LP Sectio Caesarea Naomi

49
LAPORAN PENDAHULUAN POSTPARTUM DENGAN SECTIO CAESARIA DI RSUD BANYUMAS STASE KEPERAWATAN MATERNITAS Oleh: Naomi Fetty S, S.kep KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NASIONAL FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PROGRAM PROFESI NERS PURWOKERTO 1

Transcript of LP Sectio Caesarea Naomi

LAPORAN PENDAHULUAN POSTPARTUM DENGAN SECTIO CAESARIA

DI RSUD BANYUMAS

STASE KEPERAWATAN MATERNITAS

Oleh:

Naomi Fetty S, S.kep

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NASIONAL

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PROGRAM PROFESI NERS

PURWOKERTO

2014

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sectio caesarea sebagai cara persalinan untuk mengeluarkan bayi sudah

ada sejak berabad-abad tahun yang lalu (Edwards, 2010). Tujuan dasar sectio

caesarea ialah memelihara kehidupan atau kesehatan ibu dan janinnya.

Persalinan secara sesar didasarkan pada bukti adanya stress maternal atau fetal.

Angka morbiditas dan mortalitas maternal dan fetal menurun sejak adanya

metode pembedahan dan perawatan modern. Namun, sectio caesarea masih

mengancam kesehatan ibu dan bayi (Bobak, 2005).

Insiden sectio caesarea meningkat secara dramatis dalam 25 tahun

terakhir (Bobak, 2005). Sectio caesarea saat ini merupakan hal yang paling

umum dalam proses pembedahan yang dilakukan pada seluruh wanita di dunia,

dengan angka antara 23 persen sampai 30 persen kelahiran di Inggris dilakukan

melalui sectio caesarea (Edwards, 2010). Hal ini menjadi sesuatu yang

mengejutkan di Inggris apabila dilihat pada tahun 1973 yang hanya 5,3 persen

saja (Edwards, 2010). Pertengahan tahun 1960-an sampai akhir 1980-an, angka

sectio caesarea di Amerika Serikat juga meningkat. Awalnya kurang dari 5

persen, meningkat menjadi 24 persen. Alasan peningkatan sectio caesarea di

Amerika karena peningkatan pemantauan janin secara elektronik, peningkatan

kehamilan pertama kali, peningkatan kehamilan pada usia lebih tua, dan

insiden kelahiran sesar secara berulang yang meningkat (Bobak, 2005).

Hasil audit tahun 2002 di Inggris, dari 158.299 kelahiran, sekitar 33.492

atau sekitar 21,5 persen telah melakukan sectio caesarea atas permintaan para

ibu tanpa adanya indikasi medis. Hal ini menjadi bahan perdebatan di media

dan profesi medis. Laporan kasus yang sama juga terjadi di Belanda sekitar 2,6

persen, di Taiwan 34 persen (Thompson, 2010). Menurut Royal College of

Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) tahun 2002 melaporkan bahwa 7,3

persen dari kasus sectio caesarea primer di Inggris dilakukan atas permintaan

ibu (Thompson, 2010).

2

Tahun 1992 di Amerika, angka ini sedikit menurun sampai 22,6 persen

(Bobak, 2005). Tahun 1996 sebanyak 28,3 persen menjadi 10,1 persen pada

tahun 2005 (American College of Obstetricians and Gynaecologist/ ACOGS,

2009 dalam Baxter, 2010). Di Australia juga terjadi penurunan pada tahun

1998 sampai 2006 dari 31 persen menjadi 19 persen (Baxter, 2010). Penurunan

ini disebabkan karena ada usaha yang lebih besar untuk mengupayakan

kelahiran per vaginam setelah suatu kelahiran sesar (Bobak, 2005).

Tindakan sectio caesarea dapat menyebabkan perubahan atau adaptasi

fisiologis maupun psikologis. Dengan demikian klien dan keluarga perlu

mendapat informasi mengenai masalah yang ada, perawat juga diharapkan

dapat menjelaskan prosedur sebelum operasi sectio caesarea dilakukan dan

perlu diinformasikan pada ibu yang akan dirasakan selanjutnya setelah operasi

sectio caesarea. Selain itu perawat juga diharapkan dapat membantu mengatasi

masalah yang timbul post sectio caesarea. Oleh karena itu, penulis sangat

tertarik untuk mencari tahu lebih lanjut mengenai asuhan keperawatan pada

klien sectio caesarea.

B. Rumusan Masalah

Melihat apa yang terpapar di latar belakang, maka dapat dirumuskan

masalah sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud persalinan Sectio Cesarea?

2. Apa indikasi dilakukannya persalinan Sectio Cesarea?

3. Bagaimana klasifikasi persalinan Sectio Cesarea?

4. Apa komplikasi persalinan Sectio Cesarea?

5. Apa pemeriksaan penunjang dari persalinan Sectio Cesarea?

6. Bagaimana pathwaynya?

7. Bagaimana asuhan keperawatan dari persalinan Sectio Cesarea?

C. Tujuan

1. Tujuan Instruksional Umum

Setelah melakukan penyusunan laporan pendahuluan diharapkan mahasiswa

dapat mengelola pasien dengan persalinan sectio caesarea.

3

2. Tujuan Instruksional Khusus

Setelah melakukan penyusunan laporan pendahuluan diharapkan mahasiswa

dapat :

a. Mengetahui pengertian dari persalinan Sectio Cesarea.

b. Mengetahui indikasi dilakukannya persalinan Sectio Cesarea.

c. Mengetahui klasifikasi dari persalinan Sectio Cesarea.

d. Mengetahui komplikasi dari dilakukannya persalinan Sectio Cesarea.

e. Mengetahui asuhan keperawatan dari persalinan Sectio Cesarea.

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian

Sectio Caesarea merupakan suatu tindakan pembedahan untuk

melahirkan janin/ bayi dengan berat di atas 500 g melalui sayatan pada dinding

perut dan dinding uterus atau vagina yang masih utuh/intact atau suatu

histerotomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Mochtar, 2002;

Saifuddin, 2002). Ada tujuh lapisan yang diiris pisau bedah, yaitu lapisan kulit,

lapisan lemak, sarung otot, otot perut, lapisan dalam perut, lapisan luar rahim,

dan rahim (Mochtar, 2002). Kelahiran Sectio Caesarea dulu disebut sebagai

Bedah-C (Pillitteri, 2002).

Istilah caesarea berasal dari kata latin “caedo”, yang berarti “memotong”.

Baik direncanakan (dijadwalkan) atau tidak (darurat), kehilangan pengalaman

melahirkan anak secara tradisional (pervaginam) dapat memberikan efek

negatif pada konsep diri wanita. Kelahiran caesarean ialah kelahiran janin

melalui insisi transabdomen pada uterus (Bobak, 2005).

B. Indikasi

Indikasi dilakukannya sectio caesarea dibagi dalam 2 bagian, yaitu

indikasi pada ibu dan janin/ bayi. Indikasi pada ibu yaitu disproporsi kepala

panggul/CPD/FPD, disfungsi uterus, distosia jaringan lunak/serviks, plasenta

previa, partus lama, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini, pre eklamsi

dan eklamsi. Indikasi pada janin yaitu janin besar (BJ > 4000 g), gawat janin

presentasi bokong dan letak lintang (Mochtar, 2002; Saifuddin, 2002).

Indikasi lain prosedur tersebut mencakup infeksi virus herpes, prolaps

tali pusat (Prolapsed umbilical cord), riwayat sesar sebelumnya, komplikasi

medis seperti hipertensi akibat kehamilan (pregnancy-induced hypertention),

solusio plasenta, malpresentasi misalnya presentasi bahu dan anomali janin

misalnya hidrosefalus (Bobak, 2005).

Tahun 2002 7,3 persen dari seluruh persalinan sesar di Inggris dilakukan

atas permintaan ibu tanpa adanya indikasi medis. Alasan dibalik permintaan

5

tersebut bermacam-macam dan sering dipengaruhi oleh sosial, budaya,

emosional dan faktor ekonomi (Thompson, 2010). Salah satu alasannya yaitu

adanya persepsi ibu yang mengatakan kalau pilihan ini merupakan pilihan yang

lebih aman, padahal ada beberapa penelitian yang menunjukan bahwa operasi

sesar yang dilakukan tanpa indikasi medis memiliki risiko fisik dan emosional

yang lebih besar daripada persalinan secara per vaginam (Baxter et al, 2010).

Risiko morbiditas ibu setelah persalinan sesar yang direncanakan, lebih tinggi

daripada rencana persalinan per vaginam. Risiko ini harus menjadi

pertimbangan bagi ibu yang akan melakukan persalinan secara sesar (Baxter et

al, 2010).

C. Kontraindikasi

Kontraindikasi sectio caesaria sebagai berikut: janin sudah mati dalam

kandungan (IUFD), klien dengan syok dan anemia berat yang belum diatasi,

jika janin didalam kandungan ibu terbukti cacat seperti unencephal, kasus yang

sudah terjadi infeksi pada kehamilan (Nadesul, 2009).

D. Klasifikasi

Menurut Bobak (2005) berdasarkan waktunya, kelahiran sesar ada yang

terencana atau terjadwal dan ada juga yang tidak terencana atau darurat.

1. Kelahiran sesar terjadwal/terencana

Wanita yang mengalami kelahiran sesar terjadwal atau terencana

dilakukan jika persalinanan normal dikontraindikasikan misalnya karena

plasenta previa, tetapi persalinan harus tetap dilakukan, persalinan tidak

dapat diinduksi (misalnya, keadaan hipertensi yang menyebabkan

lingkungan intrauterus memburuk sehingga mengancam janin), atau bila ada

suata keputusan yang dibuat antara petugas kesehatan dan wanita (misalnya

kelahiran sesar berulang). Para wanita ini biasanya memiliki waktu untuk

persiapan psikologis.

2. Kelahiran sesar darurat

Wanita yang mengalami kelahiran sesar darurat atau tidak terencana

sering menimbulkan pengalaman yang traumatik. Wanita tersebut biasanya 6

menghadapi pembedahan dengan letih dan tidak bersemangat bila ternyata

persalinan tidak berhasil. Dia cemas terhadap kondisi diri dan bayinya.

Seluruh prosedur preoperasi harus dilakukan dengan cepat dan kompeten.

Waktu untuk menjelaskan prosedur dan operasi harus singkat. Wanita ini

memerlukan lebih banyak perawatan pendukung.

Bobak (2005) juga membagi kelahiran sesar berdasarkan tipenya menjadi

2 macam, yaitu sebagai berikut:

1. Kelahiran sesar klasik

Kelahiran sesar klasik kini jarang dilakukan, tetapi dapat dilakukan

bila diperlukan persalinan yang cepat dan pada beberapa kasus presentasi

bahu serta plasenta previa. Insisi vertikal dilakukan ke dalam bagian tubuh

atas uterus. Insiden kehilangan darah, infeksi dan rupture uterus lebih tinggi

pada kehamilan selanjutnya daripada persalinan dengan prosedur sesar

segmen bawah. Kelahiran per vaginam setelah sesar klasik

dikontraindikasikan.

2. Kelahiran sesar segmen bawah

Kelahiran sesar segmen bawah dapat dilakukan melalui insisi vertikal

(Sellheim) atau insisi transversal (Kerr). Insisi transversal lebih popular

karena lebih mudah dilakukan, kehilangan darah relatif lebih sedikit, infeksi

paska operasi lebih kecil, dan kemungkinan ruptur pada kehamilan

selanjutnya lebih kecil.

Menurut sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagai

berikut:

1. Sayatan memanjang (longitudinal).

2. Sayatan melintang (transversal).

3. Sayatan huruf T (T insicion).

E. Patofisiologi

Riwayat sectio caesarea sebelumnya, distosia persalinan dan letak janin

abnormal memungkinkan ibu hamil untuk dilakukannya persalinan sectio

caesarea. Sectio caesarea menimbulkan perlukaan dan membuka jaringan, dari

jaringan yang tersayat akan memunculkan reseptor nyeri sehingga timbul rasa 7

nyeri. Klien post sectio caesarea akan mengalami kelemahan fisik dan rasa

nyeri sehingga dapat menganggu mobilisasi klien dan menyebabkan masalah

defisit perawatan diri, dengan adanya sectio caesarea juga dapat menyebabkan

klien mengalami cemas karena perubahan status peran dan kondisi

kesehatannya (Mansjoer, 2002).

F. Komplikasi/ Risiko

Operasi sesar adalah operasi yang aman. Namun, seperti dengan operasi

besar lainnya, ada resiko yang terlibat (Gregory et al, 2011). Risiko utama

adalah untuk ibu. Komplikasi maternal terjadi pada 25 persen sampai 50 persen

kelahiran seperti perdarahan hebat pada saat operasi dan setelah melahirkan,

infeksi pada luka atau peningkatan bekuan darah (trombosis) di pembuluh

darah kaki/tromboflebitis (Bobak, 2005; Gregory et al, 2011). Komplikasi lain

meliputi aspirasi, emboli pulmoner, infeksi saluran kemih, cedera pada

kandung kemih atau usus, dan komplikasi yang berhubungan dengan anestesi

(Bobak, 2005). Menurut Edwards and McColgan (2010), kecemasan juga

merupakan komplikasi dari pasien yang mengalami operasi karena kecemasan

dapat mempengaruhi keadaan fisiologis pasien. Kecemasan mengakibatkan

perubahan yang disebabkan oleh stimulasi simpatik yang dapat mengakibatkan

peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Selain itu, kecemasan dapat

menyebabkan meningkatnya rasa nyeri dan keterlambatan penyembuhan. Para

dokter kandungan dan bidan akan memastikan bahwa tindakan yang tepat

diambil untuk mengurangi risiko komplikasi (Gregory et al, 2011).

Kelahiran sesar bukan saja berisiko pada ibu tetapi juga pada janinnya.

Risiko itu meliputi risiko janin lahir prematur jika usia gestasi tidak dikaji

dengan akurat dan risiko cedera janin dapat terjadi selama pembedahan. Selain

itu, wanita tersebut memiliko risiko finansial karena biaya kelahiran sesar lebih

tinggi daripada kelahiran normal secara per vaginam dan periode pemulihan

yang lebih lama memerlukan biaya tambahan (Bobak, 2005). Oleh karena itu,

pada tahun 1985, Organisasi Kesehatan Dunia WHO menyarankan bahwa

tingkat operasi sesar sebesar 15 persen hanya untuk negara maju (Thompson,

2010).

8

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Metode Morgan Thournau: gabungan spiral/helik CT scan panggul dan

ultrasonografi: perbandingan besar volume lingkar kepala/lingkar

bahu/lingkar perut janin

2. USG : biometri, indeks cairan amnion, letak dan derajat maturasi plasenta,

kelainan bawaan, tebal segmen bawah uterus. Bila pada pemeriksaan

transabdominal didapatkan ketebalan SBU > 3,5 mm atau pada USG

transvaginal ketebalan lapisan miometrium didaerah SBU > 2,5 mm,

memiliki kemungkinan untuk partus pervaginam dengan resiko dehisen

sekitar 1,3%.

3. Rontgen Pelvimetri : pada kecurigaan panggul sempit.

4. Selain itu Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan sebagai

berikut:

a. Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari

kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada

pembedahan.

b. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi

c. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah

d. Urinalisis / kultur urine

e. Pemeriksaan elektrolit (Moeloek, 2006).

H. Penatalaksanaan

Menurut Mochtar (2002), penatalaksanaan medis pada persalinan Sectio

Caesarea meliputi sebagai berikut:

1. Cairan IV sesuai indikasi.

2. Anestesi; regional atau general. Perjanjian dari orang terdekat untuk tujuan

sectio caesaria.

3. Tes laboratorium/diagnostik sesuai indikasi.

4. Pemberian oksitosin sesuai indikasi.

5. Tanda vital per protokol ruangan pemulihan

6. Persiapan kulit pembedahan abdomen

7. Persetujuan ditandatangani.9

8. Pemasangan kateter foley.

Penatalaksanaan medis dan perawatan setelah dilakukan sectio caesarea

(Cuningham, 2005), yaitu sebagai berikut:

1. Perdarahan dari vagina harus dipantau dengan cermat.

2. Fundus uteri harus sering dipalpasi untuk memastikan bahwa uterus tetap

berkontraksi dengan kuat.

3. Analgesi meperidin 75-100 mg atau morfin 10-15 mg diberikan, pemberian

narkotik biasanya disertai anti emetik, misalnya prometazin 25 mg.

4. Periksa aliran darah uterus paling sedikit 30 ml/jam.

5. Pemberian cairan intra vaskuler, 3 liter cairan biasanya memadai untuk 24

jam pertama setelah pembedahan.

6. Ambulasi, satu hari setelah pembedahan klien dapat turun sebentar dari

tempat tidur dengan bantuan orang lain.

7. Perawatan luka, insisi diperiksa setiap hari, jahitan kulit (klip) diangkat pada

hari keempat setelah pembedahan.

8. Pemeriksaan laboratorium, hematokrit diukur pagi hari setelah pembedahan

untuk memastikan perdarahan pasca operasi atau mengisyaratkan

hipovolemia.

9. Mencegah infeksi pasca operasi, ampisilin 29 dosis tunggal, sefalosporin,

atau penisilin spektrum luas setelah janin lahir.

I. Tahapan dan Teknik Sectio Caesarea

a. Insisi Abdomen

1. Insisi vertikal, insisi vertikal garis tengah intra umbilikus, insisi ini harus

cukup panjang agar janin dapat lahir tanpa kesulitan. Oleh karena itu,

panjang insisi harus sesuai dengan taksiran berat janin.

2. Insisi transversal atau lintang, kulit dan jaringan subkutan disayat dengan

menggunakan insisi transversal rendah sedikit melengkung. Insisi dibuat

setinggi garis rambut pubis dan diperluas sedikit melebihi batas lateral

otot rektus.

10

b. Insisi Uterus

1. Insisi caesarea klasik

a) Insisi caesarea klasik adalah suatu insisi vertikal ke dalam korpus

uterus diatas segmen bawa uterus dan mencapai fundus uterus.

Sebagian besar insisi dibuat di segmen bawah uterus secara melintang.

Insisi melintang disegman bawah memiliki keunggulan yaitu hanya

memerlukan sedikit pemisahan kandung kemih dari miometrium

dibawahnya. Indikasi dilakukan insisi klasik untuk melahirkan janin,

yaitu :

1) Apabila segman bawah uterus tidak bisa dipajankan atau dimasuki

dengan aman karena kandung kemih melekat dengan erat akibat

pembedahan sebelumnya, atau apabila teardapat karsinoma invasif

diserviks.

2) Janin berukuran besar, terletak melintang, selaput ketuban sudah

pecah dan bahu terjepit jalan lahir.

3) Plasenta previa dengan implantasi anterior.

4) Janin kecil, presentasi bokong, sementara segmen bawah uterus

tidak menipis.

5) Obesitas berat

2. Insisi caesarea transversal, insisi tranversal melalui segman bawah uterus

merupakan tindakan untuk presentasi kepala, dengan proses kelahiran

janin :

a. Pada presentasi kepala, satu tangan diselipkan kedalam rongga uterus

diantara simpisis dan kepala janin. Kepala diangkat secara hati-hati

dengan jari dan telapak tangan, melalui lubang insisi dibantu oleh

penekanan sedang transabdomen pada fundus.

b. Hidung dan mulut diaspirasi dengan bola penghisap (bulb syringe)

untuk mencegah teraspirasinya cairan amnion dan isinya oleh janin,

dan dilakukan sebelum thorak bayi dilahirkan.

c. Bahu dilahirkan dengan tanpa ringan disertai penekanan pada fundus.

11

d. Bagian tubuh lainnya segera menyusul, setelah bahu dilahirkan, ibu

atau pasien diberi oksitosin 20 unit/liter dengan kecepatan 10

ml/menit sampai uterus berkontraksi dengan baik.

e. Tali pusat diklem, bayi dipegang setinggi dinding abdomen.

f. Plasenta dikelurkan dari uterus.

g. Penjahitan uterus dan dinding abdomen dilakukan.

12

J. Pathway

13

Risiko Cedera pada Janin akibat pembedahan

Indikasi pada ibu:

Disproporsi kepala panggul/ CPD/ FPD, disfungsi uterus, distosia jaringan lunak, riwayat sesar ulang, kelainan plasenta (plasenta previa&solution plasenta) dan komplikasi medis.

Indikasi pada janin:

Janin besar, gawat janin, letak lintang, prolaps tali pusat, multiple pregnancy, malpresentasi,

SECTIO CAESAREA

Terjadwal Darurat/ tidak terjadwal

Insisi pada abdomen dan uterus

Luka pada abdomen

Nyeri Akut Ruang insisi diisi gumpalan darah

Peningkatan perdarahan

Peradangan mendadak

Risiko Infeksi

Kematian sel epitel, sel dermis & jaringan kulit

Kerusakan Integritas

Kulit

Gangguan Citra

Tubuh

Harapan yang tidak pasti, khawatir dengan kondisi diri

dan bayinya, perubahan konsep diri yang mendadak

Ansietas

Kelemahan Fisik

Defisit Perawatan Diri

Komplikasi lain:

Deep vein thrombosis, Luka pada VU dan usus, Emboli pulmoner, rupture uteri pd kehamilan selanjutnya dsb.

Risiko kekurangan volume cairan

(Bobak, 2005; Gregory et al, 2011; Mochtar, 2002; Saifuddin, 2002; Santoso,

2005).

K. Perawatan Post Partum

1. Post Partum atau Puerpurium

a. Pengertian Post Partum

Beberapa pengertian tentang post partum atau puerperium diantaranya

sebagai berikut:

1) Menurut Mochtar (2001), masa post partum atau puerperium adalah

masa pulihnya kembali, mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat

kandungan kembali seperti pra-hamil. Lama masa post partum yaitu 6-8

minggu.

2) Menurut Prawirohardjo (2009), masa post partum dimlai setelah

plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti

keadaan sebelum hamil, berlangsung selama kira-kira 6 minggu.

3) Menurut Farrer (2001), masa post partum atau nifas atau puerperium

adalah periode waktu atau masa dimana organ-organ reproduksi kembali

kepada keadaan tidak hamil. Masa ini membutuhkan waktu sekitar 6

minggu.

4) Menurut Bobak, Lowdermilk, & Jensen (2005), periode pasca partum

adalah masa enam minggu sejak bayi lahir sampai organ-organ

reproduksi kembali ke keadaan normal sebelum hamil. Periode ini

kadang-kadang disebut puerperium atau trimester ke empat kehamilan.

b. Pembagian dan Periode Masa Post Partum

Menurut Prawirohardjo (2009), pembagain masa post partum dibagi

menjadi 3 bagian yaitu sebagai berikut:

1) Puerpurium Dini

Masa ini merupakan kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri

dan berjalan-jalan. Dalam agama islam, dianggap telah bersih dan boleh

bekerja setelah 40 hari.

2) Puerpurium Intermedial

14

Masa ini merupakan kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang

lamanya 6-8 minggu.

3) Remote Puerpurium

Masa ini merupakan waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat

sempurna terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai

komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna bisa berminggu-minggu,

berbulan-bulan atau tahunan.

Sedangkan periode post partum menurut Pelayanan Kesehatan Maternal dan

Neonatal (2002), meliputi sebagai berikut:

1) Early post partum

Periode ini terjadi dalam 24 jam pertama.

2) Immediate post partum

Periode ini terjadi dalam minggu pertama.

3) Late post partum

Periode ini terjadi dalam minggu kedua sampai dengan minggu ke enam.

c. Perubahan Fisiologis pada Masa Post Partum

1) Perubahan Fisik

Menurut Bobak (2005), Prawirohardjo (2009), dan Saifuddin (2006),

perubahan-perubahan fisik atau adaptasi fisik secara fisiologis pada ibu

post partum meliputi sebagai berikut:

a) Sistem Reproduksi

(1) Uterus

Uterus mengalami perubahan paling besar yaitu secara berangsur-

angsur menjadi kecil (involusi) sehingga akhirnya kembali seperti

sebelum hamil. Proses ini dimulai segera setelah plasenta keluar

akibat kontraksi otot-otot polos uterus. Pada saat bayi lahir, atau

akhir persalinan kala III, ukuran uterus kira-kira sebesar uterus

pada kehamilan 16 minggu dengan tinggi 2 jari dibawah pusat

dan beratnya 1000 gram. Ukuran ini dapat semakin mengecil pada

akhir minggu pertama post partum dimana tingginya mencapai

15

pertengahan pusat simpisis dan beratnya kira- kira 500 gram. Dua

minggu post partum, tinggi fundus uterus tidak teraba diatas

simpisis pubis dengan berat 350 gram. Involusi ini diperlihatkan

oleh fakta bahwa pada pemeriksaan abdomen berat uterus

berkurang satu lembar jari tangan setiap hari hingga pada hari ke

12 uterus tidak teraba lagi pada pemeriksaan abdomen. Setelah itu

involusi berlangsung lebih lambat, tetapi pada akhir minggu ke 6

post partum ukurannya lebih besar daripada sebelum hamil

dengan berat uterus mencapai 50 gram.

Intensitas kontraksi uterus meingkat secara bermakna segera

setelah bayi lahir, diduga terjadi sebagai respon terhadap

penurunan volume intra uterin yang sangat besar. Pada primipara

tonus otot meningkat sehingga fundus pada umumnya tetap

kencang. Relaksasi dan kontraksi yang periodik sering dialami

multipara dan bisa menimbulkan nyeri yang bertahan sepanjang

masa awal puerperium. Rasa nyeri setelah melahirkan ini lebih

nyata setelah ibu melahirkan, ditempat uterus teregang (misalnya

pada bayi besar atau bayi kembar). Menyusui dan oksitosin

tambahan biasanya meningkatkan nyeri ini karena keduanya

merangsang kontraksi uterus. Nyeri ini disebut sebagai afterpain.

(2) Serviks

Serviks mengalami involusi bersamaan dengan uterus dan serviks

menjadi lunak setelah ibu melahirkan. Setelah persalinan, ostium

eksterna dapat dimasuki oleh 2 hingga 3 jari tangan, dan delapan

belas jam post partum, serviks memendek serta konsistensinya

menjadi lebih padat dan kembali ke bentuk semula dimana

serviks setinggi dengan segmen bawah uterus dan mengalami

edematosa, tipis, serta rapuh selama beberapa hari setelah ibu

melahirkan. Ektoserviks (bagian serviks yang menonjol ke

vagina) terlihat memar dan sedikit mengalami laserasi kecil.

Muara serviks eksterna tidak akan berbentuk lingkaran seperti

16

sebelum melahirkan, tetapi terlihat memanjang seperti suhu celah.

Bahkan, setelah 6 minggu persalinan serviks akan menutup.

(3) Lochea

Istilah lochea digunakan untuk discharge yang keluar dari traktus

genetalis yang berasal dari cavum uteri dan vagina selama masa

post partum. Lochea terdiri dari darah dan sisa-sisa jaringan

trofoblas, terutama dari tempat plasenta. Sifat lochea berubah

ketika trombosis pembuluh darah. Warnanya menjadi cokelat

kemerahan dari hari ke 3 sampai hari ke 12 tetapi setelah itu,

ketika kebanyakan rongga endometrium telah tertutup oleh

epithelium, lochea menjadi berwarna kuning. Kadang-kadang

terdapat trombosit pada ujung pembuluh darah yang dapat

mengeluarkan darah sehingga lochea menjadi berwarna merah

selama beberapa hari lagi. Macam-macam lochea diantaranya

yaitu sebagai berikut:

(a) Lochea Rubra

Cairan yang keluar pada hari pertama sampai hari ke 3 post

partum, berwarna merah dan kadang hitam karena

mengandung sisa darah, desidua, verniks kaseosa, rambut, dan

sisa mekonium..

(b) Lochea sanguinolenta

Cairan yang keluar berwarna merah kecokelatan dan berlendir

serta berlangsung dari hari ke 4 sampai hari ke 7.

(c) Lochea Serosa

Cairan yang keluar pada hari ke 7 sampai hari ke 14 post

partum, berawarna merah muda, kekuningan dan mengandung

cairan serosa, jaringan desidua, leukosit, dan eritrosit.

(d) Lochea alba

Cairan yang keluar pada minggu ke 2 sampai minggu ke 6 dan

berwarna putih cream dan terutama mengandung leukosit

serta desidua.

17

(4) Vulva, Vagina, dan Perineum

Vulva, vagina, dan perineum mengalami penekanan serta

peregangan yang sangat besar selama proses melahirkan bayi dan

beberapa hari pertama sesudah proses tersebut, ketiga organ ini

tetap berada dalam keadaan melebar, mengalami edema dan

memar serta timbulnya celah pada introitus. Setelah satu atau dua

hari pertama pasca partum tonus otot vagina kembali, celah

vagina tidak lebar dan vagina tidak lagi edema. Vagina menjadi

berdinding lunak, lebih besar dari biasanya dan umumnya

longgar. Ukurannya menurun dengan kembalinya rugae vagina

sekitar minggu ketiga post partum. Ruang vagina sedikit lebih

besar dari pada sebelum kelahiran pertama. Akan tetapi, latihan

pengencangan otot perineum akan mengembalikan tonusnya dan

memungkinkan wanita secara perlahan mengencangkan

vaginanya. Pengencangan ini sempurna pada akhir peurperium

dengan latihan setiap hari

(5) Payudara

Beberapa perubahan pada payudara meliputi penurunan kadar

progesteron secara cepat dengan peningkatan hormon prolaktin

setelah persalinan. Kolostrum sudah ada pada saat persalinan dan

produksi ASI terjadi pada hari ke-2 atau hari ke-3 setelah

persalinan. Perubahan fisik yang terjadi pada payudara yaitu

payudara menjadi besar dan keras sebagai tanda mulainya proses

laktasi.

b) Sistem Kardiovaskular

Pada 24 jam pertama terjadi “hypervolemic” akibat adanya pergeseran

cairan ekstravaskuler ke dalam ruangan intravaskuler. Setelah terjadi

diuresis yang mencolok akibat penurunan kadar estrogen, volume

darah kembali kepada keadaan tidak hamil dimana jumlah sel darah

merah dan hemoblobin kembali normal pada hari ke-5. Meskipun

kadar estrogen mengalami penurunan yang sangat besar selama masa

nifas, namun kadarnya masih tetap lebih tinggi daripada normal.

18

Plasma darah tidak begitu mengandung cairan dan dengan demikian

daya koagulasi meningkat. Pembekuan darah harus dicegah dengan

penanganan yang cermat dan penekanan pada ambulasi dini. Selain

itu, tekanan darah, suhu, dan denyut nadi biasanya stabil (normal)

kecuali bila ada keluhan persalinan yang lama dan sulit atau

kehilangan banyak darah. Sistem kardiovaskkular akan kembali pada

keadaan normal dalam waktu 2 minggu pasca persalinan.

c) Komponen Darah

a) Hematokrit dan Hemoglobin

Selama 72 jam pertama setelah bayi lahir, volume plasma yang

hilang lebih besar daripada sel darah yang hilang. Penurunan

volume plasma dan peningkatan sel darah merah dikaitkan dengan

peningkatan hemtokrit pada hari ketiga sampai hari ke tujuh post

partum. Tidak ada SDM yang rusak selama masa post partum,

tetapi semua kelebihan SDM akan menurun secara bertahap sesuai

denga usia SDM tersebut. Waktu yang pasti kapan volume SDM

kembali ke nilai sebelum hamil tidak diketahui, tetapi volume ini

berada dalam batas normal saat dikaji 8 minggu setelah

melahirkan.

b) Hitung Sel Darah Putih

Leukositosis normal pada kehamilan rata-rata sekitar 12.000

/mm3. Selama 10 sampai 12 hari pertama setelah bayi lahir, nilai

leukosit antara 20.000 dan 25.000 / mm3 merupakan hal yang

umum. Neutrofil merupakan sel darah putih yang paling banyak.

Keberadaan leukositosis disertai peningkatan normal laju endap

darah merah dapat membingungkan dalam menegakkan diagnosis

infeksi akut selama waktu ini.

c) Faktor Koagulasi

Faktor-faktor pembekuan dan fibrinogen biasanya meingkat

selama awal masa kehamilan dan tetap meningkat pada awal

puerperium. Keadaan hiperkoagulasi, yang bisa diiringi kerusakan

pembuluh darah dan imobilitas, mengakibatkan peningkatan risiko

19

tromboembolisme. Aktiviats fibrinolitik juga meningkat selama

beberapa hari pertama setelah bayi lahir.

d) Sistem Endokrin

Selama periode post partum terjadi perubahan hormon yang besar.

Pengeluaran plasenta menyebabkan penurunan signifikan hormon-

hormon yang diproduksi oleh organ tersebut. Penurunan hormon

Human Placcental Lactogen (HPL), estrogen, dan kortisol, serta

placental enzyme insulinase membalik efek diabetogenik kehamilan,

sehingga kadar gula darah menurun secara yang bermakna pada masa

puerpurium. Kadar estrogen menurun 10% dalam waktu sekitar 3 jam

post partum. Sedangkan progesteron turun pada hari ketiga post

partum. Selain itu, wkatu dimulainya ovariuim dan menstruasi pada

wanita menyusui berbeda. Kadar prolaktin serum yang tinggi pada

wanita menyusui tampaknya berperan dalam menekan ovulasi. Karena

kadar Follicle-Stimulating Hormone (FSH) terbukti sama pada wanita

menyusui dan tidak menyusui, sehingga dapat disimpulkan ovarium

tidak berespons terhadap stimulasi FSH kadar prolaktin meningkat.

e) Sistem Urinaria

Buang air kecil sulit selama 24 jam pertama, kemungkinan terdapat

spasme sfingter dan edema leher buli-buli sesudah bagian ini

mengalami kompresi antara kepala janin dan tulang pubis selama

persalinan. Urin dalam jumlah yang besar akan dihasilkan dalam

waktu 12 sampai 36 jam sesudah melahirkan. Setelah plasenta

dilahirkan, kadar hormon estrogen yang bersifat menahan air akan

mengalami penurunan yang mencolok dimana keadaan ini

menyebabkan diuresis. Ureter yang berdilatasi akan kembali normal

dalam waktu 6 minggu.

f) Sistem Gastrointestinal

(1) Nafsu makan

Ibu post partum biasanya setelah melahirkan diperbolehkan untuk

mengkonsumsi makanan ringan dan setelah benar-benar pulih dari

efek analgesik, anastesi, dan keletihan, kebanyak ibu merasa lapar.

20

Permintaan untuk memperolah makanan dua kali dari jumlah yang

biasa dikonsumsi disertai konsumsi makanan ringan yang sering

ditemukan dan sering terjadi.

(2) Motilitas

Secara khas, penurunan tonus dan motilitas otot traktus

gastrointestinal menetap selama waktu yang singkat setelah bayi

lahir. Kelebihan analgesik dan anastesi bisa memperlambat

pengembalian tomus dan motilitas ke keadaan normal.

(3) Defekasi

Buang air besar secara spontan bisa ditunda selama dua sampai

tiga hari setelah ibu melahirkan. Keadaan ini bisa disebabkan

karena tonus otot usus menurun selama proses persalinan dan pada

awal masa post partum, ibu biasanya merasakan nyeri diperineum

akibat episiotomi, laserasi, atau hemoroid. Kebiasaan buang air

besar yang teratur perlu dicapai kembali setelah tonus otot usus

kembali normal.

g) Sistem Muskuloskeletal

Ambulasi pada umumnya dimulai 4 sampai 8 jam post partum.

Ambulasi dini sangat membantu untuk mencegah komplikasi dan

mempercepat proses involusi. Stabilisasi sendi lengkap pada minggu

ke enam sampai minggu ke delapan setelah ibu melahirkan.

h) Sistem Integumen

Penurunan melanin yang umumnya terjadi setelah persalinan

menyebabkan berkurangnya hyperpigmentasi kulit. Perubahan

pembuluh darah yang tampak pada kulit karena kehamilan akan

menghilang pada saat estrogen menurun. Selain itu kloasma yang

muncul pada masa kehamilan biasanya menghilang saat kehamilan

berakhir. Hiperpigmentasi diareola dan linea nigra tidak menghilang

seluruhnya. Kulit yang meregang pada payudara, abdomen, paha dan

panggul mungkin memudar tapi tidak hilang seluruhnya.

21

2) Perubahan Psikologis

Menurut Ambarwati dan Wulandari (2009: 88-89), adaptasi

psikologis dapat diklasifikasikan menjadi 3 antara lain :

a) Fase Taking In

Fase ini merupakan periode ketergantungan yang berlangsung dari

pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Pada saat itu, fokus

perhatian ibu terutama pada dirinya sendiri. Ibu masih pasif dan

tergantung. Pengalaman selama proses persalinan sering berulang

diceritakan, kelelahan membuat ibu cukup istirahat untuk mencegah

gejala kurang tidur, seperti mudah tersinggung serta nafsu makannya

meningkat. Hal ini membuat ibu cenderung menjadi positif terhadap

lingkungan. Oleh karena itu, kondisi ibu perlu dipahami dengan

menjaga komunikasi yang baik.

b) Fase Taking Hold

Fase ini berlangsung selama 3 - 10 hari setelah melahirkan. Pada masa

taking hold ibu merasa khawatir akan ketidakmampuan dan rasa

tanggung jawab dalam merawat bayi. Selain itu perasaannya sangat

sensitif sehingga mudah tersinggung jika komunikasi kurang hati-hati.

c) Fase Taking Go

Fase ini merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran

barunya yang berlangsung 10 hari setelah melahirkan. Ibu sudah mulai

menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. Keinginan untuk

merawat diri dan bayinya meningkat pada fase ini.

Perawatan wanita setelah melahirkan secara sectio caesarea merupakan

kombinasi antara asuhan keperawatan bedah dan maternitas. Setelah

pembedahan selesai, ibu akan dipindahkan ke area pemulihan. Pengkajian

keperawatan segera setelah melahirkan meliputi pemulihan dari efek anastesi,

status pasca operasi dan pasca melahirkan, dan derajat nyeri. Kepatenan jalan

nafas dipertahankan dan posisi wanita tersebut diatur untuk mencegah

kemungkinan aspirasi. Tanda-tanda vital diukur setiap 15 menit selama satu

22

sampai dua jam atau sampai ibu stabil. Kondisi balutan insisi, tinggi fundud

uterus, dan jumlah lochea dikaji, demikian pula intake dan output. Perawat

membantu wanita tersebut untuk mengubah posisi dan melakukan nafas dalam

serta melatih gerakan kaki. Obat-obatan untuk mengatasi nyeri dapat diberikan

(Bobak, 2005).

Ketika bersama bayi, ibu dan ayah diberi wakttu tersendiri untuk

memfasilitasi bonding dan attachment dengan bayi. Menyusui dapat segera

dimulai, jika ibu ingin mencobanya. Ibu biasanya dipindahkan ke unit

pascapartum setelah satu sampai dua jam atau bila kondisinya sudah stabil

(Bobak, 2005).

Sikap perawat dan anggota tim kesehatan lain dapat mempengaruhi

persepsi ibu tersebut terhadap dirinya setelah melahirkan secara sesar. Para

petugas kesehatan harus menekankan bahwa pertama, ibu tersebut adalah

seorang ibu baru dan kedua, ibu tersebuut adalah pasien bedah. Sikap ini akan

membantu wanita menerima dirinya bahwa dia memiliki masalah dan

kebutuhan yang sama dengan ibu baru yang lain (Bobak, 2005).

Masalah fisiologis selama beberapa hari pertama dapat didominasi oleh

nyeri akibat insisi dan nyeri dari gas diusus halus serta kebutuhan untuk

menghilangkan nyeri. Obat nyeri biasanya diresepkan setiap 3 sampai 4 jam,

tetapi analgesik pengontrol nyeri (pain controlled analgesia/PCA) atau

narkotik epidural bisa diresepkan sebagai pengganti. Tindakan lain untuk

mengupayakan kenyamanan, seperti mengubah posisi, mengganjal insisi

dengan bantal, memberi kompres panas pada abdomen, dan teknik relaksasi,

bisa juga digunakan. Ambulasi dan upaya menghindari makanan yang

menghasilkan gas dan minuman berkarbonat bisa mengurango nyeri yang

disebabkan gas (Bobak, 2005).

Perawatan sehari-hari meliputi perawatan perineum, perawatan payudara,

dan perawatan higienis rutin, termasuk mandi siram (shower) setelah balutan

luka diangkat (jika mandi siram masih dalam persepsi budaya wanita tersebut).

Setiap kali berdinas, perawat mengkaji tanda-tanda vital, insisi, tinggi fundus

uterus, dan lochea. Bunyi nafas, bising usus, tanda homans, dan eliminasi urine

serta defekasi juga dikaji (Bobak, 2005).

23

Selama periode pascapartum perawat dapat memberi perawatan untuk

memenuhi kebutuhan psikologis dan kebutuhan pengajaran ibu yang

melahirkan melalui operasi sesar. Perawat dapat menjelaskan prosedur

pascapartum untuk membantu wanita tersebut bekerja sama dalam

pemulihannya dar pembedahan. Perawat juga dapat membantu wanita tersebut

merencanakan perawatannya dan menerima kunjungan keluarga serta teman-

temannya sehingga dia dapat mengatur waktu istirahat yang adekuat.

Informasi dan bantuan dalam melakukan perawatan bayi dapat memfasilitasi

penyesuaian peran ibu. Pasangan atau suami dapat juga dilibatkan dalam sesi

pengajaran dan penjelasan tentang pemulihan pasangannya. Pasangan tersebut

harus didorong untuk mengungkapkan perasaan mereka tentang pengalaman

melahirkan. Beberapa orang tua akan marah, frustasi, atau kecewa karena

wanita tidak dapat melahirkan per vaginam. Beberapa wanita mengungkapkan

perasaan, seperti harga diri rendah atau citra diri yang negatif. Akan sangat

berguna bila ada perawat yang hadir selama wanita melahrkan mengunjungi

dan membantu mengisi “kesenjangan” tentang pengalaman tersebut (Bobak,

2005).

Rencana pulang terdiri dari informasi tentang diet, latihan fisik,

pembatasan aktivitas, perawatan payudara, aktivitas seksual, kontrasepsi,

medikasi, dan tanda-tanda komplikasi, serta perawatan bayi. Perawat mengkaji

kebutuhan akan dukungan atau konseling yang berkelanjutan untuk

memudahkan pemulihan emosi ibu setelah melahirkan. Rujukan ke kelompok

pendukung atau lembaga masyarakat dapat diindikasikan (Bobak, 2005).

Mengatasi nyeri pascapartum setelah melahirkan secara sesar dapat

dilakukan dengan cara:

1. Jika nyeri akibat insisi

a. Belat insisi dengan bantal saat bergerak atau batuk.

b. Gunakan teknik relaksasi, seperti terapi musik, pernafasan (nafas dalam),

dan lamu yang remang-remang.

c. Berikan kompres panas pada abdomen.

2. Jika nyeri akibat gas dalam abdomen

a. Jalan sesering mungkin.

24

b. Jangan menngkonsumsi makanan yang merangsang pembentukan gas,

minuman berkarbonat atau susu utuh (whole milk).

c. Jangan gunakan sedotan untuk minum.

d. Berbaring dengan posisi miring kiri untuk mengeluarkan gas.

e. Gunakan kursi goyang pada saat duduk (Bobak, 2005).

Salah satu discharge planning yang dilakukan terhadap pasien yaitu

pemberian informasi tentang tanda-tanda komplikasi pasca operatif sehingga

pasien bisa mengetahui apabila timbul tanda-tanda komplikasi setelah pasien

pulang. Beberapa tanda komplikasi pasca operatif yaitu sebagai berikut:

1. Demam lebih dari 380C.

2. Nyeri saat buang air kecil.

3. Lochea lebih banyak daripada periode menstruasi normal.

4. Adanya luka terbuka.

5. Kemerahan dan berdarah atau sampai keluar pus/nanah pada tempat insisi.

6. Nyeri abdomen yang parah (Bobak, 2005).

L. Asuhan Keperawatan

3. Pengkajian

Pengkajian fokus yang dapat dilakukan pada klien dengan postpartum

persalinan sesar yaitu sebagai berikut:

a. Keluhan utama klien saat ini

b. Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas sebelumnya bagi klien

multipara

c. Riwayat penyakit keluarga

d. Keadaan klien meliputi :

1) Sirkulasi, hipertensi dan pendarahan vagina yang mungkin terjadi.

Kemungkinan kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-

kira 600-800 mL

2) Integritas ego, dapat menunjukkan prosedur yang diantisipasi sebagai

tanda kegagalan dan atau refleksi negatif pada kemampuan sebagai

wanita. Menunjukkan labilitas emosional dari kegembiraan,

ketakutan, menarik diri, atau kecemasan.25

3) Makanan dan cairan, abdomen lunak dengan tidak ada distensi (diet

ditentukan).

4) Neurosensori, kerusakan gerakan dan sensasi di bawah tingkat

anestesi spinal epidural.

5) Nyeri / ketidaknyamanan, mungkin mengeluh nyeri dari berbagai

sumber karena trauma bedah, distensi kandung kemih , efek - efek

anesthesia, nyeri tekan uterus mungkin ada.

6) Keamanan, balutan abdomen dapat tampak sedikit noda / kering dan

utuh.

7) Seksualitas, fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilikus. Aliran

lokhea sedang.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (adanya luka post SC)

dan agen injuri biologis (involusi uterus, dan terjadinya pembengkakan

payudara).

b. Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang

tidak adekuat (adanya luka post SC).

c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyaman periode post

partum, proses persalinan, dan perawatan bayi serta rutinitas di rumah

sakit.

d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan nyeri dan kelemahan.

26

a. Intervensi Keperawatan

DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONALNyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (adanya luka post SC) dan agen injuri biologis (involusi uterus, dan terjadinya pembengkakan payudara).

Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam diharapkan pasien dapat mengontrol nyerinya, nyeri berkurang dengan kriteria hasil:Indikator Awal Target

1. Pasien mampu mengenali faktor penyebab nyeri

2. Mengenali onset nyeri

3. Memberikan analgesik (kolaborasi dengan tim kesehatan lain)

4. Melaporkan kontrol nyeri

5. Pasien mampu melaporkan nyerinya

6. Klien mengetahui frekuensi nyeri

NIC: Pain Management1. Melakukan pengkajian secara komprehensif

mengenai lokasi, karakteristik, lamanya, frekuensi, kualitas nyeri dan faktor presipitasi

2. Mengobservasi penyebab ketidaknyamanan klien secara verbal dan nonverbal

3. Menyakinkan klien akan pemberian analgesik4. Menggunakan komunikasi teraupetik untuk

mengetahui pengalaman nyeri pasien

5. Mengkaji dampak dari pengalaman nyeri (ggg tidur, ggg hubungan)

6. Mengontrol faktor lingkungan yang menyebabkan klien merasa tidak nyaman (ruangan, temperatur, cahaya)

7. Instruksikan pasien untuk melakukan teknik relaksasi seperti bimbingan imajinasi, nafas dalam

1. Mengetahui kualitas nyeri pasien

2. Dapat mengurangi rasa cemas dan takut sehingga mampu mengurangi rasa sakit

3. Menurunkan nyeri4. Komunikasi terapeutik

mampu menurunkan kecemasan

5. Mengetahui kondisi ketidaknyamanan klien yang kemungkinan mampu mengagnggu kualitas hidupnya

6. Meminimalkan nyeri dengan menciptakan lingkungan nyaman

7. Meningkatkan relaksasi

27

Keterangan: 1: tidak pernah menunjukan2: jarang menunjukan3: kadang-kadang menunjukan4: sering menunjukan5: konsisten menunjukan

Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat (adanya luka post SC).

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam risiko infeksi dapat teratasi dengan kriteria hasil :Batasan karakteristik Awal Target Tidak terdapat demam, kemerahan, cairan purulen, bengkak disekitar lukaMengetahui tanda dan gejala infeksiAsupan nutrisiRobeknya kulitLuasnya tepi luka

Keterangan:1= tidak ada pengetahuan2= pengetahuan sedikit3= pengetahuan sedang4=pengetahuan baik5= pengetahuan sangat baik

a. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan

b. Menyediakan lingkungan yang bersih dan kenyamanan tempat tidur

c. Batasi pengunjung

d. Petugas kesehatan memakai sarung tangan sebagai bentuk universal precaution

e. Memberikan antibiotikf. Menggunakan peralatan steril dalam melakukan

tindakan yang membutuhkan peralatan sterilg. Bersihkan dan sterilkan alat yang telah dipakai

h. Observasi luka klien

i. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam memberikan diet

j. Membantu dan mengajari kliren dalam

a. Mencegah terjadinya infeksi melalui tangan

b. Mencegah infeksi

c. Mencegah kontak klien dengan dunia luar

d. Mencegah infeksi demi kesehatan klien dan petugas kesehatan

e. Membunuh bakterif. Peralatan steril dapat

mencegah kondisi infeksig. Mensterilkan alat untuk

dipaai ulang sebagai bentuk pencegahan infeksi antar klien

h. Mengetahui luka sebelum dilakukan tindakan dan sesudah

i. Meningkatkan stamina klien

j. Klien dapat melakukan

28

melakukan perawatan perineum perawatan perinium di rumah

Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyaman periode post partum, proses persalinan yang lama, dan perawatan bayi serta rutinitas di rumah sakit.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, diharapkan kemampuan tidur pasien meningkat dengan kriteria hasil:Batasan karakteristik Awal Target Mengungkapkan kemampuannya untuk tidur.Mengungkapkan jarang terjaga dimalam hari.Mengungkapkan kepuasannya akan tidur.Tidak menunjukan keletihan pada saat bangun tidur

Keterangan:1= tidak ada pengetahuan2= pengetahuan sedikit3= pengetahuan sedang4=pengetahuan baik5= pengetahuan sangat baik

1. Atur waktu khusus untuk rutinitas perawatan sehingga sesuai dengan jadwal pasien dan tidak mengganggu jadwal istirahat pasien.

2. Minimalkan tingkat kebisingan diluar dan didalam ruang perawatan. Tutup pintu pada saat pasien istirahat atau tidur.

3. Atur tidur siang pasien tanpa mengganggu waktu tidur bayi.

4. Batasi pengunjung pada siang dan malam hari.

5. Diskusikan teknik yang pernah dipakai pasien untuk meningkatkan waktu istirahat, misalnya minum minuman hangat, membaca, menonton TV sebelum tidur, dan melakukan masase diarea punggung.

6. Lakukan upaya untuk menciptakan rasa nyaman saat pasien merasa nyeri dengan cara menggosok punggung, memberikan analgesik, dan melakukan teknik relaksasi.

1. Memperbaiki pola tidur individu dengan tidak mengganggu waktu perawatan dan waktu istirahat pasien.

2. Mengurangi rangsangan dari luar yang dapat mengganggu waktu istirahat pasien.

3. Mengatur jadwal tidur pasien dan bayinya.

4. Mengurangi kebisingan dan meningkatkan waktu istirahat pasien.

5. Meningkatkan kontrol dan meningkatkan relaksasi pasien.

6. Mengurangi nyeri dan ketegangan, meningkatkan relaksasi dan istirahat serta meningkatkan waktu tidur pasien.

29

Defisit perawatan diri berhubungan dengan nyeri dan kelemahan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, diharapkan pasien mampu melakukan perawatan diri secara menyeluruh dengan kriteria hasil:Batasan karakteristik Awal Target Mampu mandi sendiriMampu berpakaian sendiriMampu merapikan rambut sendiriMampu toileting sendiriMampu makan dan minum sendiri

Keterangan:1= tidak ada pengetahuan2= pengetahuan sedikit3= pengetahuan sedang4=pengetahuan baik5= pengetahuan sangat baik

1. Monitor kemampuan pasien dalam melakukan ADL secara mandiri.

2. Monitor kebutuhan pasien akan alat bantu dalam melakukan ADL.

3. Sediakan peralatan-peralatan pribadi yang dibutuhkan pasien (seperti deodoran, pasta gigi, dan sabun mandi, diapers).

4. Bantu pasien dalam melakukan ADL sampai pasien atau keluarga mampu melakukannya dengan mandiri.

1. Mengetahui ADL pasien.

2. Mempermudah pasien melakukan ADL.

3. Mempersiapkan sarana prasarana pasien untuk ADL,Memberikan perawatan pada pasien.

30

DAFTAR PUSTAKA

Arjatmo T.(2001). Keadaan Gawat Yang Mengancam Jiwa. Jakarta : gaya baru

Betz Cecily L, Sowden Linda A. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri.

Jakarta : EGC.

Bobak, I. M., Deitra L. L., & Margaret D. J. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas (Maternity Nursing) Edisi 4. Jakarta: EGC.

Farrer. (2001). Keperawatan maternitas. Jakarta: EGC.

Heardman, T. H. (2012). Diagnosis keperawatan; definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC.

Johnson, Meridian Maas, & Sue Moorhead. (2000). Nursing Outcame Clasification. Mosby. Philadelphia.

Manuaba, I.B. (2001). Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi

dan KB. Jakarta : EGC

McCloskey & Gloria M Bulechek. (1996). Nursing intervention clasification. Mosby. USA

Ngastiyah.( 1997 ). Perawatan Anak Sakit Jakarta : EGC

Sacharin Rosa M. (1996). Prinsip Keperawatan Pediatrik. Alih bahasa :

Maulanny R.F. Jakarta : EGC.

31