Asuhan Keperawatan pada Ny. D Post Sectio Caesarea Hari Ke ...
LP Sectio Caesarea Naomi
-
Upload
naomifetty -
Category
Documents
-
view
73 -
download
3
Transcript of LP Sectio Caesarea Naomi
LAPORAN PENDAHULUAN POSTPARTUM DENGAN SECTIO CAESARIA
DI RSUD BANYUMAS
STASE KEPERAWATAN MATERNITAS
Oleh:
Naomi Fetty S, S.kep
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN NASIONAL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PROGRAM PROFESI NERS
PURWOKERTO
2014
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sectio caesarea sebagai cara persalinan untuk mengeluarkan bayi sudah
ada sejak berabad-abad tahun yang lalu (Edwards, 2010). Tujuan dasar sectio
caesarea ialah memelihara kehidupan atau kesehatan ibu dan janinnya.
Persalinan secara sesar didasarkan pada bukti adanya stress maternal atau fetal.
Angka morbiditas dan mortalitas maternal dan fetal menurun sejak adanya
metode pembedahan dan perawatan modern. Namun, sectio caesarea masih
mengancam kesehatan ibu dan bayi (Bobak, 2005).
Insiden sectio caesarea meningkat secara dramatis dalam 25 tahun
terakhir (Bobak, 2005). Sectio caesarea saat ini merupakan hal yang paling
umum dalam proses pembedahan yang dilakukan pada seluruh wanita di dunia,
dengan angka antara 23 persen sampai 30 persen kelahiran di Inggris dilakukan
melalui sectio caesarea (Edwards, 2010). Hal ini menjadi sesuatu yang
mengejutkan di Inggris apabila dilihat pada tahun 1973 yang hanya 5,3 persen
saja (Edwards, 2010). Pertengahan tahun 1960-an sampai akhir 1980-an, angka
sectio caesarea di Amerika Serikat juga meningkat. Awalnya kurang dari 5
persen, meningkat menjadi 24 persen. Alasan peningkatan sectio caesarea di
Amerika karena peningkatan pemantauan janin secara elektronik, peningkatan
kehamilan pertama kali, peningkatan kehamilan pada usia lebih tua, dan
insiden kelahiran sesar secara berulang yang meningkat (Bobak, 2005).
Hasil audit tahun 2002 di Inggris, dari 158.299 kelahiran, sekitar 33.492
atau sekitar 21,5 persen telah melakukan sectio caesarea atas permintaan para
ibu tanpa adanya indikasi medis. Hal ini menjadi bahan perdebatan di media
dan profesi medis. Laporan kasus yang sama juga terjadi di Belanda sekitar 2,6
persen, di Taiwan 34 persen (Thompson, 2010). Menurut Royal College of
Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) tahun 2002 melaporkan bahwa 7,3
persen dari kasus sectio caesarea primer di Inggris dilakukan atas permintaan
ibu (Thompson, 2010).
2
Tahun 1992 di Amerika, angka ini sedikit menurun sampai 22,6 persen
(Bobak, 2005). Tahun 1996 sebanyak 28,3 persen menjadi 10,1 persen pada
tahun 2005 (American College of Obstetricians and Gynaecologist/ ACOGS,
2009 dalam Baxter, 2010). Di Australia juga terjadi penurunan pada tahun
1998 sampai 2006 dari 31 persen menjadi 19 persen (Baxter, 2010). Penurunan
ini disebabkan karena ada usaha yang lebih besar untuk mengupayakan
kelahiran per vaginam setelah suatu kelahiran sesar (Bobak, 2005).
Tindakan sectio caesarea dapat menyebabkan perubahan atau adaptasi
fisiologis maupun psikologis. Dengan demikian klien dan keluarga perlu
mendapat informasi mengenai masalah yang ada, perawat juga diharapkan
dapat menjelaskan prosedur sebelum operasi sectio caesarea dilakukan dan
perlu diinformasikan pada ibu yang akan dirasakan selanjutnya setelah operasi
sectio caesarea. Selain itu perawat juga diharapkan dapat membantu mengatasi
masalah yang timbul post sectio caesarea. Oleh karena itu, penulis sangat
tertarik untuk mencari tahu lebih lanjut mengenai asuhan keperawatan pada
klien sectio caesarea.
B. Rumusan Masalah
Melihat apa yang terpapar di latar belakang, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud persalinan Sectio Cesarea?
2. Apa indikasi dilakukannya persalinan Sectio Cesarea?
3. Bagaimana klasifikasi persalinan Sectio Cesarea?
4. Apa komplikasi persalinan Sectio Cesarea?
5. Apa pemeriksaan penunjang dari persalinan Sectio Cesarea?
6. Bagaimana pathwaynya?
7. Bagaimana asuhan keperawatan dari persalinan Sectio Cesarea?
C. Tujuan
1. Tujuan Instruksional Umum
Setelah melakukan penyusunan laporan pendahuluan diharapkan mahasiswa
dapat mengelola pasien dengan persalinan sectio caesarea.
3
2. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah melakukan penyusunan laporan pendahuluan diharapkan mahasiswa
dapat :
a. Mengetahui pengertian dari persalinan Sectio Cesarea.
b. Mengetahui indikasi dilakukannya persalinan Sectio Cesarea.
c. Mengetahui klasifikasi dari persalinan Sectio Cesarea.
d. Mengetahui komplikasi dari dilakukannya persalinan Sectio Cesarea.
e. Mengetahui asuhan keperawatan dari persalinan Sectio Cesarea.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Sectio Caesarea merupakan suatu tindakan pembedahan untuk
melahirkan janin/ bayi dengan berat di atas 500 g melalui sayatan pada dinding
perut dan dinding uterus atau vagina yang masih utuh/intact atau suatu
histerotomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Mochtar, 2002;
Saifuddin, 2002). Ada tujuh lapisan yang diiris pisau bedah, yaitu lapisan kulit,
lapisan lemak, sarung otot, otot perut, lapisan dalam perut, lapisan luar rahim,
dan rahim (Mochtar, 2002). Kelahiran Sectio Caesarea dulu disebut sebagai
Bedah-C (Pillitteri, 2002).
Istilah caesarea berasal dari kata latin “caedo”, yang berarti “memotong”.
Baik direncanakan (dijadwalkan) atau tidak (darurat), kehilangan pengalaman
melahirkan anak secara tradisional (pervaginam) dapat memberikan efek
negatif pada konsep diri wanita. Kelahiran caesarean ialah kelahiran janin
melalui insisi transabdomen pada uterus (Bobak, 2005).
B. Indikasi
Indikasi dilakukannya sectio caesarea dibagi dalam 2 bagian, yaitu
indikasi pada ibu dan janin/ bayi. Indikasi pada ibu yaitu disproporsi kepala
panggul/CPD/FPD, disfungsi uterus, distosia jaringan lunak/serviks, plasenta
previa, partus lama, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini, pre eklamsi
dan eklamsi. Indikasi pada janin yaitu janin besar (BJ > 4000 g), gawat janin
presentasi bokong dan letak lintang (Mochtar, 2002; Saifuddin, 2002).
Indikasi lain prosedur tersebut mencakup infeksi virus herpes, prolaps
tali pusat (Prolapsed umbilical cord), riwayat sesar sebelumnya, komplikasi
medis seperti hipertensi akibat kehamilan (pregnancy-induced hypertention),
solusio plasenta, malpresentasi misalnya presentasi bahu dan anomali janin
misalnya hidrosefalus (Bobak, 2005).
Tahun 2002 7,3 persen dari seluruh persalinan sesar di Inggris dilakukan
atas permintaan ibu tanpa adanya indikasi medis. Alasan dibalik permintaan
5
tersebut bermacam-macam dan sering dipengaruhi oleh sosial, budaya,
emosional dan faktor ekonomi (Thompson, 2010). Salah satu alasannya yaitu
adanya persepsi ibu yang mengatakan kalau pilihan ini merupakan pilihan yang
lebih aman, padahal ada beberapa penelitian yang menunjukan bahwa operasi
sesar yang dilakukan tanpa indikasi medis memiliki risiko fisik dan emosional
yang lebih besar daripada persalinan secara per vaginam (Baxter et al, 2010).
Risiko morbiditas ibu setelah persalinan sesar yang direncanakan, lebih tinggi
daripada rencana persalinan per vaginam. Risiko ini harus menjadi
pertimbangan bagi ibu yang akan melakukan persalinan secara sesar (Baxter et
al, 2010).
C. Kontraindikasi
Kontraindikasi sectio caesaria sebagai berikut: janin sudah mati dalam
kandungan (IUFD), klien dengan syok dan anemia berat yang belum diatasi,
jika janin didalam kandungan ibu terbukti cacat seperti unencephal, kasus yang
sudah terjadi infeksi pada kehamilan (Nadesul, 2009).
D. Klasifikasi
Menurut Bobak (2005) berdasarkan waktunya, kelahiran sesar ada yang
terencana atau terjadwal dan ada juga yang tidak terencana atau darurat.
1. Kelahiran sesar terjadwal/terencana
Wanita yang mengalami kelahiran sesar terjadwal atau terencana
dilakukan jika persalinanan normal dikontraindikasikan misalnya karena
plasenta previa, tetapi persalinan harus tetap dilakukan, persalinan tidak
dapat diinduksi (misalnya, keadaan hipertensi yang menyebabkan
lingkungan intrauterus memburuk sehingga mengancam janin), atau bila ada
suata keputusan yang dibuat antara petugas kesehatan dan wanita (misalnya
kelahiran sesar berulang). Para wanita ini biasanya memiliki waktu untuk
persiapan psikologis.
2. Kelahiran sesar darurat
Wanita yang mengalami kelahiran sesar darurat atau tidak terencana
sering menimbulkan pengalaman yang traumatik. Wanita tersebut biasanya 6
menghadapi pembedahan dengan letih dan tidak bersemangat bila ternyata
persalinan tidak berhasil. Dia cemas terhadap kondisi diri dan bayinya.
Seluruh prosedur preoperasi harus dilakukan dengan cepat dan kompeten.
Waktu untuk menjelaskan prosedur dan operasi harus singkat. Wanita ini
memerlukan lebih banyak perawatan pendukung.
Bobak (2005) juga membagi kelahiran sesar berdasarkan tipenya menjadi
2 macam, yaitu sebagai berikut:
1. Kelahiran sesar klasik
Kelahiran sesar klasik kini jarang dilakukan, tetapi dapat dilakukan
bila diperlukan persalinan yang cepat dan pada beberapa kasus presentasi
bahu serta plasenta previa. Insisi vertikal dilakukan ke dalam bagian tubuh
atas uterus. Insiden kehilangan darah, infeksi dan rupture uterus lebih tinggi
pada kehamilan selanjutnya daripada persalinan dengan prosedur sesar
segmen bawah. Kelahiran per vaginam setelah sesar klasik
dikontraindikasikan.
2. Kelahiran sesar segmen bawah
Kelahiran sesar segmen bawah dapat dilakukan melalui insisi vertikal
(Sellheim) atau insisi transversal (Kerr). Insisi transversal lebih popular
karena lebih mudah dilakukan, kehilangan darah relatif lebih sedikit, infeksi
paska operasi lebih kecil, dan kemungkinan ruptur pada kehamilan
selanjutnya lebih kecil.
Menurut sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagai
berikut:
1. Sayatan memanjang (longitudinal).
2. Sayatan melintang (transversal).
3. Sayatan huruf T (T insicion).
E. Patofisiologi
Riwayat sectio caesarea sebelumnya, distosia persalinan dan letak janin
abnormal memungkinkan ibu hamil untuk dilakukannya persalinan sectio
caesarea. Sectio caesarea menimbulkan perlukaan dan membuka jaringan, dari
jaringan yang tersayat akan memunculkan reseptor nyeri sehingga timbul rasa 7
nyeri. Klien post sectio caesarea akan mengalami kelemahan fisik dan rasa
nyeri sehingga dapat menganggu mobilisasi klien dan menyebabkan masalah
defisit perawatan diri, dengan adanya sectio caesarea juga dapat menyebabkan
klien mengalami cemas karena perubahan status peran dan kondisi
kesehatannya (Mansjoer, 2002).
F. Komplikasi/ Risiko
Operasi sesar adalah operasi yang aman. Namun, seperti dengan operasi
besar lainnya, ada resiko yang terlibat (Gregory et al, 2011). Risiko utama
adalah untuk ibu. Komplikasi maternal terjadi pada 25 persen sampai 50 persen
kelahiran seperti perdarahan hebat pada saat operasi dan setelah melahirkan,
infeksi pada luka atau peningkatan bekuan darah (trombosis) di pembuluh
darah kaki/tromboflebitis (Bobak, 2005; Gregory et al, 2011). Komplikasi lain
meliputi aspirasi, emboli pulmoner, infeksi saluran kemih, cedera pada
kandung kemih atau usus, dan komplikasi yang berhubungan dengan anestesi
(Bobak, 2005). Menurut Edwards and McColgan (2010), kecemasan juga
merupakan komplikasi dari pasien yang mengalami operasi karena kecemasan
dapat mempengaruhi keadaan fisiologis pasien. Kecemasan mengakibatkan
perubahan yang disebabkan oleh stimulasi simpatik yang dapat mengakibatkan
peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Selain itu, kecemasan dapat
menyebabkan meningkatnya rasa nyeri dan keterlambatan penyembuhan. Para
dokter kandungan dan bidan akan memastikan bahwa tindakan yang tepat
diambil untuk mengurangi risiko komplikasi (Gregory et al, 2011).
Kelahiran sesar bukan saja berisiko pada ibu tetapi juga pada janinnya.
Risiko itu meliputi risiko janin lahir prematur jika usia gestasi tidak dikaji
dengan akurat dan risiko cedera janin dapat terjadi selama pembedahan. Selain
itu, wanita tersebut memiliko risiko finansial karena biaya kelahiran sesar lebih
tinggi daripada kelahiran normal secara per vaginam dan periode pemulihan
yang lebih lama memerlukan biaya tambahan (Bobak, 2005). Oleh karena itu,
pada tahun 1985, Organisasi Kesehatan Dunia WHO menyarankan bahwa
tingkat operasi sesar sebesar 15 persen hanya untuk negara maju (Thompson,
2010).
8
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Metode Morgan Thournau: gabungan spiral/helik CT scan panggul dan
ultrasonografi: perbandingan besar volume lingkar kepala/lingkar
bahu/lingkar perut janin
2. USG : biometri, indeks cairan amnion, letak dan derajat maturasi plasenta,
kelainan bawaan, tebal segmen bawah uterus. Bila pada pemeriksaan
transabdominal didapatkan ketebalan SBU > 3,5 mm atau pada USG
transvaginal ketebalan lapisan miometrium didaerah SBU > 2,5 mm,
memiliki kemungkinan untuk partus pervaginam dengan resiko dehisen
sekitar 1,3%.
3. Rontgen Pelvimetri : pada kecurigaan panggul sempit.
4. Selain itu Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan sebagai
berikut:
a. Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan dari
kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah pada
pembedahan.
b. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
c. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
d. Urinalisis / kultur urine
e. Pemeriksaan elektrolit (Moeloek, 2006).
H. Penatalaksanaan
Menurut Mochtar (2002), penatalaksanaan medis pada persalinan Sectio
Caesarea meliputi sebagai berikut:
1. Cairan IV sesuai indikasi.
2. Anestesi; regional atau general. Perjanjian dari orang terdekat untuk tujuan
sectio caesaria.
3. Tes laboratorium/diagnostik sesuai indikasi.
4. Pemberian oksitosin sesuai indikasi.
5. Tanda vital per protokol ruangan pemulihan
6. Persiapan kulit pembedahan abdomen
7. Persetujuan ditandatangani.9
8. Pemasangan kateter foley.
Penatalaksanaan medis dan perawatan setelah dilakukan sectio caesarea
(Cuningham, 2005), yaitu sebagai berikut:
1. Perdarahan dari vagina harus dipantau dengan cermat.
2. Fundus uteri harus sering dipalpasi untuk memastikan bahwa uterus tetap
berkontraksi dengan kuat.
3. Analgesi meperidin 75-100 mg atau morfin 10-15 mg diberikan, pemberian
narkotik biasanya disertai anti emetik, misalnya prometazin 25 mg.
4. Periksa aliran darah uterus paling sedikit 30 ml/jam.
5. Pemberian cairan intra vaskuler, 3 liter cairan biasanya memadai untuk 24
jam pertama setelah pembedahan.
6. Ambulasi, satu hari setelah pembedahan klien dapat turun sebentar dari
tempat tidur dengan bantuan orang lain.
7. Perawatan luka, insisi diperiksa setiap hari, jahitan kulit (klip) diangkat pada
hari keempat setelah pembedahan.
8. Pemeriksaan laboratorium, hematokrit diukur pagi hari setelah pembedahan
untuk memastikan perdarahan pasca operasi atau mengisyaratkan
hipovolemia.
9. Mencegah infeksi pasca operasi, ampisilin 29 dosis tunggal, sefalosporin,
atau penisilin spektrum luas setelah janin lahir.
I. Tahapan dan Teknik Sectio Caesarea
a. Insisi Abdomen
1. Insisi vertikal, insisi vertikal garis tengah intra umbilikus, insisi ini harus
cukup panjang agar janin dapat lahir tanpa kesulitan. Oleh karena itu,
panjang insisi harus sesuai dengan taksiran berat janin.
2. Insisi transversal atau lintang, kulit dan jaringan subkutan disayat dengan
menggunakan insisi transversal rendah sedikit melengkung. Insisi dibuat
setinggi garis rambut pubis dan diperluas sedikit melebihi batas lateral
otot rektus.
10
b. Insisi Uterus
1. Insisi caesarea klasik
a) Insisi caesarea klasik adalah suatu insisi vertikal ke dalam korpus
uterus diatas segmen bawa uterus dan mencapai fundus uterus.
Sebagian besar insisi dibuat di segmen bawah uterus secara melintang.
Insisi melintang disegman bawah memiliki keunggulan yaitu hanya
memerlukan sedikit pemisahan kandung kemih dari miometrium
dibawahnya. Indikasi dilakukan insisi klasik untuk melahirkan janin,
yaitu :
1) Apabila segman bawah uterus tidak bisa dipajankan atau dimasuki
dengan aman karena kandung kemih melekat dengan erat akibat
pembedahan sebelumnya, atau apabila teardapat karsinoma invasif
diserviks.
2) Janin berukuran besar, terletak melintang, selaput ketuban sudah
pecah dan bahu terjepit jalan lahir.
3) Plasenta previa dengan implantasi anterior.
4) Janin kecil, presentasi bokong, sementara segmen bawah uterus
tidak menipis.
5) Obesitas berat
2. Insisi caesarea transversal, insisi tranversal melalui segman bawah uterus
merupakan tindakan untuk presentasi kepala, dengan proses kelahiran
janin :
a. Pada presentasi kepala, satu tangan diselipkan kedalam rongga uterus
diantara simpisis dan kepala janin. Kepala diangkat secara hati-hati
dengan jari dan telapak tangan, melalui lubang insisi dibantu oleh
penekanan sedang transabdomen pada fundus.
b. Hidung dan mulut diaspirasi dengan bola penghisap (bulb syringe)
untuk mencegah teraspirasinya cairan amnion dan isinya oleh janin,
dan dilakukan sebelum thorak bayi dilahirkan.
c. Bahu dilahirkan dengan tanpa ringan disertai penekanan pada fundus.
11
d. Bagian tubuh lainnya segera menyusul, setelah bahu dilahirkan, ibu
atau pasien diberi oksitosin 20 unit/liter dengan kecepatan 10
ml/menit sampai uterus berkontraksi dengan baik.
e. Tali pusat diklem, bayi dipegang setinggi dinding abdomen.
f. Plasenta dikelurkan dari uterus.
g. Penjahitan uterus dan dinding abdomen dilakukan.
12
J. Pathway
13
Risiko Cedera pada Janin akibat pembedahan
Indikasi pada ibu:
Disproporsi kepala panggul/ CPD/ FPD, disfungsi uterus, distosia jaringan lunak, riwayat sesar ulang, kelainan plasenta (plasenta previa&solution plasenta) dan komplikasi medis.
Indikasi pada janin:
Janin besar, gawat janin, letak lintang, prolaps tali pusat, multiple pregnancy, malpresentasi,
SECTIO CAESAREA
Terjadwal Darurat/ tidak terjadwal
Insisi pada abdomen dan uterus
Luka pada abdomen
Nyeri Akut Ruang insisi diisi gumpalan darah
Peningkatan perdarahan
Peradangan mendadak
Risiko Infeksi
Kematian sel epitel, sel dermis & jaringan kulit
Kerusakan Integritas
Kulit
Gangguan Citra
Tubuh
Harapan yang tidak pasti, khawatir dengan kondisi diri
dan bayinya, perubahan konsep diri yang mendadak
Ansietas
Kelemahan Fisik
Defisit Perawatan Diri
Komplikasi lain:
Deep vein thrombosis, Luka pada VU dan usus, Emboli pulmoner, rupture uteri pd kehamilan selanjutnya dsb.
Risiko kekurangan volume cairan
(Bobak, 2005; Gregory et al, 2011; Mochtar, 2002; Saifuddin, 2002; Santoso,
2005).
K. Perawatan Post Partum
1. Post Partum atau Puerpurium
a. Pengertian Post Partum
Beberapa pengertian tentang post partum atau puerperium diantaranya
sebagai berikut:
1) Menurut Mochtar (2001), masa post partum atau puerperium adalah
masa pulihnya kembali, mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat
kandungan kembali seperti pra-hamil. Lama masa post partum yaitu 6-8
minggu.
2) Menurut Prawirohardjo (2009), masa post partum dimlai setelah
plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti
keadaan sebelum hamil, berlangsung selama kira-kira 6 minggu.
3) Menurut Farrer (2001), masa post partum atau nifas atau puerperium
adalah periode waktu atau masa dimana organ-organ reproduksi kembali
kepada keadaan tidak hamil. Masa ini membutuhkan waktu sekitar 6
minggu.
4) Menurut Bobak, Lowdermilk, & Jensen (2005), periode pasca partum
adalah masa enam minggu sejak bayi lahir sampai organ-organ
reproduksi kembali ke keadaan normal sebelum hamil. Periode ini
kadang-kadang disebut puerperium atau trimester ke empat kehamilan.
b. Pembagian dan Periode Masa Post Partum
Menurut Prawirohardjo (2009), pembagain masa post partum dibagi
menjadi 3 bagian yaitu sebagai berikut:
1) Puerpurium Dini
Masa ini merupakan kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri
dan berjalan-jalan. Dalam agama islam, dianggap telah bersih dan boleh
bekerja setelah 40 hari.
2) Puerpurium Intermedial
14
Masa ini merupakan kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang
lamanya 6-8 minggu.
3) Remote Puerpurium
Masa ini merupakan waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat
sempurna terutama bila selama hamil atau waktu persalinan mempunyai
komplikasi. Waktu untuk sehat sempurna bisa berminggu-minggu,
berbulan-bulan atau tahunan.
Sedangkan periode post partum menurut Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal (2002), meliputi sebagai berikut:
1) Early post partum
Periode ini terjadi dalam 24 jam pertama.
2) Immediate post partum
Periode ini terjadi dalam minggu pertama.
3) Late post partum
Periode ini terjadi dalam minggu kedua sampai dengan minggu ke enam.
c. Perubahan Fisiologis pada Masa Post Partum
1) Perubahan Fisik
Menurut Bobak (2005), Prawirohardjo (2009), dan Saifuddin (2006),
perubahan-perubahan fisik atau adaptasi fisik secara fisiologis pada ibu
post partum meliputi sebagai berikut:
a) Sistem Reproduksi
(1) Uterus
Uterus mengalami perubahan paling besar yaitu secara berangsur-
angsur menjadi kecil (involusi) sehingga akhirnya kembali seperti
sebelum hamil. Proses ini dimulai segera setelah plasenta keluar
akibat kontraksi otot-otot polos uterus. Pada saat bayi lahir, atau
akhir persalinan kala III, ukuran uterus kira-kira sebesar uterus
pada kehamilan 16 minggu dengan tinggi 2 jari dibawah pusat
dan beratnya 1000 gram. Ukuran ini dapat semakin mengecil pada
akhir minggu pertama post partum dimana tingginya mencapai
15
pertengahan pusat simpisis dan beratnya kira- kira 500 gram. Dua
minggu post partum, tinggi fundus uterus tidak teraba diatas
simpisis pubis dengan berat 350 gram. Involusi ini diperlihatkan
oleh fakta bahwa pada pemeriksaan abdomen berat uterus
berkurang satu lembar jari tangan setiap hari hingga pada hari ke
12 uterus tidak teraba lagi pada pemeriksaan abdomen. Setelah itu
involusi berlangsung lebih lambat, tetapi pada akhir minggu ke 6
post partum ukurannya lebih besar daripada sebelum hamil
dengan berat uterus mencapai 50 gram.
Intensitas kontraksi uterus meingkat secara bermakna segera
setelah bayi lahir, diduga terjadi sebagai respon terhadap
penurunan volume intra uterin yang sangat besar. Pada primipara
tonus otot meningkat sehingga fundus pada umumnya tetap
kencang. Relaksasi dan kontraksi yang periodik sering dialami
multipara dan bisa menimbulkan nyeri yang bertahan sepanjang
masa awal puerperium. Rasa nyeri setelah melahirkan ini lebih
nyata setelah ibu melahirkan, ditempat uterus teregang (misalnya
pada bayi besar atau bayi kembar). Menyusui dan oksitosin
tambahan biasanya meningkatkan nyeri ini karena keduanya
merangsang kontraksi uterus. Nyeri ini disebut sebagai afterpain.
(2) Serviks
Serviks mengalami involusi bersamaan dengan uterus dan serviks
menjadi lunak setelah ibu melahirkan. Setelah persalinan, ostium
eksterna dapat dimasuki oleh 2 hingga 3 jari tangan, dan delapan
belas jam post partum, serviks memendek serta konsistensinya
menjadi lebih padat dan kembali ke bentuk semula dimana
serviks setinggi dengan segmen bawah uterus dan mengalami
edematosa, tipis, serta rapuh selama beberapa hari setelah ibu
melahirkan. Ektoserviks (bagian serviks yang menonjol ke
vagina) terlihat memar dan sedikit mengalami laserasi kecil.
Muara serviks eksterna tidak akan berbentuk lingkaran seperti
16
sebelum melahirkan, tetapi terlihat memanjang seperti suhu celah.
Bahkan, setelah 6 minggu persalinan serviks akan menutup.
(3) Lochea
Istilah lochea digunakan untuk discharge yang keluar dari traktus
genetalis yang berasal dari cavum uteri dan vagina selama masa
post partum. Lochea terdiri dari darah dan sisa-sisa jaringan
trofoblas, terutama dari tempat plasenta. Sifat lochea berubah
ketika trombosis pembuluh darah. Warnanya menjadi cokelat
kemerahan dari hari ke 3 sampai hari ke 12 tetapi setelah itu,
ketika kebanyakan rongga endometrium telah tertutup oleh
epithelium, lochea menjadi berwarna kuning. Kadang-kadang
terdapat trombosit pada ujung pembuluh darah yang dapat
mengeluarkan darah sehingga lochea menjadi berwarna merah
selama beberapa hari lagi. Macam-macam lochea diantaranya
yaitu sebagai berikut:
(a) Lochea Rubra
Cairan yang keluar pada hari pertama sampai hari ke 3 post
partum, berwarna merah dan kadang hitam karena
mengandung sisa darah, desidua, verniks kaseosa, rambut, dan
sisa mekonium..
(b) Lochea sanguinolenta
Cairan yang keluar berwarna merah kecokelatan dan berlendir
serta berlangsung dari hari ke 4 sampai hari ke 7.
(c) Lochea Serosa
Cairan yang keluar pada hari ke 7 sampai hari ke 14 post
partum, berawarna merah muda, kekuningan dan mengandung
cairan serosa, jaringan desidua, leukosit, dan eritrosit.
(d) Lochea alba
Cairan yang keluar pada minggu ke 2 sampai minggu ke 6 dan
berwarna putih cream dan terutama mengandung leukosit
serta desidua.
17
(4) Vulva, Vagina, dan Perineum
Vulva, vagina, dan perineum mengalami penekanan serta
peregangan yang sangat besar selama proses melahirkan bayi dan
beberapa hari pertama sesudah proses tersebut, ketiga organ ini
tetap berada dalam keadaan melebar, mengalami edema dan
memar serta timbulnya celah pada introitus. Setelah satu atau dua
hari pertama pasca partum tonus otot vagina kembali, celah
vagina tidak lebar dan vagina tidak lagi edema. Vagina menjadi
berdinding lunak, lebih besar dari biasanya dan umumnya
longgar. Ukurannya menurun dengan kembalinya rugae vagina
sekitar minggu ketiga post partum. Ruang vagina sedikit lebih
besar dari pada sebelum kelahiran pertama. Akan tetapi, latihan
pengencangan otot perineum akan mengembalikan tonusnya dan
memungkinkan wanita secara perlahan mengencangkan
vaginanya. Pengencangan ini sempurna pada akhir peurperium
dengan latihan setiap hari
(5) Payudara
Beberapa perubahan pada payudara meliputi penurunan kadar
progesteron secara cepat dengan peningkatan hormon prolaktin
setelah persalinan. Kolostrum sudah ada pada saat persalinan dan
produksi ASI terjadi pada hari ke-2 atau hari ke-3 setelah
persalinan. Perubahan fisik yang terjadi pada payudara yaitu
payudara menjadi besar dan keras sebagai tanda mulainya proses
laktasi.
b) Sistem Kardiovaskular
Pada 24 jam pertama terjadi “hypervolemic” akibat adanya pergeseran
cairan ekstravaskuler ke dalam ruangan intravaskuler. Setelah terjadi
diuresis yang mencolok akibat penurunan kadar estrogen, volume
darah kembali kepada keadaan tidak hamil dimana jumlah sel darah
merah dan hemoblobin kembali normal pada hari ke-5. Meskipun
kadar estrogen mengalami penurunan yang sangat besar selama masa
nifas, namun kadarnya masih tetap lebih tinggi daripada normal.
18
Plasma darah tidak begitu mengandung cairan dan dengan demikian
daya koagulasi meningkat. Pembekuan darah harus dicegah dengan
penanganan yang cermat dan penekanan pada ambulasi dini. Selain
itu, tekanan darah, suhu, dan denyut nadi biasanya stabil (normal)
kecuali bila ada keluhan persalinan yang lama dan sulit atau
kehilangan banyak darah. Sistem kardiovaskkular akan kembali pada
keadaan normal dalam waktu 2 minggu pasca persalinan.
c) Komponen Darah
a) Hematokrit dan Hemoglobin
Selama 72 jam pertama setelah bayi lahir, volume plasma yang
hilang lebih besar daripada sel darah yang hilang. Penurunan
volume plasma dan peningkatan sel darah merah dikaitkan dengan
peningkatan hemtokrit pada hari ketiga sampai hari ke tujuh post
partum. Tidak ada SDM yang rusak selama masa post partum,
tetapi semua kelebihan SDM akan menurun secara bertahap sesuai
denga usia SDM tersebut. Waktu yang pasti kapan volume SDM
kembali ke nilai sebelum hamil tidak diketahui, tetapi volume ini
berada dalam batas normal saat dikaji 8 minggu setelah
melahirkan.
b) Hitung Sel Darah Putih
Leukositosis normal pada kehamilan rata-rata sekitar 12.000
/mm3. Selama 10 sampai 12 hari pertama setelah bayi lahir, nilai
leukosit antara 20.000 dan 25.000 / mm3 merupakan hal yang
umum. Neutrofil merupakan sel darah putih yang paling banyak.
Keberadaan leukositosis disertai peningkatan normal laju endap
darah merah dapat membingungkan dalam menegakkan diagnosis
infeksi akut selama waktu ini.
c) Faktor Koagulasi
Faktor-faktor pembekuan dan fibrinogen biasanya meingkat
selama awal masa kehamilan dan tetap meningkat pada awal
puerperium. Keadaan hiperkoagulasi, yang bisa diiringi kerusakan
pembuluh darah dan imobilitas, mengakibatkan peningkatan risiko
19
tromboembolisme. Aktiviats fibrinolitik juga meningkat selama
beberapa hari pertama setelah bayi lahir.
d) Sistem Endokrin
Selama periode post partum terjadi perubahan hormon yang besar.
Pengeluaran plasenta menyebabkan penurunan signifikan hormon-
hormon yang diproduksi oleh organ tersebut. Penurunan hormon
Human Placcental Lactogen (HPL), estrogen, dan kortisol, serta
placental enzyme insulinase membalik efek diabetogenik kehamilan,
sehingga kadar gula darah menurun secara yang bermakna pada masa
puerpurium. Kadar estrogen menurun 10% dalam waktu sekitar 3 jam
post partum. Sedangkan progesteron turun pada hari ketiga post
partum. Selain itu, wkatu dimulainya ovariuim dan menstruasi pada
wanita menyusui berbeda. Kadar prolaktin serum yang tinggi pada
wanita menyusui tampaknya berperan dalam menekan ovulasi. Karena
kadar Follicle-Stimulating Hormone (FSH) terbukti sama pada wanita
menyusui dan tidak menyusui, sehingga dapat disimpulkan ovarium
tidak berespons terhadap stimulasi FSH kadar prolaktin meningkat.
e) Sistem Urinaria
Buang air kecil sulit selama 24 jam pertama, kemungkinan terdapat
spasme sfingter dan edema leher buli-buli sesudah bagian ini
mengalami kompresi antara kepala janin dan tulang pubis selama
persalinan. Urin dalam jumlah yang besar akan dihasilkan dalam
waktu 12 sampai 36 jam sesudah melahirkan. Setelah plasenta
dilahirkan, kadar hormon estrogen yang bersifat menahan air akan
mengalami penurunan yang mencolok dimana keadaan ini
menyebabkan diuresis. Ureter yang berdilatasi akan kembali normal
dalam waktu 6 minggu.
f) Sistem Gastrointestinal
(1) Nafsu makan
Ibu post partum biasanya setelah melahirkan diperbolehkan untuk
mengkonsumsi makanan ringan dan setelah benar-benar pulih dari
efek analgesik, anastesi, dan keletihan, kebanyak ibu merasa lapar.
20
Permintaan untuk memperolah makanan dua kali dari jumlah yang
biasa dikonsumsi disertai konsumsi makanan ringan yang sering
ditemukan dan sering terjadi.
(2) Motilitas
Secara khas, penurunan tonus dan motilitas otot traktus
gastrointestinal menetap selama waktu yang singkat setelah bayi
lahir. Kelebihan analgesik dan anastesi bisa memperlambat
pengembalian tomus dan motilitas ke keadaan normal.
(3) Defekasi
Buang air besar secara spontan bisa ditunda selama dua sampai
tiga hari setelah ibu melahirkan. Keadaan ini bisa disebabkan
karena tonus otot usus menurun selama proses persalinan dan pada
awal masa post partum, ibu biasanya merasakan nyeri diperineum
akibat episiotomi, laserasi, atau hemoroid. Kebiasaan buang air
besar yang teratur perlu dicapai kembali setelah tonus otot usus
kembali normal.
g) Sistem Muskuloskeletal
Ambulasi pada umumnya dimulai 4 sampai 8 jam post partum.
Ambulasi dini sangat membantu untuk mencegah komplikasi dan
mempercepat proses involusi. Stabilisasi sendi lengkap pada minggu
ke enam sampai minggu ke delapan setelah ibu melahirkan.
h) Sistem Integumen
Penurunan melanin yang umumnya terjadi setelah persalinan
menyebabkan berkurangnya hyperpigmentasi kulit. Perubahan
pembuluh darah yang tampak pada kulit karena kehamilan akan
menghilang pada saat estrogen menurun. Selain itu kloasma yang
muncul pada masa kehamilan biasanya menghilang saat kehamilan
berakhir. Hiperpigmentasi diareola dan linea nigra tidak menghilang
seluruhnya. Kulit yang meregang pada payudara, abdomen, paha dan
panggul mungkin memudar tapi tidak hilang seluruhnya.
21
2) Perubahan Psikologis
Menurut Ambarwati dan Wulandari (2009: 88-89), adaptasi
psikologis dapat diklasifikasikan menjadi 3 antara lain :
a) Fase Taking In
Fase ini merupakan periode ketergantungan yang berlangsung dari
pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Pada saat itu, fokus
perhatian ibu terutama pada dirinya sendiri. Ibu masih pasif dan
tergantung. Pengalaman selama proses persalinan sering berulang
diceritakan, kelelahan membuat ibu cukup istirahat untuk mencegah
gejala kurang tidur, seperti mudah tersinggung serta nafsu makannya
meningkat. Hal ini membuat ibu cenderung menjadi positif terhadap
lingkungan. Oleh karena itu, kondisi ibu perlu dipahami dengan
menjaga komunikasi yang baik.
b) Fase Taking Hold
Fase ini berlangsung selama 3 - 10 hari setelah melahirkan. Pada masa
taking hold ibu merasa khawatir akan ketidakmampuan dan rasa
tanggung jawab dalam merawat bayi. Selain itu perasaannya sangat
sensitif sehingga mudah tersinggung jika komunikasi kurang hati-hati.
c) Fase Taking Go
Fase ini merupakan fase menerima tanggung jawab akan peran
barunya yang berlangsung 10 hari setelah melahirkan. Ibu sudah mulai
menyesuaikan diri dengan ketergantungan bayinya. Keinginan untuk
merawat diri dan bayinya meningkat pada fase ini.
Perawatan wanita setelah melahirkan secara sectio caesarea merupakan
kombinasi antara asuhan keperawatan bedah dan maternitas. Setelah
pembedahan selesai, ibu akan dipindahkan ke area pemulihan. Pengkajian
keperawatan segera setelah melahirkan meliputi pemulihan dari efek anastesi,
status pasca operasi dan pasca melahirkan, dan derajat nyeri. Kepatenan jalan
nafas dipertahankan dan posisi wanita tersebut diatur untuk mencegah
kemungkinan aspirasi. Tanda-tanda vital diukur setiap 15 menit selama satu
22
sampai dua jam atau sampai ibu stabil. Kondisi balutan insisi, tinggi fundud
uterus, dan jumlah lochea dikaji, demikian pula intake dan output. Perawat
membantu wanita tersebut untuk mengubah posisi dan melakukan nafas dalam
serta melatih gerakan kaki. Obat-obatan untuk mengatasi nyeri dapat diberikan
(Bobak, 2005).
Ketika bersama bayi, ibu dan ayah diberi wakttu tersendiri untuk
memfasilitasi bonding dan attachment dengan bayi. Menyusui dapat segera
dimulai, jika ibu ingin mencobanya. Ibu biasanya dipindahkan ke unit
pascapartum setelah satu sampai dua jam atau bila kondisinya sudah stabil
(Bobak, 2005).
Sikap perawat dan anggota tim kesehatan lain dapat mempengaruhi
persepsi ibu tersebut terhadap dirinya setelah melahirkan secara sesar. Para
petugas kesehatan harus menekankan bahwa pertama, ibu tersebut adalah
seorang ibu baru dan kedua, ibu tersebuut adalah pasien bedah. Sikap ini akan
membantu wanita menerima dirinya bahwa dia memiliki masalah dan
kebutuhan yang sama dengan ibu baru yang lain (Bobak, 2005).
Masalah fisiologis selama beberapa hari pertama dapat didominasi oleh
nyeri akibat insisi dan nyeri dari gas diusus halus serta kebutuhan untuk
menghilangkan nyeri. Obat nyeri biasanya diresepkan setiap 3 sampai 4 jam,
tetapi analgesik pengontrol nyeri (pain controlled analgesia/PCA) atau
narkotik epidural bisa diresepkan sebagai pengganti. Tindakan lain untuk
mengupayakan kenyamanan, seperti mengubah posisi, mengganjal insisi
dengan bantal, memberi kompres panas pada abdomen, dan teknik relaksasi,
bisa juga digunakan. Ambulasi dan upaya menghindari makanan yang
menghasilkan gas dan minuman berkarbonat bisa mengurango nyeri yang
disebabkan gas (Bobak, 2005).
Perawatan sehari-hari meliputi perawatan perineum, perawatan payudara,
dan perawatan higienis rutin, termasuk mandi siram (shower) setelah balutan
luka diangkat (jika mandi siram masih dalam persepsi budaya wanita tersebut).
Setiap kali berdinas, perawat mengkaji tanda-tanda vital, insisi, tinggi fundus
uterus, dan lochea. Bunyi nafas, bising usus, tanda homans, dan eliminasi urine
serta defekasi juga dikaji (Bobak, 2005).
23
Selama periode pascapartum perawat dapat memberi perawatan untuk
memenuhi kebutuhan psikologis dan kebutuhan pengajaran ibu yang
melahirkan melalui operasi sesar. Perawat dapat menjelaskan prosedur
pascapartum untuk membantu wanita tersebut bekerja sama dalam
pemulihannya dar pembedahan. Perawat juga dapat membantu wanita tersebut
merencanakan perawatannya dan menerima kunjungan keluarga serta teman-
temannya sehingga dia dapat mengatur waktu istirahat yang adekuat.
Informasi dan bantuan dalam melakukan perawatan bayi dapat memfasilitasi
penyesuaian peran ibu. Pasangan atau suami dapat juga dilibatkan dalam sesi
pengajaran dan penjelasan tentang pemulihan pasangannya. Pasangan tersebut
harus didorong untuk mengungkapkan perasaan mereka tentang pengalaman
melahirkan. Beberapa orang tua akan marah, frustasi, atau kecewa karena
wanita tidak dapat melahirkan per vaginam. Beberapa wanita mengungkapkan
perasaan, seperti harga diri rendah atau citra diri yang negatif. Akan sangat
berguna bila ada perawat yang hadir selama wanita melahrkan mengunjungi
dan membantu mengisi “kesenjangan” tentang pengalaman tersebut (Bobak,
2005).
Rencana pulang terdiri dari informasi tentang diet, latihan fisik,
pembatasan aktivitas, perawatan payudara, aktivitas seksual, kontrasepsi,
medikasi, dan tanda-tanda komplikasi, serta perawatan bayi. Perawat mengkaji
kebutuhan akan dukungan atau konseling yang berkelanjutan untuk
memudahkan pemulihan emosi ibu setelah melahirkan. Rujukan ke kelompok
pendukung atau lembaga masyarakat dapat diindikasikan (Bobak, 2005).
Mengatasi nyeri pascapartum setelah melahirkan secara sesar dapat
dilakukan dengan cara:
1. Jika nyeri akibat insisi
a. Belat insisi dengan bantal saat bergerak atau batuk.
b. Gunakan teknik relaksasi, seperti terapi musik, pernafasan (nafas dalam),
dan lamu yang remang-remang.
c. Berikan kompres panas pada abdomen.
2. Jika nyeri akibat gas dalam abdomen
a. Jalan sesering mungkin.
24
b. Jangan menngkonsumsi makanan yang merangsang pembentukan gas,
minuman berkarbonat atau susu utuh (whole milk).
c. Jangan gunakan sedotan untuk minum.
d. Berbaring dengan posisi miring kiri untuk mengeluarkan gas.
e. Gunakan kursi goyang pada saat duduk (Bobak, 2005).
Salah satu discharge planning yang dilakukan terhadap pasien yaitu
pemberian informasi tentang tanda-tanda komplikasi pasca operatif sehingga
pasien bisa mengetahui apabila timbul tanda-tanda komplikasi setelah pasien
pulang. Beberapa tanda komplikasi pasca operatif yaitu sebagai berikut:
1. Demam lebih dari 380C.
2. Nyeri saat buang air kecil.
3. Lochea lebih banyak daripada periode menstruasi normal.
4. Adanya luka terbuka.
5. Kemerahan dan berdarah atau sampai keluar pus/nanah pada tempat insisi.
6. Nyeri abdomen yang parah (Bobak, 2005).
L. Asuhan Keperawatan
3. Pengkajian
Pengkajian fokus yang dapat dilakukan pada klien dengan postpartum
persalinan sesar yaitu sebagai berikut:
a. Keluhan utama klien saat ini
b. Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas sebelumnya bagi klien
multipara
c. Riwayat penyakit keluarga
d. Keadaan klien meliputi :
1) Sirkulasi, hipertensi dan pendarahan vagina yang mungkin terjadi.
Kemungkinan kehilangan darah selama prosedur pembedahan kira-
kira 600-800 mL
2) Integritas ego, dapat menunjukkan prosedur yang diantisipasi sebagai
tanda kegagalan dan atau refleksi negatif pada kemampuan sebagai
wanita. Menunjukkan labilitas emosional dari kegembiraan,
ketakutan, menarik diri, atau kecemasan.25
3) Makanan dan cairan, abdomen lunak dengan tidak ada distensi (diet
ditentukan).
4) Neurosensori, kerusakan gerakan dan sensasi di bawah tingkat
anestesi spinal epidural.
5) Nyeri / ketidaknyamanan, mungkin mengeluh nyeri dari berbagai
sumber karena trauma bedah, distensi kandung kemih , efek - efek
anesthesia, nyeri tekan uterus mungkin ada.
6) Keamanan, balutan abdomen dapat tampak sedikit noda / kering dan
utuh.
7) Seksualitas, fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilikus. Aliran
lokhea sedang.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (adanya luka post SC)
dan agen injuri biologis (involusi uterus, dan terjadinya pembengkakan
payudara).
b. Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang
tidak adekuat (adanya luka post SC).
c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyaman periode post
partum, proses persalinan, dan perawatan bayi serta rutinitas di rumah
sakit.
d. Defisit perawatan diri berhubungan dengan nyeri dan kelemahan.
26
a. Intervensi Keperawatan
DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONALNyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (adanya luka post SC) dan agen injuri biologis (involusi uterus, dan terjadinya pembengkakan payudara).
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam diharapkan pasien dapat mengontrol nyerinya, nyeri berkurang dengan kriteria hasil:Indikator Awal Target
1. Pasien mampu mengenali faktor penyebab nyeri
2. Mengenali onset nyeri
3. Memberikan analgesik (kolaborasi dengan tim kesehatan lain)
4. Melaporkan kontrol nyeri
5. Pasien mampu melaporkan nyerinya
6. Klien mengetahui frekuensi nyeri
NIC: Pain Management1. Melakukan pengkajian secara komprehensif
mengenai lokasi, karakteristik, lamanya, frekuensi, kualitas nyeri dan faktor presipitasi
2. Mengobservasi penyebab ketidaknyamanan klien secara verbal dan nonverbal
3. Menyakinkan klien akan pemberian analgesik4. Menggunakan komunikasi teraupetik untuk
mengetahui pengalaman nyeri pasien
5. Mengkaji dampak dari pengalaman nyeri (ggg tidur, ggg hubungan)
6. Mengontrol faktor lingkungan yang menyebabkan klien merasa tidak nyaman (ruangan, temperatur, cahaya)
7. Instruksikan pasien untuk melakukan teknik relaksasi seperti bimbingan imajinasi, nafas dalam
1. Mengetahui kualitas nyeri pasien
2. Dapat mengurangi rasa cemas dan takut sehingga mampu mengurangi rasa sakit
3. Menurunkan nyeri4. Komunikasi terapeutik
mampu menurunkan kecemasan
5. Mengetahui kondisi ketidaknyamanan klien yang kemungkinan mampu mengagnggu kualitas hidupnya
6. Meminimalkan nyeri dengan menciptakan lingkungan nyaman
7. Meningkatkan relaksasi
27
Keterangan: 1: tidak pernah menunjukan2: jarang menunjukan3: kadang-kadang menunjukan4: sering menunjukan5: konsisten menunjukan
Risiko infeksi berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat (adanya luka post SC).
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam risiko infeksi dapat teratasi dengan kriteria hasil :Batasan karakteristik Awal Target Tidak terdapat demam, kemerahan, cairan purulen, bengkak disekitar lukaMengetahui tanda dan gejala infeksiAsupan nutrisiRobeknya kulitLuasnya tepi luka
Keterangan:1= tidak ada pengetahuan2= pengetahuan sedikit3= pengetahuan sedang4=pengetahuan baik5= pengetahuan sangat baik
a. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
b. Menyediakan lingkungan yang bersih dan kenyamanan tempat tidur
c. Batasi pengunjung
d. Petugas kesehatan memakai sarung tangan sebagai bentuk universal precaution
e. Memberikan antibiotikf. Menggunakan peralatan steril dalam melakukan
tindakan yang membutuhkan peralatan sterilg. Bersihkan dan sterilkan alat yang telah dipakai
h. Observasi luka klien
i. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam memberikan diet
j. Membantu dan mengajari kliren dalam
a. Mencegah terjadinya infeksi melalui tangan
b. Mencegah infeksi
c. Mencegah kontak klien dengan dunia luar
d. Mencegah infeksi demi kesehatan klien dan petugas kesehatan
e. Membunuh bakterif. Peralatan steril dapat
mencegah kondisi infeksig. Mensterilkan alat untuk
dipaai ulang sebagai bentuk pencegahan infeksi antar klien
h. Mengetahui luka sebelum dilakukan tindakan dan sesudah
i. Meningkatkan stamina klien
j. Klien dapat melakukan
28
melakukan perawatan perineum perawatan perinium di rumah
Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyaman periode post partum, proses persalinan yang lama, dan perawatan bayi serta rutinitas di rumah sakit.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, diharapkan kemampuan tidur pasien meningkat dengan kriteria hasil:Batasan karakteristik Awal Target Mengungkapkan kemampuannya untuk tidur.Mengungkapkan jarang terjaga dimalam hari.Mengungkapkan kepuasannya akan tidur.Tidak menunjukan keletihan pada saat bangun tidur
Keterangan:1= tidak ada pengetahuan2= pengetahuan sedikit3= pengetahuan sedang4=pengetahuan baik5= pengetahuan sangat baik
1. Atur waktu khusus untuk rutinitas perawatan sehingga sesuai dengan jadwal pasien dan tidak mengganggu jadwal istirahat pasien.
2. Minimalkan tingkat kebisingan diluar dan didalam ruang perawatan. Tutup pintu pada saat pasien istirahat atau tidur.
3. Atur tidur siang pasien tanpa mengganggu waktu tidur bayi.
4. Batasi pengunjung pada siang dan malam hari.
5. Diskusikan teknik yang pernah dipakai pasien untuk meningkatkan waktu istirahat, misalnya minum minuman hangat, membaca, menonton TV sebelum tidur, dan melakukan masase diarea punggung.
6. Lakukan upaya untuk menciptakan rasa nyaman saat pasien merasa nyeri dengan cara menggosok punggung, memberikan analgesik, dan melakukan teknik relaksasi.
1. Memperbaiki pola tidur individu dengan tidak mengganggu waktu perawatan dan waktu istirahat pasien.
2. Mengurangi rangsangan dari luar yang dapat mengganggu waktu istirahat pasien.
3. Mengatur jadwal tidur pasien dan bayinya.
4. Mengurangi kebisingan dan meningkatkan waktu istirahat pasien.
5. Meningkatkan kontrol dan meningkatkan relaksasi pasien.
6. Mengurangi nyeri dan ketegangan, meningkatkan relaksasi dan istirahat serta meningkatkan waktu tidur pasien.
29
Defisit perawatan diri berhubungan dengan nyeri dan kelemahan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, diharapkan pasien mampu melakukan perawatan diri secara menyeluruh dengan kriteria hasil:Batasan karakteristik Awal Target Mampu mandi sendiriMampu berpakaian sendiriMampu merapikan rambut sendiriMampu toileting sendiriMampu makan dan minum sendiri
Keterangan:1= tidak ada pengetahuan2= pengetahuan sedikit3= pengetahuan sedang4=pengetahuan baik5= pengetahuan sangat baik
1. Monitor kemampuan pasien dalam melakukan ADL secara mandiri.
2. Monitor kebutuhan pasien akan alat bantu dalam melakukan ADL.
3. Sediakan peralatan-peralatan pribadi yang dibutuhkan pasien (seperti deodoran, pasta gigi, dan sabun mandi, diapers).
4. Bantu pasien dalam melakukan ADL sampai pasien atau keluarga mampu melakukannya dengan mandiri.
1. Mengetahui ADL pasien.
2. Mempermudah pasien melakukan ADL.
3. Mempersiapkan sarana prasarana pasien untuk ADL,Memberikan perawatan pada pasien.
30
DAFTAR PUSTAKA
Arjatmo T.(2001). Keadaan Gawat Yang Mengancam Jiwa. Jakarta : gaya baru
Betz Cecily L, Sowden Linda A. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri.
Jakarta : EGC.
Bobak, I. M., Deitra L. L., & Margaret D. J. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas (Maternity Nursing) Edisi 4. Jakarta: EGC.
Farrer. (2001). Keperawatan maternitas. Jakarta: EGC.
Heardman, T. H. (2012). Diagnosis keperawatan; definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC.
Johnson, Meridian Maas, & Sue Moorhead. (2000). Nursing Outcame Clasification. Mosby. Philadelphia.
Manuaba, I.B. (2001). Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi
dan KB. Jakarta : EGC
McCloskey & Gloria M Bulechek. (1996). Nursing intervention clasification. Mosby. USA
Ngastiyah.( 1997 ). Perawatan Anak Sakit Jakarta : EGC
Sacharin Rosa M. (1996). Prinsip Keperawatan Pediatrik. Alih bahasa :
Maulanny R.F. Jakarta : EGC.
31