Makalah Pbl Blok 21 Mario Alfonso 102008206
-
Upload
danny-sumargo -
Category
Documents
-
view
115 -
download
9
Transcript of Makalah Pbl Blok 21 Mario Alfonso 102008206
I. PENDAHULUAN
Sindrom metabolik (SM) adalah keadaan klinis dimana pada seseorang terdapat sekumpulan
kelainan metabolik, antara lain kelainan kadar lipid (dislipidemia), peningkatan kadar glukosa
(hiperglikemia), peningkatan kadar asam urat (hiperurikemia), peningkatan tekanan darah
(hipertensi), dan kegemukan (obesitas). Kondisi ini dikaitkan dengan risiko penyakit
kardiovaskular (PKV), stroke, diabetes melitus tipe 2 (DM t2) dan kematian. sehingga
memerlukan intervensi modifikasi gaya hidup yang ketat (intensif)
Komponen utama dari sindrom metabolik meliputi : Resistensi insulin, Obesitas
abdominal/sentral, Hipertensi, Dislipidemia berupa peningkatan kadar trigliserida dan penurunan
kadar HDL kolesterol
Sindrom Metabolik disertai dengan keadaan proinflammasi / prothrombotik yang dapat
menimbulkan peningkatan kadar C-reactive protein, disfungsi endotel, hiperfibrinogenemia,
peningkatan agregasi platelet, peningkatan kadar PAI-1, peningkatan kadar asam urat,
mikroalbuminuria dan peningkatan kadar LDL cholesterol.
Berdasarkan pengamatan di banyak negara, baik di negara maju maupun yang sedang
berkembang, jumlah orang dengan kelainan ini makin banyak. Oleh karena itu telah banyak
peringatan dan anjuran untuk segera melakukan upaya untuk mencegah timbulnya sindrom
metabolik. Upaya pertama adalah dengan mengenal terlebih dahulu kelainan, faktor-faktor yang
berperan, patofisiologinya kemudian diikuti dengan upaya pencegahan dan penatalaksanaannya.
Dalam upaya tersebut telah dikemukakan beberapa definisi mengenai kelainan apa saja yang
perlu diperhatikan dan kriteria batasan nilainya. Antara beberapa rekomendasi tersebut banyak
persamaannya tetapi ada pula perbedaannya, bahkan timbul perdebatan kontroversial antara para
ahli
sehingga membingungkan para pengguna, yaitu para dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
Diinginkan adanya suatu pedoman yang bersifat universal yang dapat dipakai bersama di semua
negara.
Pada makalah ini dibahas secara singkat mengenai sindrom metabolik, bermacam-macam
definisi dan kriteria batasan nilai, berbagai faktor risiko, dan anjuran cara penatalaksanaannya
termasuk pencegahannya.
II. PEMBAHASAN
Anamnesis
pada pemeriksaan pasien,dapat dilakukan dengan menanyakan kepada pasien mengenai identitas,
keluhan utama, riwayat perjalanan keluhan, sejak kapan timbul gejala, riwayat penyakit pasien
dan keluarga. Perlu juga ditanyakan bagaimana aktivitas pasien sehari-hari dan bagaimana
asupan makanan sehari-harinya. Pada kasus ini dapat ditemui bahwa pasien merasa dirinya
terlalu gemuk dan sulit menurunkan berat badannya sejak usia 30 tahunan. Dan bahwa pasien
juga merasakan agak sering lelah dan mudah haus 1 tahun belakangan ini. Riwayat ayahnya
menderita hipertensi dan ibunya sudah 10 tahun mengidap penyakit diabetes. Setelah dilakukan
anamnesis kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik.1,3
PEMERIKSAAN
1.FISIK
- Pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah
- Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) , menggunakan rumus
Berat badan (kg)
——————————
Tinggi badan (m)2
- Pengukuran lingkaran pinggang merupakan prediktor yang lebih baik terhadap risiko
kardiovaskular daripada pengukuran waist-to-hip ratio.3
2.PENUNJANG
Panel Sindrom Metabolik
Merupakan sekelompok pemeriksaan laboratorium yang disarankan untuk mengetahui adanya
sindrom metabolik beserta komplikasinya.
1. Trigliserida, HDL Kolesterol, Glukosa Puasa
Manfaat :
Mendeteksi adanya sindrom metabolik berdasarkan kriteria IDF 2005.
2. Apo B dan LDL Kolesterol Direk
Manfaat :
Melihat adanya small dense LDL. Small dense LDL merupakan faktor risiko penting untuk
Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan lebih aterogenik bila dibandingkan dengan LDL biasa.
Dengan menentukan konsentrasi apo B plasma, kita dapat menentukan jumlah partikel small
dense LDL, di mana dengan menggunakan rasio kolesterol LDL/ApoB (konsentrasi
kolesterol LDL diukur dengan metode direk) dapat ditentukan adanya small dense LDL. Pada
rasio kolesterol LDL direk/ApoB < 1,2, terdapat small dense LDL dalam sirkulasi tubuh .
3. Adiponektin
Manfaat :
Melihat apakah terjadi penurunan konsentrasi adiponektin (hipoadiponektinemia), di mana
peningkatan jaringan adiposa viseral akan mengakibatkan penurunan konsentrasi adiponektin
dan peningkatan sitokin proinflamasi yang berperan penting dalam efek kardiovaskular
sindrom metabolik.
4. Glukosa Puasa, Glukosa 2 jam pp dan HbA1c
Manfaat :
Mendiagnosis dan memantau pengendalian hiperglikemia (glukosa darah puasa terganggu,
toleransi glukosa terganggu dan T2DM).
5. hsCRP
Manfaat :
Menilai kondisi inflamasi kronis pada individu sindrom metabolik. penanda untuk
memprediksi penyakit pembuluh darah koroner pada sindrom metabolik, dan baru-baru ini
digunakan prediktor untuk penyakit lemak hati non-alkohol dalam hubungan dengan penanda
serum yang menunjukkan lipid dan metabolisme glukosa.
6. NT-proBNP
Manfaat :
Melihat risiko gagal jantung pada individu obes. Peningkatan indeks massa tubuh merupakan
faktor risiko terjadinya hipertensi, T2DM dan dislipidemia, sehingga meningkatkan risiko
infark miokardial yang mendahului terjadinya gagal jantung. Selain itu, hipertensi dan T2DM
secara independen akan meningkatkan risiko gagal jantung.
7. Albumin Urin Kuantitatif (Sewaktu)
Manfaat :
Membantu menentukan pengobatan yang dapat mencegah atau memperlambat onset penyakit
ginjal kronik (PGK) dan penyakit kardiovaskular (PKV). Albumin Urin Kuantitatif
merupakan penanda prognosis untuk risiko PKV pada individu dengan diabetes maupun
tanpa diabetes, sebagai penanda risiko mortalitas pada individu infark miokardial, dan
merupakan prediktor PKV pada individu dengan hipertensi tidak terkontrol.
8. SGPT dan Collagen Type IV
Manfaat :
Melihat risiko NASH pada individu dengan sindrom metabolik. NASH merupakan bagian
dari spektrum luas nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) dan ditandai dengan
hepatomegali, peningkatan serum aminotransferase dan gambaran histologi yang menyerupai
hepatitis alkoholik tanpa adanya penggunaan alkohol berlebihan. Terjadinya fatty liver (yang
dideteksi melalui ultrasonografi) yang disertai dengan adanya inflamasi (ditandai dengan
peningkatan hsCRP dan hipoadiponektinemia), proses fibrosis (ditandai dengan peningkatan
collagen type IV) serta adanya kematian sel (ditandai dengan peningkatan enzim SGPT)
merupakan kondisi yang terjadi pada NASH.3,4
DIAGNOSIS KERJA
Sejak munculnya sindrom resistensi insulin, beberapa organisasi berusaha membuat
kriteria sindrom metabolik supaya dapat diterapkan secara praktis klinis sehari-hari. Secara
umum, semua kriteria yang diajukan memerlukan minimal 3 kriteria untuk mendiagnosis
sondrom metabolik atau sindrom resistensi insulin. World Health Organization (WHO)
merupakan organisasi pertama yang mengusulkan kriteria sindrom metabolik pada tahun 1998.
Menurut WHO pula, istilah sindrom metabolik dapat dipakai pada penyandang! DM mengingat
penyandang DM juga dapat memenuhi kriteria tersebut dan menunjukkan besarnya risiko
terhadap kejadian kardiovaskular. Setahun kemudian pada tahun 1999, the European Group for
Study of Insulin Resistance (EGIR) melakukan modifikasi pada kriteria WHO. EGIR cenderung
menggunakan istilah sindrom resistensi insulin. Berbeda dengan WHO, EGIR lebih memlih
obesitas sentral dibandingkan IMT dan istilah sindrom resistensi insulin tidak dapat dipakai pada
penyandang DM karena resistensi insulin merupakan faktor risiko timbulnya DM. Pada tahun
2001, National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel III (ATP III)
mengajukan kriteria baru yang tidak mengharuskan adanya komponen resistensi insulin. Meski
tidak pula mewajibkan adanya komponen obesitas sentral, kriteria ini menganggap bahwa
obesitas sentral merupakan faktor utama yang mendasari sindrom metabolik. Nilai cut off lingkar
perut diambil dari National Institute of Health Obesity ClinicaI Guidelines; > 102 cm untuk pria
dan > 88 cm untuk wanita. Untuk etnik tertentu seperti Asia, dengan cut-off lingkar perut lebih
rendah dari ATP III, sudah berisiko terkena sindrom metabolik. Pada tahun 2003, American
Association of ClinicaI Endocrinologists (AACE) memodifikasi definisi dari ATP III. Sama
seperti EGIR, bila sudah ada DM, maka istilah sindrom resistensi insulin tidak digunakan lagi.
Dua tahun kemudian, pada tahun 2005, International Diabetes Federation (IDF) kembali
memodifikasi kriteria ATP III. IDF menganggap obesitas sentral sangat berkorelasi dengan
resistensi insulin, sehingga memakai obesitas sentral sebagai kriteria utama. Nilai cut-off yang
digunakan juga dipengaruhi oleh etnik. Untuk Asia dipakai cut-off\ lingkar perut > 90 cm untuk
pria dan > 80 cm untuk wanita. Beberapa kriteria sindrom metabolik dapat dilihat pada Tabel 2.
Kriteria yang diajukan oleh NCEP-ATP III lebih banyak digunakan, karena lebih memudahkan
seorang klinisi untuk mengidentifikasi seseorang dengan sindrom metabolik. Sindrom metabolik
ditegakkan apabila seseorang memiliki sedikitnya 3 (tiga) kriteria.1,5
ETIOLOGI
Dari beberapa pendapat ahli menyebutkan bahwa faktor genetik dan lingkunganlah yang
memegang peranan penting terjadinya sindroma metabolik.
Riwayat keluarga dengan diabetes tipe 2, hipertensi dan penyakit jantung akan meningkatkan
kemungkinan seseorang menderita sindroma metabolik.
Fator lingkungan yang berperan antara lain kurangnya berolah raga, gaya hidup yang buruk, dan
peningkatan berat badan yang terlampau cepat.
Sindroma metabolik terjadi pada 5% orang dengan berat badan normal, 22% pada orang dengan
kelebihan berat badan dan 60% pada orang yang gemuk. Orang dewasa yang berat badannya
meningkat lebih dari 5 kg per tahun akan meningkatkan pula resiko terjadinya sindroma
metabolik sekitar 45%.
Jadi, melihat gambaran diatas, kegemukan merupakan faktor resiko yang sangat penting
terjadinya sindroma metabolik disamping hal hal berikut :
- Perempuan yang telah memasuki menopause.
- Merokok.
- Mengkonsumsi terlalu banyak karbohidrat.
- Kurang berolah raga.
- Mengkonsumsi minuman beralkohol.
Faktor-faktor tersebut merupakan ciri-ciri dari pola hidup yang “Westernized” (kebarat-baratan)
yang dapat memicu timbulnya penyakit yang erat hubungannya dengan pola hidup (“ Life Style
Related Disease”) yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1980an dan sebagai salah satu contoh
yang jelas adalah Sindroma Metabolik.1,3,6
EPIDEMIOLOGI
Di US, peningkatan kejadian obesitas mengiringi peningkatan prevalensi sindrom metabolik.
Prevalensi sindrom metabolik pada populasi usia > 20 tahun sebesar 25% dan pada usia > 50
tahun sebesar 45%. Pandemi sindrom metabolik juga berkembang seiring dengan peningkatan
prevalensi obesitas yang terjadi pada populasi Asia, termasuk Indonesia. Studi yang dilakukan di
Depok (2001) menunjukkan prevalensi sindrom metabolik menggunakan kriteria National
Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III) dengan modifikasi
Asia Pasifik, terdapat pada 25.7% pria dan 25% wanita. Penelitian Soegondo (2004) melaporkan
prevalensi sindrom metabolik sebesar 13,13% dan menunjukkan bahwa kriteria Indeks Massa
Tubuh (IMT) obesitas >25 kg/m2 lebih cocok untuk diterapkan pada orang Indonesia. Penelitian
di DKI Jakarta pada tahun 2006 melaporkan prevalensi sindrom metabolik yang tidak jauh
berbeda dengan Depok yaitu 26,3% dengan obesitas sentral merupakan komponen terbanyak
(59,4%). Laporan prevalensi sindrom metabolik di beberapa daerah di Indonesia dapat dilihat
pada Tabel 1.
Dibandingkan dengan komponen-komponen pada sindrom metabolik, obesitas sentral paling
dekat untuk memprediksi ada tidaknya sindrom metabolik. Beberapa studi di wilayah Indonesia
termasuk Jakarta menunjukkan obesitas sentral merupakan komponen yang paling banyak
ditemukan pada individu dengan sindrom metabolik.1
PATOFISIOLOGI
Pengetahuan mengenai patofisiologi masing-masing komponen sindrom metabolik sebaiknya
diketahui untuk dapat memprediksi pengaruh perubahan gaya hidup dan medikamentosa dalam
penatalaksanaan sindrom metabolik.
Obesitas sentral
Obesitas yang digambarkan dengan indeks massa
tubuh tidak begitu sensitif dalam menggambarkan
risiko kardiovaskular dan gangguan metabolik yang
terjadi. Studi menunjukkan bahwa obesitas sentral
yang digambarkan oleh lingkar perut (dengan cut-off
yang berbeda antara jenis kelamin) lebih sensitif
dalam memprediksi gangguan metabolik dan risiko
kardiovaskular. Lingkar perut menggambarkan baik jaringan adiposa subkutan dan visceral.
Meski dikatakan bahwa lemak viseral lebih berhubungan dengan komplikasi metabolik dan
kardiovaskular, hal ini masih kontroversial. Peningkatan obesitas berisiko pada peningkatan
kejadian kardiovaskular. Variasi faktor genetik membuat perbedaan dampak metabolik maupun
kardiovaskular dari suatu obesitas. Seorang dengan obesitas dapat tidak berkembang menjadi
resistensi insulin, dan sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan pada individu tanpa obes
(lean subjects). Interaksi faktor genetik dan lingkungan akan memodifikasi tampilan metabolik
dari suatu resistensi insulin maupun obesitas.
Jaringan adiposa merupaka sebuah organ endokrin yang aktif mensekresi berbagai faktor pro dan
anti inflamasi seperti leptin, adiponektin, Tumor nekrosis factor α (TNF-α), Interleukin-6 (IL-6)
dan resistin. Konsentrasi adiponektin plasma menurun pada kondisi DM tipe 2 dan obesitas.
Senyawa ini dipreaya memiliki efek antiaterogenik pada hewan coba dan manusia. Sebaliknya,
konsentrasi leptin meningkat pada kondisi resistensi insulin dan obesitas dan berhubungan
dengan risiko kejadian kardiovaskular tidak tergantung dari faktor risiko tradisional
kardiovaskular, IMT dan konsentrasi CRP Sejauh ini belum diketahui apakah pengukuran
pengukuran marker hormonal dari jaringan adiposa lebih baik daripada pengukuran secara
anatomi dala memprediksi risiko kejadian kardiovaskular dan kelainan metabolik yang terkait.
Resistensi Insulin
Resistensi insulin mendasari kelompok kelainan pada sindrom metabolik. Sejauh ini belum
disepakati pengukuran yang ideal dan praktis untuk resistensi insulin. Teknik clamp merupakan
teknik yang ideal namun tidak praktis untuk klinis sehari-hari. Pemeriksaan glukosa plaama
puasa juga tidak ideal mengingat gangguan toleransi glukosa puasa hanya dijumpai pada 10%
sindrom metabolik. Pengukuran Homeostasis Model Asessment (HOMA) dan Quantitative
Insulin Sensitivity Check Index (QUICKI) dibuktikan berkorelasi erat dengan pemeriksaan
standar, sehingga dapat disarankan untuk mengukur resistensi insulin. Bila melihat dari
patofisiologi resistensi insulin yang melibatkan jaringan adiposa dan sistem kekebalan tubuh,
maka pengukuran resistensi insulin hanya dari pengukuran glukosa dan insulin (seperti rumus
HOMA dan QUICKI) perlu ditinjau ulang. Oleh karenanya, penggunaan rumus ini secara rutin
di klinis belum disarankan maupun disepakati.
Dislipidemia
Dislipidemia yang khas pada sindrom metabolik ditandai dengan peningkatan trigliserida dan
penurunan kolesterol HDL. Kolesterol LDL biasanya normal, namun mengalami perubahan
struktur berupa peningkatan small dense LDL. Peningkatan konsentrasi trigliserida plasma
dipikirkan akibat peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati sehingga terjadi peningkatan
produksi trigliserida. Namun studi pada manusia dan hewan menunjukkan bahwa peningkatan
trigliserida tersebut bersifat multifaktorial dan tidak hanya diakibatkan oleh peningkatan
masukan asam lemak bebas ke hati.
Penurunan kolesterol HDL disebabkan peningkatan trigliserida sehingga terjadi transfer
trigliserida ke HDL. Namun, pada subyek dengan resistensi insulin dan konsentrasi trigliserida
normal dapat ditemukan penurunan kolesterol HDL. Sehingga dipikirkan terdapat mekanisme
lain yang menyebabkan penurunan kolesterol HDL disamping peningkatan trigliserida.
Mekanisme yang dipikirkan berkaitan dengan gangguan masukan lipid post prandial pada
kondisi resistensi insulin sehingga terjadi gangguan produksi Apolipoprotein A-I (Apo A-l) oleh
hati yang selanjutnya mengakibatkan penurunan kolesterol HDL. Peran sistem imunitas pada
resistensi insulin juga berpengaruh pada perubahan profil leipid pada subyek dengan resistensi
insulin. Studi pada hewan menunjukkan bahwa aktivasi sistem imun akan menyebabkan
gangguan pada lipoprotein, protein transport, reseptor dan enzim yang berkaitan sehingga terjadi
perubahan profil lipid.
Peran sistem imunitas pada resistensi insulin
Inflamasi subklinis kronik juga merupakan bagian dari sindrom metabolik. Marker inflamasi
berperan pada progresifitas DM dan komplikasi kardiovaskular. C reactive protein (CRP)
dilaporkan menjadi data prognosis tambahan tentang keparahan inflamasi pada subyek wanita
sehat dengan sindrom metabolik. Namun, belum didapatkan kesepakatan alur diagnosis yang
mampu menggabungkan peningkatan CRP, koagulasi, dan gangguan fibrinolisis dalam
memprediksi risiko kardiovaskular.
Hipertensi
Resistensi insulin juga berperan pada pathogenesis hipertensi. Insulin merangsang sistem saraf
simpatis meningkatkan reabsorpsi natrium ginjal, mempengaruhi transport kation dan
mengakibatkan hipertrofi sel otot polos pembuluh darah. Pemberian infus insulin akut dapat
menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi. Sehingga disimpulkan bahwa hipertensi akibat
resistensi insulin terjadi akibat ketidakseimbangan antara efek pressor dan depressor. The Insulin
Resistance Atherosclerosis Stucfy melaporkan hubungan antara resistensi insulin dengan
hipertensi pada subyek normal namun tidak pada subyek dengan DM tipe 2
Manifestasi lain-lain
Resistensi insulin disertai oleh banyak perubahan lain yang tidak termasuk dalam kriteria
diagnostik SM. Peningkatan apo B, apo C-III, asam urat, faktor-faktor protrombotik (fibrinogen,
plasminogen activator inhibitor 1 = PAI-1), viskositas serum, asymmetric dimethylarginine
(ADMA), hemosistein, hitung leukosit, sitokin proinflamasi, mikroalbuminuria, penyakit
perlemakan hati (non-alcoholic fatty liver disease = NAFLD dan non-alcoholic steatohepatitis =
NASH), gangguan napas sewaktu tidur (obstructive sleep apnea ) dan penyakit polikistik
ovarium (polycystic ovarian disease) semua berkaitan dengan RI. Pada NASH terdapat
akumulasi trigliserida dan inflamasi.
Merokok dan gaya hidup tidak aktif fisik (sedenter) juga dapat menimbulkan banyak dari kriteria
utama SM. Peningkatan apo B dan apo C-III, dan NASH terkait dengan pengaruh asam lemak
terhadap produksi VLDL oleh hati, juga apo B dan apo C-III menunjukkan peningkatan jumlah
partikel proaterogenik dalam sirkulasi.
Hiperurikemia disebabkan efek kerja insulin terhadap reabsorpsi asam urat di tubuli ginjal ,
sedangkan peningkatan ADMA, suatu penghambat nitric oxide synthase endogen, berhubungan
dengan disfungsi endotel. Mikroalbuminuria menunjukkan adanya disfungsi endotel dalam
keadaan RI.
Sitokin propinflamasi
Pada Sindrom Metabolik terdapat peningkatan sitokin pro inflamasi meliputi interleukin 6 (IL-6),
resistin, /tumour necrosis factor (TNF) dan C-reactive protein (CRP) mencerminkan produksi
dari massa jaringan lemak yang lebih luas. Bukti menunjukkan /monocyte-derived
macrophages /terdapat di jaringan lemak dan kemungkinan sekurangnya sumber generasi sitokin
pro inflamasi lokal dan sirkulasi sistemik. Terdapat bukti bahwa RI di hati, otot, dan jaringan
adiposa tidak hanya berkaitan dengan banyaknya sitokin pro inflamasi (dan defisiensi relatif
sitokin anti inflamasi adiponektin), tetapi juga sebagai hasil beban tersebut.
Sebagai indeks umum inflamasi, kadar CRP bervariasi tergantung pada etnik, asal dan kelompok
dalam etnik oleh kebugaran (/fitnes/s). Sebagai contoh kadar CRP lebih tinggi pada orang India
sehat daripada orang kulit putih Eropa dan terkait kepada obesitas sentral dan RI yang lebih
besar pada orang India.
Adiponektin
Adiponektin adalah sitokin anti inflamasi yang diproduksi hanya oleh adiposit. Adiponektin
memperkuat kepekaan insulin (insulin sensitivity), juga menghambat banyak langkah dalam
proses inflamasi,
misalnya di hati menghambat ekpresi enzim-enzim glukoneogenesis hati dan laju produksi
glukosa endogen. di otot meningkatkan angkutan glukosa dan memperkuat okidasi asam lemak,
pengaruh-pengaruh yang sebagian karena kerja AMP-kinase.1,2,3
PENATALAKSANAAN
Untuk mencegah komplikasi kardiovaskular pada individu yang telah memiliki sindrom
metabolik, diperlukan pemantauan yang terus menerus dengan modifikasi komponen sindrom
metabolik yang ada. Penatalaksanaan sindrom metabolik masih merupakan penatalaksanaan dari
masing-masing komponennya (Tabel 3)
Penatalaksanaan sindrom metabolik terutama bertujuan untuk menurunkan risiko penyakit
kardiovaskular aterosklerosis dan risiko diabetes melitus tipe 2 pada pasien yang belum diabetes.
Penatalaksanaan sindrom metabolik terdiri atas 2 pilar, yaitu tatalaksana penyebab (berat badan
lebih/obesitas dan inaktifitas fisik) serta tatalaksana faktor risiko lipid dan non lipid.
Obesitas dan Obesitas Sentral
Pemahaman tentang hubungan antara obesitas dan sindrom metabolik serta peranan otak dalam
pengaturan energi, merupakan titik tolak yang penting dalam penatalaksanaan klinik. Pengaturan
berat badan merupakan dasar tidak hanya bagi obesitas tapi juga sindrom metabolik.
Mempertahankan berat badan yang lebih rendah dikombinasi dengan pengurangan asupan kalori
dan peningkatan aktifitas fisik merupakan prioritas utama pada penyandang sindrom metabolik.
Target penurunan berat badan 5-10% dalam tempo 6-12 bulan, dapat dicapai dengan mengurangi
asupan kalori sebesar 500-1000 kalori per hari ditunjang dengan aktifitas fisik yang sesuai.
Aktifitas fisik yang disarankan adalah selama 30 menit atau lebih setiap hari. Untuk subyek
dengan komorbid penyakit jantung koroner, perlu dilakukan evaluasi kebugaran sebelum
diberikan anjuran jenis-jenis olah raga yang sesuai.
Pemakaian obat-obatan dapat berguna sehingga dipertimbangkan pada beberapa pasien. Dua
obat yang dapat digunakan dalam menurunkan berat badan adalah sibutramin dan orlistat.
Dengan mempertimbangkan peranan otak sebagai regulator berat badan, sibutramin dapat
menjadi pertimbangan walaupun tanpa mengesampingkan kemungkinan efek samping yang
mungkin timbul. Cara kerjanya di sentral memberikan efek mengurangi asupan energi melalui
efek mempercepat rasa kenyang dan mempertahankan pengeluaran energi setelah berat badan
turun dapat memberikan efek tidak hanya untuk penurunan berat badan namun juga
mempertahankan berat badan yang sudah turun. Demikian pula dengan efek metabolik, sebagai
efek dari penurunan berat badan pemberian sibutramin setelah 24 minggu yang disertai dengan
diet dan aktifitas fisik, memperbaiki konsentrasi trigliserida dan kolesterol HDL.Terapi
pembedahan dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien yang berisiko serius akibat obesitasnya.
Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular. Hipertensi juga mengakibatkan
mikroalbuminuria yangdipakai sebagai indikator independen morbiditas kardiovaskular pida
pasien tanpa diabetes atau hipertensi. Target tekanan darah berbeda antara subyek dengan DM
dan tanpa DM. Pada subyek dengan DM dan penyakit ginjal, target tekanan darah adalah <
130/80 mmHg, sedangkan pada bukan, targetnya < 140/90 mmHg. Untuk mencapai target
tekanan darah, penatalaksanaan tetap diawali dengan pengaturan diet dan aktifitas fisik.
Peningkatan tekanan darah ringan dapat diatasi dulu dengan upaya penurunan berat badan,
berolah raga, menghentikan rokok dan konsumsi alkohol serta banyak mengkonsumsi serat.
Namun apabila modifikasi gaya hidup sendiri tidak mampu mengendalikan tekanan darah maka
dibutuhken pendekatan medikamentosa untuk mencegah komplikasi seperti infark miokard,
gagal ginjal kronik dan stroke.
Dalam suatu penelitian meta-analisis didapatkan bahwa enzim pengkonversi angiotensin dan
penghambat reseptor angiotensin mempunyai manfaat yang bermakna dalam meregresi hipertrofi
ventrikel kiri dibandingkan dengan penghambat beta adrenergik, diuretik dan antagonis kalsium.
Valsartan, suatu penghambat reseptor angiotensin, dapat mengurangi mikroalbuminuria yang
diketahui sebagai faktor risiko independen kardiovaskular. Beberapa studi menyarankan
pemakaian ACE inhibitor sebagai linipertama pada penyandang hipertensi dengan sindrom
metabolik terutama bila ada DM Angiotensin receptor blocker (ARB) dapat digunakan apabila
tidak toleran terhadap ACE inhibitor. Meski pemakaian diuretik tidak dianjurkan pada subyek
dengan gangguan toleransi glukosa, namun pemakaian diuretik dosis rendah yang dikombinasi
dengan regimen lain dapat lebih bermanfaat dibandingkan efek sampingnya.
Gangguan Toleransi Glukosa
Intoleransi glukosa merupakan salah satu manifestasi sindrom metabolik yang dapat menjadi
awal suatu diabetes melitus. Penelitian-penelitian yang ada menunjukkan adanya hubungan yang
kuat antara toleransi glukosa terganggu (TGT) dan risiko kardiovaskular padasindrom metabolik
dan diabetes. Perubahan gaya hidup dan aktifitas fisik yang teratur terbukti efektif dapat
menurunkan berat badan dan TGT. Modifikasi diet secara bermakna memperbaiki glukosa 2 jam
pasca prandial dan konsentrasi insulin.
Tiazolidindion memiliki pengaruh yang ringan tetapi persisten dalam menurunkan tekanan darah
sistolik dan diastolik. Tiazolidindion dan metformin juga dapat menurunkan konsentrasi asam
lemak bebas. Pada Diabetes Prevention Program, penggunaan metformin dapat mengurangi
progresi diabetes sebesar 31% dan efektif pada pasien muda dengan obesitas.
Dislipidemia
Pilihan terapi untuk dislipidemia adalah perubahan gaya hidup yang diikuti dengan
medikamentosa. Namun demikian, perubahan diet dan latihan jasmani saja tidak cukup berhasil
mencapai target. Oleh karena itu disarankan untuk memberikan obat berbarengan dengan
perubahan gaya hidup. Menurut ATP III, setelah kolesterol LDL sudah mencapai target, sasaran
berikutnya adalah dislipidemia aterogenik. Pada konsentrasi trigliserida + 200 mg/di, maka target
terapi adalah non kolesterol HDL setelah kolesterol LDL terkoreksi. Terapi dengan gemfibrozil
tidak hanya memperbaiki profil lipid tetapi juga secara bermakna dapat menurunkan risiko
kardiovaskular. Fenofibrat secara khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida dan
meningkatkan kolesterol HDL, telah menunjukkan perbaikan profil lipid yang sangat efektif dan
mengurangi risiko kardiovaskular. Fenofibrat juga dapat menurunkan konsentrasi fibrinogen.
Kombinasi fenofibrat dan statin memperbaiki konsentrasi trigliserida, kolesterol HDL dan LDL
Target terapi berikutnya adalah peningkatan apoB. Beberapa studi menunjukkan apoB lebih baik
dalam menggambarkan dislipidemia aterogenik yang terjadi dibandingkan dengan konlesterol
non HDL sehingga menyarankan apoB sebagai target terapi. Meskipun demikian, ATP III tetap
menyarankan pemakaian kolesterol non HDL sebagai target terapi mengingat di beberapa
tempat, sarana pemeriksaan apoB belum tersedia.
Apabila konsentrasi trigliserida + 500 mg/dL, maka target terapi pertama adalah penurunan
trigliserida untuk mencegah timbulnya pancreatitis akut. Pada konsentrasi trigliserida < 500
mg/dL, terapi kombinasi untuk menurunkan trigliserida dan kolesterol LDL dapat digunakan.
Berbeda dengan trigliserida dan kolesterol LDL, untuk kolesterol HDL tidak ada target terapi
tertentu, hanya dinaikkan saja. Panduan terapi untuk dislipidemia dapat dilihat pada Tabel 3.1,3,4
PENCEGAHAN
The US Preventive Services Task Force merekomendasi konsultasi diet intensif terhadap pasien-
pasien dewasa yang mempunyai faktor-faktor risiko untuk terjadinya penyulit kardiovaskular.
Para dokter keluarga lebih efektif dalam membantu pasien menerapkan kebiasaan hidup sehat.
The Diabetes Prevention Program telah membuktikan bahwa intervensi gaya hidup yang ketat
pada pasien prediabetes dapat menghambat progresivitas terjadinya diabetes lebih dari 50%
( dari 11% menjadi 4,8%).3
KOMPLIKASI
Kegemukan (obesitas), tekanan darah tinggi, diabetes mellitus dan dislipidemia secara sendiri-
sendiri sudah sejak lama diketahui sebagai faktor resiko terjadinya penyakit jantung koroner.
Demikian pula adanya factor-faktor tersebut secara bersamaan pada seseorang telah sangat
dikenal akan jauh meningkatkan kemungkinan terjadinya Penyakit jantung Koroner. Dengan
demikian penderita dengan Sindroma Metabolik kemungkinan untuk mendapatkan / terkena
penyakit jantung koroner dan penyakit kardiovaskuler lainnya akan meningkat.7
PROGNOSIS
Metabolic syndrome bukan suatu penyakit tetapi kumpulan fenomena klinis terkait resistensi
insulin. Intervensi terhadap metabolic syndrome termasuk penurunan berat badan ( perubahan
gaya hidup, obat ) dapat menunda ataupun mencegah diabetes mellitus tipe 2 serta menurunkan
risiko penyakit kardiovaskular.8
III. PENUTUP
Sindrom metabolik merupakan kumpulan gejala yang keberadaannya menunjukkan
peningkatan risiko kejadian penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus. Obesitas sentral
memiliki korelasi paling erat dengan sindrom metabolik dibandingkan dengan komponen
yang lain. Penatalaksanaan sindrom metabolik masih mengacu pada tiap komponen, sejauh
ini belum ada penatalaksanaan yang berbeda bila dibandingkan dengan komponen secara
individual.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo W. Aru, et al. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Ed 5. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UI. 2009; h. 1865-1872.
2. Sylvia, A , Prince, Lorraine , et. al. Patofisiologi. 6th ed, vol. 1. Jakarta : EGC 2006;
h.1202-1213.
3. Sindrom metabolik. 2010. Diunduh dari http://www.abclab.co.id/?p=833 pada 28
November 2010.
4. National Institutes of Health: Third Report of the National Cholesterol Education
Program Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III). Executive Summary. Bethesda, Md.:
National Institutes of Health, National Heart Lung and Blood Institute, 2001 (NIH
publication no. 01-3670). Diunduh dari
http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/cholesterol/ index.html pada 28 November 2010
5. Surabaya metabolic syndrome update 2006. 2006. Diunduh dari http://www.majalah-
farmacia.com pada 28 November 2010.
6. Faktor risiko sindrom metabolik. 2009. Diunduh dari
http://www.news-medical.net/health/Metabolic-Syndrome-Risk-Factors-
%28Indonesian%29.aspx pada 28 November 2010.
7. Komplikasi obesitas dan usaha. 2007. Diunduh dari
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/15_KomplikasiObesitasdanUsaha.pdf/
15_KomplikasiObesitasdanUsaha.html pada 28 November 2010
8. Cardiovascular morbidity and mortality associated with the metabolic syndrome. 2007.
Diunduh dari http://www.metabolicsyndromeinstitute.com/informations/prognosis-
outcomes/cardiovascular-morbidity-and-mortality-associated-with-the-metabolic-
syndrome.php pada 28 November 2010
TUGAS MANDIRI
PROBLEM BASED LEARNING
BLOK XXI
METABOLIK ENDOKRIN 2
NAMA : Mario Alfonso L.W.
NIM : 10 - 2008 - 206
KELOMPOK : D – 1
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
2010