lapsus KDK.doc
-
Upload
alman-pratama-manalu -
Category
Documents
-
view
52 -
download
4
description
Transcript of lapsus KDK.doc
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang demam merupakan salah satu kelainan neurologis yang paling sering
dijumpai pada bayi dan anak. Dari penelitian oleh berbagai pakar didapatkan bahwa
sekitar 2,2%- 5% anak pernah mengalami kejang demam sebelum mereka mencapai
usia 5 tahun.
Kejang demam berdasarkan definisi dari The International League Againts
Epilepsy (Commision on Epidemiology and Prognosis, 1993) adalah kejang yang
disebabkan kenaikan suhu tubuh lebih dari 38,4°C tanpa adanya infeksi susunan saraf
pusat atau gangguan elektrolit akut pada anak berusia di atas 1 bulan tanpa riwayat
kejang tanpa demam sebelumnya. Demam pada kejang demam umumnya disebabkan
oleh infeksi, yang sering terjadi pada anak-anak, seperti infeksi traktus respiratorius
dan gastroenteritis.
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan
sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah
menderita kejang demam. Kejang demam sangat tergantung kepada umur, 85%
kejang pertama sebelum umur 4 tahun, terbanyak diantara 17-23 bulan. Hanya sedikit
yang mengalami kejang demam pertama sebelum umur 5-6 bulan atau setelah
berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah berumur 6 tahun pasien tidak kejang demam
lagi, walaupun pada beberapa pasien masih dapat megalami sampai umur lebih dari
5-6 tahun.
1
BAB II
STATUS PASIEN
2.1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Pita Dewi
Umur : 1 tahun 7 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. KH. Azhari Lr. Keramat RT/RW 27/02 Kel. 5 Ulu
Tanggal MRS : 20 Juni 2013
No. RM : 095960
2.2. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Pasien datang RSUD Bari dengan keluhan kejang.
Riwayat Penyakit Sekarang :
3 hari SMRS, pasien mengalami demam tinggi yang disertai batuk-pilek.
Pasien mengalami kejang 2 kali disertai demam. Kejang pertama berdurasi < 1 menit
dan kejang kedua berdurasi 30 menit. Pasien mengalami kejang umum tonik klonik.
Sekitar seminggu SMRS, pasien mengalami batuk-pilek yang disertai demam
serta bersin.
Riwayat kejang dalam keluarga pasien (+). Keluhan ini pertama kalinya
dialami oleh pasien.
2.3. Pemeriksaan Fisik
Status generalis
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Vital sign : Nadi : 120 x/menit, RR : 32 x/menit, T : 38,1 °C
2
Kepala : normocephali, kelainan bentuk wajah (-), konjungtiva tidak anemis,
sklera tidak ikterik, pupil bulat isokor, refleks pupil +/+ normal, nafas
cuping hidung (-), sekret hidung (+) dan eritema
Leher : pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-), JVP tidak meningkat
Pulmo : Pergerakan simetris kanan dan kiri, retraksi (-), Vesikuler, Rhonki
Wheezing -/-
Cor : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Datar, lemas, bising usus (+) normal
Extremitas atas: Akral hangat, CRT < 2”
Status Gizi
BB : 6,5 kg
PB : 68 cm
Pengukuran status gizi menggunakan Z-score WHO didapatkan hasil :
1. BB/U : < -3 SD
2. PB/U : < -3 SD
3. BB/PB : < -2 SD
Pasien dinyatakan menderita gizi kurang.
2.4. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Tanggal 20 Juni 2013
- Hb : 10,1
- Leukosit : 18.800
- Trombosit : 319.000
- Ht : 33%
- Hitung jenis : 0/2/3/69/21/5
2.5. Diagnosis Kerja
Kejang Demam Kompleks + ISPA dan Gizi Kurang
3
2.6. Penatalaksanaan
1. Dumin suppositoria 125 mg
2. IVFD D5 ½ NS gtt 26
3. PCT 3X1 cth
4. Ampicillin 3X225 mg
5. Gentamisin 2X4 strip
6. Diazepam oral 3X2 mg
2.7. Follow up
Tanggal 21-6-2013
S : demam (-) batuk (+)
O : KU : tampak sakit sedang ; Sens : CM
Tanda vital : N : 120 x/m RR : 32 x/m T : 37,2°C
Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), NCH (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : pulmo : simetris, retraksi (-), ves (+) N, rh/wh (-/-)
Cor : BJ I & II (N), m/g (-/-)
Abdomen : datar, lemas, BU (+) N, turgor kembali cepat
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 3”
A : KDK + ISPA dan Gizi kurang
P : IVFD D5 ½ NS gtt 26 mikro
PCT 3X1 cth
Ampicillin 3X225 mg
Gentamisin 2X4 strip
Diazepam oral 3X2 mg
4
Tanggal 22-6-2013
S : demam (+), batuk (+)
O : KU : tampak sakit sedang, sens : CM
Tanda vital : T : 37,8°C N : 120 x/m RR : 24 x/m
Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), NCH (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : pulmo : simetris, retraksi (-), ves (+) N, rh/wh (-/-)
Cor : BJ I & II (N), m/g (-/-)
Abdomen : datar, lemas, BU (+) N, turgor kembali cepat
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 3”
A : KDK + ISPA dan gizi kurang
P : PCT 3X1 cth
Ampicillin 3X225 mg
Gentamicin 2X4 strip
Diazepam oral 3X2 mg
Diet nasi bubur (1000 kkal + 10 gr protein)
Konsul gizi : energi 1340 kkal, protein 13,4 gr, NB 900 kkal, F100 450 kkal
Ambroxol syr 2X1/2 cth
Tanggal 23-6-2013
S : demam (-), batuk-pilek (+), kejang (-)
O : KU : tampak sakit sedang, sens : CM, BB: 6,4 kg
Tanda vital : T : 36,4°C RR : 38 x/m HR : 120 x/m
Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), NCH (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : pulmo : simetris, retraksi (-), ves (+) N, rh/wh (-/-)
Cor : BJ I & II (N), m/g (-/-)
Abdomen : datar, lemas, BU (+) N, turgor kembali cepat
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 3”
A : KDK + ISPA dan gizi kurang
5
P : PCT 3X1 cth
Ampicillin 3X225 mg
Gentamicin 2X4 strip
Diazepam oral 3X2 mg
NB 900 kkal, F100 450 kkal
Ambroxol syr 2X1/2 cth
Tanggal 24-6-2013
S : demam (-), batuk-pilek (+) 4 hari, kejang (-)
O : KU : tampak sakit sedang, sens : CM, BB: 6,4 kg
Tanda vital : T : 36,4°C RR : 38 x/m HR : 120 x/m
Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), NCH (-), UUB datar, pupil
isokor
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : pulmo : simetris, retraksi (-), ves (+) N, rh/wh (-/-)
Cor : BJ I & II (N), m/g (-/-)
Abdomen : datar, lemas, BU (+) N, turgor kembali cepat
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 3”
A : KDK + ISPA dan gizi kurang
P : PCT 3X1 cth (bila demam ≥ 38,5 )
Ampicillin 3X225 mg (hari ke-5)
Gentamicin 2X4 mg (hari ke-5)
Diazepam oral 3X2 mg
NB 900 kkal, F100 450 kkal (1350 kkal + 13,6 gr protein)
Ambroxol syr 2X1 cth
Cek lab ulang : Hb : 10,5 leukosit : 6700 trombosit : 262000 Ht : 34% diffcount :
0/2/1/25/56/6
6
Tanggal 25-6-2013
S : batuk (+), kejang (-), demam (-)
O : KU : sakit sedang, sens : CM, BB : 6,7 kg
Tanda vital : T : 36,4°C RR : 30 x/m HR : 132 x/m
Kepala : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), NCH (-), UUB datar, pupil
isokor
Leher : pembesaran KGB (-)
Thorax : pulmo : simetris, retraksi (-), ves (+) N, rh/wh (-/-)
Cor : BJ I & II (N), m/g (-/-)
Abdomen : datar, lemas, BU (+) N, turgor kembali cepat
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 3”
A : KDK + ISPA dan gizi kurang
P : PCT 3X1 cth (bila demam ≥ 38,5 )
Amoxicillin
Diazepam oral 3X2 mg
NB 900 kkal, F100 450 kkal (1350 kkal + 13,6 gr protein)
Ambroxol syr 2X1 cth
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Kejang demam
A. Definisi
Kejang didefinisikan sebagai bangkitan kejang yang terjadi pada suhu yang
meninggi (suhu diatas 38°C ) karena proses ekstrakranium1,2.
B. Faktor resiko
Beberapa faktor resiko kejang demam adalah (1) demam, (2) usia, (3) riwayat
keluarga, (4) faktor prenatal seperti usia ibu, riwayat hipertensi, dll; (5) riwayat
perinatal seperti asfiksia, BBLR, masa gestasi, dll; (6) riwayat postnatal seperti
trauma kepala.
C. Etiologi
Semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang
menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling
sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas, otitis
media akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi saluran
kemih1,2.
D. Epidemiologi
Pendapat para ahli tentang usia penderita saat terjadi bangkitan kejang demam
tidak sama. Pendapat para ahli menyatakan bahwa kejang demam lebih banyak
terjadi pada anak umur 6 bulan-5 tahun. Insiden bangkitan kejang demam
tertinggi pada usia 18 bulan.
Prevalensi dan insiden kejang demam berbeda diberbagai negara. Di Amerika
Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2-5%. Di Asia prevalensi
kejang demam meningkat dua kali lipat dibandingkan di Amerika Serikat dan
Eropa. Di jepang kejadian kejang demam berkisar 8,3-9,9% dan di Guam
kejadian kejang demam berkisar 14%.
8
E. Klasifikasi
Kejang demam dibagi menjadi dua kelompok yaitu kejang demam sederhana
dan kejang demam kompleks.
Tabel 3.1 perbedaan kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks
Klinis KD sederhana KD kompleks
Durasi < 15 menit > 15 menit
Tipe kejang Umum Fokal/umum
Frekuensi dalam 24 jam 1 kali > 1 kali
Defisit neurologis - +/-
F. Patofisiologi
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan
listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron
tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi.
Kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15%
dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu
dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu
yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui
membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik
ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran
sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan
terjadilah kejang. Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme
sebagai berikut :
a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang
belum matang/immatur
b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang
menyebabkan gangguan permeabilitas membran sel
9
c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat
dan CO2 yang akan merusak neuron
d. Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF) serta
meningkatkan kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan
gangguan pengaliran ion-ion keluar masuk sel.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi
rendahnya ambang kejang seorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu
tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang terjadi pada suhu
38°C sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru
terjadi pada suhu 40°C atau lebih.
G. Manifestasi klinis
Umumnya kejang demam berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik
atau tonik klonik bilateral. Seringkali berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti
anak tidak akan memberikan reaksi apapun untuk sejenak tetapi setelah beberapa
detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit neurologis.
Kejang demam dapat diikuti oleh hemiparesis sementara (hemiparesis Todd)
yang berlangsung beberapa jam atau hari.
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat dan biasanya
berkembang bila suhu tubuh (dalam) mencapai 38°C atau lebih. Kejang khas
yang menyeluruh, tonik klonik beberapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan
periode mengantuk singkat pasca kejang. Kejang demam yang lebih lama dari 15
menit menunjukkan penyebab organik seperti proses infeksi atau toksik yang
memerlukan pengamatan menyeluruh.
H. Diagnosa
Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis kejang
demam antara lain :
a. Anamnesis
1. Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama
kejang, suhu sebelum dan saat kejang, frekuensi, interval pasca
kejang, penyebab demam diluar susunan saraf pusat
10
2. Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang demam
seperti genetik, menderita penyakit tertentu disertai demam
tinggi, serangan kejang pertama disertai suhu dibawah 39°C
3. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kejang demam
berulang adalah usia <15 bulan saat kejang demam pertama,
riwayat kejang demam dalam keluarga, kejang segera setelah
demam atau saat suhu sudah relatif normal, riwayat demam yang
sering, kejang demam pertama berupa kejang demam kompleks.
b. Gambaran klinis
1. Suhu tubuh mencapai 38°C
2. Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang
3. Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan
lengan mulai kaku, bagian tubuh anak mulai terguncang. Gejala
kejang bergantung pada jenis kejang
4. Kulit pucat dan menjadi biru
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada
kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber
infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis
dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan yang dilakukan adalah darah
rutin, glukosa darah, elektrolit, Urin dan feses rutin (makroskopis dan
mikroskopik), dan kultur darah.
Pemeriksaan lumbal pungsi dilakukan untuk menyingkirkan
meningitis. Lumbal pungsi sangat dianjurkan untuk dilakukan pada
bayi usia kurang dari 12 bulan, dianjurkan pada usia 12-18 bulan, dan
tidak rutin pada bayi usia > 18 bulan.
Pemeriksaan EEG pada kejang demam kompleks didapatkan
gelombang abnormal tetapi pemeriksaan EEG ini tidak dapat
memprediksi berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan
kejadian epilepsi.
11
I. Tatalaksana
Tatalaksana kejang demam memiliki 3 hal yang perlu dikerjakan yaitu :
1. Pengobatan fase akut
Saat pasien datang dengan kejang semua pakaian yang ketat dibuka,
dan jalan nafas pasien harus dibebaskan agar oksigenasi terjamin.
Awasi keadaan vital seperti kesadaran, suhu, tekanan darah,
pernafasan, dan fungsi jantung. Suhu tubuh tinggi dapat diberikan
kompres air dingin.
Diazepam merupakan pilihan utama dengan pemberian secara
intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intrarektal adalah sebagai
berikut :
a. 5 mg untuk anak usia < 3 tahun atau 7,5 mg untuk anak usia >
3 tahun
b. 5 mg untuk anak dengan berat badan < 10 kg atau 10 mg untuk
anak dengan berat badan > 10 kg
c. 0,5-0,75 mg/kgBB/kali
Pemberian diazepam rektal dapat dilakukan di rumah sebanyak 2
kali berturut-turut dengan jarak 5 menit. Jika anak masih demam
setelah 2 kali pemberian diazepam rektal, berikan diazepam secara
injeksi intravena dengan dosis 0,2-0,5 mg/kgBB perlahan. Bila anak
masih kejang berikan fenitoin intravena dengan dosis 15 mg/kgBB.
Jika masih kejang, pasien dirawat di ruang rawat intensif dan diberikan
phenobarbital.
2. Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan Meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang
pertama. Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi
lumbal hanya pada kasus yang dicurigai Meningitis atau apabila
kejang demam berlangsung lama. Pada bayi kecil sering mengalami
12
Meningitis tidak jelas, sehingga pungsi lumbal harus dilakukan pada
bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan pada pasien berumur
kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain perlu dilakukan
utuk mencari penyebab.
3. Pengobatan profilaksis
Kambuhnya kejang demam perlu dicegah karena serangan kejang
merupakan pengalaman yang menakutkan dan mencemaskan bagi
keluarga pasien. Setelah kejang teratasi atau berhenti, segera tentukan
apakah pasien memerlukan pengobatan profilaksis rumatan atau
intermitten.
1. Pengobatan rumatan
Pengobatan rumatan adalah pengobatan yang diberikan secara
terus menerus untuk jangka waktu yang lama. Obat yang
digunakan untuk mencegah tidak berulangnya kejang demam
adalah fenobarbital atau asam valproat. Dosis asam valproat
adalah 10-40 mg/kgBB/hari dibagi 2-3 dosis sedangkan
fenobarbital 3-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Indikasi
pengobatan rumatan adalah (1) durasi kejang > 15 menit, (2)
anak mengalami kelainan neurologis yang nyata
sebelum/sesudah kejang, (3) kejang fokal.
2. Pengobatan intermitten
Pengobatan intermitten adalah pengobatan yang diberikan pada
saat anak mengalami demam, untuk mencegah terjadinya
kejang demam. Pengobatan ini terdiri atas antipiretik dan
antikonvulsan. Antipiretik yang digunakan adalah parasetamol
atau asetaminofen dengan dosis 10-15 mg/kgBB/kali diberikan
4 kali. Dapat juga diberikan antipiretik ibuprofen 10
mg/kgBB/kali diberikan 3 kali. Antikonvulsan yang digunakan
adalah diazepam oral dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/8 jam saat
13
pasien demam. Dapat juga diberikan secara rektal dengan dosis
0,5 mg/kgBB/kali diberikan sebanyak 3 kali per hari
3.2. Gizi kurang
A. Definisi
Gizi kurang adalah gangguan kesehatan akibat kekurangan atau
ketidakseimbangan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, aktivitas
berfikir dan semua hal yang berhubungan dengan kehidupan. Berdasarkan Bagan
Tatalaksana Anak Gizi Buruk, seorang anak dinyatakan sebagai gizi buruk jika
memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. BB/TB < - 2 SD s.d – 3 SD
2. LiLA antara 11,5-12,5 cm (untuk anak usia 6-59 bulan)
3. Tidak ada edema
4. Nafsu makan baik
5. Tanpa komplikasi medis
B. Etiologi
1. Jumlah makanan yang masuk kurang dikarenakan tidak tersedianya
makanan secara adekuat, anak tidak cukup mendapat gizi seimbang,
dan pola makan yang salah
2. Penyakit yang dipengaruhi oleh kesadaran akan kebersihan (personal
hygiene dan ancaman endemisitas penyakit tertentu
C. Manifestasi klinis
1. Gangguan pertumbuhan
2. Malas dan terlihat lemas
3. Gangguan imunitas tubuh
4. Perilaku gelisah, cengeng, dan apatis
D. Komplikasi
1. Kwashiorkor
2. Marasmus
3. Marasmic-kwashiorkor
14
E. Tatalaksana
1. Pemberian makanan yang mengandung protein, tinggi kalori, cairan,
vitamin dan mineral
2. Penanganan segera penyakit penyerta jika ada
3. Kontrol berat badan secara rutin
4. Penyuluhan gizi pada orang tua
15
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada anamnesis didapatkan data bahwa pasien berusia 1 tahun 7 bulan
beralamat di dalam kota, dirawat di bangsal anak dengan keluhan utama kejang.
Kejang pada pasien yaitu kejang umum tonik-klonik dengan durasi kejang yang
pertama < 1 menit dan kejang kedua sekitar 30 menit. Berdasarkan hal tersebut pasien
dinyatakan mengalami kejang demam kompleks. Pada anamnesis didapatkan bahwa
pasien menderita batuk-pilek yang disertai bersin sejak seminggu sebelum masuk
rumah sakit sehingga didiagnosa adanya ISPA.
Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tanda vital seperti keadaan umum
tampak sakit sedang, nadi normal, frekuensi nafas normal, dan suhu tubuh febris
38,1°C (38-39°C). Pemeriksaan kepala dalam batas normal kecuali pada pemeriksaan
hidung didapatkan sekret dan kemerahan atau eritema. Pemeriksaan faring tidak
didapatkan kemerahan. Pemeriksaan leher tidak terdapat pembesaran KGB, JVP tidak
meningkat dan tidak ada kaku kuduk. Pemeriksaan thoraks, pada pulmo ves (+) N,
rh/wh (-/-); pada cor BJ I & II normal, m/g (-/-). Pemeriksaan abdomen bentuk datar,
lemas, BU (+) normal. Ekstremitas akral hangat dan CRT <2”. Berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik pada hidung dan faring, diagnosis ISPA telah
ditegakkan. Pemeriksaan khusus seperti GRM didapatkan negatif sehingga diagnosis
banding dengan meningitis dapat tersingkir.
Pasien dinyatakan mengalami kejang demam kompleks dan ISPA
berdasarkan riwayat batuk-pilek, demam, serta bersin yang terjadi seminggu sebelum
pasien masuk rumah sakit.
Status gizi pasien dihitung dengan menggunakan tabel Z-score WHO dan
didapatkan hasil pasien mengalami gizi kurang.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa pemeriksaan laboratorium
dengan hasil Hb 10,1 g/dL (normal), leukosit 18.800 (meningkat), trombosit 319.000
16
(normal), Ht 33% (turun), diffcount 0/2/3/69/21/5. Leukosit meningkat menunjukkan
adanya tanda infeksi yang terjadi bersamaan dengan ISPA.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang
telah dilakukan disimpulkan bahwa pasien ini didiagnosa dengan kejang demam
kompleks + ISPA dan gizi kurang.
Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini adalah pemberian
antipiretik paracetamol 68 mg yang diberikan jika temperatur pasien melebihi 38,5°C.
Hal tersebut merupakan pencegahan penyebab kejang akibat demam tinggi.
Pemberian antikonvulsan diazepam oral 3X2,04 mg digunakan untuk mengatasi
kejang. Pemberian antibiotik ampicillin 3X225 mg dan gentamisin 2X4 mg bertujuan
untuk mengatasi infeksi saluran nafas. Pemberian nasi bubur dengan total kalori 900
dan F100 3X150 kkal disesuaikan untuk memperbaiki kebutuhan kalori dan protein
pasien. Pemberian ambroxol 2X1 cth diberikan untuk mengurangi batuk dengan
dahak. Pengobatan selanjutnya yang diberikan bersifat rumatan dikarenakan kejang
terjadi lebih dari 15 menit dan kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
Pasien diberikan antikonvulsi asam valproat dengan dosis 268 mg terbagi dalam 3
dosis. Pemberian asam valproat diikuti dengan pemeriksaan SGOT dan SGPT setelah
2 minggu dari konsumsi pertama obat kemudian selanjutnya diperiksa tiap 3 bulan
sekali. Pengobatan rumatan dilakukan selama 1 tahun kemudian dihentikan secara
bertahap selama 1-2 bulan.
Prognosis pada kasus ini, quo ad vitam bonam dan quo ad fungsionam
bonam dikarenakan tidak adanya kelainan neurologis, kejang demam memiliki 25-50
% untuk berulang pada 6 bulan pertama dari serangan pertama, dan kejang demam
tidak menyebabkan kematian.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI Jakarta. 1985 : 25, 847 – 855
2. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FK Unsri. Kejang demam. Dalam : Standar
Penatalaksanaan Ilmu Kesehatan Anak. Departemen Ilmu Kesehatan Anak
RSMH Palembang. 2010 : 1-3
3. Ngastiyah. Kejang demam. Dalam : Perawatan Anak Sakit. Jakarta : EGC. 1998.
4. Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Vol. 3,
Edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; XXVII : 2059 – 2060.
5. Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani Wahyu Ika, et al. Neurologi Anak, dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Kedua. Media Aesculapius FK
Universitas Indonesia, Jakarta. 2000 : 48, 434 – 437
6. SoetomenggoloTS. Kejang demam. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S,
penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta : BP IDAI; 2000. Hal. 244-252
7. Saharso Darto. Kejang Demam, dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag./SMF
Ilmu Kesehatan Anak RSU dr. Soetomo, Surabaya. 2006 : 271 – 273
8. Pusponegoro Hardiono D, Widodo Dwi Putro, Ismael Sofyan. Konsensus
Penatalaksanaan Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia, Jakarta. 2006 : 1 – 14
9. Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan
Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM, Jakarta. Cermin
Dunia Kedokteran No. 27. 1982 : 6 – 8
10. Nelson KB, Ellenberg JH. Prognosis in Children With Febrile Seizures.
Pediatrics : 61 (5) : 720-727
18