Lp Retensi Urin

12
RETENSI URINE A. Definisi Retensi urin pada wanita paling mungkin terjadi pada periode post partum atau setelah pembedahan pelvis. Menurut Stanton, retensio urin adalah ketidak-mampuan berkemih selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, dimana keadaan tidak dapat mengeluarkan urin ini lebih dari 25-50 % kapasitas kandung kemih. Ketika terjadi retensi urin, pertama kali diupayakan cara non invasif seperti upaya bladder training dengan menggunakan hidroterapi Sitz bath agar fungsi eliminasi berkemih dapat terjadi secara spontan. Apabila upaya ini tidak berhasil, maka diperlukan penangananan bladder training dengan kateterisasi dengan memasang kateter foley dalam kandung kemih selama 24 - 48 jam untuk menjaga kandung kemih agar tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih menemukan tonus otot otot normalnya kembali agar tercapai proses berkemih spontan. Diagnosis retensi urin pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian bawah (Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis, pemeriksaan neurologis, jumlah urin yang dikeluarkan spontan dalam 24 jam, pemeriksaan urinalisis dan kultur urin, serta pengukuran volume residu urin . Selain itu, fungsi berkemih diperiksa dengan alat uroflowmetry. Saultz et al., menyatakan volume residu urin normal adalah kurang atau sama dengan 150 ml, sehingga jika volume residu urin lebih dari 150 ml dapat dikatakan abnormal dan biasa disebut retensi urin. Volume residu urin normal adalah maksimal 25 % dari total volume vesika urinaria. Kapasitas kandung kemih normal orang dewasa adalah ± 1000 ml. Namun

Transcript of Lp Retensi Urin

Page 1: Lp Retensi Urin

RETENSI URINE

A. Definisi

Retensi urin pada wanita paling mungkin terjadi pada periode post partum

atau setelah pembedahan pelvis. Menurut Stanton, retensio urin adalah ketidak-

mampuan berkemih selama 24 jam yang membutuhkan pertolongan kateter, dimana

keadaan tidak dapat mengeluarkan urin ini lebih dari 25-50 % kapasitas kandung

kemih.

Ketika terjadi retensi urin, pertama kali diupayakan cara non invasif seperti

upaya bladder training dengan menggunakan hidroterapi Sitz bath agar fungsi

eliminasi berkemih dapat terjadi secara spontan. Apabila upaya ini tidak berhasil,

maka diperlukan penangananan bladder training dengan kateterisasi dengan

memasang kateter foley dalam kandung kemih selama 24 - 48 jam untuk menjaga

kandung kemih agar tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih menemukan

tonus otot otot normalnya kembali agar tercapai proses berkemih spontan.

Diagnosis retensi urin pada pasien dengan keluhan saluran kemih bagian

bawah (Lower Urinary Tract Symptoms/LUTS) ditegakkan dari anamnesis,

pemeriksaan fisik yang lengkap, pemeriksaan rongga pelvis, pemeriksaan

neurologis, jumlah urin yang dikeluarkan spontan dalam 24 jam, pemeriksaan

urinalisis dan kultur urin, serta pengukuran volume residu urin . Selain itu, fungsi

berkemih diperiksa dengan alat uroflowmetry.

Saultz et al., menyatakan volume residu urin normal adalah kurang atau

sama dengan 150 ml, sehingga jika volume residu urin lebih dari 150 ml dapat

dikatakan abnormal dan biasa disebut retensi urin. Volume residu urin normal adalah

maksimal 25 % dari total volume vesika urinaria. Kapasitas kandung kemih normal

orang dewasa adalah ± 1000 ml. Namun keadaan over distensi dapat mencapai

volume + 2000-3000 ml. Fungsi berkemih dikatakan masih normal bila volume urin

minimal 0,5 - 1 ml / kgBB /jam.

Secara umum penanganan retensi urin diawali dengan kateterisasi. Namun,

studi terakhir menyatakan bahwa penanganan awal secara non invasif berupa

hidroterapi dapat diupayakan terlebih dahulu. Apabila residu urin lebih dari 150 ml,

antibiotik profilaksis perlu diberikan untuk kateterisasi dalam jangka panjang atau

berulang.

Page 2: Lp Retensi Urin

B. Retensi urin post partum

Retensi urine memberikan gejala gangguan berkemih, termasuk diantaranya

kesulitan buang air kecil; pancaran kencing lemah, lambat, dan terputus-putus; ada

rasa tidak puas, dan keinginan untuk mengedan atau memberikan tekanan pada

suprapubik saat berkemih. Perubahan fisiologis pada kandung kemih yang terjadi

saat kehamilan berlangsung merupakan predisposisi terjadinya retensi urine satu

jam pertama sampai beberapa hari post partum.

Retensi urin merupakan fenomana yang biasa terjadi pada ibu postpartum.

Hal ini disebabkan banyak faktor. Salah satunya adalah penekanan kepala janin ke

uretra dan kandung kemih yang menyebabkan edema. Distensi yang disebabkan

akan berlangsung selama sekitar 24 jam setelah melahirkan. Namun kemudian

karena penumpukan cairan yang terjadi, secara perlahan akan terjadi pengeluaran

cairan secara besar-besaran yang biasa disebut inkontinensia.

Inkontinensia urin menurut International Continence Society didefinisikan

sebagai keluarnya urin secara involunter yang menimbulkan masalah sosial dan

higiene serta secara objektif tampak nyata. International Consultation on

Incontinence membagi klasifikasi inkontinensia urine menjadi 6, yaitu : Inkontinensia

urine desakan, inkontinensia urine stress, inkontinensia urine campuran,

Inkontinensia urine berlebih, Nokturnal Enuresis, Post Micturition Dribbling dan

Incontinencia continua.

Masalah berkemih yang paling umum dalam kehamilan dan pascapartum

adalah inkontinensia urine stress. The International Continence Society (ICS)

mendefinisikan inkontinensia urine stres sebagai keluhan pelepasan involunter saat

melakukan aktivitas, saat bersin dan pada waktu batuk. Inkontinensia urine stres

terjadi akibat peningkatan tekanan intra abdomen yang tiba-tiba (misalnya, tekanan

mendadak yang timbul akibat bersin atau batuk). Sedangkan inkontinensia urine

desakan disebabkan oleh gangguan pada kandung kemih dan uretra. Kedua jenis

inkontinensia ini merupakan tipe yang paling sering terjadi pada ibu postpartum.

Terkadang muncul gejala campuran dari kedua tipe inkontinensia ini, yang disebut

juga dengan inkontinensia urine campuran.

Retensi urin post partum dibagi atas dua yaitu :

1. Retensi urin covert (volume residu urin>150 ml pada hari pertama post

partum tanpa gejala klinis) Retensi urin post partum yang tidak terdeteksi

(covert) oleh pemeriksa. Bentuk yang retensi urin covert dapat

diidentifikasikan sebagai peningkatkan residu setelah berkemih spontan yang

dapat dinilai dengan bantuan USG atau drainase kandung kemih dengan

Page 3: Lp Retensi Urin

kateterisasi. Wanita dengan volume residu setelah buang air kecil ≥ 150 ml

dan tidak terdapat gejala klinis retensi urin, termasuk pada kategori ini.

2. Retensi urin overt (retensi urin akut post partum dengan gejala klinis).

Retensi urin post partum yang tampak secara klinis (overt) adalah ketidak-

mampuan berkemih secara spontan setelah proses persalinan. Insidensi

retensi urin postpartum tergantung dari terminologi yang digunakan.

Penggunaan terminologi tidak dapat berkemih spontan dalam 6 jam setelah

persalinan, telah dilakukan penelitian analisis retrospektif yang menunjukkan

insidensi retensi urin jenis yang tampak (overt) secara klinis dibawah 0,14%.

Sementara itu, untuk kedua jenis retensi urin, tercatat secara keseluruhan

angka insidensinya mencapai 0,7%

Beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya retensi urin post partum,yaitu :

1. Trauma Intrapartum

Trauma intrapartum merupakan penyebab utama terjadinya retensi urin,

dimana terdapat trauma pada uretra dan kandung kemih. Hal ini terjadi karena

adanya penekanan yang cukup berat dan berlangsung lama terhadap uretra dan

kandung kemih oleh kepala janin yang memasuki rongga panggul, sehingga

dapat terjadi perlukaan jaringan, edema mukosa kandung kemih dan

ekstravasasi darah di dalamnya. Trauma traktus genitalis dapat menimbulkan

hematom yang luas dan meyebabkan retensi urin post partum.

2. Refleks kejang (cramp) sfingter uretra.

Hal ini terjadi apabila pasien post partum tersebut merasa ketakutan akan

timbul perih dan sakit jika urinnya mengenai luka episiotomi sewaktu berkemih.

Gangguan ini bersifat sementara.

3. Hipotonia selama masa kehamilan dan nifas

Tonus otot otot (otot detrusor) vesika urinaria sejak hamil dan post partum

tejadi penurunan karena pengaruh hormonal ataupun pengaruh obat-obatan

anestesia pada persalinan yang menggunakan anestesi epidural.

4. Posisi tidur telentang pada masa intrapartum membuat ibu sulit berkemih

spontan.

C. Penyebab dan Faktor Risiko

Setiap kelahiran dapat menyebabkan kerusakan pada otot dasar panggul.

Pada saat kepala bayi keluar dari vagina, tekanan yang terjadi pada kandung kemih,

uretra dan terlebih pada otot dasar panggul serta penyokongnya dapat merusak

struktur ini. Sobekan atau tekanan yang berlebihan pada otot, ligamentum, jaringan

Page 4: Lp Retensi Urin

penyambung dan jaringan syaraf akan menyebabkan kelemahan yang progresif

akibat kelahiran bayi.Wanita yang melahirkan dengan forcep, ekstraksi vakum atau

melhirkan bayi dengan berat badan > 4000 gr akan mengalami resiko peningkatan

inkontinensia urin. Persalinan seperti ini memiliki tendensi terjadinya peningkatan

kerusakan saraf dasar panggul.

Kelainan struktur atau fungsi otot dasar panggul akan menyebabkan

timbulnya prolapsus organ panggul, disfungsi seksual, sindrom nyeri panggul kronis

dan inkontinensia urin serta fekal. Kebanyakan disfungsi dasar panggul (terutama

prolapsus organ panggul inkontinensia urin dan fekal) dihubungkan dengan

kerusakan dasar panggul selama persalinan pervaginam.

Pada 24 jam pertama setelah melahirkan akan terjadi retensi urin yang

disebabkan oleh edema trigonium, diphorosis dan depresi dari sphincter uretra. Bila

wanita pasca persalinan tidak dapat berkemih dalam waktu 4 jam pasca persalinan

mungkin ada masalah dan sebaiknya segera dipasang dower kateter selama 24 jam.

Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam waktu 4 jam, lakukan kateterisasi

dan bila jumlah residu > 200 ml maka kemungkinan ada gangguan proses

urinasinya. Maka kateter tetap terpasang dan dibuka 4 jam kemudian , bila volume

urine < 200 ml, kateter dibuka dan pasien diharapkan dapat berkemih seperti biasa.

Setelah retensi teratasi dan plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen akan

menurun sehingga menyebabkan hilangnya peningkatan tekanan vena pada tingkat

bawah, dan hilangnya peningkatan volume darah akibat kehamilan, hal ini

merupakan mekanisme tubuh untuk mengatasi kelebihan cairan. Keadaan ini disebut

dengan diuresis pasca partum.

Diuresis pada ibu dengan disfungsi dasar panggul akan memudahkan

terjadinya inkontinensia urin pada ibu post partum. Hal ini diperburuk oleh

penambahan berat badan yang harus disokongnya. Etiologi dari Inkontinensia Urin

stress tidak begitu dimengerti, namun trauma pada saat kelahiran bayi merupakan

penyebab potensial terhadap kejadian. Ada pandangan umum bahwa sepertiga dari

seluruh ibu yang telah memiliki anak, menderita gangguan ini, mulai dari seluruh ibu

yang telah memiliki anak, menderita gangguan ini, mulai dari kondisi ringan sampai

berat pada masa pascanatal.

Inkontinensia yang sering terjadi pada ibu post partum adalah inkontinensia

urine stres. Inkontinensia urine stres (SUI) adalah keluarnya urine dari uretra pada

saat terjadi peningkatan tekanan intaabdominal. Terjadinya inkontinensia ini karena

faktor sfingter (uretra) yang tidak mampu mempertahankan tekanan intrauretra pada

saat tekanan intravesika meningkat atau saat kandung kemih terisi. Peningkatan

Page 5: Lp Retensi Urin

tekanan intraabdominal dapat dipacu oleh batuk, bersin, tertawa, berjalan, berdiri,

atau mengangkat benda berat.

Kebanyakan kasus inkontinensia stress berespons terhadap program latihan

dasar panggul (Kegel Exercise) pada masing-masing individu. Kegel Exercise sudah

terbukti mampu mengatasi masalah inkontinensia urin. Seluruh ibu yang mengalami

gejala inkontinensia urin yang menetap setelah minggu ke-12 harus dianjurkan untuk

mendapatkan rujukan ahli fisioterapi kesehatan wanita, baik melalui pelayanan

harian umum, atau sebagai seorang konsultan, karena ibu harus dikaji dan diberi

saran yang tepat dalam melakukan latihan dasar panggul.

D. Patofisiologi retensi urin post partum

Proses berkemih melibatkan dua proses yang berbeda yaitu :

1. pengisian dan penyimpanan urin, serta

2. pengosongan urin dari kandung kemih.

Proses ini sering berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas otot

detrusor kandung kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran urin dikontrol

oleh sistem saraf otonom dan somatik.

Selama fase pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap

kandung kemih menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi

saluran kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem simpatis

dari aktivitas kontraksi otot detrusor yang dikaitkan dengan peningkatan tekanan

otot dari leher kandung kemih dan uretra proksimal.

Pengeluaran urin secara normal timbul akibat adanya kontraksi yang

simultan dari otot detrusor dan relaksasi sfingter uretra. Hal ini dipengaruhi oleh

sistem saraf parasimpatis yang mempunyai neurotransmiter utama yaitu

asetilkolin. Penyampaian impuls dari saraf aferen ditransmisikan ke saraf

sensoris pada ujung ganglion medulla spinalis di segmen S2 - S4 dan

selanjutnya sampai ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak menghambat

aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal. Selama fase pengosongan

kandung kemih, hambatan pada aliran parasimpatis sakral dihentikan, sehingga

timbul kembali kontraksi otot detrusor.

Retensi urin post partum paling sering terjadi akibat dissinergis dari otot

detrusor dan sfingter uretra. Terjadinya relaksasi sfingter uretra yang tidak

sempurna menyebabkan nyeri dan edema. Sehingga ibu post partum tidak dapat

mengosongkan kandung kemihnya dengan baik.

Page 6: Lp Retensi Urin

E. Penanganan retensi urin post partum

Hal yang penting dalam menilai wanita dengan inkontinensia urine adalah

dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap. Pemeriksaan awal tidak

selalu diagnostik, tetapi informasi yang didapat akan menuntun klinisi dalm memilih

test diagnostik yang diperlukan. Pada umumnya keluhan penderita yaitu:

- Kencing keluar pada waktu batuk, tertawa, bersin dan latihan.

- Keluarnya kencing tidak dapat ditahan.

- Kencing keluar menetes pada keadaan kandung kencing penuh.

Pemeriksaan fisik yang lengkap meliputi pemeriksaan abdomen, vaginal,

pelvis, rektal dan penilaian neurologis. Pada pemeriksaan abdomen bisa didapatkan

distensi kandung kemih, yang menunjukkan suatu inkontinensia luapan, dan

dikonfirmasi dengan kateterisasi. Inspekulo bisa tampak prolaps genital, sistokel dan

rektokel. Adanya urine dalam vagina terutama pasca histerektomi mungkin

mengetahui adanya massa pelvis.

Test sederhana dapat dikerjakan setelah pemeriksaan fisik untuk membantu

dalam menentukan tindakan selanjutnya. Test Q-tip (the cotton swab test),

merupakan test sederhana untuk menunjukan adanya inkontinensia stres sejati.

Penderita disuruh mengosongkan kandung kemihnya, urine ditampung. Kemudian

spesimen urine diambil dengan kateterisasi. Jumlah urine dari kencing dan kateter

merupakan volume kandung kemih. Volume residual menguatkan diagnosis

inkontinensia luapan. Spesimen urine dikirim ke laboratorium.

Test diagnostik lanjut yaitu sistourethroskopi dan diagnostik imaging.

Sistourethroskopi dikerjakan dengan anestesi umum maupun tanpa anestesi, dapat

dilihat keadaan patologi seperti fistula, ureter ektopik maupun divertikulum. Test

urodinamik meliputi uroflowmetri dan sistometri. Sistometri merupakan test yang

paling penting, karena dapat menunjukan keadaan kandung kemih yang hiperaktif,

normal maupun hipoaktif. Diagnostik imaging meliputi USG, CT scan dan IVP yang

digunakan untuk mengidentifikasi kelainan patologi (seperti fistel/tumor) dan kelainan

anatomi (ureter ektopik).

Test tambahan yang diperlukan untuk evaluasi diagnostik yaitu ‘Pessary Pad

Test’. Penderita minum 500 ml air selama 15 menit untuk mengisi kandung kemih.

Setelah ½ jam, penderita melakukan latihan selama 45 menit dengan cara : berdiri

dari duduk (10 kali), batuk (10 kali), joging di tempat (11 kali), mengambil benda dari

lantai (5 kali), dan mencuci tangan dari air mengalir selama 1 menit. Test positif bila

berat Pad sama atau lebih besar dari 1g. Test ini dapat menunjukan adanya

inkontinesia stres hanya bila tidak didapatkan kandung kemih yang tidak stabil.

Page 7: Lp Retensi Urin

Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan

tetapi pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif.

Latihan otot dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu

juga dipakai obat-obatan,stimulasi dan pemakaian alat mekanis

1. Latihan Otot Dasar Pinggul (‘Pelvic Floor Exercises’)

Kontinensia dipengaruhi oleh aktifitas otot lurik urethra dan dasar pelvis.

Fisioterapi meningkatkan efektifitas otot ini. Otot dasar panggul membantu

penutupan urethra pada keadaan yang membutuhkan ketahanan urethra

misalnya pada waktu batuk. Juga dapat mengangkat sambungan urethrovesikal

kedalam daerah yang ditransmisi tekanan abdomen dan berkontraksi secara

reflek dengan peningkatan tekanan intraabdominal, perubahan posisi dan

pengisian kandug kemih. Pada inkompeten sfingter uretra, terdapat hilangnya

transmisi tekanan abdominal pada uretra proksimal. Fisio terapi membantu

meningkatkan tonus dan kekuatan otot lurik uretra dan periuretra.

Pada kandung kemih neurogrik, latihan kandung kemih (‘bladder training)

telah menunjukan hasil yang efektif. Latihan kandung kemih adalah upaya

melatih kandung kemih dengan cara konservatif, sehingga secara fungsional

kandung kemih tersebut kembali normal dari keadaannya yang abnormal.

2. Bladder training

Bladder training adalah kegiatan melatih kandung kemih untuk

mengembalikan pola normal berkemih dengan menstimulasi pengeluaran urin.

Dengan bladder training diharapkan fungsi eliminasi berkemih spontan pada ibu

post partum spontan dapat terjadi dalam 2- 6 jam post partum.

Ketika kandung kemih menjadi sangat mengembang diperlukan

kateterisasi, kateter Foley ditinggal dalam kandung kemih selama 24-48 jam

untuk menjaga kandung kemih tetap kosong dan memungkinkan kandung kemih

menemukan kembali tonus otot normal dan sensasi. Bila kateter dilepas, pasien

harus dapat berkemih secara spontan dalam waktu 2-6 jam. Setelah berkemih

secara spontan, kandung kemih harus dikateter kembali untuk memastikan

bahwa residu urin minimal. Bila kandung kemih mengandung lebih dari 150 ml

residu urin , drainase kandung kemih dilanjutkan lagi. Residu urin setelah

berkemih normalnya kurang atau sama dengan 50 ml.

Program latihan bladder training meliputi : penyuluhan, upaya berkemih

terjadwal, dan memberikan umpan balik positif. Tujuan dari bladder training

adalah melatih kandung kemih untuk meningkatkan kemampuan mengontrol,

mengendalikan, dan meningkatkan kemampuan berkemih.

Page 8: Lp Retensi Urin

a. Secara umum, pertama kali diupayakan berbagai cara yang non invasif agar

pasien tersebut dapat berkemih spontan.

b. Pasien post partum harus sedini mungkin berdiri dan jalan ke toilet untuk

berkemih spontan

c. Terapi medikamentosa

d. Diberikan uterotonika agar terjadi involusio uteri yang baik. Kontraksi uterus

diikuti dengan kontraksi kandung kemih.

e. Apabila semua upaya telah dikerjakan namun tidak berhasil untuk

mengosongkan kandung kemih yang penuh, maka perlu dilakukan

kateterisasi urin, jika perlu lakukan berulang.