Lapsus Orthopedi
-
Upload
oktavia-candra-utami -
Category
Documents
-
view
39 -
download
2
description
Transcript of Lapsus Orthopedi
BAB I
PENDAHULUAN
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang
rawan umumnya di karenakan rudapaksa. Dikehidupan sehari hari yang semakin
padat dengan aktifitas masing- masing manusia dan untuk mengejar
perkembangan zaman, manusia tidak akan lepas dari fungsi normal
musculoskeletal terutama tulang yang menjadi alat gerak utama bagi manusia,
tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagian tubuh dan tempat
untuk melekatnya otot- otot yang menggerakan kerangka tubuh. Tetapi, dari ulah
manusia itu sendiri, fungsi tulang dapat terganggu karena mengalami fraktur.
Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut
dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.1
Fraktur Cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibula
yang biasanya terjadi pada bagian proksimal, diafisis, atau persendian pergelangan
kaki. Pada beberapa rumah sakit kejadien fraktur cruris biasanya banyak terjadi
oleh karena itu peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan trauma
musculoskeletal pada fraktur cruris akan semakin besar sehingga di perlukan
pengetahuan mengenai anatomi, fisiologi, dan patofisiologi tulang normal dan
kelainan yang terjadi pada pasien dengan fraktur cruris.2
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat di tahun 2011 terdapat lebih dari
5,6 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 1.3 juta
orang mengalami kecacatan fisik. Salah satu insiden kecelakaan yang memiliki
prevalensi cukup tinggi yaitu insiden fraktur ekstrimitas bawah sekitar 40% dari
insiden kecelakaan yang terjadi.3,4,5
Kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja merupakan suatu keadaan yang
tidak di inginkan yang terjadi pada semua usia dan secara mendadak. Angka
kejadian kecelakaan lalu lintas di kota Semarang sepanjang tahun 2011 mencapai
217 kasus, dengan korban meninggal 28 orang, luka berat 40 orang, dan luka
ringan sejumlah 480 orang.
1
Berbagai penyebab fraktur diantaranya cidera atau benturan, faktor
patologik, dan yang lainnya karena faktor beban. Selain itu fraktur akan
bertambah dengan adanya komplikasi yang berlanjut diantaranya syok, sindrom
emboli lemak, sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi, dan avaskuler
nekrosis. Komplikasi lain dalam waktu yang lama akan terjadi mal union, delayed
union, non union atau bahkan perdarahan. Berbagai tindakan bisa dilakukan di
antaranya rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi. Meskipun demikian
masalah pasien fraktur tidak bisa berhenti sampai itu saja dan akan berlanjut
sampai tindakan setelah atau post operasi.
2
BAB II
KASUS
I. Identitas
Nama :Tn. W
Umur :48 tahun
Jenis kelamin :Laki- laki
Agama :Islam
No. RM :451347
Tanggal masuk :23 Juni 2014
II. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 28 Juni 2014
pada pukul 11.00 WIB di ruang Dahlia 2 RSUD Tugurejo Semarang.
a. Keluhan utama
Nyeri pada pergelangan kaki.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Sekitar satu jam sebelum masuk IGD rumah sakit, pasien
mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien mengendarai motor
seorang diri dengan kecepatan 60 km/ jam tertabrak mobil. Pasien
jatuh, tergulung- gulung kearah kanan. Nyeri dirasakan pada
tungkai kanan bawah. Terdapat luka pada kaki kanan. Benturan
pada kepala tidak ada. Pasien mengenakan helm dan jaket. Saat
jatuh helm pasien terlepas. Pasien tidak pingsan, pusing, mual,
muntah, dan tidak sesak napas. Minum minuman keras sebelumnya
disangkal. Saat datang ke rumah sakit, pasien belum mendapatkan
tata laksana apapun.
Setelah dilakukan penanganan awal dan fiksasi eksterna,
pada pukul 11.05 pasien dirawat di ruang Amarilis I. Pasien
menjalani operasi regio cruris pada tanggal 26 Juni 2014. Selesai
operasi, pasien di rawat di ruang Dahlia 2.
3
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit hipertensi, jantung, nyeri dada, asma, dan alergi,
disangkal.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga, penyakit jantung,
hipertensi, asma, dan alergi disangkal.
e. Riwayat Sosial Ekonomi
Biaya pengobatan ditanggung PT. Indoofood Fritolay Makmur.
Kesan: cukup
III. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pukul 11.30 WIB di ruang Dahlia 2 RSUD
Tugurejo Semarang.
a. Primary survey
i. Airway :
Obstruksi jalan nafas : (-)
Patensi cervical : paten
Suara nafas tambahan : stridor (-), gargling (-)
Kesan : dalam batas normal
ii. Breathing :
Look
Gerakan dada : (+) simetris, tidak ada napas
yang tertinggal
Frekuansi nafas : 22 kali/ menit, regular
Nafas cuping hidung : (-)
Retraksi suprasternal: (-)
Retraksi intercostals : (-)
Retraksi subcostal : (-)
Listen: Suara nafas tambahan: Ronki (-), wheezing (-).
Feel: Hembusan nafas : (+) thoraco abdominal teratur.
Kesan : dalam batas normal
iii. Circulation
4
TD : 110/ 80 mmHg
Nadi : 90 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
Capilary refill : Ektremitas atas <2 detik/ <2 detik
Ekstremitas bawah <2 detik / <2 detik
Kesan : sirkulasi stabil
iv. Disability
Kesadaran: Compos mentis, GCS (E4M6V5)
Pupil : Ø 3 mm, bulat, sentral, isokor,
reflek direct (+/+), reflek indirect (+/+)
v. Exposure
Terdapat pembengkakan pada pergelanan kaki kanan dan
ada luka lecet di kaki kanan.
b. Secondary survey
i. Keadaan umum : baik, cooperative
ii. Kesadaran : compos mentis, GCS 15 (E4M6V5)
iii. Vital sign
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 90x/menit isi dan tegangan
Respiratory rate : 24 x/menit, teratur thoracoabdominal
Suhu : 36,7˚C aksila
iv. Status gizi
Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 160 cm
BMI : 21,48
Kesan : gizi baik
v. Status interna
Kepala: mesocepal, jejas (-)
Mata : konjungtiva anemis (-/-), ikterik (-/-),Ø 3
mm, bulat, sentral, isokor, reflek direct (+/+), reflek
indirect (+/+), hematoma (+/-)
5
Hidung: napas cuping (-/-), deformitas (-/-), lesi (-/-),
darah (-/-)
Telinga : serumen (-/-), lesi (-/-), darah (-/-),
deformitas (-/-), battle sign (-/-), otore (-)
Mulut : sianosis (-),darah (-), hematom (-), jejas (-),
lesi (-), floating palatum (-), miss dental (-), dislokasi
Temporal Mandibula Joint (-)
Leher : pembesaran tiroid (-), deviasi trakea (-),
lesi (-)
Thoraks
Pulmo
Paru depan Paru belakang
Inspeksi
Statis
Dinamis
Jejas (-)
Flail chest (-)
ICS melebar (-)
Tidak ada napas
yang tertinggal
Jejas (-)
Flail chest (-)
ICS melebar (-)
Tidak ada napas yang
tertinggal
Palpasi Simetris (+/+),
Nyeri tekan (-/-),
ICS tidak melebar ,
taktil fremitus
simetris.
Simetris (+/+),
Nyeri tekan (-/-),
ICS tidak
melebar , taktil
fremitus simetris.
Perkusi
Kanan
Kiri
Sonor di semua
lapangan thorax
Sonor di semua
lapangan thorax
Sonor di semua
lapangan thorax
Sonor di semua
lapangan thorax
Auskultasi Suara dasar Suara dasar,
6
vesicular
Ronki (-/-),
Wheezing (-/-)
Ronki (/) Wheezing (/)
Cor
a. Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
b. Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS IV 1-2 cm
ke arah medial linea midclavikula sinistra, thrill
(-), pulsus epigastrium (-), pulsus parasternal (-),
sternal lift(-)
c. Perkusi :
Batas atas jantung : ICS II parasternalis
sinistra
Batas pinggang jantung : ICS III parasternalis
sinistra
Batas kanan bawah jantung : ICS V
sternalis dextra
Batas kiri bawah jantung : ICS IV 1-2
cm ke arah medial midclavicula kiri
Konfigurasi jantung (dalam batas normal)
d. Auskultasi :
Suara jantung murni: SI, SII (normal) reguler
Suara jantung tambahan gallop (-), murmur (-)
SIII (-), SIV (-)
Abdomen
Inspeksi : Permukaan datar, warna sama seperti kulit
sekitar, lesi (-), jejas (-), hematome (-)
Auskultasi: Bising usus (15 x/ menit)
Perkusi: Timpani seluruh lapang abdomen, pekak sisi (-)
7
Palpasi : Nyeri tekan seluruh lapang perut (-), rigitas (-),
defance muscular (-), pembesaran hepar (-), pembesaran
lien (-)
Pelvis : Deformitas (-), hematom (-), jejas (-), nyeri tekan
(-), luka terbuka (-)
Ekstremitas
o Superior (kanan dan kiri)
Kanan : Akral hangat, edema tidak ada,
kapiler refil < 2 detik
Kiri : Akral hangat, edema tidak ada,
kapiler refil < 2 detik
o Inferior
Kanan: Akral hangat, edema tidak ada,
kapiler refil < 2 detik, arteri dorsalis pedis
teraba kuat dan simetris kanan maupun kiri.
Kiri: Akral hangat, edema tidak ada, kapiler
refil < 2 detik.
Status Lokalis
Status Lokalis Regio cruris dextra
o Look : Ekskoriasi (+), oedem (+), hematoma (+), tak tampak
8
sianosis pada bagian distal lesi.
o Feel : Nyeri tekan setempat (+), sensibilitas (+), suhu rabaan
hangat, kapiler refil < 2 detik (normal), arteri dorsalis pedis
teraba kuat dan simetris kanan maupun kiri.
Panjang anatomis:80 cm/ 80 cm
Panjang klinis 78 cm/ 78 cm
o Move : Gerakan aktif dan pasif terhambat, gerakan abduksi
tungkai kanan terhambat, gerakan adduksi tungkai kanan
terhambat, sakit bila digerakkan, gangguan persarafan tidak
ada, tampak gerakan terbatas (+), keterbatasan pergerakan
sendi-sendi distal (karena terasa nyeri saat digerakkan)
IV. Pemeriksaan penunjang
Darah rutin
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Darah Rutin
Leukosit 5.83 3.8 - 10.6
Eritrosit 3.94 4.4 - 5.9
Hemoglobin 11.70 13.2 - 17.3
Hematocrit 34.10 40 - 52
MCV 86.50 80 - 100
MCH 29.70 26 - 34
MCHC 34.30 32 - 36
RDW 11.8 11.5 - 14.5
Diff Count
Eosinifil Absolute 0.06 0.045 - 0.44
Basofil Absolute 0.01 0 – 0.2
Netrofil Absolute 5.38 1.8 - 8
Limfosit Absolute 0.24 0.9 - 5.2
Monosit Absolute 0.14 0.16 - 1
Eosinofil 1.00 2 - 4
9
Basofil 0.20 0 - 1
Neutrofil 92.30 50 - 70
Limfosit 4.10 25 - 40
Monosit 2.40 2 - 8
Foto AP dan lateral
V. Diagnosis
a. Diagnosis klinis : Post ORIF os tibia fibula 1/3 distal dextra
non komplikata
b. Diagnosis radioligis : Post ORIF os tibia fibula 1/3 distal dextra
VI. Tatalaksana
a. Ip. Diagnosis
i. Subjektif : -
ii. Objektif : -
b. Ip. Terapi
Terapi medika mentosa:
10
i. Terapi injeksi: Infus RL 20 tpm
ii. Anti-inflamasi, analgetik dan antipiretik: Xevolac 10 mg
3 x 1 ampul
iii.Anti infeksi kulit dan jaringan lunak : Fosular 1 gr vial 2 x 1
iv. Anti tukak: ranitidine 2 mg 1x1 ampul
Terapi non medikamentoosa:
i. Pembersihan luka (wound toilet)
c. Ip. Monitoring
i. KU, TV
ii. Monitoring efek samping antibiotic
iii.Komplikasi dini: compartement syndrome, perdarahan,
infeksi.
iv. Monitoring fiksasi (ORIF)
v. Monitoring luka: infeksi sekunder (pus, nekrosis)
d. Ip. Edukasi
i. Menjelaskan keadaan pasien
ii. Menjelaskan cara perawatan luka
iii.Menjelaskan cara relaksasi untuk mengurangi rasa nyeri
VII. Prognosis
a. Qua ad vitam : dubia ad bonam
b. Qua ad sanam : dubia ad bonam
c. Qua ad fungsionam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
11
I. Anatomi5-7
Os tibia merupakan os longum yang terletak di sisi medial region
cruris. Ini merupakan tulang terpanjang kedua setelah os femur. Tulang ini
terbentang ke proksimal untuk membentuk articulation genu dan ke distal
terlihat semakin mengecil.
Os fibula atau calf bone terletak sebelah lateral dan lebih kecil dari
tibia. Extremitas proximalis fibula terletak agak posterior dari caput tibia,
dibawah articulation genus dan tulang ini tidak ikut membentuk
articulation genus.
Fascia cruris merupakan tempat perleketan musculus dan bersatu
dengan perosteum. Ke proximal akan melanjutkan diri ke fascia lata, dan
akan melekat di sekitar articulation genus ke os patella, ligamentum
patellae, tuberositas tibiae dan capitulum fibulae. Ke posterior membentuk
fascis poplitea yang menutupi fossa poplitea. Disini tersusun oleh serabut-
serabut transversal yang ditembus oleh vena saphena parva. Fascia ini
menerima serabut-serabut tendo m.biceps femoris femoris disebelah lateral
dan tendo m. Sartorius, m.gracilis, m.semitendinosus, dan
m.semimembranosus disebelah medial. Ke anterior, fascia ini bersatu
dengan perosteum tibia serta perostenium capitulum fibulae dan malleolus
fibulae. Ke distal, faascia ini melanjutkan diri ke raetinaculum
mm.extensorum superior dan retinaculum mm. flexorum. Fascia ini
menjadi tebal dan kuat dibagian proximal dan anterior cruris, untuk
perlekatan m.tibialis anterior dan m.extensor digitorum longus. Tetapi,
fascia ini tipis dibagian posterior yang menutupi m.gastrocnemeus dan
m.soleus. disisi lateral cruris, fascia ini membentuk septum intermusculare
anterius dan septum intermusculare posterius. Musculus di region cruris
dibedakan menjadi tiga kelompok. Yaitu (a) kelompok anterior, (b)
kelompok posterior dan (c) kelompo lateralis.
a. Musculus di region anterior
M. tibialis anterior
12
M. extensor hallucis longus
M. extensor digitorum longus dan m.peroneus tertius
b. Musculus regio cruris posterior kelompok superficialis
M. gastrocnemius
M. soleus
M. plantaris
c. Musculus regio cruris posterior kelompok profunda
M. popliteus
M. flexor hallucis longus
M. flexor digitorum longsu
M. tibialis posterior
d. Musculus region cruris lateralis
M. peroneus longus
M. peroneus brevis
13
II. Definisi Fraktur5,6
Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang
atau tulang rawan bisa komplet atau inkomplet atau diskontinuitas tulang
yang disebabkan oleh gaya yang melebihi elastisitas tulang.
III. Klasifikasi5-11
Fraktur menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang
dengan dunia luar dibagi menjadi dua, yaitu fraktur tertutup dan fraktur
terbuka. Fraktur tertutup jika kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh,
tetapi apabila kulit diatasnya tertembus maka disebut fraktur terbuka.
Patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat
ringannya lesi dan berta ringannya patah tulang.
Deraja
t
Lesi Fraktur
14
I Laserasi <2 cm Sederhana, dislokasi fragmen
minimal
II Laserasi >2 cm, kontusi otot
disekitarnya
Dislokasi fragmen jelas
III Lesi lebar, rusak hebat, atau
hilangnya jaringan di
sekitarnya
Kominutif, segmental,
fragmen tulang ada yang
hilang
Klasifikasi Fraktur terbuka menurut Gustillo dan Anderson ( 1976 )
Tip
e
Batasan
I Lesi bersih dengan panjang lesi < 1 cm
II Panjang lesi > 1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang berat
III Kerusakan jaringan lunak yang berat dan luas, fraktur segmental
terbuka, trauma amputasi, lesi tembak dengan kecepatan tinggi,
fraktur terbuka di pertanian, fraktur yang perlu repair vaskuler dan
fraktur yang lebih dari 8 jam setelah kejadian.
Klasifikasi lanjut fraktur terbuka tipe III (Gustillo dan Anderson,
1976) oleh Gustillo, Mendoza dan Williams (1984):
Tipe Batasan
IIIA Periosteum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan
jaringan lunak yang luas
IIIB Kehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi berat,
periosteal striping atau terjadi bone expose
IIIC Disertai kerusakan arteri yang memerlesin repair tanpa melihat
tingkat kerusakan jaringan lunak.
Menurut hubungan dengan jaringan ikat sekitarnya
a. Fraktur Simple : fraktur tertutup
b. Fraktur Terbuka : bone expose
c. Fraktur Komplikasi : kerusakan pembuluh darah, saraf, organ sekitar
15
Menurut Mansjoer dan menurut Appley Solomon fraktur diklasifikasikan
menjadi:
a. Berdasarkan garis patah tulang
i. Greenstick, yaitu fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi
lainnya bengkok.
ii. Transversal, yaitu fraktur yang memotong lurus pada tulang.
iii. Spiral, yaitu fraktur yang mengelilingi tungkai/lengan tulang.
iv. Obliq, yaitu fraktur yang garis patahnya miring membentuk
sudut melintasi tulang
b. Berdasarkan bentuk patah tulang
i. Complete, yaitu garis fraktur menyilang atau memotong
seluruh tulang dan fragmen tulang biasanya tergeser.
ii. Incomplet, meliputi hanya sebagian retakan pada sebelah sisi
tulang.
iii. Fraktur kompresi, yaitu fraktur dimana tulang terdorong ke
arah permukaan tulang lain.
iv. Avulsi, yaitu fragmen tulang tertarik oleh ligamen.
v. Communited (Segmental), fraktur dimana tulang terpecah
menjadi beberapa bagian.
vi. Simple, fraktur dimana tulang patah dan kulit utuh.
vii. Fraktur dengan perubahan posisi, yaitu ujung tulang yang patah
berjauhan dari tempat yang patah.
viii. Fraktur tanpa perubahan posisi, yaitu tulang patah, posisi
pada tempatnya yang normal.
ix. Fraktur Complikata, yaitu tulang yang patah menusuk kulit dan
tulang terlihat.
16
IV. Etiologi5-7
17
Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana
trauma tersebut kekuatannya melebihi kekuatan tulang. 2 faktor
mempengaruhi terjadinya fraktur
a. Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai
tulang, arah dan kekuatan trauma.
b. Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma,
kelenturan, kekuatan, dan densitas tulang.
Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis fraktur
transversal dan kerusakan jaringan lunak. Benturan yang lebih keras
disertai dengan penghimpitan tulang akan mengakibatkan garis fraktur
kominutif diikuti dengan kerusakan jaringan lunak yang lebih luas.
Trauma tidak langsung mengakibatkan fraktur terletak jauh dari
titik trauma dan jaringan sekitar fraktur tidak mengalami kerusakan berat.
Pada olahragawan, penari dan tentara dapat pula terjadi fraktur pada tibia,
fibula atau metatarsal yang disebabkan oleh karena trauma yang berulang.
Selain trauma, adanya proses patologi pada tulang seperti tumor
atau pada penyakit paget dengan energi yang minimal saja akan
mengakibatkan fraktur. Sedang pada orang normal hal tersebut belum
tentu menimbulkan fraktur.
V. Patofisiologi Fraktur,10,11
18
Trauma yang terjadi pada tulang dapat menyebabkan seseorang
mempunyai keterbatasan gerak dan ketidakseimbangan berat badan.
Fraktur yang terjadi dapat berupa fraktur tertutup ataupun fraktur terbuka.
Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak disekitarnya
sedangkan fraktur terbuka biasanya disertai kerusakan jarigan lunak seperti
otot, tendon, ligamen, dan pembuluh darah.
Tekanan yang kuat atau berlebihan dapat mengakibatkan fraktur
terbuka karena dapat menyebabkan fragmen tulang keluar menembus kulit
sehingga akan menjadikan lesi terbuka dan akan menyebabkan peradangan
dan memungkinkan untuk terjadinya infeksi. Keluarnya darah dari lesi
terbuka dapat mempercepat pertumbuhan bakteri. Tertariknya segmen
tulang disebabkan karena adanya kejang otot pada daerah fraktur
menyebabkan disposisi pada tulang, sebab tulang berada pada posisi yang
kaku.
VI. Manifestasi Klinis6,9,10,11
Menurut Blach (1989) manifestasi klinik fraktur adalah :
a. Nyeri
Nyeri kontinue/terus-menerus dan meningkat semakin berat sampai
fragmen tulang tidak bisa digerakkan.
b. Gangguan fungsi
Setelah terjadi fraktur ada bagian yang tidak dapat digunakan dan
cenderung menunjukkan pergerakan abnormal, ekstremitas tidak
berfungsi secara teratur karena fungsi normal otot tergantung pada
integritas tulang yang mana tulang tersebut saling berdekatan.
19
c. Deformitas/kelainan bentuk
Perubahan tulang pada fragmen disebabkan oleh deformitas tulang
yang diketahui ketika dibandingkan dengan daerah yang tidak lesi.
d. Pemendekan
Pada fraktur tulang panjang terjadi pemendekan yang nyata pada
ekstremitas yang disebabkan oleh kontraksi otot yang berdempet di
atas dan di bawah lokasi fraktur.
e. Krepitasi
Suara derik tulang yang dapat didengar atau dirasakan ketika fraktur
digerakkan.
f. Bengkak dan perubahan warna
Hal ini disebabkan oleh trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
VII. Klasifikasi Fraktur Tibia Fibula
Klasifikasi fraktur pada tibia dan fibula:
a. Fraktur proksimal tibia
b. Fraktur diafisis
c. Fraktur dan dislokasi pada pergelangan kaki
Fraktur Proksimal Tibia
a. Fraktur Infrakondilus Tibia
Fraktur Infrakondilus tibia terjadi sebagai akibat pukulan pada
tungkai pasien yang mematahkan tibia dan fibula sejauh 5cm di bawah
lutut. Walaupun tungkai bawah dapat membengkak dalam segala arah,
namun biasanya terjadi pergeseran lateral ringan dan tidak ada
tumpang tindih atau rotasi. Fraktur tidak masuk ke dalam lututnya.
Dapat dirawat dengan gips tungkai panjang, sama seperti fraktur pada
tibia lebih distal. Jika fragmen tergeser, dapat dilakukan manipulasi ke
dalam posisinya dan gunakan gips tungkai panjang selama 6 minggu.
Kemudian dapat dilepaskan dan diberdirikan denganmenggunakan
tongkat untuk menahan berat badan.
b. Fraktur Berbentuk T
20
Terjadi karena terjatuh dari tempat yang tinggi, menggerakkan
korpus tibia ke atas diantara kondilus femur, dan mencederai jaringan
lunak pada lutut dengan hebat. Kondilus tibia dapat terpisah, sehingga
korpus tibia tergeser diantaranya. Traksi tibia distal sering dapat
mereduksi fraktur ini secara adekuat.
c. Fraktur Kondilus Tibia(bumper fracture)
Fraktur kondilus lateralis terjadi karena adanya trauma abduksi
terhadap femur dimana kaki terfiksasi pada dasar. Fraktur ini biasanya
terjadi akibat tabrakan pada sisi luar kulit oleh bumper mobil, yang
menimbulkan fraktur pada salah satu kondilus tibia, biasannya sisi
lateral.
d. Fraktur Kominutiva Tibia Atas
Pada fraktur kominutiva tibia atas biasanya fragmen
dipertahankan oleh bagian periosteum yang intak. Dapat direduksi
dengan traksi yang kuat, kemudian merawatnya dengan traksi tibia
distal.
Fraktur Diafisis
Fraktur diafisis tibia dan fibula lebih sering ditemukan bersama-sama.
Fraktur dapat juga terjadi hanya pada tibia atau fibula saja. Fraktur diafisis
tibia dan fibula terjadi karena adanya trauma angulasi yang akan
menimbulkan fraktur tipe transversal atau oblik pendek, sedangkan trauma
rotasi akan menimbulkan trauma tipe spiral. Fraktur jenis ini dapat
diklasifikasikan menjadi:
a. Fraktur Tertutup Korpus Tibia pada Orang Dewasa
Dua jenis cedera dapat mematahkan tibia dewasa tanpa mematahkan
fibula:
i. Jika tungkai mendapat benturan dari samping, dapat mematahkan
secara transversal atau oblik, meninggalkan fibula dalam keadaan
intak, sehingga dapat membidai fragmen, dan pergeseran akan
21
sangat terbatas.
ii. Kombinasi kompresi dan twisting dapat menyebabkan fraktur oblik
spiral hampir tanpa pergeseran dan cedera jaringan lunak yang
sangat terbatas.
Fraktur jenis ini biasanya menyembuh dengan cepat. Jika
pergeseran minimal, tinggalkan fragmen sebagaimana adanya. Jika
pergeseran signifikan, lakukan anestesi dan reduksikan.
b. Fraktur Tertutup Korpus Tibia pada Anak-anak
Pada bayi dan anak-anak yang muda, fraktur besifat spiral pada
tibia dengan fibula yang intak. Pada umur 3-6 tahun, biasanya terjadi
stress torsional pada tibia bagian medial yang akan menimbulkan
fraktur green stick pada metafisis atau diafisis proksimaldengan fibula
yang intak. Pada umur 5-10 tahun, fraktur biasanya bersifat
transversaldengan atau tanpa fraktur fibula.
c. Fraktur Tertutup Pada Korpus Fibula
Gaya yang diarahkan pada sisi luar tungkai pasien dapat
mematahkan fibula secara transversal. Tibianya dapat tetap dalam
keadaan intak, sehingga tidak terjadi pergeseran atau hanya sedikit
pergeseran ke samping. Biasanya pasien masih dapat berdiri. Otot-otot
tungkai menutupi tempat fraktur, sehingga memerlukan sinar-X untuk
mengkonfirmasikan diagnosis. Tidak diperlukan reduksi, pembidaian,
dan perlindungan, karena itu asalkan persendian lutut normal, biarkan
pasien berjalan segera setelah cedera jaringan lunak memungkinkan.
Penderita cukup diberi analgetika dan istirahat dengan tungkai tinggi
sampai hematom diresorbsi.
d. Fraktur Tertutup pada Tibia dan Fibula
Pada fraktur ini tungkai pasien terpelintir, dan mematahkan
kedua tulang pada tungkai bawah secara oblik, biasanya pada sepertiga
bawah. Fragmen bergeser ke arah lateral, bertumpang tindih, dan
berotasi. Jika tibia dan fibula fraktur, yang diperhatikan adalah reposisi
tibia. Angulasi dan rotasi yang paling ringan sekalipun dapat mudah
22
terlihat dan dikoreksi. Perawatan tergantung pada apakah terdapat
pemendekan. Jika terdapat pemendekan yang jelas, maka traksi
kalkaneus selama seminggu dapat mereduksikannya. Pemendekan
kurang dari satu sentimeter tidak menjadi masalah karena akan
dikompensasi pada waktu pasien sudah mulai berjalan. Sekalipun
demikian, pemendekan sebaiknya dihindari.
VIII. Diagnosis6,7
a. Riwayat
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera
(posisi kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan
cedera tersebut. riwayat cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial
ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok, riwayat
alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.
b. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi / Look
Deformitas : angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan, bengkak
Pada fraktur terbuka : klasifikasi Gustilo
b. Palpasi / Feel ( nyeri tekan (tenderness), Krepitasi)
Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa.
Lakukan palpasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut,
meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang
mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi. Neurovaskularisasi bagian distal
fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit, pengembalian cairan
kapler (Capillary refill test) sensasi
c. Gerakan / Moving
Dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi yang
berdekatan dengan lokasi fraktur.
Pemeriksaan trauma di tempat lain : kepala, toraks, abdomen, pelvis.
Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal
dilakukan menurut protokol ATLS. Langkah pertama adalah menilai
23
airway, breathing, dan circulation. Perlindungan pada vertebra
dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan dengan
pemeriksaan klinis dan radiologis. Saat pasien stabil, maka dilakukan
secondary survey.
IX. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium : darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah,
cross-test, dan urinalisa.
b. Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two, terdiri dari :
i. 2 gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral
ii. Memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur
iii. Memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang
cedera dan yang tidak terkena cedera (pada anak) ; dan dua
kali, yaitu sebelum tindakan dan sesudah tindakan.
X. Penatalaksanaan6-11
Prinsip penatalaksanaan fraktur terdiri dari 4R yaitu recognition
berupa diagnosis dan penilaian fraktur, reduction, retention dengan
imobilisasi, dan rehabilitation yaitu mengembalikan aktifitas fungsional
semaksimal mungkin
Penatalaksanaan awal fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi
fraktur dengan splint. Status neurologis dan vaskuler di bagian distal harus
diperiksa baik sebelum maupun sesudah reposisi dan imobilisasi. Pada
pasien dengan multiple trauma, sebaiknya dilakukan stabilisasi awal
fraktur tulang panjang setelah hemodinamis pasien stabil. Sedangkan
penatalaksanaan definitif fraktur adalah dengan menggunakan gips atau
dilakukan operasi dengan ORIF maupun OREF.
Tujuan pengobatan fraktur :
a. REPOSISI dengan tujuan mengembalikan fragmen keposisi
anatomi. Tehnik reposisi terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka.
Reposisi tertutup dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
traksi kulit dan skeletal. Cara lain yaitu dengan reposisi terbuka
yang dilakukan padapasien yang telah mengalami gagal reposisi
24
tertutup, fragmen bergeser, mobilisasi dini, fraktur multiple, dan
fraktur patologis.
b. IMOBILISASI / FIKSASI dengan tujuan mempertahankan posisi
fragmen post reposisi sampai Union. Indikasi dilakukannya fiksasi
yaitu pada pemendekan (shortening), fraktur unstabel serta
kerusakan hebat pada kulit dan jaringan sekitar
Jenis Fiksasi :
a. Ekternal / OREF (Open Reduction External Fixation)
i. Gips ( plester cast)
ii. Traksi
Jenis traksi :
Traksi Gravitasi : U- Slab pada fraktur humerus
Skin traksi
Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga
fragmen akan kembali ke posisi semula. Beban maksimal
4-5 kg karena bila kelebihan kulit akan lepas.
Sekeletal traksi : K-wire, Steinmann pin atau Denham pin.
Traksi ini dipasang pada distal tuberositas tibia (trauma
sendi koksea, femur, lutut), pada tibia atau kalkaneus
( fraktur kruris). Adapun komplikasi yang dapat terjadi
pada pemasangan traksi yaitu gangguan sirkulasi darah
pada beban > 12 kg, trauma saraf peroneus (kruris) ,
sindroma kompartemen, infeksi tempat masuknya pin
25
Indikasi OREF :
a. Fraktur terbuka derajat III
b. Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas
c. fraktur dengan gangguan neurovaskuler
d. Fraktur Kominutif
e. Fraktur Pelvis
f. Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF
g. Non Union
h. Trauma multiple
b. Internal / ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
ORIF ini dapat menggunakan K-wire, plating, screw, k-nail.
Keuntungan cara ini adalah reposisi anatomis dan mobilisasi dini
tanpa fiksasi luar.
Indikasi ORIF :
i. Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis
tinggi, misalnya fraktur talus dan fraktur collum femur.
ii. Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya fraktur
avulse dan fraktur dislokasi.
iii. Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan.
Misalnya fraktur Monteggia, fraktur Galeazzi, fraktur
antebrachii, dan fraktur pergelangan kaki.
26
iv. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang
lebih baik dengan operasi, misalnya : fraktur femur.
XI. Komplikasi Fraktur6,10,11
Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat
penanganan fraktur yang disebut komplikasi iatrogenik.
a. Komplikasi umum
Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati
diffus dan gangguan fungsi pernafasan.
Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam
pertama pasca trauma dan setelah beberapa hari atau minggu akan
terjadi gangguan metabolisme, berupa peningkatan katabolisme.
Komplikasi umum lain dapat berupa emboli lemak, trombosis vena
dalam (DVT), tetanus atau gas gangren.
b. Komplikasi Lokal
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca
trauma, sedangkan apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca
trauma disebut komplikasi lanjut.
Komplikasi dini
i. Pada Tulang
Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.
27
Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau
tindakan operasi pada fraktur tertutup. Keadaan ini dapat
menimbulkan delayed union atau bahkan non union
Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang
sering terjadi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang
melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan
berakhir dengan degenerasi
ii. Pada Jaringan lunak
Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi
kulit superfisial karena edema. Terapinya adalah dengan
menutup kasa steril kering dan melakukan pemasangan
elastic
Dekubitus.. terjadi akibat penekanan jaringan lunak
tulang oleh gips. Oleh karena itu perlu diberikan
bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjo
iii. Pada Otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot
tersebut terganggu. Hal ini terjadi karena serabut otot yang robek
melekat pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang.
Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup
lama akan menimbulkan sindroma crush atau thrombus.
iv. Pada pembuluh darah
Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus
menerus. Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh
darah mengalami retraksi dan perdarahan berhenti spontan. Pada
jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis.
Trauma atau manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat
menimbulkan tarikan mendadak pada pembuluh darah sehingga
dapat menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh darah
tersebut terlepas dan terjadi trombus. Pada kompresi arteri yang
lama seperti pemasangan torniquet dapat terjadi sindrome crush.
28
Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen
otot pada tungkai atas maupun tungkai bawah sehingga terjadi
penekanan neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini disebut Iskhemi
Volkmann. Ini dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu
ketat sehingga dapat menggangu aliran darah dan terjadi edema
dalam otot.
Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan
dapat menimbulkan kematian/nekrosis otot yang nantinya akan
diganti dengan jaringan fibrus yang secara periahan-lahan menjadi
pendek dan disebut dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya
adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness
(denyut nadi hilang) dan Paralisis
v. Pada saraf
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus),
aksonometsis (kerusakan akson). Setiap trauma terbuka dilakukan
eksplorasi dan identifikasi nervus.
Komplikasi lanjut
Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada
pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan
atau perpanjangan.
i. Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara
normal. Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan
sklerosis pada ujung-ujung fraktur,
Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan
Osteotomi. Bila lebih 20 minggu dilakukan cancellus grafting (12-
16 minggu)
ii. Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses
penyembuhan fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan
29
fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union dengan
melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.
Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu
(pseudoartrosis) terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi
beserta rongga sinovial yang berisi cairan, proses union tidak akan
dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama.
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi
periosteum yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen
fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai, implant atau gips
yang tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit
tulang (fraktur patologis).
iii. Mal union
Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan
deformitas. Tindakan refraktur atau osteotomi koreksi .
iv. Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau
tindakan operasi pada fraktur tertutup sehingga dapat menimbulkan
delayed union sampai non union (infected non union). Imobilisasi
anggota gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan
terjadinya atropi tulang berupa osteoporosis dan atropi otot
v. Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan
imobilisasi lama, sehingga terjadi perlengketan peri artikuler,
perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon.
Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan
melakukan latihan aktif dan pasif pada sendi. Pembebasan
periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada penderita
dengan kekakuan sendi menetap.
30
BAB III
KESIMPULAN
Berdasrkan anamnesia didapatkan laki-laki umur 48 tahun datang dengan
keluhan nyeri pada tungkai kanan bawah dan tidak dapat digerakkan setelah jatuh
dari motor ± 1 jam sebelum masuk IGD rumah sakit. Beberapa hari setelah
dirawat di bangsal rumah sakit, pasien dilakukan fiksasi interna (ORIF). Primary
31
survey tidak didapatkan kelainan. Secondary survey regio cruris dekstra
didapatkan ekskoriasi (+), oedem (+), nyeri tekan setempat (+), sensibilitas (+),
suhu rabaan hangat, gerakan aktif dan pasif terhambat karena nyeri, tampak
gerakan terbatas (+), keterbatasan pergelangan sendi- sendi distal (karena terasa
nyeri saat digerakkan).
Berdasarkan anamnesa, primary survey, secondary survey, pemeriksaan
penunjang didapatkan diagnosa Post ORIF os tibia fibula 1/3 distal dextra.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://journals.lww.com/jtrauma/Abstract/2003/07000/
Number,_Incidence,_and_Projections_of_Distal.14.aspx,,insidence
32
2. Frank J, Paul D, John, H. Forearm Fraktur. 5 Minute Orthopedic
Consul, 2nd Edition. 2007; 1-9
3. Berquist H. Thomas. Elbow/Forearm. Muskuloskeletal Imaging
Companion, 2nd Edition. 2007; 1-54.
4. Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi: konsep
klinis proses-proses penyakit, volume 2. Jakarta: EGC.
5. Depkes RI. 2009. Prevalensi fraktur yang disebabkan karena cedera.
Jakarta
6. Apley, A.Graham. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem APLEY.
Ed.7. Jakarta : Widya Medika.1995
7. Bagian Bedah Staf Pengajar Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa Aksara.1995.
8. Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta : PT.
Yarsif Watampone. 2007
9. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.2004.
10. Schwartz, Shires, Spencer. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6.
Jakarta : EGC.2000.
11. Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah bagian 2. Jakarta: EGC 1994.
33