Lapsus Orthopedi

51
BAB I PENDAHULUAN Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan umumnya di karenakan rudapaksa. Dikehidupan sehari hari yang semakin padat dengan aktifitas masing- masing manusia dan untuk mengejar perkembangan zaman, manusia tidak akan lepas dari fungsi normal musculoskeletal terutama tulang yang menjadi alat gerak utama bagi manusia, tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagian tubuh dan tempat untuk melekatnya otot- otot yang menggerakan kerangka tubuh. Tetapi, dari ulah manusia itu sendiri, fungsi tulang dapat terganggu karena mengalami fraktur. Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. 1 Fraktur Cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibula yang biasanya terjadi pada bagian proksimal, diafisis, atau persendian pergelangan kaki. Pada beberapa rumah sakit kejadien fraktur cruris biasanya banyak terjadi oleh karena itu peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan trauma musculoskeletal pada fraktur cruris akan semakin besar 1

description

bedah

Transcript of Lapsus Orthopedi

Page 1: Lapsus Orthopedi

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang

rawan umumnya di karenakan rudapaksa. Dikehidupan sehari hari yang semakin

padat dengan aktifitas masing- masing manusia dan untuk mengejar

perkembangan zaman, manusia tidak akan lepas dari fungsi normal

musculoskeletal terutama tulang yang menjadi alat gerak utama bagi manusia,

tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagian tubuh dan tempat

untuk melekatnya otot- otot yang menggerakan kerangka tubuh. Tetapi, dari ulah

manusia itu sendiri, fungsi tulang dapat terganggu karena mengalami fraktur.

Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut

dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan

menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.1

Fraktur Cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibula

yang biasanya terjadi pada bagian proksimal, diafisis, atau persendian pergelangan

kaki. Pada beberapa rumah sakit kejadien fraktur cruris biasanya banyak terjadi

oleh karena itu peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan trauma

musculoskeletal pada fraktur cruris akan semakin besar sehingga di perlukan

pengetahuan mengenai anatomi, fisiologi, dan patofisiologi tulang normal dan

kelainan yang terjadi pada pasien dengan fraktur cruris.2

Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat di tahun 2011 terdapat lebih dari

5,6 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1.3 juta

orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki

prevalensi cukup tinggi yaitu insiden fraktur ekstrimitas bawah sekitar 40% dari

insiden kecelakaan yang terjadi.3,4,5

Kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja merupakan suatu keadaan yang

tidak di inginkan yang terjadi pada semua usia dan secara mendadak. Angka

kejadian kecelakaan lalu lintas di kota Semarang sepanjang tahun 2011 mencapai

217 kasus, dengan korban meninggal 28 orang, luka berat 40 orang, dan luka

ringan sejumlah 480 orang.

1

Page 2: Lapsus Orthopedi

Berbagai penyebab fraktur diantaranya cidera atau benturan, faktor

patologik, dan yang lainnya karena faktor beban. Selain itu fraktur akan

bertambah dengan adanya komplikasi yang berlanjut diantaranya syok, sindrom

emboli lemak, sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi, dan avaskuler

nekrosis. Komplikasi lain dalam waktu yang lama akan terjadi mal union, delayed

union, non union atau bahkan perdarahan. Berbagai tindakan bisa dilakukan di

antaranya rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi. Meskipun demikian

masalah pasien fraktur tidak bisa berhenti sampai itu saja dan akan berlanjut

sampai tindakan setelah atau post operasi.

2

Page 3: Lapsus Orthopedi

BAB II

KASUS

I. Identitas

Nama :Tn. W

Umur :48 tahun

Jenis kelamin :Laki- laki

Agama :Islam

No. RM :451347

Tanggal masuk :23 Juni 2014

II. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 28 Juni 2014

pada pukul 11.00 WIB di ruang Dahlia 2 RSUD Tugurejo Semarang.

a. Keluhan utama

Nyeri pada pergelangan kaki.

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Sekitar satu jam sebelum masuk IGD rumah sakit, pasien

mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien mengendarai motor

seorang diri dengan kecepatan 60 km/ jam tertabrak mobil. Pasien

jatuh, tergulung- gulung kearah kanan. Nyeri dirasakan pada

tungkai kanan bawah. Terdapat luka pada kaki kanan. Benturan

pada kepala tidak ada. Pasien mengenakan helm dan jaket. Saat

jatuh helm pasien terlepas. Pasien tidak pingsan, pusing, mual,

muntah, dan tidak sesak napas. Minum minuman keras sebelumnya

disangkal. Saat datang ke rumah sakit, pasien belum mendapatkan

tata laksana apapun.

Setelah dilakukan penanganan awal dan fiksasi eksterna,

pada pukul 11.05 pasien dirawat di ruang Amarilis I. Pasien

menjalani operasi regio cruris pada tanggal 26 Juni 2014. Selesai

operasi, pasien di rawat di ruang Dahlia 2.

3

Page 4: Lapsus Orthopedi

c. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit hipertensi, jantung, nyeri dada, asma, dan alergi,

disangkal.

d. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga, penyakit jantung,

hipertensi, asma, dan alergi disangkal.

e. Riwayat Sosial Ekonomi

Biaya pengobatan ditanggung PT. Indoofood Fritolay Makmur.

Kesan: cukup

III. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan pukul 11.30 WIB di ruang Dahlia 2 RSUD

Tugurejo Semarang.

a. Primary survey

i. Airway :

Obstruksi jalan nafas : (-)

Patensi cervical : paten

Suara nafas tambahan : stridor (-), gargling (-)

Kesan : dalam batas normal

ii. Breathing :

Look

Gerakan dada : (+) simetris, tidak ada napas

yang tertinggal

Frekuansi nafas : 22 kali/ menit, regular

Nafas cuping hidung : (-)

Retraksi suprasternal: (-)

Retraksi intercostals : (-)

Retraksi subcostal : (-)

Listen: Suara nafas tambahan: Ronki (-), wheezing (-).

Feel: Hembusan nafas : (+) thoraco abdominal teratur.

Kesan : dalam batas normal

iii. Circulation

4

Page 5: Lapsus Orthopedi

TD : 110/ 80 mmHg

Nadi : 90 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup

Capilary refill : Ektremitas atas <2 detik/ <2 detik

Ekstremitas bawah <2 detik / <2 detik

Kesan : sirkulasi stabil

iv. Disability

Kesadaran: Compos mentis, GCS (E4M6V5)

Pupil : Ø 3 mm, bulat, sentral, isokor,

reflek direct (+/+), reflek indirect (+/+)

v. Exposure

Terdapat pembengkakan pada pergelanan kaki kanan dan

ada luka lecet di kaki kanan.

b. Secondary survey

i. Keadaan umum : baik, cooperative

ii. Kesadaran : compos mentis, GCS 15 (E4M6V5)

iii. Vital sign

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Nadi : 90x/menit isi dan tegangan

Respiratory rate : 24 x/menit, teratur thoracoabdominal

Suhu : 36,7˚C aksila

iv. Status gizi

Berat badan : 55 kg

Tinggi badan : 160 cm

BMI : 21,48

Kesan : gizi baik

v. Status interna

Kepala: mesocepal, jejas (-)

Mata : konjungtiva anemis (-/-), ikterik (-/-),Ø 3

mm, bulat, sentral, isokor, reflek direct (+/+), reflek

indirect (+/+), hematoma (+/-)

5

Page 6: Lapsus Orthopedi

Hidung: napas cuping (-/-), deformitas (-/-), lesi (-/-),

darah (-/-)

Telinga : serumen (-/-), lesi (-/-), darah (-/-),

deformitas (-/-), battle sign (-/-), otore (-)

Mulut : sianosis (-),darah (-), hematom (-), jejas (-),

lesi (-), floating palatum (-), miss dental (-), dislokasi

Temporal Mandibula Joint (-)

Leher : pembesaran tiroid (-), deviasi trakea (-),

lesi (-)

Thoraks

Pulmo

Paru depan Paru belakang

Inspeksi

Statis

Dinamis

Jejas (-)

Flail chest (-)

ICS melebar (-)

Tidak ada napas

yang tertinggal

Jejas (-)

Flail chest (-)

ICS melebar (-)

Tidak ada napas yang

tertinggal

Palpasi Simetris (+/+),

Nyeri tekan (-/-),

ICS tidak melebar ,

taktil fremitus

simetris.

Simetris (+/+),

Nyeri tekan (-/-),

ICS tidak

melebar , taktil

fremitus simetris.

Perkusi

Kanan

Kiri

Sonor di semua

lapangan thorax

Sonor di semua

lapangan thorax

Sonor di semua

lapangan thorax

Sonor di semua

lapangan thorax

Auskultasi Suara dasar Suara dasar,

6

Page 7: Lapsus Orthopedi

vesicular

Ronki (-/-),

Wheezing (-/-)

Ronki (/) Wheezing (/)

Cor

a. Inspeksi : ictus cordis tidak tampak

b. Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS IV 1-2 cm

ke arah medial linea midclavikula sinistra, thrill

(-), pulsus epigastrium (-), pulsus parasternal (-),

sternal lift(-)

c. Perkusi :

Batas atas jantung : ICS II parasternalis

sinistra

Batas pinggang jantung : ICS III parasternalis

sinistra

Batas kanan bawah jantung : ICS V

sternalis dextra

Batas kiri bawah jantung : ICS IV 1-2

cm ke arah medial midclavicula kiri

Konfigurasi jantung (dalam batas normal)

d. Auskultasi :

Suara jantung murni: SI, SII (normal) reguler

Suara jantung tambahan gallop (-), murmur (-)

SIII (-), SIV (-)

Abdomen

Inspeksi : Permukaan datar, warna sama seperti kulit

sekitar, lesi (-), jejas (-), hematome (-)

Auskultasi: Bising usus (15 x/ menit)

Perkusi: Timpani seluruh lapang abdomen, pekak sisi (-)

7

Page 8: Lapsus Orthopedi

Palpasi : Nyeri tekan seluruh lapang perut (-), rigitas (-),

defance muscular (-), pembesaran hepar (-), pembesaran

lien (-)

Pelvis : Deformitas (-), hematom (-), jejas (-), nyeri tekan

(-), luka terbuka (-)

Ekstremitas

o Superior (kanan dan kiri)

Kanan : Akral hangat, edema tidak ada,

kapiler refil < 2 detik

Kiri : Akral hangat, edema tidak ada,

kapiler refil < 2 detik

o Inferior

Kanan: Akral hangat, edema tidak ada,

kapiler refil < 2 detik, arteri dorsalis pedis

teraba kuat dan simetris kanan maupun kiri.

Kiri: Akral hangat, edema tidak ada, kapiler

refil < 2 detik.

Status Lokalis

Status Lokalis Regio cruris dextra

o Look :  Ekskoriasi (+), oedem (+), hematoma (+), tak tampak

8

Page 9: Lapsus Orthopedi

sianosis pada bagian distal lesi.

o Feel   :  Nyeri tekan setempat (+), sensibilitas (+), suhu rabaan

hangat, kapiler refil < 2 detik (normal),  arteri dorsalis pedis

teraba kuat dan simetris kanan maupun kiri.

Panjang anatomis:80 cm/ 80 cm

Panjang klinis 78 cm/ 78 cm

o Move   :  Gerakan aktif dan pasif terhambat, gerakan abduksi

tungkai kanan terhambat, gerakan adduksi tungkai kanan

terhambat, sakit bila digerakkan, gangguan persarafan tidak

ada, tampak gerakan terbatas (+), keterbatasan pergerakan

sendi-sendi distal (karena terasa nyeri saat digerakkan)

IV. Pemeriksaan penunjang

Darah rutin

Pemeriksaan Hasil Nilai normal

Darah Rutin

Leukosit 5.83 3.8 - 10.6

Eritrosit 3.94 4.4 - 5.9

Hemoglobin 11.70 13.2 - 17.3

Hematocrit 34.10 40 - 52

MCV 86.50 80 - 100

MCH 29.70 26 - 34

MCHC 34.30 32 - 36

RDW 11.8 11.5 - 14.5

Diff Count

Eosinifil Absolute 0.06 0.045 - 0.44

Basofil Absolute 0.01 0 – 0.2

Netrofil Absolute 5.38 1.8 - 8

Limfosit Absolute 0.24 0.9 - 5.2

Monosit Absolute 0.14 0.16 - 1

Eosinofil 1.00 2 - 4

9

Page 10: Lapsus Orthopedi

Basofil 0.20 0 - 1

Neutrofil 92.30 50 - 70

Limfosit 4.10 25 - 40

Monosit 2.40 2 - 8

Foto AP dan lateral

V. Diagnosis

a. Diagnosis klinis : Post ORIF os tibia fibula 1/3 distal dextra

non komplikata

b. Diagnosis radioligis : Post ORIF os tibia fibula 1/3 distal dextra

VI. Tatalaksana

a. Ip. Diagnosis

i. Subjektif : -

ii. Objektif : -

b. Ip. Terapi

Terapi medika mentosa:

10

Page 11: Lapsus Orthopedi

i. Terapi injeksi: Infus RL 20 tpm

ii. Anti-inflamasi, analgetik dan antipiretik: Xevolac 10 mg

3 x 1 ampul

iii.Anti infeksi kulit dan jaringan lunak : Fosular 1 gr vial 2 x 1

iv. Anti tukak: ranitidine 2 mg 1x1 ampul

Terapi non medikamentoosa:

i. Pembersihan luka (wound toilet)

c. Ip. Monitoring

i. KU, TV

ii. Monitoring efek samping antibiotic

iii.Komplikasi dini: compartement syndrome, perdarahan,

infeksi.

iv. Monitoring fiksasi (ORIF)

v. Monitoring luka: infeksi sekunder (pus, nekrosis)

d. Ip. Edukasi

i. Menjelaskan keadaan pasien

ii. Menjelaskan cara perawatan luka

iii.Menjelaskan cara relaksasi untuk mengurangi rasa nyeri

VII. Prognosis

a. Qua ad vitam : dubia ad bonam

b. Qua ad sanam : dubia ad bonam

c. Qua ad fungsionam : dubia ad bonam

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

11

Page 12: Lapsus Orthopedi

I. Anatomi5-7

Os tibia merupakan os longum yang terletak di sisi medial region

cruris. Ini merupakan tulang terpanjang kedua setelah os femur. Tulang ini

terbentang ke proksimal untuk membentuk articulation genu dan  ke distal

terlihat semakin mengecil.

Os fibula atau calf bone terletak sebelah lateral dan lebih kecil dari

tibia. Extremitas proximalis fibula terletak agak posterior dari caput tibia,

dibawah articulation genus dan tulang ini tidak ikut membentuk

articulation genus.

Fascia cruris merupakan tempat perleketan musculus dan bersatu

dengan perosteum. Ke proximal akan melanjutkan diri ke fascia lata, dan

akan melekat di sekitar articulation genus ke os patella, ligamentum

patellae, tuberositas tibiae dan capitulum fibulae. Ke posterior membentuk

fascis poplitea yang menutupi fossa poplitea. Disini tersusun oleh serabut-

serabut transversal yang ditembus oleh vena saphena parva. Fascia ini

menerima serabut-serabut tendo m.biceps femoris femoris disebelah lateral

dan tendo m. Sartorius, m.gracilis, m.semitendinosus, dan

m.semimembranosus disebelah medial. Ke anterior, fascia ini bersatu

dengan perosteum tibia serta perostenium capitulum fibulae dan malleolus

fibulae. Ke distal, faascia ini melanjutkan diri ke raetinaculum

mm.extensorum superior dan retinaculum mm. flexorum. Fascia ini

menjadi tebal dan kuat dibagian proximal dan anterior cruris, untuk

perlekatan m.tibialis anterior dan m.extensor digitorum longus. Tetapi,

fascia ini tipis dibagian posterior yang menutupi m.gastrocnemeus dan

m.soleus. disisi lateral cruris, fascia ini membentuk septum intermusculare

anterius dan septum intermusculare posterius. Musculus di region cruris

dibedakan menjadi tiga kelompok. Yaitu (a) kelompok anterior, (b)

kelompok posterior dan (c) kelompo lateralis.

a. Musculus di region anterior

M. tibialis anterior

12

Page 13: Lapsus Orthopedi

M. extensor hallucis longus

M. extensor digitorum longus dan m.peroneus tertius

b. Musculus regio cruris posterior kelompok superficialis

M. gastrocnemius

M. soleus

M. plantaris

c.  Musculus regio cruris posterior kelompok profunda

M. popliteus

M. flexor hallucis longus

M. flexor digitorum longsu

M. tibialis posterior

d. Musculus region cruris lateralis

M. peroneus longus

M. peroneus brevis

13

Page 14: Lapsus Orthopedi

II. Definisi Fraktur5,6

Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang

atau tulang rawan bisa komplet atau inkomplet atau diskontinuitas tulang

yang disebabkan oleh gaya yang melebihi elastisitas tulang.

III. Klasifikasi5-11

Fraktur menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang

dengan dunia luar dibagi menjadi dua, yaitu fraktur tertutup dan fraktur

terbuka. Fraktur tertutup jika kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh,

tetapi apabila kulit diatasnya tertembus maka disebut fraktur terbuka.

Patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat

ringannya lesi dan berta ringannya patah tulang.

Deraja

t

Lesi Fraktur

14

Page 15: Lapsus Orthopedi

I Laserasi <2 cm Sederhana, dislokasi fragmen

minimal

II Laserasi >2 cm, kontusi otot

disekitarnya

Dislokasi fragmen jelas

III Lesi lebar, rusak hebat, atau

hilangnya jaringan di

sekitarnya

Kominutif, segmental,

fragmen tulang ada yang

hilang

Klasifikasi Fraktur terbuka menurut Gustillo dan Anderson ( 1976 )

Tip

e

Batasan

I Lesi bersih dengan panjang lesi < 1 cm

II Panjang lesi > 1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang berat

III Kerusakan jaringan lunak yang berat dan luas, fraktur segmental

terbuka, trauma amputasi, lesi tembak dengan kecepatan tinggi,

fraktur terbuka di pertanian, fraktur yang perlu repair vaskuler dan

fraktur yang  lebih dari 8 jam setelah kejadian.

Klasifikasi lanjut fraktur terbuka tipe III (Gustillo dan Anderson,

1976) oleh Gustillo, Mendoza dan Williams (1984):

Tipe Batasan

IIIA Periosteum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan

jaringan lunak yang luas

IIIB Kehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi  berat,

periosteal striping atau terjadi bone expose

IIIC Disertai kerusakan arteri yang memerlesin repair tanpa melihat

tingkat kerusakan jaringan lunak.

Menurut hubungan dengan jaringan ikat sekitarnya

a. Fraktur Simple    :  fraktur tertutup

b. Fraktur Terbuka  :  bone expose

c. Fraktur Komplikasi  : kerusakan pembuluh darah, saraf, organ sekitar

15

Page 16: Lapsus Orthopedi

Menurut Mansjoer dan menurut Appley Solomon fraktur diklasifikasikan

menjadi:

a. Berdasarkan garis patah tulang

i. Greenstick, yaitu fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi

lainnya bengkok.

ii. Transversal, yaitu fraktur yang memotong lurus pada tulang.

iii. Spiral, yaitu fraktur yang mengelilingi tungkai/lengan tulang.

iv. Obliq, yaitu fraktur yang garis patahnya miring membentuk

sudut melintasi tulang

b. Berdasarkan bentuk patah tulang

i. Complete, yaitu garis fraktur menyilang atau memotong

seluruh tulang dan fragmen tulang biasanya tergeser.

ii. Incomplet, meliputi hanya sebagian retakan pada sebelah sisi

tulang.

iii. Fraktur kompresi, yaitu fraktur dimana tulang terdorong ke

arah permukaan tulang lain.

iv. Avulsi, yaitu fragmen tulang tertarik oleh ligamen.

v. Communited (Segmental), fraktur dimana tulang terpecah

menjadi beberapa bagian.

vi. Simple, fraktur dimana tulang patah dan kulit utuh.

vii. Fraktur dengan perubahan posisi, yaitu ujung tulang yang patah

berjauhan dari tempat yang patah.

viii. Fraktur tanpa perubahan posisi, yaitu tulang patah, posisi

pada tempatnya yang normal.

ix. Fraktur Complikata, yaitu tulang yang patah menusuk kulit dan

tulang terlihat.

16

Page 17: Lapsus Orthopedi

IV. Etiologi5-7

17

Page 18: Lapsus Orthopedi

Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana

trauma tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang.  2 faktor

mempengaruhi terjadinya fraktur

a. Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai

tulang, arah dan kekuatan trauma.

b. Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma,

kelenturan, kekuatan, dan densitas tulang.

Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis fraktur

transversal dan kerusakan jaringan lunak. Benturan yang lebih keras

disertai dengan penghimpitan tulang akan  mengakibatkan garis fraktur

kominutif diikuti dengan kerusakan jaringan lunak yang lebih luas.

Trauma tidak langsung mengakibatkan  fraktur terletak jauh dari

titik trauma dan jaringan sekitar fraktur tidak mengalami kerusakan berat.

Pada olahragawan, penari dan tentara  dapat pula terjadi fraktur pada tibia,

fibula atau  metatarsal yang disebabkan oleh karena trauma yang berulang.

Selain trauma, adanya proses patologi pada tulang seperti tumor

atau pada penyakit paget dengan energi  yang minimal saja akan

mengakibatkan fraktur. Sedang pada orang normal hal tersebut belum

tentu menimbulkan  fraktur.

V. Patofisiologi Fraktur,10,11

18

Page 19: Lapsus Orthopedi

Trauma yang terjadi pada tulang dapat menyebabkan seseorang

mempunyai keterbatasan gerak dan ketidakseimbangan berat badan.

Fraktur yang terjadi dapat berupa fraktur tertutup ataupun fraktur terbuka.

Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak disekitarnya

sedangkan fraktur terbuka biasanya disertai kerusakan jarigan lunak seperti

otot, tendon, ligamen, dan pembuluh darah.

Tekanan yang kuat atau berlebihan dapat mengakibatkan fraktur

terbuka karena dapat menyebabkan fragmen tulang keluar menembus kulit

sehingga akan menjadikan lesi terbuka dan akan menyebabkan peradangan

dan memungkinkan untuk terjadinya infeksi. Keluarnya darah dari lesi

terbuka dapat mempercepat pertumbuhan bakteri. Tertariknya segmen

tulang disebabkan karena adanya kejang otot pada daerah fraktur

menyebabkan disposisi pada tulang, sebab tulang berada pada posisi yang

kaku.

VI. Manifestasi Klinis6,9,10,11

Menurut Blach (1989) manifestasi klinik fraktur adalah :

a. Nyeri

Nyeri kontinue/terus-menerus dan meningkat semakin berat sampai

fragmen tulang tidak bisa digerakkan.

b. Gangguan fungsi

Setelah terjadi fraktur ada bagian yang tidak dapat digunakan dan

cenderung menunjukkan pergerakan abnormal, ekstremitas tidak

berfungsi secara teratur karena fungsi normal otot tergantung pada

integritas tulang yang mana tulang tersebut saling berdekatan.

19

Page 20: Lapsus Orthopedi

c. Deformitas/kelainan bentuk

Perubahan tulang pada fragmen disebabkan oleh deformitas tulang

yang diketahui ketika dibandingkan dengan daerah yang tidak lesi.

d. Pemendekan

Pada fraktur tulang panjang terjadi pemendekan yang nyata pada

ekstremitas yang disebabkan oleh kontraksi otot yang berdempet di

atas dan di bawah lokasi fraktur.

e. Krepitasi

Suara derik tulang yang dapat didengar atau dirasakan ketika fraktur

digerakkan.

f. Bengkak dan perubahan warna

Hal ini disebabkan oleh trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

VII. Klasifikasi Fraktur Tibia Fibula

Klasifikasi fraktur pada tibia dan fibula:

a. Fraktur proksimal tibia

b. Fraktur diafisis

c. Fraktur dan dislokasi pada  pergelangan kaki

Fraktur Proksimal Tibia

a. Fraktur Infrakondilus Tibia

Fraktur Infrakondilus tibia terjadi sebagai akibat pukulan pada

tungkai pasien yang mematahkan tibia dan fibula sejauh 5cm di bawah

lutut. Walaupun tungkai bawah dapat membengkak dalam segala arah,

namun biasanya terjadi pergeseran lateral ringan dan tidak ada

tumpang tindih atau rotasi. Fraktur tidak masuk ke dalam lututnya.

Dapat dirawat dengan gips tungkai panjang, sama seperti fraktur pada

tibia lebih distal. Jika fragmen tergeser, dapat dilakukan manipulasi ke

dalam posisinya dan gunakan gips tungkai panjang selama 6 minggu.

Kemudian dapat dilepaskan dan diberdirikan denganmenggunakan

tongkat untuk menahan berat badan.

b. Fraktur Berbentuk T

20

Page 21: Lapsus Orthopedi

Terjadi karena terjatuh dari tempat yang tinggi, menggerakkan

korpus tibia ke atas diantara kondilus femur, dan mencederai jaringan

lunak pada lutut dengan hebat. Kondilus tibia dapat terpisah, sehingga

korpus tibia tergeser diantaranya. Traksi tibia distal sering dapat

mereduksi fraktur ini secara adekuat.

c. Fraktur Kondilus Tibia(bumper fracture)

Fraktur kondilus lateralis terjadi karena adanya trauma abduksi

terhadap femur dimana kaki terfiksasi pada dasar. Fraktur ini biasanya

terjadi akibat tabrakan pada sisi luar kulit oleh bumper mobil, yang

menimbulkan fraktur pada salah satu kondilus tibia, biasannya sisi

lateral.

d. Fraktur Kominutiva Tibia Atas

Pada fraktur kominutiva tibia atas biasanya fragmen

dipertahankan oleh bagian periosteum yang intak. Dapat direduksi

dengan traksi yang kuat, kemudian merawatnya dengan traksi tibia

distal.

Fraktur Diafisis

Fraktur diafisis tibia dan fibula lebih sering ditemukan bersama-sama.

Fraktur dapat juga terjadi hanya pada tibia atau fibula saja. Fraktur diafisis

tibia dan fibula terjadi karena adanya trauma angulasi yang akan

menimbulkan fraktur tipe transversal atau oblik pendek, sedangkan trauma

rotasi akan menimbulkan trauma tipe spiral. Fraktur jenis ini dapat

diklasifikasikan menjadi:

a. Fraktur Tertutup Korpus Tibia pada Orang Dewasa

Dua jenis cedera dapat mematahkan tibia dewasa tanpa mematahkan

fibula:

i. Jika tungkai mendapat benturan dari samping, dapat mematahkan

secara transversal atau oblik, meninggalkan fibula dalam keadaan

intak, sehingga dapat membidai fragmen, dan pergeseran akan

21

Page 22: Lapsus Orthopedi

sangat terbatas.

ii. Kombinasi kompresi dan twisting dapat menyebabkan fraktur oblik

spiral hampir tanpa pergeseran dan cedera jaringan lunak yang

sangat terbatas.

Fraktur jenis ini biasanya menyembuh dengan cepat. Jika

pergeseran minimal, tinggalkan fragmen sebagaimana adanya. Jika

pergeseran signifikan, lakukan anestesi dan reduksikan.

b. Fraktur Tertutup Korpus Tibia pada Anak-anak

Pada bayi dan anak-anak yang muda, fraktur besifat spiral pada

tibia dengan fibula yang intak. Pada umur 3-6 tahun, biasanya terjadi

stress torsional pada tibia bagian medial yang akan menimbulkan

fraktur green stick pada metafisis atau diafisis proksimaldengan fibula

yang intak. Pada umur 5-10 tahun, fraktur biasanya bersifat

transversaldengan atau tanpa fraktur fibula.

c. Fraktur Tertutup Pada Korpus Fibula

Gaya yang diarahkan pada sisi luar tungkai pasien dapat

mematahkan fibula secara transversal. Tibianya dapat tetap dalam

keadaan intak, sehingga tidak terjadi pergeseran atau hanya sedikit

pergeseran ke samping. Biasanya pasien masih dapat berdiri. Otot-otot

tungkai menutupi tempat fraktur, sehingga memerlukan sinar-X untuk

mengkonfirmasikan diagnosis. Tidak diperlukan reduksi, pembidaian,

dan perlindungan, karena itu asalkan persendian lutut normal, biarkan

pasien berjalan segera setelah cedera jaringan lunak memungkinkan.

Penderita cukup diberi analgetika dan istirahat dengan tungkai tinggi

sampai hematom diresorbsi.

d. Fraktur Tertutup pada Tibia dan Fibula

Pada fraktur ini tungkai pasien terpelintir, dan mematahkan

kedua tulang pada tungkai bawah secara oblik, biasanya pada sepertiga

bawah. Fragmen bergeser ke arah lateral, bertumpang tindih, dan

berotasi. Jika tibia dan fibula fraktur, yang diperhatikan adalah reposisi

tibia. Angulasi dan rotasi yang paling ringan sekalipun dapat mudah

22

Page 23: Lapsus Orthopedi

terlihat dan dikoreksi. Perawatan tergantung pada apakah terdapat

pemendekan. Jika terdapat pemendekan yang jelas, maka traksi

kalkaneus selama seminggu dapat mereduksikannya. Pemendekan

kurang dari satu sentimeter tidak menjadi masalah karena akan

dikompensasi pada waktu pasien sudah mulai berjalan. Sekalipun

demikian, pemendekan sebaiknya dihindari.

VIII. Diagnosis6,7

a. Riwayat

Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera

(posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan

cedera tersebut. riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial

ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat

alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.

b. Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi / Look

Deformitas :  angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan,  bengkak

Pada fraktur terbuka : klasifikasi Gustilo

b. Palpasi / Feel  ( nyeri tekan (tenderness), Krepitasi)

Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa.

Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut,

meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang

mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi. Neurovaskularisasi bagian distal

fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit, pengembalian cairan

kapler (Capillary refill test) sensasi

c. Gerakan / Moving

Dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi yang

berdekatan dengan lokasi fraktur.

Pemeriksaan trauma di tempat lain  : kepala, toraks, abdomen, pelvis.

Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal

dilakukan menurut protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai

23

Page 24: Lapsus Orthopedi

airway, breathing, dan circulation. Perlindungan pada vertebra

dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan dengan

pemeriksaan klinis dan radiologis. Saat pasien stabil, maka dilakukan

secondary survey.

IX. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium :  darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah,

cross-test, dan urinalisa.

b. Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two, terdiri dari :

i. 2 gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral

ii. Memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur

iii. Memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang

cedera dan yang tidak terkena cedera (pada anak) ; dan dua

kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.

X. Penatalaksanaan6-11

Prinsip penatalaksanaan fraktur terdiri dari 4R yaitu recognition

berupa diagnosis dan penilaian fraktur, reduction, retention dengan

imobilisasi, dan rehabilitation yaitu mengembalikan aktifitas fungsional

semaksimal mungkin

Penatalaksanaan awal fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi

fraktur dengan splint. Status neurologis dan vaskuler di bagian distal harus

diperiksa baik sebelum maupun sesudah reposisi dan imobilisasi. Pada

pasien dengan multiple trauma, sebaiknya dilakukan stabilisasi awal

fraktur tulang panjang setelah hemodinamis pasien stabil. Sedangkan

penatalaksanaan definitif fraktur adalah dengan menggunakan gips atau

dilakukan operasi dengan ORIF maupun OREF.

Tujuan pengobatan fraktur :

a. REPOSISI dengan tujuan mengembalikan fragmen keposisi

anatomi. Tehnik reposisi terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka.

Reposisi tertutup dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau

traksi kulit dan skeletal. Cara lain yaitu dengan reposisi terbuka

yang dilakukan padapasien yang telah mengalami gagal reposisi

24

Page 25: Lapsus Orthopedi

tertutup, fragmen bergeser, mobilisasi dini, fraktur multiple, dan

fraktur patologis.

b. IMOBILISASI / FIKSASI dengan tujuan mempertahankan posisi

fragmen post reposisi sampai Union. Indikasi dilakukannya fiksasi

yaitu pada pemendekan (shortening), fraktur unstabel serta

kerusakan hebat pada kulit dan jaringan  sekitar

Jenis Fiksasi :

a. Ekternal / OREF (Open Reduction External Fixation)

i. Gips ( plester cast)

ii. Traksi

Jenis traksi :

Traksi Gravitasi :  U- Slab pada fraktur humerus

Skin traksi

Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga

fragmen akan kembali ke posisi semula. Beban maksimal

4-5 kg karena bila kelebihan kulit akan lepas.

Sekeletal traksi : K-wire, Steinmann pin atau Denham pin.

Traksi ini dipasang pada distal tuberositas tibia (trauma

sendi koksea, femur, lutut),  pada tibia atau kalkaneus

( fraktur kruris). Adapun komplikasi yang dapat terjadi

pada pemasangan traksi yaitu gangguan sirkulasi darah 

pada beban > 12 kg, trauma saraf peroneus (kruris) ,

sindroma kompartemen, infeksi tempat masuknya pin

25

Page 26: Lapsus Orthopedi

Indikasi OREF  :

a. Fraktur terbuka derajat III

b. Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas

c. fraktur dengan gangguan neurovaskuler

d. Fraktur Kominutif

e. Fraktur Pelvis

f. Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF

g. Non Union

h. Trauma multiple

b. Internal / ORIF (Open Reduction Internal Fixation)

ORIF ini dapat menggunakan K-wire, plating, screw, k-nail.

Keuntungan cara ini adalah reposisi anatomis dan mobilisasi dini

tanpa fiksasi luar.

Indikasi ORIF :

i. Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis

tinggi, misalnya fraktur talus dan fraktur collum femur.

ii. Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya fraktur

avulse dan fraktur dislokasi.

iii. Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan.

Misalnya fraktur Monteggia, fraktur Galeazzi, fraktur

antebrachii, dan fraktur pergelangan kaki.

26

Page 27: Lapsus Orthopedi

iv. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang

lebih baik dengan operasi, misalnya : fraktur femur.

XI. Komplikasi Fraktur6,10,11

Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri  atau akibat

penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik.

a. Komplikasi umum

Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati

diffus dan gangguan fungsi pernafasan.

Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam

pertama pasca trauma dan setelah beberapa hari atau minggu akan

terjadi gangguan metabolisme, berupa peningkatan katabolisme.

Komplikasi umum lain dapat berupa emboli lemak, trombosis vena

dalam (DVT), tetanus atau gas gangren.

b. Komplikasi Lokal          

Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca

trauma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca

trauma disebut komplikasi lanjut.

Komplikasi dini

i. Pada Tulang

Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.

27

Page 28: Lapsus Orthopedi

Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau

tindakan operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat

menimbulkan delayed union atau bahkan non union

Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang

sering terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang

melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan

berakhir dengan degenerasi

ii. Pada Jaringan lunak

Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi

kulit superfisial karena edema. Terapinya adalah dengan

menutup kasa steril kering dan melakukan pemasangan

elastic

Dekubitus.. terjadi akibat penekanan jaringan lunak

tulang oleh gips. Oleh karena itu perlu diberikan

bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjo

iii. Pada Otot

Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot

tersebut terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek

melekat pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang.

Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup

lama akan menimbulkan sindroma crush atau thrombus.

iv. Pada  pembuluh darah

Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus

menerus. Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh

darah mengalami retraksi dan perdarahan berhenti spontan. Pada

jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis.

Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat

menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga

dapat menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh darah

tersebut terlepas dan terjadi trombus. Pada kompresi arteri yang

lama seperti pemasangan torniquet dapat terjadi sindrome crush.

28

Page 29: Lapsus Orthopedi

Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen

otot pada tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi

penekanan neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini disebut Iskhemi

Volkmann. Ini dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu

ketat sehingga dapat menggangu aliran darah dan terjadi edema

dalam otot.

Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan

dapat menimbulkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan

diganti dengan jaringan fibrus yang secara periahan-lahan menjadi

pendek dan disebut dengan kontraktur volkmann.  Gejala klinisnya

adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness

(denyut nadi hilang) dan Paralisis

v. Pada saraf

Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus),

aksonometsis (kerusakan akson). Setiap trauma terbuka dilakukan

eksplorasi dan identifikasi nervus.

Komplikasi lanjut

Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada

pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan

atau perpanjangan.

i. Delayed union

Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara

normal. Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan

sklerosis pada ujung-ujung fraktur,

Terapi  konservatif selama 6 bulan  bila  gagal dilakukan 

Osteotomi. Bila lebih 20 minggu  dilakukan cancellus grafting  (12-

16 minggu)

ii. Non union

Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.

Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses

penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan

29

Page 30: Lapsus Orthopedi

fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union dengan

melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.

Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu

(pseudoartrosis) terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi

beserta rongga sinovial yang berisi cairan, proses union tidak akan

dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama.

Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi

periosteum yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen

fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai, implant atau gips

yang tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit

tulang (fraktur patologis).

iii. Mal  union

Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan

deformitas.  Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi .

iv. Osteomielitis

Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau

tindakan operasi pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan

delayed union sampai non union (infected non union). Imobilisasi

anggota gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan

terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan atropi otot

v. Kekakuan sendi

Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan

imobilisasi lama, sehingga terjadi perlengketan peri artikuler,

perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon.

Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan

melakukan latihan aktif dan pasif pada sendi. Pembebasan

periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada penderita

dengan kekakuan sendi menetap.

30

Page 31: Lapsus Orthopedi

BAB III

KESIMPULAN

Berdasrkan anamnesia didapatkan laki-laki umur 48 tahun datang dengan

keluhan nyeri pada tungkai kanan bawah dan tidak dapat digerakkan setelah jatuh

dari motor ± 1 jam sebelum masuk IGD rumah sakit. Beberapa hari setelah

dirawat di bangsal rumah sakit, pasien dilakukan fiksasi interna (ORIF). Primary

31

Page 32: Lapsus Orthopedi

survey tidak didapatkan kelainan. Secondary survey regio cruris dekstra

didapatkan ekskoriasi (+), oedem (+), nyeri tekan setempat (+), sensibilitas (+),

suhu rabaan hangat, gerakan aktif dan pasif terhambat karena nyeri, tampak

gerakan terbatas (+), keterbatasan pergelangan sendi- sendi distal (karena terasa

nyeri saat digerakkan).

Berdasarkan anamnesa, primary survey, secondary survey, pemeriksaan

penunjang didapatkan diagnosa Post ORIF os tibia fibula 1/3 distal dextra.

DAFTAR PUSTAKA

1. http://journals.lww.com/jtrauma/Abstract/2003/07000/

Number,_Incidence,_and_Projections_of_Distal.14.aspx,,insidence

32

Page 33: Lapsus Orthopedi

2. Frank J, Paul D, John, H. Forearm Fraktur. 5 Minute Orthopedic

Consul, 2nd Edition. 2007; 1-9

3. Berquist H. Thomas. Elbow/Forearm. Muskuloskeletal Imaging

Companion, 2nd Edition. 2007; 1-54.

4. Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi: konsep

klinis proses-proses penyakit, volume 2. Jakarta: EGC.

5. Depkes RI. 2009. Prevalensi fraktur yang disebabkan karena cedera.

Jakarta

6. Apley, A.Graham. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem APLEY.

Ed.7. Jakarta : Widya Medika.1995

7. Bagian Bedah Staf Pengajar Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.

Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa Aksara.1995.

8. Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta : PT.

Yarsif Watampone. 2007

9. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2.

Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.2004.

10. Schwartz, Shires, Spencer. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6.

Jakarta : EGC.2000.

11. Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah bagian 2. Jakarta: EGC 1994.

33