Lp Trauma Kapitis Berat

43
TRAUMA KAPITIS I. KONSEP DASAR A. Definisi & Etiologi Cedera pada otak bisa berasal dari trauma langsung atau tidak langsung pada kepala. Trauma tidak langsung disebabkan karena tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek terkena pada kepala akibat menarik leher. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi dan pembentukan rongga.. trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya. Kekuatan itu bisa terjadi seketika atau menyusul rusaknya otak oleh kompresi, goresan atau tekanan. B. Patofisiologi Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel- sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak punya cadangan oksigen. Jadi kekurangan

Transcript of Lp Trauma Kapitis Berat

Page 1: Lp Trauma Kapitis Berat

TRAUMA KAPITIS

I. KONSEP DASAR

A. Definisi & Etiologi

Cedera pada otak bisa berasal dari

trauma langsung atau tidak langsung pada

kepala. Trauma tidak langsung disebabkan

karena tingginya tahanan atau kekuatan yang

merobek terkena pada kepala akibat menarik

leher. Trauma langsung bila kepala langsung

terluka. Semua itu berakibat terjadinya

akselerasi-deselerasi dan pembentukan rongga.. trauma langsung juga menyebabkan

rotasi tengkorak dan isinya. Kekuatan itu bisa terjadi seketika atau menyusul rusaknya

otak oleh kompresi, goresan atau tekanan.

B. Patofisiologi

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa

dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya

melalui proses oksidasi. Otak tidak

punya cadangan oksigen. Jadi

kekurangan aliran darah keotak

tidak walaupun sebentar akan

menyebabkan gangguan fungsi.

Demikian pula dengan kebutuhan

glukosa sebagai bahan bakar

metabolisme otak, tidak boleh

kurang dari 20 mg%, karena akan

menimbulkan koma. Kebutuhan

glukosa sebanyak 25% dari seluruh

kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70%

akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi serebral.

Page 2: Lp Trauma Kapitis Berat

Pada saraf otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan

oksigen melalui proses metabolic anaerob, yang dapat menyebabkan dilatasi

pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi

penimbunan as. Laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini menyebabkan

timbulnya metabolic asidiosis. Dalam keadaan normal aliran darah serebral (CBF)

adalah 50 – 60 ml/ menit /100gr jaringan otak yang merupakan 15% dari curah

jantung (CO).

C. Mekanisme Cedera

Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam

menentukan berat-ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala. Cedera

percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala

yang diam, seperti trauma akibat benda tumpul, atau karena terkena lemparan

benda tumpul. Cedar perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur

objek yang secara relative tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua

kekuatan ini mungkin terjadi secara bersaman bila terdapat gerakan kepala tiba-

tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara

kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi

pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi

alba dan batang otak.

Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan mungkin karena memar

pada permukan otak, laserasi substansia alba, cedara robekan atau hemoragi.

Sebagai akibat, cedaea sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi

serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi

hyperemia (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas

kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan intracranial

(TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi

hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.

D. Manifestasi Klinis

Trauma otak mempengaruhi setiap system tubuh. Manifestasi klinis cedera

otak meliputi gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba

Page 3: Lp Trauma Kapitis Berat

deficit neurologik, dan perubahan tanda vital. Mungkin ada gangguan penglihatan

dan pendengaran, disfungsi sensori, kejang otot, sakit kepala, vertigo, gangguan

pergerakan, kejang, dan banyak efek lainnya. Karena cedera SSP sendiri tidak

meyebabkan syok, adanya syok hipovolemik menunjukkan kemungkinan cedera

multisistem.

1. Cedera Kepala Ringan

a. cedera kepala sekunder yang ditandai dengan nyeri kepala, tidak pingsan, tidak

muntah, tidak ada tanda-tanda neurology.

b. Komusio serebri ditandai denga tidak sadar kurang dari 10 menit, muntah,

nyeri kepala, tidak ada tanda-tanda neurology.

2. Cedera Kepala Sedang

Ditandai dengan pingsan lebih dari 10 menit, muntah, amnesia, dan tanda-tanda

neurology.

3. Cedera Kepala Berat

a. laserasi serebri ditandai dengan pingsan berhari-hari atau berbulan-bulan,

kelumpuhan anggota gerak, biasanya disertai fraktur basis kranii.

b. Perdarahan epidural ditandai dengan pingsan sebentar-sebentar kemudian sadar

lagi namun beberapa saat pingsan lagi, mata sembab, pupil anisokor, bradikardi,

tekanan darah dan suhu meningkat.

c. Perdarahan subdural ditandai dengan perubahan subdural, nyeri kepala, TIK

meningkat, lumpuh.

E. Klasifikasi Cedera Kepala

1. Klasifikasi Patologi Cedera Kepala

a. Cedera kepala primer

Cedera kepala primer mencakup : fraktur tulang, cedera fokal, dan cedera

otak difusa, yang masing-masing mempunyai mekanisme etiologis dan

patofisiologi yang unik.

1) Fraktur tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak,

naumun biasanya jejas ini bukan merupakan penyebab utama

timbulnya kecacatan neurologis.

Page 4: Lp Trauma Kapitis Berat

2) Cedera fokal merupakan akibat kerusakan setempat yang biasanya

dijumpai pada kira-kira separuh dari kasus cedera kepala berat.

Kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural,

dan intraserebral yang secara makroskopis tampak dengan mata

telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas.

3) Cedar otak difusa pada dasarnya berbeda dengan cedera fokal, di mana

keadaan ini berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya

tidak tampak secara makroskopis. Mengingat bahwa kerusakan yang

terjadi kebanyakan melibatkan akson-akson, maka cedar ini juga

dikenal dengan cedera aksional difusa.

b. Kerusakan otak sekunder

Cedera kepala berat seringkali menampilkan abnormalitas/gangguan

sistemik akibat hipoksia dan hipotensi, di mana keadaan-keadaan ini

merupakan penyebab tersering dari kerusakan otak sekunder . hipoksia dan

hipotensi semata akan menyebabkan perubahan-perubahan minimal, yang

kemusian bersamaan dengan efek cedera mekanis memperberat gangguan-

gangguan metabolisme serebral.

Hipoksia dapat merupaka akibat dari kejadian aspirasi, obstyruksi jalan

nafas, atau cedera toraks yang terjadi bersamaan dengan trauma kepala,

namun sering juga terjadi hipoksia pascacedera kepala dengan ventilasi

normal dan tanpa adanya keadaan-keadaan tersebut di atas. Hipotensi pada

penderita cedera kepala biasanya hanya sementara yaitu sesaat setelah konkusi

atau merupaka tahap akhir dari kegagalan meduler yang berkaitan dengan

herniasi serebral.

c. Edema serebral

Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepal madalah edema

vasogenik dan edema iskemik. Edema vasogenik disebabkan oleh adanya

peningkatan oermeabilitas kapiler akibat sawar darah otak sehingga terjadi

penimbunan cairan plasma ekstraseluler terutama di massa putih serebral.

Edema iskemik merupakan penimbunan cairan intraseluler sehingga sel

tersebut tidak dapat mempertahankan keseimbangan cairannya.

Page 5: Lp Trauma Kapitis Berat

Edema serebral yang mencapai maksimal pada hari ke tiga pascacedera,

dapat menimbulkan suatu efek massa yang bermakna. Di samping itu edema

ini sendiri dapat juga terjadi, tanpa adanya tampilan suatu kontusi atau

perdarahan intraserebral. Keadaan ini dapat terjadi akibat gangguan sekunder

dari hipotensi sistemik dan hipoksia, cedera arterial atau hipertensi

intracranial. Gangguan aliran darah serebral traumayika yang mengakibatkan

anoksia jaringan juga tampil sebagai daerah “swelling” hipodens difus.

d. Pergeseran otak(Brain Shift)-herniasi batang otak

Adanya suatu massa yang berkembang membesar (hematom, abses atau

pembengkakan otak) di semua lokasi dalam kavitas intracranial

(epidural/subdural/intraserebral,supra-/infratentorial)biasanya akan

menyebabkan pergeseran dan distorsi otak, yang bersamaan dengan

peningkatan intracranial akan mengarah terjadi herniasi otak, keluar dari

kompartemen intracranial di mana massa tersebut berada.

2. Klasifikasi Klinis Cedera Kepala

Cedera kepala pada praktek klinis sehari-hari dikelompokkan atas empat gradasi

sehubungan dengan kepentingan seleksi perawatan penderita, pemantauan

diagnostic-klinik penanganan dan prognosisnya, yaitu :

Tingkat I : bila dijumpai adanya riwayat kehilangan

kesadaran/pingsan yang sesaat setelah mengakami trauma, dan kemudian

sadar kembali. Pada waktu diperiksa dalam keadaan sadar penuh, orientasi

baik, dan tidak ada deficit neurologist.

Tingkat II : kesadaran menurun namun masih dapat mengikuti perintah-

perintah yang sederhana, dan dijumpai adanya deficit neurologist fokal.

Tingkat III : kesadaran yang sangat menurun dan tidak bisa mengikuti

perintah (walaupun sederhana)sana sekali. Penderita masih bisa bersuara ,

namun susunan kata-kata dan orientasinya kacau, gaduh gelisah. Respon

motorik bervariasi dari keadaan yang masih mampu melokalisir rasa sakit

sampai tidak ada respon sama sekali. Postur tubuh dapat menampilkan

posisi dekortikasi-deserebrasi.

Tingkat IV : tidak ada fungsi neurologist sama sekali.

Page 6: Lp Trauma Kapitis Berat

Pemeriksaan GCS

Pemeriksaaan GCS

Dilakukan dengan memeriksa respon dari 3 area : membuka mata, respon

verbal dan respon motorik. Skor terendah 3 dan tertinggi 15. Respon motorik

dinilai yang terbaik dari kedua sisi.

Respon membuka mata (eye)

(4). Spontan dengan adanya kedipan

(3). Dengan suara

(2). Dengan nyeri

(1). Tidak ada reaksi

Respon bicara (verbal)

(5). Orientasi baik

(4). Disorientasi (mengacau/bingung)

(3). Keluar kata-kata yang tidak teratur

(2). Suara yang tidak berbentuk kata

(1). Tidak ada suara

Respon bicara (verbal) untuk anak-anak

(5). Kata-kata bermakna, senyum, mengikuti objek

(4). Menangis, tapi bisa diredakan

(3). Teriritasi secara menetap

(2). Gelisah, teragitasi

(1). Diam saja

Respon motorik (motor)

(6). Mengikuti perintah

(5). Melokalisir nyeri

(4). Menarik ekstremitas yang dirangsang

(3). Fleksi abnormal (dekortikasi)

(2). Ekstensi abnormal (decerebrasi)

(1). Tidak ada gerakan

Nilai GCS = (E+V+M) = 15 (terbaik) dan 3 (terburuk)

Page 7: Lp Trauma Kapitis Berat

Kategori Penentuan Keparahan Cedera Kepala berdasarkan Nilai Glasgow Coma

Scale(GCS).

Penentua

n

keparahan

Deskripsi Frekuensi

Minor

Sedang

Berat

GCS 13 – 15

Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi

kurang dari 30 menit.

Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio serebral,

hematoma

Tidak ada intoksikasi obat atau alcohol

Dapat mengeluh nyeri kepala atau dizziness

Pemerikasaan Neuorologi normal

GCS 9 – 12

Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30

menit tetapi kurang dari 24 jam.

Dapat mengalami fraktur tengkorak

Muntah

Seizure

Intoksikasi obat atau alcohol

Tidak ada riwayat cedera atau riwayat tidak jelas

GCS 3 – 8

Kehilanmgan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari

24 jam

Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma

intracranial.

55 %

24 %

21 %

Page 8: Lp Trauma Kapitis Berat

F. Pemeriksaan Penunjang

1. Rontgen tengkorak

Untuk mengetahui perubahan struktur tengkorak.

2. Ct scan kepala

Untuk mengetahui perubahan struktur tengkorak, adanya Sol, hemoragik,

pergeseran jaringan otak.

3. Angiografi serebral

Untuk mengetahui hematoma serebral, kelainan sirkulasi serebral.

4. EEG

Untuk mengetahui pergeseran susunan garis tengah otak

5. Laboratorium

Pemeriksaan darah, Hb dan leukosit.

G. Penatalaksanaan

Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat/emergensi

didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap “6 B”, yakni :

1. Breathing

Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan penderita. Adanya

obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-tindakan : suction,

intubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu,

merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edem serebri.

2. Blood

Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah (Hb,

leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan

adanya suatu peninggian tekanan intracranial; sebaliknya tekanan darah yang

menurun dan makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok

mhipovolemik akibat perdarahan (yang kebanyakan bukan dari kepala/otak)dan

memerlukan tindakan transfusi.

Page 9: Lp Trauma Kapitis Berat

3. Brain

Langkah awal penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata,

motorik, dan verbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan implikasi

perbaikan/perburukan cedera kepal tersebut, dan bila pada pemantauan

menunjukkan adanya perburukan kiranya perlu pemeriksaan lebnih mendalam

mengenai keadaan pupil(ukuran, bentuk, dan reaksi terhadap cahaya) serta

gerakan-gerakan bola mata.

4. Bladder

Kandung kemih perlu selalu dikosongkan(pemasangan kateter) mengingat bahwa

kandung kemih yang epnuh merupakan suatu rangsangan untuk mengedan

sehingga tekanan intracranial cenderung lebih meningkat.

5. Bowel

Seperti halnya di atas, bahwa usus yang penuh juga cenderung untuk meninggikan

TIK.

6. Bone

Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder infeksi.

H. Komplikasi

Jangka pendek :

1. Hematom Epidural

o Letak : antara tulang tengkorak dan duramater

o Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya

o Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri

kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa jam

kemudian timbul gejala-gejala yang memperberat progresif seperti nyeri kepala,

pusing, kesadaran menurun, nadi melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada

sisi perdarahan mula-mula sempit, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi

terhadap refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi

tentorial.

o Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)

o Interval lucid

Page 10: Lp Trauma Kapitis Berat

o Peningkatan TIK

o Gejala lateralisasi → hemiparese

o Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati

hematoma subkutan

o Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar.

Pada sisi kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda kerusakan

traktus piramidalis, misal: hemiparesis, refleks tendon meninggi dan refleks

patologik positif.

o CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks

o LCS : jernih

o Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan

pengikatan pembuluh darah.

2. Hematom subdural

o Letak : di bawah duramater

o Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan

laserasi piamater serta arachnoid dari kortex cerebri

o Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama

Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma

o CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian

Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent.

Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan parenkim otak

(bagian dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar sesuai lengkung tulang

tengkorak)

Isodens → terlihat dari midline yang bergeser

o Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak

(dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural

hematom akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.

3. Perdarahan Intraserebral

Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal, terbanyak pada

lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa

hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja. Jika penderita dengan

Page 11: Lp Trauma Kapitis Berat

perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi

dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan

manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.

4. Oedema serebri

Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama pingsannya, mungkin

hingga berjam-jam. Gejala-gejalanya berupa commotio cerebri, hanya lebih

berat. Tekanan darah dapat naik, nadi mungkin melambat. Gejala-gejala

kerusakan jaringan otak juga tidak ada. Cairan otak pun normal, hanya

tekanannya dapat meninggi.

• TIK meningkat

• Cephalgia memberat

• Kesadaran menurun

Jangka Panjang :

1. Gangguan neurologis

Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan gangguan N. VIII,

disartria, disfagia, kadang ada hemiparese

2. Sindrom pasca trauma

Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido menurun,

mudah tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa, gangguan

tingkah laku, misalnya: menjadi kekanak-kanakan, penurunan intelegensia,

menarik diri, dan depresi.

Page 12: Lp Trauma Kapitis Berat

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M.E, MF, Geissler, Ac. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. EGC : Jakarta.

Harnawati, 21 Februari (2008). Trauma kapitis, diakses tanggal 15 Agustus 2010, <http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/02/21/trauma-kapitis/>.

Kadri, A. 23 Desember (2008). Peranan marker koagulasi sebagai predictor outcome pada penderita trauma kapitis. Universitas Sumatera Utara : Medan.

Majid, Y. 22 Desember (2008). Trauma capitis, diakses tanggal 15 Agustus 2010, <http://patoflowaskep.blogspot.com/2008/12/trauma-capitis.html>.

Smeltzer, SC. & Bare, BG. (2002). Keperawatan medikal bedah. EGC : Jakarta.

Page 13: Lp Trauma Kapitis Berat

Laporan Pendahuluan

TRAUMA KAPITIS

Oleh : Dian Ayu Ismarani B.

C 121 06 022

C. I. Lahan C.I. Institusi

( ) ( )

PROGRAM PROFESI NERSFAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR

2010

Page 14: Lp Trauma Kapitis Berat

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA KAPITIS

DASAR DATA PENGKAJIAN PASIEN

Data tergantung pada tipe, lokasi, dan keparahan cedera dan mungkin dipersulit oleh cedera

tambahan pada organ-organ vital.

Aktivitas/Istirahat

Gejala : Merasa lemah, lelah, hilang keseimbangan.

Tanda : .Perubahan kesadaran,letargi,hemiparese quadreplegia, ataksia, cara berjalan tak

tegap. Masalah dalam keseimbangan cedera (trauma) ortopedi, kehilangan tonus otot,

otot spastik.

Sirkulasi

Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi).

Perubahan frekwensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,

disritmia).

Integritas Ego

Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).

Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif.

Eliminasi

Gejala : Inkontinentia kandungan kemih/usus atau mengalami gangguan fungsi.

Makanan/Cairan

Gejala : Mual, muntah, dan mengalami perubahan selera.

Tanda : Muntah (mungkin proyektil).

Gangguan menelan (batuk, air liur keluar disfagia)

Neurosensori

Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian. Vertigo, sinkope,

tinitus, kehilangan pendengaran, tingling, baal pada ekstremitas. Perubahan dalam

penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang,

fotofobia.

Gangguan pengecapan dan juga penciuman.

Tanda ; Perubahan kesadaran sampai koma.

Page 15: Lp Trauma Kapitis Berat

Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,

pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).

Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri) deviasi pada mata,

ketidakmampuan mengikuti.

Kehilangan penginderaan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran.

Wajah tidak simetri.

Genggaman lemah, tidak seimbang.

Refleks tendon dalam tidak ada atau lemah.

Apraksia, hemiparise, quedreplegia.

Postur (dekortikasi, deserebrasi), kejang.

Sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan.

Kehilangan sensasi sebagian tubuh.

Nyeri/Kenyamanan

Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.

Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah,

tidak bisa beristirahat, merintih.

Pernapasan

Tanda : Perubahan pola napas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi). Napas berbunyi,

stridor, tersedak.

Ronki, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).

Keamanan

Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.

Tanda : Fraktur/dislokasi.

Gangguan penglihatan

Kulit laserasi, abrasi, perubahan warna, seperti “raccoon eye” tanda Batle di

sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma).. Adanya aliran cairan

(drainase) dari telinga/hidung (CSS).

Gangguan kognitif.

Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami

paralysis.

Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.

Page 16: Lp Trauma Kapitis Berat

Interaksi Sosial

Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang, disartria,

anomia.

Pemenuhan Pembelajaran

Gejala : Penggunaan alkohol/obat lain.

Pertimbangan Rencana Pemulangan :

Membutuhkan bantuan pada perawatan diri, ambulasi, transportasi, menyiapkan makan,

belanja, perawatan, pengobatan, tugas-tugas rumah tangga, perubahan tata ruang dan

penempatan fasilitas lainnya di rumah.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Scan CT (tanpa/dengan kontras): mengidentifikasi adanya SOL, hemoragic, menentukan

ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. Catatan pemeriksaan berulang mungkin diperlukan

karena iskemia/infark mungkin tidak terdeteksi dalam 24 – 72 jam pascatrauma.

MRI : sama dengan skan CT dengan/tanpa menggunakan kontras.

Angiografi serebral : menunjukan kelaianan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak

akibat edema, perdarahan, trauma.

EEG : Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis,

Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran struktur dari garis

tengah (karena perdarahan, edema), adanya fragmen tulang.

BAER (Brain Auditori Evoked Respons) : menentuk fungsi korteks dan batang otak.

PET (Positron Emission Tomografi) : menunjukan perubahan aktivitas metabolisme dalam

otak.

Pungsi Lumbal, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan subarachniod .

GDA (Gas Darah Arteri) : mengetahuai adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang dapat

meningkatkan TIK..

Kimia/Elektrolit Darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam peningkatan

TIK/perubahan mental.

Pemeriksaan Toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab dalam

penurunan kesadaran.

Page 17: Lp Trauma Kapitis Berat

Kadar Antikonvulsan Darah : Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup

efektif untuk mengatasi kejang.

PRIORITAS KEPERAWATAN

1. Memaksimalkan perfusi/fungsi serebral.

2. Mencegah atau meminimalkan komplikasi.

3. Mengoptimalkan fungsi otak/mengembalikan pada keadaan sebelum terjadi trauma.

4. Menyokong proses koping dan pemulihan keluarga.

5. Memberikan informasi mengenai proses/prognosis penyakit, rencana tindakan dan

sumber daya yang ada .

TUJUAN PEMULANGAN

1. Fungsi serebral meningkat ; defisit neurology dapat diperbaiki atau distabilkan (tidak

berkembang lagi)

2. Komplikasi tidak terjadi.

3. AKS (Aktivitas Kegiatan sehari-hari) dapat terpenuhi sendiri atau dengan bantuan orang

lain.

4. Keluarga memahami keadaan yang sebenarnya dan dapat terlibat dalam proses

pemulihan.

5. Proses/prognosis penyakit dan penanganan (tindakannya) dapat dipahami dan mampu

mengidentifikasi dan memanfaatkan sumber daya yang tersedia.

DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN INTERVENSI

1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah oleh

SOL (hemoragi dan hematom), edema serebral, penurunan TD/hipoksia ditandai dengan

:

Perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori, peruhan respon motorik,

sernsorik, gelisah, perubahan tanda vital

Tujuan : mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi

motorik/sesnsorik.

Kriteria : Tanda vital stabil dan tak ada tanda-tanda peningkatan TIK.

Page 18: Lp Trauma Kapitis Berat

Intervensi :

a. Tentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu atau yang

menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan

TIK.

R/ : menentukkan pilihan intervensi, penurunan tanda gwjala neurologis atau

kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal mungkin menunjukan

bahwa pasien itu perlu dipindahkan ke perawatan intensif untuk memantau TIK

dan atau pembedahan

b. Pantau/catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar

(misalnya Skala Coms Glascow)

R/ : Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial

peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan

perkembangan kerusakan SSP.

- Evaluasi kemampuan membuka mata, seperti spontan (sadar penuh),

membuka hanya jika diberi rangsangan nyeri, atau tetap tertutup (koma).

R/ : Menentukan tingkat kesadaran.

- Kaji respon verbal; catat apakah pasien sadar, orientasi terhadap orang,

waktu dan tempat baik atau malah bingung; menggunakan kata-kata/frase

yang tidak sesuai

R/ : mengukur kesesuaian dalam berbicara dan menentukan tingkat

kesadaran.

- Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhana, gerakan yang

bertujuan (patuh terhadap perintah, berusaha untuk menghilangkan rangsang

nyeri yang diberikan) dan gerakan yang tidak bertujuan (kelainan postur

tubuh). Catat gerakan anggota tubuh dan catat sisi kiri dan kanan secara

terpisah .

R/ : Mengukur kesadaran secara keseluruhan dan kemamppuam untuk

berespon pada rangsangan eksternal dan merupakan petunjuk keadaan

kesadaran terbaik pada pasien yang matanya tertutup sebagai akibat pasien

trauma atau afasia. Pasien dikatakan sadar apabila pasien dapat meremas atau

melepas tangan pemeriksa atau dapat menggerakan tangan sesuai dengan

Page 19: Lp Trauma Kapitis Berat

perintah. Gerakan yang bertujuan dapat meliputi mimik kesakitan atau

gerakan menarik atau menjauhi rangsangan nyeri. Gerakan lain (fleksi

abnormal dari ekstremitas tubuh) biasanya sebagai indikasi kerusakan serebral

yang menyebar. Tidak adanya gerakan spontan pada salah satu sisi tubuh yang

menandakan kerusakan pada jalan motorik pada hemisfer otak yang

berlawanan (kontralateral).

c. Pantau TD

- Catat adanya hipertensi sistolik secara terus menerus dan tenaga nadi yang

semakin berat; observasi terhadap hipertensi pada pasien yang mengalami

trauma multiple.

R/ : Normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang konstan

pada saat ada fluktasi tekanan darah sistemik. Kehilangan autoregulasi dapat

mengikuti kerusakakan vaskularisasi serebral lokal atau menyebar.

Peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti oleh penurunan tekanan

darah diastole merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh

penurunan tingkat kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat juga

mengakibatkan kerusakan/iskemia serebral.

- Frekwenai jantung, catat adanya bradikardia, takikardia, atau bentuk disritmia

lainnya.

R/ : Perubahan pada ritme (paling sering bradikaria) dan disritmia dapat

timbul yang mencerminkan adanya depresi/trauma pada batang otak pada

pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung sebelumnya.

- Pantau pernapasan meliputi pola dan iramanya, seperti adanya periode apnue

setelah hiperventilasi yang disebut pernapasan cheynestokes.

R/ : Napas yang tidak teratur dapat menunjukan adanya gangguan

serebral/peningkatan TIK dan memerlukan intervensi yang lebih lanjut

termasuk kemungkinan dukungan napas buatan.

d. Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketjaman, kesamaan antara kiri dan kanan,

dan reaksinya terhadap cahaya.

R/ : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (N.III) dan berguna untuk

menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/kesamaan ditentukan oleh

Page 20: Lp Trauma Kapitis Berat

keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap

cahaya mencerminkan fungsi yang terkoordinasi dari saraf cranial optikus dan

okulomotorius.

e. Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya penglihatan yang kabur, ganda,

lapang pandang menyempit dan kedalaman persepsi.

R/ : Gangguan penglihatan, yang dapat diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik

pada otak, mempunyai konsekwensi terhadap keamanan dan juga akan

mempengaruhi pilihan intervensi.

f. Kaji l;etak/gerakan mata, catat apakah pada posisi tengah atau ada deviasi pada

satu sisi atau kebawah. Catat pula hilangnya refleks DOLLS EYE.

R/ : Posisi dan gerakan mata membantu menemukan lokasi area otak yang

terlibat. Tanda awal dari peningkatan TIK adalah kegagalan dalam kegagalan

dalam abduksi pada mata, mengindikasikan penekanan/trauma pada saraf cranial

V.Hilangnya DOLLS EYE mengindikasikan adanya penurunan pada fungsi

batang otak dan prognosisnya jelek.

g. Catat ada tidaknya refelks-refleks tertentu seperti refleks menelan, batuk dan

Babinski dan sebagainya.

R/ : Penurunan refleks menandakan adanya kerusakan pada tingkat otak tengah

atau batang otak dan sangat berpengaruh langsung terhadap pasien. Refleks

Babinski positif mengindikasikan adanya trauma sepanjang jalur piramida pada

otak

h. Pertahankan kepala/leher pada posisi tengah/posisi netral, sokong dengan

gulungan handuk kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepala.

R/ : Kepala yang miring pada satu sisi akan menekan vena jugularis dan

menghambat aliran darah vena.yang selanjutnya akan meningkatkan TIK.

i. Kolaborasi :

- Tinggikan kepala pasien 15 – 45 derajat sesuai indikasi yang dapat ditoleransi.

R/ : Meningkatkan aliran balik vena dari kepal sehingga akan mengurangi

kongesti dan edema atau risiko terjadinya peningkatan TIK.

- Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.

Page 21: Lp Trauma Kapitis Berat

R/ : menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan

volume darah serebral yang meningkatkan TIK.

- Berikan obat sesuai indikasi.

Diuretik (manitol, furosemid)

R/ : Diuretik dapat digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel

otak, menurunkan edema otak dan TIK.

Steroid (dexametason, metilprednisolon).

R/ : menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema jaringan.

Antikonvulsan (Fenitoin).

R/ : untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktivitas kejang.

Analgetik (Kodein).

R/ : Untuk menghilangkan nyeri.

Sedatif (Difenhidramin).

R/ : untuk mengendalikan kegelisahan.

Antipiretik ( asetaminofen).

R/ : Mengendalikan demam.

2. Risiko pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler, obstruksi

trakeobronchial.

Tujuan : mempertahankan pola pernapasan normal/efektif, bebas sianosis dengan GDA

dalam batas normal pasien.

Intervensi :

a. Pantau frekwensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidak teraturan pernapasan.

R/ : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal (umumnya mengikuti

cedera otak) atau menandakan lokasi /luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat,

periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.

b. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.

R/ : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan kemungkinan

lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.

c. Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif jika pasien sadar.

R/ : mencegah/menurunkan atelektasis.

Page 22: Lp Trauma Kapitis Berat

d. Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat

karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.

R/ : Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan

imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapapan

pada trachea yang lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati, karena hal

tersebut dapat mengakibatkan hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang pada

akhirnya akan berpengaruh cukup besar terhadap perfusi serebral.

e. Kolaborasi :

- Pantau atau gambarkan analisa gas darah, tekanan oksimetri

R/ : Menentukan kecukupan pernapasan. Keseimbangan asam basa dan kebutuhan

akan terapi.

- Lakukan ronsen toraks ulang

R/ : melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tanda komplikasi yang

berkembang (seperti atelektasis atau bronkopneumonia).

- Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.

R/ : Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan peningkatan TIK

fase akut namun tindakan ini seringkali berguna pada pada akut rehabilitasi untuk

memobilisasi dan memberikan jalan napas dan menurunkan risiko

atelektasis/komplikasi paru lainnya.

3. Perubahan Persepsi sensori berhubungan dengan perubahan resepsi sensori, transmisi

dan/atau integrasi (trauma atau defisit neureologis, ditandai dengan :

Disorientasi waktu, tempat dan orang; perubahan dalam respons terhadap rangsang;

inkoordinasi motorik; perubahan dalam postur; ketidakmampuan untuk memberitahu

posisi bagian tubuh (propiosepsi); perubahan pola komunikasi, distorsi audiotorius dan

visual; konsentrasi buruk, perubahan proses berpikir/berpikir ngacau.

Tujuan : Melakukan kembali/mempertahankan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi

persepsi.

Kriteria : Mengakui perubahan dalam kemampuan dan adanya keterlambatan residu.

Mendemonstrasikan perubahan perilaku/gaya hidup untuk mengkompensasi/defisit hasil.

Page 23: Lp Trauma Kapitis Berat

Intervensi :

a. Evaluasi/pantau secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam

perasaan/afektif, sensorik dan proses piker

R/ : Fungsi serebral bagian atas biasanya terlebih dahulu oleh adanya gangguan

sirkulasi, oksigenasi. Kerusakan dapat terjadi saat trauma awal atau kadang-kadang

berkembang setelahnya akibat dari pembengkakan atau perdarahan. Perubahan

motorik, persepsi, kognitif dan kepribadian mungkin berkembang dan menetap

dengan perbaikan respons secara perlahan-lahan atau tetap bertahan secara terus

menerus pada derajat tertentu.

b. Kaji kesadaran sensorik seperti respon sentuhan, panas/dingin, benda tajam/tumpul

dan kesadaran terhadap gerakan dan letak tubuh. Perhatikan adanya masalah

penglihatan atau sensasi yang lain.

R/ : Informasi penting untuk keamanan pasien. Semua sistem sensorik dapat

terpengaruh dengan adanya perubahan yang melibatkan peningkatan atau penurunan

sensitivitas atau kehilangan sensasi/kemampuan untuk menerima dan berespons

secara sesuai pada suatu stimuli.

c. Hilangkan suara bising/stimuli yang berlebihan sesuai kebutuhan

R/ : menurunkan ansietas, respon emosi yang berlebihan/bingung yang berhubungan

dengan sensorik yang berlebihan.

d. Buat jadual istirahat yang adekuat/periode tidur tanpa adanya gangguan.

R/ : Mengurangi kelelahan, mencegah kejenuhan, memberikan kesempatan untuk

tidur REM (ketidakadanya tidur REM ini dapat meningkatkan gangguan persepsi

sensorik).

e. Gunakan penerangan siang atau malam hari.

R/ : Memberikan perasaan normal tentang pola perubahan waktu dan pola

tidur/bangun.

f. Kolaborasi :

- Rujuk pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terpi wicara, dan terapi kognitif.

R/ : Pendekatan antar disiplin dapat menciptakan rencana penatalaksanaan

terintegrasi yang didasarkan atas kombinasi kemampuan/ketidakmampuan secara

Page 24: Lp Trauma Kapitis Berat

individu yang unik dengan berfokus pada peningkatan evaluasi dan fungsi fisik, dan

ketrampilan perceptual.

4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif ditandai

dengan : ketidakmampuan bergerak sesuai tujuan dalam lingkungan fisik, termasuk

mobilitas ditempat tidur, pemindahan, ambulasi. Kerusakan koordinasi, keterbatasan

rentang gerak, penurunan kekuatan kontrol otot.

Tujuan : melakukan kembali/mempertahankan posisi fungsi optimal dibuktikan

oleh tidak adanya kontraktur, footdrop.

Kriteria hasil : Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang

sakit dan /atau kompensasi. Mendemonstrasikan teknik/perilaku yang memungkinkan

dilakukannya kembali aktivitas. Mempertahankan integritas kulit, kandung kemih dan

fungsi usus.

Intervensi :

a. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang

terjadi.

R/ : Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi

pilihan intervensi yang akan dilakukan.

b. Kaji derajat imobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan (0-4).

R/ : Pasien mampu mandiri (nilai 0) atau memerlukan bantuan/peralatan yang

minimal (nilai 1); memerlukan bantuan sedang/dengan pengawasan/diajarkan (nilai

2); memerlukan bantuan/peralatan yang terus menerus dan alat khusus (nilai 3); atau

tergantung secara total pada pemberi asuhan (nilai 4). Seseorang dalam semua

kategori sama-sama mempunyai risiko kecelakaan, namun kategori dengan nilai 2 –

4 mempunyai risiko yang terbesar untuk terjadinya bahaya tersebut sehubungan

imobilisasi.

c. Beri/Bantu untuk melakukan latihan rentang gerak.

R/ : Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/posisi normal ekstremitas dan

menurunkan terjadinya vena yang statis.

Page 25: Lp Trauma Kapitis Berat

d. Berikan perawatan kulit yang cermat, masase dengan pelembab, dan ganti

linen/pakaian yang basah dan pertahankan linen tersebut tetap bersih dan bebas dari

kerutan (jaga tetap tegang).

R/ : Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan risiko terjadinya

ekskoriasi kulit.

e. Pantau haluaran urine. Catat warna dan bau dari urine. Bantu dengan latihan kandung

kemih jika memungkinkan.

R/ : Pemakaian kateter Foley selama fase akut memungkinkan dibutuhkan untuk

jangka waktu yang panjang sebelum memungkinkan untuk dilakukan latihan

kandung kemih. Saat kateter dilepas, beberapa metode kontrol dapat dicoba seperti

kateterisasi intermiten (selama pengosongan sebagian atau seluruhnya);kateter

eksternal, interval diatas pispot memberikan duk inkontinen.

f. Berikan cairan dalam batas-batas yang dapat ditoleransi (contoh toleransi neurologis

dan jantung).

R/ : sesaat setelah fase akut cedera kepala, dan jika pasien tidak memiliki faktor

kontraindikasi yang lain, pemberian cairan yang memadai akan menurunkan risiko

terjadinya infeksi saluran kemih/batu ginjal/batu kandung kemih dan berpengaruh

cukup baik terhadap konsistensi feses yang normal dan turgor kulit menjadi optimal.

5. Risiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kulit rusak, prosedur

invasif, penurunan kerja sillia, statis cairan tubuh, kekurangan nutrisi, respon inflamasi

(penggunaan steroid), perubahan sistem integritas tertutup (kebocoran CSS).

Tujuan : mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi, mencapai

penyembuhan luka tepat waktu bila ada.

Intervensi :

a. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci tangan yang baik.

R/ : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.

b. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka, garis jahitan), daerah

yang terpasang alat invasi (terpasang infus dan sebagainya), catat karakterisitik dari

drainase dan adanya inflamasi.

Page 26: Lp Trauma Kapitis Berat

R/ : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan

dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.

c. Pantau suhu tubuh secara teratur. Catat adanya demam, mengigil, diaforosis, dan

perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).

R/ : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan

evaluasi atau tindakan dengan segera.

d. Anjurkan untk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus

menerus, observasi karakterisitk sputum.

R/ : Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan risiko

terjadinya pneumonia, atelektasis. Catatan : Drainase postural harus digunakan

dengan hati-hati jika ada risiko terjadinya peningkatan TIK.

e. Berikan perawatan perawatan perineal. Pertahankan integritas dan sistem drainase

urine tertutup jika menggunakannya. Anjurkan untuk minum adekuat.

R/ : Menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan bakteri atau infeksi yang

merambah naik.

f. Observasi warna/kejernihan urine. Catat adanya bau busuk (yang tidak enak).

R/ : Sebagai indicator dari perkembangan infeksi pada saluran kemih yang

memerlukan tindakan dengan segera.

g. Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah pengunjung yang

mengalami infeksi saluran infeksi bagian atas.

R/ : Menurunkan pemajanan terhadap “pembawa kuman penyebab infeksi”

h. Kolaborasi :

- Berikan antibiotik sesuai indikasi.

R/ : Terapi profilaktik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma (perlukaan),

kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan risiko terjadinya

infeksi nosokomial.

- Ambil bahan pemeriksaan (spesimen) sesuai indikasi.

R/ : Kultur/sensitivitas, pewarnaan gram Gram dapat dilakukan untuk memastikan

adanya infeksi dan mengidentifikasi organisme penyebab dan untuk menentukan obat

pilihan yang sesuai.

Page 27: Lp Trauma Kapitis Berat

6. Risiko tinggi perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan perubahan

kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran), kelemahan otot yang

diperlukan untuk mengunyah dan menelan, status hipermetabolik.

Tujuan : mendemonstrasikan kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan. Tidak

mengalami tanda-tanda malnutrisi, dengan nilai laboratorium dalam batas-batas normal.

Intervensi :

a. Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi sekresi.

R/ : menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien terlindung dari

aspirasi

b. Auskultasi bising usus, catat adanya penurunan/hilangnya atau suara yang hiperaktif.

R/ : Bising usus membantu dalam menentukan respons untuk makan atau

berkembangnya komplikasi seperti paralitik ileus.

c. Timbang berat badan sesuai indikasi.

R/ : mengevaluasi keefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.

d. Jaga keamanan saat memberikan makan pada pasien seperti tinggikan kepala tempat

tidur selama makan atau selamam pemberian makan lewat NGT.

R/ : menurunkan risiko regurgitasi atau terjadinya aspirasi.

e. Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur.

R/ : meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang

diberikan yang dapat meningkatkan kerjasama pasien saat makan.

f. Tingkatkan kenyaman, lingkungan yang santai termasuk sosialisasi saat makan.

Anjurkan orang terdekat untuk membawa makanan yang disukai pasien.

R/ : Dapat meningkatkan pemasukan dan menormalkan fungsi makan.

g. Kolaborasi :

- Konsultasi dengan ahli gizi.

R/ : merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan

kalori/nutrisi tergantung pada usia, berat badan, ukuran tubuh, dan keadaan

penyakit sekarang.

- Pantau pemeriksaan laboratorium seperti albumin darah, zat besi,

ureum/kreatinin, glukosa, AST/ALT dan elektrolit darah.

Page 28: Lp Trauma Kapitis Berat

R/ : mengidentifikasi defisiensi nutrisi. Fungsi organ dan respons terhadap terapi

nutrisi tersebut.

- Berikan makan dengan cara yang sesuai seperti melalui NGT, melalui oral dengan

makanan lunak dan cairan yang agak kental.

R/ : pemilihan rute pemberian tergantung pada kebutuhan dan kemampuan pasien.

7. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan

kurang pemajanan, tidak mengenal sumber-sumber informasi, kurang

mengingat/keterbatasan kognitif ditandai dengan meminta informasi, pernyataan salah

konsepsi, ketidakakuratan mengikuti instruksi.

Tujuan :

- Berpartisipasi dalam proses belajar.

- Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, aturan pengobatan, potensial

komplikasi.

- Melakukan prosedur yang diperlukan dengan benar.

Intervensi :

a. Evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan juga keluarganya.

R/ : memungkinkan untuk menyampaikan informasi yang didasarkan atas kebutuhan

secara kebutuhan.

b. Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses trauma dan pengaruh

sesudahnya.

R/ : membantu dalam menciptakan harapan yang realistis dan meningkatkan

pemahaman pada keadaan saat ini.

c. Diskusikan rancana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri.

R/ : berbagai tingkat bantuan perlu direncanakan yang didasarkan atas kebutuhan

yang bersifat individual.

d. Berikan instruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal mengenai aktivitas, obat-obatan

dan faktor-faktor penting lainnya.

R/ : memberikan penguatan visual dan rujukan setelah sembuh.

e. Diskusikan dengan pasien dan orang terdekat perkembangan dari gejala seperti

munculnya tanda dan gejala yang pernah dialaminya saat trauma terjadi (pikiran

Page 29: Lp Trauma Kapitis Berat

melayang, pikiran kacau, mimpi berulang/mimpi buruk), emosi/fisik yang sulit

berespon; perubahan gaya hidup termasuk adaptasi dan tingkah laku yang merusak.

R/ : Dapat menjadi tanda adanya eksaserbasi respon pasca traumatik yang dapat

terjadi dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun setelah mengalami trauma.