Makalah Dan Askep Kk 6

66
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anemia penyakit kronis merupakan bentuk anemia derajat ringan sampai sedang yang terjadi akibat infeksi kronis, peradangan trauma atau penyakit neoplastik yang telah berlangsung 1-2 bulan dan tidak disertai penyakit hati, ginjal, dan endokrin.Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolisme besi, sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag. Secara garis besar patogenesis anemia penyakit kronis dititikberatkan pada 3 abnormalitas utama: (1) ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis eritrosit lebih dini, (2) adanya respon sumsusm tulang akibat respon eritropoetin yang terganggu atau menurun, (3) gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi. Pada anemia penyakit kronis ini, ada beberapa studi menyatakan adanya peran suatu hormon peptida yang kecil bernama hepcidin pada patogenesis anemia penyakit kronis.Beberapa studi menyimpulkan bahwa hepcidin menjadi negative regulator penyerapan besi pada usus dan pelepasan oleh makrofag sehingga pemenuhan kebutuhan besi untuk eritropoesis tidak adekuat. 1

Transcript of Makalah Dan Askep Kk 6

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anemia penyakit kronis merupakan bentuk anemia derajat ringan sampai

sedang yang terjadi akibat infeksi kronis, peradangan trauma atau penyakit

neoplastik yang telah berlangsung 1-2 bulan dan tidak disertai penyakit hati,

ginjal, dan endokrin.Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan metabolisme besi,

sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag. Secara garis

besar patogenesis anemia penyakit kronis dititikberatkan pada 3 abnormalitas

utama: (1) ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis

eritrosit lebih dini, (2) adanya respon sumsusm tulang akibat respon eritropoetin

yang terganggu atau menurun, (3) gangguan metabolisme berupa gangguan

reutilisasi besi.

Pada anemia penyakit kronis ini, ada beberapa studi menyatakan adanya

peran suatu hormon peptida yang kecil bernama hepcidin pada patogenesis

anemia penyakit kronis.Beberapa studi menyimpulkan bahwa hepcidin menjadi

negative regulator penyerapan besi pada usus dan pelepasan oleh makrofag

sehingga pemenuhan kebutuhan besi untuk eritropoesis tidak adekuat.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Mahasiswa mampu mengetahui dan menjelaskan anemia penyakit kronis.

1.2.2 Tujuan Khusus

a. Memahami definisi anemia penyakit kronis;

b. Mengetahui penyebab dari anemia penyakit kronis;

c. Mengetahui tanda dan gejala anemia penyakit kronis;

d. Mengetahui proses terjadinya dari anemia penyakit kronis;

e. Mengetahui komplikasi dari anemia penyakit kronis;

f. Mengetahui pemeriksaan diagnosis anemia penyakit kronis;

g. Mengetahui pencegahan anemia penyakit kronis;

1

h. Mengetahui bagaimana pengobatan anemia penyakit kronis;

i. Mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan anemia penyakit

kronis.

1.3 Implikasi Keperawatan

1. Perawat sebagai edukator

Perawat memberikan informasi kepada keluarga dan masyarakat mengenai

anemia penyakit kronis, etiologi, komplikasi sehingga keluarga dan

masyarakat dapat mengidentifikasi anggota keluarganya yang mungkin

menderita dan bisa segera dilakukan pencegahan dan penanganannya.

2. Perawat sebagai konselor

Perawat membantu klien dengan memberikan konseling dalam

memecahkan masalah dengan memberikan pilihan-pilihan yang terbaik

untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan pengobatan penyakitnya dan

memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan pasien.

3. Perawat sebagai advokasi

Perawat melindungi hak-hak pasien yang menderita anemia penyakit

kronis dalam mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai prosedur.Selain itu

apabila keluarga klien ataupun klien mendapatkan masalah, perawat bisa

memberikan saran serta pilihan yang tepat untuk klien.

4. Perawat sebagai caregiver

Perawat memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada keluarga dan

masyarakat yang menderita anemia penyakit kronis.

2

BAB 2. TINJAUAN TEORI

2.1 Anatomi sistem hematologi

Sistem hematologi tersusun atas darah dan tempat darah diproduksi

termasuk sumsum tulang dan nodus limpa. Darah adalah organ khusus yang

berbeda dengan orang lain karena berbentuk cairan. Darah merupakan

medium transpor tubuh, volume darah manusia sekitar 7%-10% berat badan

normal dan berjumlah sekitar 5 liter. Keadaan jumlah darah pada tiap-tiap

orang tidak sama, bergantung pada usia, pekerjaan serta keadaan jantung atau

pembuluh darah. Darah terdiri atas 2 komponen utama, yaitu sebagai berikut.

1. Plasma darah, bagian cair darah yang sebagian besar terdiri atas air,

elektrolit dan protein darah.

2. Butir-butir darah (blood corpuscles) yang terdiri atas komponen-

komponen berikut ini.

a. Eritrosit : sel darah merah (SDM – red blood cell)

b. Leukosit: sel darah putih (SDP – white blood cell)

c. Trombosit : butir pembeku darah – latelet

2.1.1 Sel Darah Merah (Eritrosit)

a. Struktur Eritrosit

Sel darah merah (eritrosit) merupakan cairan bikonkaf dengan

diameter sekitar 7 mikron. Bikonkavitis memungkinkan gerakan oksigen

masuk dan keluar sel secara cepat dengan jarak yang pendek antara

membran dan inti sel. Warnanya kuning kemerah-merahan, karena

didalamnya mengandun suatu zat yang disebut hemogloin.

Sel darah merah tidak memiliki inti se, mitokondria dan riosom,

serta tidak dapat bergerak.Sel ini tidak dapat melakukan mitosis,

fosforilasi oksidatif sel atau pembentukan protein.

3

Komponen eritrosit adalah sebagai berikut

1. Membran eritrosit

2. Sistem enzim; enzim G6PD (Glucose 6-Phosphatedehydrogenase)

3. Hemoglobin, komponennya terdiri atas:

a. Heme yang merupakan gabungan protoporfirin dengan besi;

b. Gobin: bagian protein yang terdiri atas 2 rantai alfa dan 2 rantai

beta.

Terdapat sekitar 300 molekul hemoglobin dalam setiap sel darah

merah. Hemoglobin berfungsi untuk mengikat oksigen, satu gram

hemoglobin akan bergabung dengan 1,34 ml oksigen.

Oksihemoglobin merupakan hemoglobin yang berkombinasi /

berikatan dengan oksigen.Tugas akhir hemoglobin adalah menyerap

karbondioksida dan ion hidrogen serta membawanya ke paru tempat zat-

zat tersebut dilepaskan dari hemoglbin.

b. Produksi sel darah merah (eritropoesis)

Dalam keadaan normal, eritropoesis pada orang dewasa terutama

terjadi didalam sumsum tulang, dimana sistem eritrosit menempati 20-

30% bagian jaringan sumsum tulang yang aktif membantu sel darah.Sel

eritrosit berinti berasal dari sel induk multipoensial dala sumsum tulang.

4

Sel induk multipotensial ini mampu berdiferensiasi menjadi sel

darah sistem eritrosit, mieloid dan megakariosibila yang dirangsang oleh

eritropoetin. Sel induk multipotensial akan berdiferensiasi menjadi sl

induk unipotensial. Sel induk unipotensial tidak mampu berdiferensiasi

lebih lanjut, sehingga sel induk unipotensial seri eritrosit hanya akan

berdiferensiasi menjadi sel pronormoblas. Sel pronormoblas akan

membentuk DNA yang diperlukan untuk tiga sampai dengan empat kali

fase mitosis. Melalui empat kali mitosis dari tiap sel pronormoblas akan

terbentuk 16 eritrosit. Eritrosit matang kemudian dilepaskan dalam

sirkulasi.Pada produksi eritrosit normal sumsum tulang memerlukan besi,

vitamin B12, Asam folat, Piridoksin (vitamin B6), kobal, asam amino dan

tembaga.

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa perubahan morfologi

sel yang terjadi selama proses diferensiasi sel pronormoblas smpai eritrosit

maang dapat dikelompokan ke dalam 3 kelompok, yaitu sebagai berikut.

1. Ukuran sel semakin kecil akibat mengecilnya inti sel.

2. Inti sel menjadi semakin padat dan akhirnya dikeluarkan paa tingkatan

eritroblas asdosis

3. Dalam sitoplasma dibentuk hemoglobin yang diikuti dengan hilangnya

RNA dri dalam sitoplasma sel

c. Lama hidup eritrosit

Eritrosit hidup selama 74-154 hari. Pada usia ini sistem enzim

mereka gagal, membran sel berhenti berfungsi dengan adekuat dan sel ini

dihancurkan oleh sel sistem retikulo endotial.

5

d. Jumlah Eritrosit

Jumlah normal pada orang dewasa kira-kira 11,5-15 gram dalam

100cc darah. Normal Hb wanita 11,5 mg% dan Hb laki-laki 13,0 mg%

e. Sifat-sifat sel darah merah

Sel darah merah biasanya digabaran berdasarkan ukuran dan jumlah

hemoglobin yang terdapat di dalam sel seperti berikut ini.

1. Normositik : sel yang ukurannya normal

2. Normokromik : sel dengan jumlah hemoglobin yang normal

3. Mikrositik : sel yang ukurannya terlalu kecil

4. Mkrositik : sel yang ukurannya terlalu besar

5. Hipokromik : sel yang jumlah hemoglobinnya terlalu sedikit

6. Hiperkromik : sel yang jumlah hemoglobinnya terlalu banyak.

Dalam keadaan normal, bentuk sel darah merah dapat berubah-ubah,

sifat ini memungkinkan sel tersebut masuk ke mikrosirkulasi kapiler tanpa

kerusakan.Apanila sel darah merah suit berubah bentuknya (kaku), maka

sel tersebut tidak dapat bertahan selama peredarannya dalam sirkulasi.

6

f. Antigen Sel Darah Merah

Sel darah merah memiliki bermacam-macam antigen spesifik yang

terdapat dimembran selnya dan tidak ditemukan di sel lain. Antigen-

antigen itu adalah A,B,O dan Rh.

Antigen A,B,O

Seseorang memiliki dua alel (gen) yng masing=masing mengode

antigen A atau B atau tidak memiliki keduannya yang diberi nama O.

Antigen Adan B bersifat ko-dminan, orang yang memiliki antigen A

dan B akan memiliki golongan drah AB, sedangkan orang yang

memiliki dua antigen A (AA) atau satu A dan satu O (AO) akan

mmiliki darah A. Orang yang memiliki dua antigen B (BB)atau satu B

dan satu O (BO) akan memiliki dara B. Orang yang tidak memiliki

kedua antigen (oo) akan memiliki darah O.

Antigen Rh

Antigen Rh merupakan kelompok antigen utama lainnya pada sel darh

merah yang juga diariskan sebagai gen-gen dari masing-masing

orangtua. Antigen Rh utama disebut faktor Rh (Rh+), orang yang

memiliki antign Rh dianggap positif Rh (Rh+) Sedangkan orang yang

tidak memiliki antign Rh dianggap Rh negatif (Rh-)

g. Penghancuran Sel Darah Merah

Proses peghancuran eritrosit terjadi karena proses penuaan

(senencence) dan proses patologis (hemolisis). Hemolisis yang terjadi

pada eritrosit akan mengakibatkan teruraianya komonen-komponen

hemoglobin menjadi dua komponn sebagai berikut.

1. Komponen protein, yaitu globin yang akan dikembaikan ke oo protein

dan dapat digunakan kembali.

2. Komponen heme akan dipecah menjadi dua, yaitu:

Besi yang akan dikembalikn ke pool esi dan digunakan ulang

Bilirubin yang akan dieskresikan melalui hati dan empedu

7

Eritrosit hemolisis atau proses penuaan

Hemoglobin

Globin Heme

Asam amino Fe Co Protoporfin

Pool Protein Pool besi Bilirubin Indireks

Disimpan / digunakan lagi Disimpan/ digunakan lagi Hati

Bilirubin direk

Feses:sterkobilinogen Uriobilirubinogen

Skema Penghancuran Eritrosit

2.1.2 Sel Darah Putih (Leukosit)

Bahasan mengenai sel darah putih yang akan dibahas mencakup struktur

leukosit, fungsi sel dara putih, jenis-jenis sel darah putih, dan jumlah sel darah

putih.

a. Struktur Leukosit

Bentuknya dapat berubah-ubah dan dapat bergerak dengan

perantaraan kaki palsu (Pseudopodia), mempunyai bermacam-macam inti

8

sel sehingga ia dapat dibedakan menurut inti selnya serta warnanya bening

(tidak berwarna).

Sel darah putih dibentuk di sumsum tulang dari sel-sel bakal. Jenis

jenis dari golongan sel ini adalah golongan yang tidak bergranula, yaitu

limfosit T dan B, monosit dan makrofag serta golongan yang bergranula,

yaitu eosinofil, basofil, dan neutrofil

b. Fungsi Sel Darah Putih

Fungsi dari sel darah putih adalah sebagai berikut:

1. Sebagai serdadu tubuh, yaitu membunuh dan memakan bibit

penyakit/bakteri yang masuk ke dalam tubuh jaringan RES (Sistem

Retikulo Endotel)

2. Sebagai pengangkut, yaitu mengangkut/membawa zat lemak dari

dinding usus melalui limpa terus ke pembuluh darah

c. Jenis-jenis Sel Darah Putih

Sel Darah Putih terdiri atas beberapa jenis sel darah sebagai berikut:

1. Agranulosit

Memilki granula kecil didalam protoplasmanya, memiliki

diameter sekitar 10-12 mikron. Berdasarkan pewarnaan granula,

granulosit terbagi menjadi tiga kelompok berikut ini

a) Neutrofil : Granula yang tidak berwarna mempunyai inti sel

yang terangkai, kadang seperti terpisah-pisah,

protoplasmanya banyak berbintik-bintik halus/granula,

serta banyaknya sekitar 60-70%.

9

b) Eosinofil : Granula berwarna merah dengan pewarnaan

asam, ukuran dan berbentuk hampir sama dengan neutrofil,

tetapi granula dalam sitoplasmanya lebih besar, banyaknya

kira-kira 24%

c) Basofil : Granula berwarna biru dengan pewarnaan basa,

sel ini lebih kecil daripada eosinofil, tetapi mempunyai inti

yang bentuknya teratur, didalam protoplasmanya terdapat

granula-granula yang besar, banyaknya kira-kira 0,5% di

sumsum merah.

10

Neutrofil, eosinofil dan basofil berfungsi sebagai fagosit untuk

mencerna dan menghancurkan mikroorganisme dan sisa-sisa sel.

Selain itu, basofil bekerja sebagai sel mast dan mengeluarkan peptida

vasoaktif.

2. Granulosit

Granulosit terdiri atas limfosit dan monosit.

a) Limfosit

Limfosit memiliki nukleus besar bulat dengan menempati

sebagian besar sel limfosit berkembang dalam jaringan limfe.

Ukuran bervariasi dari 7 sampai dengan 15 mikron. Banyaknya

20-25% dan fungsinya membunuh dan memakan bakteri yang

masuk kedalam jaringan tubuh.

Limfosit ada 2 macam yaitu, limfosit T dan Limfosit B

a. Limfosit T

Limfosit T meninggalkan sumsum tulang dan berkembang

lama, kemudian bermigrasi menuju ke timus. Setelah

meninggalkan timus, sel-sel ini beredar dalam darah sampai

mereka bertemu dengan antigen-antigen dimana mereka telah

diprogram untuk mengenalinya. Setelah dirangsang oleh

antigennya, sel-sel ini menghasilkan bahan-bahan kimia yang

menghancurkan mikroorganisme dan memberitahu sel-sel darh

putih lainnya bahwa telah terjadi infeksi.

11

b. Limfosit B

Terbentuk di sumsum tulang lalu bersikulasi dalam darah

sampai menjumpai antigen dimana meraka telah diprogram

untuk mengenalinya. Pada tahap ini, limfosit B mengalami

pematangan lebih lanjut dan menjadi sel plasma serta

menghasilkan antibodi.

b) Monosit

1) Ukuran

Ukurannya lebih besar dari limfosit, protoplasmanya

besar, warna biru sedikit abu-abu, serta mempunyai bintik-

bintik sedikit kemerahan. Inti selnya bulat atau panjang.

Monosit dibentuk di dalam sumsum tulang, masuk ke dalam

sirkulasi dalam bentuk imatur dan mengalami proses

pematangan menjadi makrofag setelah masuk ke jaringan.

Fungsinya sebagai fagosit. Jumlahnya 34% dari total

komponen yang ada di sel darah putih

12

d. Jumlah sel darah putih

Pada orang dewasa, jumlah sel darah putih total 4,0-11,0 x 109/l yang

terbagi sebagai berikut

Granulosit

Neutrofil 2,5-7,5 x 109

Eosinofil 0,04-0,44 x 109

Basofil 0-0,10 x 109

Limfosit 1,5-3,5 x 109

Monosit 0,2-0,8 x 109

2.1.3 Keping darah (Trombosit)

Trombosit yang akan dibahas mencakup struktur trombosit, jumlah

trombosit, fungsi trombosit dan pembatasan fungsi trombosit

a. Struktur Trombosit

Trombosit adalah bagian dari beberapa sel-sel besar dalam sumsum

tulang yang terbentuk cakram bulat, oval, bikonveks, tidak berinti, dan

hidup sekitar 10 hari

b. Jumlah Trombosit

Jumlah trombosit antara 150 dan 400 x 109/liter (150.000-

400.000/mililiter), sekitar 30-40% terkonsentrasi di dalam limpa dan

sisanya bersirkulasi dalam darah.

13

c. Fungsi Trombosit

Trombosit berperan penting dalam pembentukan bekuan

darah.Trombosit dalam keadaan normal bersirkulasi ke seluruh tubuh

melalui aliran darah.Namun, dalam beberapa detik setelah kerusakan

suatu pembuluh, trombosit tertarik ke daerah tersebut sebagai respons

terhadap kolagen yang terpajan di lapisan subendotel

pembuluh.Trombosit melekat ke permukaan yang rusak dan

mengeluarkan beberapa zat (serotonin dan histamin) yang

menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh. Fungsi lain dari

trombosit yaitu untuk mengubah bentuk dan kualitas setelah berikatan

dengan pembuluh yang cedera. Trombosit akan secara efektif

menambal daerah yang luka.

d. Pembatasan Fungsi Trombosit

Penimbunan trombosit yang berlebihan dapat menyebabkan

penurunan aliran darh ke jaringan atau sumbat menjadi sangat besar,

sehingga lepas dari tempat semula dan mengalir ke hilir sebagai suatu

embolus dan menyumbat aliran ke hilir.

Guna mencegah pembentukan suatu emboli, maka trombosit-

trombosit tersebut mengeluarkan bahan-bahan yang membatasi luas

penggumpalan mereka sendiri.Bahan utama yang dikeluarkan oleh

trombosit untuk membatasi pembekuan adalah prostaglandin

tromboksan A2 dan prostasiklin I2.Tromboksan A2 merangsang

penguraian trombosit dan menyebabkan vasokontriksi lebih lanjut pada

pembuluh darah.Sedangkan prostasiklin I2 merangsang agregasi

trombosit dan pelebaran pembuluh sehingga semakin meningkatkan

respons trombosit.

14

2.1.4 Plasma darah

Plasma adalah bagian darah yang encer tanpa sel-sel darah, warnanya

bening kekuning-kuningan. Hampir 90% dari plasma darah terdiri atas air.

Zat-zat yang terdapat dalam plasma darah adalah sebagai berikut:

a. Fibrinogen yang berguna dalam peristiwa pembekuan darah

b. Garam-garam mineral (garam kalsium, kalium, natrium, dan lain-

lain) yang berguna dalam metabolisme dan juga mengadakan

osmotik

c. Protein darah (albumin, globulin) meningkatkan viskositas darah

juga menimbulkan tekanan osmotik untuk memelihara

keseimbangan cairan dalam tubuh

d. Zat makanan (asam amino, glukosa, lemak, mineral, dan vitamin)

e. Hormon yaitu suatu zat yang dihasilkan dari kelenjar tubuh

f. Antibodi

15

Plasma diperoleh dengan memutar sel darah, plasma diberikan

secara intravena untuk (1) mengembalikan volume darah; (2) menyediakan

substansi yang hilang dari darah klien.Misalnya faktor pembekuan darah I,

VIII, dan XI untuk klien yang tidak mendapatkannya.

2.2 Definisi Anemia dan Anemia Penyakit Kronis

2.2.1 Anemia

Anemia adalah istilah yang menunjukkan rendahnya hitung sel darah merah

dan kadar hemoglobin dan hematocrit di bawah nilai normal. Anemia bukan

merupakan penyakit, melainkan merupakan pencerminan keadaan suatu penyakit

atau gangguan fungsi tubuh.Secara fisiologis, anemia terjadi apabila terdapat

kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke jaringan.

Terdapat berbagai macam anemia.Sebagian akibat produksi dari sel darah

merah tidak mencukupi, dan sebagian lagi akibat sel darah merah premature atau

penghancuran sel darah merah yang berlebihan.Faktor penyebab lainnya meliputi

kehilangan darah, kekurangan nutrisi, factor keturunan, dan penyakt

kronis.Anemia kekurangan besi adalah anemia yang terbanyak di seluruh dunia.

(Brunner & Suddarth)

Seseorang dikatakan menderita anemia apabila konsentrasi hemoglobin

pada orang tersebut lebih rendah dari nilai normal hemoglobin yang sesuai dengan

jenis kelamin dan umur dari orang tersebut. Oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO:

World Health Organization) telah ditetapkan batasan anemia yaitu untuk wanita

apabila konsentrasi hemoglobinnya di bawah 12 gr/dL (7,5 mmol/L) dan untuk

pria apabila konsentrasi hemoglobinnya di bawah 13 gr / dL (8,1 mmol / L).

(Leonardo, 2002)

2.2.2 Anemia Pada Penyakit Kronis

Anemia penyakit kronis yaitu berbagai penyakit inflamasi kronis

berhubungan dengan anemia jenis normositik normokromik (sel darah merah

dengan ukuran dan warna yang normal).Kelainan ini meliputi arthritis rematoid,

abses paru, osteomyelitis, tuberculosis, dan berbagai ginjal.

16

Anemia biasanya ringan atau tidak progresif. Berkembang secara bertahap

selama periode waktu 6 sampai 8 minggu dan kemudian stabil pada kadar

hematocrit tidak kurang dari 25%. Hemoglobin jarang turun sampai di bawah 9

g/dl, dan sumsum tulang mempunyai selularitas poetin rendah, mungkin karena

turunnya produksi, dan adanya penyekat pada penggunaan besi oleh sel

eritroid.Juga terjadi penurunan sedang ketahanan hidup sel darah merah.

Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala dan tidak memerlukan

penanganan kelainan yang mendasarinya, besi sumsum tulang digunakan untuk

membuat darah, sehingga hemoglobin meningkat.

2.2.3 Kriteria Anemia

Untuk memenuhi definisi anemia, maka perlu ditetapkan batas hemoglobin

atau hematocrit yang dianggap sudah terjadi anemia. Batas tersebut sangat

dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, dan Batasan yang umum digunakan adalah

kriteria WHO pada tahun 1968. Dinyatakan sebagai anemia bila terdapat nilai

dengan kriteria sebagai berikut :

Laki-laki dewasa Hb<13 gr/dl

Perempuan dewasa tidak hamil Hb<12 gr/dl

Perempuan hamil Hb<11 gr/dl

Anak usia 6-14 tahun Hb<12 gr/dl

Anak usia 6 bulan-6 tahun Hb<11 gr/dl

Catatan : Hb dihitung dari ketinggian tempat tinggal dari permukaan laut.

Untuk kriteria anemia di klinik, rumah sakit, atau praktik klinik pada

umumnya dinyatakan anemia bila terdapat nilai sebagai berikut:

1. Hb<10 gr/dl

2. Hematokrit<30%

3. Eritrosit<2,8 juta/mm3

17

2.2.4 Derajat Anemia

Derajat Anemia ditentukan oleh kadar Hb. Klasifikasi derajat anemia yang

umum dipakai adalah sebagai berikut :

Ringan sekali Hb 10 gr/dl-13 gr/dl

Ringan Hb 8 gr/dl-9,9 gr/dl

Sedang Hb 6 gr/dl-7,9 gr/dl

Berat Hb <6 gr/dl

2.2.5 Klasifikasi Anemia

Anemia dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara. Pendekatan fisiologis

akan menentukan apakah defisiensi jumlah sel darah merah disebabkan oleh defek

produksi sel darah merah (anemia hipoproliferatife) atau oleh destruksi sel darah

merah (anemia hemolitika).

Pada anemia hipoproliferatife, sel darah merah biasanya bertahan dalam

jangka waktu yang normal, tetapi sumsum tulang tidak mampu menghasilkan

jumlah sel yang adekuat; jadi, jumlah retikulositnya menurun. Keadaan ini

mungkin disebabkan oleh adanya kerusakan sumsum tulang akibat obat atau

bahan kimia (misal : chloramphenicol, benzene) atau mungkin karena kekurangan

hemoproetin (seperti pada penyakit ginjal), besi, vitamin B 12, atau asam folat.

Apabila hemolysis (disolusi sel darah merah dengan pembebasan

hemoglobin ke plasma disekitarnya) merupakan penyebab utama, maka

abnomarlitas biasanya terdapat dalam sel darah merah itu sendiri (seperti pada

anemia sel sabit atau defisiensi G-6-PD (glukosa-6-phospate

dehydrogenasel).Dalam plasma (seperti pada anemia hemolitika imunologis), atau

dalam sirkulasi (seperti pada hemolitis katup jantung).

18

Pada anemia hemolitika, angka retikulosit dan kadar bilirubin indirek

meningkat, dan telah mampu menyebabkan ikterik klinis.

1. Anemia Hipoproliferatif

a. Anemia Aplastik

b. Anemia Pada Penyakit Ginjal

c. Anemia Pada Penyakit Kronis

2. Anemia Defisiensi Besi

a. Anemia Megaloblastik

3. Defisiensi B 12

4. Anemia Asam Folat

5. Anemia Hemolitika

6. Anemia Hemolitika Turunan

a. Sferositosis Turunan

b. Anemia sel sabit (Brunner & Suddarth)

2.3 Epidemiologi

Perkiraan prevalensi anemia di Indonesia menurut Husaini,dkk.

Kelompok Populasi Angka Prevalensi

1. Anak prasekolah 30-40%

2. Anak Usia Sekolah 25-35%

3. Dewasa Tidak Hamil 30-40%

4. Hamil 50-70%

5. Laki-laki dewasa 20-30%

6. Pekerja

berpenghasilan rendah

30-40%

Tabel Prevalensi Anemia di Indonesia

Catatan : Untuk angka prevalensi anemia di dunia sangat bervariasi, bergantung

pada geografi dan taraf sosial ekonomi masyarakat.

19

Tingginya prevalensi penyakit menular di seluruh dunia dan prevalensi

tinggi.gangguan inflamasi dan ganas di negara-negara industri menunjukkan

bahwa Anemia Penyakit Kronis (ACD) adalah bentuk paling umum kedua atau

ketiga anemia setelah anemia defisiensi besi (ADB) dan thalassemia. Meskipun

prevalensi defisiensi zat besi di negara-negara industri yang cepat menurun, ACD

diperkirakan akan meningkat, sebagai proporsi dari orang tua dalam

meningkatkan populasi.

2.4 Etiologi Anemia Akibat Penyakit Kronik

Sejumlah penyakit kronik dapat menyebabkan anemia. Sebagian

diantaranya adalah penyakit gagal ginjal kronik, penyakit usus meradang, lupus

eritematosus sistemik (SLE), infeksi granulomatosa, neoplasma ganas, dan artritis

reumatoid. Anemia ini biasanya semakin intensif seiring dengan bertambahnya

volume plasma yang melebihi ekspansi massa sel darah merah.

Banyak proses penyakit kronis menghasilkan sitokinin inflamasi, yang

menekan hemopoiesis, dengan mengurangi transfer besi ke eritrosit yang sedang

berkembang dan mengurangi efek eritropoitein terhadap sumsum tulang. Masa

hidup eritrosit juga memendek. Proses penyakit yang mendasari adalah : (i)

infeksi kronis : endocarditis infeksi, abses, terutama pada paru, osteomyelitis ; (ii)

inflamasi kronis, misalnya arthritis rheumatoid, artritis temporal, dan vaskulitid

lainnya, misalnya lupus eritematosus sistemik (SLE), poliarteritis nodusum); (iii)

Penyakit inflamasi usus menyebabkan penyakit kronis dan anemia defisiensi besi;

(iv) keganasan; dan (v) gagal ginjal kronis menyebabkan anemia terutama dengan

mengganggu produksi eritropoetin, walaupun mekanisme lain juga terimplikasi.

2.5 Patofisologi

2.5.1 Insufisiensi Produksi (Penurunan Retikulosit)

a. Anemia defisiensi zat besi :

1. Normalnya, sekitar 1 mg zat besi diabsorbsi dan hilang per hari;

ketidakseimbangan antara asupan, kebutuhan, dan kehilangan zat

besi mengakibatkan defisiensi zat besi.

20

2. Defsiensi zat besi diet umum terjadi pada kondisi yang

membutuhkan peningkatan zat besi seperti pada masa bayi dan

kehamilan; kekurangan absorbs zat besi dapat terjadi setelah

gastrektomi parsial, gastritis atropikans (seperti pada H.pylori) dan

pada penyakit usus (penyakit seliak).

3. Peningkatan kehilangan zat besi terjadi pada menstruasi (sampai 20

mg pada setiap kali menstruasi) dan pada kehilangan darah yang

kronis (misal penyakit tukak peptic, kanker kolon, flebotomi

repetitive).

4. Defisiensi zat besi mengakibatkan penurunan ferritin (sebagai respon

terhadap gen protein 1 pengatur zat besi) dan penurunan zat besi di

sumsum tulang sehingga menyebabkan produksi SDM yang

abnormal.

5. SDM menjadi kecil (mikrositik; penurunan rerata volume

korpuskuler (MCV) dan pucat (hipokromik; penurunan rerata

konsentrasi hemoglobin korpuskular (MCHC)).

b. Anemia pada penyakit kronis (ACD) merupakan anema yang umum

terjadi pada pasien rawat inap.

1. Anemia dihubungkan dengan kondisi inflamasi dan neoplastic yang

mendasari

2. Mekanisme anemia belum dipahami dengan baik,tetapi melibatkan

gangguan eritroposis, defisiensi eritropoetin relative, penurunan

pemakaian zat besi, sintesis hemoglobin abnormal dan penurunan

ketahanan hidup SDM.

3. Karena merupakan protein fase akut, ferritin sering kali normal atau

meninggi pada ACD.

Berbagai penyakit inflamasi kronis berhubungan dengan anemia

jenis normositik normokromik (sel darah merah dengan ukuran dan warna

yang normal).Kelainan ini meliputi arthritis rematoid, abses paru,

osteomyelitis, tuberculosis, dan berbagai ginjal.

21

Anemia biasanya ringan atau tidak progresif. Berkembang secara

bertahap selama periode waktu 6 sampai 8 minggu dan kemudian stabil

pada kadar hematocrit tidak kurang dari 25%. Hemoglobin jarang turun

sampai di bawah 9 g/dl, dan sumsum tulang mempunyai selularitas poetin

rendah, mungkin karena turunnya produksi, dan adanya penyekat pada

penggunaan besi oleh sel eritroid.Juga terjadi penurunan sedang ketahanan

hidup sel darah merah.

Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala dan tidak memerlukan

penanganan kelainan yang mendasarinya, besi sumsum tulang digunakan

untuk membuat darah, sehingga hemoglobin meningkat.

Pada pasien HIV-positif yang mendapat zidovudine (Retrovir)

mempunyai risiko tinggi mengalami anemia akibat supresi sumsum tulang.

Epoetin alfa, suatu bentuk rekombinan eritropoetin manusia, sangat berguna

untuk menangani anemia ini apabila kadar eritropoetin endogen pasien

sangat rendah. Cadangan besi serum yang memadai sangat diperlukan agar

obat ini efektif meningkatkan kadar hematocrit. (Sylvia Price)

Banyak proses penyakit kronis menghasilkan sitokinin inflamasi,

yang menekan hemopoiesis, dengan mengurangi transfer besi ke eritrosit

yang sedang berkembang dan mengurangi efek eritropoitein terhadap

sumsum tulang. Masa hidup eritrosit juga memendek. Proses penyakit yang

mendasari adalah : (i) infeksi kronis : endocarditis infeksi, abses, terutama

pada paru, osteomyelitis ; (ii) inflamasi kronis, misalnya arthritis

rheumatoid, artritis temporal, dan vaskulitid lainnya, misalnya lupus

eritematosus sistemik (SLE), poliarteritis nodusum); (iii) Penyakit inflamasi

usus menyebabkan penyakit kronis dan anemia defisiensi besi; (iv)

keganasan; dan (v) gagal ginjal kronis menyebabkan anemia terutama

dengan mengganggu produksi eritropoetin, walaupun mekanisme lain juga

terimplikasi. Anemia biasanya ringan (Hb biasanya ≥8 g/dl), dan volume

rata-rata (MCV) normal (80-90 Fl).

22

Kadar besi dalam serum dan protein transfer (yang diukur sebagai

total iron binding capacity (TIBC) rendah. Pemeriksaan sumsum tulang,

yang diindikasikan bila kemungkinan defisiensi besi tidak dapat

disingkirkan secara non-invasif, akan menunjukkan adanya persediaan besi

yang melimpah. Anemia tidak enunjukkan respons terhadap pemberian besi

tambahan, tapi menunjukkan respons terhadap terapi penyakit yang

mendasari.Eritropoetin dapat membantu pada kasus gagal ginjal dan pada

beberapa penyakit lainnya, misalnya anemia atau keganasan.Tranfusi darah

dapat membantu keadaan pasien yang simptomatik.

2.6 Tanda dan Gejala

Temuan klinik pada anemia penyakit kronistentunya bergantung pada

penyebabnya.Diagnosis yang harus dilakukan pada suspek yang menderita

penyakit kronik adalah mengkonfirmasi penurunan serum besi, penurunan TIBC,

dan normal atau meningkatnya serum feritin.Selain itu juga perlu dilakukan

pemeriksaan penyerapan asam folat dan besi.Karena pada penyakit kronik sering

ditemukan gangguan penyerapan besi dan folat, dan hal ini diperparah dengan

perdarahan saluran pencernaan. Pada penderita yang ”cuci darah” biasanya terjadi

kekurangan besi dan asam folan selama cuci darah berlangsung.

Selain tanda dan gejala diatas, juga terdapat tanda dan gejala lainnya.

diantaranya:

1. kelelahan, lemah, pucat, dan kurang bergairah

2. sakit kepala, dan mudah marah

3. tidak mampu berkonsentrasi, dan rentan terhadap infeksi

4. pada anemia yang kronis menunjukkan bentuk kuku seperti sendok dan

rapuh, pecah-pecah pada sudut mulut, lidah lunak dan sulit menelan.

Karena faktor-faktor seperti pigmentasi kulit, suhu dan kedalaman serta

distribusi kapiler mempengaruhi warna kulit, maka warna kulit bukan merupakan

indeks pucat yang dapat diandalkan.Warna kuku, telapak tangan, dan membran

mukosa mulut serta konjungtiva dapat digunakan lebih baik guna menilai

kepucatan.

23

Takikardia dan bising jantung (suara yang disebabkan oleh kecepatan aliran

darah yang meningkat) menggambarkan beban kerja dan curah jantung yang

meningkat.Angina (sakit dada), khususnya pada penderita yang tua dengan

stenosis koroner, dapat diakibatkan karena iskemia miokardium. Pada anemia

berat, dapat menimbulkan payah jantung kongesif sebab otot jantung yang

kekurangan oksigen tidak dapat menyesuaikan diri dengan beban kerja jantung

yang meningkat. Dispnea (kesulitan bernafas), nafas pendek, dan cepat lelah

waktu melakukan aktivitas jasmani merupakan manifestasi berkurangnya

pengiriman O2. Sakit kepala, pusing, kelemahan dan tinnitus (telinga berdengung)

dapat menggambarkan berkurangnya oksigenasi pada susunan saraf pusat. Pada

anemia yang berat dapat juga timbul gejala saluran cerna yang umumnya

berhubungan dengan keadaan defisiensi. Gejala-gejala ini adalah anoreksia,

nausea, konstipasi atau diare dan stomatitis (sariawan lidah dan mulut).

2.7 Hasil Pemeriksaan Diagnostik

Karena dapat bermanifestasi sebagai anemia hipokromik mikrositik,

penyakit-prnyakit kronis perlu dibedakan dari anemia defisiensi besi. Infeksi

kronis, proses peradangan, dan keganasan dapat menimbulkan anemia hipokromik

mikrositik. Defek dasarnya adalah pemakaian besi untuk eritropoeisis.Tampaknya

terjadi hambatan penyaluran besi dari simpanan di retikuloendotel ke sel-sel darah

merah yang sedang terbentuk.Akibatnya sel-sel darah merah mengalami

kekurangan besi, sedangkan simpanan besi tubuh berlebihan.

Biasanya apusan darah tepi memperlihatkan gambaran normosiltik, tetapi

pada tahap yang lebih lanjut sel-sel dapat menjadi hipokromik dan mikrositik.

Mikrositik biasanya tidak Separah pada anemia defisiensi besi. Dan volume sel

rerata yang kurang dari 70 samapi 75 Fl jarang dijumpai.Tingkat keparahan

anemia biasanya sedang, dengan hemoglobin berkisar 7 sampai 11 g/Dl.

24

Pada table 3.3 memperlihatkan profil pemeriksaan besi pada anemia pada

penyakit kronis. Biasanya kadar besi serum rendah, demikian juga kapasitas

mengikat besi total. Yang terakhir ini menunjukkan perbedaan bentuk anemia

hipokromik ini dari anemia defisiensi besi.Presentasi saturasi transferrin biasanya

lebih tinggi daripada yang dijumpai pada anemia defisiensi besi dan berada dalam

kisaran 7 sampai 15%. Gambaran pembeda yang utama, tentu saja, adalah

kenyataan bahwa kadar ferritin serum meningkat menjadi 50 sampai 200 mg/Ml.

Temuan ini dapat digunakan untuk membedakan antara penyakit kronis dan

anemia defisiensi besi karena kadar ferritin serum pada keadaan defisiensi besi

kurang dari 10 mg/Ml.

Tabel Temuan Laboraturium Pada Defisiensi Besi

25

Tabel Diagnosis Banding Anemia Hipokromik Mikrositik

Hematokrit jarang kurang dari 60%.MCV biasanya normal atau menurun

sedikit.Morfologi sel darah merah tidak bisa dijadikan untuk diagnosis dan

retikulosit kadang meningkat dan kadang menurun.Serum besi mungkin tidak

teratur.Penurunan transferin sangat extrim, oleh karena itu sering terjadi salah

diagnosis dengan anemia defisiensi besi.Perbedaan dengan anemia defisiensi besi

adalah serum feritin yang normal atau meningkat.Serum feritin yang kurang dari

10 ug/L menunjukkan defisiensi besi.

2.8 Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi umum anemia meliputi gagal jantung, parestesia, dan kejang.

Pada setiap tingkat anemia, pasien dengan penyakit jantung cenderung lebih besar

kemungkinannya mengalami angina atau gagal jantung kongestif daripada

seseorang yang tidak mempunyai penyakit jantung.

26

2.9 Pencegahan

Pencegahan yang dilakukan untuk menghindari anemia dengan

mengkonsumsi makanan yang sehat, variasi makanan, termasuk:

a. Zat Besi.

Sumber terbaik zat besi adalah daging sapi dan daging lainnya. Makanan

lain yang kaya zat besi, termasuk kacang-kacangan, sayuran berdaun hijau

tua, selai kacang dan kacang-kacangan.

b. Asam Folat

Dapat ditemukan di jus jeruk dan buah-buahan, pisang, sayuran berdaun

hijau tua, kacang polong dan dibentengi roti, sereal dan pasta. 

c. Vitamin B-12. Vitamin ini banyak dalam daging dan produk susu. 

d. Vitamin C. Makanan yang mengandung vitamin C, seperti jeruk, melon

dan beri, membantu meningkatkan penyerapan zat besi.

e. Mengonsumsi makanan yang tinggi protein tinggi kalori

f. Membatasi konsumsi minuman beralkohol, karena alkohol akan

mempengaruhi penggunaan nutrisi esensial

g. Menjaga suasana istirahat yang sering dan tetap bergerak aktif sejauh yang

dapat ditoleransi.

2.10 Penatalaksanaan

Anemia penyakit kronik berespons terhadap pemberian eritropoietin

rekombinan. Obat ini telah berhasil digunakan untuk mengobati anemia pada

insufisiensi ginjal kronis, peradangan kronik, dan keganasan. Selain itu obat ini

juga dinilai mampu untuk mengobati beberapa wanita hamil yang mengalami

anemia yang disebabkan oleh insufisiensi ginjal kronik. Meskipun massa sel darah

merah biasanya meningkat selama beberapa minggu, namun timbul efek samping

eritropoietin rekombinan, yaitu hipertensi yang sudah sering terjadi pada ibu

hamil.

27

Terapi utama pada penyakit kronis adalah mengobati penyakit dasarnya.

Selain itu terdapat pilihan juga dalam mengobati penyakit ini:

a. Transfusi

Merupakan pilihan pada kasus yang disertai gangguan hemodinamik. Tidak

adabatasan pasti pada kadar Hb berapa kita memberikan transfusi. Namun

kadarHb sebaiknya dipertahankan berkisar antara 10-11 gr/dL.b.

b. Preparat besi

Pemberian preparat besi pada anemia pada penyakit kronis

masihdiperdebatkan. Meskipun ada beberapa bukti yang menunjukkan

bahwa pemberian preparat besi dapat mencegah pembentukan TNF-alfa

sertameningkatkan kadar Hb pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal.

c. Eritropoietin

Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian eritropoietin bermanfaat

dansudah disepakati pada pasien kanker, gagal ginjal, multipel

mieloma,rheumatoid artritis dan HIV/AIDS. Eritropoietin yang dapat

diberikan terbagidalam 3 jenis :Eritropoietin alfa, Eritropoietin beta dan

Darbopoietin. Keuntungan pemberian eritropoeitin yaitu dapat menghindari

efek samping dari transfusi dan memiliki efek antiinflamasi (menekan

produksi TNF-alfa dan IFN-gamma)

28

29

30

BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN

4.1 Pengkajian

A. Identitas pasien

Identitas pasien terdiri dari nama pasien, umur, jenis kelamin, agama,

suku, dan alamat.

B. Riwayat kesehatan

1. Keluhan utama pasien atau alasan utama mengapa ia datang ke rumah

sakit.

2. Riwayat kesehatan sekarang

d. Adanya rasa nyeri: kaji lokasi ( nyeri yang dirasakan pasien

tergantung dari tingkat keganasan penyakit yang tengah dialami

pasien), karakter, durasi, faktor-faktor yang memicu rasa nyeri

dan yang meringankannya. Adanya gejala panas atau menggigil

(disebabkan adanya proses inflamasi atau agen infeksi penyakit),

sering lelah, perubahan berat badan, perubahan nafsu makan,

sakit kepala, mual, malaise, sesak napas, nyeri dada, atau tanpa

gejala (gejala biasanya bisa secara mendadak atau bertahap).

e. Tanda-tanda yang dialami pasien tergantung dari penyakit yang

dideritanya, penyakit tersebut bisa berhubungan dengan

kehilangan darah dari saluran cerna (tinja berwarna gelap, darah

per rektal, muntah “butiran kopi”)

f. Untuk pasien wanita :Jika pasien wanita : Tanda-tanda yang

dialami pasien berhubungan dengan kehilangan darah yang

berlebih pada saat pasien menstruasi, semua tergantung dari

frekuensi dan durasi menstruasi serta penggunaan tampon atau

pembalut saat pasien menstruasi.

31

3. Riwayat kesehatan masa lalu

a. Riwayat penyakit gagal ginjal kronis sebelumnya atau riwayat

penyakit kronis (misalnya artritis reumatoid atau gejala yang

menunjukkan keganasan penyakit)

b. Terapi atau perawatan rumah sakit yang pernah dialami untuk

menanggani artritis reumatoid atau gejala yang menunjukkan

keganasan penyakit, berapa lama dirawat.

c. Terdapat tanda-tanda kegagalan terhadap sumsum tulang (memar,

perdarahan, dan infeksi)

d. Riwayat anemia sebelumnya atau pemeriksaan laboratorium

e. Riwayat Pengobatan : Obat-obatan tertentu berhubungan dengan

kehilangan darah (misalnya AINS menyebabkan erosi lambung

atau supresi sumsum tulang akibat obat sitolitik).

4. Riwayat Kesehatan Keluarga

a. Tanyakan adanya riwayat anemia pada keluarga, khususnya

pertimbangkan penyakit sel sabit, talasemia, dan anemia hemolitik

yang diturunkan.

5. Pola fungsi kesehatan

a. Aktifitas / Istirahat

Keletihan, kelemahan, malaise umum.

Kehilangan produktifitas, penurunan semangat untuk bekerja

Toleransi terhadap latihan rendah.

Kebutuhan untuk istirahat dan tidur lebih banyak

b. Sirkulasi

Riwayat kehilangan darah kronis,

Riwayat endokarditis infektif kronis.

Palpitasi.

c. Integritas ego

Keyakinan agama atau budaya mempengaruhi pemilihan

pengobatan, misalnya: penolakan tranfusi darah.

32

d. Eliminasi

Riwayat pielonenepritis, gagal ginjal.

Flatulen, sindrom malabsobsi.

Hematemesi, melana.

Diare atau konstipasi

e. Makanan / cairan

Nafsu makan menurun

Mual/ muntah

Berat badan menurun

f. Nyeri / kenyamanan

Lokasinyeri terutama di daerah abdomen dan kepala.

g. Pernapasan

Napas pendek pada saat istirahat maupun aktifitas

h. Seksualitas

Perubahan menstuasi misalnya menoragia, amenore

Menurunnya fungsi seksual

Impotent

4.2 Diagnosa Keperawatan

DATA ETIOLOGI MASALAH

DO : Pasien terlihat pucat,

lemah, ekstremitas dingin

perubahan tekanan darah,

pengisian kapiler lambat

DS : Pasien mengatakan, ”Sus,

badan saya terasa lemah sekali

Anemia

Tergantung pada

jenis penyakit

Suplai O2 ke sel inadekuat

Lemah, pucat

Gangguan Perfusi Jaringan

Gangguan

Perfusi

Jaringan

33

DO : Pasien tampak lemah dan

kelelahan

Mengeluh penurunan

aktifitas /latihan

Lebih banyak memerlukan

istirahat /tidur

DS : Pasien mengatakan, ” Sus,

badan saya terasa letih sekali,

akhir-akhir ini saya mengalami

penurunan aktivitas”.

Anemia

Tergantung pada

jenis penyakit

Suplai O2 ke sel inadekuat

Lemah, letih

penurunan aktifitas /latihan

Lebih banyak memerlukan

istirahat /tidur

Intoleransi Aktivitas

Intolerasi

aktifitas

DO : Penurunan berat badan

Penurunan

turgor kulit,

perubahan

mukosa mulut.

Nafsu makan

menurun, mual

Kehilangan

tonus otot

DS : Keluarga pasien

mengeluh, ” Sus, suami saya

sering mengeluh mual dan

sehingga tidak nafsu makan”

Anemia

Tergantung pada

jenis penyakit

Suplai O2 ke sel inadekuat

Mempengaruhi hipotalamus

nausea & vomiting

Gangguan pemenuhan

nutrisi

Intake nutrisi inadekuat

Intake nutrisi

inadekuat

34

4.3 Intervensi Keperawatan

PROBLEM Gangguan Perfusi Jaringan

INTERVENTION 1. Kaji tanda-tanda vital, warna kulit, membrane

mukosa, dasar kuku

2. Beri posisi semi fowler

3. Pertahankan suhu lingkungan dan tubuh pasien

4. Monitor pemeriksaan laboratorium misal Hb/Ht

dan jumlah SDM

5. Berikan SDM darah lengkap

6. Berikan O2 tambahan sesuai dengan indikasi

CRITERIA Perfusi jaringan yang adekuat ditunjukkan oleh pasien

OUTCOME Pasien sudah tidak merasa lemah dan letih lagi

TIME Pasien diharapkan tidak merasakan lemah dan letih

setelah pemberian SDM dan O2 dalam waktu 1x24

jam.

PROBLEM Intolerasi aktivitas

INTERVENTION 1 Kaji kemampuan aktifitas pasien

2 Kaji tanda-tanda vital saat

melakukan aktifitas

3. Bantu kebutuhan aktifitas pasien jika

diperlukan

4. Anjurkan kepada pasien untuk

menghentikan aktifitas jika terjadi

palpitasi

5 Gunakan tehnik penghematan energi

misalnya mandi dengan duduk.

CRITERIA Aktivitas yang adekuat ditunjukkan

35

oleh pasien

OUTCOME Pasien sudah tidak merasa lemah dan

letih lagi

TIME Pasien diharapkan tidak merasakan

lemah dan letih setelah menggunakan

teknik penghematan energi selama

3x24 jam.

PROBLEM Intake Nutrisi Inadekuat

INTERVENTION 1 Kaji riwayat nutrisi termasuk

makanan yang disukai

2 Observasi dan catat masukan

makanan pasien

3 Timbang berat badan tiap hari

4 Berikan makanan sedikit dan

frekuensi yang sering

5 Observasi mual, muntah , flatus

dan gejala lain yang berhubungan

6 Bantu dan berikan hygiene mulut

yang baik

7 Konsultasikan pada ahli gizi

mengenai pemberian diet dan

nutrisi pasien

8 Konsultasikan dengan dokter

mengenai pemberian obat sesuai

dengan indikasi misalnya: vitamin

dan mineral suplemen.

CRITERIA Nutrisi yang adekuat ditunjukkan oleh

pasien

36

OUTCOME Pasien sudah tidak mual dan muntah

lagi

TIME Pasien diharapkan tidak merasakan

mual dan muntah setelah

pemberianobat sesuai dengan indikasi

misalnya: vitamin dan mineral

suplemen.

selama 1x24 jam.

4.4 Implementasi Keperawatan

Implementasi keperawatan dilakukan sesuai dengan pelaksanaan intervensi

keperawatan pada pasien.

4.5 Evaluasi Keperawatan

Evaluasi dilakukan pada setiap diagnose dengan menggunakan metode SOAP,

yaitu:

S: kondisi pasien secara subyektif setelah dilakukan tindakan asuhan

keperawatan, data dapat didapatkan melalui kata-kata dari respon pasien

O: kondisi pasien secara obyektif setelah dilakukan tindakan asuhan

keperawatan, data dapat didapatkan melalui kondisi fisik pasien

A: analisis data, apakah tindakan asuhan keperawatan yang diberikan sudah

berhasil secara keseluruhan, hanya sebagaian, atau gagal total

P: rencana yang akan dilakuakn selanjutnya

BAB 4. INTERVENSI YANG DISARANKAN

37

A. PICOT FAMEWORK

Intervensi penatalaksanaan yang berhubungan dengan anemia

penyakit kronis adalah Terapi Eritropoetin. Terapi Eritropoetin adalah

suatu tindakan pemberian obat pada pasien anemia terutama pada pasien

anemia kronis akibat penyakit ginjal kronis. Anemia hampir selalu

menyertai gagal ginjal kronik dan banyak faktor terbukti sebagai penyebab

terjadinya anemia tersebut. Menurunnya kadar eritropoetin dianggap

sebagai penyebab utama anemia. Pemakaian eritropoetin rekombinan

dilaporkan memberikan hasil dan harapan yang baik. Disamping

menaikkan HB, kualitas hidup penderita juga dapat diperbaiki. Di

Indonesia sendiri, meskipun sudah mulai dipasarkan sejak tahun 1985 dan

terbukti efektif mengatasi anemia pada penyakit ginjal kronis, penggunaan

EPO masih tidak sebanyak di negara maju. Hal ini terutama karena

harganya yang sangat mahal, sehingga transfusi sel darah merah meskipun

telah diketahui banyak memiliki kekurangan sebagai pilihan terapi, masih

cukup banyak digunakan untuk mengatasi anemia pada pasien – pasien

hemodialisis reguler.

B. SUMBER LITERATUR

Literatur didapatkan dari buku-buku dan melakukan searching di

internet menggunakan website www.google.com khususnya

www.books.google.co.id, dengan kata kunci penatalaksanaan anemia

penyakit kronis dan terapi eritropoetin. Selain itu, materi yang

berhubungan dengan pembahasan ditemukan di Buku Ajar Keperawatan

Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Volume II yang diterbitkan

oleh EGC. Jurnal, artikel, dan laporan penelitian juga menjadi sumber

tambahan dalam mencari informasi mengenai tindakan terapi eritropoetin

ini

38

C. TEORI KONSEP INERVENSI

1. Definisi

Terapi Eritropoetin merupakan penanganan alternatif yang efektif

pada pasien anemia kronis akibat penyakit ginjal kronis. Terapi EPO

tediri dari 2 fase, yaitu fase koreksi dan fase pemeliharaan. Fase

koreksi bertujuan mengoreksi anemia sampai target Hb /Ht tercapai.

Efek utama dari terapi ini adalah merangsang eritropoesis.

2. Mekanisme Kerja

Terapi EPO tediri dari 2 fase, yaitu fase koreksi dan fase

pemeliharaan.

a. Fase koreksi bertujuan mengoreksi anemia sampai target

Hb /Ht tercapai.

Umumnya dimulai dengan 2.000-4.000 IU (International

Unit) subkutan, 2-3 kali/ minggu selama 4 minggu.

Target respon yang diharapkan : Hb naik 1-2 gr/dl dalam 4

minggu atau Ht naik 2-4% dalam 2-4 minggu.

Bila target tercapai pertahankan dosis EPO sampai target

Hb tercapai (>10gr/dl)

Bila target respon belum tercapai, naikkan dosis 50%

Bila Hb naik > 2,5 gr/dl atau Ht naik >8% dalam 4 minggu,

turunkan dosis 25%

Pemantauan status besi : selama terapi EPO pantau status

besi, berikan suplemen sesuai panduan terapi besi

b. Terapi EPO fase pemeliharaan dilakukan bila target Hb sudah

tercapai (>10gr/dl) dengan dosis 1-2x 2000 IU/ minggu.

Pemantauan Hb dan Ht tiap bulan serta periksa status besi

tiap 3 bulan. Bila dengan terapi pemeliharaan Hb mencapai

>12 gr/dl dan status besi cukup, maka dosis EPO diturunkan

25%.

39

3. Indikasi dan Kontraindikasi

EPO menurut Persatuan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI)

diindikasikan bila didapat Hb ≤ 10 gr/dl, Ht ≤ 30%, penyebab anemia

lain sudah disingkirkan dan status besi yang cukup. Selain itu “The

Renal Association of Great Britain” memakai kriteria sebagai berikut:

a. Hemogobin dibawah 8 g/dl

b. Penderita memerlukan transfusi berkala

c. Anemia yang memperberat angina atau payah jantung

d. Anemia yang membahayakan jiwa serta berhubungan dengan

gangguan fungsi tubuh.

e. Penderita dimana transfusi harus dihindarkan untuk

mengurangi sensitisasi pada waktu transplantasi.

Untuk kontraindikasi dari terapi eritropoetin yaitu:

a. Pasien dengan perdarahan

b. Pasien dengan defisiensi Fe, asam folat serta vitamin B12

4. Komplikasi

Pada umumnya pemberian terapi dapat ditoleransi tubuh dengan baik.

Kadang timbul seperti “flu” beberapa saat setelah pemberian obat.

Komplikasi yang bisa sering terjadi antara lain:

a. Defisiensi Fe

Merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat penigkatan

produksi eritrosit dimana dibutuhkan Fe. Penderita dengan feritin

kurang dari 50 ng/ml dan saturasi trsnferin <20% harus dierikan

terlebih dahulu preparat Fe sebelum dimulai pengobatan. Demikian

pula untuk menjaga respon pengobatan agar tetap baik defisiensi Fe

harus segera dikoreksi. Pemeriksaan hematokrit dan retikulosit

dilakukan tiap minggu. Sedangkan pemeriksaan feritin dan saturasi

transfersin tiap 2 minggu.

b. Hipertensi

40

Tekanan darah meningkat pada 30-50 % penderita. Pada 32%

penderita hipertensi terdapat 32% yang memerlukan pengobatan

lebih agresif. Sedangkan pada penderita yang normotensi terdapat

kenaikan tekanan diastolik 10 mmHg, dimana sepetiganya

memerlukan terapi. Walaupun jarang dapat pula terjadi krisis

hipertensi disertai kejang-kejang.

c. Trombosis

Dilaporkan terjadinya peningkatan jumah kasus thrombosis pada

akses vaskuler dan dialiser pada pemberian rHupo. Diduga

disamping peningkatan hematokrit terdapat pula perbaikan fungsi

trmbosit yang memudahkan timbulnya trombosis.

5. Keamanan dan Efektivitas

Pemakaian EPO dapat dilakukan secara intravena (IV) atau

subkutan, pasien – pasien yang menjalani hemodialisis biasanya

menggunakan EPO secara IV sedangkan pasien CAPD (Continous

Ambulatory Peritoneal Dialysis) atau penyakit ginjal kronik pre-

dialisis umumnya menggunakan EPO secara subkutan. Pemakaian

secara subkutan biasanya menggunakan dosis 30% lebih rendah

daripada dosis IV.

Beberapa peneliti melaporkan penggunaan dosis yang lebih rendah

masih efektif. Pemberian subcutan dibanding intravena memberikan

hasil yang lebih baik sehingga dosis subkutan dapat lebih kecil

dibanding dosis intravena. Hal ini disebabkan konsentrasi dalam

plasma dapat lebih panjang. Area suntikan subcutan di pha

menunjukkan absorbsi yang lebih baik dibanding pada pemberian di

lengan atau perut.

Disamping manfaat perbaikan anemia, ternyata terapi EPO

dilaporkan pula dapat emberikan keuntungan yang lain diantaranya:

a. Perbaikan persaan “enak”

b. Kemampuan fisik meningkat

41

c. Nafsu makan meningkat

d. Kemampuan seksual membaik

e. Perbaikan hemostatis.

D. IMPLIKASI DAN REKOMENDASI INTERVENSI

Pengobatan anemia penyakit kronis tidak hanya menggunakan

terapi EPO (Eritropoetin), tetapi masih banyak tindakan pengobatan lain

seperti pengobatan preparat Fe, Asam Folat, Steroid anabolik dan transfusi

darah. Masing-masing tindakan tersebut tentunya memiliki keuntungan

dan kerugian yang baraneka ragam. Hal ini harus ditentukan dengan

kebutuhan dari penderita anemia itu sendiri. Terapi-terapi tersebut

merupakan salah satu pencetus dimunculkannya terapi eritropoetin.

Anemia sering dijumpai pada pasien – pasien dengan penyakit

inflamasi akut atau kronis, insufisiensi ginjal dan hipotiroid. Pada kondisi –

kondisi tersebut terjadi kegagalan rangsangan eritropoetin terhadap sumsum

tulang. Kadar eritropoetin di dalam serum meskipun tidak menurun di bawah

kadar basal, tidak meningkat sesuai dengan derajat anemia. Respon

proliferatif normal sumsum tulang terhadap anemia dipengaruhi oleh

respon eritropoetin, rangsangan terhadap sumsum tulang dan zat besi yang

cukup. Penurunan hemoglobin di bawah 12 gr/dl akan merangsang

peningkatan produksi eritropoetin. Tindakan terapi eritropoetin merupakan

langkah yang tepat untuk penanganan anemia pada penyakit kronis. Terapi

eritropoetin bertujuan untuk memberikan pengobatan dengan cara

merangsang eritropoesis sehingga dapat mencegah kadar eritropoetin agar

tidak menurun.

Salah satu komplikasi yang sering terjadi adalah EPO dapat

menyebabkan hipertensi dan meningkatkan viskositas darah. Perlu adanya

pemahaman mengenai komplikasi yang dapat timbul pada pasien dari

tindakan ini karena efek yang ditimbulkan oleh tiap pasien dapat berbeda-

42

beda. Salah satunya dengan cara melakukan monitoring rutin terhadap

kondisi pasien. Oleh karena itu peran perawat dalam hal pelaksana

tindakan haruslah peka terhadap apa seharusnya dilaksanakan terutama

dengan memenuhi kebutuhan pasien anemia tersebut.

BAB 5. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

43

Sistem hematologi tersusun atas darah dan tempat darah diproduksi

termasuk sumsum tulang dan nodus limpa. Darah adalah organ khusus yang

berbeda dengan orang lain karena berbentuk cairan. Darah merupakan medium

transpor tubuh, volume darah manusia sekitar 7%-10% berat badan normal dan

berjumlah sekitar 5 liter. Keadaan jumlah darah pada tiap-tiap orang tidak sama,

bergantung pada usia, pekerjaan serta keadaan jantung atau pembuluh darah.

Anemia penyakit kronis yaitu berbagai penyakit inflamasi kronis berhubungan

dengan anemia jenis normositik normokromik (sel darah merah dengan ukuran

dan warna yang normal).Kelainan ini meliputi arthritis rematoid, abses paru,

osteomyelitis, tuberculosis, dan berbagai ginjal.

Anemia biasanya ringan atau tidak progresif. Berkembang secara bertahap

selama periode waktu 6 sampai 8 minggu dan kemudian stabil pada kadar

hematocrit tidak kurang dari 25%. Hemoglobin jarang turun sampai di bawah 9

g/dl, dan sumsum tulang mempunyai selularitas poetin rendah, mungkin karena

turunnya produksi, dan adanya penyekat pada penggunaan besi oleh sel

eritroid.Juga terjadi penurunan sedang ketahanan hidup sel darah merah.

Kebanyakan pasien tidak menunjukkan gejala dan tidak memerlukan penanganan

kelainan yang mendasarinya, besi sumsum tulang digunakan untuk membuat

darah, sehingga hemoglobin meningkat.

3.2 Saran

Diharapkan kepada mahasiswa keperawatan agar dapat mengerti, memahami

dan dapat menjelaskan tentang anemia penyakit kronis baik dari pengertian

hingga penerapan asuhan keperawatan. Tidak hanya mengetahui saja, akan lebih

bermanfaat apabila mahasiswa bisa menerapkan ilmu dan pengetahuan yang

dimilikinya dalam kehidupan bermasyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

44

Brunner and Suddarth’s (2002).Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah.(Edisi

kedelapan).Jakarta : EGC.

Chang, Ester. 2009. Patofisiologi Aplikasi pada Praktek Keperawatan. EGC:

Jakarta

Doengoes, Marilyn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta EGC.

Gleadle, Jonathan. 2005. At a Glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik.

Surabaya: Erlangga

Richard N. Mitchell. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Jakarta: EGC

Sacher, Roland A. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium.

Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzzane. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikan Bedah Brunner

Suddart. Volume 2. Jakarta: EGC.

45