Lapsus HIE (Febri) 2

87
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA LAPORAN KASUS HIPOKSIK ISKEMIK ENSEFALOPATI Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Departemen Kesehatan Anak Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa DiajukanKepada : Pembimbing dr. Endang Prasetyowati, Sp. A Disusun Oleh : Febri Qurrota Aini NRP. 1320221136 Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak 1

description

hhreg

Transcript of Lapsus HIE (Febri) 2

Page 1: Lapsus HIE (Febri) 2

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA

LAPORAN KASUS

HIPOKSIK ISKEMIK ENSEFALOPATI

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

di Departemen Kesehatan Anak

Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

DiajukanKepada :

Pembimbing

dr. Endang Prasetyowati, Sp. A

Disusun Oleh :

Febri Qurrota Aini NRP. 1320221136

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran – UPN ”VETERAN” JAKARTA

Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Periode 20 Oktober 2014 – 27 Desember 2014

1

Page 2: Lapsus HIE (Febri) 2

LEMBAR PENGESAHAN KOORDINATOR KEPANITERAAN

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

Laporan Kasus dengan judul :

HIPOKSIK ISKEMIK ENSEFALOPATI

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik

di Departemen Anak

Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Disusun Oleh:

Febri Qurrota Aini

132.0221.136

Mengesahkan:

Pembimbing

dr. Endang Prasetyowati, Sp.A

NIP. 19640803 199201 2 001

2

Page 3: Lapsus HIE (Febri) 2

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan YME yang telah memberikan rahmat

dan hidayah - Nya sehingga saya dapat tepat waktu menyelesaikan laporan kasus ini.

Dalam laporan kasus ini tentunya terdapat banyak kekurangan. Namun dengan

kerendahan hati, saya memohon kritik dan saran apabila terdapat sesuatu hal dalam

laporan kasus ini yang dirasa kurang tepat.

Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan baik dalam

penulisan laporan kasus maupun dalam proses pembelajaran saya.

Terima kasih.

Ambarawa, Desember 2014

(Penulis)

3

Page 4: Lapsus HIE (Febri) 2

BAB I

LAPORAN KASUS

I.1 Identitas Pasien

Nama : By. Ny. S

Umur : 0 hari

Tanggal Lahir : 04 November 2014

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Wonorejo 2/1 Pringapus, Kab. Semarang

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Pekerjaan : Di bawah umur

Tanggal masuk RSUD : 04 November 2014

Tanggal periksa : 04 November 2014

No.RM : 068299

Kelompok pasien : BPJS NON PBI

I.2 Anamnesis (Subyektif)

Keluhan utama : Wajah kebiruan

Riwayat Penyakit Sekarang

Bayi baru lahir secara spontan pada pukul 04.30 WIB dari ibu G2P2A0

dengan usia kehamilan 43 minggu, dengan riwayat Ketuban Pecah Dini > 48 jam

dan lilitan tali pusat (+). Bayi lahir tidak langsung menangis, gerakan tidak aktif,

warna kulit biru. Bayi langsung di suction dan diberikan ventilasi tekanan positif

di ruang Bougenville sebanyak 5 liter. Setelah diberi ventilasi tekanan postif di

Ruang Bougenville kulit bayi bagian badan mulai kemerahan namun kulit wajah

tetap kebiruan. Bayi akhirnya dibawa ke Seruni, dalam perjalanan ke Seruni bayi

di beri rangsang dan bayi mulai menangis. Di Seruni bayi diberikan ventilasi

tekanan positif dan kompresi dada, namun wajahnya tetap kebiruan. Pasien diberi

4

Page 5: Lapsus HIE (Febri) 2

bantuan kanul O2. BBL 3250 gr, PB 46,5 cm, LD: 33 cm, LK 34 cm, LL 10,5

cm. APGAR score 1-2-3.

Warna kulit biru kemerahan (+), sianosis (+), hipotonus (+), refleks hisap

(+) lemah, refleks moro (-)

2 jam setelah pasien lahir timbul kejang (+), dengan posisi mulut

mencucu, mata tertutup, lengan fleksi, nadi meningkat.

Riwayat Penyakit Dahulu (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

Di keluarga tidak memiliki riwayat kejang sebelumnya.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan

1. Riwayat ANC

o Kontrol rutin setiap obat habis.

o Riwayat persalinan: lahir spontan di RSUD ambarawa, dengan

BBL: 3250 gram dan PB: 46,5 cm.

Riwayat Habits

Riwayat pemeliharaan binatang (-)

Lingkungan rumah : tidak cukup bersih

Riwayat Sosial Ekonomi :

Pasien anak kedua dari 2 bersaudara. Pasien tinggal bersama ayah dan ibu.

Ayah bekerja serabutan, dan ibu bekerja sebagai buruh.

5

Page 6: Lapsus HIE (Febri) 2

Genogram

I.3 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan dilakukan pada hari ke-I rawat inap di bangsal Seruni

(tanggal 4 November 2014 pukul WIB).

Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : kejang, tidak aktif, tangisan lemah, sianosis (+) pada

wajah.

Kesadaran : Letargi

Tanda vital :

o Nadi : 120 x/menit,

o RR : 52 x/menit

o Suhu tubuh : 36,3 °C

o Saturasi : 94%

Data Antropometri

Berat badan : 3250 gram

Panjang badan : 46.5 cm

Lingkar Kepala : 34 cm

Kesan = status gizi normal

6

Page 7: Lapsus HIE (Febri) 2

Status Interna

• Kulit : lanugo menipis, kemerahan pada badan (+), pucat (-),

sianosis pada wajah (+), turgor kulit (+), neonatal ikterik (-)

• Kepala : Mikrocephal, UUB belum menutup, Caput Succadeneum

(-), Cephal Hematom (-)

• Mata : pupil bulat isokor, reflek cahaya +/+. CA(-/-), SI (-/-),

• Hidung : simetris, nafpas cuping hidng (-), deformitas (-), secret (-)

• Telinga : pinna keras dan berbentuk, rekoil dengan segera, secret

(-/-)

• Mulut : bibir kering (-), sianosis (-), labioschisis (-),

palatoschicic (-)

• Leher : pembesaran limfonodi (-)

Cor

• Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

• Palpasi : ictus cordis teraba V linea midclav sinistra, kuat angkat

(-)

• Auskultasi : bunyi jantung I-II,reguler, suara tambahan (-), bisisng (-)

Pulmo

• Inspeksi : gerak simetris (statis dan dinamis), retraksi suprasternal

(-) subcotal (-)

• Palpasi : fremitus taktil dextra=sinistra

• Perkusi : sonor seluruh lapang paru

• Auskultasi : suara dasar vesikuler +/+, wheezing –

Abdomen

• Inspeksi : datar, tali pusat basah, menonjol –

• Auskultasi : bising usus (+) dbn

• Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen

• Palpasi : supel, hepar dan lien tak teraba

Punggung : spina bifida -, meningokel –

Genitalia : testis di skrotum rugae jelas, anus +

7

Page 8: Lapsus HIE (Febri) 2

Ekstremitas

Superior Inferior

Deformitas -/- -/-

Akral dingin -/- -/-

Sianosis -/- -/-

Ikterik -/- -/-

CRT <2” / <2” <2” / <2”

Tonus Hipertoni Hipertoni

Kedua lengan dan tungkai dalam posisi fleksi, Garis lipatan telapak kaki

jelas pada 2/3 anterior

Refleks primitive

Reflek

Rooting -

Sucking + lemah

Morro -

Plantar grasping Tidak

dapat

dinilai

Palmar grasping +

Tonick neck Tidak

dapat

dinilai

babinsky +

New Ballarad Score

a. Neuromuscular

Postur : 4

Arm window : 3

Arm recoil : 4

8

Page 9: Lapsus HIE (Febri) 2

Poplitea angel : 5

Scarf sign : 4

Heal to ear : 4

Total : 24

b. Maturasi Fisik

Kulit : 3

Lanugo : 2

Plantar surface : 3

Dada : 2

Mata dan telinga : 3

Genitalia : 3

Total : 16

TOTAL BALLARAD : 40 40 minggu

Kurva LUBCHENCO

BBL 3250 gr dengan usia kehamilan 40 minggu.

Kesan : Berat badan lahir sesuai masa kehamilan.

I.4 Assesment

• Obs. Kejang ec HIE

• Asfiksia berat

• Neonatal infeksi

• Neonatus postterm

9

Page 10: Lapsus HIE (Febri) 2

1.5 Planning

o Darah lengkap

o Golongan darah

o GDS

o Elektrolit

o USG kepala

I.6 Pemeriksaan Penunjang

Hasil laboratorium :

Tanggal 05-09-2014 (Pukul: 7.21)

PEMERIKSAAN HASIL NILAI

RUJUKAN

SATUAN

KIMIA KLINIK

Gula Darah Sewaktu 22 L 30-80 mg/dL

Kesan: Hipoglikemia

Terapi: extra 15 cc D10%

Pemeriksaan Laboratorium:

Tanggal : 4-11-2014 (Pukul 10.51)

PEMERIKSAAN HASIL NILAI

RUJUKAN

SATUAN

HEMATOLOGI

Darah Rutin

Hemoglobin 11.4 L 14.5 – 22.5 g/dL

Leukosit 24.2 10 – 30 Ribu

Eritrosit 2.87 L 4.0 – 5.4 Juta

Hematokrit 33.9 L 44 – 58 %

10

Page 11: Lapsus HIE (Febri) 2

Trombosit 142 L 150 – 400 Ribu

MCV 118.1 100 – 120 Mikro m3

MCH 39.7 H 34 – 38 Pg

MCHC 33.6 32 – 36 g/dL

RDW 15.6 10 – 16 %

MPV 8.1 7 – 11 Mikro m3

Limfosit 6.4 2.0 – 11.0 10*3/mikroL

Monosit 1.6 0.4 – 3.1 10*3/mikroL

Eosinofil 0.2 0.2 – 0.85 10*3/mikroL

Basofil 0.3 0-0.64 10*3/mikroL

Neutrofil 15.6 6.0-26.0 10*3/mikroL

Limfosit % 26.5 25 – 40 %

Monosit % 6.8 2 – 8 %

Eosinofil % 0.9 L 2-4 %

Basofil % 1.4 0-1 %

Neutrofil % 64.4 50-70 %

PCT 0.115 0.2 – 0.5 %

PDW 12.0 10 – 18 %

Golongan Darah O

KIMIA KLINIK

Natrium 132.1 L 136-146 mmol/L

Kalium 2.52 L 3.5-5.1 mmol/L

Chlorida 95.6 L 98-106 mmol/L

GDS 337 H 30 – 80 mg/dL

I.7 Planning

a. Farmakologi

o Inf. D10% 260 cc/24 jam 250 cc/24 jam

o O2 1 lpm

11

Page 12: Lapsus HIE (Febri) 2

o Inj. Cefotaxim 2 x 150 mg

o Inj. Gentamycin 2 x 10 mg

o Inj. Phenobarbital : 2 x 25 mg

b. Non-Farmakologi

• Jaga kehangatan : pertahankan suhu tubuh 36,5-37,5 C

• Sonde

• ASI ekslusif

• Motivasi keluarga

I.8 FOLLOW UP

Hari /

Tanggal

S O A P

4

November

2014

Perawatan

hari ke-1

Kejang (+)

Tangisan

lemah

Gerakan

tidak aktif

Minum (-)

BAK (-),

BAB (-)

KU : Lemah

N : 136 x/mnt

RR : 43 x/mnt

S : 36,6 0C

SpO2 : 90 %

BB: 3250 gram

K/L : ca -/-, si

-/-

Thoraks :

Cor: S1>S2 reg

Pulmo: sdv +/+

Abdomen :

supel, BU

Normal

Ekstremitas :

akral hangat,

CRT < 2detik

Obs.

Kejang

e.c HIE

N. aterm

Neonatal

infeksi

Asfiksia

berat

Konsul dr. Endang, Sp.A: Inf. D10% 200

cc/24 jam O2 1 lt/mnt Inj. Cefotaxim

2 x 150 mg Inj.

Gentamicin 2 x 10 mg

Inj. Fenobarbital 2x25 mg

Cek GDS, elektrolit, darah rutin, golongan darah.

12

Page 13: Lapsus HIE (Febri) 2

5

November

2014

Perawatan

hari ke-2

Kejang (-),

Menangis

cukup kuat

Minum (-)

BAK (+) 1x,

BAB (-)

KU : Lemah

N : 120 x/mnt

RR : 52 x/mnt

S : 36,3 0C

SpO2 : 94 %

BB: 3250 gram

K/L : ca -/-, si

-/-

Thoraks :

Cor: S1>S2 reg

Pulmo: sdv +/+

Abdomen :

supel, BU

Normal

Ekstremitas :

akral hangat,

CRT < 2detik

Obs.

Kejang

e.c HIE

N. aterm

Neonatal

infeksi

Asfiksia

sedang

O2 1 lt/mnt

Inf. D10% 280

cc/24 jam

Inj.

Phenobarbital

2x25 mg

Inj. Cefotaxim

2 x 150 mg

Inj.

Gentamycin 2 x

10 mg

6

November

2014

Perawatan

hari ke-3

Kejang (-)

Tangisan

cukup kuat

Gerakan

kurang aktif

Minum NGT

10 cc

BAK (+)

BAB (+)

KU : Lemah

N : 110 x/mnt

RR : 45 x/mnt

S : 36,8 0C

SpO2 : 94 %

BB: 3200 gram

K/L : ca -/-, si

-/-

Thoraks :

Cor: S1>S2 reg

Pulmo: sdv +/+

Abdomen :

supel, BU

Normal

Ekstremitas :

Obs.

Kejang

e.c HIE

Neonatal

infeksi

Riwayat

asfiksia

sedang

O2 1

liter/menit

Inf. D10% 320

cc/24 jam

Inj.

Phenobarbital

2 x 15 mg

Inj. Cefotaxim

2 x 150 mg

Inj.

Gentamycin 2

x 10 mg

13

Page 14: Lapsus HIE (Febri) 2

akral hangat,

CRT < 2detik

7

November

2014

Perawatan

hari ke-4

Kejang (-)

Menangis

kuat namun

jarang

Gerakan

kurang aktif

BAK (+) 1x,

BAB (+) 1x

Minum (+)

ASI+NGT

20 cc

KU : Lemah

N : 122 x/mnt

RR : 40 x/mnt

S : 36,6 0C

SpO2 : 100 %

BB: 3200 gram

K/L : ca -/-, si

-/-

Thoraks :

Cor: S1>S2 reg

Pulmo: sdv +/+

Abdomen :

supel, BU

Normal

Ekstremitas :

akral hangat,

CRT < 2detik

Obs.

Kejang

e.c HIE

N. aterm

Neonatal

infeksi

Asfiksia

sedang

O2 1

liter/menit

Inf. D10% 360

cc/24 jam

Inj.

Phenobarbital

2 x 10 mg

Inj. Cefotaxim

2 x 150 mg

Inj.

Gentamycin 2 x

10 mg

8

November

2014

Perawatan

hari ke-5

Kejang (-)

Tangisan

merintih

Gerakan

kurang aktif

Minum (+)

50 cc

BAK (-),

BAB (-)

KU : Lemah

N : 120 x/mnt

RR : 40 x/mnt

S : 36,8 0C

SpO2 : 97 %

BB: 3200 gram

K/L : ca -/-, si

-/-

Thoraks :

Cor: S1>S2 reg

Pulmo: sdv +/+

Abdomen :

Obs.

Kejang

e.c HIE

N. aterm

Neonatal

infeksi

Asfiksia

sedang

Terapi lanjut

14

Page 15: Lapsus HIE (Febri) 2

supel, BU

Normal

Ekstremitas :

akral hangat,

CRT < 2detik

9

November

2014

Perawatan

hari ke-6

Kejang (-)

Tangisan

merintih

lemah

Gerakan

kurang aktif

Minum (+)

100 cc

BAK (-),

BAB (-)

KU : Lemah

N : 130 x/mnt

RR : 44 x/mnt

S : 36,9 0C

SpO2 : 88 %

BB: 3200 gram

K/L : ca -/-, si

-/-

Thoraks :

Cor: S1>S2 reg

Pulmo: sdv +/+

Abdomen :

supel, BU

Normal

Ekstremitas :

akral hangat,

CRT < 2detik

Obs.

Kejang

e.c HIE

N. aterm

Neonatal

infeksi

Asfiksia

sedang

Terapi lanjut

10

November

2014

Perawatan

hari ke-7

Kejang (-)

Tangisan

merintih

lemah

Gerakan

kurang aktif

Minum (+)

195 cc

BAK (+) 1x,

BAB (+) 1x

KU : Lemah

N : 122 x/mnt

RR : 46 x/mnt

S : 36,8 0C

SpO2 : 99 %

BB: 3000 gram

K/L : ca -/-, si

-/-

Thoraks :

Cor: S1>S2 reg

Obs.

Kejang

e.c HIE

N. aterm

Neonatal

infeksi

Asfiksia

sedang

O2 1

liter/menit

Inf. D10% 450

cc/24 jam

Inj.

Phenobarbital

2 x 15 mg

Inj. Cefotaxim

2 x 150 mg

Inj.

15

Page 16: Lapsus HIE (Febri) 2

Pulmo: sdv +/+

Abdomen :

supel, BU

Normal

Ekstremitas :

akral hangat,

CRT < 2detik

Gentamycin 2 x

20 mg

Kandistatin 2x5

mg

11

November

2014

Perawatan

hari ke-8

Kejang (-)

Tangisan

kurang kuat

Gerakan

kurang aktif

Minum (+)

260 cc

BAK (+),

BAB (+)

KU : Lemah

N : 120 x/mnt

RR : 40 x/mnt

S : 36,6 0C

SpO2 : 99 %

BB: 3000 gram

K/L : ca -/-, si

-/-

Thoraks :

Cor: S1>S2 reg

Pulmo: sdv +/+

Abdomen :

supel, BU

Normal

Ekstremitas :

akral hangat,

CRT < 2detik

Obs.

Kejang

e.c HIE

N. aterm

Neonatal

infeksi

Asfiksia

sedang

O2 1

liter/menit

Inf. D10% 480

cc/24 jam

Inj.

Phenobarbital

2 x 15 mg

Inj. Cefotaxim

2 x 150 mg

Inj.

Gentamycin 2 x

20 mg

12

November

2014

Perawatan

hari ke-9

Kejang (-)

Tangisan

kurang kuat

Gerakan

kurang aktif

Minum (+)

230 cc

BAK 4x (+),

KU : Lemah

N : 124 x/mnt

RR : 44 x/mnt

S : 35,4 0C

SpO2 : 97 %

BB: 3000 gram

K/L : ca -/-, si

-/-

Obs.

Kejang

e.c HIE

N. aterm

Neonatal

infeksi

Asfiksia

sedang

Terapi

lanjutkan

16

Page 17: Lapsus HIE (Febri) 2

BAB (+) Thoraks :

Cor: S1>S2 reg

Pulmo: sdv +/+

Abdomen :

supel, BU

Normal

Ekstremitas :

akral hangat,

CRT < 2detik

13

November

2014

Perawatan

hari ke-10

Kejang (-)

Tangisan

kurang kuat

Gerakan

kurang aktif

Minum (+)

250 cc

BAK (+) 5x,

BAB (+) 3x

KU : Lemah

N : 118 x/mnt

RR : 50 x/mnt

S : 36,4 0C

SpO2 : 90 %

BB: 3000 gram

K/L : ca -/-, si

-/-

Thoraks :

Cor: S1>S2 reg

Pulmo: sdv +/+

Abdomen :

supel, BU

Normal

Ekstremitas :

akral hangat,

CRT < 2detik

Obs.

Kejang

e.c HIE

N. aterm

Neonatal

infeksi

Asfiksia

sedang

O2 1

liter/menit

Inf. D10% 450

cc/24 jam

Inj. Cefotaxim

2 x 150 mg

Inj.

Gentamycin 2

x 10 mg

14

November

2014

Perawatan

hari ke-11

Kejang (-)

Tangisan

cukup kuat

Gerakan

cukup aktif

Minum (+)

KU : Lemah

N : 118 x/mnt

RR : 50 x/mnt

S : 35,8 0C

SpO2 : 91 %

K/L : ca -/-, si

Obs.

Kejang

e.c HIE

N. aterm

Neonatal

infeksi

Terapi lanjut

17

Page 18: Lapsus HIE (Febri) 2

255 cc

BAK (+) 5x,

BAB (+) 1x

-/-

Thoraks :

Cor: S1>S2 reg

Pulmo: sdv +/+

Abdomen :

supel, BU

Normal

Ekstremitas :

akral hangat,

CRT < 2detik

Asfiksia

sedang

15

November

2014

Perawatan

hari ke-12

Kejang (-)

Tangisan

cukup kuat

Gerakan

cukup aktif

Minum (+)

285 cc

BAK (+) 6x,

BAB (+) 4x

KU : Lemah

N : 148 x/mnt

RR : 48 x/mnt

S : 36,7 0C

SpO2 : 95 %

BB: 3000 gram

K/L : ca -/-, si

-/-

Thoraks :

Cor: S1>S2 reg

Pulmo: sdv +/+

Abdomen :

supel, BU

Normal

Ekstremitas :

akral hangat,

CRT < 2detik

Obs.

Kejang

e.c HIE

N. aterm

Neonatal

infeksi

Asfiksia

sedang

Terapi lanjut

18

Page 19: Lapsus HIE (Febri) 2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I.1 HYPOXIC ISCHEMIC ENCEPHALOPHATY (HIE)

I.1.1 Pendahuluan

Hipoxic ischemic encephalopathy (HIE) adalah suatu sindrom yang

ditandai dengan adanya kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena

adanya cedera pada otak yang akut yang disebabkan karena asfiksia. Walaupun

telah banyak dicapai kemajuan teknologi di bidang teknologi monitoring dan

patofisiologi perinatal asfiksia pada janin dan neonatus, HIE masih merupakan

penyebab mortalitas dan morbiditas jangka panjang. HIE terutama di picu oleh

keadaan hipoksik otak, iskemik oleh karena hipoksik sistemik dan penurunan

aliran darah ke otak.1

Di Amerika Serikat, asfiksia perinatal terjadi 1,0-1,5% bayi lahir hidup.

Insiden semakin menurun dengan bertambahnya umur kehamilan dan berat lahir.

Insiden HIE di AS terjadi 2-9 per 1000 bayi aterm yang lahir hidup. Angka

kejadian di negara berkembang per 1000 kelahiran aterm lahir hidup masing-

masing Malaysia 18, Kuwait 18, India 59, Nigeria 265. Di RS Soetomo Surabaya

12,25% dari 3405 bayi yang dirawat tahun 2004 menderita asfiksia. Angka

kematian tinggi sekitar 50%, angka kecacatan berhubungan dengan beratnya

penyakit.2

Diagnosis HIE dibuat berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Tidak

ada satupun test yang spesifik untuk menyingkirkan atau menegakkan diagnosis

HIE. Semua pemeriksaan ditujukan untuk mengetahui beratnya cedera otak yang

terjadi dan memonitor fungsi dari organ sistemik lainnya.1

Di samping mengatasi kejang, pengobatan suportif dengan resusitasi dan

penanganan organ lainnya yang mengalami kelainan sangat diperlukan. Hipoksia

iskemik perinatal merupakan penyebab penting brain injury pada neonatus dan

19

Page 20: Lapsus HIE (Febri) 2

disertai dengan sekuele neurologis yang lama seperti disfungsi kognitif,

keterlambatan perkembangan, kejang, gangguan sensorik maupun motorik.

Presentasi kasus ini bertujuan untuk melaporkan kasus Hipoksik Iskemik

Ensefalopati, mengingat diagnosis dan penatalaksanaannya.3

I.1.2 Definisi

Hypoxic ischemic encephalopathy (HIE) adalah suatu sindrom yang

ditandai dengan adanya kelainan klinis dan laboratorium yang timbul karena

adanya cedera pada otak yang akut yang disebabkan karena asfiksia. Definisi HIE

menurut The Neonatology Clinical Care Unit (NCCU) adalah berkurangnya

suplai oksigen ke otak dan berkurangnya aliran darah ke otak sehingga

menyebabkan supresi aktivitas listrik dan depresi kortikal.1

Hipoksia merupakan istilah yang menggambarkan turunnya konsentrasi

oksigen dalam darah arteri, sedangkan iskemia menggambarkan penurunan aliran

darah ke sel atau organ yang menyebabkan insufisiensi fungsi pemeliharaan organ

tersebut.2 Ensefalopati adalah istilah klinis dimana bayi mengalami gangguan

tingkat kesadaran pada waktu dilakukan pemeriksaan.1

I.1.3 Epidemiologi

Di Amerika Serikat, asfiksia perinatal terjadi 1,0-1,5% bayi lahir hidup.

Insiden semakin menurun dengan bertambahnya umur kehamilan dan berat lahir.

Insiden HIE di AS terjadi 2-9 per 1000 bayi aterm yang lahir hidup. Angka

kejadian di negara berkembang per 1000 kelahiran aterm lahir hidup masing-

masing di Negara Malaysia 18, Kuwait 18, India 59, Nigeria 265. Di RS Soetomo

Surabaya 12,25% dari 3405 bayi yang dirawat tahun 2004 menderita asfiksia.4

Hypoxic ischemic encephalopathy (HIE) merupakan penyebab penting

kerusakan permanen sel pada susunan saraf pusat (SSP), yang berdampak pada

kematian atau kecacatan berupa palsi serebral atau retardasi mental. Angka

kejadian HIE di dunia berkisar 0,3-1,8%. Data di Australia (1995), angka

20

Page 21: Lapsus HIE (Febri) 2

kematian antepartum berkisar 3,5/1000 kelahiran hidup, sedangkan angka

kematian intrapartum berkisar 1/1000 kelahiran hidup, dan angka kejadian

kematian masa neonatal berkisar 3,2/1000 kelahiran hidup. Apgar Score 1-3 pada

menit pertama terjadi pada 2,8% bayi lahir hidup dan AS 5 pada menit ke 5 pada

0,3% bayi lahir hidup. Lima belas hingga 20% bayi dengan HIE meninggal pada

masa neonatal, 25-30% yang bertahan hidup mempunyai kelainan

neurodevelopmental permanent.5

I.1.4 Etiologi

Asfiksia perinatal adalah akibat berbagai kejadian selama periode perinatal

yang menyebabkan penurunan bermakna aliran oksigen, menyebabkan asidosis

dan kegagalan fungsi minimal 2 organ (paru, jantung, hati, otak, ginjal dan

hematologi) yang konsisten.3

American Academy of Pediatrics (AAP) dan American College of

Obstetricians and Gynaecologist (ACOG), membuat definisi asfiksia perinatal

sebagai berikut: (1) Adanya asidosis metabolik atau mixed academia (Ph<7) pada

darah umbilikal atau analisis gas darah arteri, (2) Adanya persisten nilai apgar 0-3

selama >5 menit, (3) Manifestasi neurologis segera pada waktu perinatal dengan

gejala kejang, hipotonia, koma, HIE, dan (4) Adanya gangguan fungsi multiorgan

segera pada waktu perinatal. Sedangkan menurut WHO, asfiksia perinatal adalah

kegagalan bernafas saat lahir. Menurut The National Neonatal Perinatal Database

(NNDP), dikatakan asfiksia sedang bila bernafas lambat atau apgar score 4-6 pada

1 menit pertama dan asfiksia berat bila bayi lahir tidak bernafas atau apgar score

0-3 pada 1 menit pertama. Asfiksia perinatal merupakan penyebab utama kejang.

Kejang biasanya terjadi pada 24 jam pertama pada sebagian besar kasus dan

berprogresi menjadi status epileptikus.6

Berbagai macam penyebab yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal

yaitu:6

a. Gangguan oksigenasi pada ibu hamil

b. Penurunan aliran darah ibu ke plasenta atau dari plasenta ke fetus

c. Gangguan pertukaran gas yang melalui plasenta atau fetus.

d. Peningkatan kebutuhan fetal oksigen.

21

Page 22: Lapsus HIE (Febri) 2

Faktor risiko yang dapat menyebabkan asfiksia perinatal yaitu faktor

maternal, plasenta & tali pusat dan fetus/neonatus:7

- Kelainan maternal: hipertensi, penyakit vaskuler, diabetes, drug abuse,

penyakit jantung, paru dan susunan saraf pusat, hipotensi, infeksi, ruptur

uteri, tetani uteri dan panggul sempit.

- Kelainan plasenta dan tali pusat: infark dan fibrosis plasenta, solusio

plasenta, prolaps atau kompresi tali pusat, kelainan pembuluh darah

umbilikus, insufisiensi plasenta, plasentitis, tali pusat yang sangat panjang.

- Kelainan fetus atau neonatus: anemia, perdarahan, hidrops, infeksi,

pertumbuhan janin terhambat (intrauterine growth retardation), serotinus.

- Faktor intrapartum: distosia, inersia uteri, induksi oksitosin, sectio

caesaria (anestesi umum, efek obat anestesi terhadap janin, berkurangnya

aliran darah umbilikal), kala II yang memanjang.

I.1.5 Patofisiologi4,6,8

Fetus dan neonatus lebih tahan terhadap asfiksia dibandingkan dengan

dewasa. Hal ini dibuktikan bahwa pada saat terjadi hipoksik iskemik, fetus

berusaha mempertahankan hidupnya dengan mengalihkan darah (redistribusi) dari

paru-paru, gastrointestinal, hepar, ginjal, limpa, tulang, otot dan kulit, menuju ke

otak, jantung dan adrenal (diving reflex). Pada fetal distress, peristaltik usus

meningkat, spinter ani terbuka, mekonium akan keluar bercampur dengan air

ketuban, skuama, lanugo, akan masuk ke trakea dan paru-paru, sehingga tubuhnya

berwarna hijau dan atau kekuningan. Kombinasi antara hipoksia fetal yang kronis

dengan cedera hipoksik iskemik akut setelah lahir akan mengakibatkan kelainan

neuropatologi yang sesuai dengan umur kehamilannya.

Pada hipoksia yang ringan, timbul detak jantung yang menurun,

meningkatkan tekanan darah yang ringan untuk memelihara perfusi pada otak,

meningkatkan tekanan vena sentral, dan curah jantung. Bila asfiksianya berlanjut

dengan hipoksia yang berat dan asidosis, timbul detak jantung yang menurun, dan

menurunnya tekanan darah sebagai akibat gagalnya fosforilasi oksidasi dan

menurunnya cadangan energi. Selama asfiksia timbul produksi metabolik anaerob

yaitu asam laktat. Selama perfusinya jelek, maka asam laktat tertimbun dalam

22

Page 23: Lapsus HIE (Febri) 2

jaringan lokal. Hipoksia akan mengganggu metabolisme oksidatif serebral

sehingga asam laktat meningkat dan pH menurun. Jaringan otak yang mengalami

hipoksia akan meningkatkan penggunaan glukosa. Cadangan glukosa menjadi

berkurang, cadangan energi berkurang, timbunan asam laktat meningkat. Selama

hipoksia berkepanjangan, curah jantung menurun, aliran darah otak menurun dan

adanya kombinasi proses hipoksik-iskemik menyebabkan kegagalan sekunder dari

oksidasi fosforilasi dan produksi ATP menurun. Karena kekurangan energi, maka

ion pump terganggu sehingga timbul penimbunan Na+, Cl-, H2O, Ca2+ intraseluler,

K+, glutamat dan aspartat ekstraseluler.

Berkurangnya pasokan glukosa ke otak akan memicu terjadinya influx

Ca2+ ke dalam sel dan ekspresi glutamat yang meningkat. Hal ini didukung oleh

hilangnya keseimbangan potensial membran dan terbukanya saluran ion yang

voltage-dependent (VDCC = Voltage Dependent Calsium Channels).

Metabolisme glukosa beralih ke proses yang anaerobik. ATP terkuras dan

terjadinya asidosis laktat. Glutamat memicu reseptor N-Methyl-D-Aspartate

(NMDA) dengan efek membuka reseptor tersebut untuk Ca2+ masuk. Ion kalsium

yang masuk di dalam neuron mengaktifkan enzim-enzim seperti protease, lipase,

endonuklease dan berakibat pada fosfolipid sebagai konstituen sel membran.

Terjadi mobilisasi asam arakhidonat yang diproses oleh lipoksigenase dan siklo-

oksigenase dalam sitosol menjadi leukotriens, prostaglandin dan tromboksan.

Proses ini disertai pelepasan radikal oksigen bebas yang berakibat terjadinya

peroksidasi membran sel yang kemudian pecah dan isi sel mengalir keluar.

Neuron mengalami kematian akibat nekrosis. Proses peroksidasi diperberat

dengan terbentuknya nitric oxide (NO) sebagai akibat enzim NO Syntase

diaktifkan oleh kadar ion Ca2+ intraseluler yang meningkat tajam. NO dengan

radikal oksigen bebas membentuk leukosit polimorfonuklear dan timbulnya

intercellular adhesion molecules (ICAM), leukosit beragregasi di dinding kapiler

dan efek menyumbat ini berakibat no-reflow phenomena yang menyebabkan

secondary ischemia. Proses reperfusi yang terjadi spontan maupun karena upaya

teurapetik membuat pembentukan radikal oksigen bebas reactive oxygen species

(ROS) meningkat karena pengaliran kembali darah ke jaringan dimana taraf

23

Page 24: Lapsus HIE (Febri) 2

ekstraksi oksigen sudah meningkat tajam. Kedua hal ini menyebabkan

meningkatnya kerusakan jaringan yang dikenal sebagai reperfusion injury.

Gambar 1. Mekanisme Hipoksik Iskemik Ensefalopati

24

Page 25: Lapsus HIE (Febri) 2

I.1.6 Manifestasi Klinis

Pada asfiksia perinatal dapat timbul gangguan fungsi pada beberapa organ

yaitu otak, jantung, paru, ginjal, hepar, saluran cerna dan sumsum tulang.

Didapatkan satu atau lebih organ yang mengalami kelainan pada 82% kasus

asfiksia perinatal. Susunan saraf pusat merupakan organ yang paling sering

terkena (72%), ginjal 42%, jantung 29%, gastrointestinal 29%, paru-paru 26%. 1

Pucat, sianosis, apnea, bradikardia dan tidak adanya respon terhadap

stimulasi juga merupakan tanda-tanda HIE. Edema serebral dapat berkembang

dalam 24 jam kemudian dan menyebabkan depresi batang otak. Selama fase

tersebut, sering timbul kejang yang dapat memberat dan bersifat refrakter dengan

pemberian dosis standar obat anti konvulsan. HIE merupakan penyebab tersering

kejang pada bayi baru lahir (60-65%), biasanya terjadi dalam 24 jam pertama dan

sering dimulai 12 jam pertama. Dapat terjadi pada bayi cukup bulan maupun bayi

kurang bulan dengan asfiksia. Bentuk kejang bersifat subtle atau multifokal klinik

serta fokal klonik. Walaupun kejang sering merupakan akibat HIE, kejang pada

bayi juga dapat disebabkan oleh hipokalsemia dan hipoglikemia.2

Ensefalopati klinis puncaknya timbul pada hari ke 3-4 setelah lahir dan

sekuele neurologis yang timbul secara langsung berhubungan dengan keparahan

ensefalopati. Ensefalopati atau kejang tanpa adanya kelainan kongenital atau

sindrom, biasanya berhubungan dengan kejadian prenatal atau perinatal.3

Manifestasi klinis pada organ lainnya tersebut adalah:1,2

a. Ginjal Oliguria-anuria, hematuria, proteinuria. Bisa timbul gagal ginjal

akut dan acute tubular necrosis.

b. Sistem kardiovaskuler Hipotensi, nekrosis, iskemik miokardial, syok,

disfungsi ventrikel.

c. Paru Edema paru, perdarahan paru, respiratory distress syndrome,

meconeal aspiration syndrome.

d. Sistem saluran cerna Fungsional intestinal obstruction, ileus paralitik,

ulkus, perforasi, necrotizing enterocolitis.

e. Metabolik Asidosis, hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia.

25

Page 26: Lapsus HIE (Febri) 2

f. Hepar Gangguan fungsi hati, pembekuan darah, metabolism bilirubin,

dan albumin.

g. Hematologi Perdarahan, DIC (disseminated intravascular coagulation)

h. Kematian Otak Berdasarkan kriteria AAP.

Tabel 1. Pembagian Gejala Klinis HIE pada Bayi Aterm

Tanda klinis Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3

Tingkat kesadaran

Tonus otot

Postur

Refleks

tendon/klonus

Myoclonus

Refleks Moro

Pupil

Iritabel

Normal

Normal

Hiperaktif

Tampak

Kuat

Midriasis

Letargik

Hipotonus

Fleksi

Hiperaktif

Tampak

Lemah

Miosis

Stupor, coma

Flaksid

Decerebrate

Tidak ada

Tidak tampak

Tidak ada

Tidak beraturan,

refleks cahaya

26

Page 27: Lapsus HIE (Febri) 2

Kejang

EEG

Durasi

Hasil akhir

Tidak ada/jarang

Normal

<24 jam

Baik

Sering terjadi

Voltage rendah

yang berubah

dengan kejang

24 jam – 14 hari

bervariasi

lemah

Decerebrate

Burst suppression

to isoelektrik

Beberapa hari

hingga minggu

Kematian,

kecacatan berat

I.1.7 Diagnosis

Diagnosis HIE memerlukan bukti apa yang menyebabkan iskemik dan

hipoksia pada saat sebelum, selama dan setelah lahir. Data yang teliti tentang

riwayat, pemeriksaan neurologis, laboratorium penting untuk menentukan

hipoksik iskemik sebagai penyebab ensefalopati. Semua aspek riwayat maternal

harus digali, mencakup kehamilan, persalinan, kelahiran dan masa postnatal.

Analisis patologi plasenta juga diperlukan tapi tidak sering dilakukan.9

27

Page 28: Lapsus HIE (Febri) 2

Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khusus untuk menyingkirkan

atau menegakkan diagnosis HIE. Pemeriksaan penunjang dikerjakan untuk

memonitor fungsi maupun kelainan organ sistemik dan cedera otak.9

a. Pemeriksaan antara lain darah lengkap, gula darah, urin, serum elektrolit,

BUN dan serum kreatinin, faal pembekuan darah, faal hati, analisis gas

darah,

b. Foto thorak

c. Punksi lumbal dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan adanya

perdarahan intrakranial atau untuk menyingkirkan adanya meningitis.

d. Pemeriksaan EEG dapat membantu untuk menentukan pengobatan dan

prognosis penderita.

e. Ultrasonografi kepala. Pemeriksaan USG kepala sangat membantu pada

bayi yang prematur. Dianjurkan pada bayi yang umur kehamilannya <30

minggu, minimal 1 kali, diulang pada umur 7-14 hari dan diperiksa

kembali pada umur kronologisnya 36-40 minggu. Cara ini dapat

mengidentifikasi perdarahan intraventrikular dan nekrosis basal ganglia

dan thalamus.

f. CT Scan kepala. Pada bayi yang aterm yang mengalami cedera hipoksik

iskemik biasanya dilakukan pemeriksan CT Scan kepala pada usia 2-5

hari, dimana pada waktu tersebut timbul edema serebri yang maksimal.

Proses perdarahan akut dan kalsifikasi intrakranial akan lebih baik

divisualisasi dengan pemeriksan CT Scan dibandingkan dengan

pemeriksaan MRI. Pada bayi prematur yang mengalami hipoksik iskemik

injury, pemeriksaan dengan CT Scan kepala kurang memberikan hasil

yang memuaskan karena pada bayi prematur struktur jaringan otaknya

masih imatur dan lebih banyak mengandung cairan.

g. Near-infra red spectroscopy (NIRS). Untuk memonitor oxyhemoglobin

serebral dan oksigenasi vena serebral.

28

Page 29: Lapsus HIE (Febri) 2

h. Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS). Berkurangnya rasio N-

acetylaspartat (NAA) terhadap kolin dan berkurangnya rasio laktat-NAA

merupakan bukti terjadinya iskemik.

Meningkatnya rasio laktat-kolin di ganglia basal dan thalamus merupakan

prediksi outcome neurologi yang jelek. Meningkatnya inorganic

phosphorus (31P). terjadi pada 24-72 jam, normal dalam beberapa hari

kemudian.

I.1.8 Penatalaksanaan

Bayi baru lahir dengan HIE juga mengalami gangguan sistem pernafasan,

kardiovaskular, hepar, fungsi ginjal, sehingga penanggulannya memerlukan

pendekatan multisystem.1,3,7

A. Upaya yang optimal adalah pencegahan. Tujuan utama yaitu

mengidentifikasi dan mencegah fetus dan neonatus yang mempunyai

risiko mengalami asfiksia sejak dalam kandungan hingga

persalinannya.

B. Resusitasi. Segera lakukan resusitasi bayi yang mengalami apnea dan

atau hypoxic ischemic encephalopathy. Tujuan resusitasi adalah untuk

memperbaiki fungsi pernafasan dan jantung bayi yang tidak bernafas.

1. Ventilasi yang adekuat. Usahakan memberikan ventilasi sehingga

PCO2 dalam kadar yang fisiologis. Hiperkarbia akan menyebabkan

asidosis serebral dan vasodilatasi pembuluh darah serebral.

2. Oksigenasi yang adekuat. Hipoksia akan menyebabkan pressure-

passive circulation dan neuronal injury.

3. Perfusi yang adekuat.

4. Koreksi asidosis metabolik. Tujuan utama untuk memelihara

keseimbangan asam basa dalam jaringan tetap normal.

5. Pertahankan kadar glukosa dalam darah antara 75 sampai 100

mg/dl untuk menyediakan bahan yang adekuat bagi metabolisme

otak.

29

Page 30: Lapsus HIE (Febri) 2

6. Kadar kalsium harus dipertahankan dalam kadar yang normal.

Hipokalsemia adalah suatu kelainan elektrolit yang sering dijumpai

pada sindrom post asfiksia neonatal dengan gejala kejang.

Diberikan Ca glukonas 10% 200 mg/kgBB intravena atau 2

ml/kgBB diencerkan dalam aquades sama banyak diberikan secara

intravena dalam waktu 5 menit.

7. Mencegah timbulnya edema serebri. Tujuan utama untuk mecegah

timbulnya edema serebri dengan cara mencegah overload dari

cairan. Restriksi cairan dengan pemberian 60 ml/kgBB per hari.

8. Atasi kejang. Bila ada kejang maka Phenobarbital adalah obat

pilihan.

Penanggulangan kejang dengan Phenobarbital terutama dengan dosis

tinggi memberikan beberapa keuntungan :10

Menurunkan kecepatan metabolisme otak

Memperbaiki perfusi darah ke dalam jaringan yang terkena

kerusakan

Mencegah dan mengurangi edema otak

Dosis 20 mg/kg diberikan iv dalam 10-15 menit. Jika kejang hilang

diberikan dosis rumatan 3-4 mg/kgBB/hari dengan selisih waktu 12 jam kemudian

secara intravena/oral. Bila penderita masih kejang boleh diberikan Phenobarbital

dengan dosis 5 mg/kg setiap 5 menit sampai kejang berhenti atau sampai dosis 40

mg/kg sudah tercapai. Tetapi kenyataannya pada neonatus yang mengalami

asfiksia dan telah mendapatkan Phenobarbital 20 mg/kg akan menyebabkan

ngantuk dan sulit menganalisa neurologisnya. Oleh karena itu bila neonatus yang

mengalami asfiksia dan kejang yang telah diberikan Phenobarbital dengan dosis

20 mg/kg tidak memberikan respon, maka diberikan Fenitoin dengan dosis 20

mg/kg intravena dalam waktu 30 menit atau 1 mg/kgBB/menit, dilanjutkan

dengan dosis rumatan 5-10 mg/kg/hari diberikan setiap 12 jam.10

Gambar 2. Penatalaksanaan kejang pada neonatus

30

Page 31: Lapsus HIE (Febri) 2

Gambar 3. Berbagai Penyebab Kejang Pada Neonatus

31

Page 32: Lapsus HIE (Febri) 2

I.1.10 Prognosis13

Penderita yang mengalami HIE prognosisnya bervariasi, ada yang sembuh

total, cacat atau meninggal dunia. Pada stadium ringan pada umumnya sembuh

total dan pada stadium sedang 80% normal, sisanya timbul kelainan bila gejalanya

tetap ada lebih dari 5-7 hari. Insiden dan komplikasi jangka panjang tergantung

dari keparahan HIE. Sebanyak 80% bayi HIE yang hidup mendapat komplikasi

serius, 10-20% dengan disabilitas berat dan 10% sehat.5 Prognosis juga tergantung

dari adanya komplikasi metabolik dan kardiopulmonal (hipoksia, hipoglikemia,

syok), keparahan ensefalopati dan usia kehamilan (buruk jika prematur).

Berdasarkan NCCU Guidelines, prognosis HIE sebagai berikut:

a. Ringan (stadium 1) : Semua hidup normal

b. Sedang (stadium 2) : 5% meninggal, 20% dengan sekuele

neurologi

c. Berat (stadium 3): 75% meninggal, 90-100% dengan

sekuele neurologi.

Ada beberapa faktor atau keadaan yang dapat dipakai untuk menilai

prognosis. Prognosisnya jelek apabila:

32

Page 33: Lapsus HIE (Febri) 2

1. Asfiksia berat yang berkepanjangan (apgar score = 3 pada umur 20

menit)

2. HIE stadium berat menurut Sarnat dan Sarnat, 50% meninggal dunia

dan sisanya dengan gejala berat.

3. Kejang yang sulit diatasi muncul sebelum 12 jam yang disertai dengan

kelainan multi organ.

4. Adanya kelainan neurologi yang persisten pada 1-2 minggu saat

dipulangkan, 50% akan timbul epilepsi.

5. Adanya oliguria persisten (produksi urin <1 ml/kgBB per jam selama

36 jam pertama).

6. Mikrosefali pada 3 bulan pertama setelah lahir. Menurunnya rasio

lingkaran kepala yang didapatkan waktu lahir dibandingkan dengan

usia 4 bulan dibagi rerata lingkaran kepala pada usianya x 100% >

3,1%, merupakan cara untuk memprediksi timbulnya mikrosefali

sebelum usia 18 bulan.

7. Adanya kelainan EEG yang sedang sampai berat. Adanya EEG yang

normal atau ringan yang terjadi pada hari pertama setelah lahir

merupakan tanda outcome yang normal.

8. Adanya kelainan CT Scan yang berupa perdarahan hebat,

periventrikular leukomalasia atau nekrosis.

9. Kelainan MRI yang timbul pada 24-72 jam pertama setelah lahir.

Pemeriksaan MRI yang normal pada 24-72 jam setelah lahir hampir

selalu menghasilkan prediksi outcome yang baik walaupun pada

neonatus yang mengalami asfiksia berat.

Secara umum dilaporkan angka kematian sebesar 25%. Paling banyak

kematian terjadi pada minggu pertama kehidupan yang berhubungan dengan

multiple oragn failure. Beberapa bayi dengan kelainan neurologik berat

meninggal karena aspirasi pneumonia atau penyakit sistemik lainnya.

I.1.12 Kesimpulan6

33

Page 34: Lapsus HIE (Febri) 2

Bayi baru lahir dengan HIE mengalami gangguan sistem pernafasan,

kardiovaskular, hepar, fungsi ginjal, sehingga penanggulangannya memerlukan

pendekatan multisistem. Pengobatan HIE perinatal secara holistic, menyeluruh

dan utuh, karena kelainan satu organ akan mempengaruhi organ lainnya.

Hipoksia iskemik perinatal merupakan penyebab penting brain injury pada

neonatus dan disertai dengan sekuele neurologis yang lama seperti disfungsi

kognitif, keterlambatan perkembangan, kejang, gangguan sensorik maupun

motorik.

Upaya yang optimal adalah pencegahan yang bertujuan untuk

mengidentifikasi dan mencegah fetus dan neonatus yang mempunyai risiko

mengalami asfiksia sejak dalam kandungan hingga persalinannya.

ASFIKSIA NEONATORUM

2.1 Definisi34

Page 35: Lapsus HIE (Febri) 2

Beberapa sumber mendefinisikan asfiksia neonatorum dengan berbeda :

Ikatan Dokter Anak Indonesia

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur

pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan

hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis.16

WHO

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan

teratur segera setelah lahir.17

ACOG dan AAP

Seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi

sebagai berikut:18

1. Nilai Apgar menit kelima 0-3

2. Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0)

3. Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma)

4. Adanya gangguan sistem multiorgan (misalnya: gangguan

kardiovaskular,gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal).

Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang dan

ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang mengalami

episode hipoksia-iskemi yang signifikan saat lahir memiliki risiko disfungsi dari

berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai pertimbangan utama.14

2.2 Etiologi dan Faktor Resiko

Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan

dan melahirkan atau periode segera setelah lahir.19 Janin sangat bergantung pada

pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan pembuangan produk sisa

sehingga gangguan pada aliran darah umbilikal maupun plasental hampir selalu

akan menyebabkan asfiksia. 19,20

Lee, dkk.(2008) melakukan penelitian terhadap faktor risiko antepartum,

intrapartum dan faktor risiko janin pada asfiksia neonatorum. Didapatkan bahwa

35

Page 36: Lapsus HIE (Febri) 2

gejala-gejala penyakit maternal yang dilaporkan 7 hari sebelum kelahiran

memiliki hubungan yang bermakna terhadap peningkatan risiko kematian akibat

asfiksia neonatorum. Gejala-gejala tersebut adalah demam selama kehamilan;

perdarahan pervaginam; pembengkakan tangan,wajah atau kaki; kejang;

kehamilan ganda juga berhubungan kuat dengan mortalitas asfiksia neonatorum.

Bayi yang lahir dari wanita primipara memiliki risiko mortalitas asfiksia

neonatorum yang lebih tinggi sedangkan adanya riwayat kematian bayi

sebelumnya tidak bermakna dalam memperkirakan kematian akibat asfiksia

neonatorum. Partus lama dan ketuban pecah dini juga meningkatkan risiko

asfiksia neonatorum secara bermakna. Pada penelitiannya.

Prematuritas memiliki risiko yang lebih besar terhadap kematian akibat

asfiksia neonatorum. Risiko tersebut meningkat 1.61 kali lipat pada usia

kehamilan 34-37 minggu dan meningkat 14.33 kali lipat pada usia kehamilan < 34

minggu.14 Kortikosteroid perlu diberikan 7 hari sebelum kelahiran hingga paling

lambat 24 jam sebelum bayi lahir untuk meningkatkan maturasi paru fetus. Pada

suatu studi kohort dikatakan bahwa penggunaan kortikosteroid antenatal adalah

faktor protektif terhadap sindroma distres respirasi. Dikatakan pula bahwa

kemungkinan seorang neonatus pada populasi studi dari ibu yang tidak melakukan

pemeriksaan antenatal untuk meninggal di rumah sakit adalah 1.98 kali lebih

tinggi daripada anak dari ibu yang melakukan pemeriksan antenatal empat kali

atau lebih.

Bayi preterm dan posterm ditemukan lebih banyak pada kelompok kasus

daripada kontrol. Usia terlalu muda (<20 tahun) dan terlalu tua (> 40 tahun),

anemia (Hb< 8 g/dL), perdarahan antepartum dan demam selama kehamilan

berhubungan kuat dengan asfiksia neonatorum. Tanda-tanda gawat janin seperti

denyut jantung janin abnormal, pewarnaan mekoneum dan partus lama juga

memiliki hubungan yang kuat dengan timbulnya asfiksia neonatorum.

Tabel 1. Faktor risiko asfiksia neonatorum

Faktor risiko antepartum Faktor risiko intrapartum Faktor risiko janin 17,18

36

Page 37: Lapsus HIE (Febri) 2

Primipara 18

Penyakit pada ibu:17

Demam saat kehamilan

Hipertensi dalam

kehamilan

Anemia

Diabetes mellitus

Penyakit hati dan ginjal

Penyakit kolagen dan

pembuluh darah

Perdarahan antepartum 17,18

Riwayat kematian

neonatus sebelumnya 18

Penggunaan sedasi,

anelgesi atau anestesi 17

Malpresentasi 18

Partus lama 18

Persalinan yang sulit dan

traumatik8

Mekoneum dalam

ketuban7,8

Ketuban pecah dini7

Induksi Oksitosin 8

Prolaps tali pusat7

Prematuritas BBLR

Pertumbuhan janin

terhambat Kelainan

kongenital

2.3 Patofisiologi

2.3.1 Cara bayi memperoleh oksigen sebelum dan setelah lahir

Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan

untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru

janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah.

Hampir seluruh darah dari jantung kanan tidak dapat melalui paru karena

konstriksi pembuluh darahjanin, sehingga darah dialirkan melalui pembuluh yang

bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta.23

Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber

utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru,

37

Page 38: Lapsus HIE (Febri) 2

dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan

oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli.

Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan

pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan

udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan

mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang.

Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik,

menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan

sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus

arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di

vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian

jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada

kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi

relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh

paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang

sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan

mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jaringan tubuh.23

Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan

paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas

yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan

pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru.

Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan

berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan.

2.3.2 Kesulitan yang dialami bayi selama masa transisi

Bayi dapat mengalami kesulitan sebelum lahir, selama persalinan atau

setelah lahir. Kesulitan yang terjadi dalam kandungan, baik sebelum atau selama

persalinan, biasanya akan menimbulkan gangguan pada aliran darah di plasenta

38

Page 39: Lapsus HIE (Febri) 2

atau tali pusat. Tanda klinis awal dapat berupa deselerasi frekuensi jantung janin.

Masalah yang dihadapi setelah persalinan lebih banyak berkaitan dengan jalan

nafas dan atau paru-paru, misalnya sulit menyingkirkan cairan atau benda asing

seperti mekonium dari alveolus, sehingga akan menghambat udara masuk ke

dalam paru mengakibatkan hipoksia. Bradikardia akibat hipoksia dan iskemia

akan menghambat peningkatan tekanan darah (hipotensi sistemik). Selain itu

kekurangan oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan udara di paru-paru akan

mengakibatkan arteriol di paru-paru tetap konstriksi sehingga terjadi penurunan

aliran darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke jaringan. Pada beberapa kasus,

arteriol di paru-paru gagal untuk berelaksasi walaupun paru-paru sudah terisi

dengan udara atau oksigen (Persisten Pulmonary Hypertension Newborn,

disingkat menjadi PPHN).23

2.3.3 Reaksi bayi terhadap kesulitan selama masa transisi normal

Bayi baru lahir akan melakukan usaha untuk menghirup udara ke dalam

paru-parunya yang mengakibatkan cairan paru keluar dari alveoli ke jaringan

insterstitial di paru sehingga oksigen dapat dihantarkan ke arteriol pulmonal dan

menyebabkan arteriol berelaksasi. Jika keadaan ini terganggu maka arteriol

pulmonal akan tetap kontriksi, alveoli tetap terisi cairan dan pembuluh darah arteri

sistemik tidak mendapat oksigen.23

Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada

organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung

dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen.

Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-

organ vital. Walaupun demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka

terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung,

penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh organ akan

berkurang. Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi

jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan

organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi yang membahayakan akan

memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda klinis seperti tonus otot buruk karena

kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ lain; depresi pernapasan karena

39

Page 40: Lapsus HIE (Febri) 2

otak kekurangan oksigen; bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena

kekurangan oksigen pada otot jantung atau sel otak; tekanan darah rendah karena

kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran

darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan; takipnu

(pernapasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru; dan sianosis

karena kekurangan oksigen di dalam darah.23

2.3.4 Mekanisme yang terjadi pada bayi baru lahir mengalami gangguan di

dalam kandungan atau pada masa perinatal

Penelitian laboratorium menunjukkan bahwa pernapasan adalah tanda vital

pertama yang berhenti ketika bayi baru lahir kekurangan oksigen. Setelah periode

awal pernapasan yang cepat maka periode selanjutnya disebut apnu primer

(gambar 1).

Rangsangan seperti mengeringkan atau menepuk telapak kaki akan

menimbulkan pernapasan. Walaupun demikian bila kekurangan oksigen terus

berlangsung, bayi akan melakukan beberapa usaha bernapas megap-megap dan

kemudian terjadi apnu sekunder, rangsangan saja tidak akan menimbulkan

kembali usaha pernapasan bayi baru lahir. Bantuan pernapasan harus diberikan

untuk mengatasi masalah akibat kekurangan oksigen.23

Gambar 1. Perubahan frekuensi jantung dan tekanan darah selama apnu

(Sumber: American Academy of Pediatrics dan American Heart

Association. Buku panduan resusitasi neonatus. Edisi ke-5, 2006)

Frekuensi jantung mulai menurun pada saat bayi mengalami apnu primer.

Tekanan darah akan tetap bertahan sampai dimulainya apnu sekunder

40

Page 41: Lapsus HIE (Febri) 2

sebagaimana diperlihatkan dalam gambar di bawah ini (kecuali jika terjadi

kehilangan darah pada saat memasuki periode hipotensi). Bayi dapat berada pada

fase antara apnu primer dan apnu dan seringkali keadaan yang membahayakan ini

dimulai sebelum atau selama persalinan. Akibatnya saat lahir, sulit untuk menilai

berapa lama bayi telah berada dalam keadaan membahayakan. Pemeriksaan fisik

tidak dapat membedakan antara apnu primer dan sekunder, namun respon

pernapasan yang ditunjukkan akan dapat memperkirakan kapan mulai terjadi

keadaan yang membahayakan itu.23

Jika bayi menunjukkan tanda pernapasan segera setelah dirangsang, itu

adalah apnu primer. Jika tidak menunjukkan perbaikan apa-apa, ia dalam keadaan

apnu sekunder. Sebagai gambaran umum, semakin lama seorang bayi dalam

keadaan apnu sekunder, semakin lama pula dia bereaksi untuk dapat memulai

pernapasan. Walau demikian, segera setelah ventilasi yang adekuat, hampir

sebagian besar bayi baru lahir akan memperlihatkan gambaran reaksi yang sangat

cepat dalam hal peningkatan frekuensi jantung. 13

Jika setelah pemberian ventilasi tekanan positif yang adekuat, ternyata tidak

memberikan respons peningkatan frekuensi jantung maka keadaan yang

membahayakan ini seperti gangguan fungsi miokardium dan tekanan darah, telah

jatuh pada keadaan kritis. Pada keadaan seperti ini, pemberian kompresi dada dan

obat-obatan mungkin diperlukan untuk resusitasi.23

2.4 Komplikasi Pasca Hipoksia

2.4.1 Patofisiologi komplikasi pasca hipoksia

Kelainan yang terjadi akibat hipoksia dapat timbul pada stadium akut dan

dapat pula terlihat beberapa waktu setelah hipoksia berlangsung. Pada keadaan

hipoksia akut akan terjadi redistribusi aliran darah sehingga organ vital seperti

otak, jantung, dan kelenjar adrenal akan mendapatkan aliran yang lebih banyak

dibandingkan organ lain seperti kulit, jaringan muskuloskeletal serta organ-organ

rongga abdomen dan rongga toraks lainnya seperti paru, hati, ginjal, dan traktus

gastrointestinal.

41

Page 42: Lapsus HIE (Febri) 2

Perubahan dan redistribusi aliran terjadi karena penurunan resistensi

vaskular pembuluh darah otak dan jantung serta meningkatnya resistensi vaskular

di perifer. Hal ini dapat terlihat dalam penelitian lain oleh Akinbi dkk.(1994) yang

melaporkan bahwa pada pemeriksaan ultrasonografi Doppler ditemukan kaitan

yang erat antara beratnya hipoksia dengan menurunnya velositas aliran darah serta

meningkatnya resistensi jaringan di ginjal dan arteri mesenterika superior.

Perubahan ini dapat menetap sampai hari ke-3 neonatus. Perubahan resistensi

vaskular inilah yang dianggap menjadi penyebab utama redistribusi curah jantung

pada penderita, hipoksia dan iskemia neonatus. Faktor lain yang dianggap turut

pula mengatur redistribusi vaskular antara lain timbulnya rangsangan vasodilatasi

serebral akibat hipoksia yang disertai akumulasi karbon dioksida, meningkatnya

aktivitas saraf simpatis dan adanya aktivitas kemoreseptor yang diikuti pelepasan

vasopresin.

Redistribusi aliran darah pada penderita hipoksia tidak hanya terlihat pada

aliran sistemik tetapi juga terjadi saat darah mencapai suatu organ tertentu. Hal ini

dapat terlihat pada aliran darah otak yang ditemukan lebih banyak mengalir ke

batang otak dan berkurang ke serebrum, pleksus khoroid, dan masa putih.

Pada hipoksia yang berkelanjutan, kekurangan oksigen untuk menghasilkan

energi bagi metabolisme tubuh menyebabkan terjadinya proses glikolisis

anerobik. Produk sampingan proses tersebut (asam laktat dan piruvat)

menimbulkan peningkatan asam organik tubuh yang berakibat menurunnya pH

darah sehingga terjadilah asidosis metabolik. Perubahan sirkulasi dan

metabolisme ini secara bersama-sama akan menyebabkan kerusakan sel baik

sementara ataupun menetap.

Pada bayi kurang bulan, proses hipoksia yang terjadi akan lebih berat

dibandingkan dengan bayi cukup bulan akibat kurang optimalnya faktor

redistribusi aliran darah terutama aliran darah otak, sehingga risiko terjadinya

gangguan hipoksik iskemik dan perdarahan periventrikular lebih tinggi. Demikian

pula disfungsi jantung akibat proses hipoksik iskemik ini sering berakhir dengan

payah jantung. Karena itu tidaklah mengherankan apabila pada hipoksia berat,

42

Page 43: Lapsus HIE (Febri) 2

angka kernatian bayi kurang bulan, terutama bayi berat lahir sangat rendah yang

mengalami hipoksia berat dapat mencapai 43-58%.

2.4.2 Disfungsi multi organ pada hipoksia/iskemia

Gambaran klinik yang terlihat pada berbagai organ tubuh tersebut sangat

bervariasi tergantung pada beratnya hipoksia, selang waktu antara pemeriksaan

keadaan hipoksia akut terjadi, masa gestasi bayi, riwayat perawatan perinatal,

serta faktor lingkungan penderita termasuk faktor sosial ekonomi. Beberapa

penelitian melaporkan, organ yang paling sering mengalami gangguan adalah

susunan saraf pusat. Pada asfiksia neonatus, gangguan fungsi susunan saraf pusat

hampir selalu disertai dengan gangguan fungsi beberapa organ lain (multiorgan

failure). Kelainan susunan saraf pusat yang tidak disertai gangguan fungsi organ

lain, hampir pasti penyebabnya bukan asfiksia perinatal.

Tabel 3. Pengaruh Asfiksia

Sistem Pengaruh

Sistem Saraf Pusat

Ensefalopati Hipoksik-Iskemik, infark, perdarahan intrakranial, kejang-kejang, edema otak, hipotonia,

hipertonia

KardiovaskularIskemia miokardium, kontraktilitas jelek, bising

jantung, insufisiensi trikuspid, hipotensi

PulmonalSirkulasi janin persisten, perdarahan paru, sindrom

kegawatan pernafasan

43

Page 44: Lapsus HIE (Febri) 2

Ginjal Nekrosis tubuler akut atau korteks

Adrenal Perdarahan adrenal

Saluran Cerna Perforasi, ulserasi, nekrosis

MetabolikSekresi ADH yang tidak sesuai, hiponatremia,

hipoglikemia, hipokalsemia, mioglobinuria

Kulit Nekrosis lemak subkutan

Hematologi DIC

2.5 Penegakan Diagnosis

2.5.1 Anamnesis

Pada anamnesis didapatkan gangguan/ kesulitan bernapas waktu lahir dan

lahir tidak bernafas/menangis.Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko

terhadap terjadinya asfiksia neonatorum.

2.5.2Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisis, skor apgar dipakai untuk menentukan derajat berat

ringannya asfiksia (Tabel 3)

Tabel 3. APGAR Score

Klinis 0 1 2

Warna Kulit (Appearance)

Biru PucatTubuh merah,

ekstremitas biruMerah seluruh

tubuh

Frekuensi Jantung (Pulse)

Tidak Ada <100x/ menit >100x/menit

Rangsangan Refleks

Tidak Ada Gerakan sedikit Batuk/ Bersin

44

Page 45: Lapsus HIE (Febri) 2

(Grimace)

Tonus Otot

(Activity)Lunglai Fleksi ekstremitas Gerakan aktif

Pernafasan (Respiratory)

Tidak Ada

Menangis lemah/ terdengar seperti

meringis atau mendengkur

Menangis kuat

Berdasarkan penilaian apgar dapat diketahui derajat vitalitas bayi adalah

kemampuan sejumlah fungsi tubuh yang bersifat esensial dan kompleks untuk

kelangsungan hidup bayi seperti pernafasan, denyut jantung, sirkulasi darah dan

refleks-refleks primitif seperti mengisap dan mencari puting susu, salah satu cara

menetapkan vitalitas bayi yaitu dengan nilai apgar.

1. Skor APGAR 7-10 ( Vigorous Baby). Dalam hal ini bayi di anggap sehat dan

tidak memerlukan tindakan istimewa.

2. Skor APGAR 4-6 (Mild-moderate asphyxia) - Asfiksia sedang. Pada

pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit, tonus

otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada.

3. A. Asfiksia berat. Skor APGAR 0-3. Pada pemeriksaan fisis akan terlihat

frekuensi jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat, dan

kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.

B. Asfiksia berat dengan henti jantung. Dimaksudkan dengan henti jantung

ialah keadaan (1) bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit

sebelum ;ahir lengkap, (2) bunyi jantung bayi menghilang post partum.

Dalam hal ini pemeriksaan fisis lainnya sesuai dengan yang ditemukan pada

penderita asfiksia berat.

Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke-5, bila

nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai

skor menjadi 7. Nilai apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi baru

45

Page 46: Lapsus HIE (Febri) 2

lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi

dimulai 30 detik setelah lahir bila bayi tidak menangis.

2.6 Tatalaksana

Sebagian besar bayi baru lahir tidak membutuhkan intervensi dalam

mengatasi transisi dari intrauterin ke ekstrauterin, namun sejumlah kecil

membutuhkan berbagai derajat resusitasi.

2.6.3 Resusitasi neonatus

Secara garis besar pelaksanaan resusitasi mengikuti algoritma resusitasi

neonatal.

2.6.3.1 Langkah Awal Resusitasi

Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 4

pertanyaan:

apakah bayi cukup bulan?

apakah air ketuban jernih?

apakah bayi bernapas atau menangis?

apakah tonus otot bayi baik atau kuat?

Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam

prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan,

diletakkan di dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga

suhu. Bila terdapat jawaban ”tidak” dari salah satu pertanyaan di atas maka bayi

memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan:

(1) langkah awal dalam stabilisasi

(a) memberikan kehangatan

46

Page 47: Lapsus HIE (Febri) 2

Bayi diletakkan dibawah alat pemancar panas (radiant warmer)

dalam keadaan telanjang agar panas dapat mencapai tubuh bayi dan

memudahkan eksplorasi seluruh tubuh.

Bayi dengan BBLR memiliki kecenderungan tinggi menjadi

hipotermi dan harus mendapat perlakuan khusus. Beberapa kepustakaan

merekomendasikan pemberian teknik penghangatan tambahan seperti

penggunaan plastik pembungkus dan meletakkan bayi dibawah pemancar

panas pada bayi kurang bulan dan BBLR. Alat lain yang bisa digunakan

adalah alas penghangat.6

(b) memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya

Bayi diletakkan telentang dengan leher sedikit tengadah dalam posisi

menghidu agar posisi farings, larings dan trakea dalam satu garis lurus

yang akan mempermudah masuknya udara. Posisi ini adalah posisi terbaik

untuk melakukan ventilasi dengan balon dan sungkup dan/atau untuk

pemasangan pipa endotrakeal.

47

Page 48: Lapsus HIE (Febri) 2

Gambar 2. Posisi kepala yang benar dan salah pada resusitasi

(c) membersihkan jalan napas sesuai keperluan

Aspirasi mekoneum saat proses persalinan dapat menyebabkan

pneumonia aspirasi.13 Salah satu pendekatan obstetrik yang digunakan

untuk mencegah aspirasi adalah dengan melakukan penghisapan

mekoneum sebelum lahirnya bahu (intrapartum suctioning), namun bukti

penelitian dari beberapa senter menunjukkan bahwa cara ini tidak

menunjukkan efek yang bermakna dalam mencegah aspirasi mekonium.

Cara yang tepat untuk membersihkan jalan napas adalah bergantung

pada keaktifan bayi dan ada/tidaknya mekonium.23

Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion dan bayi tidak bugar

(bayi mengalami depresi pernapasan, tonus otot kurang dan frekuensi

jantung kurang dari 100x/menit) segera dilakukan penghisapan trakea

sebelum timbul pernapasan untuk mencegah sindrom aspirasi mekonium.

Penghisapan trakea meliputi langkah-langkah pemasangan laringoskop dan

selang endotrakeal ke dalam trakea, kemudian dengan kateter penghisap

dilakukan pembersihan daerah mulut, faring dan trakea sampai glotis.13

Bila terdapat mekoneum dalam cairan amnion namun bayi tampak

bugar, pembersihan sekret dari jalan napas dilakukan seperti pada bayi

tanpa mekoneum.23

48

Page 49: Lapsus HIE (Febri) 2

Gambar 3. Memersihkan jalan napas sesuai keperuan

(d) mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada

posisi yang benar

Meletakkan pada posisi yang benar, menghisap sekret, dan

mengeringkan akan memberi rangsang yang cukup pada bayi untuk

memulai pernapasan. Bila setelah posisi yang benar, penghisapan sekret

dan pengeringan, bayi belum bernapas adekuat, maka perangsangan taktil

dapat dilakukan dengan menepuk atau menyentil telapak kaki, atau dengan

menggosok punggung, tubuh atau ekstremitas bayi.

Bayi yang berada dalam apnu primer akan bereaksi pada hampir

semua rangsangan, sementara bayi yang berada dalam apnu sekunder,

rangsangan apapun tidak akan menimbulkan reaksi pernapasan. Karenanya

cukup satu atau dua tepukan pada telapak kaki atau gosokan pada

punggung. Jangan membuang waktu yang berharga dengan terus

menerus memberikan rangsangan taktil.23

49

Page 50: Lapsus HIE (Febri) 2

Gambar 4. Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan rangsangan taktil

(2) ventilasi tekanan positif

(3) kompresi dada

(4) pemberian epinefrin dan atau pengembang volume (volume expander)

Keputusan untuk melanjutkan dari satu kategori ke kategori berikutnya

ditentukan dengan penilaian 3 tanda vital secara simultan (pernapasan, frekuensi

jantung dan warna kulit). Waktu untuk setiap langkah adalah sekitar 30 detik, lalu

nilai kembali, dan putuskan untuk melanjutkan ke langkah berikutnya (lihat bagan

1)

50

Page 51: Lapsus HIE (Febri) 2

Bagan 1. Algoritma Resusitasi Asfiksia Neonatorum

(Sumber: American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku panduan resusitasi neonatus. Edisi ke-5. 2006.)

2.6.3.2 Penilaian

Penilaian dilakukan setelah 30 detik untuk menentukan perlu tidaknya

resusitasi lanjutan. Tanda vital yang perlu dinilai adalah sebagai berikut:

(1) Pernapasan

Resusitasi berhasil bila terlihat gerakan dada yang adekuat, frekuensi dan

dalamnya pernapasan bertambah setelah rangsang taktil. Pernapasan yang megap-

megap adalah pernapasan yang tidak efektif dan memerlukan intervensi lanjutan.6

(2) Frekuensi jantung

Frekuensi jantung harus diatas 100x/menit. Penghitungan bunyi jantung

dilakukan dengan stetoskop selama 6 detik kemudian dikalikan 10 sehingga akan

dapat diketahui frekuensi jantung permenit.6

(3) Warna kulit

51

Page 52: Lapsus HIE (Febri) 2

Bayi seharusnya tampak kemerahan pada bibir dan seluruh tubuh. Setelah

frekuensi jantung normal dan ventilasi baik, tidak boleh ada sianosis sentral yang

menandakan hipoksemia. Warna kulit bayi yang berubah dari biru menjadi

kemerahan adalah petanda yang paling cepat akan adanya pernapasan dan

sirkulasi yang adekuat. Sianosis akral tanpa sianosis sentral belum tentu

menandakan kadar oksigen rendah sehingga tidak perlu diberikan terapi oksigen.

Hanya sianosis sentral yang memerlukan intervensi.23

2.6.3.3 Pemberian oksigen

Bila bayi masih terlihat sianosis sentral, maka diberikan tambahan oksigen.

Pemberian oksigen aliran bebas dapat dilakukan dengan menggunakan sungkup

oksigen, sungkup dengan balon tidak mengembang sendiri, T-piece resuscitator

dan selang/pipa oksigen. Pada bayi cukup bulan dianjurkan untuk menggunakan

oksigen 100%. Namun beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa

penggunaan oksigen ruangan dengan konsentrasi 21% menurunkan risiko

mortalitas dan kejadian ensefalopati hipoksik iskemik (EHI) dibanding dengan

oksigen 100%.18-22 Pemberian oksigen 100% tidak dianjurkan pada bayi kurang

bulan karena dapat merusak jaringan.

Penghentian pemberian oksigen dilakukan secara bertahap bila tidak

terdapat sianosis sentral lagi yaitu bayi tetap merah atau saturasi oksigen tetap

baik walaupun konsentrasi oksigen sama dengan konsentrasi oksigen ruangan.

Bila bayi kembali sianosis, maka pemberian oksigen perlu dilanjutkan sampai

sianosis sentral hilang. Kemudian secepatnya dilakukan pemeriksaan gas darah

arteri dan oksimetri untuk menyesuaikan kadar oksigen mencapai normal.23

2.6.3.4 Ventilasi Tekanan Positif

Ventilasi tekanan positif (VTP) dilakukan sebagai langkah resusitasi

lanjutan bila semua tindakan diatas tidak menyebabkan bayi bernapas atau

frekuensi jantungnya tetap kurang dari 100x/menit. Sebelum melakukan VTP

52

Page 53: Lapsus HIE (Febri) 2

harus dipastikan tidak ada kelainan congenital seperti hernia diafragmatika,

karena bayi dengan hernia diafragmatika harus diintubasi terlebih dahulu sebelum

mendapat VTP. Bila bayi diperkirakan akan mendapat VTP dalam waktu yang

cukup lama, intubasi endotrakeal perlu dilakukan atau pemasangan selang

orogastrik untuk menghindari distensi abdomen. Kontra indikasi penggunaan

ventilasi tekanan positif adalah hernia diafragma.

2.6.3.5 Kompresi dada

Kompresi dada dimulai jika frekuensi jantung kurang dari 60x/menit setelah

dilakukan ventilasi tekanan positif selama 30 detik. Tindakan kompresi dada

(cardiac massage) terdiri dari kompresi yang teratur pada tulang dada, yaitu

menekan jantung ke arah tulang belakang, meningkatkan tekanan intratorakal, dan

memperbaiki sirkulasi darah ke seluruh organ vital tubuh. Kompresi dada hanya

bermakna jika paru-paru diberi oksigen, sehingga diperlukan 2 orang untuk

melakukan kompresi dada yang efektif—satu orang menekan dada dan yang

lainnya melanjutkan ventilasi.Orang kedua juga bisa melakukan pemantauan

frekuensi jantung, dan suara napas selama ventilasi tekanan positif. Ventilasi dan

kompresi harus dilakukan secara bergantian.23

Teknik ibu jari lebih direkomendasikan pada resusitasi bayi baru lahir

karena akan menghasilkan puncak sistolik dan perfusi koroner yang lebih besar.

Prinsip dasar pada kompresi dada adalah:

(1) Posisi bayi

Topangan yang keras pada bagian belakang bayi dengan leher sedikit

tengadah.

(2) Kompresi

Lokasi ibu jari atau dua jari : pada bayi baru lahir tekanan diberikan pada 1/3

bawah tulang dada yang terletak antara processus xiphoideus dan garis khayal

yang menghubungkan kedua puting susu.23

53

Page 54: Lapsus HIE (Febri) 2

Gambar 8. Lokasi Kompresi

Sumber: American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku

panduan resusitasi neonatus. Edisi ke-5, 2006.

kedalaman : diberikan tekanan yang cukup untuk menekan tulang dada

sedalam kurang lebih 1/3 diameter anteroposterior dada, kemudian tekanan

dilepaskan untuk memberi kesempatan jantung terisi. Satu kompresi terdiri

dari satu tekanan ke bawah dan satu pelepasan. Lamanya tekanan ke bawah

harus lebih singkat daripada lamanya pelepasan untuk memberi curah jantung

yang maksimal. Ibu jari atau ujung-ujung jari (tergantung metode yang

digunakan) harus tetap bersentuhan dengan dada selama penekanan dan

pelepasan.23

frekuensi : kompresi dada dan ventilasi harus terkoordinasi baik, dengan

aturan satu ventilasi diberikan tiap selesai tiga kompresi, dengan frekuensi 30

ventilasi dan 90 kompresi permenit. Satu siklus yang berlangsung selama 2

detik, terdiri dari satu ventilasi dan tiga kompresi.23

Penghentian kompresi:23

54

Page 55: Lapsus HIE (Febri) 2

Setelah 30 detik, untuk menilai kembali frekuensi jantung ventilasi

dihentikan selama 6 detik. Penghitungan frekuensi jantung selama

ventilasi dihentikan.

Frekuensi jantung dihitung dalam waktu 6 detik kemudian dikalikan 10.

Jika frekuensi jantung telah diatas 60 x/menit kompresi dada dihentikan,

namun ventilasi diteruskan dengan kecepatan 40-60 x/menit. Jika

frekuensi jantung tetap kurang dari 60 x/menit, maka pemasangan kateter

umbilikal untuk memasukkan obat dan pemberian epinefrin harus

dilakukan.

Jika frekuensi jantung lebih dari 100 x/menit dan bayi dapat bernapas

spontan, ventilasi tekanan positif dapat dihentikan, tetapi bayi masih

mendapat oksigen alir bebas yang kemudian secara bertahap dihentikan.

Setelah observasi beberapa lama di kamar bersalin bayi dapat

dipindahkan ke ruang perawatan.

BAB III

ANALISA KASUS

S (Subjektif)

Bayi baru lahir secara spontan dari ibu G2P2A0 dengan usia kehamilan 43

minggu, dengan riwayat Ketuban Pecah Dini > 48 jam dan lilitan tali pusat (+).

Bayi lahir tidak langsung menangis, gerakan tidak aktif, warna kulit biru. Bayi

langsung di suction dan diberikan ventilasi tekanan positif di ruang Bougenville

sebanyak 5 liter. Setelah diberi ventilasi tekanan postif di Ruang Bougenville kulit

55

Page 56: Lapsus HIE (Febri) 2

bayi bagian badan mulai kemerahan namun kulit wajah tetap kebiruan. Bayi

akhirnya dibawa ke Seruni, dalam perjalanan ke Seruni bayi di beri rangsang dan

bayi mulai menangis. Di Seruni bayi diberikan ventilasi tekanan positif dan

kompresi dada, namun wajahnya tetap kebiruan. Pasien diberi bantuan kanul O2.

BBL 3250 gr, PB 46,5 cm, LD: 33 cm, LK 34 cm, LL 10,5 cm. APGAR score 1-

2-3.

Warna kulit biru kemerahan (+), sianosis (+), hipertoni (+), refleks hisap

(+) lemah, refleks moro (-)

2 jam setelah pasien lahir timbul kejang (+), dengan posisi mulut

mencucu, mata tertutup, lengan fleksi, nadi meningkat.

Berdasarkan keluhan pasien, adanya asfiksia berat dan riwayat lilitan tali

pusat yang merupakan faktor resiko hipoksik iskemik ensefalopati sehingga

memungkinkan terjadinya kejang pada bayi. Adanya riwayat KPD > 48 jam juga

dapat menjadi faktor resiko infeksi pada neonates.

O (Objektif)

Keadaan umum : kejang, pergerakan kurang tidak aktif, tangisan merintih, sianosis (+) pada wajah.

Kesadaran : Letargi

Tanda vital :

o Nadi : 120 x/menit,

o RR : 52 x/menit

o Suhu tubuh : 36,3 °C

o Saturasi : 94%

Data Antropometri

Berat badan : 3250 gram

Panjang badan : 46.5 cm

56

Page 57: Lapsus HIE (Febri) 2

Lingkar Kepala : 34 cm

Kesan = status gizi normal

Kulit : merah kebiruan (+),sianosis (+) pada wajah

Kepala : UUB belum menutup

Pulmo : suara dasar vesikuler +/+

Ekstremitas : Akral hangat, sianosis (-), hipertoni

Refleks primitive : Refleks Rooting (-), refleks sucking (-), Morro (-), Tonick

neck (-), palmar grasp (+) lemah

Ballarad Score : 40 40 minggu

Assesment

• Obs. Kejang e.c HIE

• Asfiksia berat

• Neonatus infeksi

• Neonates postterm

Planning

c. Farmakologi

o Inf. D10% 260 cc/24 jam 250 cc/24 jam

o O2 1 lpm

o Inj. Cefotaxim 2 x 150 mg

o Inj. Gentamycin 2 x 10 mg

o Inj. Phenobarbital : 2 x 25 mg

d. Non-Farmakologi

• Jaga kehangatan : pertahankan suhu tubuh 36,5-37,5 C

57

Page 58: Lapsus HIE (Febri) 2

• Sonde

• ASI ekslusif

• Motivasi keluarga

DAFTAR PUSTAKA

1. Utomo, Martono Tri, et all. 2006. Ensefalopati Hipoksik Iskiemik Perinatal.

FK UNAIR Dr. Sutomo : Surabaya.

http://old.pediatrik.com/pkb/061022022401-qf2m135.pdf

2. http://downloads.ziddu.com/downloadfile/18872698/

Hipoxicischemicencephalopathy.docx.html

58

Page 59: Lapsus HIE (Febri) 2

3. Kohnle, Diana. 2014. Hypoxic Ischemic Encephalopathy. NYU Langone

Medical Center. http://www.med.nyu.edu/content?ChunkIID=230598

4. Khairiyah, Rahmatul. 2014. Hypoxic Ischaemic Encephalophaty (HIE) dan

Caput Succadeneum. FK Universitau Riau RSUD Arifin Achmad : Riau.

https://www.scribd.com/doc/204031932/case-HIE

5. Zanelli, Santina A. 2014. Hypoxic Ischemic Encephalopathy. Medscape.

http://emedicine.medscape.com/article/973501-overview

6. Suryanagara, Mahesa. 2012. Hypoxic Ischemic Encephalopathy (HIE).

http://www.slideshare.net/MahesaSuryanagara/hie-referat

7. Angriawan, Metha. 2011. Hypoxic Ischemis Encephalopathy in the Newborn.

https://www.scribd.com/doc/59497824/Hypoxic-Ischemic-Encephalopathy-

in-the-Newborn

8. Rahmawati, Tiara. 2013. Patofisiologi Hipoksia Iskemik Ensefalopati pada

Neonatus. FK Trisakti : Jakarta.

https://www.scribd.com/doc/208678127/Patofisiologi-HIE

9. http://digilib.ump.ac.id/files/disk1/18/jhptump-a-mayanginda-896-2-babii.pdf

10. Alex, Irma. 2013. Ensefalopati Hipoksik Iskemik.

https://www.scribd.com/doc/148481860/Pendahuluan-Refrat-Neo

11. Lawn JE, Cousens S, Zupan J: Lancet Neonatal Survival Steering Team. 4

million neonatal deaths: When? Where? Why? Lancet 2005; 365 (9462):891

–900.

12. Lawn J, Shibuya K, Stein C. No cry at birth: global estimates of intrapartum stillbirths and intrapartum-related neonatal deaths. Bull World Health Organ 2005; 83:409-17.

13. London, Susan Mayor. Communicable disease and neonatal problems are still major killers of children. BMJ 2005;330:748 (2 April), doi:10.1136/bmj.330.7494.748-g.

59

Page 60: Lapsus HIE (Febri) 2

14. Lee, et.al. Risk Factors for Neonatal Mortality Due to Birth Asphyxia in Southern Nepal: A Prospective, Community-Based Cohort Study. Pediatrics 2008; 121:e1381-e1390 (doi:10.1542/peds.2007-1966). (Level of evidence IIb)

15. Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.h. 278-9.

16. IDAI. Asfiksia Neonatorum. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004.h. 272-276. (level of evidence IV)

17. World Health Organization. Basic Newborn Resuscitation: A Practical Guide-Revision. Geneva: World Health Organization; 1999. Diunduh dari: www.who.int/reproductivehealth/publications/newborn_resus_citation/index.html.

18. American Academy of Pediatrics and American College of Obstetricians and Gynaecologists. Care of the neonate. Guidelines for perinatal care. Gilstrap LC, Oh W, editors. Elk Grove Village (IL): American Academy of Pediatrics; 2002: 196-7.

19. McGuire W. Perinatal asphyxia. Clin Evid 2006;15:1–2.

20. Parer JT. Fetal Brain Metabolism Under Stress Oxygenation, Acid-Base and Glucose. 2008. Diunduh dari: http://www.nichd.nih.gov/publications/pubs/acute/acute.cfm

21. Meneguel JF, Guinsburg R, Miyoshi MH, Peres CA, Russo RH, Kopelman BI, Camano L. Antenatal treatment with corticosteroids for preterm neonates: impact on the incidence of respiratory distress syndrome and intra-hospital mortality. Sao Paulo Med J 2003; 121(2):45-52. (Level of evidence IIb)

22. Oswyn G, Vince JD, Friesen H. Perinatal asphyxia at Port Moresby General Hospital: a study of incidence, risk factors and outcome. PNG Med J 2000;43(1-2):110-120. (Level of evidence IIb)

23. American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Buku panduan resusitasi neonatus. Edisi ke-5. Jakarta: Perinasia; 2006

60