara umum akan menyerap dana yang tidak sedikit. Pertimbangan dilakukannya Pilkada Langsung dalam satu putaran tanpa alasan yang penting menunjukkan bahwa Pemerintah tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai proses Pilkada Langsung secara terus menerus. Pertanyaannya, dari mana dana harus diperoleh?...

Lebih lanjut selain masalah di atas, masalah-masalah yang terjadi dari

proses persiapan sampai proses pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah,

diantaranya: terjadinya konflik elite dan konflik terbuka antar massa pendukung,

masih terjadinya money politics, partisipasi politik masyarakat yang rendah

dalam pemilihan kepala daerah (gubernur), dan juga tentang kinerja KPUD yang

dinilai kurang optimal dalam menjalankan tugas sebagai lembaga penyelenggara

pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah, serta masalah-masalah

strategis yang lain, menjadi berbagai hal yang perlu dicermati dan dianalisis

secara lebih mendalam agar dicapai suatu pemecahan untuk perbaikan ke depan.19 Muhadam Labolo, “Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Prospek dan Tantangan dalam Masa

Transisi di Indonesia”, Makalah Lembaga Pengkajian Strategik Pemerintahan IIP. Jakarta, 2004.

11

Page 12: Pengembangan Perusahaan (Makalah Pengganti UAS)

Terlepas dari pro-kontra di atas (juga segi manfaat dan mudaratnya),

maka berangkat dari kegelisahan penulis sendiri, di mana penulis menilai bahwa

presiden terkesan terburu-buru mengeluarkan perppu tersebut di atas (berkaitan

dengan pilkada gubernur). Penulis justru lebih sepakat bahwa dalam hal ini

pemilihan kepala daerah harus dipilih secara perwakilan tidak langsung dan itu

terbatas hanya untuk pemilihan gubernur karena selain gubernur merupakan

perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah serta mengingat banyaknya

kabupaten/kota maka perlu waktu yang banyak dan matang untuk diberlakukan

pula pada kabupaten/kota. Ada pihak yang beranggapan bahwa pemilihan tidak

langsung adalah kemunduran justru bagi penulis ini anggapan yang terlalu

emosional, karena selama itu dapat dipertanggungjawabkan serta berpegang pada

konstitusi hal tersebut justru merupakan loncatan/terobosan gemilang, tentu

tanpa maksud mengkebiri hak rakyat, toh anggota DPRD Provinsi adalah

representasi dari rakyat, bila rakyat tidak percaya pada pilihannya sendiri atas

orang-orang yang ada di DPRD kenapa bisa sampai orang tersebut ada di dewan,

kalau memang anggota DPRD “buruk” kenapa mau dipilih.

Penulis punya analisa tersendiri melihat dari pada tataran ideal

pemilihan kepala daerah gubernur saat ini di Indonesia untuk menyambut

kesejahteraan, integrasi masyarakat dan sebagainya, penulis menekankan bahwa

bukan menolak sistem perwakilan langsung namun untuk sekarang belum

saatnya yang tepat untuk diadakan pemilihan langsung. Untuk jelasnya diberikan

alasan dan solusi, antara lain :

Dari segi APBN jelas terjadi penghematan keuangan negara yang sangat

besar yang bisa dimanfaatkan/dialokasikan ke sektor lain yang lebih tepat

guna dan sasaran. Ini pun akan menjawab keinginan presiden Joko Widodo

untuk sebisa mungkin melakukan penghematan keuangan negara.

Segi masyarakat, Indonesia adalah masyarakat yang beragam dengan

tingkatan kekerabatan/komunal. Kekerabatan ini “mudah” rusak dalam kaitan

dengan perbedaan pilihan yang berujung pada konflik horizontal bahkan

vertikal.

Segi pendidikan/pemahaman politik masyarakat kita belum terlalu bisa

menerima kalah menang, pemilihan langsung cocoknya untuk masyarakat

yang tingkat pendidikan/intektual telah matang. Sehingga jangan hanya

beranggapan bahwa politik uang hanya pada DPRD saja bila memilih.

12

Page 13: Pengembangan Perusahaan (Makalah Pengganti UAS)

Namun bila pemilihan secara langsung justru aspek sangat merusak secara

luas, karena rakyat yang tingkat pendidikan dan ekonomi lemah (mayoritas)

akan “dipermainkan” dengan uang, sehingga uang yang menyalir fantastis

dan ketika terpilih gubernur rakyat melarat karena si gubernur beranggapan

kewajiban/hubungan sudah selesai dengan rakyat karena telah memberikan

uang saat pemilihan.

Segi geografi di mana Indonesia sebagai negara maritim dengan banyak

kepulauan justru makin mempersulit baik dari askes, informasi, sarana dan

prasarana serta pendukung lainnya.

Bagi lawan politik bila kalah dalam percaturan pemilihan kepala daerah,

maka “haram” baginya dan pendukungnya diperlakukan baik, maka

segeralah angkat kaki dari kampung halaman sampai 5 (lima) tahun akan

datang. Serta lebih melihat golongan masing-masing. Dan masing banyak

hambatan-hambatan lainnya.

Solusi penulis (dapat dikoreksi) atas pemilihan perwakilan tidak

langsung untuk menepis anggapan sebagian masyarakat adalah :

Mulai dari tahap seleksi-pemilihan-pengumuman dilakukan secara cepat,

misalnya dari satu tahapan ke tahapan berikutnya waktu yang ditentukan 7

(tujuh) hari harus sudah selesai. Hal ini untuk menutup ruang/celah terjadi

deal “kotor” atau politik uang beredar.

Beberapa saat sebelum sampai setelahnya pemilihan oleh DPRD Provinsi,

setiap anggota dewan disadap, bisa juga diawasi pergerakannya (oleh aparat

maupun melibatkan masyarakat luas) hal ini untuk menghindari telah

terjadinya mufakat sebelum musyawarah.

Bila masing tetap terjadi krisis kepercayaan, libatkan baik secara penuh atau

sebagian kepada tokoh-tokoh agama, masyarakat, tokoh pemuda/lembaga

swadaya masyarakat, dan lainnya yang dipercaya oleh masyarakat untuk

memiliki hak suara dalam memilih gubernur.

Sekali lagi bukan tidak setuju dengan pemilihan langsung akan tetapi

sebaiknya dewasa ini gunakan dulu demokrasi tidak langsung, pemilihan

langsung boleh dilakukan dengan catatan apabila telah direformasi bukan saja

politik tetapi juga reformasi ekonomi, reformasi pendidikan, reformasi hukum

dan seterusnya serta faktor penunjang lainnya.

13

Page 14: Pengembangan Perusahaan (Makalah Pengganti UAS)

Tambahan mengenai makalah ini, Sebagaimana diatur dalam Pasal 3

Perppu No. 1 Tahun 2014 yang disahkan menjadi UU No. 1 Tahun 2015 jo UU

No. 8 Tahun 2015 mengenai pilkada serentak (dibagi dalam beberapa tahap) di

seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia baik di propinsi atau

kabupaten/kota, manfaatnya paling tidak akan menghemat anggaran negara

namun disisi lain juga bisa muncul persoalan bila tidak diantisipasi dengan baik

maka akan “banjir” sengketa pilkada sebagaimana diketahui dalam Perppu

tersebut dikatakan penyelesaian pemilihan merupakan sengketa Tata Usaha

Negara20 yang sebelumnya diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi telah

dikembalikan di bawah peradilan Mahkamah Agung dengan dibentuk majelis

khusus.

P e n u t u p

Kesimpulan

Demokrasi langsung adalah bentuk demokrasi dimana semua warga negara

ikut serta secara aktif dan langsung dalam pengambilan keputusan pemerintah.

20 Pasal 154, Perppu No. 1 Tahun 2014 disahkan dengan UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

14

Page 15: Pengembangan Perusahaan (Makalah Pengganti UAS)

Dalam demokrasi ini, semua rakyat memiliki hak untuk membuat keputusan.

Sehingga, keputusan yang mereka buat akan mempengaruhi keadaan politik di

negara tersebut. Kemudian, demokrasi ini juga menuntut partisipasi  yang tinggi dari

masyarakat. Namun, tidak semua masyarakat sadar atau melek politik. Ditambah

lagi, banyak juga diantara mereka yang tidak memiliki waktu untuk memikirkan

politik dan sadar akan pentingnya peran mereka dalam penentuan kebijakan negara.

Demokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan terjadi dimana

seluruh rakyat memilih pewakilan mereka melalui suatu pilkada. Pemilihan kepala

daerah dilakukan untuk menyampaikan pendapat serta sebagai media pengambil

keputusan. Pada intinya, rakyat memiliki hak dan daulat. Namun, dalam jenis

demokrasi ini, kedaulatan tersebut diwakilkan melalui dewan disebut dengan

demokrasi perwakilan tidak langsung. Dengan kata lain, rakyat telah diwakili oleh

seseorang kalau di Indonesia adalah DPR/DPD/DPRD (Legislatif). Anggota dewan

melalui pilkada dan bertugas untuk menyampaikan pendapat rakyat serta mengambil

keputusan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sebenarnya rakyat memiliki peran

yang sangat penting untuk mewujudkan cita-cita negara. Cita-cita tersebut antara lain

adalah menjadi negara yang maju, makmur, dan sejahtera. Namun, untuk

mewujudkan hal tersebut, maka rakyat harus berperan aktif dan menjadi masyarakat

yang cerdas. Sehingga, rakyat dapat mengkritisi hal-hal yang berkaitan dengan

kebijakan sampai penerapan kebijakan di negara tersebut.

Daftar Pustaka

Buku-buku :

Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.

15

Page 16: Pengembangan Perusahaan (Makalah Pengganti UAS)

A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2006.

Karya Ilmiah dan Sumber Internet:

http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi, diakses pada hari/tanggal: Senin, 2 Februari 2015, Pukul: 11.58 Wib.

Kuat Puji Prayitno, Jurnal “Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis Filasofis dalam Penegakan hukum In Concreto, FH. Univ. Jenderal Soedirman, 2012.

Muhadam Labolo, “Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Prospek dan Tantangan dalam Masa Transisi di Indonesia”, Makalah Lembaga Pengkajian Strategik Pemerintahan IIP. Jakarta, 2004.

Sadu Wasistiono, Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Dan Dampaknya Secara Politis, Hukum, Pemerintahan Serta Sosial Ekonomi, Bahan Diskusi Panel PPMP dan Alumni Universitas Satyagama. Indramayu, 7 Februari 2005.

Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

16

Page 17: Pengembangan Perusahaan (Makalah Pengganti UAS)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

17