Makalah Kelompok
-
Upload
081907475889 -
Category
Documents
-
view
215 -
download
0
description
Transcript of Makalah Kelompok
POLA ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN ASMA BRONKHIALE*
Disusun oleh :Kelompok VIII
Abdul Kadir Ahmad 010030218BA. Ayu Yulianti Darmini 010030181BEvi Tri Wahyuningsih 010030203BI Gede Agus Suartika 010030226BI s w a t u n 010030167BLilik Masyhuda 010030201BMohammad Fathoni 010030205BRidawati Sulaeman 010030186BS u b h a n 010030170BS I s w a n t o 010030199B
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONALPROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA2001
Disampaikan dalam rangka memenuhi tugas akhir Mata AjarPsikoneuroimunologi
POLA ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN ASMA BRONKHIALEDisusun oleh
Kelompok VIII
I. Latar Belakang
Asma merupakan suatu penyakit yang dapat mengenai pada anak-anak
hingga dewasa dengan serangan yang sangat menakutkan tanpa mengenal waktu
yang selalu membawa penderitaan bagi pasien dan asma dapat timbul karena
kecemasan, kegiatan aktivitas yang berat, kelelahan, kurang tidur, infeksi
pernafasan, obat-obatan dan alergen.
Di negara-negara yang telah maju penelitiannya, diperkirakan 5%-20%
bayi dan anak-anak menderita asma. Sedangkan pada orang dewasa dan orang tua
rata-rata berkisar antara 2%-10% (Sundaru H., 1995: 6). Penelitian yang pernah
dilakukan dibeberapa tempat diperkirakan 2-5 % menderita asma.
Insiden penyakit asma dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain: umur pasien,
jenis kelamin, bakat alergi, bunga, keturunan, lingkungan dan faktor psikologi.
Berbagai masalah yang ditimbulkan pada penyakit asma tergantung pada usia,
pekerjaan dan fungsi klien dalam keluarga tersebut.
Tingginya angka kekambuhan pada penderita asma sering memberikan dampak
pada psikologis dan biologis pasien. Tingkat emosi yang labil dan adanya
kecenderungan untuk menolak saran-saran dalam upaya mengeliminasi perilaku
yang mendukung kesehatannya, merupakan salah satu respon psikologis pasien
asma. Pada serangan asma pasien mengalami keterbatasan fungsi dalam
memenuhi segala kebutuhan dasarnya. Dengan demikian perlu kiranya difikirkan
tentang pola asuhan keperawatan yang mampu memenuhi keterbatasan fungsi
tersebut tanpa menambah beban emosional klien akibat tindakan perawat baik
selama serangan, maupun setelah serangan sehingga klien terhindar dari
kekambuhan dan dapat berfungsi secara optiman.
II. Definisi Asma Bronkhiale
Menurut Crocket (1997), Asma Bronkhiale didefinisikan sebagai suatu penyakit
dari sistem pernafasan yang meliputi peradangan dari jalan nafas dan gejala-gejala
bronkhospasme yang bersifat reversibel.
Asma bronchiale menurut American’s Thoracic Society dikutip dari Barata
Wijaya (1990) adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respons trakhea
dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya
penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah, baik secara
spontan maupun sebagai hasil pengobatan.
III. Patofisiologi
3.1 Patofisiologi Asma Bronkhiale Alergenik
Asma timbul karena seseorang yang atopi akibat pemaparan Alergen. Alergen
yang masuk ke tubuh melalui saluran pernapasan, kulit, saluran pencernaan dan
lain-lain akan ditangkp oleh makrofaq yang bekerja sebagai Antigen Presenting
Cells (APC). Setelah Alergrn diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut
alergen dipresentasikan ke sel TH. Sel APC melalui penglepasan Interleukin I (IL-
1) mengaktifkan sel TH, melalui penglepasan IL-2 oleh sel TH yang diaktifkan,
kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasma dan
membentuk Ig-E.
Ig-E yang terbentuk diikat mastoit. yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada
dalam sirkulasi.Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua sel tersebut pada
permukaannya memiliki reseptor untuk.Ig-E.Sel eosinofil, makrofaq dan
trombosit juga memiliki reseptor untuk Ig-E tetapi dengan afinitas yang lemah.
Orang yang sudah memiliki sel-sel mastoit dan basofil dengan Ig-E pada
permukaan tersebut belumlah menunjukkan gejala .Orang tersebut sudah dianggap
desentisisasi atau baru menjadi rentan.
Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan alergen
yang sama, alergen yang masuk ke tubuh akan diikat oleh Ig-E yang sudah ada
pada permukaan mastoit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk
Ca++ ke dalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar
cAMP.
Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam proses
degranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudah
terkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang
mempunyai sifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil, Chemotactic Faktor-A
(ECF-A), Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), Trypase dan Kinin.Efek yang
segera terlihat oleh mediator tersebut ialah obstruksi bronkhus oleh histamin.
Menurut konsep masa kini asma adalah suatu penyakit peradangan (inflamasi)
saluran nafas (Samsuridjal & Bharatawidjaja, 1994; Sundaru, 1996) yang disertai
kepekaan saluran napas terhadap rangsangan atau hiper reaksi bronkhus
(Bronchial Hiper Responsivnees / BHR). Sifat peradangan pada asma khas yaitu
adanya tanda-tanda peradangan saluran nafas disertai infiltrasi sel eosinofil.
Hipereaktifitas bronkhus yaitu bronkhus yang mudah sekali mengkerut
(Konstriksi) bila terpapar dengan bahan / faktor dengan kadar yang rendah yang
pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apa-apa, misalnya alergen
(inhalan, kontaktan), polusi, asap rokok/dapur, bau-bauan yang tajan dan lainnya
baik yang berupa irutan maupun yang bukan irutan (Sundaru, H. hal.
27,1996).Dewasa ini telah diketahui bahwa hiper reaktifitas bronkhus disebabkan
oleh inflamasi bronkhus yang kronik. Sel-sel inflamasi terutama eosinofil
ditemukan dalam jumlah besar dalam cairan bilas bronkhus pasien asma
bronkhiale sebagai bronkhitis kronik eosinofilik Hiper reaktifitas berhubungan
dengan derajat berat penyakit.Di klinik adanya hiper reaktifitas bronkhus dapat
dibuktikan dengan uji provokasi yang menggunakan metakolin atau histamin.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas saat ini penyakit asma dianggap secara klinik
sebagai penyakir bronkhospasme yang reversibel, secara patofisiologik sebagai
suatu hiper reaksi bronkhus dan secara patologik sebagai suatu peradangan
saluran napas.
Bronkhus pada pasien asma mengalami odema di mukosa dan dindingnya,
infiltrasi sel radang terutama eosinofil serta terlepasnya sel silia yang
menyebabkan getaran silia dan mukus di atasnya sehingga salah satu daya
pertahanan saluran nafas menjadi tidak berfungsi lagi. Ditemukan pula pada
pasien asma bronkhiale adanya penyumbatan saluran nafas oleh mukus terutama
pada cabang-cabang bronkhus.
Akibat dari bronkhospasme, oedema mukosa dan dinding bronkhus serta
hipersekresi mukus maka terjadi penyempitan bronkhus dan percabangannya
sehingga akan menimbulkan rasa sesak, nafas berbunyi (whezzing) dan batuk
yang produktif.
3.2 Patofisiologi Asma Bronkhiale Non Alergenik
Asma Bronkhiale Non Alergenik (Asma Intrinsik) terjadi bukan karena
pemaparan alergen tetapi terjadi akibat beberapa faktor pencetus seperti infeksi
saluran nafas atas, olahraga atau kegiatan jasmani yang berat, serta stress
psikologik. Serangan asma terjadi akibat gangguan saraf otonom terutama
gangguan saraf simpatis yaitu blokade adrenergik beta dan hiperreaktifitas
adrenergik alfa. Dalam keadaan normal aktifitas adrenergik beta lebih dominan
dari pada adrenergik alfa. Pada sebagian penderita asma aktifitas adrenergik alfa
diduga meningkat yang mengakibatkan bronkho konstriksi sehingga
menimbulkan sesak nafas.
Reseptor adrenergik beta diperkirakan terdapat pada enzim yang berada dalam
membran sel yang dikenal dengan adenyl-cyclase dan disebut juga massenger
kedua. Bila reseptor ini dirangsang, maka enzim adenyl-cyclase tersebut
diaktifkan dan akan menghasilkan ATP dalam sel menjadi 3’5’ cyccyclic AMP.
cAMP ini kemudian akan menimbulkan dilatasi otot-otot polos bronkhus,
menghambat pelepasan mediator dari mastosit/basofil dan menghambat sekresi
kelenjar mukus. Akibat blokade reseptor adrenergik beta maka fungsi reseptor
adrenergik alfa lebih dominan akibatnya terjadi bronkho konstriksi, hiper sekresi
kelenjar mukus dan oedema kelenjar mukus bronkhus sehingga menimbulkan
sesak nafas. Hal ini dikenal dengan teori blokade adrenergik beta. (Baratawidjaja,
1990).
4. Faktor Pencetus Serangan Asma Bronkhiale
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan serangan asma bronkhiale atau sering
disebut sebagai faktor pencetus adalah:
4.1 Alergen
Alergen adalah zat-zat tertentu bila dihisap atau dimakan dapat menimbulkan
serangan asma, misalnya debu rumah, tungau debu rumah (Dermatophagoides
pteronissynus), spora jamur, serpih kulit kucing, bulu binatang, beberapa makanan
laut dan sebagainya
4.2 Infeksi saluran nafas
Infeksi saluran nafas terutama oleh virus seperti influensa merupakan salah satu
faktor pencetus yang paling sering menimbulkan asma bronkhiale. Diperkirakan
dua pertiga pasien asma dewasa serangan asmanya ditimbulkan oleh infeksi
saluran nafas.(Sundaru, 1991).
4.3 Stress psikologik
Stress psikologik bukan sebagai penyebab asma tetapi sebagai pencetus
asma, karena banyak orang yang mendapat Stress psikologik tetapi tidak menjadi
penderita asma bronkhiale. Faktor ini berperan mencetuskan serangan asma
terutama pada orang yang agak labil kepribadiannya. Hal ini lebih menonjol pada
wanita dan anak-anak (Yunus, 1994).
4.4 Olah raga/kegiatan jasmani yang berat
Sebagian penderita asma bronkhiale akan mendapatkan serangan asma bila
melakukan olahraga atau aktifitas fisik yang berlebihan. Lari cepat dan bersepeda
paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena kegiatan
jasmani (Exercise Induced Asthma / EIA) terjadi setelah olah raga atau aktifitas
fisik yang cukup berat dan jarang serangan timbul beberapa jam setelah olahraga.
4.5 Obat-obatan
Beberapapasien asma bronkhiale sensitif atau alergi terhadap obat
tertentu seperti penicillin, salisilat, beta blocker, kodein dan sebagainya.
4.6 Polusi udara
Pasien asma sangat peka terhadap udara berdebu, asap pabrik/kendaraan, asap
rokok, asap yang mengandung hasil pembakaran sulfur dioksida dan oksida
fotokemikal, serta bau yang tajam.
4.7 Lingkungan kerja
Diperkirakan 2 – 15% pasien asma bronkhiale pencetusnya adalah
lingkungan kerja (Sundaru H., 1991). Beberapa zat yang didapat di tempat
pekerjaan yang dapat mencetuskan serangan asma seperti pada tabel berikut :
PENCETUS LOKASI
1) Bulu dan serpih kulit binatang
2) Enzim bakteri subtilis
3) Debu kopi dan teh
4) Debu kapas
5) Toluen diisosianat
6) Debu gandum dan padi-padian
7) Amoniak, sulfur dioksida, asam klorida,
klorin
8) Garam platina
9) Ampisilin, spiramisin, piperasin.
1) Laboratorium hewan dan peternakan
2) Industri detergen
3) Pengolahan kopi dan teh
4) Industri tekstil
5) Industri plastik
6) Pabrik roti dan bongkar muat di
gudang gandum dan padi-padian
7) Industri kimia dan perminyakan
8) Pemurnian Platina
9) Industri Obat-obatan
4.8 Lain-lain
Selain faktor-faktor tersebut di atas masih terdapat faktor-faktor yang
mencetuskan serangan asma seperti lingkungan dan cuaca yang terlalu lembab,
terlalu panas, terlalu dingin, bumbu masak (monosodium glutamat), bahan
pengawet makanan (asam benzoat), zat pewarna kuning (tartarazin). Dan beberapa
keadaan dapat memperberat serangan asma seperti sinusitis, rinitis dan regurgitasi
asam lambung.
5. Manifestasi Klinis
Selama serangan asma, klien mengalami dispnea dan tanda-tanda kesulitan
pernapasan. Permulaan tanda-tanda serangan terdapat sensasi konstriksi dada
(dada terasa berat), whezing, batuk non produktif, takhikardi dan takipnea.
Beratnya asma dapat diklasifikasikan dalam : ringan, sedang dan berat tergantung
gejala-gejala. Sistem skoring diberikan untuk mengklasifikasikan tersebut.
Tabel Penilaian Keperahan Asma (Skoring)
Gejala
Penggunaan
Bronkhodilator
Variabilitas PEFR
(APE)
Terjaga malam hari 4
Gejala tiap hari 3
Gejala < tiap hariperminggu 2
< tiap minggu atau waktu olah raga 1
Tidak ada serangan selama 3 bulan 0
> 4 x / hari
1 – 4 x / hari
< tiap hari
< per minggu
tidak selama 3 bulan
> 25 % 4
15 – 25 % 3
10 – 15 % 2
6 – 10 % 1
< 6 % 0
Dikutip dari Assagaf H & Mukty A, 1995
Skore maksimum : 12
Asma ringan : 1 – 5
Asma sedang : 6 – 8
Asma berat : 9 – 12
Variabilitas PEFR : Harga PEFR tertinggi – harga PEFR terendah X 100 %
Harga PEFR tertinggi
PEFR : Peak Expiratory Flow Rate
APE : Arus Puncak Ekspirasi
6. Manajemen Keperawatan
6.1 Pengkajian :
6.1.1 Riwayat Keperawatan
Perlu dikaji riwayat adanya pemaparan (pemajanan) faktor-faktor yang
biasanya mencetuskan serangan asma bronkhiale. Dan perlu ditanyakan
bagaimana kemampuan klien untuk menghindari faktor pencetus tersebut, ataukah
klien sudah mengetahui beberapa faktor pencetus tersebut.
6.1.2 Keluhan Utama
Keluhan utama klien adalah sesak napas, setelah terpapar oleh alergen
atau faktor lain yang mencetuskan serangan asma bronkhiale.
6.1.3 Pemeriksaan Fisik :
6.1.3.1 Sistem pernafasan
Peningkatan frekuensi pernafasan, susah bernafas, perpendekan
periode inspirasi.
Penggunaan otot-otot aksesori pernafasan (retraksi sternum,
pengangkatan bahu waktu bernafas).
Pernafasan cuping hidung.
Adanya mengi yang terdengar tanpa stetoskop.
Bunyi nafas : whezzing, pemanjangan ekspirasi.
Batuk keras, kering dan akhirnya batuk produktif.
6.1.3.2 Sistem Kardiovaskuler
Takhikardia
Tensi meningkat
Pulsus paradoksus (penurunan tekanan darah > 10 mmHg pada waktu
inspirasi)
Sianosis
Dehidrasi
Diaforesis
6.1.3.3 Psikososial
Peningkatan ansietas : takut mati, takut menderita, panik, gelisah
6.1.4 Pemeriksaan penunjang :
Darah : Kadar IgE meningkat dan eosinophil meningkat
Gas darah arteri : Penurunan PaO2 dan PaCO2 namun selanjutnya
PaCO2 meningkat sesuai dengan meningkatnya tekanan jalan nafas
Faal Paru : Menurunnya FEV1
Tes kulit : Untuk menentukan jenis alergen.
6.2 Diagnosa Keperawatan dan Rencana Intervensi :
6.2.1 Ketidak efektifan pola napas sehubungan dengan gangguan ekspirasi dan
ansietas
Tujuan:
Klien mampu menunjukkan pola pernafasan yang normal
Ditandai :
1) Penurunan frekuensi pernapasan sampai kebatas normal
2) Penurunan tanda dari sesak nafas, dan penurunan otot bantu nafas.
3) Analisa gas darah dalam batas normal
4) Vital capacity dalam batas normal
Rencana Intervensi :
1) Kaji kembali dan observasi frekuensi pernafasan, kedalaman
pernapasan dan adanya tanda-tanda sesak nafas.
2) Monitor nilai analisa gas darah untuk mengetahui keefektifan
pengobatan
3) Baringkan pasien dalam posisi fowler’s untuk meminimalkan kerja
ekspansi dada.
4) Berikan Oksigen pernasal sesuai order dokter.
5) Lakukan kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian obat-obatan :
Kortikosteroid
Bronkhodilator
Antihistamin
6.2.2 Ketidak efektifan bersihan jalan nafas sehubungan dengan peningkatan
produksi sekret.
Tujuan :
Klien akan menunjkkan keefektifan jalan nafas/klien mampu mempertahankan
jalan napas yang paten.
Ditandai :
1) Penurunan whezzing dan ronchi
2) Kecepatan dan kedalaman pernafasan normal
3) Tak ada dispenia, sianosis
4) Analisa gas darah dalam batas normal
5) Penurunan batuk kering/non produktif
Rencana intervensi :
1) Kaji suara nafas tiap jam selama episode akut untuk menilai
keadekuatan pertukaran gas.
2) Jika memungkinkan lakukan suction
3) Monitor warna dan konsistensi sputum karena asma sering sebagai
akibat infeksi saluran nafas atas.
4) Kaji keefektifan batuk klien, anjurkan untuk batuk efektif.
5) Tingkatkan intake cairan untuk mencegah sekret yang kental, untuk
mengembalikan cairan yang hilang akibat respirasi yang cepat.
6) Berikan humidifier untuk mengencerkan dahak.
7) Jika sekret kental dan sulit dikeluarkan, lakukan fisioterapi dada :
Perkusi dan vibrasi.
8) Berikan perawatan mulut, setiap 2 – 4 jam, untuk menghilangkan rasa
tidak enak akibat dari sekret.
9) Lakukan order dokter dalam pemberian expectoran.
6.2.3 Ansietas sehubungan dengan kesulitan bernafas, takut menderita, dan atau
takut serangan berulang.
Tujuan :
Klien mendemonstrasikan penurunan rasa takut dan ansietas
Ditandai :
1) Ekspresi wajah relaks
2) Mengungkapkan perasaan cemas berkurang
3) Tanda vital dalam batas normal
Rencana intervensi :
1) Kaji tingkat ansietas (ringan, sedang, berat)
2) Kaji kebiasaan ketrampilan koping
3) Berikan dukungan emosional :
Tetap berada di dekat pasien selama serangan akut
Antisipasi kebutuhan pasien
Berikan keyakinan yang menenangkan
4) Implementasikan teknik relaksasi
5) Kegiatan sehari-hari yang ringan dan sederhana
6) Jangan berbicara bila sedang dispnea berat
6.2.4 Potensial terjadi kekambuhan serangan asma
Tujuan :
Mencegah terjadinya kekambuhan
Rencana intervensi
Berikan penyuluhan tentang usaha pencegahan serangan asma,yaitu :
1) Menjaga kesehatan dengan cara makan makanan yang bergizi, istirahat
cukup, minum banyak, rekreasi dan olahraga yang sesuai.
2) Menjaga kesehatan lingkungan, dengan cara membersihkan rumah,
ruangan, kamar tidur dan menghindari tempat lembab.
3) Menghindari faktor pencetus.
4) Menggunakan obat-obatan anti asma.
Peran peraat di sini yaitu mengajarkan cara menggunakan obat anti
asma sesuai dengan aturan pakai.
5) Lain-lain (Meditasi).
6.3 Evaluasi :
Tujuan yang telah direncanakan harus dievaluasi. Revisi dari rencana keperawatan
mungkin diperlukan. Pada asma bronkhiale dapat kembali (sembuh) dengan
mudah jika tidak terdapat masalah lain seperti infeksi.
7. Kerangka Konseptual
Faktor Pencetus Perawat / keperawatan
Klien Asma
Emosi yang labil.Perilaku sehat yang menurun.Keterbatasan fungsi tubuh.
- Adaptasi.- Terpenuhi
kebutuhan dasarnya.
- Perubahan perilaku
- Terhindar dari kekambuhan.
Pola Asuhan Keperawatan
Stressor -
Stressor +
8. Kesimpulan
Asma timbul karena beberapa faktor pencetus dengan serangan yang
sangat menakutkan dan cenderung mengakibatkan kekambuhan.Keadaan ini
menimbulkan beberapa dampak antara lain :
1. Emosi yang labil.
2. Perilaku sehat yang menurun.
3. Keterbatasan fungsi tubuh.
Dalam hal ini perawat mempunyai peranan yang sangat penting untuk
mengatasi dan mencegah timbulnya serangan asma.
Asuhan keperawatan yang diberikan akan membantu klien memenuhi
kebutuhan dasarnya dan menghindarkan diri dari kekambuhan sehingga dapat
berfungsi secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Anes, SW. (1998). Essentials of Adult Health Nursing. Menlo Park. California.
Baratawidjaja, G. K. (1990). Asma Bronkhiale.Dalam Soeparman, Ilmu Penyakit
Dalam jilid II. FKUI. Jakarta.
Black. JM and Ester MJ (1997). Medical Surgical Nursing.Vol. 2, W. B. Saunders
Company. Philadelphia.
Engram,B. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan medical bedah. Vol 1. EGC.
Jakarta.
Fax ,SI and Graw ,M (1999). Human Physiology. Hill Companies. Nort America.
Gibson, JM. (1998). Mikrobiologi dan Patologi Modern untuk perawat. EGC.
Jakarta.
Kaliner, MA. (1991). Astma its Pathology and Treatment. Vol. 49, National
Institutes of Health Bethesda, Maryland.
Kontaraf, J. (1992). Olah Raga Sumber Kesehatan. Advent. Bandung.
Sundaru H. (1995). Asma : Apa dan Bagaimana Pengobatannya. FKUI. Jakarta.