Makalah Pbl Blok 10
-
Upload
yehiel-flavius -
Category
Documents
-
view
136 -
download
1
description
Transcript of Makalah Pbl Blok 10
PROBLEM BASED LEARNING
TRAKTUS UROGENITAL
BLOK 10
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
MAKROSKOPIS
Komponen dari tractus urinarius adalah
- 2 buah / sepasang ginjal
- 2 buah/ sepasang ureter
- Vesica urinaria
- Urethra
a. Ginjal
Ginjal terletak retro peritonea sebelah kiri atau kanan columna vertebralis. Ginjal kiri terletak
pada costa 11 sampai vertebra lumbalis 2-3 dan ginjal kanan pada costa 12 sampai vertebra
lumbalis 3-4. Jarak kutub atas kedua ginjal ±7 cm, kutub bawah kedua ginjal 11cm dan jarak dari
kutub bawah ke crista iliaca 3-5cm.
Pembungkus ginjal terdiri dari :
1. Capsula fibrosa
Melekat pada ginjal, hanya menyelubungi ginjal dan mudah di kupas
2. capsula adiposa
Mengandung banyak lemak dan membungkus ginjal serta glandula supra renalis.
Dinding capsula adiposa pada bagian depan tipis sedangkan pada bagian belakangnya
tebal.
3. fascia renalis
Letaknya di luar capsula fibrosa. Terdiri 2 lembar :
- depan : facia prerenalis
- belakang : facia retro renalis
Kedua lembar facia renalis ke caudal tetap terpisah, ke cranial bersatu, sehingga kantong ginjal
terbuka ke bawah. Oleh karena itu sering terjadi ascending infection.
Ginjal dipertahankan pada tempatnya oleh fascia adiposa, pada keadaan tertentu capsula adiposa
sangat tipis, sehingga jaringan ikat yang menghubungkan capsula fibrosa dan capsula renalis
kendor, sehingga ginjal turun disebut nephroptosis. Nephrophtosis sering terjadi pada ibu yg
sering melahirkan ( grande multipara ).
Bagian – bagian ginjal :
• Cortex renalis
Terdiri dari :
o Glomerulus
o pembuluh darah
Di glomerulus darah disaring menjadi filtrat, kemudian disalurkan ke dalam medulla,
saluran- saluran tersebut akan bermuara pada papilla renalis à terdapat garis- garis dari
medulla: processus medullaris ( FERHEINI )
• Medulla Renalis
Papilla renalis sesuai ujung ginjal yang berbentuk segitiga = pyramid renalis (malphigi).
Di antara pyramis-pyramis terdapat columna renalis (Bertini). Saluran-saluran yang
menembus papilla = ductuli papillares ( Bellini), tempat tembusnya berupa ayakan = area
cribriformis. Papilla renalis menonjol ke dalam calix minor. Beberapa calyx minor ( 2 – 4
) membentuk calyx major . Beberapa calyx major menjadi pyelum = pelvis renis,
kemudian menjadi ureter . Ruangan tempat calyx = hillus renalis
Pendarahan Ginjal berasal dari A. renalis cabang dari Aorta abdominalis setinggi vertebra
Lumbalis 1-2. A. renalis kanan lebih panjang dari A. renalis kiri, karena harus menyilang V. cava
inferior di belakangnya. A. renalis masuk ke dalam ginjal melalui hillus renalis dan bercabang 2.
Yang satu ke depan ginjal, mengurus ginjal bagian depan dan lebih panjang dan satu lainnya ke
belakang ginjal, mengurus ginjal bagian belakang. A. Renalis depan & belakang bertemu di
lateral, pada garis Broedel, tempat pertemuannya ± di belakang garis tengah ginjal. Pembedahan
pada garis Broedel, perdarahan minimal. A. Renalis bercabang lagi & berjalan di antara lobus
ginjal yaitu A. interlobaris. A. Interlobaris berada pada perbatasan cortex & medula bercabang
menjadi A. arcuata, mengelilingi cortex dan medulla, sehingga disebut A. arciformis. A. arcuata
mempercabangkan : A. interlobularis berjalan sepanjang tepi ginjal (cortex), mempercabangkan
vassa afferens (glomerolus). Dalam glomerolus membentuk anyaman atau pembuluh kapiler
sebagai vassa efferens berupa anyaman rambut yang di sebut tubuli contorti.
Pembuluh balik ginjal mengikuti nadinya mulai permukaan ginjal sebagai kapiler
berkumpul dalam V. interlobularis disebut Vv stellatae ( Verheyeni ). Dari V.interlobularis→ V.
arcuata→V. interlobaris → V. renalis → V. cava inferior.
b. Ureter
Mengikuti nadinya mulai permukaan ginjal sebagai kapiler berkumpul dalam V.interlobularis
yang disebut Vv stellatae ( Verheyeni ). Dari V. interlobularis→ V.arcuata→V. interlobaris →
V. renalis → V. cava inferior.
Tiga tempat penyempitan pada ureter :
1. uretero- pelvic junction
2. tempat penyilangan ureter dengan vassa iliaca (flexura marginalis)
3. muara ureter ke dalam vesica urinaria
Persarafan ureter : plexus hypogastricus inferior setinggi vertebra Torakalis 11- L2 melalui
neuron - neuron simpatis.
Ureter di bagi menjadi 2 bagian :
a. Ureter pars abdominalis
Jalannya ureter pada wanita sama dengan pada laki- laki. Batas – batas ureter kanan
yaitu: pars descendens duodeni ( atas ), ileum ( bawah ), tepi lateral V. cava inferior
(medial). Ureter kiri tertutup colon sigmoideum & mesocolonnya (di belakang recessus
intersigmoideus).
b. Ureter pars pelvina
Jalannya ureter ini ventro medial. Mula – mula anterior terhadap A.iliaca communis →
flexura marginalis → tepi depan incisura ischiadica major (di depan A.hypogastrica),
medial terhadap A.V.N. obturatorius / AV.vesicales superior dan inferior. Ureter pars
pelvina pada laki-laki terdapat glandula vesiculosa depan atas dan menyilang ductus
defferens di sebelah lateral untuk bermuara ke dalam vesica urinaria. Pada wanita para
metrium terletak di lateral cervix uteri dan bagian atas vagina. Bagian medialnya sejajar
dengan A. uterina, menyilang nadi tersebut di atasnya.
c. Vesica Urinaria
Disebut juga bladder atau kandung kemih. Fungsi dari vesica urinaria sebagai reservoir urine
(200 - 400 cc). Dindingnya mempunya lapisan otot yang kuat. Letaknya di belakang os pubis.
Vesica urinaria dalam keadaan kosong seluruhnya terletak dalam rongga panggul di belakang os
pubis. Jika terisi penuh vesika urinaria terletak di regio hypogastric. Pada anak-anak vesica
urinaria terletak diatas PAP, berbatasan dengan dinding perut, setelah dewasa rongga panggul
membesar, vesica urinaria masuk ke dalam rongga panggul. Bentuk vesica urinaria saat penuh
seperti telur ( ovoid ). Jika kosong seperti limas. Apex ( puncak ) dari vesica urinaria terletak di
belakang symphysis pubis, permukaan dorsal ( sebagai dasar ), dinding superior dengan 2
dinding latero inferior.
Bagian-bagian dari vesica urinaria :
– Apex
– Corpus
– Fundus
Apex vesica urinaria dihubungkan ke cranial oleh urachus (sisa kantong allantois )
sampai ke umbilicus membentuk. lig. vesico umbilicale mediale. Ditutup oleh peritoneum dan
berbatasan dengan ileum dan colon sigmoideum.
Dinding vesica urinaria pada dasarnya berbentuk segitiga. Pada sudut laterosuperior kiri
dan kanan terdapat ureter dan pada sudut inferior terdapat urethra. Permukaan latero inferior
berhubungan dengan M. obturator interna (cranial) dan M. levator ani (distal).
Collum vesica urinaria berbatasan dengan permukaan atas glandula prostate. Difiksasi
oleh ligamentum puboprostaticus pada laki2 dan ligamentum pubovesicale pada wanita. Antara
vesica urinaria dan rectum terdapat lekukan peritoneum yang di sebut excavatio recto vesicalis.
Antara dinding posterior vesika urinaria dan rectum terdapat vesicula seminalis. Pada sudut
laterosuperior kanan dan kiri terdapat ureter. Dan pada sudut inferior terdapat urethra.
Spatium yang terdapat dalam vesika urinaria terdiri dari :
– spatium praevesicale (Retzii) : ruang antara symphysis pubis dan vesika urinaria
– excavatio rectovesicale
– excavatio vesico uterina
Pendarahan pada vesika urinaria berasal dari
– Aa vesicales superior
Cabang dari A. umbilicalis bagian proximal (bagian distal akan menjadi
ligamentum Umbilicalis lateralis). Memperdarahi fundus dan beranastomosis
dengan A. epigastrica inferior
– Aa. vesicales inferior
Untuk bagian caudal dan lateral permukaan depan vesica urinaria. Juga
memperdarahi glandula prostata
– A. vesiculodeferentialis
Cabang dari A. iliaca interna. Memperdarahi 1/3 permukaan posterior vesica
urinaria. Juga memperdarahi glandula vesiculosa, ductus deferentialis. Pada
wanita, memperdarahi ovarium dan vagina
Pembuluh balik vesica urinaria berasal dari plexus venosus vesicales yang berhubungan dengan
plexus venosus prostaticus → V.iliaca interna.
Pembuluh getah bening à Nnll.iliaca interna dan externa
Persarafan pada vesica urinaria berasal cabang – cabang plexus hypogastricus inferior yaitu :
• Serabut – serabut posterior ganglioner simpatis dan ganglioner parasimpatis vertebra
Lumbalis 1-2
• Serabut- serabut preganglioner parasimpatis N.S2,3,4 melalui N. splancnicus dan plexus
hypogastricus inferior mencapai dinding vesika urinaria, disini terjadi sinapsis dengan
serabut – serabut post ganglioner
• Serabut – serabut sensoris visceral afferent: N.splancnicus → SSP
• Serabut - serabut afferen mengikuti serabut simpatis pada plexus hypogastricus →
medula spinalis Lumbalis 1-2
MIKROSKOPIS
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal terdapat sekitar
1juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi yang sama. Dengan demikian,
kerja ginjal dapat dianggap sebagai jumlah total dari fungsi semua nefron tersebut. Setiap nefron
terdiri dari kapsula bowman, yang mengitari rumbai kapiler glomerulus, tubulus kontortus
proksimal, lengkung henle, dan tubulus kontortus distal, yang mengosongkan siri ke duktus
pengumpul. Orang yang normal masih dapat bertahan dengan jumlah kurang dari 20.000 atau
1% dari massa nefron total. Dengan demikian, masih mungkin untuk menyumbangkan satu
ginjal untuk transplantasi tanpa membahyakan kehidupan.
Kapsula Bowman merupakan suatu invaginasi dari tubulus proksimal. Terdapat ruang
yang mengandung urine antara rumbai kapiler dan kapsula bowman, dan ruangan yang
mengandung urine ini yang dikenal dengan ruang bowman atau kapsular. Kapsula bowman
dilapisi oleh sel-sel epitel. Epitel parietalis berbentuk gepeng dan membentuk bagian terluar dari
kapsula; sel epitel viseralis jauh lebih besar dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga
melapisi bagian luar dari rumbai kapiler. Sel viseralis membentuk tonjolan-tonjolan atau kaki-
kaki yang dikenal sebagai podosit, yang bersinggungan dengan mambrana basalis pada jarak-
jarak tertentu sehingga terdapat daerah-daerah yang bebas dari kontak antar sel epitel. Daerah-
daerah yang terdapat diantara podosit biasanya disebut celah pori-pori, lebarnya sekitar 400 A
(satuan angstrom).
Membrana basalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepit di antara sel-sel
epitel pada satu sisi dan sel-sel endotel pada sisi yang lain. Membrana basalis kapiler menjadi
membrana basalis tubulus dan terdiri dari del hidrasi yang menjalin serat kolagen. Pada
membrana basalis tidak tampak adanya pori-pori, kendatipun bersifat seakan-akan memiliki pori
berdiameter sekitar 70 sampai 100 A. Sel-sel endotel membentuk bagian terdalam dari rumbai
kapiler. Tidak seperti sel-sel epitel, sel endotel langsung berkontak dengan membrana basalis.
Namun terdapat beberapa pelebaran seperti jendela ( dikenal dengan nama fenestrasi) yang
berdiameter sekitar 600 A. Sel-sel endotel berlanjut dengan endotel yang membatasi arteriola
aferen dan eferen. Sel-sel endotel, membrana basalis, dan sel-sel epitel viseralis merupakan tiga
lapisan yang membentuk membran filtrasi glomerulus. Membran filtrasi glomerulus
memungkinkan ultrafiltrasi darah melalui pemisahan unsur-unsur darah dan molekul-molekul
protein besar dari bagian plaama lainnya, dan mengalirkan bagian plasma tersebut sebagian urine
primer ke dalam ruang dari kapsula bowman. Sifat diskriminatif ultrafiltrasi slomerulus timbul
dari susunan struktur yang unik dan komposisi kimia dari dawar ultra filtrasi. Membrana basalis
glomerulus tampaknya merupakan struktur yang membatasi lewatnya zat terlarut ke dalam ruang
urine berdasarkan seleksi ukuran molekul.
Disamping itu, sawar filtrasi memiliki muatan negatif yang di timbulkan oleh kumpulan
makromolekul kaya union pada membrana basalis dan melapisi batas sel epitel dan endotel.
Muatan negatif ini lah yang menjadi alasan mengapa secara normal albumin anionik (yang
berdiameter sedikit lebih kecil daripada ukuran pori yang terkecil) tidak mampu masuk ke ruang
urine. Molekul-molekul protein yang besar serta sel-sel darah dalam keadaan normal tidak
ditemukan dalam filtrat maupun urine. Komponenpenting lainnya dari glomerulus adalah
mesangium, yang terdiri dari sel mesangial dan matriks mesangial.
Sel mesangial membentuk jaringan yang berlanjut antara lengkung kapiler dari
slomerulus dan di duga berfungsi sebagai kerangka jaringan penyokong. Sel mesangial bukan
merupakan bagian dari membran filtrasi nemun menyekresi matriks mesangial. Sel mesangial
mempunyak aktifitas fagositik dan mensekresi prostaglandin. sel mesangial mungkin berperan
dalam mempengaruhi kecepatan filtrasi glomerulus dengan mengatur aliran melalui kapiler
karena sel mesangial memiliki kemampuan untuk berkontraksi dan terletak bersebelahan dengan
kapiler glomerulus. Sel mesangial yang terletak di luar ruang glomerular dekat dengan kutub
vaskular glomerus (antara arteriola aferen dan eferen) disebut sel lacis.
Aparatus jukstaglomerulus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus yang letaknya dekat
dengan kutub vaskular masing-masing glomerulus yang berperan penting dalam mengatur
pelepasan renin dan mengontrol volume cairan ekstraceluler (ECF) dan tekanan darah. JGA
terdiri dari 3 macam sel: (1) jukstaglomerulus,atau sel granular (yang memproduksi dan
menyimpan renin) pada dinding arteriol aferen, (2) makula densa tubulus distal, dan (3)
mesangial ekstraglomerular atau sel lacis. Makula densa adalah adalah sekelompok sel epitel
tubulus distal yang diwarnai dengan pewarnaan khusus. Sel ini bersebelahan dengan ruangan
yang berisi sel lacis dan sel JG yang menyekresi renin. Secara umum, sekresi renin dikontrol
oleh faktor ekstrarenal dan intrarenal. Dua mekanisme penting untuk mengontrol sekresi renin
adalah sel JG dan makula densa. Setiap penurunan tegangan dinding arteriol aferen atau
penurunan pengiriman NA ke makula densa dalam tubulus distal akan merangsang sel JG untuk
melepaskan renin dari granula dari tempat renin tersebut disimpan di dalam sel. Sel JG, yang sel
mioepitelnya secara khusus mengikat arteriol aferen, juga bertindak sebagai transduser tekanan
miniatur, yaitu merasakan tekanan perfusi ginjal. Volume ECF atau volume sirkulasi efektif
(ECV) yang sangat menurun menyebabkan menurunnya tekanan perfusi ginjal, yang dirasakan
sebagai penurunan regangan oleh sel JG. Sel JG kemudian melepaskan renin ke dalam sirkulasi,
yang sebaliknya mengaktifkan mekanisme renin angiotensin-aldosteron.
Mekanisme kontrol ke dua untuk pelepasan berpusat di dalam sel makula densa, yang
dapat berfungsi sebagai kemoreseptor, mengawasi beban klorida yang terdapat pada tubulus
distal, dalam keadaan kontraksi volume, sedikit natrium klorida (NaCl) si alirkan ke tubulus
distal (karena banyak yang direabsorpsi di tubulus proksimal); kemudian timbal balik dari sel
makula densa ke sel JG menyebabkan peningkatan pelepasan renin. Mekanisme sinyal klorida
yang diartikan menjadi perubahan sekresi renin belum diketahui dengan pasti.
Suatu peningkatan volume ECF yang menyebabkan peningkatan tekanan perfusi ginjal dan meningkatkan pengiriman NaCl ke tubulus distal memiliki efek yang berlawanan dari contoh yang diberikan oleh penurunan volume ECF-yaitu menekan sekresi renin. Faktor lain yang mempengaruhi sekresi renin adalah saraf simpatis ginjal, yang merangsang pelepasan renin melalui reseptor beta 1- andregenik dalam JGA, dan angiotensin II yang menghambat pelepasan renin. Banyak faktor sirkulasi lain yang juga mengubah sekresi renin, termasuk elektrolit plasma (kalium dan natrium) dan berbagai hormon, yaitu hormon natriuretik atria, dopamin, hormon antidiuretik (ADH), hormon adrenokortikotropik (ACTH), dan nitrit oksida (dahulu dikenal sebagai faktor relaksasi yang berasal dari endotelium [EDRFI], dan prostagladin. Hal ini terjadi mungkin karena JGA adalah tempat integrasi berbagai input dan sekresi renin itu mencerminkan interaksi dari semua faktor.
KOMPOSISI URIN
A. Komposisi urine normal
- zat padat terbanyak: urea (1/2total solid)
- mineral terbanyak: NACI (1/4 total solid)
- total solid terdiri dari:
a. ½ bagian urea
b. ¼ bagian NaCI
c. ¼ bagian : zat organik lain dan zat anorganik lain.
Unsur normal urin:
a. Urea
b. Kreatinin & kreatin
c. Amoniak (NH3) dan garam ammonium
d. Asam urat
e. Asam amino
f. Allantoin
g. Klorida
h. Sulfat
i. Fosfat
j. Oksalat
k. Mineral
l. Vitamin, hormon, enzim.
(a s/d f adalah senyawa Nitrogen urin)
Urea
Urea merupakan hasil akhir metabolisme protein pada mamalia. Ekskresi urea sebanding
dengan intake protein.
Intake protein àekskresi urea >>
Intake protein << àekskresi urea <<
-Merupakan 80-90% nitrogen urin normal
Ekskresi urea meningkat di sebabkan karena katabolisme protein yang meningkat misalnya: DM,
demam, hiperaktivitas kelenjar adrenal. Ekskresi urea menurun pada penyakit hati (terutama
stadiun akhir), asidosis(NH3 dipakai untuk mengimbangi sekresi H+ àNH4+).
Kreatinin dan Kreatin
- kreatin àkreatinin (dalam otot, irreversible)
- ekskresi kreatinin: tidak dipengaruhi diet(konstan) sebanding masa otot(tergantung berat badan)
- koefisien kreatinin: perbandingan jumlah ekskresi kreatinin (mg) dalam urin 24 jam dengan
BB(kg).
Normal: laki-laki : 20-26
Perempuan : 14-22
Koefisien kreatinin selalu konstan & dipakai untuk menguji apakah urin dikumpulkan benar urin
24 jam. Misalkan: laki-laki àkoef. Kreatinin <20,
àurin yang dikumpulkan tidak 24 jam àada urin yang dibuang
Perlu pengecekan urin 24 jam pada pemeriksaan kuantitatif hormon dalam urin. Dalam urin
anak-anak > dari pada urin dewasa. Pada laki-laki dewasa : +6% dari ekskresi kreatinin (60-
150mg/hari). Pada 80% wanita dewasa, ekskresi kreatin=2-21/2 x pria(120-375mg/hari). Pada
20% wanita dewasa ekskresi kreatin= pria dewasa.
Kreatinuria ditemukan pada: starvation, gangguan metabolisme karbohidrat, hipertiroidi, miopati
dan infeksi. Ekskresi kreatin menurun pada hipotirodi
Amoniak
Dalam urin segar sangat sedikit. Pada renal asidosis produksi NH3 menurun pada asidosis
(ketosis) produksi NH3 meningkat.
Asam Urat
Merupakan hasil akhir metabolisme purin(adenin, guanin, hipoxantin). Purin dapat
berasal dari makanan atau pemecahan sel. Sifat sedikit larut dalam air(mudah mengendap).
Dalam larutan alkalis àgaram asam urat (Na urat) yang larut. Dalam larutan asam mudah
mengendap. Diet tinggi protein àurin menjadi asam àpengendapan asam urat àbatu urat
Ekskresi meningkat leukemia, gout, penyakit hati berat
Pemeriksaan asam urat urin:
o Reagens arsenofosfotungstat àwarna biru
o Minum salisilat àsalisilat juga memberi warna biru dengan
o Reagens arsenofosfotungstat àperlu pemeriksaan lain untuk
o Pemeriksaan sekali lagi tetapi sebelumnya diberi enzim urikase
o Asam urat àurikase àallantoin (tidak memberi warna biru dengan reagens
Arsenofosfotungstat.
Mis: sebelum diberi urikase = a mg(asam urat salisilat) setelah diberi urikase=b mg(salisilat)
Jadi jumlah ekskresi asam urat= (a-b)mg
Asam Amino
Pada dewasa: 150-200 asam amino N(urin 24 jam), bayi: 3 mg asam amino N/pon BB.
o Atern: 6 mg asam amino N/kg BB àmenurunSampai umur 6 bulan (2 mg/kg BB)dan
menetap semasa kanak-kanak
o Bayi premature: ekskresi asam amino 10 x bayi aterm
Asam amino sedikit sekali dalam urin karena renal thresold asam amino sangat tinggi. Ekskresi
asam amino dalm urin meningkat penyakit hati(stadium akhir), keracunan khloroform, CCL4.
Defek reabsorbsi asam amino dalam tubuli ginjal.
Misalkan:
- sistinuria: terjadi peningkatan ekskresi asam amino sistein, ornitin, lisin dan arginin
- De toni fanconi syndrome
Belerang dalam urin dibagi tiga fraksi:
1. Belerang anorganik(inorganic sulfate)
- hasil oksidasi sempurna belerang, sebagai SO4=
- dapat diendapkan dengan Ba++ àBaSO4(putih)
- ratio N dan sulfat urin =5:1
- N & sulfat urin merupakan index katabolisme protein
2. Belerang etereal (ethereal sulfate/conjugatedsulfates)
- + 10% dari total sulfur
- berkonjugasi dengan senyawa organik: fenol,kresol, indoxil, skatoxil(melalui konjugasi
dengan sulfat)
- dapat dihidrolisa dengan HCL dan pemanasan
3. Belerang netral(unoxidized sulfur)
- fraksi belerang yang tidak teroksidasi sempurna: sistin, taurin, tiocyanat: CNS dan sulfida
- tidak begitu bergantung pada diet
-
Phosphate
Terdiri dari Na/K-fosfat=alkaline phosphate dan Ca/Mg fosfat (earthy phosphates). Jenis
yang terakhir ini menurun dalam urin alkalis. Ekskresi fosfat dipengaruhi oleh protein dalam
makanan, sebagian berasal dari fosfat sel.
Ekskresi fosfat meningkat pada osteomalacia(penyakit tulang), renal tubular rickets dan
hiperparatiroidisme. Ekskresi fosfat menurun pada penyakit ginjal, penyakit infeksi,
hipoparatiroidi.
Oksalat
Biasanya oksalat dalam urin rendah, meningkat pada primary hyperoxaluria. Dapat
membentuk batu oksalat dalam saluran kencing. ekskresinya sedikit. Meningkat pada intake
vitamin C dosis tinggi.
Mineral
Terdiri dari : Na; K; Ca; Mg
Ekskresi Na tergantung intake NaCI makanan dan keperluan tubuh akan Na. Ekskresi K
meningkat pada intake K yang meningkat, katabolisme jaringan yang meningkat (K intrasel
keluar) dan gangguan keseimbangan asam basa(alkalosis). Efek Na dan K dipengaruhi hormon
cortex adrenal(aldosteron). Ca dan Mg dibuang lewat usus (yang tidak diserap), dalam urin
relatif << dan pada metabolisme tulang ekskresi Ca/Mg meningkat.
Vitamin, Hormon dan Enzim
Jumlahnya sedikit dalam urin dan penting untuk diagnosis klinik.
B. Komposisi Urin Abnormal
Urin abnormal mengandung :
- Protein
- Glukosa
- Gula lain
- Keton Bodies
- Bilirubin
- Darah dan G Hemoglobin
- Porfirin
Protein
Normal: 30-200mg/24 jam. Jika lebih dari 200mg/24 jam: proteinuria (biasanya albuminuria).
Proteinuria/albuminuria bisa fisiologis(<0,5%)/patologis.
Proteinuria fisiologis didapatkan pada:
a. latihan fisik yang berat
b. sesudah banyak makan protein
c. sesudah berdiri lama
d. pada kehamilan (30-35% wanita hamil)
Proteinuria patologis ditemukan pada:
a. glomerulonefritis
b. nefrosis(sindroma nefrotik)
c. nefrosklerosis
d. keracunan logam berat
Glukosa
Kadar normal glukosa <1 gram /24 jam. Bila >1 gram/24 jam : glukosuria (pada diabetes melitus
atau renal diabetes).
Cara membedakannya :
Pada DM glukosa darah meningkat sedangkan pada renal diabetes glukosa darah dalam batas
normal.
Beberapa cara pemeriksaan glukosa dalam urin:
- Benedict
- Fehling
- Test dengan paperstrip yang mengandung enzim peroksidase
False negatif: alkaptonuria (asam homogentisat), jaundice(bilirubin diglukuronida ) % urin yang
mengandung vitamin C atau epinefrin.
Gula Lain
o Fruktosuria: gangguan metabolisme fruktosa (essential fructosuria)
o Galaktosuria dan laktosuria: pada bayi, ibu yang hamil/ menyusui dan pada congenital
galactosemia(galaktosa darah meningkat àadanya galaktosa dalam urin
o Pentosuria: -sementara: sesudah makan makanan >>mengandung pentosa –essential :
kelainan genetik
Semua gula-gula di atas àreduksi urin +
Cara membedakan jenis gulanya:
- tes peragian
- tes osazone
- tes dengan enzim glucose oxidase dan chromatography
Keton Bodies
Kadar normal: 3-15mg/24 jam. Ketonuria menunjukkan adanya keton bodies dalam urin pada
starvation, gangguan metabolisme karbohidrat, kehamilan, anestesi dengan eter, alkalosis (tidak
selalu).
Bilirubin
- Normal : - (tidak ada)
- Bilirubin dalam urin: bilirubinuria (jaundice)
Darah
Adanya darah dalam urin di sebut hematuria. Terjadi pada nefritis, lesi pada tractus urinarius
(trauma, batu saluran kencing, tumor ganas tractus urinarius).
Adanya hemoglobin dalam urin : hemoglobinuria pada black water fever (malaria) dan pada luka
bakar yang luas.
Porfirin
- Koproporfirin N60-280mg/24 jam
- 50% type I dan 50% type III
- porfiria adalah penyakit disebabkan gangguan dalam metabolisme porfirin(sintesisnya)
- koproporfirin yang meningkat dalam urin disebut porfirinuria.
Fisiologi dasar ginjal
Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi ECF dalam batas-batas
normal. Komposisi dan volume cairan ekstrasel ini dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorpsi,
dan sekresi tubulus.
Ultrafiltrasi Glomerulus
Pembentukan urine dimulai dengan proses filtrasi glomerulus plasma. Aliran darah ginjal (RBF)
setara dengan sekitar 25% curah jantung atau 1200 ml/menit. Bila hematokrit normal dianggap
45%, maka aliran plasma digital (RPF) sama dengan 660 ml/menit (0,55 x 1.200 = 660). Sekitar
seperlima dari plasma atau 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula bowman. Ini
dikenal dengan istilah laju filtrasi glomerulus (GFR). Proses filtrasi pada glomerulus dinamakan
ultrafiltrasi glomerulus, karena filtrat primer mempunyai komposisi samam seperti plasma
kecuali tanpa protein. Sel-sel darah dan molekul-molekul protein yang besar atau protein
brmuatan negatif (seperti albumin) secara efektif tertahan oleh seleksi ukuran dan seleksi muatan
yang merupakan ciri khas dari sawar membran filtrasi glomerular, sedangakan molekul yang
berukuran lebih kecil atau dengan beban yang netral atau positif (seperti air dan kristaloid) sudah
langsung tersaring. Perhitungan menunjukkan bahwa 173 L cairan berhasil disaring melalui
glomerulus dalam waktu sehari-suatu jumlah yang menakjubkan untuk organ yang berat totalnya
hanya sekitar 10 ons. Saat filtrat mengalir melalui tubulus, ditambahkan atau diambil berbagai
zat dari filtrat, sehingga akhirnya hanya sekitar 1,5 L/hari yang diekskresi sebagai urine.
Tekanan-tekan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus yang cepat ini seluruhnya
bersifat pasif, dan tidak dibutuhkan energi metabolik untuk proses filtrasi tersebut. Tekanan
filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomelurus dan kapsula
bowman. Tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomelurus mempermudah filtrasi dan
kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowman serta tekanan
onkotik darah. Tekanan onkotik dalam kapsula bowman pada hakekatnya adalah nol, karena
filtrasi secara normal sama sekali tidak ada protein. Walaupun pada manusia tidak pernah diukur,
tekanan kapiler glomerulus seperti yang diperkirakan oleh Pitts (1974) adalah sekitar 50 mmHg,
dan tekanan intrakapsular sekitar 10 mmHg. Perkiraaan ini didasarkan pada pengukuran yang
dilakukan pada tikus. Tekanan onkotik darah besarnya sekitar 30 mmHg. Dengan demikian,
tekanan filtrasi bersih dari glomerulus besarnya sekitar 10 mmHg. Filtrasi glomerulus tidak
hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan fisik di atas, namun juga oleh permeabilitas membran
filtrasi (Kf). Kf adalah hasil dari permeabilitas intrinsik kapiler glomelular dan daerah permukaan
glomelurus untuk filtrasi. Laju filtrasi lebih tinggi dari dalam kapiler glomerulus daripada kapiler
tubuh lainnya, karena Kf kira-kira 100 kali lebih tinggi (173 L/hari melawan kira-kira 2 L/hari)
keseimbangan dari tekanan-tekanan yang berperan dalam proses ultrafiltrasi glomerulus dapat
diringkas sebagai berikut:
GFR = Kf x tekanan tekanan tekanan
hidrostatik - hidrostatik + onkotik
intrakapiler intrakapsular intrakapiler
Tekanan filtarsi bersih = 50- (10+30)
= 10 mm Hg.
Cara yang paling akurat untuk mengukur GFR ialah dengan menggunakan suatu zat seperti
inulin, yang difiltrasi secara bebas pada glomerulus dan tidak disekresi maupun direabsorpsi oleh
tibulus. Bersihan suatu zat adalah besarnya volume plasma dari zat yang dibersihkan secara total
oleh ginjal persatuan waktu. Laju bersih inulin sama dengan GFR, yang diukur dengan
pemberian inulin dengan kecepatan tetesan intravena (IV) yang konstan untuk menjamin tingkat
konsentrasi plasma yang konstan. Hasil pengukuran konsentrasi inulin dalam plasma (Pin) dalam
mg/dl, dalam urine (Uin) dalam mg/dl, serta volume urine (V) dalam ml/menit, memugkinkan
penghitungan bersihan inulin (Cin ) dalam ml/menit. Hasilnya harus dikoreksi terhadap luas
permukaan tubuh-diperkirakan dengan menggunakan nomogram yang menghubungkan tinggi
dan berat badan terhadap luas permukaan tubuh. Misalnya, bila seseorang mengeluarkan urine
dengan kecepatan 4,2 ml/menit, spesiman Uin sebesar 600 mg/dl, dan Pin sebesar 25 mg/100ml
maka:
GFR = Cin = (Uin) 600 mg/dl x (V) 4,2 ml/menit
(Pin) 25 mg/dl
= 100 ml/menit
GFR yang diperoleh dalam 100 ml/menit kemudian dinormalkan dengan mengoreksinya
terhadap standar luas permukaan tubuh normal sebesar 1,73 m. Koreksi ini memungkinkan kita
membandingkan fungsi pada orang-orang yang berbeda keadaan fisiknya. GFR laki laki muda
normal berkisar 125 kurang lebih 15 ml/menit/1,73 m2.
Fungsi utama ginjal
Fungsi ekskresi
Mempertahnkan osmolaritas plasma sekitar 285 mOsmol dengan mengubah-ubah
ekskresi air.
Memperthankan volume ECF dan tekanan darah dengan mengubag-ubah ekskresi Na+
Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu dalam rentang
normal
Mempertahankan pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan H+ dan
membentuk kembali HCO3-
Mengekspresikan produk akhir nitrogen dai metabolisme protein (terutama urea, asam
sulfat dan kreatinin).
Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat
Fungsi nonekskresi
Menyintesis dan mengaktifkan hormon
Renin : penting dalam pengaturan tekanan darah
Eritropoetin : merangsang produksi del darah merah oleh sumsum tulang
1,25-dihidroksivitamin D3 : dihidroksi akhir vitamin D3 menjadi bentuk yang paling kuat
Prostaglandin :sebagian besar adalah vasodilator, bekerja secara lokal, dan melindungi
dari kerusakan iskemik ginjal
Degradasi hormon polipeptida
Insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH, dan hormon
gastrointestinal (gastrin, polipeptida intestinal vasoaktif [VIP] )
Autiregulasi aliran plasma ginjal dan laju filtrasi glomerulus
GFR tidak sepenuhnya bergantung pada kekuatan fisik yang bekerja di membran glomerulus.
Ginjal memilik kemampuan untuk mempertahankan RPF dan GFR pada tingkat yang relatif
konstan walaupun terdapat fluktuasi harian normal dalam tekanan darah sistemik dan tekanan
perfusi ginjal. Fenomena ini (bersifat intrinsik dalam ginjal) dinamakan autoregulasi. Tujuan
mempertahankan GFR dalam kisaran yang sempit adalah untuk mencegah fluktuasi yang tidak
sesuai bagi natrium dan ekskresi air. Autoregulasi lebih efektif bila kisaran tekanan darah arteri
sekitar sekitar 80 dingga 180 mmHg namun dapat pula tidak efektif walaupun pada kisaran
tersebut berada dalam keadaan patologis tertentu.
Dua mekanisme yang sangat berperan dalam aoturegulasi RPF dan GFR: (1) reseptor regangan
miogenik dalam otot polos vaskular arteror aferen dan (2) timbal balik tubuloglomerular (TGF).
Selain itu, norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat mempengaruhi autoregulasi.
Kapiler glomerular berbeda dari bantalan kapiler lain dalam menempatkan diri di antara dua
arteriol (aferen dan eferen). Sebagai akibatnya, tekanan hidrostaltik intrakapiler (Pgc) ditentukan
oleh tiga faktor: (1) tekanan darah sistemik dan (2) dan (3) resistensi pada arteriol aferen dan
eferen. Pengaturan ini mengikuti regulasi cepat GFR dengan mengubah resistensi dalam arteriol
aferen dan eferen. Sebagai contoh, kenaikan tekanan darah sistemik dan tekanan perfusi ginjal
dapat diharapkan untuk meningkatkan Pgc dan kemudian meningkatkan laju RPF danGFR.
Namun, peningkatan tekanan perfusi ginjal akan dirasakan oleh reseptor regang miotonik dalam
arteriol aferen, yang mengakibatkan konstraksi dalam arteriol aferen. Tapi, arteriol aferen tidak
merespon secara langsung perubahan dalam regangan sehingga dapat memperbesar respon
miotonik. Akibat dari vasokonstriksi arteriol aferen tersebut adalah reduksi RPF, Pgc, dan GFR,
sehingga mengimbangi peningkatan yang besar dalam GFR yang dapat diharapkan dengan
meningkatkan tekanan perfusi ginjal.
Dilain pihak, jika terdapat hipotensi sistemik, sistem renin-angiotensin diaktifkan dengan
pembentukan angiotensin II. Angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi arteriol aferen dan
vasokonstriksi arteriol aferen namun pada derajat yang lebih rendah. Akibatnya adalah reduksi
tekanan perfusi ginjal serta RPF (karena peningkatan resistensi arteriol aferen) dan peningkatan
Pgc (karena peningkatan resistensi arteriol aferen). Akibat yang menguntungkan adalah bahwa
angiotensin II meniadakan efek regulasi GFR: penurunan RPF akan cenderung meningkatkan
GFR. Norepinefrin (dipisahkan dari saraf simpatik ginjal atau korteks adrenal) meningkatkan
efek vasokonstriksi dari angiotensin II. Angiotensin II juga merangsang pelepasan prostaglandin
vasodilator (misalnya PGI2, PGE2) dari glomerulus, yang meminimalkan kemungkinan terjadinya
iskemi ginjal dalam keadaan hipotensi sistemik.
Mekanisme kedua yang bertanggung jawab terhadap autoregulasi GFR (yaitu TGF) mengacu
kepada perubahan yang dapat ditimbulkan oleh perubahan kecepatan aliran di tubulus ginjal.
TGF diperantai oleh sel makula densa dalam tubulus distal (bersebelahan dengan kutub
glomerulus), yang sensitif terhadap komposisi klorida cairan tubulus. Angka NaCl yang tinggi
dalam tubulus distal menyebabkan konstriksi arteriol aferen sehingga mengurangi GFR dalam
nefron tersebut. Berdasarkan mekanisme ini, nefron itu sendiri benar-benar suatu lengkung
timbal balik. Peningkatan GFR menyebabkan peningkatan hantaran NaCl ke nefron distal oleh
sebab itu akan meningkatkan pemindahan natrium melewati sel makula densa. Kemudian akan
diikuti oleh reduksi GFR. Sebaliknya bila GFR rendah, hanya sedikit natrium yang tersedia
untuk berpindah melewati sel makula densa. Arteriol aferen berdilatasi, dan GFR akan
meningkat.
Reabsorpsi dan Sekresi Tubulus
Tiga kelas zat yang difiltrasi dalam glomerulus: elektrolit, yang paling penting adalah natrium
(Na+), kalium (K+), kalsium (Ca++), magnesium (Mg++), bikarbonat (HCO3-), klorida (Cl-), dan
fosfat (HPO4=). Nonelektrolit yang penting adalah glukosa, asam amino, dan metabolit yang
merupakan produk akhir dari proses metabolisne protein: urea, asam urat, dan kreatinin.
Langkah ke dua dalam proses pembentukan urine setelah filtrasi adalah reabsorpsi selektif zat-
zat yang sudah difiltrasi. Sebagian besar zat yang difiltrasi direabsorpsi melalui ”pori-pori” kecil
yang terdapat dalam tubulus sehingga akhirnya zat-zat tersebut kembali lagi kedalam kapiler
peritubulus yang mengelilingi tubulus. Disamping itu, beberapa zat disekresi pula dari pembuluh
darah peritubulus sekitar ke dalam tubulus.
Proses reabsorpsi dan sekresi ini berlangsung melalui mekanisme transpor aktif dan pasif. Suatu
mekanisme bisa disebut aktif vila zat berpindah melawan perbedaan elektrokimia (yaitu,
melawan perbedaan potensial listrik, potensial kimia, atau keduanya). Kerja langsung
ditunjukkan pada zat yang direabsorpsi atau disekresi oleh sel-sel tubulus tersebut, dan energi ini
dikeluarkan dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) (misalnya, 3Na+ /2K+ ATPase). Mekanisme
transpor disebut pasif bila zat yang direabsorpsi atau disekresi bergerak mengikuti perbedaan
elektrokimia yang ada. Selama proses perpindahan zat tersebut tidak dibutuhkan energi.
Glukosa dan asam amino direabsorpsi seluruhnya disepanjang tubulus proksimal melalui
transpor aktif. Kalium dan asam urat hampir sepenuhnya direabsorpsi secara aktif dan keduanya
disekresi ke dalam tubulus distal. Sedikitnya duapertiga dari jumlah natrium yang difiltrasi akan
direabsorpsi secara aktif dalam tubulus proksimal. Proses reabsorpsi natrium berlajut dalam
lengkung Henle, tubulus distal dan pengumpul, sehingga kurang dari 1% beban yang difiltrasi
diekresikan kedalam urine. Sebagian besar Ca2+ dan HPO4= direabsorpsi dalam tubulus proksimal
dengan cara transpor aktif. Air, klorida, dan urea direabsorpsi dalam tubulus proksimal melalui
transpor pasif. Dengan berpindahnya sejumlah besar ion natrium yang bermuatan positif keluar
lumen tubulus, maka ion klorida yang bermuatan negatif harus menyertai untuk mencapai
kondisi listrik yang netral. Keluarnya sejumlah besar ion dan nonelektrolit dari cairan tubulus
proksimal menyebabkan cairan mengalami pengenceran osmotik dan akibatnya air berdifusi ke
luar tubulus dan masuk ke darah peritubular. Urea kemudian berdifusi secara pasif mengikuti
perbedaan konsentrasi yang terbentuk oleh reabsorpsi air. Ion hidrogen (H+ ), asam organik
seperti para-amino-hipurat (PAH) dan penisilin, juga kreatinin (suatu basa organik) semuanya
secara aktif disekresi ke dalam tubulus proksimal. Sekitar 90% dari bikarbonat direaksi secara
tak langsung dari tubulus proksimal melalui pertukaran Na+ - H+ yang disekresi ke dalam lumen
tubulus (sebagai penukar Na+) akan berikatan dengan HCO3- yang terdapat dalam filtrat
glomerulus sehingga terbentuk asam karbonat (H2CO3). H2CO3 akan berdisosiasi menjadi air dan
akrbondioksida (CO2). CO2maupun H2O akan berdifusi keluar lumen tubulus, masuk ke sel
tubulus. Dalam sel tubulus tersebut sekali lagi, karbonik anhidrase mengatalisis reaksi CO2
dengan H2O untuk membentuk H2CO3 menghasilkan HCO3 dan H+. H+ disekresi kembali dan
HCO3- akan masuk ke dalam darah peritubular bersama dengan Na+.
Dalam lengkung Henle, Cl- ditranspor keluar secara aktif dari bagian asenden yang diikuti secara
pasif oleh Na+ . NaCL selanjutnya akan berdifusi secara pasif masuk bagian lengkung desenden.
Proses ini penting dalam pemekatan urine.
Proses sekresi dan reabsorpsi selektif diselesaikan dalam tubulus distal dan duktus pengumpul.
Dua fungsi penting tubulus distal adalah pengaturan tahap akhir dari keseimbangan air dan asam
basa. Pada fungsi sel yang normal, pH ECF harus dapat dipertahankan dalam batas sempit antara
7,35 sampai 7,45. Sejumlah mekanisme biologis bersama-sama membantu mempertahankan pH
dalam batas normal. Dapar darah yang paling utama adalah sistem asam bikarbonat-karbonat
yang dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:
CO2 + H2O karbonik anhidrase H2CO3 H+ + HCO3-
pH darah dinyatakan dalam persamaan Henderson-Haselbalch:
pH = pK+log [HCO3-] (ginjal)
[H2CO3] (paru)
pK adalah konstanta disosiasi H2CO3. Paru membuang CO2 yang membentuk bila H+ di dapar
oleh HCO3- (reaksi diatas bergeser ke kiri), dan dengan demikian berperan penting dalam proses
menstabilkan pH. Peran ginjal dalam mempertahankan keseimbangan asam basa adalah
reabsorpsi sebagian besar HCO3- yang difiltrasi. Dalam mempertimbangkan gangguan
keseimbangan asam basa, sering kali perlu diingat bahwa pH serum sesungguhnya banyak
bergantung pada rasio HCO3-/ H2CO3, dan faktor pembilang terutama diatur oleh mekanisme
ginjal, sedangkan mekanisme paru mengatur penyebut (melalui pengaturan pembuangan CO2).
Perubahan faktor pembilang atau penyebut akan diikuti oleh perubahan faktor lainnya ke arah
yang sama. Perubahan ini dinamakan dengan kompensasi dan berfungsi untuk mempertahankan
pH.
Selain reabsorpsi dan penyelamatan sebagian besar HCO3-, ginjal juga membuang H+ yang
berlebihan. Setiap harinya tubuh membentuk sekitar 80 mEq asam yang bukan H2CO3. asam-
asam ini tidak dapat dibuang melalui paru sehingga dapat disebut asam tetap. Asam-asam ini
dibuang melalui cairan tubulus, sehingga urine bisa mencapai pH sampai serendah 4,5
(perbedaan ion hidrogen 800 kali lebih besar daripada perbedaan ion hidrogen dalam plasma). Di
sepanjang tubulus, H+ akan diekskresi ke dalam cairan tubulus. H+ diekskesikan dalam bentuk
kombinasi dengan HPO4= berbasa dua yang terfiltrasi atau dengan amonia ( NaH2PO4
+) atau
sebagai ion amonium (NH4+). NH3 berdifusi dengan mudah ke dalam lumen tubulus, tetapi bila
telah berikatan dengan H+ membentuk partikel NH4 yang bermuatan; tidak dapat lagi berdifusi
kembali ke dalam sel tubulus. Karena pH urine minimal yang dapat dicapai adalah 4,5, maka
jumlah H+ bebas yang dapat diekskresi terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, mekanisme
amonium (dan mekanisme fosfat) berperan penting dalam pembuangan beban asam., karena
NH4+ tak mempengaruhi pH urine. Pendaparan NH3 atau HPO 4
= juga berefek pada penambahan
HCO3- baru kedalam plasma untuk setiap ion H+ yang diekskresikan ke dalam urine. H+ yang
diekskresi berasal dari H2CO3 yang terdapat dalam sel tubulus, sehingga meninggalkan HCO3-
dalam sel tubulus tersebut dalam jumlah ekuimolar. Sebaliknya, bilamana HCO3- direabsorpsi
dari cairan tubulus melalui mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya, maka HCO3-
sesungguhnya hanya diselamatkan, karena satu H+ akan dikembalikan ke dalam plasma untuk
setiap H+ yang disekresi ke dalam cairan tubulus. Oleh karena itu, regenerasi HCO3- (yaitu
sintesis se novo) melalui mekanisme dapat sangat penting dalam mencegah asidosis.
Asam urat dan kalium disekresi ke dalam tubulus distal seperti yang telah disebutkan
sebelumnya. Dalam keadaan normal sekitar 5% dari kalium yang terfiltrasi diekskresikan dalam
urine. Reabsorpsi air juga diselesaikan dalam tubulus distal dan ductus pengumpul.
Beberapa hormon mengatur proses reabsorpsi tubular dan sekresi zat terlarut dan air. Reabsorpsi
air bergantung pada adanya hormon anti diuretik (ADH). Aldosteron mempengaruhi reabsorpsi
Na+ dan peningkatan sekresi K+. Penurunan aldosteron mempunyai pengaruh yang sebaliknya.
Peptida natriuretik atrium (ANP), yaitu datu hormon yang dihasilkan dn disimpan dalam miosit
atrium jantung, memiliki efek yang berlawanan dengan reabsorpsi Na+ terhadap aldosteron. ANP
dilepaskan jika atrium teregang (yaitu, ekspansi dari volume sirkulasi efektif [ECV]) dan
meningkatkan ekskresi Na+ dan air dalam ductus pengumpul. Hormon paratirois (PTH) mengatur
reabsorpsi Ca++ dan HPO4= di sepanjang tubulus. Peningkatan PTH menyebabkan peningkatan
reabsorpsi Ca++ dan ekskresi HPO 4=. Penurunan PTH mempunyai pengaruh sebaliknya
Proses reabsorpsi selektif dan sekresi di sepanjang tubulus memungkinkan ginjal mengatur
lingkungan dalam tubuh dengan cara yang tepat.
Pengaturan Keseimbangan Air
Konsentrasi total zat terlarut dalam cairan tubuh seorang yang normal sangat konstan meskipun
fluktuasi asupan dan ekskresi air dan zat terlarut cukup besar. Kadar plasma dan cairan tubuh
dapat dipertahankan dalam batas-batas yang sempit melalui pembentukan urine yang jauh lebih
pekat atau lebih encer dibandingkan plasma dari urine yang dibentuk. Cairan yang banyak
diminum menyebabkan cairan tubuh menjadi encer. Urine akan encer dan kelebihan urine akan
diekskresikan dengan cepat. Sebaliknya, pada waktu tubuh kehilangan air atau asupan zat terlarut
berlebihan menyebabkan cairan tubuh menjadi pekat sehingga banyak zat terlarut yang terbuang
dalam kelebihan air. Air yang dipertahankan cenderung mengembalikan cairan tubuh kembali
pada konsentrasi zat terlarut yang normal.
Sebelum dapat memahami proses-proses yang ikut berperan dalam mengatur keseimbangan
cairan tubuh, maka perlu dipahami terlebih dahulu konsep osmolaritas, yaitu istilah yang
digunakan untuk menyatakan konsentrasi cairan tubuh.
Mekanisme Alir Balik
Dalam ginjal, terdapat dua jenis nefron-kortikal dan jukstamedularis (letaknya dekat dengan
medula). Nefron jukstamedularis mempunyai lengkung Henle yang jauh lebih panjang
dibandingkan dengan nefron kortikal., dan suplai darah peritubular dalam bentuk lengkung
seperti peniti, yang turun jauh kebawah disamping lengkung Henle. Pembuluh darah ini disebut
vasa rekta. Gambaran anatomis nefron jukstamedularis sangat berperan dalam penentuan
konsentrasi urine. Pada manusia, sekitar satu dari tujuh nefron merupakan nefron
jukstamedularis, dengan lengkung yang panjang, dan konsentrasi maksimum urine adalah sekitar
1.400 mOsm.
Mekanisme alur balik yang bertanggungjawab untuk konservasi air oleh ginjal, sesungguhnya
mancakup dua proses dasar: (1) aliran balik konsentrasi ai lengkung Henle dan (2) penukaran
aliran balik dalam vasa rekta yang juga membentuk lengkung seperti peniti. Lengkung Henle
membentuk cairan yang interstisial dalam medula hiperosmotik, dan membuat cairan tubular
yang keluar dari lengkung Henle dan masuk ke dalam tubulus distal mejadi hipoosmotik;
perubahan ini memungkinkan konsentrasi urine tahap terakhir berubah-ubah dalam batas yang
cukup luas. Pembuluh darah vasa rekta mencegah hilangnya perbedaan osmotik dalam cairan
interstisial medula yang telah diciptakan oleh lengkung Henle. Sepanjang nefron, proses
fundamental yang terlibat dalam pembentukan urine yang pekat atau encer adalah proses
reabsorsi aktif klorida di bagian asenden lengkung Henle dan berbagai permeabilitas terhadap
difusi pasif air dan urea selama terdapat perbedaan konsentrasi.
Pertama-tama, teliti keseluruhan hubungan yang terjadi selama pembentukan urine yang pekat.
Pada glomerulus tempat filtrasi dimulai, filtrat bersifat isoosmotik dengan plasma pada angka
285 mOsm. Pada akhir tubulus proksimal, 80% filtrat telah direabsorpsi meskipun
konsentrasinya masih tetap sebesar 285 mOsm. Saat filtrat bergerak ke bawah melalui bagian
desenden lengkung Henle, konsentrasi filtrat mencapai maksimum pada ujung lengkung.
Kemudian, waktu filtrat bergerak ke atas melalui bagian asenden, konsentrasi makin lama makin
encer sehingga akhirnya bersifat isoosmotik dengan plasma darah pada ujung duktus pengumpul.
Ketika filtrat bergerak turun melalui duktus pengumpul, sekali lagi menjadi pekat. Pada bagian
akhir duktus pengumpul, sekitar 99% air sudah direabsorpsi dan sekitar 1% filtrat yang
diekskresi debagai urine.
Terdapat perbedaan konsentrasi cairan intertisial yang semakin meningkat mulai dari korteks
sampai ke medula. Vasa rekta yang berjalan ke bawah disebelah lengkung Henle juga
mempunyai perbedaan konsentrasi yang semakin meningkat pada bagian desenden dan
berkurang pada bagian asenden, walaupun berkurangnya jauh lebih kecil daripada pengurangan
yang terjadi pada bagian asenden lengkung Henle. Perhatikan pula bahwa bagian lengkung
Henle membentuk kolom-kolom paralel, dan filtrat mengalir dengan arah yang berlawanan.
Inilah yang disebut aliran balik dan dengan demikina lengkung Henle berfungsi sebagai pengali
aliran balik, yang menciptakan perbedaan konsentrasi dalam intertisial.
Kerja pengali aliran balik pada lengkung Henle dimulai dengan proses traspor aktif klorida
keluar dari bagian asenden. Proses ini mengakibatkan mengalirnya natrium secara pasif
mengikuti perbedaan potensial yang ditimbulkan oleh transpor aktif klorida. Namun karena
bagian asenden tidak bersifat permeabel terhadap air, maka tidak dapat secara pasif mengikuti
transpor NaCL. Dengan demikian, semakin mendekati ujung bagian asenden, filtrat menjadi
hipoosmotik. Cairan intertisial makin pekat, sehingga terbentuklah perbedaan osmotik antara
cairan intertisial dan bagian desenden lengkung Henle. Air keluar dari bagian desenden
sedangkan natrium klorida masuk secara pasif sehingga filtrat manjadi makin pekat. Dengan
berlanjutnya proses ini, tercipta perbedaan konsentrasi yang makin meningkat dari korteks ke
medula pada bagian desenden lengkung Henle dan interstisial hingga tercapai keadaan seimbang.
Vasa rekta yang melengkung ke bawah di samping lengkung Henle bertindak sebagai penukar
aliran balik melalui difusi pasif (transpor aktif tidak ikut berperan). Darah dalam vasa rekta
berada dalam keadaan keseimbangan osmotik dengan cairan interstisial. Ketika darah mengalir
melalui bagian desenden vasa rekta, NaCl secara pasif bergerak masuk dan air bergerak keluar,
sehingga darah makin pekat saat mencapai ujung lengkung. Pada bagian asenden vasa rekta
terjadi peristiwa sebaliknya. Natrium secara pasif berdifusi ke luar, masuk ke intertisial
sedangkan air direabsorpsi ke dalam pembuluh darah dan dikembalikan ke sirkulasi umum.
Fakta bahwa aliran darah melalui vasa rekta lambat memungkinkan vasa rekta bertindak sebagai
penukar yang efisien (ingat bahwa medula hanya menerima 10 persen dari suplai darah ginjal).
Jika aliran darah sangat cepat, maka NaCl akan masuk ke bagian desenden akan terbuang.
Dengan demikian, vasa rekta bertindak sebagai penukar aliran balik, mencegah hilangnya
perbedaan konsentrasi dalam interstisial yang diciptakan oleh lengkung Henle sebagai pemekat
aliran balik.
Di sepanjang tubulus distal, Na+ (Cl-) direabsorpsi secara aktif. Dalam keadaan antidiuresis,
filtrat hipoosmotik pada permulaan tubulus distal menjadi isoosmotik saat mencapai ujung
duktus pengumpul. Pemekatan akhir urine berlangsung pada tubulus distal dan duktus
pengumpul dibawah kontrol hormon antidiuretik (ADH). Tubulus distal dan duktus pengumpul
bersifat permeabel terhadap air bila terdapat ADH. Air berdifusi ke arah luar ke dalam interstisial
sebagai reaspons terhadap gradien osmotik dalam medula. Air kemudian masuk ke dalam bagian
asenden vasa rekta dan dikembalikan ke sirkulasi umum. Urine akhir yang terbentuk memiliki
volume kecil namun tinggi konsentrasi osmotiknya.
Sebaliknya dalam keadaan diuresis tanpa adanya ADH, tubulus distal dan duktus pengumpul
sesungguhnya tidak bersifat permeabel terhadap air. Na+ (Cl-) secara aktif direabsorpsi dari
tubulus distal dan duktus pengumpul, tetapi air tidak berdifusi keluar untuk mempertahankan
keseimbangan osmotik. Na+ mengalami reabsorpsi dan air tertinggal sehingga urine yang
dihasilkan bervolume besar dan encer. Seseorang yang dietnya rendah protein tidak dapat
memekatkan urine, demikian pula seseorang yang dietnya mengandung protein normal atau
tinggi.
Mekanisme ADH dalam mengatur Osmolaritas Plasma
Mekanisme ADH membantu mempertahankan volume dan osmolaritas ECF pada tingkat
konstan dengan mengatur volume dan osmolaritas urine. Perubahan ECF atau osmolaritas dari
nilai normal mengontrol pengeluaran ADH. ADH dibentuk dalam nukleus supraoptik
hipotalamus dan berjalan kebawah di sepanjang serabut saraf menuju hipofisis posterior tempat
ADH disimpan untuk dilepaskan kemudian. Pengeluaran ADH dikontrol oleh mekanisme umpan
balik melalui dua jaras.
Pengeluaran ADH dirangsang oleh peningkatan osmolaritas ECF (dari nilai ideal 285 mOsm)
atau penurunan volume plasma. Sebagai contoh, peningkatan osmolaritas atau penurunan volume
ECF dapat disebabkan oleh faktor-faktor kekurangan air; kehilangan cairan karena muntah,
diare, luka bakar, atau berkeringat; atau pergeseran cairan seperti pada asites. Perasaan haus
objektif juga dirangsang oleh penurunan volume ECF atau peningkatan osmolaritas ECF.
Sebagai contoh, peningkatan rasa haus adalah gejala yang sering terjadi pada orang yang
mengalami pendarahan (penurunan volume ECF) atau pada orang yang baru saja memakan gula-
gula (peningkatan osmolaritas ECF akibat peningkatan partikel glukosa dalam darah).
Sel osmoreseptor terletak dalam hipotalamus dekat dengan nukleus supraoptik yang merasakan
sedikitnya 1% hingga 2% perubahan osmolaritas darah dalam sirkulasi karotis interna. Sinyal
neuronal dari osmoreseptor akan merangsang pelepasan ADH dari kelenjar hipofisis dan secara
terus menerus merangsang rasa haus. Pusat yang menjadi perantara rasa haus terletak di dalam
hipotalamus. Kerja ADH dalam ginjal meningkatkan proses utama yang terjadi dalam lengkung
Henle melalui dua mekanisme yang berhubungan datu dengan yang lain: (1) aliran darah melalui
vasa rekta di medula berkurang bila terdapat ADH, sehingga memperkecil pengurangan zat
dalam interstisium; dan (2) ADH meningkatkan permeabilitas duktud pengumpul dan tubulus
distal sehingga makin banyak air yang berdifusi keluar untuk membentuk keseimbangan dengan
cairan interstisial yang hiperosmotik. Efek akhir kedua mekanisme ini meningkatkan reabsorpsi
dan ekskresi sedikit volume dari urine yang pekat. Air minum dan air yang disimpan oleh ginjal
keduanya membantu memulihkan osmolaritas ECF menjadi normal.
Bila volume ECF menurun sekitar 10%, pengisian air diaktifkan sebagai cara memulihkan
volume ECF tanpa menghiraukan osmolaritas ECF. Pada kasus ini baroreseptor pada sirkulasi
arterial dan vena merangsang pelepasan ADH melalui jalur neuron. Perangsangan ADH
nonosmotik ini timbul tanpa bergantung pada fungsi osmoreseptor. Rasa haus juga dirangsang
namun mungkin diperantarai oleh angiotensin II. Volume ECF yang merangsang pelepasan ADH
dapat menolak rangsangan osmotik, sehingga penurunan volume ECF yang bermakna adalah
penyebab utama hiponatremia.
Sebaliknya, osmolaritas ECF yang rendah atau peningkatan volume akibat peningkatan asupan
air mengaktifkan mekanisme yang mengatur kembali perlindungan air. Rasa haus tertekan, dan
pelepasan ADH dirangsang. PGE2 (yaitu prostaglandin yang dihasilkan dalam ginjal)
menghambat aksi ADH pada duktus pengumpul. Efek akhir proses ini menurunkan asupan air
dan meningkatkan ekskresi volume pengenceran urine.
Bahkan pada kasus-kasus yang ekstrim dengan banyak sekali volume cairan yang diminum atau
asupan yang sangat terbatas, manusia normal mempunyai fleksibilitas yang mengagumkan dalam
mempertahankan osmolaritas cairan ekstraseruler pada tingkatan 285 mOsm yang konstan.
Untuk mencapai ini kita dapat mengekskresikan urine hingga seencer 40 mOsm atau sepekat
1200 sampai 1400 mOsm. Seperti yang akan diperlihatkan kemudian, pasien insufisiensi ginjal
kehilangan fleksibilitas yang besar ini.
Pengatur Kadar Natrium Tubuh
Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron
Pengatur volume sirkulasi efektif (ECF) atau volume ECF secara primer dicapai melalui
modifikasi ekskresi Na+ urine, berlawanan dengan pengaturan osmolaritas ECF yang dicapai
melalui perubahan keeimbangan air. Pemeliharaan Na+ tidak langsung terlibat dalam
osmoregulasi kecuali bila terdapat perubahan volume yang terjadi secara bersamaan. Osmolaritas
ditentukan oleh rasio zat terlarut (terutama garam Na+ dan K+) terhadap air, sedangkan volume
ECF ditentukan oleh jumlah pasti Na+ dan air yang ada. Mekanisme RAA berperan penting
dalam pengaturan kadar Na+ tubuh.
Renin adalah enzim pertama dalam kaskade biokimia sistem RAA. Fungsi sistem ini adalah
mempertahankan volume ECF dan tekanan perfusi jaringan dengan mengubah resistensi
pembuluh darah dan ekskresi Na+ dan air di ginjal. Hipoperfusi ginjal, yang dihasilkan oleh
hipotensi dan penurunan volume, serta peningkatan aktivitas simpatetik adalah perangsang
utama sekresi renin. Asupan dari JGA nefron, yang dijalankan sebagai baroreseptor intrarenal
dan penghantar kemoreseptor tubulus distal. Asupan ke sistem saraf pusat (CNS) diberikan oleh
baroreseptor yang terletak di pusat melalui saraf vagus dan glosofaringeal, yang sebaliknya,
mempengaruhi keluaran simpatetik: baroreseptor yang terletak dalam atrium jantung dan
pembuluh darah paru bertekanan rendah terutama merespons volume atau isi dari cabang
pembuluh darah. Peningkatan volume intravaskular memperbesar atrium jantung dan
menyebabkan penurunan aktifitas simpatis ginjal dan pelepasan peptida natriuretik atrium ,
keduanya meningkatkan ekskresi Na+ ginjal. Penurunan volume intravaskular memiliki efek
yang bertolak belakang. Baroreseptor terletak dalam arkus aorta dan sinus karotis bertekanan
tinggi yang terutama berespon terhadap tekanan arteri darah. Penurunan tekanan darah
menghasilkan peningkatan aktivitas simpatis ginjal, menyebabkan retensi Na+ dan air.
Peningkatan tekanan intravaskular memiliki efek yang bertolak belakang.
Pelepasan renin dari sel JG ke dalam sirkulasi mengawali rangkaian kejadian yang dimulai
dengan pecahnya angiotensinogen substrat (glikoprotein serum yang dihasilkan oleh hati)
menjadi angiotensin I. Angiotensin I kemudian diubah menjadi angiotensin II oleh enzim
pengubah angiotensin (ACE) yang ada dalam paru dalam konsentrasi tinggi tapi ACE juga
terdapat di tempat lain, termasuk ginjal. Begitu terbentuk, angiotensin II memiliki dua efek
sistemik utama: vasokonstriksi arteriol serta maningkatkan reabsorpsi air dan Na+ ginjal oleh
tubulus distal dan duktus pengumpul. Efek kedua diperantarai peningkatan sekresi aldosteron
oleh korteks adrenal, yang dirangsang oleh angiotensin II. Kedua aksi ini cenderung akan
mengoreksi hipovolemia atau hipotensi (sehingga memulihkan perfusi jarinagn) yang biasanya
bertanggung jawab untuk merangsang sekresi renin.
Atrium jantung memiliki mekanisme tambahan untuk mengontrol ekskresi Na+ ginjal dan
volume ECF secara berlawanan mengatur mekanisme RAA. Atrium jantung menyintesis suatu
hormon yang disebut peptida natriuretik atrial (ANP), yang kemudian disimpan dalam granula
atrium sebagai respon terhadap regangan (yaitu, peningkatan volume ECF). ANP meningkatkan
ekskresi Na+ dan air oleh ginjal. Efek diuretik diperantai oleh sifat vasodilatasinya,
mengakibatkan peningkatan aliran darah ginjal (RBF) dan tindakan supresifnya pada sekresi
ADH dan aldosteron.
Fungsi Ginjal
Fungsi utama ginjal yang menekankan perannya sebagai organ pengatur dalam tubuh. Ginjal
mengekspresi bahan-bahan kimia sing tertentu (misalnya, obat-obatan), hormon, dan metabolit
lain, tetapi fungsi yang paling utama adalah mempertahankan volume dan komposisi ECF dalam
batas normal. Tentu saja ini dapat terlaksana dengan mengubah ekskresi air dan zat terlarut,
kecepatan filtrasi yang tinggi memungkinkan pelaksanaan fungsi ini dengan ketepatan tinggi.
Pembentukan renin dan eritropoietin serta metabolisme vitamin D merupakan fungsi
nonekskretor yang penting. Sekresi renin berlebihan yang mungkin penting pada etiologi
beberapa bentuk hipertensi. Defisiensi eritropoietin dan pengaktifan vitamin D yang dianggap
penting sebagai penyebab anemia dan penyakit tulang pada uremia.
Ginjal juga berperan penting dalam degradasi insulin dan pembentukan sekelompok senyawa
yang mempunyai makna endokrin yang berarti, yaitu prostaglandin. Sekitar 20% insulin yang
dibentuk oleh pankreas didegradasi oleh sel-sel tubulus ginjal. Akibatnya, penderita diabetes
yang menderita payah ginjal mungkin membutuhkan insulin jumlahnya lebih sedikit.
Prostaglandin merupakan hormon asam lemak tidak jenuh yang terdapat dalam banyak jaringan
tubuh. Medula ginjal membentuk PGI dan PGE2 yang merupakan vasodilatator potensial.
Prostaglandin mungkin berperan penting dalam pengaturan aliran darah ginjal, pengeluaran
renin, dan reabsorpsi Na+. Kekurangan prostaglandin mungkin juga turut berperan dalam
beberapa bentuk hipertensi ginjal sekunder, meskipun bukti-bukti yang ada sekarang ini masih
kurang memadai.
Fungsi Ginjal
Fungsi utama ginjal yang menekankan perannya sebagai organ pengatur dalam tubuh. Ginjal
mengekspresi bahan-bahan kimia sing tertentu (misalnya, obat-obatan), hormon, dan metabolit
lain, tetapi fungsi yang paling utama adalah mempertahankan volume dan komposisi ECF dalam
batas normal. Tentu saja ini dapat terlaksana dengan mengubah ekskresi air dan zat terlarut,
kecepatan filtrasi yang tinggi memungkinkan pelaksanaan fungsi ini dengan ketepatan tinggi.
Pembentukan renin dan eritropoietin serta metabolisme vitamin D merupakan fungsi
nonekskretor yang penting. Sekresi renin berlebihan yang mungkin penting pada etiologi
beberapa bentuk hipertensi. Defisiensi eritropoietin dan pengaktifan vitamin D yang dianggap
penting sebagai penyebab anemia dan penyakit tulang pada uremia.
Ginjal juga berperan penting dalam degradasi insulin dan pembentukan sekelompok senyawa
yang mempunyai makna endokrin yang berarti, yaitu prostaglandin. Sekitar 20% insulin yang
dibentuk oleh pankreas didegradasi oleh sel-sel tubulus ginjal. Akibatnya, penderita diabetes
yang menderita payah ginjal mungkin membutuhkan insulin jumlahnya lebih sedikit.
Prostaglandin merupakan hormon asam lemak tidak jenuh yang terdapat dalam banyak jaringan
tubuh. Medula ginjal membentuk PGI dan PGE2 yang merupakan vasodilatator potensial.
Prostaglandin mungkin berperan penting dalam pengaturan aliran darah ginjal, pengeluaran
renin, dan reabsorpsi Na+. Kekurangan prostaglandin mungkin juga turut berperan dalam
beberapa bentuk hipertensi ginjal sekunder, meskipun bukti-bukti yang ada sekarang ini masih
kurang memadai.
Pemeriksaan kimia urine
Tes kimia terhadap urine telah sangat disederhanakan dengan digunakannya carik kertas
impregnasi yang dapat mendeteksi zat-zat seperti glukosa, aseton, bilirubin, protein, dan darah.
Kadar pH urine juga dapat di ukur dengan uji dipstik (carik celup). Yang penting dalam penyakit
ginjal adalah deteksi adanya protein atau darah dalam urine, pengukuran osmolaritas atau berat
jenis dan pemeriksaan mikroskopik urine.
Laju Filtrasi Glomerulus
Salahsatu indeks fungsi ginjal yang terpenting adalah laju filtrasi glomerulus (GFR), yang
memberi informasi penting tentang sejumlah jaringanginjal yang berfungsi. Cara yang paling
teliti untuk mengukur GFR adalah dengan uji bersih inulin. Namun, uji ini jarang digunakan
dalam klinik karena melibatkan proses infus intravena dengan kecepatan yang konstan dan
pengumpulan urine yang saat-saat tertentu dengan kateter. Bila dibandingkan, uji kebersihan
kreatinin endogen jauh lebih sederhana untuk dilakukan.
Uji Kebersihan Kreatinin
Kreatinin merupakan hasil akhir metabolisme otot yang dilepaskan dari otot dengan kecepatan
yang hampir konstan dan diekskresi kedalam urine dengan kecepatan yang sama. Oleh karena
itu, kadarnya dalam plasma (serum) hampir konstan dan berkisar antara 0,7 sampai 1,5 mg per
100 ml (nilai ini pada laki-laki lebih tinggi dari perempuan karena otot laki-laki lebih besar).
Kreatinin diekskresikan dalam urine melalui proses filtrasi dalam glomerulus, tetapi kreatinin
tidak direabsorpsi oleh tubulus bahkan sejumlah kecil disekresi oleh tubulus terutama bila kadar
kreatinin serum tinggi. Meskipun sejumlah kecil disekresi, uji kebersihan kreatinin merupakan
pemeriksaan yang cukup memuaskan untuk perkiraan GFR dalam klinik. Untuk melakukan uji
bersih kreatinin, cukup mengumpulkan spesimen urine 24 jam dan satu spesimen darah yang
diambil dalam waktu 24 jam yang sama. Bersihan kreatinin ( Ccr) kemudian dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut:
Ccr = Ucr x V
Pcr
Ucr = kadar kreatinin urine, V = volume urine 24 jam, dan Pcr = kadar kreatinin plasma. Ccr
merupakan indeks GFR yang cukup baik, meskipun bukan merupakan pengukuran yang
sebenarnya karena kreatinin juga disekresi oleh tubulus. Kreatinin yang sedikit disekresi ini
cenderung memperbesar perkiraan nilai GFR. Kreatin plasma dianggap terlalu tinggi, karena
kesulitan cara penentuan labolatorium. Untungnya kedua jenis kesalahan ini kurang lebih sama
besarnya, dan akan saling menutupi, sehingga nilai bersihan kreatinin mendekati nilai GFR.
Tes Fungsi Tubulus
Sejumlah tes telah dilakukan untuk menilai fungsi dan integritas tubulus ginjal. Fungsi tubulus
adalah reabsorpsi delektif dari cairan tubulus dan sekresi ke dalam lumen tubulus dari zat-zat
yang beredar dalam kapiler-kapiler peritubular ataupun dibentuk oleh sel-sel tubulus. Proses-
proses ini berada dalam pengawasan berbagai macam hormon, tekanan gas, dan konsentrasi
elektrolit plasma. Tes yang sering dilakukan untuk fungsi tubulus proksimal adalah tes ekskresi
fenolsulfonftalein (PSP) dan para-amino-hipurat (PAH). Tes-tes fungsi tubulus distal adalah tes
pemekatan, pengenceran, pengasaman, dan konservasi natrium. Ekskresi fraksional natrium
(FENa) adalah perhitungan penting untuk membedakan antara azotemia prarenal dan nekrosis
tubular akut (ATN).
Tes Ekskresi PAH
Para-aminohipurat (PAH) adalah suatu zat yang difiltrasi oleh glomerulus dan di sekresi oleh
tubulus proksimal. Bila diberi dalam konsentrasi rendah pada manusia, maka sekitar 92% akan
dibersihkan dalam satu sirkulasi melalui ginjal. Oleh karena itu, tes ini merupakan cara yang
sangat cermat untuk mengukur aliran plasma ginjal (RPF). Pada orang dewasa, RPF besarnya
sekitar 600 ml/menit. Kalau konsentrasi plasma terus ditingkatkan hingga melebihi kapasitas
sekresi, maka kapasitas sekresi tubulus proksimal dapat dihitung dari beban yang di filtrasi dan
ekskresi urine. RBF dapat dihitung dari RPF jika hematokrit diketahui: RBF = RPF : (1-
hematokrit).
Tes Pemekatan dan Pengenceran
Pengukuran berat jenis urine sesudah membatasi air merupakan cara pengukuran yang sensitif
untuk mengetahui kemampuan tubulus ginjal dalam mengabsorpsi air dan menghasilkan urine
yang pekat. Fungsi ginjal dianggap normal bila berat jenis spesimen urine pagi hari sebesar 1,025
atau lebih. Bila kemampuan pemekatan diragukan, dapat dilakukan tes pemekatan lain yang
lebig teliti. Untuk menjamin hasil tesyang lebig tepat, pasien harus menjalani diet normal
(asupan garam, protein, dan cairan normal), dan tidak boleh mendapat diuretik sebelum
menjalani tes. Pasien diinstruksikan makan malam normal jam 6 dan tidak makan atau minum
lagi sebelum tes selesai keesokan harinya. Spesimen urine dikumpulkan esok harinya jam 6,7
dan 8. Sedikitnya salah satu dari ketiga spesimen tersebut harus mempunyai berat jenis 1.025
(800 mOsm) atau lebih.
Tes pengenceran urine dilakukan dengan menyuruh pasian meminum satu liter air dalam jangka
waktu 30 menit. Kemusian spesimen urine dikumpulkan dalam jangka waktu 3 jam. Setidaknya
salah satu dari ketiga spesimen urine tersebut harus mempunyai berat jenis 1,003 (80 mOsm)atau
kurang. Tes pengenceran urine ini jauh lebih sedikit manfaatnya daripada tes pemekatan, karena
banyak faktor non spesifik lainnya yang ikut berpengaruh (misalnya mual, atau emosi dapat
menggangu diuresis air meskipun pada orang normal sekalipun). Kemampuan pengenceran
mungkin terganggu pada pasien insufisiensi adrenal, penyakit hati dan gagal jantung.
Kemampuan mengencerkan urine biasnya mengholang lebih awal. Baik tes pemekatan maupun
pengenceran jangan dilakukan pada pasien azotemia karena dapat mengakibatkan dehidrasi dan
intoksikasi air.
Tes pengasaman urine
Tes pengasaman urine dirancang untuk mengukur kapasitas maksimal ginjal dalam mengekskresi
asam, dan tes ini khusus ditujukan untuk mendiagnosis penyakit asidosis tubulus ginjal.
Pada tes yang berlangsung 5 hari ini, kontrol urine dikumpulkan selma 2 hari. Pasien kemudian
diberi amonium klorida (sebanyak 12 gram/hari pada orang dewasa) selama 3 hari berikutnya.
Amonium klorida dimetabolisme menjadi urea dan hidrogen klorida, sehingga mengakibatkan
asidosis pada pasien tersebut. Kadar pH urine ditentukan setiap hari, dan pada hari kelima kadar
amonium dan asam yang dapat ditiltrasi juga diukur. Dalam keadaan normal ginjal mengekspresi
beban asam yang diterimanya dan pH urine berkisar pada 5,3 dan kurang. Pada asidosis tubulus
ginjal, gradien ion hidrogen yang berada dalam lumen tubulus dan dalam plasma tidak dapat
dipertahankan, sehingga pH urine tidak dapat di rendahkan. Banyak pasien gagal ginjal kronik
yang dapat mencapai pH urine 5,3 tetapi mengalami gangguan ekskresi amonia dan asam yang
dapat tertitrasi.
Keseimbangan Asam Basa
Derajat keasaman merupakan suatu sifat kimia yang penting dari darah dan cairan tubuh lainnya.
Satuan derajat keasaman adalah pH.
Klasifikasi pH
• pH 7,0 adalah netral
• pH diatas 7,0 adalah basa (alkali)
• pH dibawah 7,0 adalah asam
Suatu asam kuat memiliki pH yang sangat rendah (hampir 1,0); sedangkan suatu basa kuat
memiliki pH yang sangat tinggi (diatas 14,0). Darah memiliki pH antara 7,35-7,45.
Keseimbangan asam-basa darah dikendalikan secara seksama, karena perubahan pH yang sangat
kecil pun dapat memberikan efek yang serius terhadap beberapa organ.
Pengaturan Keseimbangan Asam Basa
Tubuh menggunakan 3 mekanisme untuk mengendalikan keseimbangan asam-basa darah
1. Kelebihan asam akan dibuang oleh ginjal, sebagian besar dalam bentuk amonia. Ginjal
memiliki kemampuan untuk mengubah jumlah asam atau basa yang dibuang, yang biasanya
berlangsung selama beberapa hari.
2. Tubuh menggunakan penyangga pH (buffer) dalam darah sebagai pelindung terhadap
perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dalam pH darah. Suatu penyangga pH bekerja secara
kimiawi untuk meminimalkan perubahan pH suatu larutan. Penyangga pH yang paling penting
dalam darah adalah bikarbonat. Bikarbonat (suatu komponen basa) berada dalam kesetimbangan
dengan karbondioksida (suatu komponen asam). Jika lebih banyak asam yang masuk ke dalam
aliran darah, maka akan dihasilkan lebih banyak bikarbonat dan lebih sedikit karbondioksida.
Jika lebih banyak basa yang masuk ke dalam aliran darah, maka akan dihasilkan lebih banyak
karbondioksida dan lebih sedikit bikarbonat.
3. Pembuangan karbondioksida. Karbondioksida adalah hasil tambahan penting dari
metabolisme oksigen dan terus menerus yang dihasilkan oleh sel. Darah membawa
karbondioksida ke paru-paru. Di paru-paru karbondioksida tersebut dikeluarkan (dihembuskan).
Pusat pernafasan di otak mengatur jumlah karbondioksida yang dihembuskan dengan
mengendalikan kecepatan dan kedalaman pernafasan.
Jika pernafasan meningkat, kadar karbon dioksida darah menurun dan darah menjadi lebih basa.
Jika pernafasan menurun, kadar karbondioksida darah meningkat dan darah menjadi lebih asam.
Dengan mengatur kecepatan dan kedalaman pernafasan, maka pusat pernafasan dan paru-paru
mampu mengatur pH darah menit demi menit.
Nilai pH dapat dilihat dari darah arterial dengan rentang normal 7,35-7,45. Harga normal hasil
pemeriksaan laboratorium analisis gas darah adalah sbb:
pH 7,35-7,45
pO2 80-100 mmHg
pCO2 35-45 mmHg
[HCO3-] 21-25 mmol/L
Base excess -2 s/d +2
Adanya kelainan pada satu atau lebih mekanisme pengendalian pH tersebut, dapat menyebabkan
salah satu dari 2 kelainan utama dalam keseimbangan asam basa, yaitu asidosis atau alkalosis.
Gangguan Keseimbangan Asam Basa dan Penanganannya
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam keseimbangan asam basa adalah :
1. Konsentrasi ion hidrogen [H+]
2. Konsentrasi ion bikarbonat [HCO3-]
3. pCO2
Berikut perbandingan peranan masing-masing faktor dalam diagnosis gangguan asam basa :
- Bila konsentrasi H+ meningkat, maka pH turun disebut asidosis
- Bila konsentrasi H+ turun, maka pH naik alkalosis
- Bila HCO3- berubah secara signifikan dalam kondisi tersebut, disebut suatu keadaan metabolik
- Bila pCO2 berubah secara signifikan dalam kondisi tersebut, disebut suatu keadaan respiratorik
Dari konsep tersebut, didapatkan empat kondisi, yaitu :
1. Asidosis metabolik
2. Asidosis respiratorik
3. Alkalosis metabolik
4. Alkalosis respiratorik
Asidosis adalah suatu keadaan dimana darah terlalu banyak mengandung asam (atau terlalu
sedikit mengandung basa) dan sering menyebabkan menurunnya pH darah. Alkalosis adalah
suatu keadaan dimana darah terlalu banyak mengandung basa (atau terlalu sedikit mengandung
asam) dan kadang menyebabkan meningkatnya pH darah.
Asidosis dan alkalosis bukan merupakan suatu penyakit tetapi lebih merupakan suatu akibat dari
sejumlah penyakit. Terjadinya asidosis dan alkalosis merupakan petunjuk penting dari adanya
masalah metabolisme yang serius. Asidosis dan alkalosis dikelompokkan menjadi metabolik atau
respiratorik, tergantung kepada penyebab utamanya.
Asidosis metabolik dan alkalosis metabolik disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam
pembentukan dan pembuangan asam atau basa oleh ginjal. Asidosis respiratorik atau alkalosis
respiratorik terutama disebabkan oleh penyakit paru-paru atau kelainan pernafasan.
Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik adalah keasaman darah yang berlebihan, yang ditandai dengan rendahnya
kadar bikarbonat dalam darah. Bila peningkatan keasaman melampaui sistem penyangga pH,
darah akan benar-benar menjadi asam.
Seiring dengan menurunnya pH darah, pernafasan menjadi lebih dalam dan lebih cepat sebagai
usaha tubuh untuk menurunkan kelebihan asam dalam darah dengan cara menurunkan jumlah
karbon dioksida. Pada akhirnya, ginjal juga berusaha mengkompensasi keadaan tersebut dengan
cara mengeluarkan lebih banyak asam dalam air kemih. Tetapi kedua mekanisme tersebut bisa
terlampaui jika tubuh terus menerus menghasilkan terlalu banyak asam, sehingga terjadi asidosis
berat dan berakhir dengan keadaan koma.
Penyebab
Penyebab asidosis metabolik dapat dikelompokkan kedalam 3 kelompok utama:
1. Jumlah asam dalam tubuh dapat meningkat jika mengkonsumsi suatu asam atau suatu bahan
yang diubah menjadi asam. Sebagian besar bahan yang menyebabkan asidosis bila dimakan
dianggap beracun. Contohnya adalah metanol (alkohol kayu) dan zat anti beku (etilen glikol).
Overdosis aspirin pun dapat menyebabkan asidosis metabolik.
2. Tubuh dapat menghasilkan asam yang lebih banyak melalui metabolisme.
Tubuh dapat menghasilkan asam yang berlebihan sebagai suatu akibat dari beberapa penyakit;
salah satu diantaranya adalah diabetes melitus tipe I. Jika diabetes tidak terkendali dengan baik,
tubuh akan memecah lemak dan menghasilkan asam yang disebut keton. Asam yang berlebihan
juga ditemukan pada syok stadium lanjut, dimana asam laktat dibentuk dari metabolisme gula.
3. Asidosis metabolik bisa terjadi jika ginjal tidak mampu untuk membuang asam dalam jumlah
yang semestinya. Bahkan jumlah asam yang normalpun bisa menyebabkan asidosis jika ginjal
tidak berfungsi secara normal. Kelainan fungsi ginjal ini dikenal sebagai asidosis tubulus renalis,
yang bisa terjadi pada penderita gagal ginjal atau penderita kelainan yang mempengaruhi
kemampuan ginjal untuk membuang asam.
Penyebab utama dari asidosis metabolik:
Gagal ginjal
Asidosis tubulus renalis (kelainan bentuk ginjal)
Ketoasidosis diabetikum
Asidosis laktat (bertambahnya asam laktat)
Bahan beracun seperti etilen glikol, overdosis salisilat, metanol, paraldehid, asetazolamid atau
amonium klorida
Kehilangan basa (misalnya bikarbonat) melalui saluran pencernaan karena diare, ileostomi
atau kolostomi.
Gejala
Asidosis metabolik ringan bisa tidak menimbulkan gejala, namun biasanya penderita merasakan
mual, muntah dan kelelahan. Pernafasan menjadi lebih dalam atau sedikit lebih cepat, namun
kebanyakan penderita tidak memperhatikan hal ini. Sejalan dengan memburuknya asidosis,
penderita mulai merasakan kelelahan yang luar biasa, rasa mengantuk, semakin mual dan
mengalami kebingungan. Bila asidosis semakin memburuk, tekanan darah dapat turun,
menyebabkan syok, koma dan kematian.
Diagnosa
Diagnosis asidosis biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pengukuran pH darah yang diambil
dari darah arteri (arteri radialis di pergelangan tangan). Darah arteri digunakan sebagai contoh
karena darah vena tidak akurat untuk mengukur pH darah. Untuk mengetahui penyebabnya,
dilakukan pengukuran kadar karbon dioksida dan bikarbonat dalam darah. Mungkin diperlukan
pemeriksaan tambahan untuk membantu menentukan penyebabnya.
Misalnya kadar gula darah yang tinggi dan adanya keton dalam urin biasanya menunjukkan
suatu diabetes yang tak terkendali. Adanya bahan toksik dalam darah menunjukkan bahwa
asidosis metabolik yang terjadi disebabkan oleh keracunan atau overdosis. Kadang-kadang
dilakukan pemeriksaan air kemih secara mikroskopis dan pengukuran pH air kemih.
Pengobatan
Pengobatan asidosis metabolik tergantung kepada penyebabnya. Sebagai contoh, diabetes
dikendalikan dengan insulin atau keracunan diatasi dengan membuang bahan racun tersebut dari
dalam darah. Kadang-kadang perlu dilakukan dialisa untuk mengobati overdosis atau keracunan
yang berat. Asidosis metabolik juga bisa diobati secara langsung. Bila terjadi asidosis ringan,
yang diperlukan hanya cairan intravena dan pengobatan terhadap penyebabnya. Bila terjadi
asidosis berat, diberikan bikarbonat mungkin secara intravena.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Patofisiologi - Anatomi dan Fisiologis Ginjal dan Saluran Kemih. Sylvia A. Price dan
Lorraine M. Wilson. Edisi 6 Vol.2
http://www.scribd.com/doc/16544108/Sistem-urinaria
http://www.scribd.com/doc/15256904/Anatomi-Tractus-Urinarius
http://task-list.blogspot.com/2008/02/system-urinaria.html
http://www.smallcrab.com/kesehatan/624-mengenal-fungsi-dan-kerja-ginjal
http://perawattegal.wordpress.com/2009/08/29/keseimbangan-asam-basa/
Buku Penuntun Praktikum Histologi. Fajar Arifin Gunawijaya dan Elna Kartawiguna. 2009.
Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Lauralee Sherwood. Edisi 2.EGC.2001.