REFERAT ORTHOPEDI

57
OSTEOPOROSIS A. STRUKTUR TULANG Secara garis besar tulang dikenal ada dua tipe yaitu tulang korteks (kompak) dan tulang trabekular (berongga = spongy = cancelous). Bagian luar kedua tulang tersebut merupakan tulang padat yang disebut korteks tulang dan bagian dalamnya adalah tulang trabekular yang tersusun seperti bunga karang (Buckwalter, 1995; Riis, 1996). Tulang korteks merupakan bagian terbesar (80%) penyusun kerangka, mempunyai fungsi mekanik, modulus elastisitas yang tinggi dan mampu menahan tekanan mekanik berupa beban tekukan dan puntiran yang berat. Tulang korteks terdiri dari lapisan padat kolagen yang mengalami mineralisasi, tersusun konsentris sejajar dengan permukaan tulang. Tulang korteks terdapat pada tulang panjang ekstremitas dan vertebra. Tulang spongiosa atau canselous atau trabekular mempunyai elastisitasnya lebih kecil dari tulang korteks, mengalami proses resorpsi lebih cepat dibandingkan dengan tulang korteks. Tulang spongiosa terdapat pada daerah metafisis dan epifisis tulang panjang serta pada bagian dalam tulang pendek (Buckwalter, 1995; Cusharon, 1998).

Transcript of REFERAT ORTHOPEDI

Page 1: REFERAT ORTHOPEDI

OSTEOPOROSIS

A. STRUKTUR TULANG

Secara garis besar tulang dikenal ada dua tipe yaitu tulang korteks

(kompak) dan tulang trabekular (berongga = spongy = cancelous). Bagian luar

kedua tulang tersebut merupakan tulang padat yang disebut korteks tulang dan

bagian dalamnya adalah tulang trabekular yang tersusun seperti bunga karang

(Buckwalter, 1995; Riis, 1996).

Tulang korteks merupakan bagian terbesar (80%) penyusun kerangka,

mempunyai fungsi mekanik, modulus elastisitas yang tinggi dan mampu

menahan tekanan mekanik berupa beban tekukan dan puntiran yang berat.

Tulang korteks terdiri dari lapisan padat kolagen yang mengalami

mineralisasi, tersusun konsentris sejajar dengan permukaan tulang. Tulang

korteks terdapat pada tulang panjang ekstremitas dan vertebra. Tulang

spongiosa atau canselous atau trabekular mempunyai elastisitasnya lebih kecil

dari tulang korteks, mengalami proses resorpsi lebih cepat dibandingkan

dengan tulang korteks. Tulang spongiosa terdapat pada daerah metafisis dan

epifisis tulang panjang serta pada bagian dalam tulang pendek (Buckwalter,

1995; Cusharon, 1998).

Secara makroskopis tulang dibedakan menjadi tulang woven dan

tulang berlapis lamellar. Tulang woven adalah bentuk tulang yang paling awal

pada embrio dan selama pertumbuhannya terdiri dari jaringan kolagen

berbentuk ireguler. Setelah dewasa tulang woven diganti oleh tulang berlapis

yang terdiri dari tulang korteks dan trabekular (Lane, 2001; Rachman, 2006).

Korteks tulang tersusun seperti osteon, yaitu lapisan konsentris dari tulang

yang dikelilingi oleh kanal dengan panjang > 2 mm dan lebar 2 mm dimana

didalamnya terdapat osteosit dan pembuluh darah untuk nutrisi. Trabekular

tulang terdiri dari unit tulang struktural. Pada kedua tempat ini yaitu bagian

trabekular tulang dan permukaan dalam korteks tulang merupakan bagian

yang rentan terhadap pengeroposan tulang (Lane, 2001; Rachman, 2006).

Page 2: REFERAT ORTHOPEDI

Terdapat sistem havers yang merupakan susunan melingkar berbentuk

silinder yang dihubungkan oleh saluran havers. Saluran ini berisi kapiler,

arteriola, venula, nervi dan limfe. Tulang mendapat nutrisi melalui sirkulasi

intraoseus (Buckwalter,1995; Compston, 2001).

Selama perkembangannya tulang membutuhkan kalsium yang tinggi

dan setelah mencapai masa pubertas kematangan hormon estrogen pada

wanita da kematangan hormon testoteron pada laki-laki, karena pengaruh

anabolik dan prekusor estrogen terjadilah proses remodeling tulang.

Keterlambatan dan kegagalan pembentukan gonad (sindroma Turner,

sindroma Klinefelter), faktor nutrisi dan aktifitas fisik berat terutama saat

puber sebelum menarche (atlit berperestasi merupakan faktor yang

menyebabkan tidak tercapai puncak massa tulang dan ancaman terjadinya

osteoporosis dini) (Rachman, 2006).

B. FISIOLOGI TULANG

Tulang rangka tubuh manusia terdiri tulang kortikal 70-80% dan

tulang trabekular 20-30%. Pada keadaan normal tulang rangka, sebanyak 25%

volume tulang anatomi yang spesifik sebagai jaringan tulang. Dan 75 %

merupakan sumsum tulang (bone marrow) dan lemak, tetapi ini sangat

bervariasi tergantung sebagaimana besar tulang skeletonnya. Pada jaring

tulang yang spesifik, hanya 60% berupa mineral tulang dan 40% merupakan

jaringan organik, berupa kolagen. Sumsum tulang mengandung stroma,

jaringan mieloid, sel lemak, pembuluh darah, sinusoid, dan beberapa jaringan

limfe.

Jaringan tulang sangat kompleks, aktifitas metabolisme aktif pada

tulang pada proses mineralisasi yang terdiri dari komposisi esensial, yaitu

garam kalsium dan fosfat. Garam tersebut merupakan 2/3 bagian dari berat

tulang kering dan merupakan unsur yang paling banyak kalsium dan fosfat

dari seluruh tubuh. Integritas tulang dipertahankan oleh kompartement

ekstraselular calsium.

Page 3: REFERAT ORTHOPEDI

Tubuh mengandung 1000 gram ( 2500 mmol) Kalsium, terdiri dari 9

gram ( 225 mmol ) berada di jaringan lunak, 1 gram ( 25 mmol) berada di

cairan ekstraseluler dan sisanya berada pada jaringan tulang.

Aktivitas sel sel tulang yaitu resorpsi dan pembentukan dikendalikan

oleh faktor sistemik, salah satu faktor sistemik tersebut adalah 1,25

dihydroksivitamin D. Selain vitamin D, faktor sistemik lain adalah hormon

paratiroid (PTH ), kalsitonin, insulin, estrogen/androgen, hormon

pertumbuhan dan hormon tiroid. Semua faktor tersebut saling terkait dalam

proses metabolisme tulang.

Tulang secara fisiologis memiliki 3 fungsi utama yaitu sebagai fungsi

metabolik dan fungsi mekanik serta fungsi hemopoetik. Fungsi metabolik

menyediakan cadangan ion seperti calsium, fosfat dan magnesium sedangkan

fungsi mekanik melindungi organ-organ vital, tempat melekatnya otot dan

menunjang gerak tubuh serta menjadi “pembungkus” sumsum tulang. Sebagai

fungsi hemopoetik, sumsum tulang juga merupakan tempat asal utama limfosit

manusia dan ada bukti untuk sel prekursor sama dari kedua sistem hemopoetik

dan limfoid. Stem sel hemopoetik juga membentuk osteoklas yang merupakan

bagian sistem fagosit monosit dan berfungsi sebagai resorpsi tulang. Proses

pembentukan tulang terdiri dari dua tahap yaitu modeling dan remodeling

tulang sebagai berikut (Hoffbrand, 1996, Buckwalter, 2000; Soeatmadji, 2002;

Compston, 2001; Canalis, 2005; Rachman, 2006)

Modeling

Modeling tulang adalah suatu proses untuk mencapai bentuk dan

ukuran yang tepat selama pertumbuhan dan perkembangan tulang.

Pembentukan tulang panjang terjadi melalui mekanisme pergeseran tulang

endokondrial pada tulang panjang dan pergeseran pada tulang apendikular.

Hal ini merupakan perubahan dari garis turunan sel mesenkim menjadi

kondroblas selanjutnya menjadi kondrosit dengan mensintesis proteoglikan

sebagai dasar dari matriks ekstraseluler. Ketika terjadi kalsifikasi matriks

Page 4: REFERAT ORTHOPEDI

ekstraseluler, berlangsung juga invasi pembuluh darah termasuk prekursor

osteoklas dan prekursor osteoblas. Kalsifikasi tulang rawan disebut the

primary spongiosum bone dan untuk tulang yang terletak di antara jaringan

disebut the secondary spongiosum bone yang

nantinya dikenal sebagai woven bone (Compston, 2001; Rachman, 2006).

Remodeling

Setelah tulang woven berubah menjadi tulang berlapis (lamellar),

tulang terus mengalami proses resorpsi, pembentukan dan mineralisasi yang

dikenal sebagai remodeling tulang (pembentukan kembali). Tujuan

pembentukan kembali tulang atau remodeling tulang adalah untuk mereparasi

kerusakan tulang akibat kelelahan atau fatigue damage, mencegah proses

ketuaan atau aging dan akumulasi tulang tua. Proses remodeling diatur oleh

sel osteoblas dan osteoklas yang tersusun dalam struktur yang disebut “bone

remodeling unit” (BRU). BRU merupakan suatu struktur temporer yang unik

aktif saat modeling dan remodeling. Struktur dari BRU terdiri dari osteoklas

didepan diikuti oleh osteoblas, dibelakang dan ditengah-tengah terdapat

kapiler, jaringan syaraf dan jaringan ikat. Panjang BRU 1-2 mm dengan lebar

0,24 mm bekerja memahat tulang, meresorpsi tulang dan membentuk tulang

baru. Pada orang dewasa sehat diperkirakan 1 juta BRU aktif bekerja

sedangkan 2-3 juta BRU dalam keadaan non aktif. BRU bekerja pada tulang

kortikal maupun trabekular (Compston, 2001; Canalis, 2005; Rachman, 2006).

C. DEFINISI OSTEOPOROSIS

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh

penurunan densitas masa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang

sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. Pada tahun 2001, National

Institute of Health (NIH) mengajukan definisi baru osteoporosis sebagai

penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh compromised bone strength

sehingga tulang mudah patah. Menurut WHO (1994), osteoporosis adalah

Page 5: REFERAT ORTHOPEDI

suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya massa tulang dan adanya

perubahan mikroarsitektur jaringan tulang yang berakibat menurunnya

kekuatan tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang serta risiko terjadinya

patah tulang. (Karolina, 2009)

Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka berbagai penyakit

degeneratif dan metabolik, termasuk osteoporosis akan menjadi problem

muskuloskeletal yang memerlukan perhatian khusus, terutama di negara-

negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada survey kependudukan tahun

Page 6: REFERAT ORTHOPEDI

1990, ternyata jumlah penduduk yang berusia 55 tahun atau lebih mencapai

9,2%, meningkat 50% dibandingkan survey tahun 1971. Dengan demikian,

kasus osteoporosis dengan berbagai akibatnya, terutama fraktur diperkirakan

juga akan meningkat.

Penelitian Roeshadi di Jawa Timur, mendapatkan bahwa puncak massa

tulang dicapai pada usia 30-34 tahun dan rata-rata kehilangan massa tulang

pasca menopause adalah 1,4%/tahun. Penelitian yang dilakukan di klinik

Reumatologi RSCM mendapatkan faktor risiko osteoporosis yang meliputi

umur, lamanya menopause dan kadar estrogen yang rendah, sedangkan faktor

proteksinya adalah kadar estrogen yang tinggi, riwayat berat badan

lebih/obesitas dan latihan yang teratur.

Berbagai problem yang cukup prinsipil masih harus dihadapi oleh

Indoneisa dalam penatalaksanaan osteoporosis yang optimal, seperti tidak

meratanya alat pemeriksaan densitas massa tulang (DEXA), mahalnya

pemeriksaan biokimia tulang dan belum adanya pengobatan standar untuk

osteoporosis di Indonesia. (Setiyohadi, 2007)

D. FAKTOR RISIKO OSTEOPOROSIS

Osteoporosis merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial.

Umur merupakan salah satu faktor risiko yang terpenting yang tidak

tergantung pada densitas tulang. Setiap peningkatan umur 1 dekade setara

dengan peningkatan risiko osteoporosis 1,4-1,8 kali. Ras kulit putih dan

wanita juga merupakan faktor risiko osteoporosis. Faktor-faktor yang

berhubungan dengan gangguan pencapaian puncak massa tulang juga

merupakan faktor risiko osteoporosis, seperti sindrom Klinefelter, sindrom

Turner, tetapi glukokortikoid jangka panjang dan dosis tinggi, hipertiroidisme

atau defisiensi hormon pertumbuhan. Pubertas terlambat, anoreksia nervosa

dan kegiatan fisik yang berlebihan yang menyebabkan amenore juga

berhubungan erat dengan puncak massa tulang yang tidakmaksimal.

Defisiensi kalsium dan vitamin D juga merupakan faktor risiko osteoporosis,

oleh sebab itu harus diperhatikan masalah ini pada penduduk yang tinggal di

Page 7: REFERAT ORTHOPEDI

daerah 4 musim. Selain kalsium dan vitamin D, defisiensi protein dan vitamin

K juga berhubungan dengan osteoporosis. Faktor hormonal juga berperan

pada pertumbuhan tulang, termasuk hormon seks gonadal androgen adrenal

(dehidroepiandrosteron dan androstenedion). Aspek hormonal lain yang

berperan pada peningkatan massa tulang adalah IGF-1, 1,25(OH)2D,

reabsorbsifosfat anorganik di tubulus dan peningkatan fosfat serum. Faktor

hormonal yang berhubungan dengan kehilangan massa tulang adalah

hiperkortisolisme, hipertiroidisme dan hiperparatiroidisme. Faktor lain yang

juga berhubungan dengan osteoporosis adalah merokok dan konsumsi alkohol

yang berlebihan.

Aspek skeletal yang harus diperhatikan sebagai faktor risiko

osteoporosis adalah densitas massa tulang, ukuran tulang, makro- dan

mikroarsitektur tulang, derajat mineralisasi dan kualitas kolagen tulang.

Selain faktor risiko osteoporosis, maka risiko terjatuh juga harus

diperhatikan karena terjatuh berhubungan erat dengan fraktur osteoporotik.

Beberapa faktor yang berhubungan dengan risiko terjatuh adalah usia tua,

ketidakseimbangan, penyakit kronik seperti sakit jantung, gangguan

neuroligik, gangguan penglihatan, lantai yang licin dan sebagainya.

(Setiyohadi, 2007)

E. KLASIFIKASI OSTEOPOROSIS

Osteoporosis dibagi 2 kelompok, yaitu osteoporosis primer

(involusional) dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis primer adalah

osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya, sedangkan osteoporosis

sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya. Pada tahun 1940-

an, Albright mengemukakan pentingnya estrogen pada patogenesis

osteoporosis. Kemudian pada tahun 1983, Riggs dan Melton, membagi

osteoporosis primer atas osteoporosis tipe I dan tipe II.

1. Osteoporosis tipe I, disebut juga osteoporosis pasca menopause, dapat

terjadi pada dewasa muda dan usia tua, baik pria maupun wanita.

Page 8: REFERAT ORTHOPEDI

Osteoporosis tipe I berkaitan dengan perubahan hormon setelah

menopouse. Pada osteoporosis tipe ini terjadi penipisan bagian keras

tulang paling luar (korteks) dan perluasan rongga tulang (trabekula)

2. Osteoporosis tipe II, disebut juga osteoporosis senilis, disebabkan oleh

gangguan absorpsi kalsium di usus sehingga menyebabkan

hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan timbulnya osteoporosis.

Osteoporosis jenis ini banyak terjadi pada usia di atas 70 tahun. (Karolina,

2009)

Belakangan konsep itu berubah, karena ternyata peran estrogen juga menonjol

pada osteoporosis tipe II. Selain itu pemberian kalsium dan vitamin D pada

osteoporosis tipe II juga tidak memberikan hasil yang adekuat. Akhirnya pada

tahun 1990-an, Riggs dan Melton memperbaiki hipotesisnya dan

mengemukakan bahwa estrogen menjadi faktor yang sangat berperan pada

timbulnya osteoporosis primer, baik pasca menopause maupun senilis.

Sementara osteoporosis sekunder disebabkan berbagai penyakit tulang (kronik

rheumatoid arthritis, tbc spondilitis, osteomalacia, dll) pengobatan

menggunakan kortikosteroid untuk waktu yang lama, astronot tanpa gaya

berat, paralise otot, tidak bergerak untuk periode waktu yang lama, hipertiroid,

dll.

Peran Estrogen pada Tulang

Struktur estrogen vetebrata terdiri dari 18 karbon dengan 4 cincin.

Estrogen manusia dapat dibagi 3 kelompok, yaitu estron (E1), 17β-estradiol

(E2), estriol (E3). Selain itu juga terdapat jenis-jenis estrogen lain, seperti

estrogen dari tumbuh-tumbuhan (fitoestrogen), estrogen sintetik (misal

etinilestradiol, dietilstilbestrol, klomifen sitrat), xenobiotik (DDT, bifonel dll).

Saat ini terdapat struktur lain yang dikenal sebagai anti-estrogen, tetapi pada

organ nonreproduktif bersifat estrogenik; struktur ini disebut selective

estrogen receptor modulators (SERMs).

Estrogen yang terutama dihasilkan oleh ovarium adalah estradiol.

Estron juga dihasilkan oleh tubuh manusia, tetapi terutama berasal dari luar

ovarium, yaitu dari konversi androstenedion pada jaringan perifer. Estriol

Page 9: REFERAT ORTHOPEDI

merupakan estrogen yang terutama didapatkan di dalam urin, berasal dari

hiroksilasi-16 estron dan estradiol. Estrogen berperan pada pertumbuhan tanda

seks sekunder wanita dan menyebabkan pertumbuhan uterus, penebalan

mukosa vagina, penipisan mukus serviks dan pertumbuhan saluran-saluran

pada payudara. Selain itu estrogen juga mempengaruhi profil lipid dan endotel

pembuluh darah, hati, tulang, susunan saraf pusat, sistem imun, sistem

kardiovaskular dan sistem gastrointestinal.

Saat ini telah ditemukan 2 macam reseptor estrogen (ER), yaitu

reseptor estrogen-α (ERα) dan reseptor estrogen-β (ERβ). ERa dikode oleh

gen yang terletak di kromosom 6 dan terdiri dari 595 asam amino, sedangkan

ERβm dikode oleh gen yang terletak di kromosom 14 dan terdiri dari 530

asam amino. Sampai saat ini, fungsi ERb belum diketahui secara pasti. Selain

itu, distribusi kedua reseptor ini bervariasi pada berbagai jaringan, misal di

otak, ovarium, uterus dan prostat. Reseptor estrogen juga diekspresikan oleh

berbagai sel tulang, termasuk osteoblas. Laki-laki dengan osteoporosis

idiopatik mengekspresikan mRNA ERα yang rendah pada osteoblas maupun

osteosit. Delesi ERa pada tikus jantan dan betina menyebabkan penurunan

densitas tulang, sedangkan perusakan gen ERβ pada wanita ternyata

meningkatan bone mineral content (BMC) tulang kortikal walaupun pada

tikus tidak memberikan perubahan pada tulang kortikal maupun trabekular.

Delesi gen ERα dan ERβ juga menurunkan kadar IGF-1 serum.

Tabel. Distribusi Reseptor Estrogen pada Sel-sel Tulang

Sel Tulang Reseptor Estrogen

Osteoblas

Osteosit

Bone marrow stromal cells

Osteoklas

Kondrosit

ERα dan ERβ

ERα dan ERβ

ERα dan ERβ

ERα dan ERβ

ERα dan ERβ

Page 10: REFERAT ORTHOPEDI

Estrogen merupakan regulator pertumbuhan dan homeostasis tulang

yang penting. Estrogen memiliki efek langsung dan tak langsung pada tulang.

Efek tak langsung meliputi estrogen terhadap tulang berhubungan dengan

homeostasis kalsium yang meliputi regulasi absorpsi kalsium di usus,

modulasi 1,25(OH)2D, ekskresi Ca di ginjal dan sekresi hormon paratiroid

(PTH).

Terhadap sel-sel tulang, estrogen memiliki beberapa efek. Efek-efek

ini akan meningkatkan formasi tulang dan menghambat resorpsi tulang oleh

osteoklas. (Setiyohadi, 2007)

F. PENDEKATAN KLINIS OSTEOPOROSIS

Untuk menegakkan diagnosis osteoporosis, diperlukan pendekatan

yang sistematis, terutama untuk menyingkirkan osteoporosis sekunder.

Sebagaimana penyakit lain, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik,

laboratorium, pemeriksaan radiologi dan kalau perlu biopsi tulang.

Anamnesis

Anamnesis memegang peranan yang penting pada evaluasi pasien

osteoporosis. Kadang-kadang, keluhan utama dapat langsung mengarah

kepada diagnosis, misalnya fraktur kolum femoris pada osteoporosis, bowing

leg pada riket, atau kesemutan dan rasa kebal di sekitar mulut dan ujung jari

pada hipokalsemia. Pada anak-anak, gangguan pertumbuhan atau tubuh

pendek, nyeri tulang, kelemahan otot, waddling gait, kalsifikasi ekstraskeletal,

kesemuanya mengarah kepada penyakit tulang metabolik.

Faktor lain yang harus ditanyakan juga adalah fraktur pada trauma

minimal, imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua, kurangnya

paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfot dan vitamin D, latihan yang

teratur yang bersifat weight-bearing.

Obat-obatan yang diminum dalam jangka panjang juga harus

diperhatikan, seperti kortikosteroid, hormon steroid, antikonvulsan, heparin,

Page 11: REFERAT ORTHOPEDI

antasid yang mengandung alumunium, sodium fluorida dan bifosfonat

etidronat.

Alkohol dan merokok juga merupakan faktor risiko osteoporosis.

Penyakit-penyakit lain yang harus ditanyakan yang juga berhubungan dengan

osteoporosis adalah penyakit ginjal, saluran cerna, hati, endokrin, dan

insufisiensi pankreas. Riwayat haid, umur menarke dan menopouse,

penggunaan obat-obat kontraseptif juga harus diperhatikan, karena ada

beberapa penyakit tulang metabolik yang bersifat herediter.

Pemeriksaan Fisik

Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap pasien

osteoporosis. Demikin juga gaya berjalan pasien, deformitas tulang, leg-length

inequality, nyeri spinal dan jaringan parut pada leher (bekas operasi tiroid).

Sklera yang biru biasanya terdapat pada pasien osteogenesis

imperfekta. Pasien ini biasanya juga akan mengalami ketulian, hiperlaksitas

ligamen dan hipermobilitas sendi dan kelainan gigi. Cafe-au-lait spots

biasanya didapatkan pada sindrom McCune-Albrigt. Pada anak-anak dengan

vitamin D-dependent rickets tipe II, sering didapatkan alopesia, baik total atau

hanya berambut jarang.

Pada rikets, beberapa penemuan fisik sering dapat mengarahkan ke

diagnosis, seperti perawakan pendek, kraniotabes, parietal pipih, penonjolan

sendiri kostokondral (rashitic rosary), bowing deformity tulang-tulang panjang

dan kelainan gigi.

Hipokalsemia ditandai oleh iritasi muskuloskeletal, yang berupa tetani.

Biasanya akan didapatkan aduksi jempol tangan, fleksi sendi MCP dan

ekstensi sendi IP. Pada keadaan yang laten, akan didapatkan tanda hovstek dan

Trosseau.

Pada pasien hipoparatiroidisme idiopatik, pemeriksa harus mencari

tanda-tanda sindrom kegagalan poliglandular, seperti kandidiasis

mukokutaneus kronik, penyakit Adison, alopesia, kegagalan ovarium

Page 12: REFERAT ORTHOPEDI

prematur, diabetes melitus, tiroiditis otoimun, dan anemia pernisiosa. Pada

pasien hiperparatiroidisme primer dapat ditemukan band keratoplasty akibat

deposisi kalsium fosfat pada tepi limbik kornea.

Pasien dengan osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau

gibbus (Dowager’s hump) dan penurunan tinggi badan. Selain itu juga

didapatkan protuberansia abdomen, spasme otot paravertebral dan kulit yang

tipis (tanda McConkey). (Setiyohadi, 2007)

G. PATOFISIOLOGI OSTEOPOROSIS

Mekanisme dasar kerapuhan tulang

Kerapuhan tulang terjadi karena suatu keadaan yaitu ( Raisz, 2005) :

1. Kegagalan memproduksi massa dan kekuatan tulang secara optimal

selama pertumbuhan atau non optimal peak bone mass.

2. Resorpsi tulang yang berlebihan mengakibatkan berkurangnya densitas

tulang dan kerusakan mikroarsitektur dari sistem skeleton.

3. Berkurangnya aktivitas osteoblastik dalam merespon peningkatan resorpsi

selama remodeling tulang

Semua bagian tubuh berubah seiring bertambahnya usia, begitu pula

dengan rangka tubuh. Mulai dari lahir hinggga mencapai usia dewasa atau

kira-kira 30 tahun, jaringan tulang yang dibuat lebih banyak daripada yang

hilang, namun setelah 30 tahun situasi terbalik jaringan tulang yang hilang

lebih (Lane, 2001). Kekuatan tulang berasal dari dua sumber yaitu bagian luar

yang padat (korteks) yang beratnya 80% dari massa tulang dan bagian dalam

yang halus seperti spons yang disebut trabekular 20% dari massa tulang dan

jaringan dasar tulang mengandung sel-sel tulang (osteosit) yang terdiri dari

osteoklas (penghancur) dan osteoblas (pembentuk) (Gomez,2006 dan Roesma

2006)

Siklus resobrsi dan pembentukan tulang terjadi sepanjang hidup, pada

masak anak-anak pembentukan tulang lebih banyak daripada proses resobrso

tulang, namun keadaan ini menurun secara bertahap selama masa dewasa

Page 13: REFERAT ORTHOPEDI

muda dan pada usia 25-35 tahun kedua proses ini berada dalam keseimbangan,

sampai akhirnya proses resorbsi lebih banyak daripada pembentukan tulang,

yang biasanya dimulai pada usia 35 tahun sehingga secara bertahap jaringan

tulang akan menghilang bersamaan dengan kandungan mineralnya (kalsium)

terutama pada bagian trabekular (Gomez,2006)

Pada wanita menopause tingkat estrogen turun sehingga siklus

remodeling tulang berubah dan penguran jaringan tulang dimulai karena salah

satu fungsi estrogen adalah mempertahankan tingkat remodeling tulang yang

normal, sehingga ketika estrogen turun tingkat resobsi tulang menjadi lebih

tinggi daripada formasi tulang yang mengakibatkan berkurangnya massa

tulang (Lane, 2001)

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan radiologik untuk menilai densitas massa tulang sangat

tidak sensitif. Seringkali penurunan densitas massa tulang spinal lebih dari

50% belum memberikan gambaran radiologik yang spesifik. Selain itu teknik

dan tingginya kilovoltage juga memengaruhi hasil pemeriksaan radiologik

tulang.

Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan

korteks dan daerah trabekuler yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada

Page 14: REFERAT ORTHOPEDI

tulang-tulang vertebra yang memberikan gambaran picture-frame vertebra.

(Setiyohadi, 2007)

I. PENCEGAHAN

Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk pencegahan terjadinya osteoporosis

adalah:

1. Peningkatan peak bone mass (umur 0 – 35 tahun)

a. Masukan kalsium yang adekuat

b. Latihan yang cukup

c. Hindari merokok

d. Pengobatan defisiensi estrogen sesegera mungkin

e. Hindari pengobatan kortison jika mungkin

2. Pencegahan kehilangan tulang saat menopause

a. Terapi sulih hormon estrogen (gold standar)

b. Masukan kalsium yang adekuat. (UNSRI)

J. TERAPI

Osteoporosis bersifat multifaktorial sehingga penanganannya pun

sangat komplek. Terapi untuk osteoporosis difokuskan tidak hanya untuk

menghambat resorpsi tulang atau merangsang pembentukan tulang. Tidak

kalah penting untuk mengurangi risiko terjatuh.

Beberapa RCT dilaksanakan lebih dari 10 tahun telah membantu

mengarahkan terapi farmakologi, yang juga meliputi intervensi non-

farmakologi yang sebaiknya direkomendasikan pada semua pasien.

Penghambat resorpsi tulang meliputi estrogen, kalsitonin,

bisphosphonate dan kalsium. Estrogen memperlambat bone loss pada

menopause. Estrogen juga meningkatkan massa tulang pada wanita dengan

osteoporosis dan mungkin efektif digunakan pada wanita usia 65 – 70 tahun.

Namun harus mempertimbangkan efek sampingnya. Sementara HRT lebih

disarankan.

Page 15: REFERAT ORTHOPEDI

Osteoporosis sekunder sebaiknya jika memungkinkan diterapi sesuai

dengan penyebabnya. Asupan kalsium 1500 mg/hari dan vitamin D 800

IU/hari, aktifitas fisik ≥30 menit minimal 3 kali dalam seminggu, menghindari

merokok dan konsumsi alkohol juga telah dibuktikan mampu mencegah

osteoporosis.

Latihan dan Program Rehabilitasi

Latihan dan program rehabilitasi sangat penting bagi pasien

osteoporosis karena dengan latihan yang teratur, pasien akan menjadi lebih

lincah, tangkas, dan kuat otot-ototnya sehingga tidak mudah terjatuh. Selain

itu latihan juga akan mencegah perburuhkan osteoporosis karena terdapat

rangsangan biofisikoelektrokemikal yang akan meningkatkan remodeling

tulang.

Pada pasien yang belum mengalami osteoporosis, maka sifat latihan

adalah pembebanan terhadap tulang, sedangkan pada penderita yang sudah

osteoporosis, maka latihan dimulai dengan latihan tanpa beban, kemudian

ditingkatkan secara bertahap sehingga mencapai latihan beban yang adekuat.

Selain latihan, bila dibutuhkan maka dapat diberikan alat bantu

(ortosis), misalnya korset lumbal untuk pasien yang mengalami fraktur korpus

vertebra, tongkat atau alat bantu berjalan lainnya, terutama pada orang tua

yang terganggu keseimbangannya.

Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah mencegah risiko terjatuh,

misalnya menghindari lantai atau alas kaki yang licin; pemakaian tongkat atau

rel pegangan tangan, terutama di kamar mandi atau kakus, perbaikan

penglihatan, misalnya memperbaiki penerangan, mengggunakan kacamata dan

lain sebagainya. Pada umumnya fraktur pada pasien osteoporosis disebabkan

oleh terjatuh dan risiko terjatuh yang paling sering justru terjadi dalam rumah.

Vitamin D

Pada penelitian didapatkan suplementasi 500 IU kalsiferol dan 500 mg

kalsium peroral selama 18 bulan ternyata mampu menurunkan fraktur

Page 16: REFERAT ORTHOPEDI

nonspinal sampai 50% (Dawson-Hughjes, 1997). Vitamin D diindikasikan

pada orang-orang tua yang tinggal di Panti Werda yang kurang terpapar sinar

matahari, tetapi tidak diindikasikan pada populasi Asia yang banyak terpapar

sinar matahari. (Setiyohadi, 2007)

Kalsium

Asupan kalsium pada penduduk Asia pada umumnya lebih rendah dari

kebutuhan kalsium yang direkomendasikan oleh Institute of Medicine,

National Academy of Science (1997), yaitu sebesar 1200 mg. Kalsium sebagai

monoterapi ternyata tidak cukup untuk mencegah fraktur pada pasien

osteoporosis. Preparat kalsium yang terbaik adalah kalsium karbonat, karena

mengandung kalsium elemen 400mg/gr, disusul Kalsium fosfat yang

mengandung kalsium elemen 230 mg/gr, kalsium sitrat yang mengandung

kalsium elemen 211 mg/gr, kalsium laktat yang mengandung kalsium elemen

130 mg/gr, dan kalsium glukonat yang mengandung kalsium elemen 90 mg/gr.

Pembedahan

Pembedahan pada pasien osteoporosis dilakukan bila terjadi fraktur

terutama fraktur panggul. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan pada

terapi bedah pasien osteoporosis adalah:

1. Pasien osteoporosis usia lanjut dengan fraktur, bila diperlukan

tindakan bedah, sebaiknya segera dilakukan, sehingga dapat dihindari

imobilisasi lama dan komplikasi fraktur lebih lanjut.

2. Tujuan terapi bedah adalah untuk mendapatkan fiksasi yang stabil,

sehingga mobilisasi pasien dapat dilakukan sedini mungkin.

3. Asupan kalsium tetap harus diperhatikan pada pasien yang

menjalani tindakan bedah, sehinggal mineralisasi kalus menjadi

sempurna.

4. Walaupun telah dilakukan tindakan bedah, pengobatan

medikamentosa osteoporosis dengan bisfosfonat, atau raloksifen, atau

terapi pengganti hormonal, maupun kalsitonin, tetap harus diberikan.

Page 17: REFERAT ORTHOPEDI

OSTEOARTRITIS

A. Definisi

Osteoartritis berasal dari bahasa Yunani yaitu osteo yang berarti

tulang, arthro yang berarti sendi, dan itis yang berarti inflamasi meskipun

sebenarnya. penderita osteoartritis tidak mengalami inflamasi atau hanya

mengalami inflamasi ringan. Osteoartritis (OA) adalah penyakit degeneratif

sendi yang bersifat kronik, berjalan progresif lambat, seringkali tidak

meradang atau hanya menyebabkan inflamasi ringan, dan ditandai dengan

adanya deteriorasi dan abrasi rawan sendi serta pembentukan tulang baru pada

permukaan sendi (Koentjoro, 2010).

B. Epidemiologi

Osteoartritis merupakan penyakit tersering yang menyebabakan

timbulnya nyeri dan disabilitas (hambatan) gerakan pada populasi usia lanjut.

OA merupakan kelainan yang mengenai berbagai ras dan kedua jenis kelamin.

Pria dan wanita memiliki kesempatan yang sama untuk terkena OA, namun

pada wanita biasanya sendi yang terkena lebih banyak. Seiring dengan

bertambahnya usia, insidens OA juga semakin bertambah. Di Indonesia,

prevalensi osteoartritis mencapai 5% pada usia <40 tahun, 30% pada usia 40-

60 tahun, dan 65% pada usia >61 tahun.5 Untuk osteoarthritis lutut

prevalensinya cukup tinggi yaitu 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita

(Koentjoro, 2010)

C. Faktor risiko

Hal-hal yang dapat menjadi faktor risiko timbulnya OA antara lain (Soeroso,

2006) :

a. Trauma, yaitu patah tulang yang mengenai permukaan sendi.

b. Pekerjaan yang menimbulkan beban berulang pada sendi.

c. Obesitas, yang menyebabkan peningkatan beban pada sendi, terutama

sendi lutut.

d. Riwayat OA pada keluarga.

Page 18: REFERAT ORTHOPEDI

e. Densitas (kepadatan) tulang yang rendah

D. Gejala Klinis

Gambaran klinis osteoarthritis umumnya berupa nyeri sendi, terutama

apabila sendi bergerak atau menanggung beban. Nyeri yang dirasakan adalah

nyeri tumpul. Nyeri tumpul ini dapat berkurang bila pasien beristirahat. Nyeri

merupakan keluhan utama tersering dari pasien-pasien dengan OA yang

ditimbulkan oleh kelainan seperti tulang, membran sinovial, kapsul fibrosa,

dan spasme otot-otot di sekeliling sendi. Nyeri awalnya tumpul kemudian

semakin berat, hilang timbul, dan diperberat oleh aktivitas gerak sendi

(Soeroso, 2006).

Kekakuan pada kapsul sendi dapat menyebabkan kontraktur

(tertariknya) sendi dan menyebabkan terbatasnya gerakan. Kekakuan sendi

juga dapat terjadi jika sendi tersebut tidak digerakkan, namun kekakuan ini

akan menghilang setelah sendi digerakkan kembali. Kekakuan ini bisa terjadi

di pagi hari yang biasanya hanya bertahan selama beberapa menit, bila

dibandingkan dengan kekakuan sendi di pagi hari yang disebabkan oleh

arthritis rematoid. Spasme otot atau tekanan pada saraf di daerah sendi yang

terganggu adalah sumber nyeri (Price&Wilson, 2006).

Perlahan-lahan sendi akan bertambah kaku.Sendi akan terlihat

membengkak karena adanya penumpukan cairan di dalam sendi.

Pembengkakan ini terlihat lebih menonjol karena pengecilan otot sekitarnya

yang diakibatkan karena otot menjadi jarang digunakan (Soeroso, 2006).

Page 19: REFERAT ORTHOPEDI

Gambar 1. Gambaran Peradangan Osteoartritis

Gejala klinis lainnya adalah keterbatasan dalam gerakan (terutama

tidak dapat berekstensi penuh), nyeri tekan lokal, pembesaran tulang di sekitar

sendi, efusi sendi yang minimal, dan krepitasi (Price&Wilson, 2006).

Gambar 2. Gambaran Osteoarthritis Lanjut

E. Patofisiologi dan Patogenesis

degenerasi matriks Chondroitin matriks sintesis

Sitokin Chondroitin Chondroitin

IGF-1

Enzim TGF-β

Nitric Oxide Genetic Growth

Hormon

CSFs

Keterangan :

IGF-1 : Insulin like Growth Factor

TGF-β : Transforming Growth Factor

Page 20: REFERAT ORTHOPEDI

CSFs : Coloni Stimulating Factor

Berdasarkan patogenesisnya, OA diklasifikasikan menjadi 2, yaitu OA

primer dan OA sekunder. Osteoarthritis primer disebut juga OA idiopatik

yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan

penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. Sedangkan OA

sekunder merupakan OA yang didasari oleh adanya kelainan endokrin,

inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta

imobilisasi yang terlalu lama. Osteoarthritis primer lebih sering ditemukan

disbanding OA sekunder (Soeroso et al., 2006).

Patofisiologi OA mulanya ditandai dengan fase hipertofi kartilago yang

berhubungan dengan suatu peningkatan terbatas dari sintesis matriks

makromolekul oleh kondrosit sebagai kompensasi perbaikan (repair).

Osteoarthritis terjadi sebagai hasil kombinasi antara degradasi rawan sendi,

remodeling, tulang dan inflamasi cairan sendi.

Beberapa studi membuktikan bahwa ternyata rawan sendi dapat

melakukan perbaikan sendiri dimana kondrosit akan mengalami replikasi dan

memproduksi matriks baru. Proses perbaikan ini dipengaruhi oleh faktor

pertumbuhan suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan membantu

komunikasi antar-sel. Faktor ini menginduksi kondrosit untuk mensintesis

asam deoksiribonukleat (DNA) dan protein seperti kolagen serta proteoglikan.

Faktor pertumbuhan yang berperan adalah insulin-like growth hormone (IGF-

1), growth hormone, transforming growth factor β (TGF-β) dan coloni

stimulating factors (CSFs). Faktor pertumbuhan seperti IGF-1 memegang

peranan penting dalam proses perbaikan rawan sendi. Pada keadaan inflamasi,

sel menjadi kurang sensitive terhadap efek IGF-1.

Faktor pertumbuhan TGF-β mempunyai efek multiple pada matriks

kartilago yaitu merangsang sintesis kolagen dan proteoglikan serta menekan

stromelisin, yaitu enzim yang mendegradasi proteoglikan, meningkatkan

produksi prostaglandin E2 (PGE2) dan melawan efek inhibisi sintesis PGE2

oleh interleukin-1 (IL-1). Hormon lain yang mempengaruhi sintesis komponen

Page 21: REFERAT ORTHOPEDI

kartilago adalah testosterone, β-estradiol, platelet derivate growth factor

(PDGF), fibroblast growth factor dan kalsitonin.

Peningkatan degradasi kolagen akan mengubah keseimbangan metabolism

rawan sendi. Kelebihan produk hasil degradasi matriks rawan sendi ini

cenderung berakumulasi di sendi dan menghambat fungsi rawan sendi serta

mengawali suatu respons imun yang menyebabkan inflamasi sendi.

Perbandingan rata-rata antara sintesis dan pemecahan matriks rawan sendi

pada pasien OA kenyataannya lebih rendah disbanding normal, yaitu 0,29

dibanding 1.

Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses peningkatan aktivitas

fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan

terjadinya penumpukan thrombus dan komplek lipid pada pembuluh darah

subkondral yang menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan

subkondral tersebut. Hal tersebut menyebabkan dilepaskannya mediator

kimiawi seperti prostaglandin dan interleukin yang selanjutnya menimbulkan

bone angina lewat subkondral yang diketahui mengandung ujung saraf

sensible yang dapat menghantarkan rasa sakit. Penyebab rasa sakit itu dapat

juga berupa akibat dari dilepasnya mediator kimiawi seperti kinin dan

prostaglandin yang menyebabkan radang sendi, peregangan tendo atau

ligamentum serta spasmus otot-otot ekstra artikuler akibat kerja yang

berlebihan. Rasa nyeri pada sendi juga disebabkan oleh adanya osteofit yang

menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta

kenaikan vena intrameduler akibat stasis vena intrameduler karena proses

remodeling pada trabekula dan subkondrial.

Peran makrofag di dalam cairan sendi juga berperan penting, yaitu apabila

dirangsang oleh jejas mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan atau

CSFs, akan memproduksi sitokin activator plasminogen (PA) yang disebut

katabolin. Sitokin tersebut adalah IL-1,IL-6, TNF α dan β, dan interferon

(IFN) α dan τ. Sitokin-sitokin ini akan merangsang kondrosit melalui reseptor

permukaan spesifik untuk memproduksi CSFs yang sebaliknya akan

mempengaruhi monosit dan PA untuk mendegradasi rawan sendi secara

Page 22: REFERAT ORTHOPEDI

langsung. Pasien OA mempunyai kadar PA yang tinggi pada cairan sendinya.

Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks rawan sendi.

Interleukin-1 mempunyai efek multiple pada sel cairan sendi, yaitu

meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi yaitu stromelisin

dan kolagenosa, menghambat proses sintesis dan perbaikan normal kondrosit.

Pada percobaan menggunakan binatang, ternyata pemberian human

recombinant IL-1a sebesar 0,01 ng dapat menghambat sintesis

glukoaminoglikan sebanyak 50% pada hewan normal. Kondrosit pasien OA

mempunyai reseptor IL-1 dua kali lipat lebih banyak dibanding individu

normal dan kondrosit sendiri dapat memproduksi IL-1 secara lokal.

Faktor pertumbuhan dan sitokin tampaknya mempunyai pengaruh yang

berlawanan selama perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang

degradasi komponen matriks rawan sendi, sebaliknya faktor pertumbuhan

merangsang sintesis, padahal IGF-1 pasien OA lebih rendah dibandingkan

individu normal pada umur yang sama. Percobaan pada Kelinci membuktikan

bahwa puncak aktivitas sintesis terjadi setelah 10 hari perangsangan dan

kembali normal setelah 3-4 minggu.

F. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan darah lengkap

Osteoarthritis adalah gangguan arthritis lokal, sehingga tidak ada

pemeriksaan darah khusus untuk menegakkan diagnosis. Uji

laboratorium hanya dipakai untuk menyingkirkan bentuk-bentuk

arthritis lainnya. Faktor rheumatoid bisa ditemukan dalam serum,

karena faktor ini meningkat secara normal pada peningkatan usia. Laju

endap darah eritrosit mungkin akan sedikit meningkat apabila ada

sinovitis yang luas(Soeroso, 2006).

b. Pemeriksaan radiologi

Ciri khas yang sering terlihat pada gambaran radiologram

osteoarthritis adalah penyempitan ruang sendi. Keadaan ini terjadi

akibat menyusutnya tulang rawan sendi. Pada sendi lutut, penyempitan

Page 23: REFERAT ORTHOPEDI

ruang sendi dapat terjadi pada salah satu kompartemen saja.

Disamping ditemukan penyempitan sendi, peningkatan densitas tulang

di sekitar sendi juga dapat terjadi. Osteofit (spur) dapat terlihat pada

aspek marginal dari sendi. Kadangkala terlihat perubahan-perubahan

kistik dalam berbagai ukuran (Soeroso, 2006).

G. Penatalaksanaan

Tatalaksana terhadap OA secara umum dapat dibedakan menjadi

tatalaksanan non bedah dan bedah. Tatalaksana non bedah berupa obat-

obatan, perubahan pola diet, fisioterapi, serta modifikasi aktivitas. Terapi

obat-obatan berupa antinflamsi non steroid merupakan penatalaksanaan

utama pada OA (Soeroso, 2006).

Pengobatan ini selain membantu menghilangkan gejala nyeri juga

dapat mencegah perburukan yang dapat terjadi. Injeksi kortikosteroid pada

sendi dapat mengurangi nyeri untuk sementara, namun injeksi ini tidak

boleh sering diulang karena merupakan dapat menyebabkan destruksi

tulang. Fisioterapi bertujuan untuk memelihara mobilitas sendi dan

meningkatkan kekuatan otot. Memperkuat otot-otot di sekitar sendi dapat

memberikan efek proteksi terhadap sendi yang terserang OA dengan

meningkatkan penyerapan tekanan dan mengurangi beban terhadap sendi

(Soeroso, 2006).

Latihan yang dilakukan dapat berupa gerakan aerobik, namun tetap

menghindari aktivitas yang memberatkan sendi. Latihan secara teratur

dapat berguna dalam menurunkan berat badan yang pada akhirnya

membantu perbaikan OA, mengingat obesitas merupakan salah satu faktor

risiko OA.Terapi operatif pada pasien OA diindikasikan apabila

penatalaksanaan secara konservatif tidak memberikan hasil yang adekuat

berupa peningkatan fungsi sendi yang terkena serta adanya kelainan yang

progresif (Soeroso, 2006).

Debridement (pembersihan) sendi efektif dalam mencegah atau

menunda tindakan operatif. Sendi seperti sendi lutut cocok apabila

dilakukan debridement menggunakan alat yang disebut artroskopi.

Page 24: REFERAT ORTHOPEDI

Artroplasti atau prostatic joint replacement (penggantian sendi)

merupakan tindakan pembuangan sendi yang dan membuat sendi palsu

yang dapat terbuat dari plastik atau logam. Indikasi utama tindakan ini

adalah adanya nyeri, terutama yang disertai deformitas dan instabilitas.

Terapi ini memberikan hasil yang baik pada pasien-pasien OA yang berat

dan tidak dapat ditangani dengan terapi konservatif. Artrodesis atau

penggabungan sendi merupakan tindakan yang menghilangkan nyeri sendi

secara permanen namun menyebabkan hilangnya fungsi pergerakan

(Soeroso, 2006).

Tindakan ini lebih sering dilakukan pada sendi-sendi kecil seperti

sendi tangan, sedangkan bila dilakukan pada sendi-sendi besar seperti

sendi lutut atau sendi panggul umumnya memberikan hasil yang kurang

baik. Tindakan ini hanya dilakukan bila tindakan artroplasti tidak dapat

dilakukan karena alasan tertentu; atau untuk menyelamatkan artroplasti

yang gagal (Soeroso, 2006).

Page 25: REFERAT ORTHOPEDI

DISLOKASI

I. Pengertian

Dislokasi adalah keluarnya (bercerainya) kepala sendi dari mangkoknya.

Bila hanya sebagian yang bergeser disebut subluksasi dan bila seluruhnya

disebut dislokasi.

II. Diagnosa umum dislokasi:

- Anamnesis:

Persendiannya lepas/keluar dari tempatnya

Nyeri

Spasme otot

Gangguan fungsi- Pemeriksaan Fisik:

Swelling/pembengkakan

Deformitas: angulasi, rotasi, kehilangan bentuk yang normal,

pemendekan

Gerakan yang abnormal

Nyeri setempat

Dislokasi Shoulder/Bahu

a. Definisi

Dislokasi shoulder adalah pergeseran kaput humerus dari sendi glenohumeral,

berada di anterior dan medial glenoid (dislokasi anterior), di posterior (dislokasi

posterior), dan di bawah glenoid (dislokasi inferior). Sendi Bahu merupakan salah

satu sendi besar yang paling sering berdislokasi.Ini disebabkan karena banyaknya

rentang gerakan sendi bahu,mangkuk sendi glenoid yang dangkal serta adanya

longgarnya ligament.

1. Dislokasi Anterior

Dislokasi preglenoid subkorakoid, subklavikuler

Mekanisme trauma:

Page 26: REFERAT ORTHOPEDI

Paling sering ditemukan, jatuh dalam keadaan out stretched, trauma pada

scapula gambaran klinis nyeri hebat dengan gangguan pergerakan bahu,

kontur sendi bahu jadi rata, kaput humerus bergeser ke depan pemeriksaan

radiologist:

Kaput humerus terlihat di depan dan medial glenoid

Pengobatan:

1. dengan bius umum

Metode hipocrates: dibaringkan, tank anggota gerak, tekan kaput

humeri

Metode kocher: dilakukan tahap-tahap reposisi kocher

2. tanpa pembiusan

Teknik menggantung lengan

2. Dislokasi Posterior

Mekanisme trauma

Jarang ditemukan, trauma langsung pada sendi bahu dalam keadaan rotasi

interna.

Gambaran klinis

Nyeri, benjolan dibagian belakang sendi pemeriksaan radiologis

Khas: light bulb karena rotasi internal humerus

Pengobatan

Reduksi dengan menarik lengan, rotasi interna, Imobilisasi 3-6 minggu

3. Dislokasi Inferior

Kaput humerus terjepit di bawah glenoid, dengan lengan arah ke atas

pengobatan dilakukan reposisi tertutup seperti dislokasi anterior, jika gagal

dilakukan reposisi terbuka dengan operasi

4. Dislokasi dengan Fraktur

Biasanya adalah dislokasi tipe anterior dengan fraktur

Pengobatan

Dilakukan reposisi pada dislokasi maka fraktur akan tereposisi dan kembali

melekat pada humerus

Page 27: REFERAT ORTHOPEDI

b. Patofisiologi

Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan .Humerus terdorong

kedepan ,merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi.Kadang-

kadang bagian posterolateral kaput hancur.Mesti jarang prosesus akromium dapat

mengungkit kaput ke bawah dan menimbulkan luksasio erekta [dengan tangan

mengarah ;lengan ini hampir selalu jatuh membawa kaput ke posisi da bawah

karakoid

c. Indikasi Operasi

Dislokasi bahu yang tidak berhasil direduksi secara tertutup dan dislokasi yang

sudah neglected lebih dari 2 minggu.

d.  Komplikasi reduksi tertutup pada dislokasi bahu akut

Kerusakan nervus aksilaris

Kerusakan pembuluh darah

Tidak dapat tereposisi

Kaku sendi

Dislokasi rekuren, dilakukan tindakan operasi Putti-platt, Bristow dan

bankart

Perawatan Pasca reduksi tertutup

Imobilisasi dengan verban Velpeau atau collar cuff selama 3 minggu

Follow up

Pengawasan posisi ekstremitas atas dalam posisi fleksi, adduksi dan

internal rotasi untuk dislokasi bahu anterior dan ekstensi, abduksi, dan

eksternal rotasi untuk yang tipe posterior. Daerah lipatan aksilla harus

diperhatikan terjadinya mycosis, dan kondisi yang lembab harus

dihindarkan dan diatasi. Latihan isometrik segera dilakukan dan latihan

isotonik setelah 3 minggu.

e. Kontra indikasi operasi

Berhubung dengan kondisi medis/cedera penyerta yang tidak memungkinkan

dilakukan tindakan pembiusan

Page 28: REFERAT ORTHOPEDI

f. Diagnosis Banding

1. dislokasi akromioklavikula

2. fraktur klavikula

3. firaktur kolumna humeri

4. traktur humerus proksimal

g. Pemeriksaan penunjang

Rontgen foto (X-ray)

Sinar –X pada bagian anteroposterior akan memperlihatkan bayangan yang

tumpah-tindih antara kaput humerus dan fossa Glenoid,Kaput biasanya terletak di

bawah dan medial terhadap terhadap mangkuk sendi.

h. Komplikasi

Komplikasi Dini

- Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat

mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang

mati rasa pada otot tesebut.

- Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak.

Komplikasi lanjut

- Kekakuan sendi bahu:Immobilisasi yang lama dapat

mengakibatkan kekakuan sendi bahu ,terutama pada pasien yang

berumur 40 tahun.Terjadinya kehilangan rotasi lateral ,yang secara

otomatis membatasi Abduksi

- Dislokasi yang berulang: terjadi kalau labrum glenoid robek atau

kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid

- kelemahan otot

Page 29: REFERAT ORTHOPEDI

Dislokasi sendi panggul

Dislokasi sendi panggul merupakan suatu trauma yang hebat

apalagi dengan meningkatnya kecelakaan lalu lintas mengakibatkan

dislokasi sendi panggul sering ditemukan.

Dislokasi sendi panggul dibagi menjadi dalam tiga jenis :

a. Dislokasi posterior atau dislokasi posterior disertai adanya fraktur

Mekanisme trauma

Kaput femur dipaksa keluar ke belakang asetabulum melalui

suatu trauma yang dihantarkan pada diafisis femur dimana sendi

panggul dalam posisi fleksi atau semifleksi. Trauma biasanya terjadi

karena kecelakaan lalu lintas dimana lutut penumpang dalam

Page 30: REFERAT ORTHOPEDI

keadaan fleksi dan menabrak dengan keras bagian depan lutut.

Kelainan ini juga dapat terjadi sewaktu mengendarai motor. Lima

puuh persen dislokasi disertai fraktur pada pinggir asetabulum

dengan fragmen kecil atau besar.

Klasifikasi

Klasifikasi menurut Thompson Epstein 1973 , klasifikasi ini penting

untuk rencana pengobatan.

1) Tipe I; dislokasi tanpa fraktur atau dengan fragmen tulang yang

kecil

2) Tipe II; dislokasi dengan fragmen tunggal yang besar pada bagian

posterior acetabulum

3) Tipe III; dislokasidengan fraktur bibir acetabulum yang kominutif

4) Tipe IV; dislokasi dengan fraktur dasar acetabulum

5) Tipe V; dislokasi dengan fraktur caput os femur

Gambaran klinis

Penderita biasanya datang setelah suatu trauma yang hebat

disertai nyeri dan deformitas pada daerah sendi panggul. Sendi

panggul teraba menonjol ke belakang dalam posisi abduksi, fleksi

dan rotasi interna. Terdapat pemendekan anggota gerak bawah.

Pemeriksaan radiologi

Dengan sinar-x akan diketahui jenis dislokasi dan apakah

dislokasi disertai fraktur atau tidak. Pemeriksaan radiografi

menunjukkan caput os femur berada di atas acetabulum.

Pengobatan

Dislokasi harus direposisi secepatnya dengan pembiusan

umum disertai relaksasi yang cukup. Penderita dibaringkan dengan

pembantu menahan panggul. Sendi panggul difleksikan serta lutut

difleksikan 900 dan kemudian dilakukan penarikan pada paha secara

vertikal. Setelah direposisi, stabilitas sendi diperiksa apakah sendi

panggul dapat didislokasi dengan cara menggerakkan secara vertikal

pada sendi panggul.

Page 31: REFERAT ORTHOPEDI

Pada tipe II setelah reposisi, maka fragmen yang besar

difiksasi dengan screw secara operasi. Pada tipe III biasanya

dilakukan reduksi tertutup dan apabila ada fragmen yang terjebak

dalam acetabulum dikeluarkan melalui tindakan operasi. Tipe IV dan

V juga dilakukan reduksi secara tertutup dan apabila bagian fragmen

yang lepas tak tereposisi maka harus dilakukan reposisi dengan

operasi.

Perawatan pasca reposisi

Traksi kulit selama 4-6 minggu, setelah itu tidak

menginjakkan kaki dengan jalan mempergunakan tongkat selama 3

bulan.

Komplikasi

1) Dini

a) Kerusakan nervus sciatic; biasanya dapat mengalami

pemulihan. Apabila terdapat lesi sesudah reposisi, maka perlu

dilakukan eksplorasi saraf.

b) Kerusakan pada caput femur; sewaktu dislokasi sering caput

femur berbenturan dengan acetabulum hingga pecah.

c) Kerusakan pada pembuluh darah; pembuluh darah yang biasa

mengalami robekan adalah arteri gluteus superior. Bila

terdapat kecurigaan terhadap robekan pembuluh darah perlu

dilakukan arteriogram

d) Fraktur diafisis femur

2) Lanjut

a) Nekrosis avaskuler; sebanyak 10% dari seluruh dislokasi

panggul mengalami kerusakan pembuluh darah. Apabila

reposisi ditunda sampai beberapa jam, maka insidensnya

akan meningkat menjadi 40%. Kelainan ini biasanya

dideteksi setelah enam bulan sampai 2 tahun dan dengan

Page 32: REFERAT ORTHOPEDI

pemeriksaan radiologist ditemukan fragmentasi, sklerosis dan

pembentukan kista.

b) Miositis osifikans

c) Dislokasi yang tidak dapat direduksi. Apabila reduksi

tertunda untuk beberapa hari biasanya reposisi dengan cara

manipulasi sulit dilakukan.

d) Osteoarthritis; terjadi karena adanya kerusakan tulang rawan,

terdapat fragmen fraktur dalam ruang sendi atau adanya

nekrosis iskemik caput femur.

b. Dislokasi Anterior

Mekanisme trauma

Dislokasi anterior dapat terjadi akibat kecelakaan lalu-lintas,

terjatuh dari ketinggian atau trauma dari belakang pada saat

berjongkok dan posisi penderita dalam keadaan abduksi yang

dipaksakan. Trochanter menabrak acetabulum dan keluar melalui

robekan pada kapsul anterior. Bila sendi panggul dalam keadan

fleksi, maka terjadi dislokasi tipe obturator dan bila sendi panggul

dalam posisi ekstensi maka terjadi dislokasi tipe pubic atau iliaca.

Gambaran klinis

Tungkai bawah dalam keadaan rotasi eksterna, abduksi dan

sedikit fleksi. Tungkai tidak mengalami pemendekan karena

perlekatan musculus rectus femoris mencegah caput femur bergeser

ke proksimal. Terdapat benjolan di depan daerah inguinal, dimana

caput femur dapat diraba dengan mudah. Sendi panggul sulit

digerakan.

Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan menunjukkan caput os femur berada di bawah

acetabulum pada region foramen obturator, foto oblik dapat

menunjukkan bahwa letak caput os femur berada di anterior.

Pengobatan

Page 33: REFERAT ORTHOPEDI

Dilakukan reposisi seperti pada dislokasi posterior, kecuali

pada saat fleksi dan tarikan tungkai pada dislokasi posterior,

dilakukan adduksi pada dislokasi anterior.

Komplikasi

Komplikasi yang sering didapatkan adalah nekrosis avaskuler.

c. Dislokasi Sentral

Mekanisme trauma

Terjadi apabila caput os femur terdorong ke dinding medial

acetabulum pada rongga panggul. Namun kapsul tetap utuh. Fraktur

acetabulum terjadi karena dorongan yang kuat dari lateral atau jatuh

dari ketinggian pada satu sisi atau suatu tekanan yang melalui femur

dimana panggul dalam keadaan abduksi.

Gambaran klinis

Didapatkan perdarahan dan pembengkakan di daerah tungkai

bagian proksimal tetapi posisi tetap normal. Nyeri tekan pada daerah

trochanter. Gerakan sendi panggul sangat terbatas.

Pemeriksaan radiologis

Dengan pemeriksaan radiologis dapat diketahui adanya

pergeseran dari caput femur menembus panggul.

Pengobatan

Selalu diusahakan untuk mereposisi fraktur dan

mengembalikan bentuk acetabulum ke bentuk normalnya. Pada

fraktur acetabulum tanpa penonjolan caput femur ke dalam panggul,

maka dilakukan terapi konservatif dengan traksi tulang selama 4-6

minggu. Pada fraktur dimana caput femur tembus ke dalam

acetabulum, sebaiknya dilakukan traksi pada 2 komponen yaitu

komponen longitudinal dan lateral selama 6 minggu dan

diperbolehkan untuk berjalan dengan menggunakan penopang berat

badan.

Komplikasi

Page 34: REFERAT ORTHOPEDI

1) Kerusakan alat-alat dalam panggul yang dapat terjadi bersama-

sama fraktur panggul

2) Kaku sendi merupakan komplikasi lanjut

3) Osteoartritis

Page 35: REFERAT ORTHOPEDI

DAFTAR PUSTAKA

Compston JE, 2001. Sex Steroid and Bone. In: Physiological reviews. The

american physiology society: p. 419-46

Canalis E, 2005. The Fate of Circulating Osteoblast. N Engl J Med (35)2: p. 19

Perhimpunan Osteoporosis Indonesia. Indomedika: p. 1-16

Buckwalter JA, Glinicher MJ, Cooper RR, Recher R, 1995. Bone biology. J.Bone

Joint Surg; 77(8): p.1256-72

Cusharon, 1998. Basic Sciences. Electronic Textbook: www.worldortho.com

Darmawan. Ed.2. EGC Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta: hal. 180-5

Gomes J (2006). Osteoporosis dan bahaya pengeroposan tulang. Jakarta Arcan

Hoffbrand A.V, Pettit J.E, 1996. Essential Haematology; alih bahasa, Iyan

Karolina, Maha S. 2009. Hubungan Pengetahuan dan Pencegahan Osteoporosis

yang Dilakukan Lansia di Kecamatan Medan Selayang. FK USU.

Lane,N (2001). Osteoporosis : Patofisiologis. Jakarta. Raja Grafindo Persada

Osteoporosis. edisi I. Editor: Suherman SK, Tobing S Dohar AL.

Page 36: REFERAT ORTHOPEDI

Rachman IA, 2006. Osteoporosis primer (Post menopause osteoporosis). In:

Raisz LG, 2005. Pathogenesis of osteoporosis concepts, conflicts and prospects.

J.Clin Invest; 115 (12): p. 3318-25

Riis BJ, 1996. The role of bone turnover in pathophysiology of osteoporosis. Br J

Obstet Gynecol. 103 (13): p. 9-15

Setiyohadi, Bambang. 2007. Osteoporosis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.

EGC: Jakarta

UNSRI. OSTEOPOROSIS : SUATU PROBLEMATIK PADA MASA

KLIMAKTERIUM DAN MENOPAUSE. Diakses pada tanggal 10 Feb. 12

melalui http://digilib.unsri.ac.id

Chairuddin, Rasjad Prof, MD, PhD.Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. 2003.

Makasar

http://bedahunmuh.wordpress.com/2010/05/20/dislokasi-bahu-akut/

http://dislokasisendibahu.blogspot.com/2011/04/dislokasi-pada-sendi-bahu.html

http://herdinrusli.wordpress.com/2009/03/06/fisioterapi-pada-dislokasi-shoulder-

anterior/

http://www.emedicinehealth.com/shoulder_dislocation/article_em.htm

Page 37: REFERAT ORTHOPEDI

Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, Broto R, Pramudiyo R. Osteoartritis. In: Sudoyo

AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu

penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Indonesia; 2006. p. 1195-201.

Koentjoro, S.L. 2010. Hubungan antara Indeks Masa Tubuh (IMT) dengan

Derajat Osteoartritis Lutut menurut Kellgren dan Lawrence. Skripsi. Semarang :

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro