LAPORAN SKENARIO

59
Laporan Tutorial Blok Cardiovaskular Skenario 2 MANIFESTASI KLINIS DAN DIFFERENTIAL DIAGNOSIS DARI PENYAKIT JANTUNG BAWAAN KELOMPOK 14 : Aryo Seno G0010030 Asih Anggraini G0010032 Damar Dyah Mentari G0010048 Erma Malindha G0010074 Fariz Edi Wibowo G0010078 Fitroh Annisah G0010084 Himmatul Fuad G0010094 Rizqi Ahmad Nur D. G0010168 Wahyu Aprillia G0010194 Pembimbing : dr. Endang Listyaningsih S., M.Kes

description

LAPORAN SKENARIO

Transcript of LAPORAN SKENARIO

Laporan Tutorial Blok Cardiovaskular Skenario 2

MANIFESTASI KLINIS DAN DIFFERENTIAL DIAGNOSIS DARI

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN

KELOMPOK 14 :

Aryo Seno G0010030

Asih Anggraini G0010032

Damar Dyah Mentari G0010048

Erma Malindha G0010074

Fariz Edi Wibowo G0010078

Fitroh Annisah G0010084

Himmatul Fuad G0010094

Rizqi Ahmad Nur D. G0010168

Wahyu Aprillia G0010194

Pembimbing :

dr. Endang Listyaningsih S., M.Kes

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

FAKULTAS KEDOKTERAN

2012

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit epidemi di Amerika

Serikat. Sekitar 6 juta orang Amerika terkena beberapa penyakit jantung dan

pembuluh darah. Menurut American Heart Association, semakin banyak

kematian yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskular dibandingkan dengan

gabungan ketujuh penyebab kematian utama berikutnya. (Price and Wilson,

2006)

Nyeri dada merupakan salah satu keluhan yang paling banyak

ditemukan di klinik. Sebahagian besar penderita merasa ketakutan bila nyeri

dada tersebut disebabkan oleh penyakit jantung ataupun penyakit paru yang

serius. Diagnosa yang tepat sangat tergantung dari pemeriksaan fisik yang

cermat, pemeriksaan khusus lainnya serta anamnesa dari sifat nyeri dada

mengenai lokasi, penyebaran, lama nyeri serta faktor pencetus yang dapat

menimbulkan nyeri dada.

Sekitar 6 – 8 bayi per 1000 kelahiran menderita penyakit jantung

bawaan (PJB). Sepertiga dari bayi-bayi tersebut akan menunjukkan gejala

pada minggu-minggu awal kehidupannya, 1/3 akan menunjukkan gejala pada

masa neonatal. Jadi ± 0.5% bayi baru lahir kemungkinan akan menunjukkan

tanda adanya kelainan jantung dan ½ nya akan menunjukkan gejala pada

minggu-minggu awal kehidupannya.

B. KASUS SKENARIO

Permasalahan penulisan laporan ini berdasarkan skenario berikut:

Seorang anak laki-laki umur 15 tahun diantar ke puskesmas dengan

keluhan berdebar-debar. Berdebar-debar dirasakan sejak 1jam lalu. Tidak

merasakan sesak nafas. Sebelumnya pernah merasakan penyakitb yang sama

1 tahun lalu. Sejak kecil sering batuk pilek dan cepat lelah, bibir tampak

kebiruan. Nafsu makan sedikit terganggu, menurut ibunya, anak tersebut

lahir prematur.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan data: tekanan darah 120/40

mmHg, denyut nadi: 140x/menit. Pada inspeksi dinding dada tampak barrel

chest. Pada palpasi iktus cordis teraba di SIC VI 2 cm lateral linea

midoclavicularis kiri, tidak teraba thrill. Pada perkusi batas jantung di SIC

VI 2 cm lateral linea medioclavicularis kiri. Pada auskultasi jantung

terdengar bising diastolik murmur dengan punctum maximum SIC IV-V

parasternal kiri. Pada ekstremitas tidak terlihat jari-jari tabuh dan sianosis.

Pemeriksaan hematologi rutin normal. Pemeriksaan ECG

mnunjukkan irama sinus taki kardi dengan HR 140x/menit LAD, LVH LAH.

Pemeriksaan thorax foto: CTR 0,60 apeks bergeser ke lateral bawah.

Kemudian dokter puskesmas merujuk anak tersebut pada dokter spesialis

jantung.

Apa yang sesungguhnya terjadi pada anak tersebut?

C. Rumusan Masalah

1. Apakah hubungan lahir premature dengan gejala yang ada di skenario?

2. Bagaimana interpretasi hasil dari pemeriksaan fisik dan ECG?

3. Bagaimana interpretasi gejala klinik yang terjadi pada pasien?

4. Bagaimana sistem sirkulasi dara fetus dan hubungannya dengan sang ibu?

5. Bagaimana perubahan sirkulasi fetus setelah lahir?

6. Bagaimana hubungan lahir premature dengan penyakit jantung bawaan?

7. Bagaimana pathogenesis dari setiap gejala yang ada dalam skenario?

8. Apa pengertian dari EKG dan bagaimana cara penggunaannya?

9. Bagaimana hubungan riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit

sekarang?

D. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui apa hubungan lahir premature dengan gejala.

2. Untuk mengetahui interpretasi pemeriksaan fisik dan ECG.

3. Untuk mengetahui interpretasi gejala klinik pada pasien.

4. Untuk mengetahui sistem sirkulasi fetus dan ibu.

5. Untuk mengetahui untuk mengetahui perubahan sirkulasi fetus setelah

lahir.

6. Untuk mengetahui hubungan Lahir premature denan PJB.

7. Untuk mengetahui pathogenesis setiap gejala scenario.

8. Untuk mengetahui pengerian dan penggunaan EKG.

9. Untuk mengetahui hubungan antara riwayat penyakit dahulu dan riwayat

penyakit sekarang yang pernah dialami pasie.

E. Manfaat Penulisan

1. Mahasiswa patofisiologi, patogenesis, serta mekanisme dari keluhan nyeri

dada pasien.

2. Mahasiswa mampu mengetahui apa saja diferential diagnosis (diagnosis

banding) penyakit yang berhubungan dengan nyeri dada.

3. Mahasiswa mampu mengetahui bagaimana hubungan antara penyakit

dahulu dan sekarang.

4. Mahasiswa mampu mengetahui bagaimana hubungan antara riwayat

kelahiran pasien dengan gejala.

5. Mahasiswa mampu mengetahui mengetahui bagaimana manifestasi klinis

dari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang untuk

menegakkan diagnosis.

BAB II

STUDI PUSTAKA

A. Sirkulasi Darah Fetus

Beberapa pokok yang perlu diperhatikan dalam mempelajari sirkulasi

darah fetus mencakup :

1. Seluruh darah fetus harus melalui plasenta karena fetus menerima oksigen

dan makanan dari plasenta

2. Semua darah tercampur, sehingga kita tak dapat bicara tentang darah

“murni” dan “tak murni”, meskipun istilah-istilah ini digunakan. Lebih

tepat disebut : darah yang direoksigenasi dari plasenta, tetapi darah ini tak

pernah mencapai larutan 95% sampai 100% darah arteri seperti pada orang

dewasa, dan darah telah dideoksigenasi ketika meninggalkan fetus untuk

kembali ke dalam plasenta. Darah fetus kira-kira berisi 80% larutan

oksigen.

3. Fungsi paru-paru dijalankan plasenta. In utero (di dalam uterus) fetus tidak

memiliki sirkulasi pulmoner seperti sirkulasi pada orang dewasa;

pemberian darah secara terbatas mencapai paru-paru, cukup hanya untuk

nutrisi dan pertumbuhan paru-paru itu sendiri.

4. Saluran cerna pada fetus juga tak berfungsi, Karena plasenta menyediakan

makanan dan menyingkirkan bahan buangan keluar fetus.

Darah yang sudah direoksigenasi meninggalkan plasenta melalui satu-

satunya vena umbilika; vena umbilika berjalan di dalam pusar ke umbilicus

dan dari sana ada vena kecil yang berjalan ke vena porta hepatis. Hampir

tidak ada darah yang masuk ke hati sebab vena umbilika langsung

bersambung dengan vena kava inferior melalui sebuah pembuluh besar, yang

disebut duktus venosus, sebuah struktur yang hanya ada pada masa fetus.

Setelah di dalam vena kava inferior darah berjalan ke atas dan mencapai

atrium kanan. Sebagian besar darah bukan masuk ke dalam ventrikel kanan,

tetapi melalui lubang fetal yang hanya untuk sementara ada di dalam septum

interatrial, yang disebut foramen ovale.Setelah mencapai atrium kiri masuk

melalui katup mitral ke dalam ventrikel kiri.Kontraksi ventrikel kiri

mendorong masuk ke dalam aorta ascenden dari sini sebagian besar darah

didistribusikan ke jantung, otak, dan anggota atas.Darah yang tertinggal

dalam lengkung aorta masuk ke dalam aorta toracica-abdominalis desenden.

Setelah beredar dalam otak dan anggota atas, darah kembali ke jantung

melalui vena kava superior dan mencapai atrium kanan.Setelah berjalan teru

ke bawah di dalam atrium kanan, kemudian melalui lubang tricuspid masuk

ke dalam ventrikel kanan.Dari sini darah dipompa masuk ke dalam arteri

pulmonalis. Berdasarkan pengetahuan anatomi oaring dewasa, kita akan

menyangka bahwa darah kemudian akan disalurkan ke paru-paru. Sebenarnya

paru-paru dalam fetus tidak aktif dan hanya menerima sedikit darah.Sebagian

besar darah masuk ke dalam duktus arteriosus yang bergabung dengan aorta

pada akhir arcus aorta.Aorta toraksika desenden dengan demikian berisi

sebagian besar darah yang telah dideoksigenasi yang mencapai melalui

duktus arteriosus dan sebagian kecil darah yang berisi oksigen.

Kemudian darah dari aorta disebarkan ke visera dalam abdomen melalui

cabang-cabang bawah aorta tetapi di dalam fetus sebagian besar darah yang

mencapai bifurkasio aorta berjalan bukan ke visera pelvis dan anggota bawah,

tetapi dengan sepasang arteri umbilical kembali ke plasenta.Di dalam plasenta

ini terjadi pertukaran dengan darah ibu.Setelah berjalan melalui kapiler-

kapiler plasenta, darah mengalir kembali ke fetus. (Pearce, 2009)

Plasenta merupakan organ yang sangat aktif dan memiliki mekanisme

khusus untuk menunjang pertumbuhan dan ketahanan hidup janin.Hal ini

termasuk pertukaran gas yang efisian, transport aktif zat-zat energy, toleransi

imunologis terhadap imunitas ibu pada allograft akuisisi janin. (Heffner,

2005)

Perubahan sistem sirkulasi pada saat lahir terjadi saat tangisan

pertama.Ketika itulah terjadi proses masuknya oksigen yang pertama kali ke

dalam paru. Peristiwa ini membuka alveoli, pengembangan paru serta

penurunan tahanan ekstravaskuler paru dan peningkatan tahanan oksigen

sehingga terjadi vasodilatasi disertai penurunan tahanan dan penipisan

dinding arteri pulmonalis.Hal ini mengakibatkan penurunan tekanan ventrikel

kanan serta peningkatan saturasi oksigen sistemik.

Perubahan selanjutnya, terjadi peningkatan aliran darah ke paru secara

progresif, sehingga mengakibatkan peningkatan tekanan di atrium kiri sampai

melebihi tekanan atrium kanan. Kondisi ini mengakibatkan penutupan

foramen ovale juga peningkatan tekanan ventrikel kiri disertai peningkatan

tekanan serta penebalan sistem arteri sistemik.Peningkatan tekanan oksigen

sistemik dan perubahan sintesis serta metabolisme bahan vasoaktif

prostaglandin mengakibatkan kontraksi awal dan penutupan fungsional dari

duktus arteriosus yang mengakibatkan berlanjutnya penurunan tahanan arteri

pulmonalis.

Pada neonatus aterm normal, konstriksi awal dari duktus arteriosus

terjadi pada 10-15 jam pertama kehidupan, lalu terjadi penutupan duktus

arteriosus secara fungsional setelah 72 jam postnatal. Kemudian disusul

proses trombosis, proliferasi intimal dan fibrosis setelah 3-4 minggu postnatal

yang akhirnya terjadi penutupan secara anatomis. Pada neonatus prematur,

mekanisme penutupan duktus arteriosus ini terjadi lebih lambat, bahkan bisa

sampai usia 4-12 bulan. (Farmacia, 2007)

B. Elektrokardiografi

EKG (elektrokardiogram) adalah tes yang mengukur aktivitas listrik

jantung. Sinyal-sinyal yang membuat serat otot jantung kontraksi berasal dari

sinoatrial (pace maker). Alat ini

mencatat irama jantung, dan

konduksi jantung berdenyut

melalui jantung untuk mengenali

kemungkinan terkena penyakit

jantung yang mendasarinya.

Mesin EKG merekam listrik

jantung melalui kabel-kabel yang

disebut dengan electrode. Elektode-elektrode tersebut dipasang pada 10 bagian

tubuh tertentu. Jika dicetak diatas kertas secara lengkap, bias dilihat bahwa

gambaran yang tercetak itu terdiri dari 12 bagian dilihat dari 12 sisi yang berbeda,

atas-bawah, kiri-kanan, depan-samping (jadi dilihat 3 dimensi), disebut Lead.

Masing-masing dari 12 Lead tersebut memiliki nama, yaitu,

I,II,II,aVR,aVL,aVF,V1,V2,V3,V4,V5,V6.

10 kabel/electrode dipasang di 10 tempat

berbeda:

1. RA: tangan kanan

2. LA: tangan kiri

3. RL: kaki kanan

4. LL: kaki kiri

5. V1, SIC IV, linea parasternal dextra

6. V2: SIC IV, linea parasternal sinistra

7. V3: antara V2 dan V4

8. V4: SIC V, linea midclavicularis sinstra

9. V5: sejajar V4, linea axillaris anterior

10. V6: Sejajar V5, linea mid axillaris sinistra

Konduksi Listrik Jantung

Konduktor adalah bagian yang memiliki sifat penghantar listrik dan

merupakan jalur listrik yang mengalir, melalui:

1. Nodus sinoatrial (NSA)

Bagian yang berperan paling dominan sebagai pemacu jantung.Ia terletak

sedikit di atas dari atrium kanan. Denyut jnormalnya anatara 60-100 kali per

menit.

2. Jalur internodus (Traktus Internodus)

Jalur listrik antara nodus sinoatrial dan nodus atrioventrikuler.

3. Nodus Atrioventrikular (Junction)

Bagian dari jaringan ikat AV. Konduksinya lambat, membuat jeda sebelum

impuls menyebar ke ventrikel.Denyut intrinsiknya 40- 60 kali per menit.

4. Berkas HIS (HIS Bundle)

Mengirimkan impuls kepada cabang-cabang, terletak dibawah nodus

sinoatrial.

5. Cabang Berkas Kiri

Mengkonduksikan impuls yang mengalir ke ventrikel kiri.

6. Cabang Berkas Kanan

Mengkonduksikan impuls yang mengalir ke ventrikel kanan.

7. Serat Purkinje

Jaringan serat yang menyebarkan impuls melalui dinding ventrikel yang

terletak pada terminal bundle branch. Denyut intrinsiknya 20-40 kali per

menit.

Beberapa konduktor memiliki denyut intrinsic yaitu denyut dirinya sendiri,

yang timbul bukan karena rangsangan impuls Nodus Sinoatrial (NSA). Jika

impuls dari Nodus Sinoatrial terganggu atau terhambat, konduktor lain masih

dapat menyelamatkan eksistensi denyut jantung dengan denyut instrinsiknya

tersebut.

Elektrofisiologi

Jantung dihidupi oleh aktivitas listriknya. Aktivitas listrik jantung ada dua:

depolarisasi dan repolarisasi. Depolarisasi adalah perubahan listrik sel jantung

akibat pergeseran elektrolit pada membrane sel. Perubahan ini menstimulasi otot

jantung untuk berkontraksi.Repolarisasi adalah pompa kimiawi mengembalikan

kondisi listrik sel-sel jantung ke kondisi instirahat. Depolarisasi repolarisasi dipicu

oleh sumber-sunber listrik dan dihantarkan oleh jalur konduksi. Dari aksi jantung

inilah terekam perubahan jejak-jejak listriknya.Aktivitas listri jantung ini direkam

oleh mesin EKG tersebut.Meskipun depolarisasi dan repolarisasi menyebabkan

konstraksi dan dilatasi jantung, yang direkam EKG bukan kontraksi dan dilatasi

jantung tetapi depolarisasi dan repolarisasinya.

Mengenal Kertas EKG

Jika dilihat secara jelas, kertas EKG memiliki kotak-kotak kecil.Setiap 5 x

5 kotak kecil membentuk 1 kotak besar. Kotak-kotak kecil berukuran 1 x 1

mm.Normalnya,kecepatan berjalan kertas EKG adalah 25mm/detik. Pada keadaan

ini, secara horizontal 1 kotak kecil panjang kertas senilai dengan 0,004 detik, 1

kotak besar senilai 0,20 detik.

Efek aktivitas listrik jantung terhadap gambaran EKG

Depolarisasi atrium memunculkan gelombang P

Depolarisasi ventrikel memunculkan kompleks QRS

Repolarisasi ventrikel memunculkan Segmen ST dan gelombang T

Gel P Gelombang yang tanpak pertama

Bentuk melengkung kecil ke atas

Menunjukkan depolarisasi atrium

Kelainan gel P = kelainan atrium

Interval

PR

Jarak gelombang antara gelombang P dan permulaan kompleks

QRS

Untuk mengukur waktu perjalanan depolarisasi dari atrium ke

ventrikel

Normalnya : 0,12 – 0,22 detik

Interval

QRS

Tiga defleksi yang mengikuti gelombang P

Mengidentifikasikan depolarisasi (dan kontraksi) ventrikel

Gel Q: defleksi negative pertama setelah P

Gel R: defleksi positif pertama setelah P

Gel S: defleksi negative pertama setelah R

Normalnya kurang dari 0,12 detik

Segmen

ST

Jarak antara gelombang S dan permulaan gelombang T

Menunjukkan repolarisasi ventrikel

Gel T Gelombang lengkungan ke atas yang mengikuti QRS

Menunjukkan repolarisasi ventrikel

Interval

QT

Permulaan QRS hingga akhir T

Menunjukkan aktivitas ventrikel total

Gel U Gelombang kecil yang mengikuti T

Mudah terlihat pada denyut jantung yang pelan

Beberapa referensi menyatakan bahwa gelombang ini

menunjukkan repolarisasi serat purkinje

Enam Hal Yang Harus Dibaca pada Kertas EKG:

1. Menghitung Frekuensi

2. Menilai ritme

3. Mengenali jenis irama

4. Menentukan Zona Transisi

5. Menentukan Aksis

6. Mengenali Morfologi Gelombang

Kelainan Pembesaran Ruang Jantung yang dapat dilihat dengan EKG

1. Pembesaran Atrium Kanan (Right Atrium Hyperthrophy-RAH)

Lihat kelainan pada Lead II, Bila ada

gelombang P yang tinggi, ini disebut Peak P

atau P Pulmonal, RAH biasanya terjadi

karena penyakit paru kronik.

2. Pembesaran Atrium Kiri (Left Atrium Hyperthrophy-LAH)

Lihat gambaran EKG pada Lead II, Bila ada

gelombang P yang berlekuk, ini disebut P

mitral biasanya terjadi akibat insufisiensi mitral

atau stenosis mitral.

3. Pembesaran Ventrikel Kanan (Right Ventricle Hyperthrophy-RVH)

Dilihat pada Lead I

Apabila gelombang positif dengan QRS langsing merupakan kemungkinan

terjadi RVH, karena normalnya V1 cenerung negative.

Atau Dilihat pada Lead V6

Jika terdapat gelombang S terdapat kemungkinan terjadi

RVH, namun perlu dikonfirmasi dengan pemasangan V3R

(V3 yang dipasang didada kanan).

4. Pembesaran Ventrikel Kiri (Left Ventricle Hyperthrophy-LVH)

Dilihat di Lead V5/V6

LVH terjadi jika tinggi gelombang P lebih dari 27

kotak kecil

Atau dilihat pada Lead V5/V6 dan V1

Jika gelombang R di V5/V6 ditambah dalam gelombang S

di V1 lebih dari sama dengan 35 kotak kecil ini sangat

memungkinkan telah terjadi LVH. LVH adalah pembesaran ruang jantung

yang paling sering (Choi BYet al., 2012 ; Chou R et al., 2011 ; Muttaqin

A.A., 2008).

C. Diagnosis Banding

1. Defek Septum Atrium (Atrium Septal Defect /ASD)

Defek septum atrium merupakan kelainan jantung bawaan akibat

adanya lubang pada septum interatrial. Berdasarka letak lubang, ASD dibagi

atas 3 tipe yaitu :

a. Defek septum atrium sekundum, bila lubang terletak di daerah fossa ovalis.

Kelainan ini terjadi pada 7-10 % dari seluruh kelainan jantung bawaan dan

lebih sering terjadi pada wanita (2 kali pria).

b. Defek septum atrium primum, bila lubang terletak di daerah ostium primum

(termasuk salah satu defek septum atrioventrikuler).

Kelainan ini terjadi hanya pada 3 % dari seluruh kelainan jantung bawaan.

c. Defek sinus venosus, bila lubang terletak didaerah sinus venosus (dekat

muara vena kava superior atau inferior).

Kelainan ini terjadi hanya pada 15 % dari defek interatrium. (Rahajoe, 2003)

Defek pada ASD sering tidak ditemukan pada pemeriksaan rutin karena

keluhan baru timbul pada decade ke 2-3 dan bising yang terdengar tidak

keras.Pada kasus dengan aliran pirau yang besar keluhan cepat lelah timbul

lebih awal.Sianosis tampak bila terjadi penyakit vaskuler paru (sindrom

Eisenmenger).Pada penderita ASD sering disertai bentuk tubuh yang tinggi dan

kurus dengan jari-jari tangan dan kaki yang panjang. Aktivitas ventrikel kanan

meningkat dan tidak teraba thrill. Bunyi jantung kesatu mengeras, bunyi

jantung kedua terpisah lebar dan tak mengikuti variasi pernapasan (widw fixed

split).Bila terjadi hipertensi pulmonal, komponen pulmonal bunyi jantung

kedua mengeras dan pemisahan kedua komponen tidak lagi lebar.Terdengar

bising sistolik ejeksi yang halus di SIC II parasternal kiri.Bising mid-diastolik

mungkin terdengar di SIC IV parasternal kiri, sifatnya menggenderang dan

meningkat dengan inspirasi. Bising pansistolik regurgitasi mitral dapat

terdengar didaerah apeks pada defek septum atrium primum dengan celah pada

katup mitral atau pada defek septum atrium sekundum yang disertai prolaps

katup mitral. (Rahajoe, 2003)

Pada EKG (Elektrokardiogram) umumnya terlihat deviasi sumbu QRS

(axis) ke kanan, hipertrofi ventrikel kanan, dan right bundle branch block

(RBBB). Pemanjangan interval PR dan axis ke kiri mengarah pada

kemungkinan defek septum atrium primum.Bila sumbu gelombang P negative

maka perlu dimungkinkan defek sinus venosus. Pada foto thoraks tampak

kardiomegali akibat pembesaran atrium dan ventrikel kanan.Segmen pulmonal

menonjol dan vaskularisasi paru meningkat. Pada kasus lanjut dengan

hipertensi pulmonal, gambaran vaskularisasi paru berkurang didaerah tepi.

Ekokardiogram M-mode memperlihatkan dilatasi ventrikel kanan dan septum

interventrikular yang bergerak paradoks.Prolaps katup mitral dan regurgitasi

sering tampak pada defek septum atrium yang besar. Posisi katup mitral dan

trikuspid sama tingi pada defek septum atrium primum dan bila ada celah pada

katup mitral juga terlihat. Ekokardiogram doppler memperlihatkan aliran

interatrial yang terekam sampai di dinding atrium kanan. Rasio aliran pulmonal

terhadap aliran sistemik juga dapat dihitung.Ekokardiografi kontras dilakukan

bila ekokardium Doppler tak mampu memperlihatkan adanya aliran

interatrial.Kateterisasi jantung dilakukan bila defek interatrial pada

ekokardiogram tak jelas terlihat atau bila terdapat hipertensi pulmonal.

(Rahajoe, 2003)

Bedah penutupan ASD dilakukan bila rasio aliran pulmonal terhadap

aliran sistemik lebih dari 2.Bila pemeriksaan fisik dan EKG sudah dapat

memastikan ASD dengan aliran pirau yang bermakna, maka penderita dapat

diajukan operasi tanpa didahului kateterisasi jantung.Bila telah terjadi

hipertensi pulmonal dan penyakit vaskuler paru serta pada kateterisasi jantung

didapatkan tahanan arteri pulmonalis lebih dari 10 U.m2 yang tidak responsive

dengan pemberian O2 100%, maka penutupan defek ASD merupakan indikasi

kontra. (Rahajoe, 2003)

2. Defek Septum Ventrikel (Ventricle Septal Defect / VSD)

Defek septum ventrikel merupakan kelainan jantung bawaan yang

berupa lubang pada septum interventrikular. Lubang tersebut dapat hanya 1

atau lebih (swiss cheese VSD) yang terjadi akibat kegagalan fusi septum

interventrikular semasa janin dalam kandungan. Berdasarkan lokasi lubang

VSD diklasifikasikan dalam 3 tipe, yaitu:

a. Perimembranus, bila lubang terletak didaerah septum membranus dan

sekitarnya.

b. Subarterial doubly commited, bila lubang terletak didaerah septum

infundibuler.

c. Muskuler, bila lubang terletak didaerah septum muskuler inlet,outlet

ataupun trabekuler.

(Rilantono , 2003)

Adanya lubang pada septum interventrikuler memungkinkan terjadinya

aliran dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan, sehingga aliran darah yang ke paru

bertambah.Manifestasi klinis tergantung pada besarnya aliran pirau yang

melewati lubang VSD dan ini ditentukan oleh ukuran VSD serta besarnya

tahanan pembuluh darah paru. Pada usia 6 bulan pertama, besar aliran pirau

dapat berubah-ubah sesuai dengan penurunan tahanan pembuluh darah paru

akibat maturasi paru yang berlangsung cepat pada periode tersebut. Penurunan

maksimal biasanya terjadi pada usia 1-6 minggu, tapi terkadang baru terjadi

pada usia 12 minggu. Aliran pirau dari kiri ke kanan akan ertambah dengan

menurunnya tahanan pembuluh paru, sehingga gagal jantung pada bayi dengan

VSD besar biasa terjadi pada usia 2-3 bulan. Bila aliran pirau kecil umumnya

tidak menimbulkan keluhan, tetapi bila besar menimbulkan keluhan seperti

kesulitan waktu minum atau makan karena cepat lelah atau sesak dan sering

mengalami batuk serta infeksi saluran nafas berulang.Ini mengakibatkan

pertumbuhan yang lambat.Komplikasi yang paling sering dijumpai pada VSD

adalah endokarditis infektif. (Rilantono, 2003)

Pada VSD dengan aliran pirau besar biasanya terlihat takipneu.

Aktivitas ventrikel kiri meningkat dan dapat teraba thrill sistolik. Komponen

pulmonal bunyi jantung kedua mengeras bila terjadi hipertensi pulmonal.

Terdengar bising holosistolik (pansistolik) yang keras di SIC III-IV parasternal

kiri dan menyebar sepanjang parasternal dan apeks. Pada aliran pirau yang

besar, dapat terdengar bising mid-diastolik didaerah katup mitral akibat aliran

yang berlebihan.Tanda gagal jantung kongestif dapat ditemukan pada bayi atau

anak dengan aliran pirau yang besar.Bila terjadi penyakit vaskuler paru dan

sindrom Eisenmenger, penderita tampak sianosis dengan jari-jari tabuh, bahkan

mungkin disertai tanda gagal jantung kanan. (Rilantono, 2003)

Pada pemeriksaan foto thoraks tampak kardiomegali akibat pembesaran

ventrikel kiri. Gambaran vaskularisasi paru meningkat, kecuali bila telah

terjadi penyakit vaskuler paru dimana terlihat gambaran pruned tree yang

disertai penonjolan arteri pulmonalis. Pada pemeriksaan ekokardiogram dapat

terlihat hipertrofi ventrikel kiri dan mungkin hipertrofi atrium kiri.Bila terdapat

hipertrofi kedua ventrikel dan deviasi sumbu QRS ke kanan maka perlu

dipikirkan adanya hipertensi pulmonal atau hipertrofi infundibulum ventrikel

kanan.Dengan pemeriksaan ekokardiografi 2 dimensi dapat dideteksi dengan

tepat ukuran dan lokasi VSD.Dengan pemeriksaan ekokardiografi berwarna

dan Doppler dapat dipastikan arah dan besarnya aliran yang melewati defek

tersebut.Tingginya tekanan arteri pulmonalis pada hipertrofi infundibulum juga

dapat diukur. (Rilantono, 2003)

Bila VSD ditemukan pada bayi usia dibawah 1 tahun, maka perlu

dikontrol secara periodik setiap bulan sampai usia 1 tahun, mengingat besar

aliran pirau dapat berubah akibat resistensi par uterus mengalami penurunan.

Bila terdapat gagal jantung, maka perlu diberikan obat-obat seperti digitalis,

diuretik, atau vasodilator. Setelah usia 1 tahun penderita dapat dikontrol setiap

3 bulan sekali. Bila gagal jantung tidak dapat teratasi dengan medikamentosa

dan pertumbuhan tampak terhambat maka sebaiknya dilakukan tindakan

paliatif bedah pulmonary artery banding untuk mengurangi aliran yang

berlebih ke paru atau langsung penutupan VSD bila BB anak memenuhi. Hal

ini juga ditentukan oleh pengalaman dan kemampuan pusat bedah jantung

setempat. Bila gagal jantung dapat teratasi dan anak tumbuh baik maka

kateterisasi jantung dan bedah penutupan VSD dilakukan setelah anak usia 3-4

tahun. Dalam observasi setiap kasus VSD perlu diperhatikan kemungkinan

terjadinya prolaps katup aorta, hipertrofi infundibulum atau hipertensi

pulmonal. Bila kelainan-kelainan tersebut terjadi maka tindakan kateterisasi

dan bedah penutupan VSD perlu dipercepat. Bila telah terjadi hipertensi

pulmonal yang disertai dengan penyakit vaskuler paru (irreversible), maka

bedah penutupan VSD tidak dianjurkan lagi.Bila ada prolaps katup aorta dan

regurgitasi katup aorta yang berat maka mungkin juga dilakukan penggantian

katup. Pencegahan terhadap endokarditis infektif pada setiap tindakan bedah

minor (misalnya cabut gigi) perlu dilakukan pada setiap kasus VSD.

(Rilantono, 2003)

3. Stenosis Mitral

Stenosis mitral merupakan suatu keadaan dimana terjadi gangguan

aliran daah dari atrium sinistrum melalui katub mitral oleh karena obstruksi

pada katub mitral.Kelainan struktur mitral ini menyebabkan gangguan

pembukaan sehingga timbul gangguan pengisian ventrikel sinister pada saat

diastole.

Penyebab tersering adalah endokarditis reumatika. Akibat reaksi yang

progresif dari demam remautik dari infeksi streptokokus. Penyebab lain

walaupun jarang dapat juga stenosis mitral congenital, deformitas parasut

mitral, vegetasi systemic lupus erithematosus (SLE), karsinosis sistemik

deposit amiloid, akibat obat flenfuramin/phentermin, rheumatoid arthritis

(AR), serta kalsifikasi annulus maupun daun katub pada usia lanjut akibat

proses degenerative. Beberapa keadaan juga dapat menimbulkan obstruksi

aliran darah ke ventrikel sisister seperti Cor triatrium, miksoma atrium, serta

thrombus sehingga menyeruoai stenosis mitral.

Pada stenosis mitral akibat demam reumatik akan terjdi proses

peradangan (valvulitis) dan pembentukan nodul tipis di sepanjang garis

penutupan katub. Proses ini akn meinmbulkan fibrosis dan penebalan katub,

kalsifikasi, fusi komisura, fusi serta pemendekan korda atau kombinasi dari

proses tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan distorsi dari apparatus mitral

yang normal. Mengecilnya katub mitral menjadi seperti bentuk mulut ikan

(‘fish mouth’) atau lubang kancing (button hole’).Fusi dari komisura akn

menimbulkan penyempitan dari orifisium primer sedangkan fusi korda

mengakibatkan penyempitan dari orifisium sekunder. Pada endokarditis

reumatika, daun katub dan khorda akan mengalami sikatrik dan kontraktur

bersamaan pemendekan korda sehingga memberikan penarikan daun katun

menjadi bentuk funnel shaped. Proses perubahan patologi sampai terjadi

gejala klinis (periode laten) biasanya memakan waktu bertahun-tahun (10-20

tahun).

Patofisiologi

Pada keaadan normal katub mitral memiliki ukuran 4-6 cm2. Bila area

orifisium ini berkurang sampai 2 cm2, maka diperlukan upaya aktif atrium

sinistrum agar aliran transmitral yang normal tetap terjadi.Stenosis mitral

kritis terjadi apabila pembukaan katub berkurang hingga menjadi 1 cm2. Pada

tahap ini dibutuhkan suatu tekanan atrium sinistrum sebesar 25 mmHg untuk

mempertahankan cardiac output yang normal (Swain,2005).

Gradient transmitral merupakan ‘hall mark’ stenosis mitral selain

luasnya area katub mitral. Sebagai akibatnya kenaikan tekanan atrium

sinistrum akan diteruskan ke v. pulmonalis dan selanjutnya mengakibatkan

kongesti paru serta keluhan sesak (exertional dispnea). Berdasarkan luasnya

katub mitral derajat stenosis mitral sebagai berikut:

1. Minimal: bila area >2,5 cm2.

2. Ringan: bila area 1,4-2,5 cm2

3. Sedang: bila area 1-1,4 cm2

4. Berat: bila area <1,0 cm2.

Keluhan dan gejala stenosis mitral mulai akan muncul bila luas area

katub mitral menurun sampai seperdua normal (<2-2,5 cm2). Pada stenosis

mitral ringan symptom yang muncul biasanya dicetuskan oleh factor yang

meningkatkan aliran atau curah jantung, atau menurunkan periode pengisian

diastole, yang akan meningkatkan tekanan atrium sinistrum secara dramatis.

Beberapa keadaan antara lain: latihan, stress emosi, infeksi, kehamilan, dan

vibrasi atrium dengan respon ventrikel yang cepat. Dengan bertambah

sempitnya area mitral maka tekanan atrium sinistrum akan meningkat

bersamaan dengan progresi keluhan. Apabila area mitral < 1 cm2 yang berupa

stenosis mitral berat maka akan terjadi linitasi dalam aktivitas. Hipertensi

pulmonal merupakan komplikasi yang serin terjadi pada stenosis mitral,

dngan patofisiolgi yang kompleks.Pada awalnya kenaikan tekanan atau

hiperensi pulmonal terjadi secara pasif akibat kenaikan tekanan atrium

sinistrum. Demikian pula terjadi perubahan pada vaskuler paru berupa

vasokontriksi akibat bahan neurohunoran sepert endotelin, atau perubahan

anatomi yaitu remode akibat hipertrofi tunika media dan penebalan intima.

Kenaikan resistensi arteriolar paru ini seharusnya merupakan mekanisme

adaptif untuk melindungi pari dari kongesti. Dengan meningkatnya hipertensi

pulmonal ini akan menyebabkan kenaikan tekanan dan volume akhir diastole,

regurgitasi tricuspid, dan pulmonal sekunder dan seterusnya sebagai gagal

jantung kanan dan kongesti sistemik.

Diagnosis

Keluhan penderita merupakan keluhan sistemik dan dinamik yang

amat berkaitan dengantingkat aktivitas fisik dan tidak ditentukan hanya oleh

luasnya lubang mitral. Pada wanita hal ini berkaitan dengan peningkatan

aktivitas tubuh, misalnya pada kehamilan.Keluhan dapat berupa takikardi,

dispneu, takipneu, atau ortopneu dan bunyi jantung tidak teratur.Tak jarang

terjadi gagal jantung, batuk darah atau trombo emboli serebral maupun

perifer. Batuk darah terjadi karena rupturnya vena bronchial yang melebar,

sputum dengan bercak darah pada saat serangan paroksismal nocturnal

dispnea, sputum seperti karat (pink frothy) oleh karena edema paru yang jelas,

infark paru, dan bronchitis kronis akibat edema mukosa bronkus. Jika

kontraksi ventrikel kanan masih baik sehingga tekanan arteri pulmonalis

masih tinggi maka keluhan akan lebih mengarah pada akibat bendungan

atrium kiri, vena pulmonal,dan interstisial paru. Keluhan dapat berupa sesak

napas pada aktivitas sehari-hari, paroksismal nocturnal dispnea, ortopnea atau

edema paru.Jika ventrikel kanan sudah tak mampu atau tak efisien lagi untuk

menimbulkan tekanan tinggi pada arteri pulmonal maka keluhan akan beralih

ke arah bendungan vena sistemik, terutama jika sudah terjadi insufisiensi

tricuspid, dengan atau tanpa fibrilasi atrium. Aritmia atrial berupa fibrilasi

atrium merupakan kejadian yang sering terjadi pada stenosis mitral yaitu 30-

40%. Penentuan kelas fungsional amat penting karena akan menentukan ada

tidaknya indikasi pembedahan. Yang menjadi masalah adalah adanya

kesulitan karena keluhan sangat subjektif. Oleh karena itu, penentuan kelas

fungsional tidak mudah, dalam kenyataan sehari-hari kelasfungsional dapat

berubah dalam waktu singkat tergantung dari pencetusnya.

Pemeriksaan Fisik Stenosis mitral yang murni dapat dikenal dengan terdengarnya bising

middiastolik yang bersifat kasar, bising menggenderang (rumble), aksentuasi

presistolik dan bunyi jantung satuyang mengeras.Bunyi jantung satu yang

mengeras oleh karena pengisian yang lama membuat tekanan ventrikel kiri

meningkat dan menutup katup sebelum katup itu kembali ke posisinya.

Diapeks bising menggenderang dapat diraba sebagai thrill. Jika terdengar

bunyi tambahan opening snap berarti katup jantung masih relatif lemas

sehingga waktu terbuka mendadak saat diastole menimbulkan bunyi yang

menyentak. Jarak bunyi jantung kedua dengan opening snap memberikan

gambaran beratnya stenosis.Makin pendek jarak ini berarti makin berat

derajat penyempitannya.Komponen pulmonal bunyi jantung kedua dapat

mengeras disertai bising sistolik karenaadanya hipertensi pulmonal. Jika

sudah terjadi insufisiensi pulmonal maka dapat terdengar  bising diastolik dini

dari katup pulmonal. Penyakit-penyakit penyerta yang dapat terjadi antaralain

stenosis aorta, insufisiensi aorta, stenosis trikuspid, dan insufisiensi trikuspid.

Elektrokardiogram (EKG)

Perubahan EKG pada penderita stenosis mitral tergantung pada

derajat stenosis, lamanya stenosis dan ada tidaknya penyakit penyerta.Pada

stenosis mitral yang ringan mungkin hanya akan terlihat gambaran P mitral

berupatakik (notching ) gelombang P dengan gambaran QRS yang masih

normal. Pada tahap yang lebih jauh akan terlihat perubahan aksis frontal yang

bergeser ke kanan dan kemudian akan terlihatgambaran rs atau RS pada

hantaran prekordial kanan. Bila terjadi perputaran jantung karenadilatasi atau

hipertrofi ventrikel kanan, gambaran EKG prekordial kanan dapat

menyerupai gambaran kompleks intrakaviter kanan atau infrak dinding

anterior.Pada keadaan ini biasanyasudah terjadi regurgitasi trikuspid yang

berat karena hipertensi pulmonal yang lanjut.Gambaran EKG dapat pula

normal jika terjadi keseimbangan listrik karena terjadistenosis katup aorta

yang menyertainya.Pada stenosis mitral yang reumatik sering dijumpai

adanya fibrilasi atau flutter atrial. Fibrilasi atau flutter atrium sering dimulai

dengan suatu ekstrasistolik atrium paroksimal (Taufik, 2009)

4. Insufisiensi Mitralis

Insufisiensi mitralis merupakan keadaan dimana terdapat refluks darah

dari ventrikel kiri ke atrium kiri pada saat sistolik, akibat katup mitral tidak

menutup secara sempurna.kelainan katup mitralis yang disebabkan karena

tidak dapat menutupnya katup dengan sempurna pada saat systole.

Etiologi

Berdasarkan etiologinya insufisiensi atau regurgitasi mitral dapat dibagi

atas reumatik dan non reumatik (degenaratif, endokarditis, penyakit jantung

koroner, penyakit jantung bawaan, trauma dan sebagainya). Di negara

berkembang seperti Indonesia, penyebab terbanyak insufisiensi mitral adalah

demam reumatik.

Patofisiologi

Stenosis mitral diawali dengan demam reumatik. Adapun demam

reumatik merupakan kelanjutan dari infeksi faring yang disebabkan streptokok

beta hemolitik grup A. Reaksi autoimun terhadap infeksi streptokokus secara

hipotetif akan menyebabkan kerusakan jaringan atau manifestasi demam

reumatik, sebagai berikut (1) Streptokokus grup A akan menyebabkan infeksi

faring, (2) Antigen streptokokus akan menyebabkan pembentukan antibody

pada hospes yang hiperimun, (3) antibody akan bereaksi dengan antigen

streptokokus, dan dengan jaringan hospes yang secara antigenic sama seperti

streptokokus (dengan kata lain antibody tidak dapat membedakan antara

antigen streptokokus dengan antigen jaringan jantung), (4) autoantibody

tesebut bereaksi dengan jaringan hospes sehingga mengakibatkan kerusakan

jaringan. Adapun kerusakan jaringan ini akan menyebabkan peradangan pada

lapisan jantung khususnya mengenai endotel katup, yang mengakibatkan

pembengkakan daun katup dan erosi pinggir daun katup. Hal ini

mengakibatkan tidak sempurnanya daun katup mitral menutup pada saat

systole sehingga mengakibatkan penurunan suplai darah ke aorta dan aliran

darah balik dari ventrikel kiri ke atrium kiri,hal ini mengakibatkan penurunan

curah sekuncup ventrikel sehingga jantung berkompensasi dengan dilatasi

ventrikel kiri, peningkatan kontraksi miokardium, hipertrofi dinding ventrikel

dan dinding atrium sehingga terjadi penurunan kemampuan atrium kiri untuk

memompa darah hal ini mengakibatkan kongesti vena pulmonalis dan darah

kembali ke paru-paru mengakibatkan terjadi edema intertisial paru, hipertensi

arteri pulmonalis, hipertensi ventrikel kanan sehingga dapat mengakibatkan

gagal jantung kanan.

Pemeriksaan

1. Anamnesis

2. Pemeriksaan fisis:

a. Inspeksi: bentuk tubuh, pola pernapasan, emosi/perasaan

b. Palpasi: suhu dan kelembaban kulit, edema, denyut dan tekanan arteri

c. Perkusi: batas-batas organ jantung dengan sekitarnya.

d. Auskultasi:

Bising pansistolik yang bersifat meniup (blowing) di apeks,

menjalar ke aksila dan mengeras pada ekspirasi

Bunyi jantung I lemah karena katuo tidak menutup sempurna

Bunyi jantung III yang jelas karena pengisian yang cepat dari

atrium ke ventrikel pada saat distol.

3. Pemeriksaan penunjang:

a. Elektrokardiogram:

Menilai derajat insufisiensi, lamanya, ada/tidaknya penyakit

penyerta

Gambaran P mitral dengan aksis dan kompleks QRS yang normal

Aksis yang bergeser ke kiri dan adanya hipertrofi ventrikel kiri

Ekstra sistol atrium

b. Foto Toraks :

Ukuran jantung biasanya normal

Pada kasus yang berat dapat terlihat pembesaran jantung

Bendungan paru

Perkapuran pada anulus mitral

c. Fonokardiogram: menilai gerakan katup, ketebalan dan perkapuran serta

menilai derajat regurgitasi insufisiensi mitral

4. Pemeriksaan Laboratorium:mengetahui ada/tidaknya reuma aktif/reaktivasi.

(Rachman, 2003)

Terapi medikamentosa

1. Digoxin

Digoxin amat berguna terhadap penanganan fibrilasi atrium.Ia adalah

kelompok obat digitalis yang bersifat inotropik positif. Ia meningkatkan

kekuatan denyut jantung dan menjadikan denytan jantung kuat dan sekata.

2. Antikoagulan oral

Antikoagulan di berikan kepada pasien untuk mengelakkan terjadinya

pembekuan darah yang bisa menyebabkan emboli sistemik.Emboli bisa terjadi

akibat regurgitasi dan turbulensi aliran darah.

3. Antibiotik profilaksis

Administrasi antibiotic dilakukan untuk mengelakkan infeksi bacteria yang

bisa menyebabkan endokarditis.

Terapi surgical

Dalam kasus insufisiensi mitralis kronik, terapi surgical adalah penting

untuk memastikan survival pasien.

Prognosis

Prognosis untuk penderita insufisiensi mitral adalah tergantung pada

pnyebab berlakunya masalah ini.Dalam kasus yang disebabkan oleh panyakit

arteri koronari, prognosisnya agak jelek jika dibanding dengan yang disebabkan

oleh perubahan myxomatous. Manakala yang disebabkan oleh demam reumatik

prognosisnya sederhana lantaran kebanyakan dari kasus ini akan berulang

(Mansyur, 2003).

5. Insufisiensi Aorta

Insufisiensi aorta adalah penyakit jantung kongenital dimana katup

aorta tidak bisa menutup sempurna waktu diastole.

Insufisiensi aorta menyebabkan refluks darah dari aorta ke dalam

ventrikel kiri sewaktu relaksasi ventrikel.Pada prinsipnya, jaringan perifer

dan ventrikel kiri bersaing untuk mendapatkan darah yang keluar dari

ventrikel selama sistolik. Besarnya aliran darah ke arah depan atau ke perifer

terhadap aliran retrograd ke ventrikel bergantung pada derajat penutupan

katup dan resistensi relatif terhadap aliran darah antara pembuluh darah

perifer dan ventrikel. Resistensi pembuluh darah perifer biasanya rendah pada

insufisiensi aorta, tampaknya merupakan mekanisme kompensasi untuk

memaksimalkan aliran kearah depan. Namun, pada stadium lanjut resistensi

perifer akan meningkat, sehingga juga meningkatkan aliran retrograd melalui

katup aorta dan mempercepat perkembangan penyakit.

Perjalanan klinis insufisiensi aorta kronis paling sulit dimengerti dan

paling bervariasi.Tetapi, penyakit ini jelas memberikan beban volume yang

cukup berat pada ventrikel kiri. Pada setiap kontraksi, ventrikel harus mampu

mengeluarkan darah yang sama dengan volume sekuncup normal ditambah

volume insufisiensi. Ventrikel kiri mengalami dilatasi berat dan akhirnya

menjadi hipertrofi, sehingga bentuknya berubah seperti bola. Peningkatan

daya regang dinding ventrikel memungkinkan peningkatan volume diastolik

tanpa peningkatan tekanan abnormal.

Kemampuan kompensasi ventrikel kiri yang tinggi disertai dengan

katup mitralis yang kompeten dapat mempertahankan fungsi ventrikel untuk

jangka waktu lama.Gejala jarang timbul sebelum terjadinya dekompensasi

ventrikel kiri, yang terkadang dapat disertai insufisiensi katup mitralis

fungsional. Kerusakan ventrikel kiri irreversibel akibat ejeksi beban volume

berlebihan terhadap resistensi sistemik yang berlangsung lama, dapat terjadi

menetap. Titik kerusakan yang berat susah ditentukan.

Gejala-gejala awal adalah rasa lelah, sesak nafas saat beraktivitas, dan

palpitasi.Mungkin juga terdapat angina dengan hipertrofi ventrikel kiri dan

tekanan diastolik yang rendah, yang berturut-turut meningkatkan kebutuhan

oksigen dan menurunkan suplai oksigen.Namun, nyeri substernum yang tidak

berhubungan dengan iskemia miokardium juga sering terjadi.Gagal jantung

mencetuskan perjalanan klinis yang makin buruk dengan menurunnya curah

jantung dan meningkatkan volume ventrikel, disertai aliran retrogad atrium

kiri dan kongesti paru-paru. (Price, 2005)

JARI-JARI TABUH DAN EKSTREMITAS BENGKAK

Pada ekstremitas tidak terlihat jari-jari tabuh dan sianosis. Jari-jari tabuh

(clubbing of finger) merupakan deformitas yang ditimbulkan karena proliferasi

jaringan lunak sekitar phalanx terminal dari tangan atau kaki. Hal ini disebabkan

oleh adanya hipoksia yang akan merangsang pembentukan kapiler-kapiler darah

yang diikuti oleh pembentukan jaringan ikat, sehingga akan menyebabkan

ekstremitas mengalami pembengkakan karena pembentukan jaringan ikat tersebut.

Sianosis adalah warna kebiruan pada kulit dan membrane mukosa akibat

konsentrasi Hb tereduksi lebih dari 5gr% (IDAI, 1994).Sianosis dapat dibedakan

menjadi dua, sianosis tepi dan sianosis sentral.Sianosis tepi disebabkan oleh

terdapatnya ambilan oksigen yang berlebihan oleh jaringan atau adanya hambatan

transportasi oksigen ke dalam sel/jaringan. Hal ini akan lebih tampak pada daun

telinga, ujung jari, pada aderah sirkumoral, dan ujung hidung. Sianosis sentral

terjadi akibat saturasi oksigen arteri yang rendah. Walaupun sianosis ini dapat

terlihat pada seluruh permukaan tubuh namun akan tampak jelas terlihat pada

mukosa bibir, lidah, dan konjungtiva. Hal ini dikarenakan daerah tersebut

memiliki perfusi yang baik (IDAI, 1994). Sianosis pada kelainan jantung sering

ditemukan apabila terdapat aliran shunt dari kanan ke kiri.

BATAS JANTUNG KIRI DAN PALPASI ICTUS CORDIS DI SIC VI

Pada pemeriksaan EKG didapatkan axis ke kiri, left ventricular

hyperthropy (LVH) dan left atrial hyperthropy (LAH). Hasil ini menunjukkan

adanya pembesaran pada bagian jantung kiri. LVH dan LAH sering ditemukan

pada VSD dan dapat ditemukan pada patent ductus arteriosus (PDA)

(Purwaningtyas, 2009). Hipertrofi ini dapat disebabkan oleh beban hemodinamik

sebagai kompensasi jantung dengan mekanisme Frank-Starling untuk

meningkatkan pembentukan jembatan silang aktin-miosin, meningkatkan massa

otot untuk menghadapi beban tambahan, dan menggunakan mekanisme

neurohormonal untuk meningkatkan kontraktilitas. Sesuai dengan hukum Laplace,

beban tekanan pada otot jantung yang menetap dan dalam waktu yang cukup lama

akan menyebabkan serabut otot akan bertambah tebal dan massa otot bertambah.

Sarkomer-sarkomer yang tersusun paralel menyebabkan pelebaran miosit dan

menghasilkan bentuk remodelling hipertrofi konsentrik (penambahan rasio tebal

dinding dibagi ukuran ruang). Beban volume keadaan seperti regurgitasi aorta dan

regurgitasi mitral menyebabkan sarkomer bereplikasi secara serial dan

menyebabkan penambahan volume ventrikel. Bentuk remodelling yang dihasilkan

adalah hipertrofi eksentrik (pembesaran ruang dengan penurunan rasio tebal

dinding dibagi ukuran ruang). Bentuk ini merupakan awal kompensasi jantung

untuk mempertahankan volume sekuncup (Sanjaya dan Soerianata, 2004).

Pada pemeriksaan foto thoraks didapatkan CTR 0,60 dan apex cordis

bergeser ke lateral bawah. Apabila nilai CTR kurang dari 0,5 jantung dianggap

tidak membesar, bila lebih dari 0,5 dianggap membesar (Prasodjo, 2008). Apex

cordis bergeser ke lateral atau lateral bawah maka hal ini bisa dikemungkinan

adanya hipertrofi ventrikel kiri dan oleh sebab itu juga, pada palpasi ictus cordis

dan batas jantung kiri teraba di SIC VI 2 cm linea midclavicularis kiri karena juga

terjadi hipertrofi ventrikel kiri. Sehingga pemeriksaan ini sejalan dengan

pemeriksaan EKG yang didapatkan hasil LVH dan LAH.

6. Persistent Ductus Arteriosus (PDA)

Duktus arteriosus adalah saluran yang berasal dari arcus aorta ke VI pada

janin yang menghubungkan arteri pulmonalis dengan aorta descendens. Pada bayi

normal duktus tersebut menutup secara fungsional 10-15 jam setelah lahir dan

secara anatomis menjadi ligamentum arteriosum pada usia 2-3 minggu. Bila tidak

menutup disebut duktus arteriosus persisten/ Persistent Ductus Arteriosus (PDA).

Adanya PDA memungkinkan adanya aliran pirau dari kiri ke kanan (dari

aorta ke arteri pulmonalis).Adanya aliran yang berlebih pada arteri pulmonalis

memungkinkan terjadinya hipertensi pulmonal dengan tahanan vaskuler paru yang

tinggi.Sianosis terlihat bila telah terjadi penyakit vaskuler paru dimana aliran

pirau berubah dari kanan ke kiri (Sindrom Eisenmenger), terjadi kurang dari 10%

kasus. Risiko terjadinya endokarditis infektif pada PDA sangat tinggi, terutama

setelah usia dekade pertama.

Pemeriksaan fisik

Pernapasan cepat (takipneu) bila aliran pirau besar.Nada perifer terasa

menghentak akibat tekanan nadi (pulse pressure) yang besar. Terdengar bising

kontinyu yang khas machinary murmur dan dapat teraba thrill ada SIC II sinistra

yang menjalar ke bawah claviculae sinistra. Bila telah terjadi hipertensi pulmonal

bunyi jantung dua mengeras dan bising diastolik melemah/menghilang.

Pemeriksaan penunjang

- Foto thorax : kardiomegali akibat hipertrofi atrium dan ventrikel kiri. Aorta

membesar dan arteri pulmonalis menonjol. Corakan vaskularisasi meningkat

(pletora). Tetapi bila terjadi hipertensi pulmonal disertai perubahan vaskuler

paru maka corakan di daerah tepi akan berkurang (pruned tree).

- Elektrokardiogram : hipertrofi atrium dan ventrikel kiri, jika terdapat

hipertensi pulmonal maka disertai hipertrofi ventrikel kanan.

- Ekokardiogram : pada M-Mode adanya dilatasi atrium dan ventrikel kiri

serta gambaran ventrikel kiri yang hiperdinamik.

- Kateterisasi jantung : hanya dilakukan bila terdapat hipertensi pulmonal.

Pada kateterisasi didapat kenaikan sturasi oksigen meningkat di arteri

pulmonalis. Angiografi ventrikel kiri untuk mengevaluasi fungsinya dan

melihat kemungkinan adanya defek septum ventrikel atau kelainan lain.

Tata laksana

Pada dasarnya PDA harus dioperasi secepatnya apabila kesempatan

untuk menutup sendiri tak mungkin lagi (usia>14-16 minggu) untuk mencegah

endokarditis infektif. Risiko operasi hampir tidak ada.

Pada neonatus <10 hari diberikan indometasin peroral dengan dosis 0,2

mg/kgBB/8 jam, pemberian dapat diulang 3 dosis. Bila terdapat gagal jantung

berikan digitalis, diuretik atau vasodilator.

Kalau PDA tetap terbuka dan gagal jantung tidak teratasi maka harus

segera operasi.Bila gagal jantung teratasi operasi dapat ditunda sampai umur

14-16 minggu untuk menunggu kesempatan menutup spontan.Pada anak-anak

atau dewasa dengan hipertensi pulmonal irreversible, operasi tidak dianjurkan.

7. Tetralogi of Fallot

Tetralogi Fallot merupakan penyakit jantung bawaan biru (sianotik)

yang terdiri dari empat kelainan yaitu defek septum ventrikel perimembranus,

stenosis pulmonal infundibuler, overiding aorta, dan hipertrofi ventrikel

kanan.

Anak dengan kelainan ini akan biru sejak lahir karena hipoksia.

Pertumbuhan badan kurang dibanding anak sebayanya.Gejala yang khas

adalah apel sianotik dimana anak tiba-tiba tampak lebih biru, pernafasan

cepat, kesadaran menurun, dan kadang-kadang disertai kejang. Episode ini

umumnya dialami pada usia 3 bulan sampai kurang lebih 3 tahun dan sering

timbul pada pagi hari waktu anak bangun tidur atau setelah buang air besar.

Demam juga bisa merupakan pencetus.

Gejala-gejala Tetralogi Fallot

Pada mulanya sering kali tiada gejala (Ada sianosis bila berat)

Selanjutnya terjadi dispnea dan sianosis kalau beraktivitas, misalnya

menyusu.

Sering duduk berjongkok, menjepit arteri femoral

Sesudah keadaan sinanosis kronis, ujung jari membesar & tampak seperti:

pentung/club

Kelainan ini mempunyai insiden tertinggi dari seluruh kelainan

jantung bawaan biru, yaitu kurang lebih 50%.

Pada pemeriksaan elektrokardiogram tampak deviasi aksis ke kanan

dan hipertrofi ventrikel kanan.Kadang disertai hipertrofi atrium kanan.

Kemudian pada pemeriksaan foto thoraks ada gambaran pembuluh darah paru

berkurang (oligemia) dan konfigurasi jantung yang khas yakni seperti sepatu

boot (boot shape).Pada pemeriksaan ekokardiogram tampak defek septum

ventrikel jenis perimembranus dengan overriding aorta kurang kurang lebih

50% dan penebalan infundibulum ventrikel kanan (Harimurti, 2003)

Patogenesis Hipertrofi (Ictus Cordis di SIC VI) dan Tekanan Darah

Karena kebocoran katup aorta saat diastole, maka sebagian darah

dalam aorta, yang biasanya bertekanan tinggi, akan mengalir ventrikel kiri,

sehingga ventrikel kiri harus mengatasi keduanya, yaitu mengirim darah yang

secara normal diterima dari atrium kiri maupun darah yang kembali dari

aorta. Ventrikel kiri kemudian melebar dan hipertrofi untuk mengakomodasi

peningkatan volume ini, demikian juga akibat tenaga mendorong yang lebih

dari normal untuk memompa darah, menyebabkan tekanan darah sistolik

meningkat. Sistem kardiovaskuler berusaha mengkompensasi melalui refleks

dilatasi pembuluh darah dan arteri perifer melemas, sehingga tahanan perifer

menurun dan tekanan diastolik turun drastis (Zulkarnain, 2011)

DIASTOLIC MURMUR

Bising jantung timbul akibat aliran turbulen dalam bilik dan pembuluh

darah jantung.Aliran turbulen ini terjadi bila melalui struktur yang abnormal

(penyempitan lubang katup, insufisiensi katup), atau akibat aliran darah yang

cepat sekali melalui struktur yang normal. Bising jantung digambar menurut:

1. Waktu relatifnya, 2. Intensitasnya, 3. Lokasi atau daerah tempat bunyi itu

terdengar paling keras, dan 4. Sifat-sifatnya.

Bising diastolik terjadi sesudah bunyi S2 (bunyi jantung 2) saat

relaksasi ventrikel.Terjadi pada stenosis mitralis dan insufisiensi

aorta.Umumnya bersifat patologis. (Price, 2005)

BISING JANTUNG

Bising/murmur jantung merupakan bunyi aliran darah dalam struktur

vascular, dan digolongkan menurut tujuh sifat, yaitu intensitas, kualitas, frekuensi,

lama, konfigurasi, waktu dan penyebaran.Sebaian bising/murmur adalah inosen,

karena turbulensi aliran, tetapi jika patologis biasanya terkait dengan adanya

gradien tekanan antar ruang di mana darah mengalir ke ruang tersebut atau pada

pembuluh darah yang dituju.Murmur dapat terjadi pada fase-fase tertentu, seperti

pada ejeksi (mid) sistolik, holosistolik, akhir sistolik, sistolik arterial, awal

diastolic, mid-diastolik, akhir diastolic, dan kontinyu (Gray dkk, 2005).

Setiap kali melakukan auskultasi pada titik-titik di area tertentu, harus

diperhatikan adanya bising jantung.Bila ada bising jantung, maka hal-hal yang

perlu diperhatikan sebagai berikut:

1. Fase bising

Berdasar tempatnya pada siklus jantung ditentukan:

a. bising sistolik: terdengar antara bunyi jantung I dan bunyi jantung II

b. bising diastolik: terdengar antara bunyi jantung II dan bunyi jantung I

Penentuan bunyi jantung I dan bunyi jantung II secara akurat: suatu sine qua

non.

2. Kontur/ bentuk bising

a. Bising sistolik

1) Bising holosistolik (pansistolik) mulai bersamaan bunyi jantung I

terdengar sepanjang fase sistolik berhenti bersamaan bunyi jantung II :

defek septum ventrikel, insufisiensi mitral, dan insufisiensi trikuspidal

2) Bising sistolik dini: mulai bersamaan bunyi jantung I, dekresendo dan

berhenti sebelum bunyi jantung II: defek septum ventrikel, kecil.

3) Bising ejeksi sistolik mulai setelah bunyi jantung I kresendo –

dekresendo, berhenti sebelum bunyi jantung II; terdapat pada: bising inosen,

bising fungsional,stenosis pulmonal, stenosis aorta, defek septum atrium,

dan tetralogi fallot.

4) Bising sistolik akhir mulai setelah pertengahan fase sistolik,

kresendo, berhenti bersamaan dengan bunyi jantung II: insufisiensi mitral

kecil dan prolaps katup mitral.

b. Bising diastolik

1) Bising diastolik dini mulai bersamaan bunyi jantung II, dekresendo,

berhenti sebelum bunyi jantung I: Insufisiensi aorta dan Insufisiensi

pulmonal.

2) Bising middiastolik (diastolik flow murmur) akibat aliran darah

berlebih (stenosis relatif katup mitral/ trikuspid): Defek septum ventrikel

besar, Ductus arteriosus persisten besar, Defek septum atrium besar, dan

Insufisiensi mitral/ trikuspidal berat.

3) Bising diastolik akhir/ bising presistolik mulai pertengahan fase

diastolik, kresendo, berakhir pada bunyi jantung I:Stenosis mitral organik

c. Bising diastolik dan sistolik

1) Bising kontinu mulai setelah bunyi jantung I, kresendo, capai puncak

pada bunyi jantung II, dekresendo – berhenti sebelum bunyi jantung I

berikut : Ductus arteriosus persisten dan Fistula arteri – vena.

2) Bising to and fro kombinasi bising ejeksi sistolik dan diastolik dini,

pada: Stenosis aorta + insuf aorta, stenosis pulm + insuf pulm

3. Derajat bising

Intensitas bising dinyatakan dalam 6 (enam) derajat:

a. Derajat 1/6 : sangat lemah (hanya oleh yang berpengalaman)

b. Derajat 2/6 : lemah tapi mudah terdengar – penjalaran minimal

c. Derajat 3/6 : keras, tapi tak disertai getaran bising – penjalaran sedang

d. Derajat 4/6 : disertai getaran bising – penjalaran luas

e. Derajat 5/6 : sangat keras – terdengar bila stetoskop ditempelkan sebagian

saja pada dinding dada – penjalaran luas

f. Derajat 6/6 : terdengar meskipun stetoskop diangkat dari dinding dada –

penjalaran sangat luas

4. Pungtum maksimum bising (yang paling keras)

Tempat terdengar yang paling keras:

a. Bising mitral di apeks

b. Bising trikuspid di parasternal kiri bawah

c. Bising pulmonal di sela iga ke-2 tepi kiri sternum

d. Bising aorta di sela iga ke 2 tepi kanan atau kiri sternum

5. Penjalaran bising

Arah bising paling baik dijalarkan:

a. Bising mitral ke lateral/ aksila

b. Bising pulmonal ke sepanjang tepi kiri sternum

c. Bising aorta ke apeks dan daerah karotis

6. Kualitas bising

a. Dapat terdengar spt meniup (blowing) seperti defek dan insufisiensi mitral

b. Dapat “rumbling” seperti pada stenosis mitral

7. Perubahan intensitas bising dengan perubahan posisi dan respirasi

a. Bising mitral mengeras : pada miring ke kiri

b. Bising pulmonal dan aorta mengeras : pada menunduk

c. Bising jantung kanan mengeras pada inspirasi

(Makmun & Abdurrachman, 2006)

D. Pemeriksaan Laboratorium Pada Pasien Jantung

Pemeriksaan laboratorium pada penyakit jantung dan pembuluh darah

adalah pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis. Pemeriksaan

laboratorium untuk diagnosis penyakit jantung dan pembuluh darah terdiri

dari :

1. Laboratorium rutin

a. Darah

- Hemoglobin

- Hematokrit

- Eritrosit

- Jumlah leukosit

- Jumlah trombosit

- Ureum

- Gula darah

- Laju endap darah (LED)

b. Urin

Pemeriksaan analisis urin rutin dilakukan untuk mendeteksi dan

memantau kelainan intrinsik dari ginjal dan saluran kencing, atau

perubahannya sekunder akibat penyakit lain. Pemeriksaan yang paling

bermakna untuk menilai kapasitas kemampuan kepekatan ginjal adalah

osmolaritas urin.Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya

hematuria, proteinuria, urobilinogen dalam urin, eritrosit dan leukosit

dalam urin.

2. Laboratorium spesifik

a. Ensim jantung

b. Kreatin fosfokinase (Creatin phosphokinase-CK)

c. Isoensim CK-MB

d. Troponin T

e. Serum glutamic-oxaloacetic transaminase (SGOT)

f. Lactic dehydrogenase (LDH)

g. Alpha hydroxybutyric dehydrogenase (alpha-HBDH)

h. C-reactive protein (CRP)

i. Anti streptolisin-O (ASTO)

j. Tes fungsi hati

k. Sistim koagulasi

l. Kultur darah

m. Kadar digitalis dalam darah

n. Pemeriksaan cairan ekstra vaskuler

o. Lain-lain:

- Methemoglobinemia

- Mioglobinemia

- Hiperlipidemia

- Hiperurisemia

- Kadar aktivitas renin dalam darah

- Hipertiroidism

- Laboratorium pada pemeriksaan kesehatan berkala

(Roebiono, 2003)

PENUTUP

A. Simpulan

1. Secara anatomis, jantung terletak di rongga mediastinum dimana jantung

itu sendiri terbagi menjadi empat ruang, yaitu atrium cordis dextrum et

sinistrum dan ventrikulus cordis dexter et sinister.

2. Secara fisiologis, sistem konduksi jantung berawal dari impuls jantung di

SA node, kemudian melanjutkan diri ke AV node, berkas His, dan berakhir

pada serabut-serabut purkinje.

3. Kelainan jantung bawaan merupakan kelaianan yang sudah terbentuk sejak

dalam janin dan nampak ketika bayi tersebut lahir, yang bisa berhubungan

dengan genetik atau efek dari kondisi ibu.

4. Bayi prematur memiliki prevalensi yang tinggi untuk terkenan penyakit

jantung bawaan.

5. Cardiac output yang rendah mengakibatkan kurangnya asupan oksigen ke

jaringan sehingga menimbulkan rendahnya sistem imun dan terganggunya

metabolisme.adinya sianosis.

6. Pergeseran apex ke lateral bawah menandakan terjadi pembesaran jantung

bagian kiri.

7. EKG (elektrokardiogram) adalah tes yang mengukur aktivitas listrik

jantung. Alat ini mencatat irama jantung, dan konduksi jantung berdenyut

melalui jantung untuk mengenali kemungkinan terkena penyakit jantung

yang mendasarinya.

8. Sistem kekebalan tubuh bayi prematur belum sempurna/belum siap pakai,

jadi rentan terkena penyakit-penyakit, misalnya penyakit jantung bawaan.

9. Sistem sirkulasi fetus belum sempurna saat masih dalam kandungan,

namun setelah keluar/lahir dan mengeluarkan tangisan pertama, maka

sistem sirkulasi fetus akan mengalami perubahan-perubahan menuju

sistem sirkulasi yang sempurna.

10. Seperti penyakit-penyakit yang lain, penyakit jantung selain

membutuhkan anamnesis, juga membutuhkan pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang laboratorium.

B. Saran

1. Mahasiswa perlu menyebutkan sumber data yang digunakan pada saat

diskusi.

2. Mahasiswa seharusnya jangan hanya membaca tetapi menerangkan pada

saat menyampaikan pendapat dalam diskusi.

3. Tutor diberikan waktu yang lebih banyak untuk memberikan feedback

yang lebih membangun setelah diskusi selesai.

4. Mahasiswa seharusnya menghubungkan data yang diperoleh dengan hasil

pemeriksaan pada skenario yang dihadapi dengan detail sesuai

patogenesisnya.

5. Sebaiknya, tutor diberikan waktu yang lebih banyak untuk memberikan

feedback yang lebih membangun setelah diskusi selesai.

6. Ketika tidak ada tutor, mahasiswa seharusnya melanjutkan diskusi sesuai

dengan diskusi tutorial yang sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Choi BY, Park DG.2012.Normalization Of Negative T-Wave On Electrocardiography And Right Ventricular Dysfunction In Patients With An Acute Pulmonary Embolism. Korean J Intern Med. 2012 Mar;27(1):53-9. Epub 2012 Feb 28.

Harimurti, Ganesja M. 2003. Tetralogi Fallot dalam Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Heffner, Linda J., Danny J. Schust.2005. At A Glance Sistem Reproduksi. Jakarta : EMS

Majalah Farmacia vol.6 no.8, Maret 2007. “Deteksi Dini Penyakit Jantung Bawaan Pada Bayi Untuk Indikasi Pembedahan”. akses di : http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news_print.asp?IDNews=414

Makmun, Lukman H. dan Abdurachman, Nurhay. 2007. Pemeriksaan Fisik Jantung dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Mansyur, Arif. 2003. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapiata.

Muttaqin A.A. 2008. Pocket ECG “How to Learn ECG from Zero”. Yogyakarta: Intan Cendikia.

Pearce, Evelyn C. 2009. “Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis”. Jakarta : Gramedia

Price, Sylvia Anderson and Lorraine McCarty Wilson. 1995. “Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit”. Jakarta : EGC.

Rachman, Otte J. 2003. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik pada Penyakit Jantung dalam Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Rahajoe, Anna U. 2003. Defek Septum Atrium dalam Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Rilantono, Lily I. 2003. Masalah Penyakit Jantung dan Kecenderungannya di Indonesia dalam Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Rilantono, Lily I. 2003. Defek Septum Ventrikel dalam Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Rilantono, Lily Ismudiati, Baraas, Faisal, Karo Karo, Santoso, Roebiono, Poppy Surwianti. 2003. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.

Roebiono, Poppy S. 2003. Pemeriksaan Laboratorium pada Penyakit Kardiovaskuler dalam Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Roebiono, Poppy S. 2003. Duktus Arteriosus Persisten dalam Buku Ajar Kardiologi. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Roebiono, Poppy S. 2003. Buku Ajar Kardiologi. Balai Penerbit FKUI : Jakarta

Swain. 2005. Mitral Stenosis. McNamara et al, diunduh tanggal 12 Maret 2012 pada http//www.eMedecine.com/emerg.topic.315.htm

Taufik Indrajaya dan Ali Ghani. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Internal Publishing.