LP Head Trauma

41
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TRAUMA KEPALA DI IGD RSUD ULIN BANJARMASIN Tanggal 21 Desember 2015 Oleh: Rizki Wahyu Wanabakti, S.Kep NIM I1B110213

description

CHJJUGDHGC

Transcript of LP Head Trauma

Page 1: LP Head Trauma

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN TRAUMA KEPALA

DI IGD RSUD ULIN BANJARMASIN

Tanggal 21 Desember 2015

Oleh:

Rizki Wahyu Wanabakti, S.Kep

NIM I1B110213

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

2015

Page 2: LP Head Trauma

LAPORAN PENDAHULUAN KLIEN DENGAN TRAUMA KEPALA

A. Definisi

- Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang

tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak

langsung pada kepala (Suriadi, 2001).

- Cedera kepala adalah trauma yang mengenai kulit kepala, tengkorak, dan otak yang

disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tembus ( Mansjoer, 2000; Brunner &

Soddarth, 2002 )

- Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius di antara penyakit

neurologik, dan merupakan proporsi epidemik sebagai hasil dari kecelakaan jalan raya

( Brunner & Suddarth, 2002 ).

- Cedera kepala merupakan adaya pukulan/benturan mendadak pada kepala dengan atau

tanpa kehilangan kesadaran. Traumatik yang terjadi pada otak yang mampu

menghasilkan perubahan pada phisik, intelektual, emosional, sosial, dan

vocational(Susan Martin, 1999)

- Trauma atau cedera kepala (brain injury) adalah salah satu bentuk trauma yang dapat

mengubah kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan fisik, intelektual,

emosional, sosial dan pekerjaan atau dapat dikatakan sebagai bagian dari gangguan

traumatik yang dapat menimbulkan perubahan – perubahan fungsi otak (black, 2005)

- Menurut konsensus perdosi (2006), cedera kepala yang sinonimnya adalah trauma

kapitis = head injury = trauma kranioserebral = traumatic brain injury merupakan

trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang

menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi

psikososial baik bersifat temporer maupun permanen

B.   Etiologi

a.      Trauma oleh benda tajam

Menyebabkan cedera  setempat dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal

meliputi Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang

disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia.

b.      Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi)

Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk : cedera akson,

kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple pada

Page 3: LP Head Trauma

otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral, batang otak atau

kedua-duanya.

Etiologi lainnya:

a.       Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.

b.       Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.

c.       Cedera akibat kekerasan.

C. Klasifikasi

a.      Menurut Jenis Cedera

- Cedera Kepala terbuka

Dapat menyebabkan fraktur pada tulang tengkorak dan jaringan otak

- Cedera kepala tertutup

Dapat disamakan dengan keluhan geger otak ringan dan oedem serebral yang luas

b.      Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma Scale)

  Cedera Kepala ringan (kelompok risiko rendah)

-          GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)

-          Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt

-          Tak ada fraktur tengkorak

-          Tak ada contusio serebral (hematom)

-          Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang

-          Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

-          Pasien dapat menderita abrasi, laserasi, atau hematoma kulit kepala

-          Tidak adanya criteria cedera sedang-berat

Cedera kepala sedang

-          GCS  9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)

-          Kehilangan kesadaran lebih dari 30 mnt / kurang dari 24 jam (konkusi)

-          Dapat mengalami fraktur tengkorak

-          Amnesia pasca trauma

-          Muntah

-          Kejang

Cedera kepala berat

-          GCS 3-8 (koma)

-          Kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan kesadaran progresif)

-          Diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma intracranial

Page 4: LP Head Trauma

-          Tanda neurologist fokal

-          Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium

c.      Menurut patofisiologi

·         Cedera kepala primer

Akibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi - decelerasi rotasi ) yang

menyebabkan gangguan pada jaringan.

Pada cedera primer dapat terjadi :

-          Gegar kepala ringan

-          Memar otak

-          Laserasi

·         Cedera kepala sekunder

Pada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti :

-          Hipotensi sistemik

-          Hipoksia

-          Hiperkapnea

-          Udema otak

-          Komplikasi pernapasan

-          Infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain

Kerusakan Pada Bagian Otak Tertentu

Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan

mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah tertentu

pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu, lokasi yang

pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.

a.      Kerusakan Lobus Frontalis

Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik

(misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu). Lobus frontalis

juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu pada lobus frontalis

bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi tubuh yang berlawanan.

Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi, tergantung kepada ukuran dan

lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang kecil, jika hanya mengelai satu sisi

otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan perilaku yang nyata, meskipun kadang

menyebabkan kejang.

Page 5: LP Head Trauma

Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa

menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang

mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian

penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar dan

kejam; penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.

b.      Kerusakan Lobus Parietalis

Lobus parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk, tekstur

dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil kemampuan matematikan

dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga membantu mengarahkan

posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi dari bagian tubuhnya. Kerusakan

kecil di bagian depan lobus parietalis menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang

berlawanan. Kerusakan yang agak luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan

untuk melakukan serangkaian pekerjaan (keadaan ini disebutapraksia) dan untuk

menentukan arah kiri-kanan.

Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam mengenali

bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa mempengaruhi ingatan akan

bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik (misalnya bentuk kubus atau jam

dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau mengigau dan tidak mampu berpakaian

maupun melakukan pekerjaan sehari-hari lainnya.

c.       Kerusakan Lobus Temporalis

Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi dan

mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami

suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta

menghasilkan jalur emosional. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan

menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus

temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari

luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan

bahasanya. Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan

mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat kefanatikan

agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.

Cedera Spesifik Otak Kepala

a.      Fraktur Tengkorak

Fraktur Linear :           Kekuatan benturan lebih luas area tengkorak

Page 6: LP Head Trauma

Fraktur Basiler:           Pada dasar tengkorak atau pada tulang sepanjang bagian Frontal

atau temporal. Fraktur ini cukup serius karena menimbulkan kontak antara CSS  dan

dunia luar melalui ruang subarachnoid dan sinus yang mengandung udara dari  wajah

atau tengkorak, memungkinkan bakteri masuk & mengisi drainase sinus. Fraktur ini

bisa melukai arteri dan vena yang kemudian mengalirkan drahnya ke dalam rongga di

sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak bisa

merobek meningens(selaput otak). Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara

otak dan meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga.

Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah tulang tersebut, dan

menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak. Sebagian besar patah tulang

tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali jika pecahan tulang menekan otak

atau posisinya bergeser.

b.      Geger Serebral (Contusio)

Gegar otak (kontusio serebri) merupakan memar pada otak, yang biasanya

disebabkan oleh pukulan langsung dan kuat ke kepala. Robekan otak adalah robekan

pada jaringan otak, yang seringkali disertai oleh luka di kepala yang nyata dan patah

tulang tengkorak. Hal ini menandakan terjadinya perdarahan pada otak yang dapat

menimbulkan pembengkakan Bakteri ringan dari cedera otak menyebar, disfungsi

neurologis bersifat sementara dapat pulih. Disorientasi dan bingung sesaat dengan

gejala sakit kepala, tak mampu konsentrasi gangguan memori sementara pusing, peka

omnesia retrograde. Jika terjadi pembengkakan pada otak, maka bisa terjadi kerusakan

lebih lanjut pada jaringan otak; pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan

herniasi otak.

c.       Memar / Laserasi cerebral (Komosio)

Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah hilangnya fungsi neurologik

sementara tanpa kerusakan struktur. Umumnya meliputi sebuah periode tidak sadarkan

diri dalam beberapa detik sampai beberapa menit. Jika jaringan otak di lobus frontal

terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku irasional yang aneh, dimana keterlibatan

lobus temporal dapat menimbulkan amnesia atau disorientasi. Komosio cerebral ini

merupakan memar pada permukaan otak yang terdiri dari area hemoragi kecil-kecil 

yang tersebar, gejala bersifat neorologis fokal, dapat berlangsung 2-3 hari setelah

cedera dan menimbulkan disfungsi luas akibat dari peningkatan edema serebral. Pada

scan tomografi terlihat masa dan menimbulkan perubahan TIK dengan jelas.

Page 7: LP Head Trauma

Tindakan terhadap komosio meliputi mengobservasi pasien terhadap adanya sakit

kepala, pusing, peka rangsang, dan ansietas (sindrom pasca-komosio), yang dapat

mengikuti tipe cedera. Dengan memberi pasien informasi, penjelasan, dan dukungan

pada pasien dapat mengurangi beberapa masalah sindrom pasca - komosio.

d.      Hematom Epidural

Adalah suatu akumulasi darah pada ruang antara tulang tengkorak bagian

dalam dan lapangan meningens paling luar (dura), terjadi karena  robekan cabang kecil

arteri meningeal tengah atau frontal. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah

merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih

cepat memancar.

Tanda dan gejala berupa sakit kepala hebat yang bias segera timbul tetapi bias

juga muncul beberapa jam setelah cedera dengan intensitas nyeri tidak tetap,

penurunan kesadaran ringan, diikuti periode lucid, kemudian penurunan neurologi dari

kacau mental sampai coma, bentuk dekortikasi & deserebrasi, pupil isokor sampai

anisokor. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada CT scan

darurat. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di

dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian

dan penyumbatan sumber perdarahan.

e.       Hematoma Subdural

Adalah akumulasi darah dibawah lapangan meningeal duramater diatas lapangan

arakhnoid yang menutupi otak. Penyebabnya robekan permukaan dan lebih sering pada

lansia dan alkoholik gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang

disfasia. Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak.

Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa saat

kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural pada

bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih

lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap

secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala

neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.

Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:

-      sakit kepala yang menetap

-      rasa mengantuk yang hilang-timbul

-      linglung

-      perubahan ingatan

Page 8: LP Head Trauma

-      kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut, atau kronik, bergantung pada

ukuran pembuluh yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada.

1.      Hematoma subdural akut

Dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kontusio atau laserasi.

Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang penting dan serius

dalam 24 – 48 jam setelah cedera. Cedera ini sering berkaitan dengan cedera deselerasi

akibat kecelakaan kendaraan bermotor. Biasanya pasien dalam keadaan koma dan

tanda klinis sama dengan hematoma epidural. Tekanan darah meningkat, frekuensi

nadi lambat dan pernapasan  cepat.

2.      Hematoma subdural sub akut

Menyebabkan deficit neurologik bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam setelah

cedera. Hematoma ini disebabkan oleh perdarahan vena ke dalam ruang subdural.

Riwayat klinis khas dari penderita hematoma subdural subakut adalah adanya trauma

kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, yang diikuti penurunan kesadaran, dan

perbaikan status neurologik secara bertahap. Namun setelah jangka waktu tertentu

penderita memperlihatkan penurunan status neurologik. Tingkat kesadaran menurun

bertahap, pasien tidak berespon, peningkatan TIK, lalu terjadiherniasi unkus atau

sentral. Angka kematian tinggi pada pasien hematoma subdural akut dan sub akut,

karena sering dihubungkan dengan kerusakan otak.

3.      Hematoma subdural kronik

Terjadi karena cedera kepala minor, terjadi paling sering pada lansia akibat atrofi

otak karena proses penuaan. Tampaknya cedera kepala minor dapat mengakibatkan

dampak yang cukup untuk menggeser isi otak secara abnormal dengan sekuela

negative. Waktu di antara cedera dan awitan gejala mungkin lama, sehingga akibat

actual mungkin terlupakan. Gejala dapat tampak beberapa minggu setelah cedera

minor. Hematoma subdural kronik menyerupai kondisi lain dan mungkin dianggap

sebagai stroke.

Tindakan terhadap hematoma subdural kronik ini daapt dilakukan melalui

lubang burr ganda, atau kraniotomi dapat dilakukan untuk lesi massa subdural yang

cukup besar yagn tidak dapat dilakukan melalui lubang burr.

a.      Hematoma Intrakranial

Adalah pengumpalan darah lebih dari 25 ml dalam parenkim otak, penyebabnya

adalah   fraktur depresi tulang tengkorak, cedera penetrasi peluru dan gerakan

Page 9: LP Head Trauma

aselerasi-deserasi tiba-tiba tindakan bersifat kontroversial bedah atau medis, serta bias

juga terjadi karena cedera atau stroke.

Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah

luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang

tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa terlihat

pada CT scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan

menimbulkan gejala dalam beberapa menit. Perdarahan menahun (hematoma kronis)

lebih sering terjadi pada usia lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan

gejala setelah beberapa jam atau hari.

Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada

akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan

otak bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial

bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau

kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian.

Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.

b.      Konkusio

Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah

terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata.

Konkusio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan

struktural yang nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi setelah cedera kepala yang ringan,

tergantung kepada goncangan yang menimpa otak di dalam tulang tengkorak.

Konkusio bisa menyebabkan kebingungan, sakit kepala dan rasa mengantuk yang

abnormal; sebagian besar penderita mengalami penyembuhan total dalam beberapa

jam atau hari. Beberapa penderita merasakan pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi,

menjadi pelupa, depresi, emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Gejala-

gejala ini bisa berlangsung selama beberapa hari sampai beberapa minggu, jarang lebih

dari beberapa minggu. Penderita bisa mengalami kesulitan dalam bekerja, belajar dan

bersosialisasi. Keadaan ini disebut sindroma pasca konkusio.

Sindroma pasca konkusio masih merupakan suatu teka-teki; tidak diketahui

mengapa sindroma ini biasanya terjadi setelah suatu cedera kepala yang ringan. Para

ahli belum sepakat, apakah penyebabkan adalah cedera mikroskopi atau faktor psikis.

Pemberian obat-obatan dan terapi psikis bisa membantu beberapa penderita sindroma

ini. Yang lebih perlu dikhawatirkan selain sindroma pasca konkusio adalah gejala-

gejala yang lebih serius yang bisa timbul dalam beberapa jam atau kadang beberapa

Page 10: LP Head Trauma

hari setelah terjadinya cedera. Jika sakit kepala, kebingungan dan rasa mengantuk

bertambah parah, sebainya segera mencari pertolongan medis.

Biasanya, jika terbukti tidak terdapat kerusakan yang lebih berat, maka tidak

diperlukan pengobatan. Setiap orang yang mengalami cedera kepala diberitahu

mengenai pertanda memburuknya fungsi otak. Selama gejalanya tidak semakin parah,

biasanya untuk meredakan nyeri diberikan asetaminofen. Jika cederanya tidak parah,

aspirin bisa digunakan setelah 3-4 hari pertama.

 

D. Patofisiologi

Dalam keadaan normal otak mempunyai kemampuan melakukan autoregulasi

aliran darah serebral dan menjamin aliran daerah konstan melalui pembuluh darah

serebral. Faktor-faktor ini dapat mengubah kemampuan pembuluh serebral untuk

berkontraksi dan berdilatasi serta mengganggu autoregulasi diantaranya trauma otak,

iskemia dan hipoxia, pada klien dengan kerusakan autoregulasi. Aktivitas yang  dapat

menyebabkan peningkatan aliran darah serebral juga dapat meningkatkan TIK.

Tekanan Intra Kranial (TIK) merupakan tekanan yang dikeluarkan oleh kombinas dari

3 komplemen intrakranial yaitu jaringan otak, CSS dan darah.

Hipotesa monro kellie mengatakan volume intrakranial sama dengan volume otak

ditambah volume darah serebral dan CSS, dimana tiap perubahan volume dari tiap-tiap

komponan karena gangguan kranial dapat menyebabkan peningkatan TIK.

Peningkatan TIK mengarah pada timbulnya iskemia, kekakuan otak dan

kemungkinan herniasi. Peningkatan TIK berkembang pada hampir semua klien dengan

lesi intra kranial setelah mengalmi cedera kepala. Pada semua klien dengan cedera

kepala bera, peningkatan TIK yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kematian.

Defisit Nerurologik pada cedera kepala dimulai dengan adanya trauma pada otak

yang dapat menyebkan fragmentasi jaringan dna contusio, merusakn sawar otak,

diserbtai vasodilatasi dan eksudasi jaringan sehingga timbul edema yang dapat

menyebabkan peningkatan TIK. Keadaan ini dapat menurunkan aliran daerah serebral,

iskemia, hipoksia, asidosis dan kerusakan sawar darah otak lebih lanjut dan terjadi

kematian sel-sel otak dan edema bertambah positif.

Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen

melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah.

Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat

akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam

Page 11: LP Head Trauma

keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr. Jaringan

otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.

Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-

myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada

fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium

dan vebtrikel, takikardia.

Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana

penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi .

Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan

arteriol otak tidak begitu besar.

Page 12: LP Head Trauma

Cidera Kepala TIK - Oedem

- Hematom

Respon Biologi Hypoxemia

Kelainan Metabolisme

Cidera Otak Primer Cidera Otak Sekunder

Komotio

Kontutio

Lateratio Kerusakan Sel Otak

Gangguan Autoregulasi Rangsangan Simpatis Stress

Aliran Darah Keotak Tahanan Vaskuler Katekolamin

Sistemik & TD Sekresi Asam Lambung

O2 Ggan Metabolisme Tek. Pemb.Darah Mual, Muntah

Pulmonal

Asam Laktat Tek. Hidrostatik Asupan Nutrisi Kurang

Oedem Otak Kebocoran Cairan Kapiler

Ggan Perfusi Jaringan Oedema Paru Cardiac Out Put

Cerebral

Difusi O2 Terhambat Ggan Perfusi Jaringan

Gangguan Pola Napas Hipoksemia, Hiperkapnea

E.  Manifestasi Klinis

Page 13: LP Head Trauma

Adapun manifestasi klinis dari cedera kepala adalah sebagai berikut :

1.     Gangguan kesadaran

2.     Konfusi

3.     Abnormalitas pupil

4.     Piwitan tiba-tiba defisit neurologis

5.     Perubahan TTV

6.     Gangguan pergerakan

7.     Gangguan penglihatan dan pendengaran

8.     Disfungsi sensori

9.     Kejang otot

10.  Sakit kepala

11.  Vertigo

12.  Kejang

13.  Pucat

14.  Mual dan muntah

15.  Pusing kepala

16.  Terdapat hematoma

17.  Kecemasan

18.  Sukar untuk dibangunkan

19.  Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung

(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

Akibat Dari Trauma Otak Ini Tergantung Pada:

1.        Kekuatan benturan

Makin besar benturan makin parah kerusakan

2.        Akselerasi / Deselerasi

Akselerasi = Benda yang bergerak mengenai kepala yang diam

Desekrasi = Kepala membentur benda diam

Keduanya bisa bersamaan terjadi bila gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung.

3.        KUP dan Kontra KUP

Cedera KUP Kerusakan pada daerah dekat yang terbentur

Kontra KUP  Kerusakan cedera berlawanan pada sisi desakan benturan

4.        Lokasi Benturan

Page 14: LP Head Trauma

Bagi otak yang tersebar kemungkinan cedera kepala terberat adalah bagian lotus anterior

(Frontalis & temporalis) Lobus posterior (oksipitalis dan atas mesenfalon).

5.        Rotasi

Pengubahan posisi rotasi kepala menyebabkan trauma regangan & robekan pada

substansia alba dan batang otak.

6.        Fraktur Impresi

Disebabkan oleh suatu kekuatan yang mendorong fragmen tulang turun menekan otak

yang lebih dalam. Akibat fraktur ini kemungkinan CSS akan mengalir ke hidung,

telinga  kemudian masuknya kuman dan terkontaminasi dengan CSS  dapat

menimbulkan infeksi dan kejang.

F.   Pemeriksaan Penunjang

1.  CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,

determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui

adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.

2.  MRI :Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

3.  Cerebral Angiography :Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan

jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.

4.  Serial EEG :Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis

5.  X-Ray :Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur

garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.

6.  BAER : Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

7.  PET : Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

8.  CSF, Lumbal Punksi : Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.

9.  ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika

terjadi peningkatan tekanan intracranial.

10. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat

peningkatan tekanan intrkranial.

11. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan

penurunan kesadaran.

G. Penatalaksanaan

Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai

berikut:

1.  Observasi 24 jam

Page 15: LP Head Trauma

2.  Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.

3.  Berikan terapi intravena bila ada indikasi.

4.  Anak diistirahatkan atau tirah baring.

5.  Profilaksis diberikan bila ada indikasi.

6.  Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.

7.  Pemberian obat-obat analgetik.

8.  Pembedahan bila ada indikasi.

Pedoman Resusitasi Dan Penilaian Awal

1. Menilai jalan napas: bersihkan jalan napas dari debris dan muntahan, lepaskan gigi

palsu, pertahankan tulang servikal segaris dengan badan dengan memasang kolar s

2. Servikal, pasang guedel bila dapat ditolerir. Jika cedera orofasial mengganggu jalan

napas, maka pasien harus diintubasi.

3.  Menilai pernapasan: tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak. Jika tidak,

beri oksigen melalui masker oksigen. Jika pasien bernapas spontan, selidiki dan atasi

cedera dada berat seperti pneumotoraks, pneumotoraks tensif, hemopneumotoraks.

Pasang oksimeter nadi, jika tersedia, dengan tujuan menjaga saturasi oksigen minimum

95 %. Jika jalan napas pasien tidak terlindung bahkan terancam, maka pasien harus

segera diintubasi serta diventilasi oleh ahli anestersi.

4.  Menilai sirkulasi:  otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua

perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan adanya cedera intraabdomen atau

dada. Ukur dan catat frekuensi denyut jantung dan tekanan darah, pasang alat

pemantau dan EKG bila tersedia.pasang jalur intravena yang bessar, ambil darah vena

untuk pemeriksaan darah perifer lengkap, ureum, elektrolit, glukosa, dan AGD

arteri. Berikan larutan koloid.

5.  Obati kejang: kejang konvulsif dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus diobati.

6.  Menilai tingkat/ klasifikasi keparahan cedera

Pedoman Penatalaksanaan

1.  Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/ atau leher, lakukan foto tulang belakang

servikal (proyeksi antero-posterior, lateral, dan odontoid).

2.  pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut:

Page 16: LP Head Trauma

a) pasang jalur IV dengan larutan salin normal (NaCl 0.9 %) atau larutan Ringer

Laktat: cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskuler daripada

cairan hipotonis, dan larutan ini tidak menambah edema serebri.

b)  Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia

darah: glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin

parsial, skrining toksikologi dan kadar alcohol bila perlu

c) Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto roentgen kepal tidak perlu jika CT

Scan dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitive untuk mendeteksi fraktur.

Pasien denga cedera kepala ringan, sedang, atau berat harus dievaluasi adanya:

- Hematoma epidural

- Darah dalam subarakhnoid dan interventrikel

- Kontusio dan perdarahan jaringan otak

- Edema serebri

- Obliterasi sisterna perimesenfalik

- Pergeseran garis tengah

- Fraktur kranium, cairan dalam sinus, dan pneumosefalus

4.  Pada pasien yang koma (Skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda herniasi,

lakukan tindakan berikut ini:

- Elevasi kepala 30°

- Hiperventilasi: intubasi dan berikan ventilasi mandatorik intermitten

- Pasang kateter Foley

- Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi (hematoma epidural yang

besar, hematoma subdural, cedera kepala terbuka, dan fraktur impresi >1

diploe)

Penatalaksanaan Khusus

1.      Cedera kepala ringan

Pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah tanpa

perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi criteria berikut:

- Hasil pemeriksaan neurologist dalam batas normal

- Foto servikal jelas normal

- Adanya orang yang bertanggung jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam

pertama, dengan instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika

timbul gejala perburukan

Page 17: LP Head Trauma

2.      Cedera kepala sedang

Pasien yang sedang menderita konkusi otak, dengan GCS 15 dan CT Scan

normal, tidak perlu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk observasi di rumah,

meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko

timbulnya lesi intracranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala

sedang adalah minimal.

3.      Cedera kepala berat

Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada

pasien ini apakah terdapat indikasi interval bedah saraf segera. Jika ada indikasi, harus

segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi. Penatalaksanaan cedera

kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif. Walaupun sedikit sekali yang

dapat dilakukan untuk mengatasi kerusakan primer akibat cedera, tetapi setidaknya

dapat mengurangi kerusakan otak sekunder akibat hipoksia, hipotensi, atau

peningkatan TIK. Kejang umum yang terjadi setelah cedera kepala dapat menyebabkan

kerusakan otak sekunder karena hipoksia, sehingga terapi anti konvulsan dapat

dimulai.

Tindakan terhadap penalaksanaan peningkatan TIK

1.      Mempertahankan oksigenasi adekuat.

2.      Pemberian manitol untuk menurunkan edema serebral.

3.      Hiperventilasi

4.      Penggunaan steroid

5.      Meninggikan kepala tempat tidur

6.      Kemungkinan intervensi bedah neuro untuk evakuasi bekuan darah.

Tindakan pendukung lain

1.      Ventilasi

2.      Pencegahan kejang dengan antikonvulson

3.      Pemeliharaan cairan dan elektrolit

4.      Keseimbangan nutrisi

5.      Mempertahankan jalan nafas.

Rencana Pemulangan

1.      Jelaskan tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan pengobatan.

2.      Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran,

perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.

Page 18: LP Head Trauma

3.      Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari

pemberian obat.

4.      Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah,

mempertahankan jalan nafas selama kejang.

5.      Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di

rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan latihan

ROM bila anak mengalami gangguan mobilitas fisik.

6.      Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.

7.      Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.

8.      Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial.

H.  Komplikasi

1.  Epilepsi Pasca Trauma

Epilepsi pasca trauma adalah suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu

setelah otak mengalami cedera karena benturan di kepala. Kejang bisa saja baru terjadi

beberapa tahun kemudian setelah terjadinya cedera. Kejang terjadi pada sekitar 10%

penderita yang mengalami cedera kepala hebat tanpa adanya luka tembus di kepala dan

pada sekitar 40% penderita yang memiliki luka tembus di kepala.

Obat-obat anti-kejang (misalnya fenitoin, karbamazepin atau valproat) biasanya

dapat mengatasi kejang pasca trauma. Obat-obat tersebut sering diberikan kepada

seseorang yang mengalami cedera kepala yang serius, untuk mencegah terjadinya

kejang. Pengobatan ini seringkali berlanjut selama beberapa tahun atau sampai waktu

yang tak terhingga.

2.  Afasia

Afasia adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena

terjadinya cedera pada area bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami atau

mengekspresikan kata-kata. Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah

lobus temporalis sebelah kiri dan bagian lobus frontalis di sebelahnya. Kerusakan pada

bagian manapun dari area tersebut karena stroke, tumor, cedera kepala atau infeksi,

akan mempengaruhi beberapa aspek dari fungsi bahasa.

3.  Apraksia

Apraksia adalah ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan

ingatan atau serangkaian gerakan. Kelainan ini jarang terjadi dan biasanya disebabkan

Page 19: LP Head Trauma

oleh kerusakan pada lobus parietalis atau lobus frontalis. Pengobatan ditujukan kepada

penyakit yang mendasarinya, yang telah menyebabkan kelainan fungsi otak.

4.  Agnosis

Agnosia merupakan suatu kelainan dimana penderita dapat melihat dan

merasakan sebuah benda tetapi tidak dapat menghubungkannya dengan peran atau

fungsi normal dari benda tersebut. Penderita tidak dapat mengenali wajah-wajah yang

dulu dikenalnya dengan baik atau benda-benda umum (misalnya sendok atau pensil),

meskipun mereka dapat melihat dan menggambarkan benda-benda

tersebut. Penyebabnya adalah kelainan fungsi pada lobus parietalis dan temporalis,

dimana ingatan akan benda-benda penting dan fungsinya disimpan. Agnosia seringkali

terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala atau stroke. Tidak ada pengobatan

khusus, beberapa penderita mengalami perbaikan secara spontan.

5.  Amnesia

Amnesia adalah hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat

peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa yang sudah lama berlalu. Penyebabnya

masih belum dapat sepenuhnya dimengerti. Cedera pada otak bisa menyebabkan

hilangnya ingatan akan peristiwa yang terjadi sesaat sebelum terjadinya kecelakaan

(amnesi retrograd) atau peristiwa yang terjadi segera setelah terjadinya kecelakaan

(amnesia pasca trauma). Amnesia hanya berlangsung selama beberapa menit sampai

beberapa jam (tergantung kepada beratnya cedera) dan akan menghilang dengan

sendirinya. Pada cedera otak yang hebat, amnesi bisa bersifat menetap.

Mekanisme otak untuk menerima informasi dan mengingatnya kembali dari

memori terutama terletak di dalam lobus oksipitalis, lobus parietalis dan lobus

temporalis. Amnesia menyeluruh sekejap merupakan serangan lupa akan waktu, tempat

dan orang, yang terjadi secara mendadak dan berat. Serangan bisa hanya terjadi satu

kali seumur hidup, atau bisa juga berulang. Alkoholik dan penderita kekurangan gizi

lainnya bisa mengalami amnesia yang disebut sindroma Wernicke-Korsakoff. 

Sindroma ini terdiri dari kebingungan akut (sejenis ensefalopati) dan amnesia yang

berlangsung lama.

Amnesia Korsakoff terjadi bersamaan dengan ensefalopati Wernicke. Amnesia

Korsakoff juga bisa terjadi setelah cedera kepala yang hebat, cardiac

arrest atau ensefalitis akut.

Page 20: LP Head Trauma

6.  Fistel Karotis-kavernosus

Ditandai oleh trias gejala: eksoftalmus, kemosis, dan bruit orbita, dapat timbul

segera atau beberapa hari setelah cedera. Angiografi perlu dilakukan untuk konfirmasi

diagnosis dan terapi dengan oklusi balon endovaskuler untuk mencegah hilangnya

penglihatan yang permanent.

7.  Diabetes Insipidus

Disebabkan oleh kerusakan traumtik pada tangkai hipofisis, menyebabkan

penghentian sekresi hormone antidiuretik. Pasien mengekskresikan sejumlah besar

volume urin encer, menimbulkan hipernatremia dan deplesi volum.

8.  Kejang pasca trauma

Dapat segera terjadi (dalam 24 jam pertama), dini (minggu pertama) atau lanjut

(setelah satu minggu). Kejang segera tidak merupakan predisposisi untuk kejang

lanjut; kejang dini menunjukkan risiko yang meningkat untuk kejang lanjut, dan pasien

ini harus dipertahankan dengan antikonvulsan.

9.      Kebocoran cairan serebrospinal

Dapat disebabkan oleh rusaknya leptomeningen dan terjadi pada 2-6 % pasien

dengan cedera kepala tertutup. Kebocoran ini berhenti spontan dengan elevasi kepala

setelah beberapa hari pada 85 % pasien. Drainase lumbal dapat mempercepat proses

ini. Walaupun pasien ini memiliki risiko meningitis yang meningkat, pemberian

antibiotic profilaksis masih controversial. Otorea atau rinorea cairan serebrospinal

yang menetap atau meningitis berulang merupakan indikasi untuk reparative.

10.  Edema serebral dan herniasi

            Penyebab paling umum dari peningkatan TIK,  Puncak edema terjadi 72 Jam

setelah cedera. Perubahan TD, Frekuensi nadi, pernafasan tidak teratur merupakan

gejala klinis adanya peningkatan TIK. Penekanan dikranium dikompensasi oleh

tertekannya venosus & cairan otak bergeser. Peningkatan tekanan terus menerus

menyebabkan aliran darah otak menurun dan perfusi tidak adekuat, terjadi vasodilatasi

dan edema otak. Lama-lama terjadi pergeseran supratentorial dan menimbulkan

herniasi. Herniasi akan mendorong hemusfer otak kebawah / lateral dan menekan di

enchephalon dan batang otak, menekan pusat vasomotor, arteri otak posterior, saraf

oculomotor, jalur saraf corticospinal, serabut RES.Mekanisme kesadaran, TD, nadi,

respirasi dan pengatur akan gagal.

Page 21: LP Head Trauma

11.  Defisit Neurologis dan Psikologis

            Tanda awal penurunan fungsi neulorogis: Perubahan TK kesadaran, Nyeri kepala

hebat, Mual / muntah  proyektil (tanda dari peningkatanTIK).

I. Asuhan Keperawatan

1.      Pengkajian Primer

         Airway

Kepatenan jalan napas, apakah ada sekret, hambatan jalan napas.

         Breathing

Pola napas, frekuensi pernapasan, kedalaman pernapasan, irama pernapasan, tarikan

dinding dada, penggunaan otot bantu pernapasan, pernapasan cuping hidung.

         Circulation

Frekuensi nadi, tekanan darah, adanya perdarahan, kapiler refill.

         Disability

Tingkat kesadaran, GCS, adanya nyeri.

Tingkat Kesadaran

Kualitatif dengan :

-          CMC

Reaksi segera dengan orientasi sempurna, sadar akan sekeliling , orientasi baik terhadap

orang tempat dan waktu.

-          Apatis

Terlihat mengantuk saat terbangun klien terlihat acuh tidak acuh terhadap lingkungannya.

-          Confuse

Klien tampak bingung, respon psikologis agak lambat.

-          Samnolen

Dapat dibangunkan jika rangsangan nyeri cukup kuat, bila rangsangan hilang, klien tidur

lagi.

-          Soporous Coma

Keadaan tidak sadar menyerupai koma, respon terhadap nyeri masih ada, biasanya

inkontinensia urine, belum ada gerakan motorik sempurna.

-          Koma

Keadaan tidak sadar, tidak berespon dengan rangsangan. 

Page 22: LP Head Trauma

Kuantitas dengan GCS

1.      Mata (eye)

-          Selalu menutup mata dengan rangsangan nyeri 1

-          Membuka mata dengan rangsangan nyeri 2

-          Membuka mata dengan perintah 3

-          Membuka mata spontan 4

2.      Motorik (M)

-          Tidak berespon dengan rangsangan nyeri 1

-          Eksistensi dengan rangsangan nyeri 2

-          Fleksi lengan atas dengan rangsangan nyeri 3         

-          Fleksi siku dengan rangsangan nyeri 4

-          Dapat bereaksi dengan rangsangan nyeri 5

-          Bergerak sesuai perintah                            6

3.      Verbal (V)

-          Tidak ada suara                               1

-          Merintih                                   2

-          Dapat diajak bicara tapi tidak mengerti       3

-          Dapat diajak bicara tapi kacau                         4

-          Dapat berbicara, orientasi baik                       5

         Exposure

Suhu, lokasi luka.

2.      Pengkajian Sekunder

a.      Riwayat Kesehatan Sekarang

Tanyakan kapan cedera terjadi. Bagaimana mekanismenya. Apa penyebab

nyeri/cedera: Peluru kecepatan tinggi? Objek yang membentuk kepala ? Jatuh ?

Darimana arah dan kekuatan pukulan?

b.      Riwayat Penyakit Dahulu

Apakah klien pernah mengalami kecelakaan/cedera sebelumnya, atau kejang/ tidak.

Apakah ada penyakti sistemik seperti DM, penyakit jantung dan pernapasan. Apakah

klien dilahirkan secara forcep/ vakum. Apakah pernah mengalami gangguan sensorik

atau gangguan neurologis sebelumnya. Jika pernah kecelakaan bagimana

penyembuhannya. Bagaimana asupan nutrisi. 

c.       Riwayat Keluarga

Apakah ibu klien pernah mengalami preeklamsia/ eklamsia, penyakit sistemis

seperti DM, hipertensi, penyakti degeneratif lainnya.

Page 23: LP Head Trauma

d.      Pengkajian Head To Toe

1.      Pemeriksaan kulit dan rambut

Kaji nilai warna, turgor, tekstur dari kulit dan rambut pasien

2.      Pemeriksaan kepala dan leher

Pemeriksaan mulai dari kepala, mata, hidung, telinga, mulut dan leher. Kaji

kesimetrisan, edema, lesi, maupun gangguan pada indera. Pada penderita stroke

biasanya terjadi gangguan pada penglihatan maupun pembicaraan

3.      Pemeriksaan dada

         Paru-paru

Inspeksi     : kesimetrisan, gerak napas

Palpasi : kesimetrisan taktil fremitus

Perkusi    : suara paru (pekak, redup, sono, hipersonor, timpani)

         Jantung

Inspeksi   : amati iktus cordis

Palpalsi    : raba letak iktus cordis

Perkusi     : batas-batas jantung

4.      Pemeriksaan abdomen

Inspeksi   : keadaan kulit, besar dan bentuk abdomen, gerakan

Palpasi      : hati, limpha teraba/tidak, adanya nyeri tekan

Perkusi      : suara peristaltic usus

Auskultasi  : frekuensi bising usus

5.      Pemeriksaan ekstremitas

Kaji warna kulit, edema, kemampuan gerakan dan adanya alat bantu.

Diagnosa Keperawatan

1.    Bersihan jalan  nafas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskular (cedera pusat

pernapasan di otak).

2.    Pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler, obstruksi trakeabronkial

3.    Perfusi jaringan serebral tidak efektif b.d edema serebral

4.     Perubahan persepsi sensori b.d trauma defisit neurologis

5.     Resti infeksi b.d trauma jaringan, kerusakan kulit, prosedur invasif.

6.     Kerusakan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan tubuh, cedera ortopedi.

7.     Resti perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan tingkat kesadaran,

mual, muntah.

Page 24: LP Head Trauma

NANDA NOC NIC

Bersihan jalan  nafas tidak

efektif b.d kerusakan

neurovaskular (cedera

pusat pernapasan di otak).

Batasan karakteristik:

       Tidak adanya batuk

       Bunyi nafas yang

menguntungkan

       Perubahan nilai nafas

       Perubahan irama pernafasan

       Cyanosis

       Kesulitan bersuara

       Pengurangan bunyi nafas

       Dyspnea

       Kelebihan dahak

       Batuk yang tidak efektif

       Orthopnea

       Kurang istirahat

       Mata yang melebar

Status pernapasan: jalan

napas paten

Indikator:

       Tidak ada demam

       Tidak ada cemas

       Tidak ada hambatan jalan

napas

       Pengeluaran dahak

       Bebas dari bunyi napas

Manajemen jalan napas

Aktivitas

       Membuka jalan nafas dengan cara

dagu diangkat atau rahang

ditinggikan.

       Memposisikan pasien agar

mendapatkan ventilasi yang

maksimal.

       Mengidentifikasi pasien

berdasarkan penghirupan nafas

yang potensial pada jalan nafas.

       Penghirupan nafas melalui mulut

atau nasopharing.

       Memberikan terapi fisik pada

dada.

       Mengeluarkan sekret dengan cara

batuk atau penyedotan.

       Mendorong pernapasan yang

dalam, lambat, bolak-balik, dan

batuk.

       Menginstruksikan bagaimana

batuk yang efektif.

       Mendengarkan bunyi nafas,

mancatat daerah yang mangalami

penurunan atau ada tidaknya

ventilasi dan adanya bunyi

tambahan.

       Melakukan penyedotan pada

endotrakea atau nasotrakea.

       Memeriksa bronchodilators

dengan tepat.

       Mengajarkan pasien bagaimana

penghirupan nafas yang tepat.

        Memberikan perawatan

ultrasonic.

       Memberikan oksigen yang tepat.

Page 25: LP Head Trauma

       Memeriksa keadaan pernafasan

dan oksigen.

Pola napas tidak efektif b.d

kerusakan neurovaskuler,

obstruksi trakeobronkial

Batasan karakteristik:

       Napas dalam

       Perubahan gerakan dada

       Mengambil posisi tiga titik

       Bradipneu

       Penurunan tekanan ekspirasi

       Penurunan tekanan inspirasi

       Penurunan ventilasi semenit

       Penurunan kapasitas vital

       Dispneu

       Peningkatan diameter

anterior-posterior

       Napas cuping hidung

       Ortopneu

       Fase ekspirasi yang lama

       Pernapasan pursed-lip

       Takipneu

       Penggunaan otot-otot bantu

untuk bernapas

Status pernapasan:ventilasi

Indikator:

       Frekuensi napas IER*

       Irama napas IER

       Kedalaman inspirasi

       Pengembangan dada simetris

       Kenyamanan bernapas

       Penggunaan otot

aksesoris/tambahan tidak ada

       Suara napas tambahan tidak

ada

       Penarikan dada tidak ada

       Pengerutan bibir pada saat

bernapas tidak ada

       Dispnea saat istirahat tidak

ada

       Dispnea dengan pengerahan

tenaga tidak ada/hilang

       Orthopnea tdak ada/hilang

       Napas pendek tidak

ada/hilang

       Fremitus tidak ada/hilang

       Suara perkusi tidak

ada/hilang

       Auskultasi suara napas, IER

       Volume tidal IER

       Kapasitas vital IER

Terapi oksigen

Aktivitas:

       Menyediakan peralatan

pemberian oksigen, sistem

kekebalan.

       Memberikan oksigen tambahan,

sesuai petunjuk dokter.

       Mengontrol aliran oksigen.

       Memeriksa alat pentransferan

oksigen.

       Memeriksa secara berkala alat

pemberian oksigen untuk

memastikan bahwa telah sesuai

dengan resep untuk konsentrasi

yang diberikan.

       Mengubah tempat masker oksigen

kapan saja alat tersebut

dipindahkan.

       Mengamati tanda-tanda oksigen

yang menyebabkan hypoventilasi

       Memeriksa tanda-tanda keracunan

oksigen dan penyerapan

atelektasis.

       Memeriksa alat pernafasan untuk

memastikan ketidakcampuran

dengan usaha pasien untuk

bernafas.

       Memeriksa/mengontrol

kecemasan pasien yang

mempengaruhi terapi oksigen.

       Memeriksa kerusakan kulit karena

pergeseran alat bantu pernafasan.

       Memasukkan/memberikan alat

bantu nafas yang lain untuk

Page 26: LP Head Trauma

kenyamanan.

Perfusi jaringan

serebraltidak efektif b.d

edema serebral

Faktor resiko:

       Trauma kepala

       Tumor otak

       Gangguan jaringan otak

Status neurologi:kesadaran

Indikator:

       Fungsi saraf

       Kontrol pusat motorik

       Fungsi motorik/sensori saraf

otak (krnil)

       Fungsi motorik/sensori saraf

otak spinal

       Fungsi saraf otonom

       Tekanan dalam cranial

       Komunikasi

       Ukuran pupil

       Rangsangn pupil

       Gerakan pupil

       Pola nafas

       Tanda-tanda vital (WNL)

       Aktifitas otak(yang tak

terlihat)

       Sakit kepala (yang tak

terlihat)

Kenaikan perfusi serebral

Aktivitas:

      dalam rentang tersebut.

      konsultasikan dengan dokter

untuk menentukan posisi kepala

dan monitor respon pasien

terhadap posisi kepalanya

      hindari fleksi leher atau fleksi

panggul/ lutut yang berlebihan

      beri dan monitor efek diuretic dan

kortikosteroid

      berikan anti nyeri tersedia

      monitor tanda-tanda pendarahan

      monitor status neurologi

      hitung dan monitor tekanan

perfusi serebral

      monitor TIK dan neurologi untuk

aktivitas perawatan

      monitor tekanan arteri rata-rata

      monitor tekanan kardiovaskuler

      monitor status respirasi

      monitor factor penentu dari

transport oksigen ke jaringan

seperti PaCO2,SaO2 dan Hb serta

CO2

      montor hasil laboratorium untuk

erubahan oksigenasi dan

perubahan asam basa

      monitor intake dan output

DAFTAR PUSTAKA

Page 27: LP Head Trauma

1. Barbara C. Long. 1996. Perawatan Medikal Bedah. Bandung: IAPK Pajajaran

2. Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume

3.Jakarta:EGC

3. Closkey ,Joane C. Mc, Gloria M. Bulechek.(1996). Nursing Interventions

Classification (NIC). St. Louis :Mosby Year-Book.

4. Doengoes, ME. 2001. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC

5. Elizabeth J. Corwin. 1996. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

6. Hudak & Gallo. 1994. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC

7. Johnson,Marion, dkk. (2000). Nursing Outcome Classifications (NOC). St. Louis

:Mosby Year-Book

8. Juall,Lynda,Carpenito Moyet. (2003).Buku Saku Diagnosis Keperawatan edisi

10.Jakarta:EGC

9. Swear Ingen. 1996. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

10. Hudak & Gallo. 2001. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik , Volume II.

Jakarta : EGC

11. Cecily LB & Linda AS. 2000. Buku Saku Keperawatan Pediatrik , Edisi 3.

Jakarta : EGC

12. Suzanne CS & Brenda GB. 2000. Buku Ajar Medikal Bedah, Edisi 8. Volume 3.

Jakarta : EGC.

13. Wiley dan Blacwell. (2009). Nursing Diagnoses: Definition & Classification

2009-2011, NANDA.Singapura:Markono print Media Pte Ltd