Makalah Pbl Blok 21

42
Diabetes Mellitus Melisa Pongtiku * 102010291 D2 Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA *Alamat Korespondensi : Melisa Pongtiku Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jl. Arjuna Utara No. 06 Jakarta 11510 No Telp (021) 5694-2051 email: [email protected] Pendahuluan Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh,

description

bahan makalah

Transcript of Makalah Pbl Blok 21

Diabetes Mellitus

Melisa Pongtiku *102010291D2Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA

*Alamat Korespondensi :Melisa PongtikuFakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJl. Arjuna Utara No. 06 Jakarta 11510No Telp (021) 5694-2051 email: [email protected] PendahuluanDiabetes mellitus merupakan suatu kelompok metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan insulin, kerja insulin, atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama matam ginjal,saraf, jantung, dan pembuluh darah. DM merupakan kumpulan problema anatomi dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin. Secara epidemiologi diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku tradisional menjadi urban. Faktor risiko yang berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah : bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetic yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2.

Anamnesis Merupakan suatu wawancara antara pasien dengan dokter untuk mengetahui riwayat kondisi pasien, riwayat penyakit pasien dahulu, riwayat penyakit keluarga, gejala-gejala yang dialami pasien. Berdasarkan kasus di atas, anamnesis yang dilakukan secara auto-anamnesis yaitu anamnesis dimana pasien yang menderita penyakit langsung menjawab pertanyaan dokter. 1Pertanyaan-pertanyaan yang biasa ditanyakan pada saat anamnesis pasien diabetes adalah gejala-gejala khas diabetes serta komplikasi yang biasa sudah menyertainya pada saat diagnose. Pertanyaan yang biasa diajukan antara lain : Poliuria. Apakah pasien merasakan volume urin yang meningkat. Biasanya sering disertai dengan adanya nokturia yang membangunkan pasien dari tidurnya dan sering menganggu kualitas tidur. Polidipsia. Tanyakan apakah pasien sering merasa haus. Polidipsia disebabkan oleh banyaknya volume urin yang dikeluarkan. Poliphagia. Tanyakan apakah pasien sering merasa lapar. Penurunan berat badan. Neuropati. Tanyakan apakah pasien mengalami kesemutan, hilang rasa pada bagian distal tubuh seperti kaki. Infeksi. Tanyakan apabila pasien mendapat luka, apakah luka tersebut sukar sembuh, terutama pada bagian kaki.. Retinopati. Tanyakan pada pasien apakah ia mengalami gangguan penglihatan.1

Pemeriksaan Fisik Sebagai tambahan dari pemeriksaan fisik komplit pada umumnya, perlu diberikan perhatian khusus pada aspek-aspek yang berkaitan dengan DM seperti BMI, pemeriksaan mata, tekanan darah ortostatik, pemeriksaan kaki, pemeriksaan denyut perifer. Tekanan darah > 130/80 mHg sudah dianggap sebagai tekanan darah tinggi pada pasien dengan diabetes. Pemeriksaan ektremitas bawah yang teliti dilakukan untuk melihat adanya neuropati perifer, calus, infeksi jamur superficial, penyakit kuku, reflex APR KPR, dan bentuk kaki yang abnormal (hammer atau claw toes, dan charcoat foot). Dinilai juga kemampuan untuk merasakan sentuhan menggunakan benang monofilament dan kemampuan untuk menentukan letak sakit/tusukan (pinprick) untuk menentukan seberapa parah neuropati perifernya. Penyakit periodontal, gigi, dan gusi lebih sering terjadi pada pasien DM, sehingga juga harus diperiksa.2

Pemeriksaan PenunjangUji Diagnostik Sederhana dengan Kadar Glukosa PlasmaKadar glukosa plasma puasa diatas 140 mg/dL (7,8 mmol/L) pada lebih dari satu pemeriksaan memastikan diagnostik DM. Sampel untuk pemeriksaan kadar glukosa paling baik diamnbil pada pagi hari sesudah puasa semalaman.3Kadar glukosa plasma sewaktu diatas 200 mg/Dl (11,1 mmol/L). Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.3Uji Toleransi Glukosa OralTes ini digunakan untuk mendiagnostik DM awal secara pasti, namun tes ini tidak dibutuhkan untuk penapisan dan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan manifestasi klinik DM dan hiperglikemia. 3Persiapan UjiGuna mengoptimalkan sekresi insulin dan efektivitasnya, terutama bila pasien tengah menjalani suatu diet rendah karbohidrat, maka jumlah minimum 150-200 g karbohidrat per hari perlu dimasukan dalam diet selama 3 hari sebelum menjalani uji. Pasien tidak boleh memakan apapun sesudah tengah malam sebelum hari pengujian.Prosedur UjiKadar glukukosa diukur sebelum dan sesudah membebanan 75 g glukosa. Orang dewasa diberikan glukosa 75 g dalam 300 mL air, sedangkan anak anak mendapat 1,75 g glukosa per kilogram berat badan ideal. Beban glukosa dikonsumsi dalam 5 menit. Kadar glukosa diukur setiap jam selama 2 jam setelah pemberian glukosa. 3InterpretasiPada keadaan sehat, kadar glukosa puasa individu yang dirawat jalan dengan toleransi glukosa normal adalah 70 hingga 110 mg/dL. Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa akan meningkat pada awalnya namun akan kembali ke keadaan semula dalam waktu 2 jam atau dengan kata lain glukosa plasma puasa kurang dari 115 mg/dL dan setelah 2 jam kadarnya akan turun dibwah 140 mg/dL dan nilai nilai dari sampel lainnya tidak ada yang melampaui 200 mg/dL (National Diabetes Data Group Criteri).3Hasil hasil positif palsu dapat terjadi pada pasien yang mal nutrisi pada saat pengujian, berbaring ditempat tidur, atau terserang suatu infeksi atau suatu stress emosional yang berat. Diuretika, kontraseptif oral, glukokortikoid, tiroksin yang berlebihan, fenitoin, asam, nikotinat, dan beberapa obat psikoteropik juga dapat menyebabkan hasil positif palsu.3Kadar InsulinUntuk mengukur kadar insulin saat melakukan uji toleransi glukosa, maka serum atau plasma perlu dipisahkan dalam waktu 30 menit sesudah pengambilam spesimen sebelum diassay. Kadar insulin imunoreaktif normal berkisar antara 5 - 20U/mL dalam keadaan puasa, dan mencapai 50 130 U/mL sesudah satu jam, dan biasanya turun kembali dibawah 30U/mL sesudah 2 jam. Kadar insulin selama TTGO jarang memiliki manfaat klinis karena alasan-alasan berikut ini : bila kadar glukosa puasa melampaui 120 mg/dL, hiperinsulinemia dapat timbul secara terlamabat sebagai akibat resistensi insulin pada penderita DM II, akan tetapi juga dapat terjadi pada bentuk ringan ataupun fase-fase awal dari DM I dimana pelepasan insulin dini yang lambat dapat menyebabkan hiperglikemia tertunda yang dapat merangsang pelepasan insulin berlebihan setelah 2 jam.3KetonuriaDalam keadaan tidak ada insulin dalam jumlah cukup, maka tiga badan keton" utama dibentuk dan diekskresi ke dalam kemih: asam -hidroksibutirat, asam asetoasetat, dan aseton. Produk-produk komersil untuk menguji adanya keton dalam kemih kini tersedia. Tablet Acetest, Ketostix, dan Keto-Diastix menggunakan suatu reaksi nitroprusida yang hanya mengukur aseton dan asetoasetat. Dengan demikian, uji-uji ini dapat keliru mengarahkan bila asam -hidroksibutirat merupakan metabolit yang dominan. Kondisi-kondisi lain di samping ketoasidosis diabetik dapat menyebabkan badan-badan keton tampil dalam kemih; antara lain kelaparan, diet tinggi lemak, ketoasidosis alkoholik, demam, dan kondisi lain di mana kebutuhan metabolik meningkat.3ProteinuriaProteinuria seperti yang ditemukan pada pemeriksaan carik celup rutin seringkali menjadi tanda pertama komplikasi diabetes pada ginjal. Jika proteinuria terdeteksi, maka perlu dilakukan analisis kumpulan kemih 24 jam untuk menentukan derajat proteinuria (individu normal mengekskresikan < 30 mg protein per hari) dan laju ekskresi kreatinin kemih; pada saat yang sama, kadar kreatinin serum perlu ditentukan sehingga bersihan kreatinin (suatu perkiraan dari laju filtrasi glomerulus) dapat dihitung. Pada beberapa kasus kelak terjadi proteinuria yang berat (3-5 g/hari) dengan gejala-gejala sindroma nefrotik lain seperti edema, hipoalbuminemia, dan hiperkolesterolemia.3MikroalbuminuriaAlbumin kemih kini dapat dideteksi dalam hitungan mikrogram menggunakan metode radioimmunoassay yang lebih peka daripada metode carik celup yang batas deteksi minimalnya adalah 0,3- 0,5%. Kumpulan kemih 24-jam konvensional menyebabkan ketidaknyamanan bagi pasien, dan di samping itu juga memperlihatkan variabilitas ekskresi albumin disebabkan beberapa faktor se perti berdiri larra protein dalam diet, dan latihan fisik cenderung meninggikan lajuekskresi albumin. Karena alasan-alasan inilah banyak klinik lebih suka melakukan pemeriksaan penyaring dengan suatu kumpulan kemih semalam yang diberi batasan waktu yaitu mulai dari saat menjelang tidur, di mana kemih dibuang dan jam dicatat. Pengumpulan kemih diakhiri saat kandung kemih dikosongkan di pagi hari. dan kemih ini serta kemih yang dikeluarkan dalam semalam, ditera terhadap albumin. Subjek normal mengekskresikan kurang dari 15 g/menit dalam pengumpulan kemih semalam; angka di antara 20 dan 200 g/menit atau lebih menggambarkan mikroalbuminuria abnormal yang mungkin merupakan prediktor dini dari perkembangan nefropati diabetik.3

Diagnosis kerja Diabetes Mellitus Tipe 2Diabetes mellitus tipe 2 merupakan sekelompok kelainan yang dicirikan dengan berbagai derajat resistensi insulin, gangguan sekresi insulin, dan peningkatan produksi glukosa. Defek metabolik dan genetic yang jelas pada fungsi/sekresi insulin merupakan penyebab hiperglikemia yang umum pada pasien DM tipe 2, dan mempunyai peranan yang penting dalam implikasi terapi karena sekarang sudah terdapat obat yang dapat memperbaiki gangguan metabolic secara spesifik. DM tipe 2 didahului oleh homeostasis glukosa abnormal yang disebut sebagai impaired fasting glucose (IFT) dan impaired glucose tolerance (IGT).4

MODY (Maturity Onset Diabetic of Young)Kelainan genetik dalam sel beta seperti yang dikenali pada MODY. Diabetes subtipe ini memiliki prevalensi familial yang tinggi dan bermanifestasi sebelum usia 14 tahun. Pasien sering kali obesitas dan resisten terhadap insulin. Kelainan genetik telah dikenali dengan baik dalam empat bentuk mutasi dan fenotif yang berbeda (MODY 1, MODY 2, MODY 3, MODY 4). Gejala MODY menyerupai DM tipe 2. Yang membedakan adalah MODY tidak terkait obesitas. Hanya 1 kriteria mayor yang dimiliki MODY, yaitu monogenic, dimana hanya perlu 1 copy gen untuk melihat kelainan, berbeda dengan DM tipe 2 yang bersifat poligenik. Kelainan tersering terletak pada GCK, HNF1, HNF4 dan merupakan autosomal dominan.4

Diagnosis Banding Diabetes Melitus Tipe lainTipe khusus lain adalah :1. Kelainan genetik pada kerja insulin, menyebabkan sindrom resistensi insulin berat dan akantosis negrikans.1. Penyakit pada eksokrin pankreas menyebabkan pankreatitis kronik.1. Penyakit endokrin seperti sindroma Cushing dan Akromegali.1. Obat-obat yang bersifat toksik terhadap sel-sel beta.4

Etiologi

Pada pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. Indeks untuk diabetes tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Risiko berkembangnya diabetes tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Transmisi genetic adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat dalam diabetes awitan dewasa muda (MODY), yaitu subtipe penyakit diabetes yang diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika orang tua menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak adalah 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa (carrier) diabetes tipe 2.2Diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transport glukosa menembus membrane sel. Pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem transport glukosa.2Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasien diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa.2

Epidemiologi Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%.Di pekajangan prevalensi ini agak tinggi disebabkan di daerah itu banyak perkawinan antara kerabat. Sedangkan di Manado, Waspadji menyimpulkan mungkin angka itu tinggi karena pada studi itu populasinya terdiri dari orang-orang yang datang dengan sukarela, jadi agak lebih selektif. Tetapi kalau dilihat dari segi geografi dan budayanya yang dekat dengan Filipina, ada kemungkinan bahwa prevalensi di Manado memang tinggi, karena prevalensi diabetes di Filipina juga tinggi yaitu sekitar 8,4% sampai 12% di daerah urban dan 3,85% sampai 9,7% di daerah rural.2Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM di daerah urban yaitu di kelurahan Kayuputih adalah 5,69% sedangkan di daerah rural di suatu daerah di Jawa Barat tahun 1995, angka itu hanya 1,1%. Di sini jelas ada perbedaan antara prevalensi di daerah urban dengan daerah rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes. Tetapi di Jawa Timur angka itu tidak berbeda yaitu 1,43% di daerah urban dan 1,47% di daerah rural. Hal ini mungkin disebabkan tingginya prevalensi Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi (DMTM) atau yang sekarang disebut diabetes tipe lain di daerah rural di Jawa Timur, yaitu sebesar 21,2% dari seluruh diabetes di daerah itu.2Penelitian antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM tipe 2 sebesar 14,7%, suatu angka yang sangat mengejutkan. Demikian juga di Makasar, prevalensi diabetes terakhit tahun 2005 yang mencapai 12,5%. Pada tahun 2006, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bekerja sama dengan Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan melakukan Surveilans Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular di Jakarta yang melibatkan 1591 subyek, terdiri dari 640 laki-laki dan 951 wanita. Survei tersebut melaporkan prevalensi DM di lima wilayah DKI Jakarta sebesar 12,1% dengan DM yang terdeteksi sebesar 3,8% dan DM yang tidak terdeteksi sebesar 11,2%. Berdasarkan data ini diketahui bahwa kejadian DM yang belum terdiagnosis masih cukup tinggi, hampir 3x lipat dari jumlah kasus DM yang sudah terdeteksi.2Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global yang tadi dibicarakan terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu populasi, maka dengan demikian dapat dimengerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan DM di Indonesia akan meningkat dengan drastic. Ini sesuai dengan perkiraan yang dikemukakan oleh WHO, Indonesia akan menempati peringkat nomor 5 sedunia dengan jumlah pengidap diabetes sebanyak 12,4 juta orang pada tahun 2025, naik 2 tingkat dibanding tahun 1995.2

Manifestasi klinikManifestasi klinik diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolic defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin, tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (polyuria) dan timbul rasa haus (polydipsia). Karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negative dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.3Pasien dengan diabetes tipe 1sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif dengan polydipsia , polyuria, turunnya berat badan, polfagia, lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolism dan umumnya oenderita peka terhadap insulin. Sebaliknya penderita dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memeperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah dilaboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita polydipsia, polyuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relative. Sejumlah insulin tetap diskresi dan masih cukup untuk hambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat hipoglikemik oral, mungkin terapi insulin untuk menormalkan kadar glukosanya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitifitas perifer terhadap insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang, normal atau malahan tinggi, tetapi tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita juga resisten terhdap insulin eksogen.3 Patofisiologi Diabetes mellitus tipe 2 merupakan jenis yang lebih sering terjadi, tetapi jauh lebih sedikit yang telah dipahami karena bersifat multifaktorial. Defek metabolik karena gangguan sekresi insulin atau karena resistensi insulin di jaringan perifer.4a. Genetika : toleransi karbohidrat dikontrol oleh berjuta pengaruh genetik. Oleh karena itu DM 2 merupakan kelainan poligenik dengan faktor metabolik berganda yang berinteraksi dengan pengaruh eksogen untuk menghasilkan fenotip tersebut koordinasi genetik pada DM tipe 2 pada kembar identik mendekati 90%. 4b. Resistensi insulin Mekanisme mayor resistensi insulin pada otot skeletal meliputi gangguan aktivasi sintase glikogen , disfungsi regulator metabolisis, reseptor doen-regulation, dan abnormalitas transporter glukosa.4 Meningkatkan penurunan ambilan glukosa selular yang dimediasi oleh insulin.4 Hepar juga menjadi resisten terhadap insulin, yang biasanya berespon terhadap hiperglikemia dengan menurunkan produksi glukosa. Pada DM 2, produksi glukosa hepar terus berlangsung meskipun terjadi hiperglikemia, mengakibatkan peningkatan keluaran glukosa hepar basal secara tidak tepat.4 Obesitas, terutama obesitas abdomen, berhubungan langsung dengan peningkatan derajat resistensi insulin.4c. Disfungsi sel beta Disfungsi sel beta mengakibatkan ketidakmampuan sel pulau (sel islet) penkreas menghasilkan insulin yang memadai untuk menyediakan insulin yang cukup setalah sekresi insulin dipengaruhi.4 Diteorikan bahwa hiperglikemia dapat membuat sel beta semakin tidak responsif terhadap glukosa karena toksisitas glukosa.4 Sekresi insulin normalnya terjadi dalam dua fase. Fase pertama terjadi dalam beberapa menit setelah suplai glukosa dan kemudian melepaskan cadangan insulin yang disimpan dalam sel beta; fase dua merupakan pelepasan insulin yang baru disintesis dalam beberapa jam setelah makan. Pada DM 2, fase pertama pelepasan insulin sangat terganggu.4 Fungsi sel beta (termasuk fase awal sekresi insulin) dan resistensi insulin membaik dengan penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas fisik.4

Penatalaksanaan Non Medika MentosaTerapi Gizi MedisTerapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes (diabetisi). Terapi gizi medis ini pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain:3 menurunkan berat badan menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik menurunkan kadar glukosa darah memperbaiki profil lipid meningkatkan sensitivitas reseptor insulin memperbaiki system koagulasi darahTujuan Terapi Gizi MedisAdapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan:3 kadar glukosa darah mendekati normala. glukosa puasa berkisar 90 130 mg/dlb. glukosa darah 2 jam setelah makan 1.5 mg/dL pada laki laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus diberikan denga hati hati pada orang lanjut usia.5Penggunaan dalam klinik Metformin dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai kombinasi dengan SU, repaglinid, nateglinid, penghambat alpha glikosidase dan glitazone. Efektivitas metformin menurunkan glukosa darah pada orang gemuk sebanding dengan kekuatan SU. Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metofrmin sebagai monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat merupakan pilihan pertama. Bila dengan monoterapi tidak berhasil maka dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat anti diabetic lain.5

GlitazoneGolongan Thiazolidinediones atau Glitazone adalah golongan obat yang mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin.Obat ini dapat diberikan secara oral dan secara kimiawi maupun fungsional tidak berhubungan dengan obat oral lainnya. Monoterapi dengan glitazone dapat memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dL dan A1C 1.4 2.6% dibandingkan dengan placebo. Rosiglitazone dan pioglitazone dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin.5Penggunaan dalam klinikRosiglitazone dan pioglitazone saat ini dapat digunakan sebagai monoterapi dan juga sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin. Secara klinik rosiglitazon dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55 mg/dL dan A1C sampai 1.5% dibandingkan dengan placebo. Sedang pioglitazon juga mempunyai kemampuan menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai monoterapi atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dL dosis tunggal.5Golongan Sekretagagoe InsulinSekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemikdengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta penkreas. Golongan ini meliputi sulfonylurea dan glinid.5 SulfonylureaSulfonylurea telah digunakan untukpengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. Sulfonylurea sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang panjang dengan sedikit efek samping (termasuk hipoglikemi) dan rwlatif murah. Berbagai macam obat golongan ini umumnya mempunyai sifat farmakologis yang serupa, demikian juga efek klinis dan mekanisme kerjanya.5Penggunaan dalam klinikPada pemakaian sulfonylurea, umumnya selalu dimulai dari dosis rendah , untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu di mana kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonylurea dengan dosis yang lebih besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa ahri sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah yang cukup bermakna.5Dosis permulaan sulfonylurea tergantung pada beratnya hiperglikemia. Bila konsentrasi glukosa puasa < 200 mg/dL, SU sebaiknya dimulai dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130 mg/dL. Bila glukosa darah puasa > 200 mg/dL dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi terbesar.5Kombinasi sulfonylurea dengan insulin.Pemakaian kombinasi kedua obat ini didasarkan bahwa rerata kadar glukosa darah sepanjang hari terutama ditentukan oleh kadar glukosa darah puasanya. Umumnya kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan kureang lebih sama, tidak tergantung pada kadar glukosa darah pada keadaan puasa. Dengan memberikan dosis insulin kerja atau insulin glargin pada malam hari, produksi glukosa hati malam hari dapat dikurangi sehingga kadar glukosa darah puasa dapat turun. Selanjutnya kadar glukosa darah siang hari dapat diatur dengan pemberian sulfonylurea seperti biasa.5Kombinasi sulfonylurea denga insulin ini ternyata lebih baik daripada insulin sendiri dan dosis insulin yang diperlukan pun ternyata lebih rendah. Dan cara kombinasi ini lebih dapat diterima pasien daripada penggunaan insulin multiple.5 GlinidSekretagok insulin yang baru, bukan merupakan sulfonylurea dan merupakan glinid. Kerjanya juga melalui reseptor sulfonylurea (SUR) dan mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonylurea tetapi tidak mempunyai efek sepertinya. Repaglinid dan nateglinid kedua duanya diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolism dalam hati sehingga diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai paruh yang singkat karena lama menempel pada kompleks SUR sehingga dapat menurunkan ekuivalen A1C pada SU.Sedang nateglinid mempunyai masa tinggi lebih singkat dan tidak menurunkan kadar glukosa darah puasa. Sehingga keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Karena sedikit mempunyai efek terhadap glukosa darah puasa maka kekuatannya menurunkan A1C tidak begitu kuat.5Penghambat Alfa GlukosidaseObat ini bekerja secara kompetitif menghambat enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemik postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.5Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala gastrointestinal seperti meteorismus, flatulens, dan diare. Flatulens adalah efek yang paling tersering terjadi pada hamper 50% pengguna obat ini. Penghambat Alfa Glukosidase dapat menghambat bioavailibilitas metformin jika bersamaan dengan orang normal.Acarbose hampir tidak diabsorpsi dan bekerja local pada saluran pencernaan. Acarbose mengalami metabolism di dalam saluran pencernaan, metabolism terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas enzim pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui feses.5Penggunaan dalam klinikAcarbose dapat digunakan sebagai monoterapi atau sebagai kombinasi dengan insulin,metformin, glitazone, atau sulfonylurea. Untuk mendapatkan efek maksimal, obat ini harus diberikan segera pada saat makanan utama. Hal ini perlu karena merupakan penghambat kompetitif dan sudah harus ada pada saat kerja enzimatik pada saat yang sama karbohidrat berada di usus halus. Dengan memberikannya 15 menit sebelum atau sesudahnya makan akan mengurangi dampak pengobatan terhadap glukosa postprandial. Monoterapi dengan acarbose dapat menurunkan rata rata gluokosa postprandial sebesar 40-60 mg/dL dan glukosa puasa rata rata 10-20 mg/dL dan A1C 0.5-1%. Dengan terapi kombinasi bersama sulfonylurea, metformin dan insulin maka acarbose dapat menurunkan lebih banyak terhadap A1C sebesar 0.3-0.5% dan rata rata glukosa postprandial sebesar20-30 mg/dL dari keadaan sebelumnya.5Sasaran pengelolaan DM bukan hanya glukosa darah saja, tetapi juga termasuk factor factor lain yaituberat badan, tekanan darah, dan profil lipid, seperti tampak pada sasaran pengendalian DM yang dianjurkan dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM Tipe 2 di Indonesia tahun 2006 (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia).5Penghambat Dipeptidyl Peptidase IV (Penghambat DPP-IV).Terdapat dua macam penghambat DPP-IV yang ada saat ini yaitu sitagliptin dan vildagliptin. Pada terapi tunggal, penghambat DPP-IV dapat menurunkan HbA1c sebesar 0,79-0,94% dan memiliki efek pada glukosa puasa dan post prandial. Penghambat DPP-IV dapat digunakan sebagai terapi alternative bila terdapat intoleransi pada pemakaian metformin atau pada usia lanjut. DPP-IV tidak mengakibatkan hipoglikemia maupun kenaikan berat badan. Efek samping yang dapat ditemukan adalah nasofaringitis, peningkatan risiko infeksi saluran kemih dan sakit kepala. Reaksi alergi yang berat jarang ditemukan.5

Komplikasi Komplikasi AkutKetoasidosis DiabetikKetoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok. Pada pasien KAD dijumpai pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa napas tidak terlalu mudah tercium. Gambaran klinis KAD sebagai berikut keluhan poliuri dan polidipsi sering kali mendahului KAD serta didapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai terutama pada KAD anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lambung. Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau depresi sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol). Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering.6Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non KetotikKeto asidosis diabetik (KAD) dan koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) merupakan komplikasi akut/ emergensi Diebetes Melitus (DM). Sindrom HHNK ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus. HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Keluhan pasien HHNK ialah: rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan dengan KAD. Kadang, pasien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik setelah rehidrasi adekuat. Perubahan pada status mental dapat berkisar dari disorientasi sampai koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung dengan osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350 mmol per kg). Kejang ditemukan pada 25% pasien, dan dapat berupa kejang umum, lokal, maupun mioklonik. Dapat juga teijadi hemiparesis yang bersifat reversibel dengan koreksi defisit cairan.7

Hipoglikemik IatrogenikHipoglikemia pada pasien diabetes tipe 1 (DMT 1) dan diabetes tipe 2 (DMT 2) merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal atau mendekati normal. Tidak ada definisi kendali glukosa darah yang baik dan lengkap tanpa menyebutkan bebas dari hipoglikemia. Risiko hipoglikemia timbul akibat ketidaksempurnaan terapi saat ini, di mana kadar insulin di antara dua makan dan pada malam hari meningkat secara tidak proporsional dan kemampuan fisiologis tubuh gagal melindungi batas penurunan glukosa darah yang aman. Faktor paling utama yang menyebabkan hipoglikemia sangat penting dalam pengelolaan diabetes adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupan glukosa yang berkelanjutan. Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dan Triad Whipple merupakan panduan klasifikasi klinis hipoglikemia yang bermanfaat. Triad tersebut meliputi: a), keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah, b), kadar glukosa darah yang rendah ( 40 tahun, gemuk, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat melahirkan bayi > 4 kg, riwayat DM pada saat kehamilan, dislipidemia.3

Prognosis Prognosis pada umumnya baik jika disertai dengan penanganan yang baik dan sedini mungkin. Pencegahan seperti penyuluhan oleh petugas kesehatan dapat mencegah terjadinya komplikasi yang dapat memperberat penyakit sampai terjadinya kematian.3

Kesimpulan Laki-laki yang berusia 25 tahun dengan keluhan lemas, polofagia, polydipsia GDS 252 mg/dl menderita Diabetes Mellitus.

Daftar Pustaka 1. Bates. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan. Jakarta. EGC; 2009.2. Schteingart DE. Pankreas: metabolisme glukosa dan diabetes melitus. Dalam: Price SA, Wilson LM, editor. Patofisiologi. Volume 2. Edisi ke-6. Jakarta: EGC, 2006.h.1261-70.3. Suyono Slamet. Diabetes di Indonesia. Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid III, 2009; Ed. V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : h. 1855-18564. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi pemeriksaan & manajemen; ahli bahasa, HY Kuncara, editor bahasa Indonesia, Devi Yulianti. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2007. 5. Gustaviani R. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam: Sudoyo, Aru W, dkk, editor. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.Jakarta : FKUI; 2009.h. 1879-80.6. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes: mekanisme terjadinya, diagnosis dan strategi pengelolaan. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.1925-67. Pandelaki K. Retinopati diabetik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.1932-3.8. Subekti I. Neuropati diabetik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.1949.9. Shahab A. Komplikasi kronik DM penyakit jantung koroner. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.1937.