MAKALAH KELOMPOK EPID
-
Upload
nurhafifa-yusuf -
Category
Documents
-
view
571 -
download
2
Transcript of MAKALAH KELOMPOK EPID
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sektor kesehatan merupakan bagian penting perekonomian di berbagai negara.
Sejumlah pendapat menyatakan bahwa sektor kesehatan sama seperti spons –
menyerap banyak sumber daya nasional untuk membiayai banyak tenaga kesehatan.
Pendapat yang lain mengemukakan bahwa sektor kesehatan seperti pembangkit
perekonomian, melalui inovasi dan investasi dibidang tekhnologi bio‐medis atau
produksi dan penjualan obat‐obatan, atau dengan menjamin adanya populasi yang
sehat yang produktif secara ekonomi. Sebagian warga masyarakat mengunjungi
fasilitas kesehatan sebagai pasien atau pelanggan, dengan memanfaatkan rumah sakit,
klinik atau apotik; atau sebagai profesi kesehatan – perawat, dokter, tenaga
pendukung kesehatan, apoteker, atau manajer. Karena pengambilan keputusan
kesehatan berkaitan dengan hal kematian dan keselamatan, kesehatan diletakkan
dalam kedudukan yang lebih istimewa dibanding dengan masalah sosial yang lainnya.
Kesehatan juga dipengaruhi oleh sejumlah keputusan yang tidak ada kaitannya
dengan layanan kesehatan: kemiskinan mempengaruhi kesehatan masyarakat, sama
halnya dengan polusi, air kotor atau sanitasi yang buruk. Kebijakan ekonomi, seperti
pajak merokok, atau alkohol dapat pula mempengaruhi perilaku masyarakat.
Penyebab mutakhir meningkatnya obesitas ditengah masyarakat mencakup kesediaan
makanan cepat saji yang murah namun tinggi kalori, penjualan soft drinks disekolah,
juga menurunnya kebiasaan berolah raga.
Memahami hubungan antara kebijakan kesehatan dan kesehatan itu sendiri
menjadi sedemikian pentingnya sehingga memungkinkan untuk menyelesaikan
masalah kesehatan utama yang terjadi saat ini – meningkatnya obesitas, wabah
HIV/AIDS, meningkatnya resistensi obat sekaligus memahani bagaimana
perekonomian dan kebijakan lain berdampak pada kesehatan. Kebijakan kesehatan
memberi arahan dalam pemilihan teknologi kesehatan yang akan dikembangkan dan
digunakan, mengelola dan membiayai layanan kesehatan, atau jenis obat yang dapat
1
dibeli bebas. Untuk memahami hal tersebut, perlu mengartikan apa yang dimaksud
dengan kebijakan kesehatan.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apa pengertian kebijakan dan kebijakan publik?
2. Apa urgensi kebijakan publik?
3. Siapa pembuat kebijakan publik ?
4. Bagaimana ciri dan jenis kebijakan publik?
5. Bagaimana proses dan tahapan kebijakan publik?
6. Bagaimana hubungan antara epidemiologi dan proses kebijakan publik?
7. Bagimana analisis kebijakan publik?
8. Bagaimana dampak kebijakan publik?
9. Bagaimana contoh penerapan kebijakan publik di bidang kesehatan?
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui pengertian kebijakan dan kebijakan publik
2. Mengetahui urgensi kebijakan publik
3. Mengetahui siapa yang membuat kebijakan
4. Mengetahui ciri dan jenis kebijakan publik
5. Mengetahui proses tahapan kebijakan publik di bidang kesehatan
6. Mengetahui hubungan antara epidemiologi dan proses kebijakan publik
7. Mengetahui analisis kebijakan publik
8. Mengetahui dampak kebijakan publik
9. Mengetahui contoh penerapan kebijakan publik di bidang kesehatan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KEBIJAKAN
Pengertian Kebijakan
Kebijakan atau policy adalah seperangkat panduan pengambilan keputusan.
Penyediaan kebijakan merupakan kerangka kerja yang diusulkan yang dapat diuji
dan diukur kemajuannya. Idealnya kebijakan itu berisi definisi yang jelas terhadap
masalah yang akan diselesaikan, pernyataan tujuan (pendekatan dan kegiatannya)
terhadap tujuan-tujuan yang akan dicapai (Pal, 1992).
Pengertian Kebijakan Publik
Dye (1978) mendefinisikan kebijakan publik sebagai “Whatever governments
choose to do or not to do.”, yaitu segala sesuatu atau apapun yang dipilih oleh
pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Dye juga memaknai kebijakan
publik sebagai suatu upaya untuk mengetahui apa sesungguhnya yang dilakukan oleh
pemerintah, mengapa mereka melakukannya, dan apa yang menyebabkan mereka
melakukannya secara berbeda- beda. Dia juga mengatakan bahwa apabila pemerintah
memilih untuk melakukan suatu tindakan, maka tindakan tersebut harus memiliki
tujuan. Kebijakan publik tersebut harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan
hanya merupakan keinginan atau pejabat pemerintah saja. Di samping itu, sesuatu
yang tidak dilaksanakan oleh pemerintah pun termasuk kebijakan publik. Hal ini
disebabkan karena sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah akan mempunyai
pengaruh yang sama besar dengan sesuatu yang dilakukan oleh pemerintah.
Pengertian kebijakan publik lainnya juga diungkapkan oleh Anderson yang
menyatakan kebijakan publik sebagai a purposive course of action followed by an
actor on set an actors in dealing with a problem or matter of concern atau sebagai
tindakan yang memiliki tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang
pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah.
Sedangkan Perpustakaan Nasional USA Medicine Science Heading
mendefinisikan kebijakan publik sebagai “a course of method of action selected,
usually by government, from among alternatives to guide and determine present and
future decisions”.
3
Pengertian Kebijakan Kesehatan
Kebijakan kesehatan dapat meliputi kebijakan publik dan swasta tentang
kesehatan. Kebijakan kesehatan diasumsikan untuk merangkum segala arah tindakan
(dan dilaksanakan) yang mempengaruhi tatanan kelembagaan, organisasi, layanan
dan aturan pembiayaan dalam system kesehatan. Kebijakan ini mencakup sektor
publik (pemerintah) sekaligus sektor swasta. Tetapi karena kesehatan dipengaruhi
oleh banyak faktor penentu diluar system kesehatan, para pengkaji kebijakan
kesehatan juga menaruh perhatian pada segala tindakan dan rencana tindakan dari
organisasi diluar system
B. URGENSI KEBIJAKAN PUBLIK
Ada tiga alasan mengapa kebijakan publik penting dan perlu dipelajari. Sholichin
Abdul Wahab dengan mengikuti pendapat dari Anderson (1978) dan Dye (1978)
menjelaskan ketiga alasan itu diantaranya:
1. Alasan ilmiah (scientific reason),
Kebijakan publik dipelajari dengan maksud untuk memperoleh
pengetahuan yang luas tentang asal-muasalnya, proses-proses perkembangannya
dan konsekuensi-konsekuensinya bagi masyarakat. Pada gilirannya hal ini akan
menambah pengertian tentang sistem politik dan masyarakat secara umum.
2. Alasan profesional (professional reason)
Studi kebijakan dimaksudkan untuk menghimpun pengetahuan ilmiah di
bidang kebijakan publik guna memecahkan masalah-masalah sosial sehari- hari.
Disini kita berbicara bagaimana sesuatu berguna dalam pencapaian kebijakan baik
dalam konteks perorangan, kelompok maupun pemerintah. James E. Anderson
termasuk yang mendukung profesionalitas (bukan hanya saintifik). Menurutnya,
jika kita mengetahui sesuatu tentang fakta-fakta yang membantu dalam
membentuk kebijakan publik atau konsekuensi-konsekuensi dari kebijakan-
kebijakan yang mungkin timbul, jika kita tahu bagaimana individu, kelompok
atau pemerintah dapat bertindak untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan mereka,
maka kita layak memberikan hal tersebut dan tidak layak untuk berdiam diri. Oleh
karenanya menurut Anderson adalah sesuatu yang sah bagi seorang ilmuwan
politik memberikan saran-saran kepada pemerintah maupun pemegang otoritas
4
pembuat kebijakan agar kebijakan yang dihasilkannya mampu memecahkan
persoalan-persoalan dengan baik. Tentunya pengetahuan yang didasarkan pada
fakta adalah prasyarat untuk menentukan dan menghadapi masalah-masalah
masyarakat.
3. Alasan politis (political reason).
Mempelajari kebijakan publik pada dasarnya dimaksudkan agar
pemerintah dapat menempuh kebijakan yang tepat guna mencapai tujuan yang
tepat pula. Sebagaimana telah diuraikan di atas beberapa ilmuwan politik
cenderung pada pilihan bahwa studi kebijakan publik seharusnya diarahkan untuk
memastikan apakah pemerintah mengambil kebijakan yang pantas untuk
mencapai tujuan-tujuan yang tepat. Mereka menolak pendapat bahwa analis
kebijakan harus bebas nilai. Bagi mereka ilmuwan politik tidak dapat berdiam diri
atau tidak berbuat apa-apa mengenai masalah-masalah politik. Mereka ingin
memperbaiki kualitas kebijakan politik dalam cara-cara menurut yang mereka
sangat diperlukan, meskipun dalam masyarakat seringkali terdapat perbedaan
substansial mengenai kebijakan apa yang disebut ‘benar’ dan ‘tepat’ itu.
C. SIAPA YANG MEMBUAT KEBIJAKAN
Para pembuat kebijakan adalah orang yang mempunyai wewenang yang sah untuk
ikut serta dalam formulasi hingga penetapan kebijakan publik. Yang termasuk dalam
pembuat kebijakan secara normatif adalah legislatif, eksekutif, administratur dan para
hakim. Dalam tulisan James Anderson (1979), Charles Lindblom (1980), maupun
James P. Lester dan Joseph Steward, Jr (2000), aktor- aktor atau pemeran serta dalam
proses pemnbentukan kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu para
pemeran serta resmi dan para pemeran serta tidak resmi. Yang termasuk kedalam
pemeran serta resmi adalah agen-agen pemerintah (birokrasi), presiden (eksekutif),
legislative dan yudikatif. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok peran serta tidak
resmi meliputi kelompok-kelompok kepentingan, partai politik dan warganegara
individu.
Secara umum sesungguhnya aktor ini dapat dikategorikan dalam tiga yaitu aktor
publik, aktor privat dan aktor masyarakat (civil society). Ketiga aktor ini sangat
5
berperan dalam sebuah proses penyusunan kebijakan publik (Moore 1995:112).
Berikut ini disajikan para pemeran dalam perumusan kebijakan publik.
Peran Lembaga Formal dalam Perumusan Kebijakan :
1. Badan- badan administasi (agen-agen pemerintah)
Sistem administrasi di seluruh dunia mempunyai perbedaan dalam hal
karakteristik-karakteristik seperti ukuran dan kerumitan, organisasi , struktur
hierarkhis dan tingkat otonomi. Walaupun doktrin mengatakan bahwa badan-
badan administasi dianggap sebagai badan pelaksana telah diakui secara umum
dalam ilmu politik, namun bahwa politik dan administrasi telah bercampur aduk
menjadi satu juga telah menjadi aksioma yang diakui kebenarannya. Hal ini
terutama didasarkan atas konsep adminsitrasi baru yang diintrodusir oleh George
Frederickson melalui bukunya New Publik Administration (1980) yang tak lagi
membahas dikotomi administrasi public dan politik.
Dalam masyarakat- masyarakat industri yang mempunyai tingkat
kompleksitas yang tinggi, badan-badan administrasi sering membuat banyak
keputusan mempunyai konsekuensi-konsekuensi politik dan kebijakan yang luas.
Hal ini terjadi karena disamping tingkat kompleksitas masyarakat industri itu
sendiri, juga disebabkan oleh alasan-alasan teknis, banyaknya masalah kebijakan,
kebutuhan untuk melestarikan control serta waktu dan informasi dari para anggota
legislative sehingga banyak sekali wewenang yang didelegasikan.
2. Presiden (eksekutif)
Presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai peran yang penting dalam
perumusan kebijakan. Keterlibatan presiden dalam perumusan kebijakan dapat
dilihat dalam komisi-komisi presidensial maupun dalam rapat- rapat kabinet.
Dalam beberapa kasus, presiden terlibat secara personal dalam perumusan
kebijakan, seperti misalnya keterlibatan Presiden Jimmy Carter dalam perumusan
kebijakan presiden. Dia suka terlihat lebih aktif dalam memberikan inisiatif
pembuatan perundang-undangan dan menggunakan stafnya untuk mempersiapkan
lebih banyak peraturan perundang-undangan untuk keperluan congressional
review. Selain keterlibatan secara langsung yang dilakukan oleh presiden juga
membentuk kelompok- kelompok atau komisi- komisi penasehat yang terdiri dari
6
warganegara swasta maupun pejabat-pejabat yang ditujukan untuk menyelidi
kebijakan tertentu dan mengembangkan usul-usul kebijakan.
3. Lembaga Yudikatif
Lembaga ini memainkan peran yang besar dalam pembentukan kebijakan di
Amerika Serikat. Namun sejauhmana badan ini mempunyai pengaruh di dalam
pembentukan kebijakan di Indonesia tentunya memerlukan telaah lebih lanjut,
walaupun jika didasarkan pada undang-undang dasar badan ini mempunyai
kekuasaan yang cukup besar untuk mempengaruhi kebijakan public melalui
pengujian kembali suatu undang-undang atau peraturan.
Pada dasanya tinjauan yudisial merupakan kekuasaan pengadilan untuk
menentukan apakah tindakan-tindakan yang diambil oleh cabang-cabang
eksekutif maupun legisaltif sesuai dengan konstitusi atau tidak. Bila keputusan-
keputusan tersebut melawan atau bertentangan dengan konstitusi Negara, maka
badan yudikatif berhak membatalkan atau menyatakan tidak sah terhadap
peraturan atau undang-undang yang telah ditetapkan.
4. Lembaga Legislatif
Di Amerika Serikat lembaga ini dikenal sebagai kongres. Dalam kasus
Indonesia lembaha ini sering kita sebut sebagai DPR. Lembaga ini bersama-sama
dengan pihak eksekutif (presiden dan pembantu- pembantunya), memegang
peranan yang cukup krusial di dalam perumusan kebijakan. Setiap undang-undang
menyangkut persoalan-persoalan public harus mendapatkan persetujuan dari
lembaga legislatif. Selain itu keterlibatan langsung legislative dalam perumusan
kebijakan juga dapat dilihat dari mekanisme dengar pendapat, penyelidikan-
penyelidikan dan kontak-kontak yang mereka lakukan dengan pejabat-pejabat
adminsitrasi, kelompok-kelompok kepentingan dan lain sebagainya.
Peran Lembaga Informal dalam Perumusan Kebijakan
Selain lermbaga- lembaga formal di atas yang terlibat dalam perumusan
kebijakan masih ada elemen lain yang berpartisipasi dalam proses perumusan
kebijakan yakni :
7
1. Kelompok Kepentingan
Kelompok ini merupakan pemeran serta tidak resmi yang memainkan peran
penting dalam pembentukan kebijakan di hamper semua Negara. Perbedaan yang
mugkin ada tergantung pada apakah Negara-negara tersebut demokratis atau
otoriter, modern atau berkembang. Perbedaan itu menyangkut keabsahan serta
hubungan antara pemerintah dengan kelompok-kelompok tadi. Dengan demikian
dalam system politik demokratis kelompok-kelompok kepentingan akan lebih
memainkan peran yang penting dengan kegiatan yang lebih terbuka dibandingkan
dengan sistem otoriter. Hal ini terjadi karena dalam system politik demokrasi
kekebasan berpendapat dilindungi, serta warganegara lebih mempunyai
keterlibatan politik . Walaupun dalam kedua system yang disebutkan di atas
kelompok-kelompok kepentingan berbeda dalam hal hubungan dan sifat
aktivitasnya, namun disemua system tadi kelompok-kelompok kepentingan
menjalankan fungsi artikulasi kepentigan yaitu mereka berfungsi menyatakan
tuntutan-tuntutan dan memberikan alternative tindakan kebijakan.
Menurut Gbariel A. Almond jenis-jenis kelompok kepentingan meliputi :
pertama, Kelompok Anomic : kelompok yang terbentuk diantara unsure-unsur
dalam masyarakat secara spontan dan hanya seketika dank arena itu tidak
memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur, maka kelompok ini seringa
tumpang tindih (Overlap) dengan bentuk-bentuk partisipasi politik non
konvesional, seperti demonstrasi, kerusuhan, tindakan kekerasan politik dan lain-
lain. Kedua, kelompok Non Assosiasional: kelompok yang termasuk kategori
kelompok masyaralat awam (belum maju) dan tidak terorganisir rapid an
kegiatannya bersifat temporer. Wujud kelompok ini antara lain kelompok
keluarga, keturunan, etnis, regional yang menyatakan kepentingan secara
kandangkala melalui individu-individu, kepala keluarga dan atau pemimpin
agama. Ketiga, kelompok Institusional: kelompok formal yang memiliki struktur,
visi, misi, tugas dan fungsi serta sebagai artikulasi kepentingan. Contohnya,
Partai Politik, Korporasi Bisnis, Badan Legislatif, Militer, Birokrasi dan lain-lain.
Keempat, Kelompok Assosiasional: kelompok yang terbentuk dari masyarakat
dengan fungsi untuk mengartikulasi kepentingan anggotanya kepada pemerintah
8
atau perusahaan pemilik modal. Contohnya, Serikat Buruh, KADIN, Paguyuban,
MUI, NU, Muhammadiyah, KWI dan lain-lain.
2. Partai Politik
Dalam sistem demokrasi, partai-partai politik memegang peran penting.
Dalam sistem tersebut, partai politik digunakan sebagai alat untuk meraih
kekuasaan. Hal ini berarti bahwa partai politik pada dasarnya lebih berorientasi
kepada kekuasaan dibandingkan dengan kebijakan publik. Namun demikian peran
serta dalam perumusan kebijakan publik cukup besar.
Dalam masyarakat modern, partai-partai politik seringkali melakukan
“agregasi kepentingan”. Partai Politik tersebut berusaha untuk mengubah
tuntutan-tuntutan tertentu dari kelompok-kelompok kepentingan menjadi
alternative-alternatif kebijakan. Dalam sistem dua partai predominan seperti di
Amerika Serikat dan Inggris, keinginan untuk memperoleh dukungan pemilih
mengharuskan partai-partai ini untuk memasukkan dalam “paket” kebijakan
mereka tuntutan-tuntutan yang mempunyai dukungan luasdari para pemilih atau
rakyat serta mencegah kelompok-kelompok yang menonjol untuk menjauhkan
diri. Sementara dalam system multi partai seperti di Negara Prancis, partai-partai
politik kurang memiliki peran dalam mengagregasikan kepentingan. Mereka
biasanya bertindak sebagai wakil-wakil dan kepentingan-kepentingan yang
terbatas. Pada umumnya, walaupun partai-partai politik ini mempunyai jangkauan
yang lebih luas dibandingkan dengan kelompok-kelompok kepentingan, namun
mereka lebih cenderung bertindak sebagai perantara daripada pendukung
kepentingan-kepentingan tertentu dalam pembentukan kebijakan. Sedangkan
dalam system satu partai, partai politik merupakan kekuatan yang predominan
dalam pembentukan kebijakan.
3. Warganegara Individu
Dalam pembahasan mengenai pembuatan kebijakan, warganegara individu
sering diabaikan dalam hubungannya dengan legislative, kelompok kepentingan
serta pemeran serta lainnya yang lebih menonjol. Walaupun tugas pembentukan
kebijakan pada dasarnya diserahkan kepada para pejabat public, namun dalam
9
beberapa hal para individu warganegara individu ini masih dapat mengambil
peran secara aktif dalam pengambilan keputusan.
Peran serta warganegara dalam sistem politik, walaupun sistem politik
tersebut merupakan sistem politik demokrasi, sering dianggap mempunyai peran
serta yang rendah. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak orang yang
tidak memberikan suaranya pada waktu pemilihan umum, tidak ikut serta dalam
kegiatan partai politik, serta tidak terlibat dalam kelompok-kelompok penekan
serta mempunyai perhatian yang rendah terhadap sistem politik.
Dinegara-negara yang mendasarkan diri pada sistem otoriter, kepentingan-
kepentingan dan keinginan-keinginan para warga Negara biasanya merupakan
akibat dari kebijakan-kebijakan publik. Para diktator dalam sistem otoriter tetap
akan menaruh perhatian terhadap apa yang menjadi keinginan rakyat agar
kekacauan sedapat mungkin diminimalkan. Sementara itu di negara-negara
demokratik pemilihan umum barangkali merupakan tanggapan tidak langsung
terhadap tuntutan-tuntutan warga Negara.
Dalam hal ini, Charles Lindblom menyatakan bahwa perbedaan yang paling
menonjol antara rezim otoriter dengan rezim demokratik adalah bahwa dalam
rezim demokratik para warganegara memilih para pembentuk kebijakan puncak
dalam pemilihan-pemilihan yang murni. Beberapa ilmuwan berspekulasi bahwa
pemberian suara dalam pemilihan-pemilihan yang murni mungkin merupakan
suatu metode yang penting dari pengaruh warganegara dalam pembentukan
kebijakan karena hal ini memungkinkan warganegara untuk memilih para pejabat
dan sedikit banyak menginstrusikan pejabat-pejabat itu mengenai kebijakan
tertentu. Oleh karena itu, menurut Lindblom keinginan para warga Negara perlu
mendapat perhatian oleh para pembentuk kebijakan. Aturan yang dikemukan oleh
Lindblom ini kadang-kadang dinyatakan dalam aphorisme bahwa warga negara
mempunyai hak untuk didengar dan para pejabat mempunyai tugas untuk
mendengarkan.
10
D. CIRI DAN JENIS KEBIJAKAN PUBLIK
Ciri- ciri Kebijakan Publik :
1. Kebijakan publik merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan, bukan
tindakan yang acak dan kebetulan. Kebijakan publik dalam sisem politik modern
merupakan suatu tindakan yang direncanakan.
2. Kebijakan pada hakikatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan
berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat
pemerintah dan bukan merupakan keputusan yang beridiri sendiri. Kebijakan
tidak hanya berupa keputusan untuk membuat undang-undang, melainkan diikuti
pula dengan keputusan-keputusan yang bersangkut-paut dengan implementasi dan
pemaksaan pemberlakuannya.
3. Kebijakan bersangkut-paut dengan apa yang senyatanya dilakukan pemerintah
dalam bidang-bidang tertentu, misalnya dalam mengatur kebijakan kesehatan, dan
bukan sekedar apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah dalam bidang-bidang
tersebut.
4. Kebijakan publik mungkin berbentuk positif, mungkin pula negatif. Dalam
bentuknya yang positif, mungkin akan mencakup beberapa bentuk tindakan
pemerintah yang dimaksudkan untuk mempengaruhi masalah tertentu, sementara
dalam bentuknya yang negatif, kemungkinan meliputi keputusan-keputusan
pejabat pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak melakukan tindakan apapun
ketika campur tangan pemerintah sebenarnya diharapkan. Sudah barang tentu
tiadanya bentuk campur tangan/ keterlibatan pemerintah dapat membawa dampak
tertentu bagi seluruh atau sebagian warga.
Jenis Kebijakan Publik
Banyak pakar mengajukan jenis kebijakan publik berdasarkan sudut pandangnya
masing- masing. James Anderson. Misalnya, menyampaikan kategori tentang
kebijakan publik tersebut sebagai berikut:
1. Kebijakan substansif versus kebijakan prosedural. Kebijakan substantif yakni
kebijakan yang menyangkut apa yang akan dilakukan oleh pemerintah.
Sedangkan kebijakan prosedural adalah bagaimana kebijakan substantif tersebut
dapat dijalankan.
11
2. Kebijakan distributif versus kebijakan regulatori versus kebijakan re-
distributif. Kebijakan distributif. Kebijakan distributis menyangkut distribusi
pelayanan atau kemanfaatan pada masyarakat atau individu. Kebijakan regulatori
adalah kebijakan yang berupa pembatasan atau pelarangan terhadap perilaku
individu atau kelompok masyarakat. Sedangkan kebijakan re-distributif adalah
kebijakan yang mengatur alokasi kekayaan, pendapatan, pemilikan atau hak-hak
di antara berbagai kelompok dalam masyarakat.
3. Kebijakan material versus kebijakan simbolis. Kebijakan material adalah
kebijakan yang memberikan keuntungan sumber daya konkrit pada kelompok
sasaran. Sedangkan kebijkan simbolis adalah kebijakan yang memberikan
manfaat simbolis pada kelompok sasaran.
4. Kebijakan yang berhubungan dengan barang umum (public goods) dan
barang privat (privat goods). Kebijakan public goods adalah kebijakan yang
bertujuan mengatur pemberian barang atau pelayanan publik. Sedangkan
kebijakan privat goods adalah kebijakan yang mengatur penyediaan barang atau
pelayanan untuk pasar bebas.
E. PROSES KEBIJAKAN PUBLIK
Proses mengacu kepada cara bagaimana kebijakan dimulai, dikembangkan atau
disusun, dinegosiasi, dikomunikasikan, dilaksanakan dan dievaluasi. Pendekatan yang
paling sering digunakan untuk memahami proses kebijakan adalah dengan menggunakan
apa yang disebut ‘tahapan heuristiks’ (Sabatier dan Jenkins‐Smith 1993). Yang dimaksud
disini adalah membagi proses kebijakan menjadi serangkaian tahapan sebagai alat
teoritis, suatu model dan tidak selalu menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi didunia
nyata. Namun, serangkaian tahapan ini membantu untuk memahami penyusunan
kebijakan dalam tahapan‐tahapan yang berbeda:
Identifikasi masalah dan isu: menemukan bagaimana isu – isu yang ada dapat
masuk kedalam agenda kebijakan, mengapa isu – isu yang lain justru tidak pernah
dibicarakan.
12
Perumusan kebijakan: menemukan siapa saja yang terlibat dalam perumusan
kebijakan, bagaimana kebijakan dihasilkan, disetujui, dan dikomunikasikan. Peran
penyusunan kebijakan dalam pemerintahan dibicarakan
Pelaksanaan Kebijakan: tahap ini yang paling sering diacuhkan dan sering dianggap
sebagai bagian yang terpisah dari kedua tahap yang pertama. Namun, tahap ini yang
diperdebatkan sebagai tahap yang paling penting dalam penyusunan kebijakan
sebab bila kebijakan tidak dilaksanakan, atau dirubah selama dalam pelaksanaan,
sesuatu yang salah mungkin terjadi dan hasil kebijakan tidak seperti yang
diharapkan.
Evaluasi kebijakan: temukan apa yang terjadi pada saat kebijakan dilaksanakan –
bagaimana pengawasannya, apakah tujuannya tercapai dan apakah terjadi akibat
yang tidak diharapkan. Tahapan ini merupakan saat dimana kebijakan dapat diubah
atau dibatalkan serta kebijakan yang baru ditetapkan..
Ada sejumlah peringatan dalam penggunaan kerangka yang berguna dan sederhana
ini. Pertama, proses kebijakan terlihat seperti proses yang linier – dengan kata lain, proses
ini berjalan dengan mulus dari satu tahap ke tahap yang lain, dari penemuan masalah
hingga ke pelaksanaan dan evaluasi. Namun, sebenarnya jarang terlihat jelas sebagai
suatu proses. Mungkin pada saat tahap pelaksanaan masalah baru ditemukan atau
kebijakan mungkin diformulasikan tetapi tidak pernah mencapai tahap pelaksanaan.
Dengan kata lain, penyusunan kebijakan jarang menjadi suatu proses yang rasional –
iterative dan dipengaruhi oleh kepentingan sepihak – i.e. pelaku. Banyak yang sependapat
dengan Lindblom (1959) bahwa proses kebijakan adalah sesuatu yang dicampur aduk
oleh para penyusun kebijakan. Namun, tahap heuristics telah berlangsung sekian lama
dan tetap bermanfaat. Tahap ini dapat digunakan untuk mengkaji tidak hanya kebijakan
tingkat nasional tetapi juga internasional
Guna memahami bagaimana kebijakan disebarkan ke seluruh dunia. Dimensi paling
inti dari kebijakan publik adalah proses kebijakan. Di sini kebijakan publik dilihat
sebagai sebuah proses kegiatan atau sebagai satu kesatuan sistem yang bergerak dari satu
bagian ke bagian lain secara berkesinambungan, saling menentukan dan saling
membentuk. Beberapa ahli menjabarkan proses kebijakan publik diantaranya :
13
1. Proses Kebijakan Publik Menurut Easton
Model proses kebijakan yang paling klasik dikembangkan oleh David
Easton (1984). Easton melakukan analogi dengan sistem biologi. Pada dasarnya
sistem biologi merupakan proses interaksi antar mahluk hidup dengan
lingkungannya, yang akhirnya menciptakan kelangsungan perubahan hidup yang
relatif stabil. Dalam terminologi ini, Easton menganalogikannya dengan
kehidupan sistem politik. Kebijakan publik dengan sistem mengandaikan bahwa
kebijakan merupakan hasil atau output dari sistem (politik). Seperti dipelajari
dalam ilmu politik, sistem politik terdiri atas input, throughput dan output, seperti
digambarkan sebagai berikut:
Dari gambar tersebut dapat dipahami bahwa proses formulasi kebijakan
publik berada dalam sistem politik dengan mengandalkan pada masukan (input)
yang terdiri atas dua hal, yaitu tuntutan dan dukungan. Model Easton inilah yang
dikembangkan oleh para akademis di bidang kebijakan publik, seperti: Anderson,
Dunn, Patton dan Savicky, dan Effendy.
2. Tahap- Tahap Kebijakan Publik Menurut William Dunn
James E. Anderson, David W. Brady, dan Charles Bullock III (1978) membagi
proses kebijakan menjadi:
1. Agenda kebijakan (policy agenda)
2. Perumusan kebijakan (policy formulation)
3. Penetapan kebijakan (policy adoption)
14
4. Pelaksanaan kebijakan (policy implementation)
5. Evaluasi kebijakan (policy evaluation)
Model ini selanjutnya dibandingkan dengan model proses kebijakan yang
dikembangkan oleh William N. Dunn sebagai berikut:
William Dunn menjabarkan tahapan kebijakan terdiri dari 4 proses:
1. Penyusunan Agenda
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam
realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk
memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam
agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status
sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik,
maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih
daripada isu lain.
Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu
publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan
(policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy
problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat
di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh,
atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut.
15
Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi
dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun
penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk
menjadi suatu agenda kebijakan.
Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik
(Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986),
diantaranya:
1. Telah mencapai titik kritis tertentu yang jika diabaikan, akan menjadi
ancaman yang serius;
2. Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang berdampak dramatis;
3. Menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak (umat
manusia) dan mendapat dukungan media massa;
4. Menjangkau dampak yang amat luas ;
5. Mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;
6. Menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi
mudah dirasakan kehadirannya)
Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat
urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan
tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.
2. Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas
oleh para pembuat kebijakan. Masalah- masalah tadi didefinisikan untuk
kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah
tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama
halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda
kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing- masing alternatif
bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk
memecahkan masalah.
3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar
pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh
16
kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun
warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah mendukung.
Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan
niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir
pemerintahan disonansi. Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-
simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung
pemerintah.
4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan
yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi,
implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu
kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada
tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan.
Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-
masalah kebijakan, program- program yang diusulkan untuk menyelesaikan
masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
3. Proses Kebijakan Publik oleh Patton dan Savicky
Proses kebijakan model ini dikembangkan melalui siklus proses kebijakan sebagai
berikut:
1. Mendefinisikan masalah (define the problem)
2. Menentukan kriteria evaluasi (detrmine evaluation criteria)
3. Mengidentifikasi kebijakan-kebijakan alternatif (identify alternative policies)
4. Mengevaluasi kebijakan-kebijakan alternatif (evaluate alternative policies)
5. Menyeleksi kebijakan-kebijakan pilihan (select preferred policy)
6. Menerapkan kebijakan-kebijakan pilihan (implement the preferred policy)
4. Model proses kebijakan oleh Thomas R. Dye
Model proses kebijakan ini terdiri dari :
1. Identifikasi masalah kebijakan (identification of policy problem)
2. Pengaturan agenda (agenda setting)
3. Perumusan kebijakan (policy formulation)
17
4. Pengesahan kebijakan (policy legitimation)
5. Pelaksanaan kebijakan (policy implementation)
6. Evaluasi kebijakan (policy evaluation)
Dalam bidang kesehatan, proses kebijakan publik sama halnya dengan proses
kebijaka publik lainnya, hanya saja kerangka konsep yag digunakan mengacu pada
determinan kesehatan yang mempengaruhi proses kebijakan lainnya.
Model konseptual untuk penyusunan kebijakan kesehatan (Sumber: Ruward
et.al.1994 in Spasoff, 1999 ).
Sedangkan model proses kebijakan publik di bidang kesehatan berkaitan dengan
epidemiologi adalah : (sumber: Epidemiologi Perencanaan dan Pelayanan
Kesehatan, Ridwan, 2011)
18
Autonomous developments
Health policy
determinants
Health status
Assesment of population health
Policy Implementation
Policy choices
Assesment of potential intervention
Policy Evaluation
Siklus seperti pada gambar diatas akan memberi framework pada organisasi.
Siklus telah dibatasi kedalam langkah langkah yang lebih sederhana. Beberapa siklus
kebijakan meliputi langkah agenda-setting, dengan melihat issu-issu yang
dipertimbangkan menjadi kebijakan. Langkah ini ditempati oleh identifikasi masalah dan
kebutuhan, dimana banyak arah dalam agenda kebijakan, hal hal ini dapat menjadi
kontribusi epidemiologi. Penyusunan alternatif tindakan, estimasi konsekuensi, dan
pemilihan satu atau lebih kegiatan untuk implememntasi yang telah dikombinasikan ke
dalam langkah tunggal dari pemilihan pengambilan kebijakan.
Spesifikasi tujuan menjadi hal yang mendasar dalam pengambilan kebijakan,
spesifikasi tujuan dalam perspektif epidemiologi menjadi tool dalam implementasi dan
evaluasi. Dalam setiap siklus diharapkan epidemiologi dapat memberi kontribusi.
F. EPIDEMIOLOGI TERHADAP PROSES KEBIJAKAN KESEHATAN
Epidemiologi memberikan kontribusi terhadap siklis kebijakan diantaranya sbb:
(Sumber: Epidemiologi Perencanaan dan Pelayanan Kesehatan, Ridwan Amiruddin,
2011)
1. Assessment of population health.
Ahli epidemiologi dapat berkontribusi terhadap konseptual dan pengukuran
Kesehatan, menggunakan keahliannya dalam megolah data kesehatan populasi. Lebih
khusus lagi, mereka dapat menilai kebutuhan Kesehatan dan risiko-risikonya,
menentukan dampak masalah Kesehatan terhadap Masyarakat, dan menilai
inequalitas dalam Kesehatan. Hampir semua riset epidemiologi terikat dengan
determinan penyebab sehat dan masalah Kesehatan.
2. Assessment of potential interventions
Ahli epidemiologi dapat mengavaluasi dan menyusun fakta berdasarkan efikasi
intervensi yang potensial dan menilai efektifitasnya.
3. Policy choices
Ahli apidemiologi dapat memberi saran terhadap penceghaan penyakit, model
dampak dari variasi intervensi terhadap Kesehatan populasi secatra keseluruhan, dan
memberikan dasar tujuan untuk memilih prioritas diantara banyak pilihan.
19
4. Policy implementation
Ahli epidemiologi dapat berkontribusi untuk menyusun tujuan dan objective
yang berarti, menyediakan dasar-dasar rasional untuk alokasi resoursis, dan memberi
saran terhadap data yang dibutuhkan untuk mendukung evaluasi kebijakan.
5. Policy evaluation
Ahli epidemiologi dapat membantu mengembangkan desain riset yang valid dan
reliable, dan dapat melaksanakan surveilens masalah Kesehatan dan pelayanan
Kesehatan, mendeteksi kejadian yang tidak biasa dan mengevaluasi variasi wilayah
dalam pelayanan Kesehatan.
G. ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK DI BIDANG KESEHATAN
William N. Dunn (2000) mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah
suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metode
penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan
dengan kebijakan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka
memecahkan masalah-masalah kebijakan. Weimer and Vining, (1998:1): The product
of policy analysis is advice. Specifically, it is advice that inform some public policy
decision. Jadi analisis kebijakan publik lebih merupakan nasehat atau bahan
pertimbangan pembuat kebijakan publik yang berisi tentang masalah yang dihadapi,
tugas yang mesti dilakukan oleh organisasi publik berkaitan dengan masalah tersebut,
dan juga berbagai alternative kebijakan yang mungkin bisa diambil dengan berbagai
penilaiannya berdasarkan tujuan kebijakan.
Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk
membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah
publik. Di dalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan
dengan masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai alternatif
kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat
kebijakan.
Analisis kebijakan terdiri dari beberapa bentuk, yang dapat dipilih dan
digunakan. Pilihan bentuk analisis yang tepat, menghendaki pemahaman masalah
secara mendalam, sebab kondisi masalah yang cenderung menentukan bentuk analisis
yang digunakan. Berdasarkan pendapat para ahli (Dunn, 1988; Moekijat, 1995;
20
Wahab, 1991) dapat diuraikan beberapa bentuk analisis kebijakan yang lazim
digunakan sbb:
1. Analisis Kebijakan Prospektif
Bentuk analisis ini berupa penciptaan dan pemindahan informasi sebelum
tindakan kebijakan ditentukan dan dilaksanakan. Menurut Wiliam (1971), ciri analisis
ini adalah:
mengabungkan informasi dari berbagai alternatif yang tersedia, yang dapat
dipilih dan dibandingkan.
Diramalkan secara kuantitatif dan kualitatif untuk pedoman pembuatan
keputusan kebijakan.
Secara konseptual tidak termasuk pengumpulan informasi.
2. Analisis Kebijakan Restrospektif (AKR)
Bentuk analisis ini selaras dengan deskripsi penelitian, dengan tujuannya adalah
penciptaan dan pemindahan informasi setelah tindakan kebijakan diambil. Beberapa
analisis kebijakan restropektif, adalah:
1. Analisis berorientasi Disiplin, lebih terfokus pada pengembangan dan pengujian
teori dasar dalam disiplin keilmuan, dan menjelaskan sebab akibat kebijakan.
Contoh: Upaya pencarian teori dan konsep kebutuhan serta kepuasan tenaga
kesehatan di Indonesia, dapat memberi kontribusi pada pengembangan
manajemen SDM original berciri Indonesia (kultural). Orientasi pada tujuan dan
sasaran kebijakan tidak terlalu dominan. Dengan demikian, jika ditetapkan untuk
dasar kebijakan memerlukan kajian tambahan agar lebih operasional.
2. Analisis berorientasi masalah, menitikberatkan pada aspek hubungan sebab akibat
dari kebijakan, bersifat terapan, namun masih bersifat umum. Contoh: Pendidikan
dapat meningkatkan cakupan layanan kesehatan. Orientasi tujuan bersifat umum,
namun dapat memberi variabel kebijakan yang mungkin dapat dimanipulasikan
untuk mencapai tujuan dan sasaran khusus, seperti meningkatnya kualitas
kesehatan gigi anak sekolah melalui peningkatan program UKS oleh puskesmas.
3. Analisis beriorientasi penerapan, menjelaskan hubungan kausalitas, lebih tajam
untuk mengidentifikasi tujuan dan sasaran dari kebijakan dan para pelakunya.
Informasi yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil kebijakan
21
khusus, merumuskan masalah kebijakan, membangun alternatif kebijakan yang
baru, dan mengarah pada pemecahan masalah praktis. Contoh: analis dapat
memperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau
kegagalan pelayanan KIA di Puskesmas. Informasi yang diperoleh dapat
digunakan sebagai dasar pemecahan masalah kebijakan KIA di puskesmas.
3. Analisis Kebijakan Terpadu
Bentuk analisis ini bersifat konprehensif dan kontinyu, menghasilkan dan
memindahkan informasi gabungan baik sebelum maupun sesudah tindakan kebijakan
dilakukan. Menggabungkan bentuk prospektif dan restropektif, serta secara ajeg
menghasilkan informasi dari waktu ke waktu dan bersifat multidispliner.
Bentuk analisis kebijakan di atas, menghasilkan jenis keputusan yang relatif
berbeda yang, bila ditinjau dari pendekatan teori keputusan (teori keputusan deksriptif
dan normatif), yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Teori Keputusan Deskriptif, bagian dari analisis retrospektif, mendeskripsikan
tindakan dengan fokus menjelaskan hubungan kausal tindakan kebijakan, setelah
kebijakan terjadi. Tujuan utama keputusan adalah memahami problem kebijakan,
diarahkan pada pemecahan masalah, namun kurang pada usaha pemecahan
masalah.
2. Teori Keputusan Normatif, memberi dasar untuk memperbaiki akibat tindakan,
menjadi bagian dari metode prospektif (peramalan atau rekomendasi), lebih
ditujukan pada usaha pemecahan masalah yang bersifat praktis dan langsung
H. DAMPAK KEBIJAKAN PUBLIK Beberapa dampak kebijakan publik:
1. Dampak pada masalah publik (pada kelompok sasaran) yang diharapakan atau
tidak.
2. Dampak pada kelompok diluar sasaran sering disebut eksternalitas / dampak
melimpah (spillover effects)
3. Dampak sekarang dan yang akan datang
22
4. Dampak biaya langsung dikeluarkan untuk membiayai program dan tak
langsung (yang dikeluarkan publik akibat suatu kebijakan.
Faktor Penyebab Kebijakan Tak Memperoleh Dampak yang Diinginkan
(Anderson, 1996) :
1. Sumber daya tak memadai
2. Cara implementasi tak tepat
3. Masalah publik sering disebabkan banyak faktor tetapi kebijakan yang dibuat
hanya mengatasi satu faktor saja.
4. Cara menanggapi kebijakan yang justru dapat emngurangi dampak yang
diinginkan
5. Tujuan-tujuan kebijakan tak sebanding bahkan bertentangan satu sama lain.
6. Biaya yang dikeluarkan jauh lebih besar dari masalahnya.
7. Banyak masalah publik yang tak mungkin dapat diselesaikan.
8. Timbulnya masalah baru sehingga mendorong pengalihan perhatian dan
tindakan
9. Sifat dari masalah yang akan dipecahkan
I. CONTOH PENERAPAN KEBIJAKAN PUBLIK DI BIDANG
KESEHATAN
Proses Perumusan Kebijakan Global TB/HIV oleh WHO
Kelompok Kerja Global TB/HIV menyumbang dalam perumusan kebijakan
sementara kegiatan kerjasama TB/HIV, dengan komisi penulis yang menyiapkan
versi awal dan berikutnya. Kelompok Kerja mengkoordinasikan tanggapan global
terhadap epidemi TB dan HIV yang saling bersilangan, menempa kerja sama antara
komunitas HIV/AIDS dan TB. Keanggotaannya meliputi manajer program, lembaga
23
donor, LSM, lembaga pendidikan, aktivis dan kelompok pendukung pasien yang
bekerja dengan WHO dan UNAIDS baik untuk program TB maupun HIV. Komisi
penulis meliputi pakar teknis tuberkulosis dan HIV, pembuat kebijakan dalam
manajemen kesehatan, orang yang hidup dengan HIV dan penasehatnya, manajer
program TB dan HIV nasional maupun internasional, dan lembaga donor. Naskah
kebijakan telah dibicarakan pada konperensi internasional oleh stakeholder nasional
dan internasional dalam program HIV dan TB serta telah disahkan oleh Kelompok
Kerja Global TB/HIV dan Strategic and Technical Advisory Group untuk TB
(STAG), yang memberikan kepada WHO strategi eksternal dan nasehat teknis dalam
penanggulangan TB.
Tujuan umum kebijakan ialah mengurangi beban TB dan HIV pada populasi yang
terkena kedua penyakit tersebut.
Tujuan khusus kegiatan kerja sama TB/HIV adalah:
(1) membangun mekanisme kerja sama antara program TB dan HIV/AIDS;
(2) mengurangi beban TB pada orang dengan HIV/AIDS; dan
(3) mengurangi beban HIV pada pasien TB
(Kebjakan sementara kegiatan Kerjasama TB/HIV Stop TB Department and
Department of HIV/AIDS World Health Organization, Geneva, Switzerland, 2004)
Kebijakan Mengenai DBD di Indonesia
Banyak langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah untuk mengurangi jumlah
penderita DBD di Indonesia, mulai dari program pencegahan sampai program case
management untuk masyarakat yang telah terjangkit oleh virus dengue ini, tahapan-
tahapan program tersebut, antara lain :
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yaitu kegiatan memberantas jentik
nyamuk di tempat berkembangbiaknya baik dengan cara kimia, yaitu dengan
larvasida, biologi dengan cara memelihara ikan pemakan jentik atau dengan
bakteri ataupun dengan cara fisik yang kita kenal dengan kegiatan 3M (Menguras,
Menutup, Mengubur) yakni menguras bak mandi, bak WC; menutup TPA rumah
tangga (tempayan, drum dll) serta mengubur atau memusnahkan barang-barang
bekas (kaleng, ban dll).
24
Pencegahan penyakit DBD melalui metode lingkungan atau fisik untuk
mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan
nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah. Sebagai
contoh :
Menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu.
Mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu sekali
Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah dan
lain sebagainya.
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) pada dasarnya, untuk memberantas
jentik atau mencegah agar nyamuk tidak dapat berkembang biak.
Pemberantasannya perlu peran aktif masyarakat khususnya memberantas jentik
Aedes.aegypti di rumah dan lingkungannya masing-masing. Cara ini adalah suatu
cara yang paling efektif dilaksanakan karena :
tidak memerlukan biaya yang besar
bisa dilombakan untuk menjadi daerah yang terbersih
menjadikan lingkungan bersih
budaya bangsa Indonesia yang senang hidup bergotong royong
dengan lingkungan yang baik tidak mustahil, penyakit lain yang diakibatkan
oleh lingkungan yang kotor akan berkurang.
2. Program 3M Plus
Sebenarnya pelaksanaan 3M Plus merupakan upaya Pemberantasan Sarang
Nyamuk yang sederhana dan efektif. Melalui program ini, masyarakat dapat
memutus rantai perkembang biakan nyamuk Aedes Aegypti. Sebagai gambaran,
beberapa hal pembersihan yang dilakukan dalam 3M Plus merupakan upaya untuk
mempersempit penyediaan sarang reproduksi bagi hewan vektor penyakit ini dan
hal ini merupakan bagian yang sangat penting sebagai langkah awal untuk
menghindari peningkatan prevalensi penderita PBD serta menghindari terjadinya
KLB pada penyakit ini. Sedangkan untuk membasmi jumlah nyamuk dewasa
yang telah dapat berkembang biak, dapat dilakukan dengan pengasapan (fogging)
digunakan untuk mengurangi jumlah nyamuk dewasa yang dapat bertelur
25
sebanyak 200 – 400 per hari. Jika dibandingkan dari kedua langkah diatas, tentu
saja program 3M Plus memiliki peranan yang sangat penting untuk membatasi
penyebaran virus penyakit ini asalkan masyarakat melakukannya secara kontinyu
dan teratur.
Permasalahan mengenai efektifitas pelaksanaan program Pemberantasan
Sarang Nyamuk melalui 3M Plus adalah kurangnya minat masyarakat untuk
melakukan semua hal tersebut. Hal ini berkaitan dengan pemahaman masyarakat
untuk terbiasa memiliki pola hidup bersih dan sehat sehingga merasa bahwa
bukan hal yang kondusif untuk hidup berdampingan dengan nyamuk Aedes
Aygepti.
Efektifitas pelaksanaan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk ini melalui
3M Plus ini dapat terlaksana dengan baik jika semua jajaran masyarakat memiliki
kesadaran untuk melakukannya secara serempak dan kontinyu di seluruh bagian
negara Indonesia in. Atupun dapat ditambah dengan adanya kebijakan dari
pemerintah pusat ataupun daerah mengenai pentingnya melakukan 3M Plus yang
disertai dengan pemberlakuan punishment bagi tiap masyarakat yang tidak
melakukan ataupn terlibat di dalam program Pemberantasan Sarang Nyamuk
(PSN) ini. Sebagai contoh, mungkin kita dapat mengikuti pemberlakuan
kebijakan di negara Singapura dan Malaysia yang memberikan denda bagi
warganya yang kedapatan terdapat jentik nyamuk Aedes Aegypti di rumahnya.
Atupun seperti Sri Lanka menggunakan gerakan Green Home Movement untuk
tujuan yang sama yaitu menempelkan stiker hijau bagi rumah yang memenuhi
syarat kebersihan dan kesehatan termasuk bebas dari jentik nyamuk Aeds Aegypti
dan menempelkan stiker hitam pada rumah yang tidak memenuhi syarat
kebersihan dan kesehatan. Bagi pemilik rumah dengan stiker hitam akan dberikan
peringatan sebanyak 3 kali dan jka tidak dilakukan akan dikenai denda.
Sedangkan untuk para pejabat pemerintahan Indonesia, mungkin dapat meniru
semangat Jendral Grogas dalam membasmi penyakit ini dari Kuba pada 100 tahun
yang lalu yaitu dengan menggunakan metode pelaksanaan progam – program
PSN secara serentak dan besar – besaran di seluruh negeri.
26
Semua contoh diatas seharusnya dapat dijadikan contoh oleh tiap daerah yang
berpotensi menjadi daerah endemi DBD ketika musim penghujan datang apalagi
saat ini telah adanya otonomi daerah yang dapat memberikan kebebasan kepada
tiap derah untuk menyusun program ataupun kegiatan yang bertujuan untuk
membasmi sarang nyamuk secara benar tanpa terlupakan adanya pengawasan dari
pihak pemerintahan pusat.
3. Abatisasi (Larvasiding)
Larvasiding adalah pemberantasan jentik dengan bahan kimia dengan
menaburkan bubuk larvasida. Pemberantasan jentik Aedes aegypti dengan bahan
kimia terbatas untuk wadah (peralatan) rumah tangga yang tidak dapat
dimusnahkan, dibersihkan,dikurangi atau diatur. Dalam jangka panjang penerapan
kegiatan larvasiding sulit dilakukan dan mahal. Kegiatan ini tepat digunakan
apabila survelans penyakit dan vector menunjukkan adanya periode berisiko
tinggi dan di lokasi dimana wabah mungkin timbul. Menentukan waktu dan
tempat yang tepat untuk pelaksanaan larvasiding sangat penting untuk
memaksimalkan efektifitasnya.
Terdapat 2 jenis larvasida yang dapat digunakan pada wadah yang dipakai
untuk menampung air minum (TPA) yakni: temephos (Abate 1%) dan Insect
growth regulators (pengatur pertumbuhan serangga) Untuk pemberantasan larva
dapat digunakan abate 1 % SG. Cara ini biasanya digunakan dengan menaburkan
abate kedalam bejana tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan,
drum dapat mencegah adanya jentik selama 2-3 bulan. Kegiatan larvasiding
meliputi:
a. Abatisasi selektif
Abatisasi selektif adalah kegiatan pemeriksaan tempat penampungan air
(TPA) baik didalam maupun diluar rumah pada seluruh rumah dan bangunan di
desa/kelurahan endemis dan sporadik dan penaburan bubuk abate (larvasida) pada
TPA yang ditemukan jentik dan dilaksanakan 4 kali setahun. Pelaksana abatisasi
adalah kader yang telah dilatih oleh petugas Puskesmas.Tujuan pelaksanaan
27
abatisasi selektif adalah sebagai tindakan sweeping hasil penggerakan masyarakat
dalam PSN-DBD.
b. Abatisasi massal
Abatisasi massal adalah penaburan abate atau altosid (larvasida) secara
serentak diseluruh wilayah/daerah tertentu disemua TPA baik terdapat jentik
maupun tidak ada jentik di seluruh rumah/bangunan. Kegiatan abatisasi massal ini
dilaksanakan dilokasi terjadinya KLB DBD. Dalam kegiatan abatisasi massal
masyarakat diminta partisipasinya untuk melaksanakan pemberantasan Aedes
aegypti di wilayah masing-masing. Tenaga di beri latihan dahulu sebelum
melaksanakan abatisasi, agar tidak mengalami kesalahan.
4. Fogging
Fogging merupakan suatu kegiatan penyemprotan insektisida dan PSN-DBD
serta penyuluhan pada masyarakat sekitar kasus dengan radius 200 meter,
dilaksanakan 2 siklus dengan interval 7 hari oleh petugas. Biasanya Fogging
diadakan 2 kali di suatu tempat menggunakan malathion dalam campuran solar
dosis 438 g/ha. (500 ml malathion 96%technical grade/ha). Sasaran adalah rumah
serta bangunan di pinggir jalan yang dapat dilalui mobil di desa endemis tinggi.
Alat yang dipakai swing fog SN 1 untuk bangunan dan mesin ULV untuk
perumahan. Waktu pengasapan pagi dan sore ini dengan memperhatikan
kecepatan angin dan suhu udara. Fogging dilakukan oleh tim yang terlatih dari
Dinas Kesehatan Propinsi dan Pusat sesudah survei dasar. Penanggulangan
fogging fokus ini dilakukan dengan maksud untuk mencegah/membatasi
penularan penyakit. Cara ini dapat dilakukan untuk nyamuk dewasa maupun
larva. Untuk nyamuk dewasa saat ini dilakukan dengan cara pengasapan (thermal
fogging) atau pengagutan (colg Fogging = Ultra low volume). Pemberantasan
nyamuk dewasa tidak dengan menggunakan cara penyemprotan pada dinding
(resisual spraying) karena nyamuk Ae.aegypti tidak suka hinggap pada dinding,
melainkan pada benda-benda yang tergantung seperti kelambu dan pakaian yang
tergantung. Untuk pemakaian di rumah tangga dipergunakan berbagai jenis
insektisida yang disemprotkan yang disemprotkan kedalan kamar atau ruangan
misalnya, golongan organophospat atau pyrethroid synthetic.[30]
28
Adapun syarat-syarat untuk melakukan fogging, yaitu:
1. Adanya pasien yang meninggal di suatu daerah akibat DBD.
2. Tercatat dua orang yang positif terkena DBD di daerah tersebut.
3. Lebih dari tiga orang di daerah yang sama, mengalami demam.Plus adanya
jentik-jentik nyamuk Aedes Aegypti.
Apabila ada laporan DBD di rumah sakit atau puskesmas di suatu daerah,
maka pihak rumah sakit harus segera melaporkan dalam waktu 24 jam, setelah itu
akan langsung diadakan penyelidikan epidemiologi kemudian baru fogging fokus.
5. Surveilans Epidemiologi
Surveilans Epidemiologi DBD adalah kegiatan analisis secara sistematis dan
terus menerus terhadap penyakit DBD dan kondisi yang memperbesar resiko
terjadinya, dengan maksud agar peningkatan dan penularannya dapat dilakukan
tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan
data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara
program kesehatan. Proses surveilans dibagi menjadi dua kegiatan,yaitu :
1. Kegiatan inti; mencakup (1) surveilans: deteksi, pencatatan, pelaporan,
analisis, konfirmasi dan umpan balik (2) tindakan: respon segera (epidemic
type response) dan respon terencana (management type response)
2. Kegiatan pendukung; mencakup, pelatihan, supervisi, penyediaan dan
manajemen sumber daya.
Program surveilans epidemiologi DBD meliputi surveilans penyakit yang
dilakukan dengan cara meminta laporan kasus dari rumah sakit dan sarana
kesehatan serta surveilans vektor yang dilakukan dengan melakukan penelitian
epidemiologi di daerah yang terjangkit DBD. Pelaksanaan surveilans
epidemiologi vektor DBD untuk deteksi dini biasanya dilakukan penelitian di
tempat-tempat umum; sarana air bersih; pemukiman dan lingkungan perumahan;
dan limbah industri, RS serta kegiatan lain.
Kegiatan di atas dilakukan oleh petugas kesehatan, juru pemantau jentik dan
tim pemberantasan nyamuk di sekolah dan masyarakat. Sebagai indikator
keberhasilan program tersebut adalah Angka Bebas Jentik (ABJ).
29
Surveilans epidemiologi penyakit DBD memegang peranan penting dalam
upaya memutus mata rantai penyakit DBD. Namun, pada kenyataanya belum
berjalan dengan baik disebabkan karena faktor eksternal dan internal, misalnya
petugas puskesmas tidak menjalankan tugas dengan sebagaimana mestinya dalam
melakukan Pemantauan Jentik Berkala (PJB).
Berdasarkan surveilans epidemiologi DBD yang telah dilakukan peningkatan
dan penyebaran jumlah kejadian penyakit DBD ada kaitannya dengan beberapa
hal berikut:
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi
2. Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali
3. Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis
4. Peningkatan sarana transportasi
Badan Litbangkes berkerja sama dengan Namru telah mengembangkan suatu
sistem surveilen dengan menggunakan teknologi informasi (Computerize) yang
disebut dengan Early Warning Outbreak Recognition System ( EWORS ).
EWORS adalah suatu sistem jaringan informasi yang menggunakan internet
yang bertujuan untuk menyampaikan berita adanya kejadian luar biasa pada suatu
daerah di seluruh Indonesia ke pusat EWORS (Badan Litbangkes. Depkes RI.)
secara cepat. Melalui sistem ini peningkatan dan penyebaran kasus dapat
diketahui dengan cepat, sehingga tindakan penanggulangan penyakit dapat
dilakukan sedini mungkin. Dalam masalah DBD pada tahun 2004, EWORS telah
berperan dalam hal menginformasikan data kasus DBD dari segi jumlah,
gejala/karakteristik penyakit, tempat/lokasi, dan waktu kejadian dari seluruh
rumah sakit DATI II di Indonesia.
6. Case Management
Berbagai macam aksi telah dicanangkan untuk mencegah munculnya dan
meluasnya kasus DBD (preventif primer). Namun, disamping aksi pencegahan,
diperlukan juga penanganan kasus yang baik demi mencegah meningkatnya
angka kematian dan Case Fatality Rate (CFR). Hal yang penting dalam
penanganan kasus adalah penegakan diagnosis dan pengobatan segera (preventif
sekunder). Sebagaimana yang diketahui, penyakit DBD sering salah didiagnosis
30
dengan penyakit lain seperti flu atau typhoid/ tipus. Hal ini disebabkan karena
infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimptomatik atau
tidak jelas gejalanya. Data dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa pasien
DBD sering menunjukkan gejala batuk, pilek, demam, mual, muntah maupun
diare. Masalah bisa bertambah karena virus tersebut dapat masuk bersamaan
dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau tipus. Oleh karena itu perlu kejelian
pemahaman tentang perjalanan penyakit virus dengue, patofisiologi, dan
ketajaman pengamatan klinis. Untuk memperoleh kepastian tentang diagnosis,
perlu juga dilakukan pemeriksaan penunjang di laboratorium.
Penegakan diagnosis dengan cepat sangat penting karena memberikan efek
yang besar terhadap prognosis penyakit. Jika terjadi keterlambatan sedikit saja,
keadaan pasien bisa jauh lebih parah karena fase klinis penyakit DBD cukup
pendek. Keputusan perawatan yang diberikan juga harus sesuai dengan kondisi
pasien, apakah rawat inap biasa sudah cukup atau harus mendapatkan perawatan
intensif di ICU.
31
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Kebijakan kesehatan dapat meliputi kebijakan publik dan swasta tentang
kesehatan. Kebijakan kesehatan diasumsikan untuk merangkum segala arah
tindakan (dan dilaksanakan) yang mempengaruhi tatanan kelembagaan,
organisasi, layanan dan aturan pembiayaan dalam system kesehatan.
2. Model proses kebijakan yang dikembangkan oleh para para ilmuwan kebijakan
publik di atas mempunyai satu kesamaan yaitu bahwa proses kebijakan berjalan
dari formulasi menuju implementasi, untuk mencapai kinerja kebijakan. Pola
kesamaan tersebut menjelaskan bahwa proses kebijakan adalah dari gagasan
kebijakan, formalisasi dan legalisasi kebijakan, implementasi, baru kemudian
menuju kinerja atau mencapai prestasi yang diharapkan sebagai hasil dari
evaluasi kinerja kebijakan.
3. Dalam proses kebijakan, Epidemiologi memberikan kontribusi berupa penilaian
terhadap kesehatan populasi dan intervensi yang mungkin ditegakkan, pemilihan
dan pelaksanaan kebijakan serta evaluasi kebijakan.
4. Beberapa contoh penerapan proses kebijakan secara global berupa kebijakan
kerjasama TB dan HIV AIDS oleh WHO serta kebijakan Nasional dalam
penanganan DBD.
B. SARAN
1. Pemerintah mempunyai tempat utama dalam pendanaan pelayanan kesehatan di
sebagian besar negara. Negara memegang peranan utama dalam mengalokasikan
sumber daya‐sumber daya untuk prioritas‐prioritas kesehatan yang berkompetisi
dan dalam mengatur cakupan kegiatan kesehatan. Olehnya itu, pemerintah
sebaiknya memberikan perhatian besar terhadap kebijakan public terutama di
bidang kesehatan agar setiap individu dapat merasakan dampak positif dari
kebijakan kesehatan.
32