Makalah Epilesi PIO
Embed Size (px)
Transcript of Makalah Epilesi PIO

TUGAS INSTALASI RAWAT JALANRSUP Dr. SARDJITO
Makalah Epilepsi
Disusun Oleh:
Kelompok 8
1. Ifo Devi Oktaviyanti (STIFAR)2. Nur Wahyu Ekaningsih (UAD)3. Tresna Mahartati (UGM)
PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER RSUP DR. SARDJITO
PERIODE OKTOBER-NOVEMBER
YOGYAKARTA
2013

Epilepsi
A. Definisi
suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan
bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi
sosial yang diakibatkannya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda
dan/atau gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau
sinkron yang terjadi di otak.
B. Etiologi
Kejang disebabkan oleh banyak faktor meliputi:
penyakit serebrovaskuler (stroke iskemik atau stroke hemoragi).
gangguan neurodegeneratif, tumor, trauma kepala.
gangguan metabolik, dan infeksi SSP (sistem saraf pusat).
gangguan tidur, stimulasi sensori atau emosi (stress).
Perubahan hormon, sepeti menstruasi, puberitas, atau kehamilan.
kebiasaan minum alcohol.
Penggunaan obat-obat yang menginduksi terjadinya kejang seperti teofilin, fenotiazin
dosis tinggi, antidepresan (terutama maprotilin atau bupropion).
C. Klasifikasi
1. Kejang parsial (awal terjadi kejang secara lokal)
disebabkan oleh suatu lesi pada beberapa bagian korteks, seperti tumor, malformasi
perkembangan atau stroke.
a) Sederhana (tanpa gangguan kesadaran)
- Disertai gejala motor
- Disertai gejala sensori khusus atau somatosensori
- Disertai gejala kejiwaan
b) Kompleks (disertai gangguan kesadaran)
- Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran dengan atau tanpa
gerakan otomatis

- Diawali gangguan kesadaran, diikuti gangguan kesadaran dengan atau tanpa
gerakan otomatis.
c) Umum sekunder
- Pada awalnya kejang parsial dan berubah menjadi kejang tonik-klonik.
2. Kejang umum (kejang umum sering disebabkan oleh genetik)
a) Absen
- Jenis yang jarang.
- Umumnya hanya terjadi pada masa anak-anak atau awal remaja.
- Penderita tiba-tiba melotot, atau matanya berkedip-kedip, dengan kepala
terkulai.
- Kejadiannya cuma beberapa detik, dan bahkan sering tidak disadari.
b) Myoklonik
- Biasanya tjd pada pagi hari, setelah bangun tidur.
- Pasien mengalami sentakan yang tiba-tiba.
- Jenis yang sama (tapi non-epileptik) bisa terjadi pada pasien normal.
c) Klonik
d) Tonik
e) Tonik-klonik
- merupakan bentuk paling banyak terjadi
- pasien tiba-tiba jatuh, kejang, nafas terengah-engah, keluar air liur
- bisa terjadi sianosis, ngompol, atau menggigit lidah
- terjadi beberapa menit, kemudian diikuti lemah, kebingungan, sakit kepala
atau tidur
f) Atonik
- Jarang terjadi
- Pasien tiba-tiba kehilangan kekuatan otot à jatuh, tapi bisa segera
recovered
g) Spasme infantil
3. Kejang yang tidak dapat diklasifikasikan
- Status epileptikus

D. Gejala Klinis
Gejala kejang yang spesifik, tergantung pada jenis kejang. Jenis kejang pada setiap
pasien dapat bervariasi, namun cenderung sama.
Somatosensori atau motor fokal terjadi pada kejang kompleks parsial.
Kejang kompleks parsial terjadi gangguan kesadaran.
Kejang absens mempunyai efek yang ringan dengan gangguan kesadaran yang singkat.
Kejang tonik-klonik umum mempunyai episode kejang yang lama dan terjadi
kehilangan kesadaran.
E. Patofisiologi
Mekanisme terjadinya epilepsi ditandai dengan gangguan paroksimal akibat
penghambatan neuron yang tidak normal atau ketidakseimbangan antara neurotransmiter
eksitatori dan inhibitori. Defisiensi neurotransmiter inhibitori seperti Gamma Amino Butyric
Acid (GABA) atau peningkatan neurotransmiter eksitatori seperti glutamat menyebabkan
aktivitas neuron tidak normal. Neurotransmiter eksitatori (aktivitas pemicu kejang) yaitu,
glutamat, aspartat, asetil kolin, norepinefrin, histamin, faktor pelepas kortikotripin, purin,
peptida, sitokin dan hormon steroid. Neurotransmiter inhibitori (aktivitas menghambat
neuron) yaitu, dopamin dan Gamma Amino Butyric Acid (GABA). Serangan kejang juga
diakibatkan oleh abnormalitas konduksi kalium, kerusakan kanal ion, dan defisiensi ATPase
yang berkaitan dengan transport ion, dapat menyebabkan ketidakstabilan membran neuron.
Aktivitas glutamat pada reseptornya (AMPA) dan (NMDA) dapat memicu pembukaan
kanal Na+. Pembukaan kanal Na ini diikuti oleh pembukaan kanal Ca2+, sehingga ion-ion
Na+ dan Ca2+ banyak masuk ke intrasel. Akibatnya, terjadi pengurangan perbedaan polaritas
pada membran sel atau yang disebut juga dengan depolarisasi. Depolarisasi ini penting
dalam penerusan potensial aksi sepanjang sel syaraf. Depolarisasi berkepanjangan akibat
peningkatan glutamat pada pasien epilepsi menyebabkan terjadinya potensial aksi yang terus
menerus dan memicu aktivitas sel-sel syaraf. Beberapa obat-obat antiepilepsi bekerja dengan

cara memblokade atau menghambat reseptor AMPA (alpha amino 3 Hidroksi 5
Methylosoxazole- 4-propionic acid) dan menghambat reseptor NMDA (N-methil D-
aspartat). Interaksi antara glutamat dan reseptornya dapat memicu masuknya ion-ion Na+
dan Ca2+ yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya potensial aksi. Namun felbamat
(antagonis NMDA) dan topiramat (antagonis AMPA) bekerja dengan berikatan dengan
reseptor glutamat, sehingga glutamat tidak bisa berikatan dengan reseptornya. Efek dari
kerja kedua obat ini adalah menghambat penerusan potensial aksi dan menghambat aktivitas
sel-sel syaraf yang teraktivasi. Patofisiologi epilepsi meliputi ketidakseimbangan kedua
faktor ini yang menyebabkan instabilitas pada sel-sel syaraf tersebut.
F. Penegakan Diagnosis
1. EEG (electroencephalogram) sangat berguna dalam diagnosis berbagai macam jenis
epilepsi.
2. EEG mungkin normal pada beberapa pasien yang secara klinis masih terdiagnosis
epilepsi.
3. MRI (magnetic resonance imaging) sangat bermanfaat (khususnya dalam
menggambarkan lobus temporal), tetapi CTscan tidak membantu, kecuali dalam
evaluasi awal untuk tumor otak atau perdarahan serebral.
G. Penatalaksanaan
Sasaran Terapi:
Mengontrol supaya tidak terjadi kejang dan meminimalisasi adverse effect of drug
Strategi Terapi:
Adalah dengan mencegah atau menurunkan lepasnya muatan listrik syaraf yang berlebihan
à melalui perubahan pada kanal ion atau mengatur ketersediaan neurotransmitter
Prinsip Umum Terapi Epilepsi:
monoterapi lebih baik karena akan mengurangi potensi adverse effect, meningkatkan
kepatuhan pasien, dan tidak terbukti bahwa politerapi lebih baik dari monoterapi
hindari atau minimalkan penggunaan antiepilepsi sedative karena adanya toleransi, efek
pada intelegensia, memori, kemampuan motorik yang bisa menetap selama pengobatan

jika mungkin, mulai terapi dgn satu antiepilepsi non-sedatif, jika gagal baru diberi
sedatif atau politerapi
berikan terapi sesuai dgn jenis epilepsinya
mulai dengan dosis terkecil dan dapat ditingkatkan sesuai dg kondisi klinis pasien
adanya variasi individual terhadap respon obat maka obat antiepilepsi perlu pemantauan
ketat dan penyesuaian dosis bila dibutuhkan
jika suatu obat gagal mencapai terapi yang diharapkan maka pelan-pelan dihentikan dan
diganti dengan obat lain (jgn politerapi)
lakukan monitoring kadar obat dalam darah jika mungkin, lakukan penyesuaian dosis
dgn melihat juga kondisi klinis pasien
Tatalaksana terapi:
1. Non farmakologi: amati faktor pencetus dan hindari pencetus bila ada, operasi, diet.
2. Farmkologi: dengan obat-obat antiepilepsi
Terapi Farmakologi:
1. Obat-obat yang meningkatkan inaktivasi kanal Na+:
Dengan menginaktivasi kanal Na akan menurunkan kemampuan syaraf untuk
menghantarkan muatan listrik
Contoh: fenitoin, karbamazepin, lamotrigin, okskarbazepin, valproat
2. Obat-obat yang meningkatkan transmisi inhibitori GABAergik:
• agonis reseptor GABA : meningkatkan transmisi inhibitori dengan mengaktifkan
kerja reseptor GABA
contoh: benzodiazepin, barbiturate
• menghambat GABA transaminase, menyebabkan konsentrasi GABA meningkat
contoh: Vigabatrin
• menghambat GABA transporter : memperlama aksi GABA
contoh: Tiagabin
• meningkatkan konsentrasi GABA pada cairan cerebrospinal pasien : mungkin
dengan menstimulasi pelepasan GABA dari non-vesikular pool
contoh: Gabapentin

Pilihan obat untuk gangguan kejang spesifik
Tipe seizure Terapi pilihan pertama Obat alternatif
Seizure parsial
Karbamazepin
Fenitoin
Lamotrigin
Asam valproat
Okskarbanzepin
Gabapentin
Topiramat
Levetiracetam
Zonisamid
Tiagabin
Primidon
Fenobarbital
Felbamat
Kejang
umum
absens Asam valproat
Etosuksimid
Lamotrigin
Levetiracetam
Mioklonik Asam valproat
Klonazepam
Lamotrigin,
Topiramat,
Felbamat, Zonisamid,
levetiracetam
Tonik-klonik Fenitoin
Karbamazepin
Asam valproat
Lamotrigin,
Topiramat, Primidon,
Fenobarbital,
Okskarbanzepin,
Levetiracetam
Obat-obat antiepilepsi:
1. Karbamazepin
Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik.

Karbamazepin menghambat kanal Na+, yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+
kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh
depolarisasi terus-menerus pada neuron.
Indikasi : Karbamazepin digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang
parsial dan tonik- klonik
Dosis : Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari,
anak usia 6-12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-
800 mg. Sedangkan pada anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali
sehari
ADR : Pusing, mengantuk, mual, muntah, efek samping jangka panjang: hiponatremi
2. Etosuksimid
Kanal kalsium merupakan target dari beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid
menghambat pada kanal Ca2+ tipe T. Talamus berperan dalam pembentukan ritme
sentakan yang diperantarai oleh ion Ca2+ tipe T pada kejang absens, sehingga
penghambatan pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens.
Indikasi : Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absen
Dosis : pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20 mg/kg/hari untuk
dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih dari 6 tahun
dan dewasa 500 mg/hari.
ADR : Efek samping penggunaan etosuksimid adalah mual dan muntah, efek samping
penggunaan etosuksimid yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh, mengantuk,
gangguan pencernaan, pusing.
3. Felbamat
Bukan merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang, felbamat hanya digunakan bila
terapi sebelumnya tidak efektif dan pasien epilepsi berat yang mempunyai resiko anemia
aplastik. Mekanisme aksi felbamat menghambat kerja NMDA dan meningkatkan respon
GABA.
Indikasi : epilepsy
Dosis : usia lebih dari 14 tahun dan dewasa 1200 mg 3-4 kali sehari

ADR : anorexia, mual, muntah, gangguan tidur, sakit kepala dan penurunan berat
badan. Anorexia dan penurunan berat badan umumnya terjadi pada anak-anak dan
pasien dengan konsumsi kalori yang rendah. Resiko terjadinya anemia aplastik
akan meningkat pada wanita yang mempunyai riwayat penyakit cytopenia
4. Gabapentin
Gabapentin dapat meningkatkan pelepasan GABA nonvesikel melalui mekanisme yang
belum diketahui. Gabapentin mengikat protein pada membran korteks saluran Ca2+ tipe L.
Indikasi: Gabapentin merupakan obat pilihan kedua untuk penanganan parsial epilepsy,
nyeri neuropati
Dosis : gabapentin untuk anak usia 3-4 tahun 40 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 5-12
tahun 25-35 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 12 tahun atau lebih dan dewasa 300
mg 3 kali sehari.
ADR : pusing, kelelahan, mengantuk, dan ketidakseimbangan tubuh. Perilaku yang
agresif umumnya terjadi pada anak-anak. Beberapa pasien yang menggunakan
gabapentin mengalami peningkatan berat badan
5. Lamotrigin
Lamotrigin merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan spektrum luas yang
memiliki efikasi pada parsial dan epilepsi umum. Lamotrigin tidak menginduksi atau
menghambat metabolisme obat anti epilepsi lain. Mekanisme aksi utama lamotrigin
adalah blokade kanal Na, menghambat aktivasi arus Ca2+ serta memblok pelepasan
eksitasi neurotransmiter asam amino seperti glutamat dan aspartat.
Indikasi: kejang parsial dan epilepsy umum
Dosis :25-50 mg/hari
ADR : gangguan penglihatan (penglihatan berganda), sakit kepala, pusing, dan goyah
(tidak dapat berdiri tegak). Lamotrigin dapat menyebabkan kemerahan kulit
terutama pada penggunaan awal terapi 3-4 minggu. Stevens-Johnson syndrome
juga dilaporkan setelah menggunakan lamotrigin (10).

6. Levetirasetam
Levetiracetam mudah larut dalam air dan merupakan derifat pyrrolidone ((S)-ethyl-2-oxo-
pyrrolidine acetamide). Mekanisme levetirasetam dalam mengobati epilepsi belum
diketahui. Namun pada suatu studi penelitian disimpulkan levetirasetam dapat
menghambat kanal Ca2+ tipe N dan mengikat protein sinaptik yang menyebabkan
penurunan eksitatori (atau meningkatkan inhibitori). Proses pengikatan levetiracetam
dengan protein sinaptik belum diketahui.
Indikasi: Levetirasetam digunakan dalam terapi kejang parsial, kejang absens, kejang
mioklonik, kejang tonik-klonik
Dosis : 500-1000 mg 2 kali sehari
ADR :Efek samping yang umum terjadi adalah sedasi, gangguan perilaku, dan efek
pada SSP. Gangguan perilaku seperti agitasi, dan depresi juga dilaporkan akibat
penggunaan levetirasetam
.
7. Okskarbazepin
Merupakan analog keto karbamazepin. Okskarbazepin merupakan prodrug yang didalam
tubuh akan segera dirubah menjadi bentuk aktifnya, yaitu suatu turunan 10-monohidroksi
dan dieliminasi melalui ekskresi ginjal. Mekanisme aksi okskarbazepin mirip dengan
mekanisme kerja karbamazepin.
Indikasi: Okskarbazepin digunakan untuk pengobatan kejang parsial.
Dosis : anak usia 4-16 tahun 8-10mg/kg 2 kali sehari sedangkan pada dewasa, 300 mg 2
kali sehari.
ADR : pusing, mual, muntah, sakit kepala, diare, konstipasi, dispepsia, ketidak
seimbangan tubuh, dan kecemasan. Okskarbazepin memiliki efek samping lebih
ringan dibanding dengan fenitoin, asam valproat, dan karbamazepin.
8. Fenobarbital
Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat
yang penting untuk epilepsi. Namun, efek sedasinya serta kecenderungannya
menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah mengurangi penggunaannya

sebagai obat utama. Aksi utama fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk
menurunkan konduktan Na dan K. Fenobarbital menurunkan influks kalsium dan
mempunyai efek langsung terhadap reseptor GABA (aktivasi reseptor barbiturat akan
meningkatkan durasi pembukaan reseptor GABAA dan meningkatkan konduktan post-
sinap klorida). Selain itu, fenobarbital juga menekan glutamate excitability dan
meningkatkan postsynaptic GABAergic inhibition.
Indikasi: merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonik-klonik
Dosis : dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 10-
20 mg/kg 1kali sehari (14).
ADR :Efek samping SSP merupakan hal yang umum terjadi pada penggunaan
fenobarbital. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah kelelahan,
mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada anak-anak dapat
menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat menyebabkan kemerahan
kulit, dan Stevens-Johnson syndrome
9. Fenitoin
Fenitoin memiliki range terapetik sempit sehingga pada beberapa pasien dibutuhkan
pengukuran kadar obat dalam darah. Mekanisme aksi fenitoin adalah dengan
menghambat kanal sodium (Na+) yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na+
kedalam membran sel berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh
depolarisasi terus-menerus pada neuron.
Indikasi: Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-
klonik, dan pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf
Dosis : Dosis awal penggunaan fenitoin 5 mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20
mg/kg/hari tiap 6 jam.
ADR : Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada
SSP, sehingga mengakibatkan lemah, kelelahan, gangguan penglihatan
(penglihatan berganda), disfungsi korteks dan mengantuk. Pemberian fenitoin
dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh dan nystagmus.
Salah satu efek samping kronis yang mungkin terjadi adalah gingival hyperplasia

(pembesaran pada gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut dapat mengurangi
resiko gingival hyperplasia
10. Tiagabin
Tiagabin meningkatkan aktivitas GABA, antagonis neuron atau menghambat reuptake
GABA.
Indikasi: Tiagabin digunakan untuk terapi kejang parsial pada dewasa dan anak ≥16
tahun.
Dosis : 4 mg 1-2 kali sehari.
ADR : Efek samping yang sering terjadi adalah pusing, asthenia (kekurangan atau
kehilangan energi), kecemasan, tremor, diare dan depresi.
11. Topiramat
Topiramat mengobati kejang dengan menghambat kanal sodium (Na+), meningkatkan
aktivitas GABAA, antagonis reseptor glutamat AMPA/kainate, dan menghambat karbonat
anhidrase yang lemah.
Indikasi: Topiramat digunakan tunggal atau tambahan pada terapi kejang parsial, kejang
mioklonik, dan kejang tonik-klonik.
Dosis : 25-50 mg 2 kali sehari
ADR : Efek samping utama yang mungkin terjadi adalah gangguan keseimbangan
tubuh, sulit berkonsentrasi, sulit mengingat, pusing, kelelahan, paresthesias.
Topiramat dapat menyebabkan asidosis metabolik sehingga terjadi anorexia dan
penurunan berat badan.
12. Asam valproat
Asam valproat diduga meningkatkan konsentrasi GABA dengan menghambat
degedrasinya dan mengaktivasi sintesis GABA.
Indikasi : sebagai monoterapi dan terapi tambahan untuk kejang parsial.
Dosis : IV (natrium valproat): 10-15 mg / kg / hari IV dibagi tiap 12 jam diinfuskan
selama 1 jam, dosis maksimum 60 mg / kg / hari, jangan melebihi 14 hari
(sesegera mungkin beralih ke PO).

PO : dosis awal 10-15 mg/kg/hari, meningkat 5-10 mg/kg/hari pada interval
mingguan, mungkin meningkatkan dosis hingga 60 mg / kg / hari.
ADR: gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual, muntah, anorexia, dan peningkatan
berat badan, pusing, gangguan keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam
valproat mempunyai efek gangguan kognitif yang ringan. Efek samping yang
berat dari penggunaan asam valproat adalah hepatotoksik.
13. Zonisamid
Zonisamid merupakan suatu turunan sulfonamide. Mekanisme aksi zonisamid adalah
dengan menghambat kanal kalsium (Ca2+) tipe T.
Indikasi: terapi tambahan kejang parsial pada anak lebih dari 16 tahun dan dewasa
Dosis :100 mg 2 kali sehari
ADR :Efek samping yang umum terjadi adalah mengantuk, pusing, anorexia, sakit
kepala, mual, dan agitasi. Di United Stated 26% pasien mengalami gejala batu
ginjal
H. Informasi penggunaan obat antikonvulsan
a. Diindikasikan untuk mengatasi seizure pada treatment epilepsy
b. Penghentian mendadak dapat memacu timbulnya cetusan epilepsy
c. Dapat menyebabkan mengantuk
d. Gunakan dengan hati-hati ketika mengendarai kendaraan, mengoperasikan mesin atau
pekerjaan-pekerjaan lain yang membutuhkan kesadaran mental
e. Hindari penggunaan bersama dengan alcohol atau obat lain yang menyebabkan kantuk
f. Laporkan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ataupun efek samping lain
g. Hati-hati penggunaan oleh wanita hamil konsultasikan dengan dokter
h. Dosis terlupa: gunakan obat antikonvulsan dengan interval waktu yang teratur. Jika
terlambat 1 dosis segera minum setelah ingat. Jika sudah mendekati dosis berikutnya,
minum dosis berikutnya. Gunakan secara teratur kembali. Jangan mendobel atau
menambah dosis.


Daftar Pustaka
http://gooddic.wordpress.com/2009/12/24/epilepsi-dan-terapi-antiepilepsi/
Harsono, 2007, Epilepsi, edisi kedua, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 7-8, 65-66,
144.
Wibowo, S., dan Gofir, A., 2006, Obat Antiepilepsi, Pustaka Cendekia Press, Yogyakarta, 85.