LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

155
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO C BLOK 24 TAHUN 2014 Disusun oleh: Kelompok L10 Astary Utami 04111001004 Putri Nilam Sari 04111001025 Beuty Savitri 04111001031 Mary Gisca Theressi 04111001036 Johannes Lie 04111001038 Agien Tri Wijaya 04111001041 Yuni Paradita Djunaidi 04111001042 Obby Saleh 04111001048 Hajrini Andwiarmi A 04111001047 Denis Puja Sakti 04111001049 Sabrina Sinurat 04111001066 Vhandy Ramadhan 04111001070 Yasinta Putri Astria 04111001073 Dipika Awinda 04111001074 Tutor : dr. Ramli

Transcript of LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Page 1: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO C BLOK 24 TAHUN 2014

Disusun oleh:

Kelompok L10

Astary Utami 04111001004

Putri Nilam Sari 04111001025

Beuty Savitri 04111001031

Mary Gisca Theressi 04111001036

Johannes Lie 04111001038

Agien Tri Wijaya 04111001041

Yuni Paradita Djunaidi 04111001042

Obby Saleh 04111001048

Hajrini Andwiarmi A 04111001047

Denis Puja Sakti 04111001049

Sabrina Sinurat 04111001066

Vhandy Ramadhan 04111001070

Yasinta Putri Astria 04111001073

Dipika Awinda 04111001074

Tutor : dr. Ramli

PENDIDIKAN DOKTER UMUM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Page 2: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun haturkan kepada Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya

laporan tutorial skenario C blok 24 ini dapat terselesaikan dengan baik.

Laporan ini bertujuan untuk memaparkan hasil yang didapat dari proses belajar tutorial,

yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran

Universitas Sriwijaya.

Penyusun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak- pihak yang terlibat dalam

pembuatan laporan ini, mulai dari tutor pembimbing, anggota kelompok L10 tutorial, dan

juga teman-teman lain yang sudah ikut membantu dalam menyelesaikan laporan ini.

Tak ada gading yang tak retak. Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini

masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik akan sangat bermanfaat bagi

revisi yang senantiasa akan penyusun lakukan.

Palembang, 16 April 2014

Penyusun

1

Page 3: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................................1

Daftar Isi................................................................................................................................2

Skenario C Blok 24 ...............................................................................................................3

Klarifikasi Istilah....................................................................................................................3

Identifikasi Masalah...............................................................................................................4

Analisis Masalah....................................................................................................................4

Hipotesis. ...............................................................................................................................46

Learning Issues......................................................................................................................47

- Inkontinensia Urine....................................................................................................47

- Depresi pada geriatric.................................................................................................61

- Osteoporosis...............................................................................................................67

- Obesitas......................................................................................................................71

- Sistolik hipertensi.......................................................................................................74

- Atrial fibrilasi.............................................................................................................93

- Menopause ................................................................................................................97

Kerangka Konsep...................................................................................................................100

Kesimpulan............................................................................................................................100

Daftar Pustaka........................................................................................................................101

2

Page 4: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

I. Skenario C Blok 24

Mrs. Minah ,63 years old female, complains of two episodes of urinary incontinence.

On both occsions she was unable to reach a bathroom in time to prevent loss of urine. The

first episode occured when she was in her car and the second while she was in shopping

mall. She is reluctant to go out because of this problem urge incotinence . She has no

menstrual periode since she was 50. Whithin the last month ,her husband died and ever

since she stayed with a housemaid.

Physical examination found the body weight is 75 kg, height is 156 cm , the blood

pressure is 150/80 mmHg, there is apical-radial pulse deficit, body temperature is 36,5 °C,

there is no exertional dyspnea, fatigue, and headache.

Laboratory finding is within normal limit.

Lumbar densitometry is -3,0 and femoral densitometry is -2,7.

Geriatric Depression Scale (GDS) 6 , MMSE score is 26.

Mrs. Minah so far was in treatment of catopril 12,5 mg, two times daily.

II. Klarifikasi Istilah

1. Incontinence = ketidakmampuan untuk mengendalikan pengeluaran urin.

2. Urge incontinence = pengeluaran urin secara involunter akibat peregangan orifisium

vesika urinaria seperti pada saat batuk atau bersin.

3. No menstrual periode = berhentinya menstruasi karena aktor usia.

4. Apical radial pulse deficit =perbedaan antara denyut apical atau precordial dengan

denyut radial.

5. Exertional dyspnea = sesak nafas yang terjadi pada saat beraktivitas

6. Lumbar densitometry = pengukuran densitas(kepadatan) tulang pada bagian os

lumbar.

7. Femoral densitometry = pengukuran densitas(kepadatan) tulang pada bagian os

femur

8. Geriatric depression scale =skala penilaian 30 item untuk mengidentifikasi depresi

pada orang tua.

3

Page 5: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

9. MMSE( Mini Mental Stage Examination ) = instrumen yang digunakan untuk

skrining fungsi kognitif.

10. Captopril = suatu inhibitor angiotensin converting enzim yang digunakan dalam

pengobatan hipertensi ,gagal jantung kongestif, dan disfungsi ventrikel kiri, pasca

infark mio kardium.

III. Identifikasi Masalah

1. Nyonya Minah , 63 tahun , mengeluh dua kali kejadian inkontinensia urin. Pada

kedua kejadian nyonya Minah tidak mampu mencapai kamar mandi tepat waktu

untuk buang air kecil. Kejadian pertama terjadi ketika sedang berada di dalam mobil

dan yang kedua terjadi pada pusat pemberlanjaan . Ny. Minah tidak berkeinginan

unutk keluar rumah akibat kejadian inkontinensia urin.

2. Nyonya Minah mengalami menopause pada umur 50 tahun.

3. Suami nyonya Minah telah wafat sebulan yang lalu dan sekarang tinggal dengan

pembantu.

4. Pemeriksaan fisik

Berat badan 75 kg ; Tinggi badan 156 cm ; Tekanan darah 150/80 mmHg ; defisit

denyut apical-radial ; suhu tubuh 36,5 °C ; tidak ada exertional dyspnea,fatigue dan

sakit kepala.

5. Pemeriksaan penunjang

Densitometri lumbar (-3) dan femur (-2,7) ; GDS 6 ; MMSE 26

6. Riwayat pengobatan captopril 12,5 mg 2 kali sehari

IV. Analisis Masalah

Masalah1

Nyonya Minah , 63 tahun , mengeluh dua kali kejadian inkontinensia urin. Pada

kedua kejadian nyonya Minah tidak mampu mencapai kamar mandi tepat waktu untuk buang air

kecil. Kejadian pertama terjadi ketika sedang berada di dalam mobil dan yang kedua terjadi pada

pusat pemberlanjaan . Ny. Minah tidak berkeinginan untuk berpergian akibat kejadian urge

inkontinensia urin.

4

Page 6: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

1. Bagaimana anatomi sistem urinari wanita?

Jb.

Kandung kemih, anyaman serat otot polos. Longitudinal >>

sirkuler >> longitudinal kembali.

Bladder Neck, Lanjutan otot detrusor

Sfringter uretra, dibentuk oleh serat-serat otot lurik.

Peranannya ialah untuk menahan miksi.

Trigonum, kelanjutan otot ureter Fungsinya adalah

memperlancar arus urin dari ureter ke arah kandung

kemih.

Ureter-vesika junction , Struktur ini merupakan katup yang membuka saat

pengisian kandung kemih dan menutup saat kontraksi otot detrusor.

Anatomi vesica urinaria (kandung kemih)

Lapisan kandung kemih yaitu : lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan

submukosa,lapisan mukosa. Kandung kemih adalah ruangan berdinding otot polos yang

terdiri dari 2 bagian besar,yaitu ;

(1) Corpus, merupakan bagian utama vesica urinaria di mana urin berkumpul

(2) Collum, merupakan lanjutan dari corpus yang berbentuk corong.

Otot polos kandung kemih disebut otot detrusor, serat-seratnya ke segala arah dan

apabila berkontraksi dapat menigkat tekanan intra vesica menjadi 40-60 mmHg. Kontraksi

otot detrusor adalah langkah terpenting dalam proses berkemih. Pada dinding posterior

kandung kemih, tepat di atas collum vesicae terdapat daerah berbentuk segitiga yang

lapisan mukosanya halus (kecuali daerah ini, lapisan mukosa dinding kandung kemih

berbentuk ruggae/berlipat-lipat). Collum (leher kandung kemih) panjangnya 2-3 cm,

dindingnya terdiri dari dari otot detrusor yang bersilangan dengan sejumlah besar jaringan

5

Page 7: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

elastic. Otot pada daerah ini disebut sphincter urethra internum. Setelah urethra posterior,

urethra berjalan melewati diafrgama urogenital, yang mengandung lapisan otot yang

disebut sphincter urethra externum. Otot ini merupakan otot lurik yang bekerja dibawah

kesadaran dan dapat melawan upaya kendali involunter yang berusaha untuk

mengosongkan kandung kemih.

Persarafan kandung kemih

Persarafan utama kandung kemih ialah nervus pelvikus, yang berhubungan dengan

medulla spinalis melalui pleksus sakralis, terutama dengan segmen S-2 dan S-3. Berjalan

dari nervus pelvikus ini adalah serat saraf sensorik dan serat saraf motorik. Serat sensorik

mendeteksi derajat regangan pada dinding kandung kemih. Tanda-tanda regangan dari

urethra (posterior) dan terutama bertanggung jawab untuk mencetuskan reflex berkemih.

Saraf motorik yang menjalar dalam nervus pelvikus adalah serat parasimpatis. Serat ini

berakhir pada sel ganglion yang terletak dalam dinding kandung kemih. Saraf postganglion

pendek kemudian mempersarafi otot detrusor.

Selain nervus pelvikus, terdapat 2 tipe persarafan lain yang penting untuk fungsi

kandung kemih. Yang terpenting adalah serat otot lurik yang berjalan melalui nervus

pudendal menuju sfingter eksternus kandung kemih. Ini adalah serat saraf somatik yang

mempersarafi dan mengontrol otot lurik pada sfinter. Kandung kemih juga menerima saraf

simpatis dari rangkaian simpatis melalui nervus hipogastrikus, terutama berhubungan

dengan segmen L-2 medulla spinalis.

Tipe Saraf Fungsi

Kolinergik parasimpatik (Nervus erigenus) Kontraksi bladder

Simpatetik Relaksasi bladder (dengan menghambat

tonus parasimpatis)

Simpatetik Relaksasi bladder (adrenergik beta)

Simpatetik Kontraksi leher bladder

Somatik (nervus pudendi) Kontraksi otot dasar panggul

6

Page 8: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

2. Bagaimana fisiologi berkemih ?

Jb.

Pengisian Kandung Kemih

Dinding ureter terdiri dari otot polos yang tersusun dalam serabut-serabut spiral,

longitudinal dan sirkuler, tetapi batas yang jelas dari lapisan otot ini tidak terlihat.

Kontraksi peristalitik yang reguler terjadi 1-5 kali permenit yang menggerakkan urine dari

pelvis ginjal ke kandung kemih, dimana urine masuk dengan cepat dan sinkron sesuai

dengan gerakan gelombang peristaltik. Ureter berjalan miring melalui dinding kandung

kemih dan walaupun disini tidak terdapat alat seperti spingter uretra, jalannya yang miring

cenderung membiarkan ureter tertutup, kecuali sewaktu gelombang peristaltik guna

mencegah refluk urine dari kandung kemih (Ganong,1983).

Sewaktu pengisian normal kandung kemih, akan terjadi hal-hal sebagai berikut:

- Sensasi kandung kemih harus intak

- Kandung kemih harus tetap dapat berkontraksi dalam keadaan tekanan rendah

walaupun volume urine bertambah

- Bladder outlet harus tetap tertutup selama waktu pengisian ataupun saat terjadi

peninggian tekanan intra abdomen yang tiba-tiba

- Kandung kemih harus dalam keadaan tidak berkontraksi involunter

Pengosongan Kandung Kemih

Kandung kemih hanya mempunyai dua fungsi yaitu untuk mengumpulkan

(pengisian) dan mengeluarkan (pengosongan) urin menurut kehendak. Aktifitsas sistem

saraf untuk kedua sistem ini adalah berbeda. Proses berkemih adalah suatu proses yang

sangat komplet dan masih banyak membingungkan. Berkemih dasarnya adalah suatu reflek

spinal yang dirangsang dan dihambat oleh pusat-pusat di otak, seperti halnya perangsangan

defekasi, dan penghambatan ini volunter. Urine yang masuk kedalam kandung kemih tidak

menimbulkan kenaikan tekanan intra vesikal yang berarti, sampai kandung kemih benar-

benar terisi penuh. Seperti otot polos lainnya otot-otot kandung kemih juga mempunyai

sifat elastis bila diregangkan. Pengosongan kandung kemih melibatkan banyak faktor,

7

Page 9: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

tetapi faktor tekanan intra vesikal yang dihasilkan oleh sensasi rasa penuh adalah

merupakan pertama untuk berkontraksinya kandung kemih secara volunter. Selama

berkemih otot-otot perineal dan muskulus spingter uretra eksternus mengalami relaksasi,

sedangkan muskulus detrusor mengalami kontraksi yang menyebabkan urin keluar melalui

uretra. Pita-pita otot polos yang terdapat pada sisi uretra tampaknya tidak mempunyai

peranan sewaktu berkemih, dimana fungsi utamanya diduga untuk mencegah refluk semen

kedalam kandung kemih sewaktu ejakulasi (Ganong,1983).

Mekanisme pengeluaran urine secara volunter, mulainya tidak jelas. Salah satu

peristiwa yang mengawalinya adalah relaksasi otot diafragma pelvis yang menyebabkan

tarikan otot-otot detrusor kebawah untuk memulai kontraksinya. Otot-otot perineal dan

spingter eksterna berkontraksi secara volunter yang mencegah urine masuk kedalam uretra

atau menghentikan aliran saat berkemih telah dimulai. Hal ini diduga merupakan

kemampuan untuk mempertahankan spingter eksterna dalam keadaan berkontraksi, dimana

pada orang dewasa dapat menahan kencing sampai ada kesempatan untuk berkemih.

Setelah berkemih uretra wanita kosong akibat gravitasi, sedangkan urine yang masih ada

dalam uretra laki-laki dikeluarkan oleh beberapa kontraksi muskulus bulbo kavernosus

(Tanagho,1995;Turek,1993).

Pada orang dewasa volume urine normal dalam kandung kemih yang mengawali

reflek kontraksi adalah 300-400 ml. Didalam otak terdapat daerah perangsangan untuk

berkemih di pons dan daerah penghambatan di mesensefalon. Kandung kemih dapat dibuat

berkontraksi walau hanya mengandung beberapa milliliter urine oleh perangsangan

volunter reflek pengosongan spiral. Kontraksi volunter otot-otot dinding perut juga

membantu pengeluaran urine dengan menaikkan tekanan intra abdomen. Pada saat

kandung kemih berisi 300-400 cc terasa sensasi kencing dan apabila dikehendaki atas

kendali pusat terjadilah proses berkemih yaitu relaksasi spingter (internus dan eksternus)

bersamaan itu terjadi kontraksi otot detrusor buli-buli. Tekanan uretra posterior turun

(spingter) mendekati 0 cmH2O sementara itu tekanan didalam kandung kemih naik sampai

40 cmH2O sehingga urin dipancarkan keluar melalui uretra (Rochani, 2000).

Retensi Urin

Penyebab retensio urine dapat dibagi menjadi 3 kelompok (Rochani,2000) :

8

Page 10: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

1. Supra Vesika

Penyebab supra vesikal adalah hal-hal yang disebabkan karena persarafan kandung

kemih misalnya trauma medula spinalis, atau kerusakan syaraf-syaraf sympatis dan para

sympatis akibat trauma operasi atau neuropati DM. Obat-obatan anticholinergike, smooth

muscle relaksasi. Symphatikomimetik dapat menyebabkan retensi urine.

2. Vesika

Penyebab vesikal adalah kelainan-kelainan kandung kemih yang diakibatkan

obstruksi lama atau infeksi kronis yang menyebabkan fibrosis buli-buli sehingga kontraksi

buli-buli melemah.

3. Infra Vesikal

Penyebab infra vesikal adalah penyebab mekanik seperti :

a. Klep uretra posterior kongenital

b. Meatus stenosis kongenital

c. Striktur uretra

d. Batu uretra

e. Prostat hipertropi

Proses Berkemih

Reflek berkemih adalah reflek medula spinalis yang seluruhnya bersifat otomatis.

Selama kandung kemih terisi penuh dan menyertai kontraksi berkemih, keadaan ini

disebabkan oleh reseptor regang sensorik pada dinding kandung kemih sampai reseptor

pada uretra posterior ketika mulai terisi urin pada tekanan kandung kemih yang lebih

tinggi. Sinyal sensorik dari reseptor kandung kemih ke segmen sakral medula spinalis

melalui nervus pelvikus kemudian secara reflek kembali lagi ke kandung kemih melalui

syaraf parasimpatis (Syaifuddin, 2001). Berkemih pada dasarnya merupakan reflek spinal

yang akan difasilitasi dan dihambat oleh pusat-pusat susunan syaraf yang lebih tinggi. Urin

yang memasuki kandung kemih tidak begitu meningkatkan tekanan intravesika sampai

terisi penuh. Pada kandung kemih ketegangan akan meningkat dengan meningkatnya isi

organ tersebut, tetapi jari-jaripun bertambah, oleh karena itu peningkatan tekanan hanya

akan sedikit saja, sampai organ tersebut relatif penuh. Selama proses berkemih otot-otot

9

Page 11: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

perinium dan sfingter uretra eksterna relaksasi, otot detrusor berkontraksi dan urin akan

mengalir melalui uretra. Kontraksi otot-otot perinium dan sfingter eksterna dapat dilakukan

secara volunter, sehingga mencegah urin mengalir melewati uretra atau menghentikan

aliran urin saat sedang berkemih (Guyton, 2006).

Proses pengosongan kandung kemih terjadi bila kandung kemih terisi penuh. Proses

miksi terdiri dari dua langkah utama:

1. Kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya

meningkat diatas nilai ambang, yang kemudian mencetuskan langkah kedua. Terjadinya

distensi atau peningkatan tegangan pada kandung kemih mencetuskan refleks I yang

menghasilkan kontraksi kandung kemih dan refleks V yang menyebabkan relaksasi uretra.

2. Timbul refleks saraf yang disebut reflek miksi (refleks berkemih) yang

berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal setidaknya menimbulkan

kesadaran dan keinginan untuk berkemih. Ketika proximal uretra mengalirkan urin maka

akan mengaktifkan refleks II yang akan menghasilkan kontraksi kandung kemih dan IV

sehingga stingfer eksternal dan uretra akan berelaksasi, sehingga urin dapat keluar. Jika

tejadi distensi pada uretra yang bisa disebabkan karena sumbatan, atau kelemahan sfingter

uretra maka akan mengaktifkan refleks III, sehingga kontraksi kandung kemih melemah.

Reflek berkemih adalah refleks medulla spinalis yang seluruhya bersifat autonomik,

tetapi dapat dihambat atau dirangsang di otak. Pusat yang lebih tinggi dapat mencegah

berkemih, bahkan ketika refleks berkemih muncul, yaitu dengan membuat kontraksi tonik

terus menerus pada sfingter eksternus kandung kemih sampai mendapat waktu yang baik

untuk berkemih. Jika sudah tiba saat berkemih, pusat cortical dapat merangsang pusat

berkemih sacral untuk membantu mencetuskan refleks berkemih dan dalam waktu yang

bersamaan menghambat sfingter eksternus kandung kemih sehingga peristiwa berkemih

dapat terjadi (Guyton, 2006).

Pada kondisi tertentu, proses berkemih tidak dapat terjadi secara normal, oleh

karenanya diperlukan tindakan khusus untuk tetap dapat mengeluarkan urin dari kandung

kemih, yaitu dengan pemasangan kateter. Pola eliminasi urin sangat tergantung pada

individu, biasanya berkemih setelah bekerja, makan atau bangun tidur. Normalnya dalam

sehari sekitar lima kali. Jumlah urin yang dikeluarkan tergantung pada usia, intake cairan,

dan status kesehatan. Pada orang dewasa sekitar 1200 sampai 1500 ml per hari atau 150-

600 ml per sekali berkemih.

10

Page 12: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Perubahan Fisiologis Sistem Urinaria pada Geriatri

3.

Apa etiologi dan bagaimana fisiologi dari inkontinensia urin?

Jb.

Tabel klasifikasi dan etiologi inkontinensia persisten

Tipe Definisi Penyebab

Inkontinensia

urge

Ketidakmampuan untuk menunda

pengeluaran air kemih lebih dari

beberapa menit setelah penderita

merasakan kandung kemihnya penuh

Infeksi saluran kemih

Kandung kemih yg terlalu aktif

Penyumbatan aliran kemih

Batu & tumor kandung empedu

Obat, terutama diuretic

11

Kandung kemih fungsi kontraktil tidak

efektif lagi & mudah terbentuk trabekulasi

sampai divertikel akibat dari peningkatan

fibrosis & kandungan kolagen

Perubahan morfologis

Trabekulasi ↑

Fibrosis ↑

Saraf autonom ↓

Pembentukan divertikula

Perubahan fisiologis

Kapasitas ↓

Kemampuan menahan kencing ↓

Kontraksi involunter ↑

Volume residu pasca berkemih ↑

Uretra:

↓ tekanan penutupan uretra & tekanan

outflow akibat dari atrofi mukosa,

perubahan vaskularisasi submukosa &

menipisnya lapisan otot uretra

Perubahan morfologis

Komponen seluler ↓

Deposit kolagen ↑

Perubahan fisiologis

Tekanan penutupan ↓

Tekanan akhiran keluar ↓

Page 13: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Tabel klasifikasi dan etiologi inkontinensia persisten

Tipe Definisi Penyebab

Inkontinensia

stres

Kebocoran air kemih, biasanya

berupa pancaran kecil, yg disebabkan

oleh meningkatnya tekanan di dalam

perut, yg terjadi pada saat penderita

batuk, tertawa, mengedan, bersin

atau mengangkat benda berat

Kelemahan pada sfingter (otot yg mengendalikan

aliran kemih dari kandung kemih)

Pada wanita, berkurangnya tahanan terhadap aliran

kemih melalui uretra, biasanya karena kekurangan

estrogen

Perubahan anatomis yg disebabkan oleh melahirkan

banyak anak atau pembedahan panggul

Pada pria, pengangkatan prostat atau cedera pada

bagian atas uretra atau leher kandung kemih

Inkontinensia

overflow

Penimbunan air kemih dalam

kandung kemih yg terlalu banyak

sehingga sfingter tidak mampu

menahannya dan terjadi kebocoran

yg hilang-timbul, seringkali tanpa

sensasi kandung kemih

Penyumbatan aliran air kemih, biasanya disebabkan

oleh pembesaran atau kanker prostat (pada pria) &

karena penyempitan uretra (pada anak-anak)

Kelemahan otot kandung kemih

Kelainan fungsi saraf

Obat-obatan

Inkontinensia

total

Kebocoran berkesinambungan karena

sfingter tidak menutup

Cacat bawaan

Cedera pada leher kandung kemih (misalnya karena

pembedahan)

Inkontinensia

psikogenik

Hilangnya pengendalian karena

kelainan psikisGangguan emosional (misalnya depresi)

Inkontinensia

campuran

Gabungan dari berbagai keadaan

diatas.

Banyak wanita yg mengalami

inkontinensia campuran antara stress

& desakan

Gabungan dari berbagai penyebab diatas

Mekanisme terjadi inkontinensia juga berbeda berdasarkan klasifikasinya. Secara

garis besar Inkontinensia urin terbag menjadi dua yaitu :

1.Inkontinensia Transien. Inkontinensia transien memiliki onset yang mendadak,

biasanya dihubungkan dengan penggunaan obat-obatan atau penyakit akut.

12

Page 14: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet

sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin

umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat

memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia

persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya.

Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan

inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis)

mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan

inkontinensia akut.

Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia

urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat

menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia

urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin

seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik,

antikolinergik dan diuretic.

Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat

menggunakan akronim (Resnick 1984) di bawah ini :

D: Delirium

I : Infection of urinary tract or other infection

A: Atrophic urethritis and vaginitis

P: Pharmaceutical (diuretics, anticholinergic, antihistamine, Ca channel blocker)

P: Psychological Problems, especially depression

E: Excess urine output (eg. congestive heart failure, hyperglycaemia)

R: Restricted mobility

S: Stool impaction

2.Inkontinensia Urin Persisten Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan

dalam berbagai cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek

klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi

klinis.

Kategori klinis meliputi :

13

Page 15: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

a. Inkontinensia urin stress (stres inkontinence). Tak terkendalinya aliran urin akibat

meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga.

Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab

tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada

wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah

pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat

tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak.

Inkontinesia urin stres dapat dibedakan dalam 4 jenis yaitu:

Tipe 0: pasien mengeluh kebocoran urin tetapi tidak dapat dibuktikan melalui pemeriksaan.

Tipe l: IU terjadi pada pemeriksaan dengan manuver stres dan adanya sedikit penurunan

uretra pada leher vesika urinaria.

Tip 2: IU terjadi pada pemeriksaan deng;an penurunan uretra pada leher vesika urinaria 2

crn atau lebih

Tipe 3 : uretra terbuka (lead pipe) danarea leher kandung kemih tanpa kontraksi kandung

kemih. Leher uretra dapat menjadi fibrotik (riwayat trauma atau bedah sebelumnya)

dengan gangguan neurologik atau keduanya. Tipe ini disebut juga defisiensi sfingter

intrinsik.

b. Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence). Keluarnya urin secara tak

terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini

umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity).

Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini,

meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien

mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih

sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan

penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia

urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien

mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama

sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi.

c. Inkontinensia urin luapan / overflow (overflow incontinence). Tidak terkendalinya

pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini

disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor neurogenik pada

diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak

14

Page 16: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya

mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh.

d. Inkontinensia urin fungsional. Memerlukan identifikasi semua komponen tidak

terkendalinya pengeluaran urin akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab

tersering adalah demensia berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang

menyebabkan kesulitan untuk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis.

4. Apa hubungan umur dan jenis kelamin denga kejadian inkontinensia urin pada kasus?

Jb.

Umur dan jenis kelamin pada kasus ini merupakan faktor resiko untuk terjadinya

inkontinensia urine.

• Inkontinensia tidak harus dikaitkan dengan lansia. Inkontinensia dapat dialami

setiap individu pada usia berapa pun walaupun kondisi ini lebih umum dialami oleh lansia.

Dimana penyebab inkontinensia dapat berupa proses penuaan, pembesaran kelenjar

prostat, penurunan kesadaran, dan penggunaan obat narkotik atau sedatif. Akan tetapi

Semakin tua seseorang, semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urin karena

terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot-otot dasar panggul. Pengaruh penuaan

akan menyebabkan terjadinya atrofi pada seluruh organ tubuh, termasuk juga pada organ

urogenital.

Perubahan-perubahan fisiologik terkait proses menua pada saluran kemih bawah :

Kandung kemih Perubahan morfologis :

• Trabekulasi ↑

• Fibrosis↑

• Saraf autonom ↓

• Pembentukan divertikula

Perubahan fisiologis :

• Kapasitas ↓

• Kemampuan menahan kencing ↓

• Kontraksi involunter ↑

• Volume residu paca berkemih ↑

Uretra Perubahan morfologis :

• Komponen selular ↑

15

Page 17: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

• Deposit kolagen ↑

Perubahan fisiologis :

• Tekanan penutupan ↓

• Tekanan aliran keluar ↓

Vagina Komponen seluler ↓

Mukosa atrofi

Dasar panggul Deposit kolagen ↑

Rasio jaringan ikat:otot ↑

Otot melemah

• Perempuan mengalami inkontinensia urin dua kali lebih sering daripada laki-laki.

Hal ini disebabkan karena perempuan mengalami proses kehamilan, persalinan,

menopause, serta struktur kandung kemih yang berbeda dengan laki-laki. Inkontinensia

urin pada perempuan biasanya disebabkan karena kelemahan otot-otot dasar panggul yang

menyangga saluran kemih dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga urin keluar

begitu saja tanpa dapat ditahan. Selain itu juga da[at disebabkan Dengan menurunnya

kadar hormon estrogen pada perempuan di usia menopause, akan terjadi penurunan tonus

otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya

inkontinensia urin.

5. Apa makna klinis dari kalimat ‘ ia tidak mampu mencapai kamar mandi tepat waktu untuk

buang air kecil ’ ?

Jb.

Dari kalimat yang tertera pada kasus dapat diambil kesimpulan bahwa nyonya Minah

tidak dapat menahan keinginannya untuk buang air kecil selain itu bisa juga disebabkan

adanya gangguan mobilisasi pada nyonya Minah sehingga urin keluar tanpa dapat

dikontrol ( inkontinensia ). Inkontinensia urin (IU) merupakan suatu gejala dan bukan

merupakan suatu penyakit, oleh karena itu penanganan kasus IU dilakukan dengan

pendekatan multidisiplin. .

6. Bagaimana makna klinis dari kalimat ‘ dia tidak berkeinginan untuk berpergian akibat

masalah urge inkontinensia ’ ?

16

Page 18: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Jb.

Dari keluhan nyona Minah dapat disimpulkan bahwa nyonya Minah mengalami

inkontinensia urgensi. Inkontinensia Urgensi adalah pelepasan urine yang tidak terkontrol

sebentar setelah ada peringatan ingin melakukan urinasi. Disebabkan oleh aktivitas otot

destrusor yang berlebihan atau kontraksi kandung kemih yang tidak terkontrol.

Karena hal tersebut dia tidak akan nyaman ,jika setiap berpergian tidak mampu untuk

menunda pengeluaran air kemih lebih dari beberapa menit, di mana ada dorongan yang

kuat untuk berkemih sehingga membuat nyonya akan selalu mencari toilet ataupun nyonya

Minah bisa ngompol.Oleh karena itu nyonya mina merasa malu dan malas untuk

berpergian yang kemudian dapat menyebabkan nyonya Minah merasa depresi.

Masalah 2

Nyonya Minah mengalami menopause pada umur 50 tahun.

1. Apa hubungan kejadian menopause dengan inkontinensia urin pada kasus?

Jb.

Menopause adalah pertanda bahwa ovarium tidak lagi memproduksi hormon

estrogen. Pada masa menopause terjadi perubahan endokrin yang diduga berkaitan dengan

proses penuaan yang terjadi pada aksis hipotalamus-hipofisis dan ovarium. Akibatnya

terjadi gangguan interaksi antara hormon yang dihasilkan oleh ketiga organ tersebut.

Terutama terjadi penurunan produksi hormon estrogen oleh ovarium. Penurunan hormon

estrogen (estradiol) ini disebabkan oleh proses penuaan pada ovarium. Akibatnya ovarium

menjadi kecil, dindingnya tebal dan tidak dapat lagi menjawab rangsangan hormon FSH

untuk membentuk estradiol. Penurunan estradiol mencapai kadar < 108 pg/ml dan

peningkatan FSH mencapai > 25 mIU/ml, yang menandakan awal dari masa menopause.

Pada masa menopause estradiol menurun sampai di bawah 10%.

Hormon estrogen berkerja pada organ sasaran melalui reseptor estrogen α dan β.

Jaringan yang memiliki reseptor estrogen α dan β adalah kulit, otak, tulang, uterus, vesika

urinaria, uretra, ovarium, kardiovaskuler, dan payudara. Jaringan yang hanya memiliki

reseptor estrogen β adalah traktus gastrointestinal, sedangkan jaringan yang hanya

memiliki reseptor α adalah hepar. Interaksi estrogen dengan reseptornya akan

menghasilkan proses anabolik. Akibatnya bila terjadi penurunan estrogen terutama pada

17

Page 19: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

traktus urinarius perempuan menopause akan perubahan struktur dan fungsi. Estrogen

dapat mempertahankan kontinesia dengan meningkatkan resistensi uretra, meningkatkan

ambang sensoris kandung kemih, dan meningkatkan sensitivitas α adreno reseptor pada

otot polos uretra. Uretra dan ureter merupakan jaringan yang tergantung pada estrogen.

Penurunan estrogen diduga ikut berperan dalam perubahan struktur dan fungsi pada

dinding uretra dan kandung kemih yang menyebabkan berbagai keluhan. Uretra

mempunyai empat lapisan fungsional yang sensitif terhadap estrogen, terdiri dari epitel,

vaskuler, jaringan penyokong dan otot polos yang berfungsi pada pemeliharaan tekanan

uretra. Keluhan yang ditimbulkan berupa inkontinensia urin, peningkatan frekuensi

berkemih, nokturia, dan kesulitan berkemih.

Inkontinensia urin disebabkan perubahan pada jaringan epitel dan vaskuler yang

terletak di antara mukosa dan jaringan otot. Bagian distal uretra akan menjadi kaku dan

tidak elastis sehingga sukar untuk menutup sempurna. Bila kandung kemih penuh maka

tetesan urin dapat keluar tidak terkontrol. Penutupan yang tidak sempurna juga

menyebabkan bakteri dan substansi berbahaya lain dapat masuk ke dalam kandung kemih

sehingga dapat terjadi inflamasi uretra dan kandung kemih.

Inkontinensia di atas terjadi akibat proses penuaan dan akibat penurunan kadar

estrogen. Secara mekanisme dapat disebabkan:

- Uretra gagal untuk menutup secara sempurna dan menjadi sangat mudah

digerakkan, disebut uretra hipermobilitas

- Kelemahan otot yang melingkari leher kandung kemih, disebut defisiensi sfingter

intrinsik/Intrinsic sphincteric deficiency atau ISD

Uretra hipermobilitas

Pada uretra hipermobilitas terjadi di mana uretra tidak menutup secara sempurna dan

sangat mudah digerakkan. Kondisi ini terjadi bila otot dasar pelvis menjadi lemah akibat

proses penuaan dan mengikuti hal-hal seperti di bawah ini:

- Tegangan dari otot-otot dasar pelvis berkurang

- Kandung kemih akan turun ke bawah

- Kandung kemih yang turun ke bawah akan mendesak otot-otot yang mengelilingi

leher kandung kemih.

-

18

Page 20: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Inkontinensia urin pada uretra hipermobilitas dikategorikan dalam 2 tipe yaitu:

- Tipe 1: Terjadi karena leher kandung kemih dan uretra tidak menutup dengan

sempurna.

- Tipe 2: Terjadi karena leher kandung kemih tergeser akibat perubahan posisi

kandung kemih seperti pada cystocele.

2. Bagaimana efek menopause terhadap wanita usia lanjut?

Jb.

Menopause dan inkontinensia : Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada

wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan

otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urin

Menopause dan Psikologis (sindroma menopause) : muda tersinggung, depresi,

merasa sedih, rasa takut, gugup, gangguan emosional dll.

Menopause dan Vasomotor : terdiri dari hot flushes dan keringat malam. Hot flushes

terjadi akibat gangguan termoregulator hipotalamus yang diinduksi oleh penurunan kadar

esterogen dan progesterone. Instablitas ini menimbulan perubahan yang tiba – tiba berupa

vasodilatasi perifer mendadak dan bersifat sementara yang muncul sebagai hot flushes.

Bila muncul dimalam hari maka dilaporkan pasien sebagai keringat malam.

19

Page 21: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Menopause dan Urogenital : urera dan vagina berasal dari jaringan embrionik yang

sama sehingga defisisnesi esterogen menyebabkan atrofi pada keduanya. Diding vagina

akan menipism dan terjadi atrofi kelenjar vagina , sehingga lubrikasi berkurag dan

menyebabkan dispareuni. Efek defisiensi esterogen pada uretra dan kandung kemih

berhubungan dengan ssindrom uretral berupa frequency, urgency dan disuria.

Menopause dan Sruktur Tulang : osteoporosis. Menopause menyebabkan

berkurangnya estrogen sehingga berkurangnya kolagen. Fungsi kolagen untuk memberikan

kekuatan dan membentuk struktur tulang, yang bekerja bersama garam posfor dan kalsium.

Kolagen juga untuk memberikan kekuatan pada otot dan dinding pembuluh darah. Pada

kulit, kekurangan kolagen dapat menyebabkan kurangnya aliran darah pada kulit sehingga

kulit tampak kasar dan keriput.

Dilaporkan 25% wanita menopause akan kehilangan kalsium 3% setahun dan

kejadian ini disebut osteoporosis. Proses osteoporosis pada dasarnya akibat kegagalan

aktivitas osteoblas, peningkatan absopsi kalsium dan ketidakseimbangan kalsium yang

berkepanjangan. Diperkirakan ada reseptor estrogen pada osteoblas. Estrogen juga

menekan aktivitas osteoklas untuk mengabsorpsi kalsium pada tulang.

Menopause dan Hipertensi ; Efek 17 b estradiol mampu menurunkan kontraksi otot

polos aorta, melalui pengaruhnya terhadap IGF-1 (insulin-like growth factor-1) dan

reseptor adrenergik a1D, menjadi salah satu dasar penjelasan fenomena hipertensi pada

wanita menopause dan postmenopause. terdapat interaksi antara reseptor adrenergik a1D di

intrasel dalam pengendalian kontraksi otot polos aorta tikus. 17 b estradiol mempunyai

efek menurunkan kontraktilitas otot polos aorta tikus dengan menurunkan ekspresi reseptor

adrenergik a1D di otot polos aorta tikus melalui IGF-1. Efek 17 b estradiol menurunkan

kontraksi otot polos aorta, melalui pengaruhnya terhadap IGF-1 dan reseptor adrenergik

a1D menjadi salah satu dasar penjelasan fenomena hipertensi pada wanita menopause dan

postmenopause. Selain itu ketika terjadinya menopause maka risiko aterosklerosis

meningkat pada wanita dan menjadi faktor risiko hipertensi.

Menopause dan Metabolik ; obesitas. Pada wanita yang telah mengalami menopause,

fungsi hormone tiroid didalam tubuhnya akan menurun. Oleh karena itu kemampuan untuk

menggunakan energi akan berkurang. Terlebih lagi pada usia ini juga terjadi penurunan

metabolisme basal tubuh, sehingga mempunyai kecenderungan untuk meningkat berat

badannya .

20

Page 22: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Masalah 3

Suami nyonya Minah telah wafat sebulan yang lalu dan sekarang tinggal dengan

pembantu .

1. Apakah ada hubungan dari wafatnya suami nyonya Minah dan tinggal dengan pembantu

dengan kejadian inkontinensia urin yang dialaminya? Jelaskan

Jb.

Dari literature mengenai uroogi disebutkan bahwa terdapat hubungan antara

gangguan psikiatri (depresi) dan inkontinensia urin. Didapatkan persentase yang besar dari

pasien depresi yang juga mengalami inkontinensia urin. Depresi juga memiliki hubungan

dengan urge incontinence, seperti dalam proses penuaan dandemensia dan pada gangguan

neurologic seperti hydrocephalus. Terdapat dua kemungkinan hipotesis mengenai urge

incontinence. Pertama, penurunan monoamines seperti serotonin dan noradrenalin di CNS

yang akan berakibat menjadi depresi dan hiperaktif kandung kemih. Kemudian, depresi

tidak hanya mengakibatkan persisten inkontinensia urin, tetapi individu dengan perubahan

CNS monoamins akan bermanifetasi menjadi depresi dan hiperaktif kandung kemih. Selain

itu, depresi dapat menyebabkan KKH (kandung kemih hiperaktif) dan menyebabkan

relaksasi sfingter uretra tidak tepat waktunya.

Keadaan berkabung/berduka dan hanya tinggal berdua dengan pembantunya

mempengaruhi kondisi psikologis Ny. Minah dan menjadi salah satu faktor risiko depresi,

namun untuk terjadi depresi itu sendiri diperlukan faktor risiko yang multipel

Masalah 4

Berat badan 75 kg ; Tinggi badan 156 cm ; Tekanan darah 150/80 mmHg ; defisit

denyut apical-radial ; suhu tubuh 36,5 °C ; tidak ada exertional dyspnea,fatigue dan sakit kepala.

1. Bagaimana interpertasi dari hasil pemeriksaan fisik dan jelaskan hubungannya dengan

inkontinensia urin pada kasus ?

- Berat badan 75 kg

21

Page 23: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

- Tinggi badan 156 cm

- Tekanan darah 150/80 mmHg

- Adanya defisit apical radial pulse

- Tidak ada exertional dsypnea , fatique dan sakit kepala.

Jb.

- BMI : BB/TB2

: 75/(1,56)2

: 75/2,4

: 31,25 (Obesitas kelas II )

Pada wanita dengan IMT (Indeks Massa tubuh) yang tinggi dapat terjadi peningkatan

tekanan intra abdominal, yang menekan dasar panggul menyebabkan aktivitas otot

destrusor yang berlebihan atau kontraksi kandung kemih yang tidak terkontrol.dan dapat

memberikan kontribusi pada perkembangan stres inkontinensia urin .

- Tekanan Darah 150/80 mmHg

Termsuk ke dalam klasifikasi Hipertensi Sistolik Terisolasi. Hipertensi sistolik

terisolasi mengacu pada peningkatan tekanan sistolik (tekanan sistolik mencapai 140

mmHg atau lebih) dengan tekanan diastolik normal (tekanan diastolik kurang dari 90

mmHg dan tekanan diastolik masih dalam kisaran normal) dan umumnya terjadi pada

kelompok usia lanjut. Hubungan antara hipertensi dengan inkontinensia urin adalah pada

orang-orang yang terkena hipertensi akan diberikan obat untuk mengontrol tekanan

darahnya seperti pada skenario, nyonya Minah diberikan obat Catopril yang salah satu efek

sampingnya adalah batuk. Batuk dapat meningkatkan tekanan intraabdominal dan pada

akhirnya akan menyebabkan terjadinya inkontinensia urin.

- Adanya defisit apical radial pulse

Dinilai dengan membandingkan pulse pada apex jantung terhadap arteri radialis pada

waktu yang sama selama 1 menit. Denyut pada a. Radialis jauh lebih lemah dibandingkan

pada apex jantung. Merupakan salah satu tanda terjadinya fibrilasi atrial. Akan tetapi masih

22

Page 24: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

belum terdapat gejala pemberat berupa lemah, sesak napas terutama saat aktivitas, pusing,

gejala yang menunjukan adanya iskemia atau gagal jantung kongestif.

Apical radial pulse deficit Terjadi perbedaan irama antara nadi yang diperiksa di

apical (jantung) dan radial menandakan aritmia Fibrilasi Atrial.

- Tidak ada exertional dsypnea , fatique dan sakit kepala.

Tidak ada CHF, gagal ginjal

Masalah 5

Densitometri lumbar (-3) dan femur (-2,7) ; GDS 6 ; MMSE 26

1. Bagaimana interpretasi dan mekanisme dari hasil pemeriksaan ;

- Densitometri lumbar dan femur

- GDS

- MMSE

Jb.

Lumbal densitometry = -3,0

Femoral densitometry = -2,7

Interpretasi Osteoporosis

Dilaporkan 25% wanita menopause akan kehilangan kalsium 3% setahun dan

kejadian ini disebut osteoporosis. Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai

sitokin oleh bone marrow stromal cells dan sel mononuclear seperti IL-1, IL-6 dan TNF-a

yang berperan meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian penurunan kadar estrogen

akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga aktivitas

osteoklas meningkat.

23

Page 25: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Selain peningkatan aktifitas osteoklas, menopause juga menurunkan absorpsi

kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal.

Selain itu, menurunnya estrogen dapat menyebabkan :

- gangguan aktivasi sel osteoblast

- gangguan pengendapan matriks tulang

- berkurangnya deposit kalsium dan fosfat tulang

Makna dalam kasus

Menopause kehilangan estrogen proses resorpsi tulang tidak terkendali dan

tidak dapat diimbangi oleh formasi tulang Osteoporosis.

Berdasarkan T-score, terdapat risiko tinggi terjadinya fraktur sehingga perlu

dilakukan :

1. Tindakan pengobatan osteoporosis.

2. Tindakan pencegahan fraktur dilanjutkan.

Ulang densitometri tulang dalam 1-2 tahun.

Interpretasi hasil GDS:

Geriatric Depression Scale (Long Version)

0 – 9 : Normal

10 – 19 : Depresi sedang

20 – 30 : Depresi berat

Geriatric Depression Scale (Short Version)

24

Page 26: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

0 – 5 : Normal

>5 : Suggest depression

≥10 : Indicative of depression

Pada kasus, skor GDS Ny. Minah adalah 6 jadi kalau berdasarkan GDS Short

Version, Ny. Minah masuk dalam kategori suggest depression, ini bisa disebabkan karena

kematian suaminya atau karena penyakit inkontinensia yang saat ini sedang dideritanya,

sedangkan kalau berdasarkan GDS Long Version, Ny. Minah masuk kategori normal.

Interpretasi hasil MMSE:

24 – 30 : Normal

18 – 23 : Demensia ringan

10 – 17 : Demensia sedang

<10 : Demensia berat

Pada kasus, skor MMSE Ny. Minah 26 jadi digolongkan dalam kategori normal atau

tidak mengalami demensia. Sehingga etiologi incontinensia urin karena demensia dapat

disingkirkan.

2. Bagaimana cara pemeriksaan dari:

- Densitometri

- GDS

- MMSE

Jb . Densitometri

Bone densitometer atau juga disebut Dual Energy X-ray Absorptiometry (DEXA).

Mesin ini memungkinkan pengukuran kepadatan tulang belakang, tulang paha dan

pergelangan tangan, serta komposisi tubuh total (lemak). Pandangan lateral tulang

belakang juga dapat diperoleh untuk deteksi fraktur. Bone densitometer secara ilmiah

terbukti sebagai metode terbaik untuk pengukuran kepadatan tulang.

DXA sangat berguna untuk:

• wanita yang memiliki risiko tinggi menderita osteoporosis.

25

Page 27: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

• penderita yang diagnosisnya belum pasti.

• penderita yang hasil pengobatan osteoporosisnya harus dinilai secara akurat.

Pemeriksaan energi ganda X-Ray Absorpitometry (DEXA) merupakan gold standart

dalam pemeriksaan densitas tulang. Dexa juga memperkirakan jumlah konten mineral

tulang di daerah tertentu dari tubuh. Pemeriksaan DEXA mengukur jumlah x-sinar yang

diserap oleh tulang dalam tubuh Anda. Pemeriksaan memungkinkan ahli radiologi untuk

membedakan antara tulang dan jaringan lunak, memberikan estimasi yang sangat akurat

dari kepadatan tulang. Scan kepadatan tulang lebih cepat dan tidak memerlukan suntikan

radionuklida serta bebas rasa sakit. Tes kepadatan tulang (DEXA) juga dapat digunakan

untuk menentukan apakah obat tertentu yang meningkatkan kekuatan kepadatan tulang dari

waktu ke waktu.

Densitas tulang dilaporkan dalam satuan mg/cm2. WHO membagi densitas tulang ke

dalam : (a) lebih dari 833 mg/cm2 adalah normal. (b) antara 648-833 mg/cm2 adalah

dimasukkan kedalam osteopenia, sedangkan (c) kurang dari 648 mg/cm2 adalah

osteoporosis. Hasil pemeriksaan densitometri dapat dibaca dalam bentuk T-score

Normal: T-score yang berada di atas-1

Osteopenic: T-score adalah antara -1 dan -2,5 (kepadatan tulang yang rendah)

Osteoporosis: T-skor di bawah -2,5

Z skor - Jumlah ini mencerminkan jumlah tulang Anda dibandingkan dengan orang

lain dalam kelompok usia dan jenis kelamin yang sama. Jika skor ini luar biasa tinggi atau

rendah, hal itu mungkin menunjukkan kebutuhan tes medis lebih lanjut.

Pemindaian memakan waktu beberapa menit, tanpa pembiusan, tanpa suntikan, tidak

menimbulkan rasa sakit, dan hanya memaparkan radiasi dalam kadar terbatas (jauh di

bawah kadar sinar-X untuk rontgen dada).

Daerah pengukuruan menggunakan densitometry DEXA scan adalah pada tulang

belakang Anteroposterior (AP) dab lateral, femur proximal, total body, lengan, tumit.

Keuntungan dan kerugian penggunaan densitometeri DEXA scan:

26

Page 28: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Keuntungan Kerugian

- Metode yang paling banyak digunakan.

- Efikasi klinis established.

-Akurasi bervariasi antara 90-99% untuk DXA di

panggul, tulang belakang dan lengan bawah.

- Precision error untuk tulang belakang kecil, bervariasi

antara 0,6%-1,5%.

- Dosis radiasi rendah (<5 mrem)

- Sensitivitas lateral DXA mendekati QCT.

- Precision error bervariasi antara

1,2%-2,05 untuk panggul.

Guideline indikasi bone densitometry dalam penilaian risiko fraktur yang

dikeluarkan oleh Catalan Agency for Health Technology Assessment, Barcelona,

menyatakan bahwa bone densitometry diindikasikan pada pasien dengan:

- 2 atau lebih high risk faktor risiko (FR)

- 4 atau lebih moderate risk FR

- 1 atau lebih high risk FR + 2 atau lebih moderate risk FR

High risk: faktor risiko memiliki hubungan dengan RR fraktur ≥ 2;

Moderate risk: faktor risiko memiliki hubungan dengan RR fraktur antara 1 dan 2

kali lebih tinggi (1<RR<2);

No risk: faktor risiko memiliki risk value mendekati 1 (null value 1), dan faktor

risiko dengan efek protektif (RR<1);Tidak dapat diklasifikasikan: faktor risiko dimana

hubungan dengan fraktur tidak dapat dijelaskan, baik karena kurangnya informasi atau

pertentangan.

Bila tidak terdapat faktor risiko, atau faktor yang ada tidak terdapat dalam tabel

berikut, atau bila pasien tidak akan mendapatkan pencegahan atau pengobatan untuk

menghindarkan insiden fraktur, bone densitometry tidak dikerjakan.

Umumnya, interval minimum diantara pengukuran bone mass harus lebih dari 2

tahun. Interval ini dapat lebih pendek bila obat yang dapat meningkatkan massa

tulang digunakan dan bila densitas tulang dinilai di lumbal.

27

Page 29: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Geriatric Depression Scale ( GDS )

Geriatric Depression Scale (GDS) terdiri dari 30 pertanyaan yang harus dijawab

oleh pasien sendiri. GDS ini dapat dimampatkan menjadi 15 pertanyaan saja dan ini

mungkin lebih sesuai untuk dipergunakan dalam praktek umum sebagai alat penapis

depresi pada lanjut usia (Depkes RI, 2001). Ada beberapa pertanyaan pokok yang harus

diajukan dalam proses pemeriksaan yaitu :

Apakah pada dasarnya anda merasa puas dengan kehidupan anda ?

Apakah hidup anda terasa kosong ?

Apakah anda takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada diri anda ?

Apakah anda merasa bahagia pada sebagian besar waktu anda ?

Pertanyaan tersebut dapat dilengkapi dengan mengeksplorasi hal-hal berikut :

Apakah pasien mempunyai riwayat depresi ?

Apakah pasien terisolasi secara sosial ?

Apakah pasien menderita penyakit kronik ?

Apakah pasien baru saja berkabung ?

Bila ditemukan tanda-tanda yang mengarah pada depresi harus dilakukan lagi

pemeriksaan lebih rinci tentang 1) Riwayat klinis/anamnesis, 2) pemeriksaan fisik, 3)

Pemeriksaan kognitif, 4) Pemeriksaan status mental, 5) pemeriksaan lain (memerlukan

rujukan ke pelayanan yang lebih spesialistik).

MMSE (Mini-Mental State Examination)

Disebut juga Folstein test adalah tes yang digunakan untuk menunjukkan ada atau

tidaknya pelemahan kognitif (cognitive impairment) pada pasien. Tes dilakukan dengan

memberikan pertanyaan sederhana atau masalah pada pasien dengan cakupan: tempat dan

waktu tes dilakukan, mengulangi beberapa kata, aritmatika, penggunaaan dan pemahaman

bahasa, dan kemampuan motorik dasar.

Nilai tertinggi dari MMSE adalah 30.

Metode Skor Interpretasi

Single Cutoff < 24 Abnormal

Range < 21

> 25

Meningkatkan kemungkinan menderita demensia

Menurunkan kemungkinan menderita demensia

Pendidikan 21 Abnormal untuk pendidikan kelas 8

28

Page 30: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

< 23

< 24 Abnormal untuk pendidikan SMA

Abnormal untuk pendidikan kuliah

Keparahan 24 – 30

18 – 23

0 – 17

Tidak ada pelemahan kognitif

Pelemahan kognitif ringan

Pelemahan kognitif berat

Tabel: Interpretasi Skor MMSE

Skor MMSE pada pasien didapatkan 18 merupakan skor yang abnormal. Terjadi

peningkatan kemungkinan menderita demensia pada pasien. Menilik dari tingkat

pendidikan pasien yang merupakan lulusan SD, skor MMSE yang didapatkan adalah

abnormal.

Skor di bawah 24 biasanya mengindikasikan adanya hendaya kognitif.

   24-30 (normal)

17-23 (probable)

   < 16 (definitif)

Atau

   25-30 (normal)

   21-24 (gangguan ringan)

   10-20 (gangguan sedang)

   < 9 (gangguan berat)

29

Page 31: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

MINI MENTAL STATUS EXAMINATION (MMSE)

- 1.      Nama Pasien   :    (L/P)  Umur      :

- 2.      Pekerjaan/Jabatan  : Ibu Rumah Tangga                                

- 3.      Pendidikan Terakhir: Lulusan SD

- 4.      Riwayat Penyakit        : O Stroke   O DM   O HT   O Jantung   O Lainnya...............................

- 5.      Alasan Diperiksa         : -

Item Tes Standar Pasien

1

2

ORIENTASI

Sekarang : tahun, bulan, hari, tanggal, musim berapa/apa?

Kita berada dimana? Negara, Provinsi, Kota, RS, Lantai

5

5

3

REGISTRASI

Sebutkan nama 3 benda (apel-meja-koin), tiap benda 1 detik. Pasien disuruh menyebutkan nama benda

tersebut. Nilai 1 untuk setiap jawaban yang benar. Ulangi sampai pasien dapat menyebutkan ketiganya

dengan benar, catat berapa kali pengulangannya.

3

4

ATENSI dan KALKULASI

Kurangi 100 dengan 7 sampai 5 kali pengurangan. Nilai 1 untuk setiap jawaban benar. Atau disuruh

mengeja terbalik kata “WAHYU”, nilai 1 untuk setiap urutan benarnya.

5

5

MENGINGAT KEMBALI

Pasien disuruh menyebut ulang ke 3 nama ad 3. Nilai 1 setiap yang benar. 3

6

7

8

9

10

11

BAHASA

Pasien disuruh menyebutkan 2 nama benda yang ditunjukkan ke dia.

Pasien disuruh mengulang kata : namun – tanpa – bila.

Pasien disuruh melakukan perintah: “ Ambil kertas ini dengan tangan kanan anda – Lipat menjadi 2 –

dan letakkan di lantai!”

Pasien disuruh baca dan melakukan perintah tertulis: “ Pejamkan mata anda!”

Pasien disuruh menulis satu kalimat lengkap yang berarti.

Pasien disuruh mengkopi bentuk gambar dibawah ini:

2

1

3

1

1

1

TOTAL 30

-                   

30

Page 32: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Tanggal Pemeriksaan : 8 Desember 2010

Nama Pemeriksa         :

                                       (.........................................)

Score :

O  24-30 Normal

O  17 – 23  Probable

O  0 – 16  Definitif

Masalah 6

Riwayat pengobatan captopril 12,5 mg 2 kali sehari

1. Apa hubungan pemberian captopril 12,5mg dua kali sehari dengan kasus?

Jb.

Hubungannya adalah Captopril dan obata – obatan golongan ACE inhibitor memiliki

efek samping berupa batuk kering yang dapat mencetuskan terjadinya stress inkontinensia.

Hal ini dapat terjadi karena mekanisme kerja kaptopril pada ACE. Fisiologis nya

bradikinin diubah menjadi bentuk metabolit yang tidak aktif oleh ACE. Bradikinin sendiri

mempunyai efek dilatasi pembuluh darah dan bronkokonstriksi sehingga sering

menyebabkan batuk kering peningkatan tekanan intrabdominal Hal inilah yang

mencetuskan inkontinensia tipe stress.

Masalah 7

Inkontinensia Urin

1. Bagaiamana cara penegakan diagnosis dan pemeriksaan penunjang?

Jb.

Anamnesis yang ditambahkan :

Anamnesa merupakan langkah terpenting dalam melakukan evaluasi/pemeriksaan

terhadap inkontinensia urin (IU). Manifestasi klinis IU pada setiap pasien bervariasi.

Variasi yang ditemukan seperti beratnya, frekuensi, dll. Penting diingat bahwa banyak

pasien enggan untuk memulai berdiskusi tentang penyakitnya. Oleh sebab itu, untuk

semua pasien (khususnya usia >65 tahun) sebaiknya diberikan pertanyaan spesifik

tentang masalah miksi

a. Tanyakan berapa banyak urin yang dikeluarkan pada saat inkontinensia. Keluarnya

tetesan-tetesan urin menandakan inkontinensia overflow sementara keluarnya urin

dalam jumlah sedang dijumpai pada overaktifitas detrusor.

31

Page 33: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

b. Tanyakan frekuensi miksi dalam sehari

c. Tanyakan adanya faktor pencetus seperti batuk, bersin, atau aktivitas lain

yangmendahului inkontinensia.

d. Tanyakan adanya diare, konstipasi, dan inkontinensia alvi kecurigaan

kelainanneurologis.

e. Tanyakan kesulitan dalam mencapai kamar mandi, tingkat keparahan imobilitas pasien

f. Tanyakan riwayat demam ataupun riwayat infeksi saluran kemih dapat mengarah

keinkontinensia tipe urgency

g.  Tanyakan riwayat operasi maupun radiasi di daerah pelvis dan abdomen

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan selanjutnya yang terpenting adalah untuk mendeteksi faktor-faktor

penyebab dan kondisi kesehatan yang serius. Pemeriksaan harus selalu

mempertimbangkan kondisi neurologis seperti multiple sklerosis, lesi serabut saraf,

neoplasma, khususnya pada keadaan terdapat faktor risiko. Pemeriksaan fisis yang

dilakukan meliputi

a. Mobilitas pasien : Status fungsional dibandingkan dengan kemampuan untuk ke

toiletsendiri, Cara berjalan, ada tidaknya kesulitan bergerak.

b.  Status mental pasien : Fungsi kognitif dibandingkan dengan kemampuan untuk ke toilet

sendiri, Motivasi, Mood dan efek-efeknya.

c.  Neurologis : Tanda-tanda fokal (terutama di ekstremitas bawah), Tanda Parkinson,

Refleks sakralis buli-buli. Pemeriksaaan segmen saraf yg menginervasi vesikouretra:

ankle jerk reflex (S1 dan S2), flexi toe dan arch the feet (S2 dan S3)

d.  Abdomen : Distensi buli-buli tanda inkontinensia overflow , Suprapubic tenderness,

Massa disystem urogenital (abdomen bagian bawah), Ada tidaknya jaringan parut bekas

operasi.

e.  Rektum : Sensasi perianal, Tonus sfingter, Impaksi, Massa, RT ukuran dan kontur

prostat

f.  Pelvis : Prolaps pelvis, Massa pelvic, Abnormalitas anatomi lainnya.

Tes Tekanan

32

Page 34: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

• Tes ini untuk menilai tekanan yang menyebabkan kelemahan pada saat buli-buli

penuh

• Caranya minta pasien untuk batuk dengan kuat. Adanya urin yang keluar

menunjukkan adanya stress inkontinensia

Laboratorium

Pemeriksaan urinalisis, biakan urine, pemeriksan kimia darah, dan uji faal ginjal perlu dilakukan terhadap semua kasus inkontinensia urine. Hal ini untuk menyingkirkan kemungkinan adanya proses inflamasi/infeksi atau keganasan pada saluran kemih.

Pemeriksaan Lain

Pemeriksaan urodinamik: uroflometri, pengukuran profil tekanan uretra, sistometri,

valsava leak point pressure, serta video urodinamika.

Pencitraan: pielografi intravena, sistografi miksi

Pemeriksaan residu urine: kateterisasi atau USG sehabis miksi. Ultrasonografi

dipakai sebagai pilihan pertama (penyaring), kemudian dilanjutkan dengan miksio-

sisto-uretrografi (MSU). MSU merupakan pemeriksaan radiografi vesika urinaria

dengan pemakaian kontras yang dimasukkan melalui kateter urin kemudian

dilakukan pemeriksaan fluoroskopi secara intermitten selama pasien berkemih.

2. Apa saja diagnosis banding dan diagnosis kerja dari kasus?

Jb.

Dikarenakan Inkontinensia Urin merupakan suatu gejala maka diagnosis

bandingnya merupakan penyebab terjafinya.

Inkontinensia Akut

Akronim Untuk Penyebab Reversible Inkontinensia Urin Akut

D Delirium

R Restriksi mobilitas, retensi

I Infeksi ,inflamasi ,impaksi

P Poliuri , pharmaceuticals ( obat- obatan )

33

Page 35: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Penyebab Inkontinensia Akut

D Delirium

I Infection urinary

A Atrophic vaginitis or urethritis

P Pharmaceutical

- Sedative hypotonic

- Loop diuretics

- Anti cholinergic agents

- Alpha adrenergic agonist and antagonist

- Calcium channel blockers

P Psychologic disorders : depression

E Endocrine disorders

R Restricted mobility

S Stool impaction

Obat-obat yang Sering Menimbulkan Inkontinensia

Golongan Obat Efek Obat

Diuretik

Antikolinergik

Psikofarmaka

Antidepresan

Antipsikotik

Sedatif/hipnotik

Analgesik, narkotik

Penghambat alfa adrenergic

Agonis alfa adrenergik

Agonis beta adrenergik

Ca blocker

Alkohol

Poliuri, frekuensi, urgensi

Retensi urin, inkontinensia overflow, impaction

Sesuai dengan antikolinergik, sedasi

Antikolinergik, sedasi, kaku, imobilitas

Sedasi, delirium, imobilitas, relaksasi otot

Retensi urin, impaction, sedasi, delirium

Relaksasi uretra

Retensi urin

Retensi urin

Retensi urin

Poliuri, frekuensi, urgensi, sedasi, delirium,

imobilitas

34

Page 36: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Inkontinensia Kronik – persisten

Ada 4 tipe inkontinensia tioe urgensi,stress, luber (overflow), dan fungsional.

Kelainan pada subtype motoric ataupun sensorik pada inkontinensia tipe urgensi.

Motorik Sensorik

Stroke

Parkinsonism

Tumor otak

Sclerosis multiple

Lesi medula spinalis suprasakral

Hipersensitivitas kandung kemih ;

Sistisis

Urethritis

Diverticulitis

Inkontinensia tipe stress terjadi akibat tekanan intraabdominal yang meningkat

yang terjadi pada perempuan usia lanjut yang mengalami hipermobilitas uretra dan

lemahnya otot dasar panggul akibat seringnya melahirkan ,operasi dan penurunan

estrogen.

Inkontinensia tipe overflow dikarenakan meningkatnya tegangan kandung kemih

akibat adanya obstruksi ,lemahnya otot destrusor pada penyakit diabetes

mellitus,trauma medulla spinalis serta obat-obatan.

Inkontinensia tipe fungsional terjadi akibat penurunan berat fungsi dan kognitif

sehingga pasien tidak dapat mencapai toilet pada saat yang tepat seperti pada

demensia berat , gangguan mobilitas ( artritis,genu,kontraktur), gangguan neurologic

dan psikologik.

Diagnosis kerja

Pada kasus ini, pasien menderita inkontinentia campuran (inkontinentia stress dan

inkontinentia urgensi). Dikarenakan inkontinentia stress dapat terjadi akibat outlet

kandung kemih atau sfingter yang tidak kompeten. Apa saja yang mengakibatkan

tambahan tekanan intra-abdominal. Tambahan tekanan intra-abdominal dapat terjadi

35

Page 37: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

akibat obesitas, kehamilan, mengangkat barang berat,batuk, bersin, tertawa, gerak

badan, dan seterusnya. Sedangkan inkontinentia urgensi dikaitkan pengeluaran urine

yang tidak dapat ditahan dan segera keluar (urgensi).

3. Apa saja etiologi dan faktor resiko dari diagnosis dalam skenario?

Jb.

Etiologi atau penyebab dari inkontinensia urine ini adalah karena adanya kelemahan

dari otot dasar panggul. Ini yang berkaiatan dengan anatomi dan juga fungsi organ kemih.

Kelemahan dari otot dasar panggul ini bisa karena beberapa penyebab yaitu diantaranya

kehamilan yang berulang-ulang, kesalahan dalam mengedan. Hal tersebut bisa

mengakibatkan seseorang tersebut tidak dapat menahan air seni(beser). Inkontinensia

Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya

gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah

asupan cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang

bersifat diuretika seperti kafein

Beberapa faktor risiko yang berperan dalam terjadinya inkontinensia urin telah

dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya:

1. Usia

Peningkatan prevalensi pada wanita manula mungkin disebabkan oleh kelemahan

otot pelvis dan jaringan penyokong uretra terkait usia. Apalagi, faktor-faktor pada

manula seperti gangguan mobilitas dan/atau kemunduran status mental yang dapat

meningkatkan risiko episode inkontinensia.

2. Herediter.

3. Obesitas

Secara teori, peningkatan tekanan intra-abdominal serupa dengan peningkatan IMT

yang sebanding dengan tekanan intravesikal yang lebih tinggi. Tekanan yang tinggi

ini mempengaruhi tekanan penutupan uretra dan menyebabkan terjadinya

inkontinensia.

4. Ras/etnis

Hubungan antara etnis dan inkontinensia urin adalah kompleks. Meskipun telah

dipercaya bahwa wanita Afro-Amerika mempunyai prevalensi urge incontinence

36

Page 38: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

yang lebih tinggi dibandingkan wanita kulit putih, tetapi Fultz melaporkan

prevalensi IU 23% pada wanita kulit putih dan 16% pada wanita Afro-Amerika.

Lebih terbaru, hasil peneltian SWAN, dengan mencakup wanita-wanita multietnis

berumur antara 42-52 tahun, mengindikasikan bahwa wanita non-kulit putih

mungkin kurang melaporkan adanya inkontinensia dan hal tersebut tidak

menunjukkan hubungan antara etnis dan beratnya IU.

Perbedaan ras telah dilaporkan berhubungan dengan beberapa pelvic floor disorders,

meskipun belum jelas apakah perbedaannya biologis atau sosiokultural

(berhubungan dengan akses ke fasilitas kesehatan atau mungkin kesadaran mencari

fasilitas kesehatan), atau keduanya, atau karena faktor lain. Tingkat risiko berbeda

mungkin didasarkan pada genetis atau sifat anatomis; faktor gaya hidup seperti diet,

olahraga, kebiasan; atau espektasi dan toleransi budaya akan gejala inkontinensia.

5. Persalinan dan Kehamilan

Sebagian besar wanita mengalami inkontinensia urin selama kehamilan, tetapi

umumnya dari mereka hanya sementara saja. Kehamilan dan obesitas menambah

beban struktur dasar panggul dan dapat menyebabkan kelemahan panggul yang pada

akhirnya menyebabkan inkontinensia urin.

Persalinan menyebabkan kerusakan sistem pendukung uretra, kelemahan dasar

panggul akibat melemah dan mereganggnya otot dan jaringan ikat selama proses

persalinan, kerusakan akibat laserasi saat proses persalinan penyangga organ dasar

panggul, dan peregangan jaringan dasar panggul selama proses persalinan melalui

vagina dapat merusak saraf pudendus dan dasar panggul sesuai kerusakan otot dan

jaringan ikat dasar panggul, serta dapat mengganggu kemampuan sfingter uretra

untuk kontraksi dan respon peningkatan tekanan intraabdomen atau kontraksi

detrusor. Jika kolagen rusak, maka origo maupun insersio otot menjadi kendur

sehingga mengganggu kontraksi isometrik. Hal ini menyebabkan mekanisme fungsi

yang tidak efisien dan hipermobilitas uretra. Pemakainan forseps selama persalinan

dapat memicu IU. Tingginya usia, paritas, dan berat badan bayi tampaknya

berhubungan dengan IU.

6. Menopause

Sejumlah besar reseptor estrogen berafinitas tinggi telah diindentifikasi terdapat di

m.pubokoksigeus, uretra, dan trigonum vesika. Interaksi estrogen dengan

37

Page 39: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

reseptornya akan menghasilkan proses anabolik. Akibatnya bila terjadi penurunan

estrogen terutama pada traktus urinarius perempuan menopause akan mengalami

perubahan struktur dan fungsi. Estrogen dapat mempertahankan kontinensia dengan

meningkatkan resistensi uretra, meningkatkan ambang sensoris kandung kemih, dan

meningkatkan sensitivitas α-adrenoreseptor pada otot polos uretra.

Penurunan estrogen saat menopause menyebabkan penipisan dinding uretra

sehingga penutupan uretra tidak baik. Defisiensi estrogen juga membuat otot

kandung kemih melemah. Jika terjadi penipisan dinding uretra dan kelemahan otot

kandung kemih, latihan fisik dapat membuka uretra dengan tidak diduga-duga.

Selain itu, defisiensi estrogen yang menyebabkan atrofi urogenital sehingga sedikit

responsif terhadap rangsangan berkemih merupakan gejala yang menyertai

menopause.

7. Histerektomi

Perubahan hubungan anatomis, seperti denervasi dasar panggul saat histerektomi,

dapat menyebabkan inkontinensia urin paska operasi.

8. Merokok

Merokok telah diidentifikasi sebagai faktor risiko independen untuk terjadinya

inkontinensia urin dalam beberapa penelitian, dengan efek terkuat terlihat pada

inkontinensia urin tipe stres dan campuran pada perokok berat. Mekanisme

patofisiologi mungkin efek langsung pada uretra dan tidak langsung, dimana

perokok umumnya terjadi peningkatan tekanan kandung kemih akibat batuk, yang

melampaui kemampuan uretra untuk menutup rapat.

4. Bagaimana epidemiologi pada diagnosis kasus dalam skenario?

Jb.

Inkontinensia Urin

Prevalensi inkontinensia urin menurut The Asia Pacific Continense Board (APCB)

sebanyak 20,9%-35%, di mana perempuan lebih banyak menderita (15,1%) dari pada laki-

laki (5,8%). Dari sejumlah penderita perempuan tersebut 24,9% adalah stres inkontinesia,

38

Page 40: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

10,5% inkontinensia gesa (Urge Incontinence) dan 5% adalah kombinasi. Prevalensi

inkontinesia urin di Indonesia belum ada angka yang pasti, dari hasil beberapa penelitian

didapatkan angka kejadian berkisar antara 20% sampai dengan 30%.

Osteoporosis

Prevalensi Osteoporosis pada wanita Indonesia, terjadi peningkatan dari 23% pada

usia 50 hingga 80 tahun, menjadi 53% pada usia 70 hingga 80 tahun.

Hipertensi Sitolik Terisolasi

Prevalensi HST adalah sekitar berturut-turut 7%, 11%, 18% dan 25% pada kelompok

umur 60-69, 70-79, 80-89, dan diatas 90 tahun. HST lebih sering ditemukan pada

perempuan dari pada laki-laki.

Obesitas

Diperkirakan jumlah orang di dunia dengan IMT/BMI lebih dari 30 Kg/m2 melebihi

250 juta orang. Prevalensi obesitas meliputi <5% di Cina, Jepang, dan negara-negara

Afrika tertentu, lebih dari 75% di daerah urban Samoa. Pada tahun 1991, di daerah urban

Samoa diperkirakan 75% perempuan dan 60% laki-laki mengalami obesitas.

5. Apa saja manifestasi klinis dari diagnosis dalam skenario?

Jb.

• Tipe Urgensi :Terdapat gejala OAB/overactive bladder, yaitu tidak mampu

menahan miksi sampai tiba di toilet.

• Tipe Stress : Ada riwayat batuk kronik, Keluarnya urin dipicu aktivitas yang

meningkatkan tek intraabdomen (batuk, bersin,tertawa), Pada wanita muda

• Tipe Fungsional :Ada limitasi lain dari fungsi kognitif dan aktivitas fisik

• Tipe overflow :

o Biasanya ada gejala (“frequent or constant dribbling”) tetesan-tetesan,

o Pancarannya lemah dan ada rasa tidak puas

o Biasanya berkaitan dengan penyakit obstruktif,medikasi, trauma MS, diabetik

neuropati)

o PVR biasanya meningkat

39

Page 41: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

• Tipe mixed : Biasanya merupakan gabungan tipe stres dan tipe urgensi.

6. Bagaiamana patofisiologi dari diagnosis dalam skenario?

Jb.

Ketidak seimbangan antara resporpsi tulang dan pembentukan tulang + kurangnya matrik konstan untuk remodeling tulang tulang diresorpsi oleh sel osteoklas >> pengkeroposan dan perapuhan osteoporosis

7. Jelaskan tatalaksana dari diagnosis dalam skenario ?

- Tatalaksana secara farmakologi

Jb.

Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik

seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate,Imipramine.

Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine

untuk meningkatkan retensi urethra.

Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau

alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan

secara singkat

40

Page 42: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Tabel obat– obat untuk mengobati inkontinensia urin

Jenis obat mekanisme Tipe inkontinensia Efek samping Nama obat dan

dosis

Antikolinergik

dan

antispasmodic

Meningkatkan

kapasitas

VU,mengurangi

involunter VU.

Urgensi atau strea

dengan instabilitas

detrusor atau

hiperrefleksia.

Mulutkering,

penglihatankabur,

peningkatanTIO,konstipasi

dan delirium.

Oksibutasin: 2,5-

5mgtid

Tolterodine: 2mg

bid

Propanthelin: 15-

30mg tid

Dicyclomine: 10-

20mg

Imipramine: 10-

50mg tid

Alpha

adrenergic

agonis

Meingkatkan

kontraksi otot polos

urethra.

Tipe stress dengan

kelemahan sphineter.

Sakit kepala,takikardi,

peningkatan tekanan darah.

Pseudofedrin: 15-

30mg tid

Phenylpropanola

mine: 75mg bid

Imipramine: 10-

50mgtid

Estrogen

agonis

Meningkatkan aliran

darah periurethra

.Tipe stress, tipe

urgensi yang

berhubungan dengan

vaginitis atropi

Kanker endometrial,

peningkatan tekanandarah,

batu saluran kemih

Oral:

0,625mg/hari

Topical:

0,5-1,0gr per

aplikasi

Kolinergik

agonis

Menstimulasi

kontraksi VU

Tipe overflow

dengan VU atonik

Bradikardi,hipotensi,

bronco

kontriksi, sekresi asam

lambung

Bethanechol: 10-

30mg tid

Alpha

Adrenergic

Merelaksasi otot

polos urethra dan

Tipe overflow dan

urgensi yang

Hipotensi postural Terasozine: 1-

10mg/hari

41

Page 43: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

antagonis kapsul prostat. berhubungan dengan

pembesaran prostat

Dikutip dari kepustakaan Pranarka, 2009

Tabel terapi primer untuk berbagai tipe inkontinensia urin

Tipe inkontinensia Terapi primer

stres Latihan kegel

Agonis adrenergic alpha

Estrogen

Injeksi periutretral

Operasi bagian leher kandungkemih

urgensi Relaksan kandung kemih

Estrogen

Bladder training

overflow Operasi untuk menghilangkan sumbatan

Bladder retraining

Katerisasi intermitten

Katerisasi menetap

fungsional Intervensi behavional

Manipulasi lingkungan

pads

Dikutip dari kepustakaan Aru W. Sudoyo, 2009

- Tatalaksana secara non farmakologis

a. Terapi suportif non spesifik

i. Edukasi

ii. Memakai substitusi toilet

iii. Manipulasi lingkungan

iv. Pakaian tertentu dan pads

v. Modifikasi intaks cairan dan obat

b. Intervensi behavioral

Memiliki risiko yang rendah dan sedikit efek samping

42

Page 44: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

c. Bladder training

Bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal dengan teknik distraksi

atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jam

sekali. Pasien diinstruksikan untuk miksi pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap

jam, selanjutnya interval berkemih diperpanjang secara bertahap sampai setiap 2-3 jam.

Terbukti bermanfaat pada tipe urgensi dan stres.

d. Habit training

Merupakan penjadwalan waktu berkemih. Diupayakan agar jadwal berkemih sesuai

dengan pola berkemih sesuai dengan pola berkemih pasien sendiri. Sebaiknya digunakan

pada inkontinensia tipe fungsional dan membutuhkan keterlibatan petugas kesehatan atau

pengasuh pasien.

e. Prompted voiding

Dilakukan dengan cara mengajari pasien mengenali kondisi atau status kontinensia

mereka aserta dapat memberitahu petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih.

Digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif.

i. Latihan otot dasar panggul

Merupakan terapi yang efektif untuk inkontinensia urin tipe stres atau campuran dan

tipe urgensi. Latihan dilakukan dengan membuat kontraksi berulang-ulang pada otot dasar

panggul yang diharapkan dapat meningkatkan kekuatan uretra untuk menutup secara

sempurna

ii. Stimulasi elektrik

Merupakan terapi yang menggunakan dasar kejutan kontraksi otot pelvis dengan

menggunakan alat-alat bantu pada vagina dan rektum

iii. Biofeedback

Bertujuan agar pasien mampu mengontrol/ menahan kontraksi involunter otot

detrusor kandung kemihnya

iv. Neuromodulasi

Merupakan terapi dengan menggunakan stimulasi saraf sakral. Merupakan salah satu

cara penatalaksanaan overactive bladder yang berhasil.

Untuk inkontinensia urgensi

Terapi perilaku bladder training untuk memperpanjang interval miksi

Diantar ketika hendak ke toilet

43

Page 45: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Membuat catatan berkemih

Untuk inkontinensia stress

Pengurangan berat badan

Latihan otot dasar panggul (Kegel)

Cap device menutupi meatus uretra/kateter kondom/penile clamps

Fibrilasi Atrial

Lifestyle

menurunkan berat badan jika ada kegemukan, mengurangi minum alcohol,

meningkatkan aktivitas fisik aerobik, mengurangi asupan garam, mempertahankan asupan

kalium yang adekuat, mempertahankan asupan kalsium dan magnesium yang adekuat,

menghentikan merokok, mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol

Isolated Systolic Hipertension

Lifestyle dan modifikasi pola hidup

Osteoporosis

1. Asupan kalsium cukup. Mempertahankan atau meningkatkan kepadatan

tulang yang dapat dilakukan dengan mengkonsumsi kalsium yang cukup.

2. Paparan sinar UV B matahari (pagi dan sore)

Sinar matahari UV B membantu tubuh menghasilkan vitamin D yang dibutuhkan tubuh

dalam pembentukan massa tulang.

Vitamin D3 500-800 IU/d

3. Melakukan olah raga dengan beban

4. Selain olah raga menggunakan alat beban, berat badan sendiri juga dapat

berfungsi sebagai beban yang dapat meningkatkan kepadatan tulang.

5. Gaya hidup sehat. Menghindari rokok dan alkohol memberikan efek yang

signifikan dalam menurunkan resiko asteoporosis.

Tambahan

Latihan untuk pasien osteoporosis; aerobik

Berhenti merokok, cegah konsumsi alkohol

44

Page 46: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Sering berjemur sinar matahari

Cegah gerakan atau latihan ekstrim (melompat, membawa beban berat)

8. Bagaimana tidakan pencegahan yang sebaiknya dilakukan?

Jb.

Inkontinensia urine dapat dicegah dengan beberapa langkah sederhana antara lain :

1. Teknik perubahan perilaku, misalnya membiasakan diri untuk berkemih setiap 2-3

jam untuk menjaga agar kandung kemih relatif kosong.

2. Menghindari minuman yang bisa menyebabkan iritasi kandung kemih, misalnya

minuman yang mengandung kafein.

3. Minum sebanyak 6-8 gelas/hari untuk mencegah pemekatan air kemih, karena air

kemih yang terlalu pekat bisa mengiritasi kandung kemih.

4. Menghentikan pemakaian obat-obatan yang bisa menimbulkan efek samping pada

kandung kemih.

5. Menjaga berat badan agar ideal atau mendekati ideal.

6. Tidak merokok.

7. Mencoba berlatih senam Kegel.

8. Hindari makanan atau minuman yang menstimulasi untuk berkemih seperti minuman

yang mengandung kafein ataupun alcohol.

9. Makan makanan yang berserat, untuk mencegah konstipasi yang merupakan factor

resiko inkontinensia urin.

10. Olahraga.

9. Apa saja komplikasi yang dapat timbul akibat diagnosis dalam skenario?

Jb.

Komplikasi yang sering menyertai inkontinensia urin adalah:

- Infeksi saluran kemih

- Kelainan kulit

- Gangguan tidur

- Masalah psikososial seperti depresi, mudah marah, dan rasa terisolasi

45

Page 47: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

10. Bagaiman prognosis lanjut dari diagnosis dalam skenario?

Jb.

- Inkontinensia tipe stress biasanya dapat diatasi dengan latihan otot dasar

panggul, prognosisnya cukup baik.

- Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive bladder umumnya dapat

diperbaiki dengan obat-obat golongan antimuskarinik, prognosisnya cukup

baik.

- Inkontinensia urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya (misalnya

mengatasi sumbatan / retensi urin)

Inkontinensia Urin :Prognosis baik, tetapi fungsi tidak dapat kembali seperti

semula

- Quo ad vitam : dubia

- Quo ad fungsionam : dubia

11. Berapa Standar Kompetensi Dokter Indonesia untuk kasus ini?

Jb.

Inkontinensia urine 2

Osteoporosis 3a

Hipertensi essensial 4a

Obesitas 4a

V . HIPOTESIS

Nyonya Minah 63 tahun mengalami inkontinensia urin dengan menopause , obesitas

, atrial fibrilasi ,hipertensi , penggunaan obat captopril , osteoporosis disertai curiga

depresi

46

Page 48: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

VI. Learning Issue

Inkontinensia uri n

Pada inkontinensia, pasien datang dengan keluhan sering tidak dapat menahan

kencing sehingga sering kencing dicelana sebelum sampai ke WC. Passien juga

mengatakan kadang saat tertawa dengan bersemangat, tanpa ssadar terkencing-kencing.

Sedangkan penyakit jantung, darah tinggi, kencing manis sebelumnya tidak ada.

Pemeriksaan fisik

Tujuan pemeriksaan fisik adalah mengenali pemicu inkontinensia urin dan

membantu menetapkan patofisiologinya. Selain pemeriksaan fisik umum yang selalu harus

dilakukan, pemeriksaan terhadap abdomen, genitalia, rectum, fungsi neurologis, dan pelvis

(pada wanita) sangat diperlukan.

Pemeriksaan abdomen harus mengenali adanya kandung kemih yang penuh, rasa

nyeri, massa, atau riwayat pembedahan.

Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis harus diidentifikasi ketika memeriksa

genitalia.

Pemeriksaan rectum terutama dilakukan untuk medapatkan adanya obstipasi atau

skibala, dan evaluasi tonus sfingter, sensasi perineal, dan refleks bulbokavernosus.

Nodul prostat dapat dikenali pada saat pemeriksaan rectum.

Pemeriksaan pelvis mengevaluasi adanya atrofi mukosa, vaginitis atrofi, massa,

tonus otot, prolaps pelvis, dan adanya sistokel atau rektokel.

Evaluasi neurologis sebagian diperoleh saat pemeriksaan rectum ketika pemeriksan

sensasi perineum, tonus anus, dan refles bulbokavernosus. Pemeriksaan neurologis

juga perlu mengevaluasi penyakit-penyakit yang dapat diobati seperti kompresi

medula spinalis dan penyakit parkinson.

47

Page 49: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Pemeriksaan fisik seyogyanya juga meliputi pengkajian tehadap status fungsional

dan kognitif, memperhatikan apakah pasien menyadari keinginan untuk berkemih dan

mengunakan toilet.

Tes diganostik

Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk

mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi

kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia.

Mengukur sisa urin setelah berkemih, dilakukan dengan cara :

Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau

menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan

kandung kemih tidak adekuat.

Urinalisis

Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang

berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri,

glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal

didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah :

Tes laboratorium tambahan seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin,

kalsium glukosa sitologi.

Tes urodinamik --> untuk mengetahui anatomi dan fungsi saluran kemih bagian

bawah

Tes tekanan urethra --> mengukur tekanan di dalam urethra saat istirahat dan saat

dianmis.

Imaging --> tes terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah.

Pemeriksaan penunjuang

48

Page 50: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal.

Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang

spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada

saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan

ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk

batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin

seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada

keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan

kapasitas kandung kemih.

Differential Diagnosis

Inkontinensia overflow merupakan hilangnya kendali miksi involunter yang

berhubungan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini dapat terjadi secara

sekunder dari kerusakan otot detrusor yang memicu kelemahan detrusor. Selain itu

obstruksi uretra juga dapat memicu distensi kandung kemih dan inkontinensi overflow.

Inkontinensia overflow terjadi pada keadaan kandung kemih yang lumpuh akut atau kronik

yang terisi terlalu penuh, sehingga tekanan kandung kemih dapat naik tinggi,

meningkatnya tegangan kandung kemih akibat obstruksi prostat hipertrofi pada laki-laki

atau lemahnya otot detrusor akibat diabetes melitus, trauma medula spinalis, obat-obatan.

Manifestasi klinisnya berupa pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna

mengakibatkan urine menetes lewat uretra secara intermitten atau keluar tetes demi tetes.

Inkontinensia urin tipe fungsional terjadi akibat penurunan berat fungsi fisik dan

kognitif sehingga pasien tidak dapat mencapai toilet pada saat yang tepat. Hal ini terjadi

biasanya pada demensia berat, penglihatan yang buruk, keengganan ke toilet karena

depresi, kecemasan atau kemarahan, drunkeness, atau berada dalam situasi di mana tidak

mungkin untuk mencapai toilet,gangguan mobiditas, gangguan neurologik dan psikologik.

Working Diagnosis

Pada kasus ini, pasien menderita inkontinentia campuran (inkontinentia stress dan

inkontinentia urgensi). Dikarenakan inkontinentia stress dapat terjadi akibat outlet kandung

kemih atau sfingter yang tidak kompeten. Apa saja yang mengakibatkan tambahan tekanan

49

Page 51: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

intra-abdominal. Tambahan tekanan intra-abdominal dapat terjadi akibat obesitas,

kehamilan, mengangkat barang berat, batuk, bersin, tertawa, gerak badan, dan seterusnya.

Sedangkan inkontinentia urgensi dikaitkan pengeluaran urine yang tidak dapat ditahan dan

segera keluar (urgensi).Kelainan ini dibagi 2 subtipe yaitu motorik dan sensorik. Subtipe

motorik disebabkan oleh lesi pada sistem saraf pusat seperti stroke, parkinson, tumor otak

dan sklerosis multiple atau adanya lesi pada medula spinalis suprasakral, subtipe semsorik

disebabkan oleh hipersensitivitas kandung kemih akibat sinsitis, uretritis dan divertikulitis.

Etiologi

Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan

fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-

kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak

dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding

kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan

rasa ingin berkemih.

Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran

kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan

kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena

infeksi. Jika terjadi infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika.

Apabila vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan terapi estrogen topical.

Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani prostatektomi. Dan, bila terjadi

impaksi feses, maka harus dihilangkan misalnya dengan makanan kaya serat, mobilitas,

asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan laksatif. Inkontinensia Urine juga

bisa terjadi karena produksi urin berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan

metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan

cairan yang berlebihan yang bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat

diuretika seperti kafein.

Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin

meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan kemampuan ke toilet

bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau gangguan mobilitas. Untuk

mengatasinya penderita harus diupayakan ke toilet secara teratur atau menggunakan

50

Page 52: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

substitusi toilet. Apabila penyebabnya adalah masalah psikologis, maka hal itu harus

disingkirkan dengan terapi non farmakologik atau farmakologik yang tepat. Pasien lansia,

kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang dideritanya. Obat-obatan ini

bisa sebagai ‘biang keladi’ mengompol pada orang-orang tua. Jika kondisi ini yang terjadi,

maka penghentian atau penggantian obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau

modifikasi jadwal pemberian obat.

Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika, antikolinergik,

analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan

kalsium antagonik. Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif

hipnotik juga memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam terjadinya

mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat

kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas),

menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan

tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena

ditekan selama sembilan bulan.

Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat

regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat

meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon

estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus

otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya

inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat

operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua

seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi

perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.

Patofisiologi

Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian

koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase yaitu, fase

pengisisan, dengan kandung kemih berfungsi sebagai reservoar urine yang masuk secara

berangsur-angsur dari ureter, dan fase miksi dengan kandung kemih befungsi sebagai

51

Page 53: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

pompa serta menuangkan urine melalui uretra dalam waktu relatif singkat. Pada keadaan

normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urine, walaupun kandung kemih

penuh atau tekanan intraabdomen meningkat seperti sewaktu batuk, meloncat-loncat atau

kencing dan peningkatan isi kandung kemih memperbesar keinginan ini. Pada keadaan

normal, dalam hal demikian pun tidak terjadi kebocoran di luar kesadaran. Pada fase

pengosongan, isi seluruh kandung kemih dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat

mempercepat atau memperlambat miksi menurut kehendaknya secara sadar, tanpa

dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing. Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase

pengisian otot kandung kemih tetap kendor sehingga meskipun volume kandung kemih

meningkat, tekanan di dalam kandung kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang

merupakan mekanisme penutupan selalu dalam keadaan tegang. Dengan demikian maka

uretra tetap tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung kemih meningkat karena

kontraksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi pengendoran mekanisme penutup di dalam

uretra. Uretra membuka dan urine memancar keluar. Ada semacam kerjasama antara otot-

otot kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian maupun sewaktu fase

pengeluaran. Pada kedua fase itu urine tidak boleh mengalir balik ke dalam ureter

(refluks).

Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali.

Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah kontrol volunter dan

disuplai oleh saraf pudenda, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra

internal berada di bawah kontrol sistem safar otonom, yang mungkin dimodulasi oleh

korteks otak. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot

detrusor, lapisan submukosa dan lapisan mukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi,

pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan

kandung kemih atau proses berkemih berlangsung. otot detrusor adalah otot kontraktil

yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot

detrusor, saraf pelvis, medula spinalis dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketika

kandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf

pelvis dan medula spinalis ke pusar saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada

ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat

mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika

pengisian kandung kemih berlanjut, rasa penggebungan kandung kemih disadari, dan pusat

52

Page 54: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

kortikal (pada lobus frontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat

kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda

pengeluaran urin. Komponen penting dalam mekanisme sfingter adalah hubungan urethra

dengan kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan

agulasi yang tepat antara urethra dan kandung kemih. Fungsi sfingter urethra normal juga

tergantung pada posisi yang tepat dari urethra sehiingga dapat meningkatkan tekanna

intraabdomen secara efektif ditrasmisikan ke uretre. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin

tidak akan keluar pada saat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intraabdomen.

Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat di medula

spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian kandung

kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan

leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih serta penghambatan aktivitas

parasimpatis dan mempertahankan inversi somatik pada otot dasar panggul. Pada fase

pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat

sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih. Proses reflek

ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan

serebelum.

Pada usia lanjut biasanya ada beberapa jenis inkontinensia urin yaitu ada

inkontinensia urin tipe stress, inkontinensia tipe urgensi, tipe fungsional dan tipe overflow.

Patofisiologi yang akan dibahas adalah inkontinensia urin tipe stress dimana inkontinensia

urin tipe stres merupakan inkontinensia urin yang paling banyak dijumai pada perempuan.

Ada sebuah penelitian yang melaporkan bahwa inkontinensia urin stres ternyata tidak

hanya disebabkan oleh kegagalan penyokong uretr tetapi juga karena penutupan leher

vesika yang tidak adekuat dan gangguan pada sestem kendali kontinensia urin

(neuromuskular). Pemahaman itu memicu kesimpulan bahwa tatalaksana yang diberikan

pada perempuan dengan inkontinensia urin harus disesuaikan dengan jenis inkontinensia

urin dan penyebab kerusakan; sebaiknya tatalaksana ini tidak disamaratakan untuk semua

kasus inkontinensia urin. Untuk lebih memahami patofisiologinya, inkontinensia urin akan

dibahas dengan pendekatan anatomi dan fisiologi.

Irisan lateral organ panggul berkaitan dengan sistem kendali kontinensia. Beberapa

komponen penting yang berperan ialah otot levator ani yang berjalan dari tulang pubis

53

Page 55: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

menuju ke sfingter ani dibalik rectum untuk menyokong organ pelvis. Otot itu berjalan

disebelah lateral fascia arkus tendinosus pelvis yang merupakan fasia endopelvis yang

menghubungkan tulang pubis dengan spina isiadika. Fasia tersebut cenderung berperan

pasif dalam mekanisme kontinensia tetapi hubungan fascia itu dengan otot levator ani

merupakan elemen penting dalam sistem kendali in. Hubungan tersebut memungkinkan

kontraksi aktif otot pelvis untuk memicu elevasi leher vesika. Aktivitas konstn normal otot

levator ani menyokong leher vesika dalam proses miksi normal.

Salah satu pertanyaan penting ialah bagaimana aparatus itu dapat menjaga uretra

tertutup rapat walaupun tekanan dalam vesika meningkat pada waktu batuk keras tanpa

dapat mendesak urin keluar melalui uretra. Pada model konseptul dijelaskan bahwa

stabilitas lapisan penyokong cenderung lebih mempengaruhi terjadinya kontinensia

dibandingkan dengan tinggi uretra. Individu dengan lapisan penyokong yang kuat, uretra

akan ditekan antara tekanan abdominal dan fasia pelvis pada arah yang sama. Kondisi

tersebut diibaratkan saaat seseorang dapat menghentikan aliran air yang melalui selang

taman dengan menginjak selang dan menekan ke arah lantai keras yang mendasari. Jika

lapisan dibawah uretra tidak stabil dan tidak memberikan tahanan yang kokoh terhadap

tekanan abdominal yang menekan uretra, maka tekanan yang berlawanan akan

menyebabkan hilangnya penutupan dan kerja oklusi akan berkurang. Kondisi yang terjadi

selanjutnya dapat diibaratkan seperti saat seseorang mencoba menghentikan aliran air

melalui selang taman dengan menginjak selang yang berada di atas tanah liat.

Analog tersebut juga dapat menjelaskan mengapa pada inkontinensia urin dapat

terbentuk sistoureterokel yang besar dan pada pasien dengan uretra yang terletak jauh

dibawah posisi normal sering kali tidak dapat menjalankan fungsi kontinensia dengan baik.

Jika lapisan suburetral dapat mempertahankan stabilitasnya maka mekanisme itu

dipertahankan efektif (gambar 2).

54

Page 56: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Gambar 2. A. tekanan abdominal medesak uretra terhadap penyokong uretra. B. Pada

gambar ini, jaringan penyokong tidak stabil sehingga tidak membentuk jaringan yang

kokoh saat uretra ditekan. C. Sistouretrokel terbentuk saat uretra terletak lebih rendah dari

normal tetapi memiliki lapisan penyokong kuat yang memungkinkan kompresi uretra.

Klasifikasi Inkontinensia Urin

Inkontinensia Urin Akut Reversibel

Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet

sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin

umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat

memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia

persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya.

Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula

menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan

urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan

inkontinensia akut.

Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya

inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena

dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya

inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya

55

Page 57: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic

narcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic.

Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat

dilihat akronim di bawah ini :

D --> Delirium

R --> Restriksi mobilitas, retensi urin

I --> Infeksi, inflamasi, Impaksi

P --> Poliuria, pharmasi

Inkontinensia Urin Persisten

Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi

anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih

bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis.

Kategori klinis meliputi :

a. Inkontinensia urin stress (stres inkontinence)

Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti

pada saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot

dasar panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75

tahun. Lebih sering terjadi pada wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat

kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien

mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang

keluar dapat sedikit atau banyak.

b. Inkontinensia urin urgensi (urgency inkontinence)

Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih.

Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali

56

Page 58: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

(detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia

urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis.

Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk

berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini

merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi

inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu.

Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih

sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan

obstruksi. Oleh karena itu perlu untuk mengenali kondisi tersebut karena dapat menyerupai

ikontinensia urin tipe lain sehingga penanganannya tidak tepat.

c. Inkontinensia urin luapan / overflow (overflow incontinence)

Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih

yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat,

faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan

berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan.

Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung

kemih sudah penuh.7

d. Inkontinensia urin fungsional

Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin

akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat,

masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan untuk pergi

ke kamar mandi, dan faktor psikologis.

Komplikasi

Inkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, lecet pada

area bokong sampai dengan ulkus dekubitus karena selalu lembab, serta jatuh dan fraktur

akibat terpeleset oleh urin yang tercecer.

Penatalaksanaan

57

Page 59: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Pada umumnya terapi inkontinensia urine adalah dengan cara operasi. Akan tetapi

pada kasus ringan ataupun sedang, bisa dicoba dengan terapi konservatif. Latihan otot

dasar panggul adalah terapi non operatif yang paling populer, selain itu juga dipakai obat-

obatan, stimulasi dan pemakaian alat mekanis.

Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor

resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi

lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan.

Terapi non farmakologi

Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia

urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-

lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah :

Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih)

dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.

Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya.

Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap

jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap

2-3 jam.

Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan

kebiasaan lansia.9,10

Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi

berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin

berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif

(berpikir).

Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul

secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul

tersebut adalah dengan cara :

Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian

pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri ± 10 kali, ke depan ke belakang ± 10

kali, dan berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam ± 10 kali.

58

Page 60: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan ± 10

kali.

Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup

dengan baik

Terapi farmakologi

Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik

seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine.

Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine

untuk meningkatkan retensi urethra.

Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau

alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi

diberikan secara singkat.

Terapi pembedahan

Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila

terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow

umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini

dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada

wanita).

Modalitas lain

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan

inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami

inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal,

komod dan bedpan.

Pampers

Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah

tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin. Namun pemasangan pampers juga dapat

menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung

59

Page 61: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat

menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi.

Kateter

Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat

menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain

kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin

digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien

yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko

menimbulkan infeksi pada saluran kemih.

Alat bantu toilet

Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak

mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong

lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia

dalam menggunakan toilet .

60

Page 62: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Depresi pada geriatri

1. Pengertian

Depresi merupakan gangguan perasaan dengan ciri-ciri antara lain: semangat

berkurang, rasa harga diri rendah, menyalahkan diri sendiri, gangguan tidur, dan makan.

Pada depresi terdapat gejala psikologik dan gejala somatik. Gejala psikologik antara lain

adalah: menjadi pendiam, rasa sedih, pesimistik, putus asa, nafsu bekerja dan bergaul

kurang, tidak dapat mengambil keputusan, mudah lupa dan timbul pikiran-pikiran bunuh

diri. Gejala somatik antara lain: penderita kelihatan tidak senang, lelah, tidak bersemangat,

apatis, bicara dan gerak geriknya pelan, terdapat anoreksia, isomnia, dan konstipasi

(Maramis, 2005).

2. Faktor Predisposisi

a. Gangguan efektif riwayat keluarga atau keturunan (faktor genetik).

b. Perasaan marah yang ditujukan kepada diri sendiri ( teori agresi menyerang

kedalam).

c. Perpisahan traumatic individu dengan benda atau yang sangat berarti ( teori

kehilangan).

d. Konsep diri yang negatif dan harga diri rendah (teori organisasi kepribadian).

e. Masalah kognitif yang didominasi oleh evaluasi negatif seseorang terhadap

dunia seseorang dan terhadap stressor (teori kognitif)

f. Keyakinan bahwa seseorang tidak mempunyai kendali terhadap hasil yang

penting dalam kehidupannya (model ketidakberdayaan).

g. Kurangnya keinginan positif dalam berinteraksi dengan lingkungan (model

perilaku).

h. Perubahan kimia dalam tubuh yang terjadi selama masa depresi, termasuk

defisiensi katekolamin, disfungsi endokrin, hipersekressi kortosol, dan variasi

periodik dalam irama biologis model biologik. (Stuart dan Sundeen, 1998).

3. Etiologi

Etiologi dari depresi pada lansia terdiri dari: faktor psikologik, biologik, dan sosio-

budaya. Pada sebagian besar kasus, ketiga faktor ini saling berinteraksi.

61

Page 63: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

a). Faktor Psikososial

Menurut teori psikoanalitik dan psikodinamik Freud (1917) cit Kaplan dan Sadock

(1997) mengungkapkan bahwa depresi disebabkan karena kehilangan obyek cinta

kemudian individu mengadakan introyeksi yang ambivalen dari aspek cinta tersebut.

Menurut model Cognitif Behavioural Beck (1974) cit Kaplan dan Sadock (1997), depresi

terjadi karena pandangan yang negatif terhadap diri sendiri, interprestasi yang negatif

terhadap pengalaman hidup dan harapan pengalaman hidup dan harapan yang negatif

untuk masa depan.

b). Faktor Biologik

1). Disregulasi biogenik amin

Beberapa peneliti melaporkan bahwa pada penderita depresi terdapat abnormalitas

metabolitas biogenik amin (5- hydroxy indolacetic acid, homouanilic acid, 3-methoxy-4

hydroxy phenylglycol). Hal ini menunjukkan adanya disregulasi biogenic amin, serotonin,

dan norepineprin yang merupakan nurotransmiter paling terkait dengan patofisiologi

depresi.

2). Disreguloasi Neuroendokrin

Hipotalamus merupakan pusat pengatur aksis neuroendokrin. Organ ini menerima

input neuron yang mengandung neurotransmister biologik amin. Pada pasien depresi

ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi akibat kelainan fungsi

neuron yang mengandung biogenik ami (Amir, 1998).

c). Faktor Genetik

Faktor genetik memiliki kontribusi dalam terjadinya depresi. Berdasarkan studi

lapangan, studi anak kembar, dan anak angkat, serta studi linkage terbukti adanya faktor

genetik dan depresi.

4. Tanda dan Gejala

Frank J.Bruno (cit. Samsyddin, 2006) mengemukakan bahwa ada beberapa tanda

dan gejala depresi, yakni:

a). Secara umum tidak pernah merasa senang dalam hidup ini. Tantangan yang ada,

proyek, hobi, atau rekreasi tidak memberikan kesenangan.

62

Page 64: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

b). Distorsi dalam perilaku makan. Orang yang mengalami depresi tingkat sedang

cenderung untuk makan secara berlebihan, namun berbeda jika kondisinya

telah parah seseorang cenderung akan kehilangan gairah makan.

c). Gangguan tidur. Tergantung pada tiap orang dan berbagai macam faktor penentu,

sebagian orang depresi sulit tidur,. Tetapi dilain pihak banyak orang yang

mengalami depresi justru terlalu banyak tidur.

d). Gangguan dalam aktivitas normal seseorang. Seseorang yang mengalami depresi

mungkin akan mencoba melakukan lebih dari kemampuannya dalam setiap

usaha untuk mengkomunikasikan idenya.

e). Kurang Energi. Orang yang mengalami depresi cenderung untuk mengatakan

atau merasa lelah.

f). Keyakinan bahwa seseorang mempunyai hidup yang tidak berguna, tidak efektif.

Orang itu tidak mempunyai rasa percaya diri.

g). Kapasitas menurun untuk bisa berfikir dengan jernih dan untuk memecahkan

masalah secara efektif. Orang yang mengalami depresi merasa kesulitan untuk

memfokuskan perhatiannya pada sebuah masalah untuk jangka waktu tertentu.

h). Perilaku merusak diri tidak langsung. Contohnya: penyalahgunaan

alkohol/narkoba, nikotin, dan obat-obat lainnya. Makan berlebihan, terutama

kalau seseorang mempunyai masalah kesehatan seperti misalnya menjadi

gemuk, diabetes, hypogliycemia, atau diabetes, bisa juga diidentifikasi sebagai

salah satu jenis perilaku merusak diri sendiri secara tidak langsung.

i). Mempunyai pemikiran ingin bunuh diri. (tentu saja, bunuh diri yang sebenarnya,

merupakan perilaku merusak diri sendiri secara langsung.

5. Tingkat Depresi

Depresi menurut PPDGJ-III (2001) dibagi dalam tiga tingkatan yaitu depresi

ringan, depresi sedang, depresi berat. Dimana perbedaan antara episode depresif ringan,

sedang dan berat terletak pada penilaian klinis yang kompleks yang meliputi jumlah,

bentuk dan keparahan gejala yang ditemukan.

a). Depresi Ringan

63

Page 65: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresif seperti tersebut

diatas.

- Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya.

- Tidak boleh ada gejala beratnya diantaranya.

- Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu.

- Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa dilakukan.

b). Depresi Sedang

- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada episode

depresi ringan.

- Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaliknya 4) dari gejala lainnya.

- Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu.

- Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan

urusan rumah tangga.

c). Depresi Berat

- Semua 3 gejala depresi harus ada.

- Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa diantaranya

harus berintensitas berat.

- Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang mencolok,

maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak

gejalanya secara rinci. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap

episode depresif berat masih dapat dibenarkan.

- Episode depresif biasanya berlangsung sekurang-kuarangnya 2 minggu, akan tetapi

jika gejalanya aman berat dan beronset sangat cepat, maka masih dibenarkan untuk

menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu.

- Sangat tidak mungkin pasien untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau

urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

1. Penatalaksaan Depresi

Penatalaksaan depresi pada lansia meliputi beberapa aspek, antara lain:

a). Farmakoterapi

64

Page 66: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Respon terhadap obat pad usia lanjut sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara

lain farmakokinetik dan farmakodinamik. Faktor-faktor farmakokinetik antara lain:

absorbsi, distribusi, biotransformasi, dan ereksi obat akan mempengaruhi jumlah obat yang

dapat mencapai jaringan tempat kerja obat untuk bereaksi dengan reseptornya. Faktor-

faktor farmakodinamik antara lain: sensitivitas reseptor, mekanisme homeostatik akan

mempengaruhi antisitas efek farmakologik dari obat tersebut.

Obat-obat yang digunakan pada penyembuhan depresi usia lanjut antara lain:

- Anti Depresan Trisiklik

- Irreversible Monoamin Oxsidase A-B Inhibitor (MAOIs)

- Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRIs)

- Selective Serotonin Reuptake Enhacer (SSRIs)

- Penstabil Mood (Mood Stabilizer)

- Electroconvulsive Teraphy (ECT)

b). Psikoterapi

Menurut Marasmis (2005), cara-cara psikoterapi dapat dibedakan menjadi

dua kelompok besar, yaitu psikoterapi suportif dan psiloterapi genetic dinamik.

1). Psikoterapi suportif

Tujuan psikoterapi jenis ini adalah menguatkan daya tahan mental yang ada,

mengembangkan mekanisme yang baru dan lebih baik untuk mempertahankan control diri,

dan dapat mengembalikan keseimbangan adaptif (dapat menyesuaikan diri). Cara-cara

psikoterapi suportif antara lain: ventilasi atau psikokatarsis, persuasi atau bujukan, sugesti

penjaminan kembali, bimbingan dan penyuluhan, terapi kerja, hipnoterapi dan narkoterapi

kelompok, terapi perilaku.

2). Psikoterapi genetic-dinamik (psikoterapi wawasan).

Psikoterapi genetic-dinamik dibagi menjadi psikoterapi reeduaktif dan psikoterapi

rekonstruktif. Psikoterapi reedukatif adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai

pengertian tentang konflik-konflik yang letaknya lebih banyak dialam sadar, dengan usaha

berencana untuk penyesuaian diri kembali, memodifikasi tujuan , dan membangkitkan

serta mengungkapkan potensi reaktif yang ada. Cara psikoterapi reedukatif antara lain:

terapi hubungan antara manuasia, terapi sikap, terapi wawancara, analisa dan sintesa yang

distributive, konseling terapetik, terapi kerja, reconditioning, terapi kelompok yang

65

Page 67: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

reedukatif, dan terapi somatic. Cara-cara psikoterapi rekonstruktif antara lain: Psikoanalisa

Freud, Psikoanalisis non-Frreu, psikoanalisis non-Freudian, dan psikoterapi yang

berorientasi pada psikoanalisanya (misalnya: asosiasi bebas, analisa mimpi, hipnoanalisa,

narkoterapi, terapi main, terapi seni, dan terapi kelompok analitik.

c). Manipulasi lingkungan

Lingkungan pergaulan pasien akan sangat membantu penatalaksanaan depresi pada

lansia. Dimana keluarga penderita harus bersifat sabar dan penuh perhatian. Pengobatan

sosiokultural dilakukan dengan mengurangi stresor yang ada yaitu menciptakan

lingkungan yang sehat serta memperbaiki sistem komunikasi lingkungan. Selain itu

keadaan fisik dan keberhasilan perlu mendapat perhatian yang optimal dan seringkali

diperlukan mmanipulasi lingkungan untuk meringankan penderitaan pasien (Setabudi,

1984).

66

Page 68: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Osteoporosis

Penyakit pada tulang yang ditandai oleh penurunan pembentukan matriks dan

peningkatan resorpsi tulang sehingga terjadi penurunan jumlah total tulang.

Epidemiologi

Pada usia lanjut, terutama pada wanita dengan faktor resiko rendahnya asupan

kalsium dalam makanan dan pengeluaran kalsium yang berlebihan akibat masa menyusui

anak yang terlalu lama serta jumlah paritas yang terlalu banyak.

Etiologi

Aktivitas osteoklas > osteoblas

1. Menopause

Pada menopause terjadi penurunan estrogen padahal estrogen berguna untuk

mencegah resorpsi tulang, selain itu juga terjadi penurunan aktivitas tubuh dan penurunan

sekresi parathormon.

2. Penurunan kadar kalsitonin

Kalsitonin berguna untuk menekan aktivitas osteoklas. Pada usia lanjut terjadi

penurunan kadar kalsitonin.

3. Penurunan kadar androgen adrenal

4. Aktivitas fisik

Adanya imobilisasi lama yang mengakibatkan penurunan masa tulang.

5. Penurunan absorpsi kalsium

Seiring pertambahan usia terjadi penurunan penyerapan kalsium tubuh.

Faktor Resiko

1. Umur (manula)

2. Etnis (kulit putih mempunyai resiko paling tinggi)

3. Keturunan

4. Kerangka tubuh yang lemah dan skoliosis

5. Kurangnya kegiatan fisik

6. Tidak pernah melahirkan

7. Menopause dini mulai 46 tahun

8. Gizi.

67

Page 69: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Protein yang berlebihan akan menurunkan kadar kalsium dalam plasma, diet garam,

perokok, peminum aklohol, dan kopi yang berat.

1. Endokrin, kadar estrogen plasma yang kurang

2. Obat, misalnya corticosteroid,dll

3. Fatique damage atau kerusakan tulang karena keletihan

4. Jenis kelamin. Osteoporosis pada perempuan lebih sering daripada laki-laki

dengan perbandingan 3:1

Klasifikasi

1. Osteoporosis Primer (80%)

Terutama pada tulang belakang, femur dan pergelangan tangan

Tipe I sering pada wanita pascamenopause

Tipe II sering pada usia senile >75 tahun baik pada laki-laki dan perempuan

2. Osteoporosis Sekunder

Sering akibat penyakit lain. Contoh : akromegali, hiperparatiroidisme primer, DM

tipe I, Corticosteroid jangka lama, keganasan misalnya: myeloma multipel.

3. Osteoporosis Idiopathic

Penyebab tidak diketahui, jarang, sering pada anak – anak, remaja, wanita

pramenopause dan laki – laki usia pertengahan.

Diagnosis

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

- nyeri tulang terutama terasa pada tulang belakang yang intensitas serangannya

meningkat pada malam hari.

- deformitas tulang.

Dapat terjadi fraktur traumatic pada vertebra dan menyebabkan kifosis anguler yang

dapat menyebabkan medulla spinalis tertekan sehingga dapat terjadi paraparesis.

Pemeriksaan Labor

Pemeriksaan kadar osteokalsin dan alkali fosfatase untuk menilai proses osteoblastik

dan pemeriksaan piridinolin crosslink (Pyd) dan deoksipiridinolin crosslink (Dpd) pada

proses osteoklastik.

68

Page 70: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Selain itu juga dapat digunakan untuk mengetahui osteoporosis sekunder seperti

hiperparatiroidisme (kadar TSH dan FT4), hiperparatiroidisme primer (kadar iPTH dan

mmPTH), sindrom Cushing (kortisol) dan myeloma (SPE dan hematologi rutin).

Kadar Ca, Fosfat, Kalsitonin dan vitamin D juga dapat turut diperiksa.

Pencitraan

Radiografi = codfish deformity/fish mouth pada vertebra setelah penurunan masa

tulang >30%

CT Scan bila dicurigai adanya keganasan

DEXA (Dual X-Ray Absorptiometry) yang paling sensitif dan akurat. Setiap

pengurangan massa tulang 1 SD meningkatkan kemungkinan patah tulang 2 – 2,5 kali.

Berdasarkan densitas mineral tulang (bone mass density=BMD) menurut WHO :

BMD normal <-1SD

BMD rendah/osteopenia -1SD sampai -2,5SD

Osteoporosis <-2,5 SD

Osteoporosis berat <-2,5SD + fraktur

Tata Laksana Komprehensif

- Preventif : dengan menjaga asupan kalsium dan vitamin D, berjemur di sinar

matahari pagi, senam osteoporosis

-Kuratif

farmakologi :

terapi sulih hormon (gold standard) namun perlu pengawasan dokter ahli

karena kemungkinan terjadinya keganasan

kalsitonin

bifosfonat

garam florida

steroid anabolic

vitamin D dan turunannya

Kalsium (1000 mg/hr untuk pria dan 1500 mg/hr untuk wanita)

Non farmakologi

Terapi fisik

69

Page 71: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Terapi psikis

Senam osteoporosis

Perbaikan gizi

Perbaikan gaya hidup

Mengurangi obat yang mempengaruhi timbulnya osteoporosis

Rehabilitasi

Komplikasi

Fraktur patologis pada:

- Tulang belakang

- Kolumna femoris

- Pergelangan tangan = tersering

Prognosis

Semakin tinggi derajat BMD prognosis semakin baik karena semakin rendah juga

resiko menderita fraktur.

70

Page 72: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Obesitas

a. Definisi

Kelebihan berat badan (overweight dan obesitas) merupakan suatu penyakit

multifaktorial, yang terjadi akibat akumulasi jaringan lemak berlebihan, sehingga dapat

mengganggu kesehatan. Kelebihan berat badan terjadi bila besar dan jumlah sel lemak

bertambah pada tubuh seseorang. Bila seseorang bertambah berat badannya maka ukuran

sel lemak akan bertambah besar dan kemudian jumlahnya bertambah banyak (Sugondo,

2007).

Secara tradisional didefinisikan sebagai suatu kelebihan akumulasi energi tubuh,

dalam bentuk lemak atau jaringan adiposa, dimana timbul akibat disregulasi sistem

keseimbangan energi (Goran and Astrup, 2002)

b. Etiologi

Beberapa faktor penyebab terjadinya kelebihan berat badan antara lain:

1) Psikogenik

2) Neurogenik ;Lesi pada pusat rasa kenyang di nukleus ventromedialis hipotalamus

menyebabkan seseorang makan secara berlebihan.

3) Genetik ;Kegemukan cenderung terjadi secara familial, sehingga ada hubungan

dengan genetik.

4) Kelebihan nutrisi pada masa kanak-kanak ;Laju pembentukan sel lemak baru

terutama cepat pada beberapa tahun pertama kehidupan, dan semakin besar laju

penyimpanan lemak, semakin besar pula jumlah sel lemak, dan jumlah sel tetap

hampir sama sampai akhir kehidupan.

5) Sosiokultur; Tingkat pendidikan, pendapatan, pekerjaan dan status perkawinan

berpengaruh terhadap berat badan seseorang. Masyarakat dengan pendapatan tinggi

cenderung memiliki resiko terjadinya kelebihan berat badan, di mana kemudahan

untuk mendapatkan makanan semakin tinggi. Selain itu kesibukan dan tersedianya

berbagai fasilitas yang menunjang akan mengurangi aktivitas fisik seseorang.

(Guyton dan Hall, 1997b; Suastika, 2006).

c. Penilaian Satus Gizi

71

Page 73: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Menurut World Health Organisation (2006) Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah

indeks yang sederhana yang paling sering digunakan untuk mengklasifikasikan status gizi

pada populasi dewasa dan perorangan. Yang dijabarkan dengan rumus:

IMT = Berat Badan (kg)

Tinggi Badan (m2)

Menurut Center of Disease Control (2009), status gizi ditentukan dengan

menggunakan berat badan dan tinggi badan untuk menghitung angka IMT. IMT ini

digunakan karena untuk sebagian besar orang sering dikaitkan dengan jumlah lemak tubuh.

Korelasinya dengan lemak tubuh cukup tinggi, dan WHO mempromosikan IMT sebagai

indikator sederhana sebagai pandangan tentang berat badan (Deurenberg and

Roubenoff,2002).

World Health Organization (2006) menjelaskan bahwa IMT merupakan cara

penghitungan yang paling bermanfaat dan tidak dibedakan untuk kedua jenis kelamin dan

segala usia pada dewasa.

Klasifikasi Indeks Massa Tubuh (IMT)

Underweight < 18.5

Normal 18.5 – 24.9

Overweight 25.0 ≤

Preobese 25.0 – 29.9

Obese kelas l 30.0 – 34.9

Obese kelas ll 35.0 – 39,9

Obese kelas lll ≥ 40.0

(Deurenberg and Roubenoff, 2002)

Penggunaan IMT hanya berlaku untuk orang dewasa berumur di atas 18 tahun. IMT

tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan. Di samping itu

IMT juga tidak bisa diterapkan pada keadaan khusus (penyakit) lainnya seperti edema,

ascites, dan hepatomegali (Supariyasa, 2002).

Hubungan antara Kelebihan Berat Badan dengan Inkontinensia Urin

72

Page 74: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Kelebihan berat badan kerap kali dihubungkan dengan berbagai masalah kesehatan,

salah satunya adalah kelainan dasar panggul, termasuk inkontinensia urin. Wanita dengan

berat badan atau IMT yang tinggi memiliki peningkatan resiko terjadinya inkontinensia

urin. Ada beberapa alasan mekanik dan fisiologi mengapa peningkatan IMT dikaitkan

dengan inkontinensia urin. Semakin tinggi IMT seseorang maka diikutii peningkatan

tekanan intra abdomennya yang semakin tinggi. Tentu saja peningkatan ini akan semakin

menekan dasar panggul dan mengurangi kemampuan pengendalian uretra dan kandung

kemih. Pada keadaan ini besarnya peningkatan tekanan intra abdomen mampu untuk

menekan urin ke uretra dengan sangat mudah. (Luber, 2004; Greer et al., 2008).

Diungkapkan juga bahwa wanita yang kelebihan berat badan lebih jarang bergerak

memiliki tonus otot lebih rendah dibanding wanita yang lebih langsing. Selain itu para

wanita dengan berat badan berlebih yang melakukan program penurunan berat badan,

menujukkan adanya penurunan tekanan abdomen, dan program ini mampu menurunkan

frekuensi inkontinensia secara signifikan. Dari beberapa hal ini cukup menunjukkan

adanya hubungan antara kelebihan berat badan dengan inkontinensia urin. (Subak et al.,

2009; Swanson et al., 2005).

73

Page 75: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Sistolik hipertensi

Hipertensi dicirikan dengan peningkatan tekanan darah diastolik dan sistolik yang

intermiten atau menetap.

Pada populasi lansia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan

tekanan diastolik 90 mmHg. (Smeltzer,2001).Menurut WHO ( 1978 ), tekanan darah sama

dengan atau diatas 160 / 95 mmHg dinyatakan sebagai hipertensi.

Pada Populasi manula, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan

tekanan diastolik 90 mmHg (Brunner & Suddarth, 1996)

Klasifikasi

Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi menjadi :

1. Hipertensi primer atau esensial

Penyebab pasti masih belum diketahui. Jenis ini adalah yang terbanyak, yaitu

sekitar 90-95% dari seluruh pasien hipertensi. Riwayat keluarga,obesitas,diit

tinggi natrium,lemak jenuh dan penuaan adalah faktor pendukung. Walaupun

faktor genetik sepertinya sangat berhubungan dengan hipertensi primer, tapi

mekanisme pastinya masih belum diketahui.

2. Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder akibat penyakit ginjal atau penyebab yang terindentifikasi

lainya. Hipertensi yang penyebabnya diketahui seperti hipertensi renovaskuler,

feokromositoma, sindrom cushing, aldosteronisme primer, dan obat-obatan, yaitu

sekitar 2-10% dari seluruh pasien hipertensi.

Klasifikasi Hipertensi Berdasarkan Pedoman Joint National Committee 7

Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)

Optimal

Normal

115 atau kurang

< 120

75 atau kurang

< 80

Prehipertensi 120-139 80-89

Hipertensi stage I 140-159 90-99

Hipertensi stage II ≥ 160 ≥ 100

Berdasarkan klasifikasi dari JNC-VI maka hipertensi pada usia lanjut dapat dibedakan:

74

Page 76: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Hipertensi sistolik saja (Isolated systolic hypertension), terdapat pada 6-12%

penderita di atas usia 60th, terutama pada wanita. Insioden meningkat seiring

bertambahnya umur.

Hipertensi diastolic saja (Diastolic hypertension), terdapat antara 12-14%

penderita di atas usia 60th, terutama pada pria. Insidensi menurun seiring

bertambahnya umur.

Hipertensi sistolik-diastolik: terdapat pada 6-8% penderita usia di atas 60 th, lebih

banyak pada wanita. Menningkat dengan bertambahnya umur.

Etiologi

Dengan perubahan fisiologis normal penuaan, faktor resiko hipertensi lain meliputi

diabetes ras riwayat keluarga jenis kelamin faktor gaya hidup seperti obesitas asupan

garam yang tinggi alkohol yang berlebihan.

Faktor resiko yang mempengaruhi hipertensi yang dapat atau tidak dapat dikontrol,

antara lain:

a. Faktor resiko yang tidak dapat dikontrol:

Faktor risiko yang tidak dapat diubah, seperti riwayat keluarga (genetik

kromosomal), umur (pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun), jenis kelamin pria

atau wanita pasca menopause.

a. Jenis kelamin

Prevalensi terjadinya hipertensi pada pria sama dengan wanita.Namun

wanita terlindung dari penyakit kardiovaskuler sebelum menopause. Wanita

yang belum mengalami menopause dilindungi oleh hormon estrogen yang

berperan dalam meningkatkan kadar High Density Lipoprotein (HDL).

Kadar kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor pelindung dalam

mencegah terjadinya proses aterosklerosis. Efek perlindungan estrogen

dianggap sebagai penjelasan adanya imunitas wanita pada usia

premenopause. Pada premenopause wanita mulai kehilangan sedikit demi

sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari

kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana hormon estrogen tersebut

berubah kuantitasnya sesuai dengan umur wanita secara alami, yang

umumnya mulai terjadi pada wanita umur 45-55 tahun.

75

Page 77: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Dari hasil penelitian didapatkan hasil lebih dari setengah penderita hipertensi

berjenis kelamin wanita sekitar 56,5%.Hipertensi lebih banyak terjadi pada

pria bila terjadi pada usia dewasa muda. Tetapi lebih banyak menyerang

wanita setelah umur 55 tahun, sekitar 60% penderita hipertensi adalah

wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan perubahan hormon setelah

menopause.

b. Umur

Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi orang

yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari orang

yang berusia lebih muda. Hipertensi pada usia lanjut harus ditangani secara

khusus. Hal ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan hati mulai menurun,

karena itu dosis obat yang diberikan harus benar-benar tepat. Tetapi pada

kebanyakan kasus , hipertensi banyak terjadi pada usia lanjut. hipertensi

sering terjadi pada usia pria : > 55 tahun; wanita : > 65 tahun. Hal ini

disebabkan terjadinya perubahan hormon sesudah menopause. Hanns Peter

(2009) mengemukakan bahwa kondisi yang berkaitan dengan usia ini adalah

produk samping dari keausan arteriosklerosis dari arteri-arteri utama,

terutama aorta, dan akibat dari berkurangnya kelenturan. Dengan

mengerasnya arteri-arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta itu

kehilangan daya penyesuaian diri.

c. Keturunan (Genetik)

Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akanmenyebabkan keluarga itu

mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan

peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium

terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai

risiko dua kali lebih besar untuk menderita hipertensi dari pada orang yang

tidak mempunyai keluarga dengan riwayat hipertensi. Seseorang akan

memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang

tuanya adalah penderita hipertensi.

b. Faktor resiko yang dapat dikontrol:

76

Page 78: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

1. Obesitas

Pada usia + 50 tahun dan dewasa lanjut asupan kalori mengimbangi

penurunan kebutuhan energi karena kurangnya aktivitas. Itu sebabnya berat

badan meningkat. Obesitas dapat memperburuk kondisi lansia. Kelompok

lansia dapat memicu timbulnya berbagai penyakit seperti artritis, jantung dan

pembuluh darah, hipertensi. Indeks masa tubuh (IMT) berkorelasi langsung

dengan tekanan darah, terutama tekanan darah sistolik. Risiko relatif untuk

menderita hipertensi pada orang obes 5 kali lebih tinggi dibandingkan

dengan seorang yang berat badannya normal. Pada penderita hipertensi

ditemukan sekitar 20-30% memiliki berat badan lebih.

2. Kurang Olahraga.

Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan penyakit tidak menular,

karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang

akan menurunkan tekanan darah (untuk hipertensi) dan melatih otot jantung

sehingga menjadi terbiasa apabila jantung harus melakukan pekerjaan yang

lebih berat karena adanya kondisi tertentu Kurangnya aktivitas fisik

menaikan risiko tekanan darah tinggi karena bertambahnya risiko untuk

menjadi gemuk. Orang-orang yang tidak aktif cenderung mempunyai detak

jantung lebih cepat dan otot jantung mereka harus bekerja lebih keras pada

setiap kontraksi, semakin keras dan sering jantung harus memompa semakin

besar pula kekuaan yang mendesak arteri.

3. Kebiasaan Merokok

Merokok menyebabkan peninggian tekanan darah. Perokok berat dapat

dihubungkan dengan peningkatan insiden hipertensi maligna dan risiko

terjadinya stenosis arteri renal yang mengalami ateriosklerosis.

4. Mengkonsumsi garam berlebih

Badan kesehatan dunia yaitu World Health Organization (WHO)

merekomendasikan pola konsumsi garam yang dapat mengurangi risiko

terjadinya hipertensi. Kadar sodium yang direkomendasikan adalah tidak

lebih dari 100 mmol (sekitar 2,4 gram sodium atau 6 gram garam) perhari.

Konsumsi natrium yang berlebih menyebabkan konsentrasi natrium di dalam

cairan ekstraseluler meningkat. Untuk menormalkannya cairan intraseluler

77

Page 79: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

ditarik ke luar, sehingga volume cairan ekstraseluler meningkat.

Meningkatnya volume cairan ekstraseluler tersebut menyebabkan

meningkatnya volume darah, sehingga berdampak kepada timbulnya

hipertensi.

5. Minum alkohol

Banyak penelitian membuktikan bahwa alkohol dapat merusak jantung dan

organ-organ lain, termasuk pembuluh darah. Kebiasaan minum alkohol

berlebihan termasuk salah satu faktor resiko hipertensi.

6. Minum kopi

Faktor kebiasaan minum kopi didapatkan dari satu cangkir kopi mengandung

75 – 200 mg kafein, di mana dalam satu cangkir tersebut berpotensi

meningkatkan tekanan darah 5 -10 mmHg.

7. Stress

Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf

simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten

(tidak menentu). Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan

darah menetap tinggi. Menurut Anggraini (2009) mengatakan stres akan

meningkatkan resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung sehingga

akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis. Adapun stres ini dapat

berhubungan dengan pekerjaan, kelas sosial, ekonomi, dan karakteristik

personal.

Tanda Dan Gejala

Seperti penyakit degeneratif pada lanjut usia lainnya, hipertensi sering tidak

memberikan gejala apapun atau gejala yang timbul tersamar (insidious) atau tersembunyi

(occult). Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis beberapa pasien yang menderita

hipertensi yaitu : Mengeluh sakit kepala, pusing Lemas, kelelahan, Sesak nafas, Gelisah,

Mual Muntah, Epistaksis, Kesadaran menurun

Pemeriksaan Penunjang

a. Hemoglobin / hematokrit

78

Page 80: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

b. Untuk mengkaji hubungan dari sel – sel terhadap volume cairan (viskositas) dan dapat

mengindikasikan factor – factor resiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia.

c. BUN : memberikan informasi tentang perfusi ginjal

d. Glukosa

Hiperglikemi (diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi) dapat diakibatkan oleh

peningkatan katekolamin (meningkatkan hipertensi).

e. Kalium serum

Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron utama (penyebab) atau menjadi

efek samping terapi diuretik.

f. Kalsium serum: Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan hipertensi.

g. Kolesterol dan trigliserid serum

Peningkatan kadar dapat mengindikasikan pencetus untuk / adanya pembentukan plak

ateromatosa ( efek kardiovaskuler )

h. Pemeriksaan tiroid: Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi dan hipertensi.

i. Kadar aldosteron urin/serum

Untuk mengkaji aldosteronisme primer ( penyebab ).

j. Urinalisa

Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan atau adanya diabetes.

k. Asam urat

Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi.

l. Steroid urin: Kenaikan dapat mengindikasikan hiperadrenalisme

m. IVP

Dapat mengidentifikasi penyebab hieprtensiseperti penyakit parenkim ginjal, batu ginjal

/ ureter.

n. Foto dada: Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran jantung.

o. CT scan: Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati.

p. EKG

Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan konduksi,

peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.

Komplikasi

79

Page 81: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Pasien dengan hipertensi dapat meninggal dengan cepat; penyebab tersering

kematian adalah penyakit jantung, sedangkan stroke dan gagal ginjal sering ditemukan,

dan sebagian kecil pada pasien dengan retinopati.

a. Komplikasi pada Sistem Kardiovaskuler

Kompensasi akibat penambahan kerja jantung dengan peningkatan tekanan

sistemik adalah hipertrofi ventrikel kiri, yang ditandai dengan penebalan dinding

ventrikel. Hal ini menyebabkan fungsi ventrikel memburuk, kapasitasnya

membesar dan timbul gejala-gejala dan tanda-tanda gagal jantung. Angina

pektoris dapat timbul sebagai akibat dari kombinasi penyakit arteri koronaria

dan peningkatan kebutuhan oksigen miokard karena penambahan massanya.

Pada pemeriksaan fisik, didapatkan pembesaran jantung dengan denyut ventrikel

kiri yang menonjol. Suara penutupan aorta menonjol dan mungkin ditemukan

murmur dari regurgitasi aorta. Bunyi jantung presistolik (atrial, keempat) sering

terdengar pada penyakit jantung hipertensif, dan bunyi jantung protodiastolik

(ventrikuler, ketiga) atau irama gallop mungkin saja ditemukan. Pada

elektrokardiogram, ditemukan tanda-tanda hipertrofi ventrikel kiri. Bila penyakit

berlanjut, dapat terjadi iskemi dan infark. Sebagian besar kematian dengan

hipertensi disebabkan oleh infark miokard atau gagal jantung kongestif. Data-

data terbaru menduga bahwa kerusakan miokardial mungkin lebih diperantarai

oleh aldosteron pada asupan garam yang normal atau tinggi dibandingkan hanya

oleh peningkatan tekanan darah atau kadar angiotensin II.

b. Efek Neurologik

Efek neurologik pada hipertensi lanjut dibagi dalam perubahan pada retina

dan sistem saraf pusat. Karena retina adalah satu-satunya jaringan dengan arteri

dan arteriol yang dapat langsung diperiksa, maka dengan pemeriksaan

optalmoskopik berulang memungkinkan pengamatan terhadap proses dampak

hipertensi pada pembuluh darah retina.

Efek pada sistem saraf pusat juga sering terjadi pada pasien hipertensi.

Sakit kepala di daerah oksipital, paling sering terjadi pada pagi hari, yang

merupakan salah satu dari gejala-gejala awal hipertensi. Dapat juga ditemukan

’keleyengan’, kepala terasa ringan, vertigo, tinitus dan penglihatan menurun atau

80

Page 82: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

sinkope, tapi manifestasi yang lebih serius adalah oklusi vaskuler, perdarahan

atau ensefalopati. Patogenesa dari kedua hal pertama sedikit berbeda. Infark

serebri terjadi secara sekunder akibat peningkatan aterosklerosis pada pasien

hipertensi, dimana perdarahan serebri adalah akibat dari peningkatan tekanan

darah dan perkembangan mikroaneurisma vaskuler serebri (aneurisma Charcot-

Bouchard). Hanya umur dan tekanan arterial diketahui berpengaruh terhadap

perkembangan mikroaneurisma.

Ensefalopati hipertensi terdiri dari gejala-gejala : hipertensi berat,

gangguan kesadaran, peningkatan tekanan intrakranial, retinopati dengan

papiledem dan kejang. Patogenesisnya tidak jelas tapi kemungkinan tidak

berkaitan dengan spasme arterioler atau udem serebri. Tanda-tanda fokal

neurologik jarang ditemukan dan jikalau ada, lebih dipikirkan suatu infark /

perdarahan serebri atau transient ischemic attack.

Hipertensi atau tekanan darah tinggi memberikan kelainan pada retina

berupa retinopati hipertensi, dengan arteri yang besarnya tidak beraturan,

eksudat pada retina, edema retina dan perdarahan retina. Kelainan pembuluh

darah dapat berupa penyempitan umum atau setempat, percabangan pembuluh

darah yang tajam, fenomena crossing atau sklerosis pembuluh darah.

c. Efek pada Ginjal

Lesi aterosklerosis pada arteriol aferen dan eferen serta kapiler glomerulus

adalah lesi vaskuler renal yang paling umum pada hipertensi dan berakibat pada

penurunan tingkat filtrasi glomerulus dan disfungsi tubuler. Proteinuria dan

hematuria mikroskopik terjadi karena lesi pada glomerulus dan ± 10 % kematian

disebabkan oleh hipertensi akibat gagal ginjal. Kehilangan darah pada hipertensi

terjadi tidak hanya dari lesi pada ginjal; epitaksis, hemoptisis dan metroragi juga

sering terjadi pada pasien-pasien ini.

Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan hipertensi adalah mengurangi morbiditas dan mortalitas

yang berkaitan dengan sistem kardiovaskuler dan ginjal. Karena kebanyakan penderita

81

Page 83: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

hipertensi, khususnya yang berusia > 50 tahun akan mencapai target tekanan diastol saat

target tekanan sistol sudah dicapai, sehingga fokus utamanya adalah mencapai target

tekanan sistol. Penurunan tekanan sistol dan diastol < 140 / 90 mmHg berhubungan dengan

penurunan terjadinya komplikasi stroke, dan pada pasien hipertensi dengan diabetes

melitus, target tekanan darah ialah < 130 / 80 mmHg.

Penalaksanaan hipertensi dilandasi oleh beberapa prinsip, yaitu :

1. Pengobatan hipertensi sekunder lebih mendahulukan pengobatan kausal.

2. Pengobatan hipertensi esensial ditujukan untuk menurunkan tekanan darah

dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi.

3. Upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan menggunakan obat

antihipertensi.

4. Pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangka panjang, bahkan mungkin

seumur hidup.

5. Pengobatan dengan menggunakan standart triple therapy (stt) menjadi dasar

pengobatan hipertensi.

Pemakain obat pada lanjut usia perlu dipikirkan kemungkinan adanya :

a. Gangguan absorsbsi dalam alat pencernaan

b. Interaksi obat

c. Efek samping obat.

d. Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui ginjal.

Pada pengobatan hipertensi ada tiga hal evaluasi menyeluruh terhadap kondisi

penderita adalah :

a. Pola hidup dan indentifikasi ada tidaknya faktor resiko kardiovaskuler.

b. Penyebab langsung hipertensi sekunder atau primer.

c. Organ yang rusak karena hipertensi.

Secara garis besar, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan

obat antihipertensi, yaitu:

1. Mempunyai efektivitas yang tinggi

82

Page 84: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

2. Mempunyai toksisitas dan efek samping yang ringan atau minimal

3. Memungkinkan penggunaan obat secara oral.

4. Tidak menimbulkan intoleransi

5. Harga obat relatif murah sehingga terjangkau oleh penderita.

6. Memungkinkan penggunaan obat dalam jangka panjang

Tidak jarang penatalaksanaan hipertensi dengan menggunakan obat-obat

antihipertensi mengalami kegagalan, yang dapat disebabkan oleh hal-hal di bawah

ini :

1. Ketidakpatuhan penderita

2. Peningkatan volume oleh karena peningkatan asupan natrium, kerusakan ginjal,

dan kurangnya pemberian diuretik

3. Obesitas

4. Dosis yang tidak adekuat

5. Interaksi obat

6. Kontrasepsi oral

7. Penggunaan obat-obat steroid

8. Hipertensi sekunder

Klasifikasi dan Managemen Tekanan Darah untuk Dewasa *

BP Classification SBP

(mmHg)

*

DBP

(mmHg)

*

Lifestyle

Modificati

on

Initial Drug Therapy

Without

Compelling

Indication

With Compelling

Indication

Normal < 120 and < 80 Encourage

Prehypertension 120-139 or 80-89 Yes No

antihypertensive

indicated

Drug(s) for

compelling

indications. ‡

83

Page 85: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Stage I

Hypertension

140-159 or 90-99 Yes Thiazide-type

diuretics for most.

May consider

ACEI , ARB,

BB , CCB or

combination.

Drug(s) for the

compelling

indications. ‡

Other

antihypertensive

drugs (diuretics,

ACEI, ARB, BB,

CCB) as needed.

Stage II

Hypertension

≥ 160 ≥ 100 Yes Two-drug

combination for

most † (usually

thiazide-type

diuretic and ACEI

or ARB or BB or

CCB)

SBP : Systolic Blood Pressure

DBP : Diastolic Blood Pressure.

Drug abbreviations : BP :

ACEI : Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor

ARB : Angiotensin Receptor Blocker

CCB : Calsium Channel Bloker.

BB : Beta-Bloker

* Treatment determined by highest BP category.† Initial combined therapy should be used cautiously in those at risk for orthostatic

hypotension.‡ Treat patients with chronic kidney disease or diabetes or BP goal < 130/80 mmHg

2.4.1 Konsep Penatalaksanaan Hipertensi Terkini

Joint National Committee VII merekomendasikan konsep terapi yang terbaru

yaitu :

a. Pasien dengan tekanan darah sistolik 120-139 mmHg dan tekanan darah

diastolic 80-89 mmHg hanya memerlukan penatalaksanaan

nonfarmakologis dengan cara modifikasi gaya hidup.

84

Page 86: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

b. Pasien yang tidak memiliki komplikasi hipertensi, diperlukan

penatalaksanaan secara farmakologis dengan diberikan obat golongan

diuretik atau bisa juga diberikan obat dari golongan lain.

c. Lebih memperhatikan tekanan darah sistolik dan penanganannya harus

dimulai jika tekanan darah sistolik meningkat walaupun tekanan darah

diastoliknya tidak.

d. Sebagian besar pasien hipertensi memerlukan obat kombinasi

antihipertensi, salah satunya adalah obat dari golongan diuretik tiazid.

e. Kebanyakan pasien hipertensi memerlukan 2 atau lebih pengobatan untuk

mencapai tekanan darah ± 20/10 mmHg di atas tekanan darah yang

diinginkan.

f. Golongan ACE Inhibitor sendiri atau kombinasi dengan golongan diuretic

masih merupakan terapi pilihan yang terbaik untuk pasien dengan

hipertensi yang sudah mengalami komplikasi penyakit jantung.

Bila hipertensi yang terjadi tanpa disertai dengan komplikasi atau penyakit

penyerta lain, maka pengobatan adalah mudah. Penatalaksanaan untuk

hipertensi dibagi menjadi :

1. Non Farmakologis atau modifikasi gaya hidup.

2. Farmakologis

A. Non farmakologis atau modifikasi gaya hidup meliputi :

Jaga berat badan ideal. Turunkan berat badan bila IMT ≥ 27

Membatasi alkohol.

Olahraga teratur sesuai dengan kondisi tubuh.

Mengurangi asupan natrium (<100 mmol Na, atau 2.4 g Na , atau 6 g NaCl/hari)

Mempertahankan asupan kalium (90 mmol/hari)

Berhenti merokok.

Kurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol dalam makanan.

Modifikasi Gaya Hidup Penatalaksanaan Hipertensi *†

Modification Recommendation Approximate SBP

85

Page 87: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Reduction (Range)

Weight reduction Maintain normal body weight (BMI 18,5 –

24,9 kg/m2)

5-20 mmHg / 10 kg

weight loss

Adopt DASH

eating plan

Consume a diet rich in fruits, vegetables

and low fat dairy products with a reduced

content of saturated and total fat

8-14 mmHg

Dietary sodium

reduction

Reduced dietary sodium intake to no more

than 100 mmol per day (2,4 g sodium or 6 g

sodium chloride)

2-8 mmHg

Physical activity Engage in regular aerobic physical activity

such as brisk walking (at least 30 min per

day, most days of the week)

4-9 mmHg

Moderation of

alcohol

consumption

Limit consumption to no more than 2 drinks

(1 oz or 30 ml ethanol; e.g. 24 oz beer, 10

oz wine, or 3 oz 80-proof whiskey) per day

in most men and to no more thsn 1 drink per

day in women and lighter weight persons

2-4 mmHg

DASH, Dietary Approaches to Stop Hypertension

* For overall cardiovascular risk reduction, stop smoking.

† The effects of implementing these modifications are dose and time dependent, and

could be greater for some individuals.

B. Farmakologis :

Obat-obat Antihipertensi :

1. Diuretik

Cara kerja : meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air sehingga

volume plasma dan cairan ekstrasel.

Untuk terapi jangka panjang pengaruh utama adalah mengurangi resistensi

perifer.

Terdapat beberapa golongan, yaitu :

a. Diuretik Tiazid dan sejenisnya (paling luas digunakan) , contoh :

- Hidroklorotiazid (HCT) – tab 25 dan 50 mg

- Klortalidonn – tab 50 mg

86

Page 88: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

- Bendroflumentiazid – tab 5 mg

- Indapamid – tab 2,5 mg

- Xipamid – tab 20 mg

b. Diuretik kuat :

a. Furosemid – tab 40 mg

c. Diuretik hemat kalium :

a. Amilorid – tab 5 mg

b. Spironolakton – tab 25 dan 100 mg

Efek samping : hipotensi dan hipokaleia.

2. Penghambat Adrenergik

Efektif untuk menurunkan denyut jantung dan curah jantung, serta

menurunkan sekresi renin

Kontraindikasi bagi pasien gagal jantung kongestif

Terdiri dari golongan :

- penghambat adrenoreseptor α / α –bloker : terazosin, doxazosin,

prazosin

- penghambat adrenoreseptor β / β-bloker : propanolol, asebutolol,

atenolol, bisoprolol

- penghambat adrenoreseptor α dan β : labetalol

- adrenolitik sentral : klonidin, metildopa, reserpin, guanfasin

3. Vasodilator

Bekerja langsung pada pembuluh darah dengan cara relaksasi otot polos

yang akan mengakibatkan penurunan resistensi pembuluh darah

Yang termasuk golongan ini adalah natrium nitroprusid, hidralazin,

doksazosin, prazosin, minoksidil, diaksozid.

Yang paling sering digunakan adalah natrium nitroprusid dengan efek

samping hipotensi ortostatik.

4. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin

Bekerja menghambat sistem renin-angiotensin, menstimulasi sintesis

prostaglandin dan juga mengurangi aktivitas saraf simpatis

87

Page 89: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Preparat yang paling banyak digunakan adalah Kaptopril, diberikan 1 jam

sebelum makan. Pada gagal ginjal dosis dikurangi (bila CCT > 1.5 mg%).

Efek samping : batuk kering , eritema, gangguan pengecap, proteinuria,

gagal ginjal dan agranulositosis.

5. Antagonis Kalsium

Mempunyai efek mengurangi tekanan darah dengan cara menyebabkan

vasodilatasi perifer yang berkaitan dengan refleks takikardi yang kurang

nyata dan retensi cairan yang kurang daripada vasodilator lainnya.

Preparat yang biasa digunakan seperti nifedipin, nikardipin, felodipin,

amilodipin, verapamil dan diltiazem.

6. Antagonis Reseptor Angiotensin II (AIIRA / ARB)

Merupakan golongan obat antihipertensi terbaru, tidak mempengaruhi

produksi Angiotensin II tetapi memblok di tempat kerja pada organ target.

Kelebihannya adalah tidak menimbulkan batuk karena tidak mempengaruhi

metabolisme bradikinin.

Proses apoptosis dan regenerasi jaringan juga tetap berlangsung karena

reseptor tidak dipengaruhi.

Prinsip pemberian obat anti hipertensi pada lansia :

Dimulai dengan 1 macam obat dengan dosis kecil (START LOW GO SLOW)

Penurunan tekanan darah sebaiknya secara perlahan, untuk penyesuaian

autoregulasi guna mempertahankan perfusi ke organ vital.

Regimen obat harus sederhana dan dosis sebaiknya sekali sehari

Antisipasi efek samping obat-obat antihipertensi

Pemantauan tekanan darah untuk evaluasi efektivitas pengobatan

Setelah tercapai target maka pemberian obat harus disesuaikan kembali untuk

maintenance (Gambar 2)

Pengobatan harus segera dilakukan pada hipertensi berat dan apabila terdapat

kelainan target organ. Oleh karena fungsi ginjal telah menurun dan terdapat

gangguan metabolisme obat, sebaiknya dosis awal dimulai dengan dosis yang lebih

88

Page 90: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

rendah. Pada hipertensi tanpa komplikasi golongan diuretik dosis rendah (HCT 12,5

– 25 mg atau setara) yang dikombinasi dengan diuretik hemat kalium dapat diberi

sebagai pengobatan awal. Obat anti hipertensi lain dapat diberikan atas indikasi

spesifik.

Pada pasien dengan payah jantung, obat penghambat ACE dan diuretik

merupakan obat pilihan pertama. Tetapi pada pemberian diuretika sering

menimbulkan efek hipokalemia dan hiponatremia karena kedua mineral tadi ikut

terbuang bersama urine.

Pada pasien pascainfark miokard, pemakaian penyebat β yang kardioselektif

dianjurkan. Akan tetapi pada umumnya pemakaian penyekat β tidak begitu disukai

oleh karena menimbulkan perburukan penyakit vaskuler perifer dan bronkospastik.

Penghambat α merupakan pilihan pada pasien dengan dislipidemia dan hipertrofi

prostat, akan tetapi harus hati-hati terhadap efek hipotensi ortostatik, karena hal ini

dapat menyebabkan lansia jatuh bahkan sampai mengalami komplikasi fraktur.

Antagonis kalsium jangka panjang cukup efektif, terutama karena mempunyai

efek natriuretik dan dianjurkan pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Pada

pasien dengan diabetes dan proteinuria diindikasikan pemakaian obat penghambat

ACE.

Obat simpatolitik sentral seperti metildopa, klonidin dan guanfasin walaupun

efektif, pemakaiannya kurang dianjurkan pada usia lanjut karena efek samping

sedasi, mulut kering dan hipotensi ortostatik. Dan obat-obat yang mempunyai

pengaruh pada susunan saraf pusat, α dan ß bloker dapat mengakibatkan depresi serta

penurunan kesadaran/fungsi kognitif.

Pemberian antihipertensi pada lansia harus hati-hati karena pada lansia terdapat :

Penurunan refleks baroreseptor sehingga meningkatkan risiko hipotensi ortostatik.

Gangguan autoregulasi otak sehingga iskemia serebral mudah terjadi dengan

hanya sedikit penurunan tekanan darah sistemik.

Penurunan fungsi ginjal dan hati sehingga terjadi akumulasi obat.

Pengurangan volume intravaskular sehingga sensitif terhadap deplesi cairan.

Sensitivitas terhadap hipokalemi sehingga mudah terjadi aritmia dan kelemahan

otot.

89

Page 91: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Pemberian obat juga harus dipikirkan mengenai penyakit komorbid yang ada pada

lansia itu. Jangan sampai obat antihipertensif yang kita beri mempunyai efek

samping yang dapat memperberat gejala penyakit komorbid.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka sebaiknya obat-obat yang dapat menyebabkan

hipotensi ortostatik, yaitu guanetidin, guanadrel, alfa bloker dan labetolol sebaiknya

dihindarkan atau diberikan dengan hati-hati, tekanan darah diturunkan perlahan-

lahan dengan cara memberi dosis awal yang lebih rendah dan peningkatan dosis yang

lebih kecil dengan interval yang lebih panjang dari biasanya pada penderita yang

lebih muda, dan pilihan antihipertensi harus secara individual, berdasarkan pada

kondisi penyerta.

Tahap-tahap yang perlu diperhatikan agar terapi hipertensi dapat berhasil adalah :

1. Diagnosis yang tepat dan sedini mungkin (pengukuran beberapa kali dan kalau

perlu lebih dari 1 kali kunjungan)

2. Pendidikan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan akan bahaya

hipertensi dan makna serta manfaat bila tekanan darah dapat dinormalkan.

3. Menyampaikan data yang akurat dari studi klinik pada tenaga kesehatan maupun

masyarakat, khususnya mengenai manfaat penurunan/terapi hipertensi.

4. Meningkatkan kepatuhan berobat atau control pasien.

5. Memotivasi para tenaga kesehatan untuk berusahamenurunkan tekanan darah

pasien hipertensi.

6. Menggunakan obat antihipertensi yang dapat ditoleransi dengan baik dan yang

dapat dimakan sekali sehari.

Terapi Kombinasi

Biasanya bila terapi dengan satu macam obat gagal untuk mencapai sasaran,

maka perlu ditambahkan obat ke-2 dengan dosis rendah dahulu dan tidak

meningkatkan dosis obat pertama. Hal ini adalah upaya untuk memaksimalkan efek

penurunan tekanan darah dengan efek samping seminimal mungkin. Pada penelitian

HOT, terapi kombinasi diperlukan pada sekitar 70% penderita. Dalam JNC-VII,

para ahli bahkan menganjurkan terapi antihipertensi kombinasi langsung pada

penderita yang ada pada stadium 1. Walaupun dosis campuran tetap banyak

90

Page 92: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

disediakan oleh pabrik farmasi, upaya titrasi dosis secara individual dianggap lebih

baik. Berikut diberikan pedoman yang dianut oleh para ahli hipertensi di Inggris

yang disebut sebagai The Birmingham Hypertension Square.

The Birmingham Hypertension Square

Mulai terapi pada kotak manapun dan gunakan terapi tambahan dengan obat

yang ditunjuk oleh panah. Obat-obatan pada kotak yang berdekatan memiliki efek

antihipertensi tambahan, aksi yang saling melengkapi dan biasanya ditoleransi

dengan baik.

ACE Inhibitor atau Bloker Reseptor

Angiotensin II

Diuretik

Nasihat nonfarmakologik : garam, berat badan, alkohol, olahraga, rokok

Bloker Kanal Kalsium golongan

dihidropiridine β-Bloker

91

Page 93: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

92

Page 94: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Atrial fibrilasi

Atrial Fibrilasi atau fibrilasi atrium. Atrial Fibrilasi merupakan aritmia yang paling

umum. aritmia adalah sebuah masalah dengan kecepatan atau irama denyut jantung.

Sebuah gangguan pada sistem listrik jantung menyebabkan AF dan jenis lain aritmia.

Atrial Fibrilasi terjadi ketika cepat, sinyal-sinyal listrik tidak terorganisir dalam dua

jantung bilik yang di atas, disebut atrium, menyebabkan mereka kontrak sangat cepat dan

tidak teratur (ini disebut fibrilasi).

Akibatnya, darah kolam di atrium dan tidak dipompa sepenuhnya menjadi dua bilik

jantung lebih rendah, yang disebut ventrikel. Ketika ini terjadi, ruang jantung atas dan

bawah tidak bekerja sama sebagaimana mestinya.

Etiologi / Penyebab Atrial Fibrilasi

Atrial fibrilasi (AF) terjadi ketika sinyal-sinyal listrik bepergian melalui jantung

dilakukan normal dan menjadi tidak teratur dan sangat cepat.

Ini adalah akibat dari kerusakan sistem kelistrikan jantung. Kerusakan ini paling

sering hasil dari kondisi lain, seperti penyakit arteri koroner atau tekanan darah tinggi,

yang mempengaruhi kesehatan jantung. Kadang-kadang, penyebab AF tidak diketahui.

Atrial fibrilasi (AF) biasanya menyebabkan ventrikel berkontraksi lebih cepat dari

biasanya. Ketika ini terjadi, ventrikel tidak memiliki cukup waktu untuk mengisi

sepenuhnya dengan darah untuk memompa ke paru-paru dan tubuh.

Manifestasi Klinis / Tanda dan Gejala Atrial Fibrilasi

• Palpitasi (perasaan yang kuat dari detak jantung yang cepat atau "berdebar" dalam

dada)

• Sesak napas

• Kelemahan atau kesulitan berolahraga

• Nyeri dada

• Pusing atau pingsan

• Kelelahan (kelelahan)

• Kebingungan

Patofisiologi / Patogenesis Atrial Fibrilasi

93

Page 95: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Aktivasi fokal fokus diawali biasanya dari daerah vena pulmonalis timbulnya

gelombang yang menetap dariàMultiple wavelet reentry depolarisasi atrial atau wavelets

yang dipicu oleh depolarisasi atrial premature atau aktivitas aritmogenik dari fokus yang

tercetus secara cepat. Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan mekanisme fibrilasi

ventrikel kecuali bila prosesnya ternyata hanya di massa otot atrium dan bukan di massa

otot ventrikel. Penyebab yang sering menimbulkan fibrilasi atrium adalah pembesaran

atrium akibat lesi katup jantung yang mencegah atrium mengosongkan isinya secara

adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat kegagalan ventrikel dengan pembendungan darah

yang banyak di dalam atrium. Dinding atrium yang berdilatasi akan menyediakan kondisi

yang tepat untuk sebuah jalur konduksi yang panjang demikian juga konduksi lambat, yang

keduanya merupakan faktor predisposisi bagi fibrilasi atrium.

Karakteristik Pemompaan Atrium Selama Fibrilasi Atrium.

Atrium tidak akan memompa darah selama Atrial Fibrilasi berlangsung. Oleh karena

itu atrium tidak berguna sebagai pompa primer bagi ventrikel. Walaupun demikian, darah

akan mengalir secara pasif melalui atrium ke dalam ventrikel, dan efisiensi pompa

ventrikel akan menurun hanya sebanyak 20 – 30 %. Oleh karena itu, dibanding dengan

sifat yang mematikan dari fibrilasi ventrikel, orang dapat hidup selama beberapa bulan

bahkan bertahun-tahun dengan fibrilasi atrium, walaupun timbul penurunan efisiensi dari

seluruh daya pompa jantung. 2

Patofisiologi Pembentukan Trombus pada Atrial Fibrilasi.

Pada Atrial Fibrilasi aktivitas sitolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi penurunan

atrial flow velocities yang menyebabkan statis pada atrium kiri dan memudahkan

terbentuknya trombus. Pada pemeriksaan TEE, trombus pada atrium kiri lebih banyak

dijumpai pada pasien Atrial Fibrilasi dengan stroke emboli dibandingkan dengan Atrial

Fibrilasi tanpa stroke emboli. 2/3 sampai ¾ stroke iskemik yang terjadi pada pasien dengan

Atrial Fibrilasi non valvular karena stroke emboli. Beberapa penelitian menghubungkan

Atrial Fibrilasi dengan gangguan hemostasis dan thrombosis. Kelainan tersebut mungkin

akibat dari statis atrial tetapi mungkin juga sebgai kofaktor terjadinya tromboemboli pada

Atrial Fibrilasi. Kelainan-kelainan tersebut adalah peningkatan faktor von Willebrand

( faktor VII ), fibrinogen, D-dimer, dan fragmen protrombin 1,2. Sohaya melaporkan Atrial

Fibrilasi akan meningkatkan agregasi trombosit, koagulasi dan hal ini dipengaruhi oleh

lamanya Atrial Fibrilasi.

94

Page 96: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Komplikasi Atrial Fibrilasi

Atrial Fibrilasi memiliki dua komplikasi utama - stroke dan gagal jantung.

Pemeriksaan Penunjang Atrial Fibrilasi

• Pemeriksaan Fisik :

Tanda vital : denyut nadi berupa kecepatanØ dengan regularitasnya, tekanan darah

Tekanan vena jugularisØ

Ø Ronki pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung kongestif

Ø Irama gallop S3 pada auskultasi jantung menunjukan kemungkinan terdapat gagal

jantung kongestif, terdapat bising pada auskultasi kemungkinan adanya penyakit katup

jantung

Hepatomegali : kemungkinan terdapatØ gagal jantung kanan

Edema perifer : kemungkinan terdapat gagalØ jantung kongestif

• Laboratorium : hematokrit ( anemia ), TSH ( penyakit gondok ), enzim jantung bila

dicurigai terdapat iskemia jantung.

• Pemeriksaan EKG : dapat diketahui antara lain irama ( verifikasi AF ), hipertrofi

ventrikel kiri. Pre-eksitasi ventrikel kiri, sindroma pre-eksitasi ( sindroma WPW ),

identifikasi adanya iskemia.

• Foto Rontgen Toraks : Gambaran emboli paru, pneumonia, PPOK, kor pulmonal.

• Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran dari atrium dan

ventrikel, hipertrofi ventrikel kiri, fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow dan TEE ( Trans

Esophago Echocardiography ) untuk melihat trombus di atrium kiri.

• Pemeriksaan Fungsi Tiroid. Tirotoksikosis. Pada AF episode pertama bila laju

irama ventrikel sulit dikontrol.

• Uji latih : identifikasi iskemia jantung, menentukan adekuasi dari kontrol laju irama

jantung.

• Pemeriksaan lain yang mungkin diperlukan adalah holter monitoring studi

elektrofisiolagi.

Penatalaksanaan / Penanganan / Pengobatan / Terapi Atrial Fibrilasi

Tujuan yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan Atrial Fibrilasi adalah

mengembalikan ke irama sinus, mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan

komplikasi tromboemboli. Dalam penatalaksanaan Atrial Fibrilasi perlu diperhatikan

apakah pada pasien tersebut dapat dilakukan konversi ke irama sinus atau cukup dengan

95

Page 97: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

pengontrolan laju irama ventrikel. Pada pasien yang masih dapat dikembalikan ke irama

sinus perlu segera dilakukan konversi, sedangkan pada Atrial Fibrilasi permanen sedikit

sekali kemungkinan atau tidak mungkin dikembalikan ke irama sinus, alternatif

pengobatan dengan menurunkan laju irama ventrikel harus dipertimbangkan.

Prognosis Atrial Fibrilasi

Penelitian epidemiologi telah menunjukan bahwa pasien dengan irama sinus hidup

lebih lama dibandingkan dengan seseorang kelainan atrium. Penelitian juga menunjukkan

penggunaan antikoagulan dan pengontrolan secara rutin bertuuan untuk asimtomatik pada

pasien usia lanjut. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa terapi medis yang ditujukan

untuk mengendalikan irama jantung tidak menghasilkan keuntungan keberhasilan

dibandingkan dengan terapi kontrol rate dan antikoagulan.

Terapi Atrial Fibrilasi secara keseluruhan memberikan prognosis yang lebih baik

pada kejadian tromboemboli terutama stroke. Atrial Fibrilasi dapat mencetuskan takikardi

cardiomiopati bila tidak terkontrol dengan baik. Terbentuknya Atrial Fibrilasi dapat

menyebabkan gagal jantung pada individu yang bergantung pada komponen atrium dari

cardiac output dimana pasien dengan penyakit jantung hipertensi dan pada pasien dengan

penyakit katup jantung termasuk dalam resiko tingi akan terjadinya gagal jantung saat

terjadi Atrial Fibrilasi.

96

Page 98: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Menopause

Menopause adalah suatu fase alamiah yang akan dialami oleh setiap wanita

yang biasanya terjadi diatas usia 40 tahun. Ini merupakan suatu akhir proses

biologis dari siklus menstruasi yang terjadi karena penurunan produksi hormon estrogen

yang dihasilkan indung telur. Berhentinya haid akan membawa dampak pada konsekuensi

kesehatan baik fisik maupun psikis (Yudomustopo, 1999).

Kata menopause yang berasal dari kata Yunani yang berarti “bulan” dan

“penghentian sementara”, yang secara linguistik lebih tepat disebut menocease.

Secara medis istilah menopause berarti menocease, karena berdasarkan defenisinya

menopause itu berarti berhentinya menstruasi (bukan istirahat).

Arti menopause yang tidak jelas ini dikarenakan gejala-gejala yang muncul

sebelum menstruasi juga berhenti (Reitz, 1993). Menopause merupakan sebuah kata yang

mempunyai banyak arti. Men dan pauseis adalah kata Yunani yang pertama kali digunakan

untuk menggambarkan berhentiya haid. Menurut kepustakaan abad ke-17 dan ke-18,

menopause dianggap suatu bencana dan malapetaka, sedangkan wanita post-menopause

dianggap tidak berguna dan tidak menarik lagi (Kasdu, 2002).

Masa Klimakterium, Proses, Batasan Usia Menopause dan Jenis Menopause

Masa Klimakterium

Menurut siklus kehidupan wanita normal, setiap kehidupan seorang wanita

mengalami fase-fase perkembangan tertentu. Dalam hal ini, fase-fase yang berkaitan

dengan berbagai fungsi organ reproduksi wanita. Fase tersebut dibagi tiga tahap, yaitu

masa sebelum, sedang berlangsung dan setelah menstruasi (Kasdu, 2002).

Proses Menopause

Menurut Aina (2009) yang mengutip pendapat Fachrudin, secara endokrinologis,

wanita mengalami proses menua sejak di kandungan. Sejumlah 7.000.000 sel telur (folikel)

terdapat pada kedua ovarium janin yang berusia 22-24 minggu dan berkurang akibat

penghancuran sehingga sewaktu dilahirkan folikel bayi wanita tinggal 2.000.000 buah.

Jumlah tersebut menjadi 200.000 saat mendapat haid pertamanya pada masa pubertas.

Semakin sedikit folikel berkembang, semakin kurang pembentukan hormon di ovarium,

97

Page 99: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

yaitu hormon progesteron dan estrogen. Haid akan menjadi tidak teratur hingga akhirnya

endometrium akan kehilangan rangsangan hormon estrogen. Lambat laun haid pun

berhenti, disebut proses menopause (Kasdu, 2002).

Batasan Usia Menopause

Menopause terjadi pada akhir suatu siklus yang dimulai pada masa remaja dengan

munculnya menarche. Umumnya wanita barat pertama kali mendapat menstruasi pada usia

12 tahun, sedangkan haid berakhir pada usia 45 sampai 53 tahun. Relatif sedikit wanita

mulai menopause pada usia 40 tahun dan beberapa

mengalaminya setalah usia 40 tahun. Masa ini dikenal dengan masa pra menopause.

Mekanisme inkontinensia pada wanita menopause

Pada masa menopause terjadi prubahan edokrin yang diduga berkaitan dengan

proses penuaan yang terjadi pada aksis hipotalamus-hipofisis dan ovarium. Akibatnya

terjadi gangguan interaksi antara hormin yang dihasilkan oleh ketiga organ tersebut.

Trutama twrjadi penurunan produksi hormone estrogen oleh ovarium. Penurunan hormone

estrogen (estradiol) ini disebabkan oleh proses penuaan pada ovarium. Akibatnya ovarium

menjadi kecil,dindingnya tebal dan tidak dapt lagi menjawab rangsangan hormon FSH

untuk membentuk estradiol. Penurunan estradiol mencapai kadar < 108 pg/ml dan

peningkatan FSH mencapai >25 m IU /ml , yang menandakan awal dari masa menopause .

Pada masa menopause estradiol menurun sampai dibawah 10 %.

Hormon estrogen bekerja pada organ sasaran melalui reseptor estrogen alfa dan

beta. Jaringan yang memiliki reseptor ini adalah kulit ,otak ,tulang,uterus ,vesika

urinaria,uretra,ovarium,kardiovaskuler, dan payudara. Jaringan yang hanya memiliki

reseptor estrogen beta adalah traktus gastrointestinal,sedangkan jaringan yang hanya

memiliki reseptor alfa adalah hepar. Interaksi estrogen dengan reseptorya akan

menghasilkan proses anabolic. Akibatnya bila terjadi penurunan estrogen terutama pada

traktus urinarius perempuan menopause akan perubahan struktur dan fungsi. Estrogen

dapat mempertahankan kontinesia dengan menigkatkan resistensi uretrs,menigkatkan

ambang sensoris kandung kemih dan meningkatkan sensitivitas alfa adreno reseptor pada

oto polos uretra.

98

Page 100: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Ureta dan ureter merupakan jaringan yang tergantung pada estrogen . penurunan

estrogen diduga ikut berperan dalam perubahan struktur dan fungsi pada dinding uretra dan

kandung kemih yang menyebabkan berbagai keluhan . Uretra mempunya empat lapisan

fungsional yang sensitive terhadap estrogen terdiri dari epitel ,vaskuler, jaringan

penyokong dan otot polos yang berfungsi pada pemeliharaan tekanan uretra. Keluhan

yang ditimbulkan berupa inkontinensia urin, peningkatan frekuensi berkemih ,nokturia

dan kesulitan berkemih.

Inkontinensia urin disebabkan perubahan pada jaringan epitel dan vascular yang

terletak di antara mukosa dan jaringan otot. Bagian distal uretra akan menjadi kaku dan

tidak elastis sehingga sukar untuk menutup sempurna. Bila kandung kemih penuh maka

tetesan urin dapat keluar tidak terkontrol. Penutupan yang tidak sempurna juga

menyebabkan bakteri dan substansi berbahaya lain dapat masuk ke dalam kandung kemih

sehingga dapat terjadi inflamasi uretra dan kandung kemih.

Inkontinensia diatas terjadi akibat proses penuaan akibat penurunan kadar estrogen.

Secara mekanisme dapat disebakan:

1. Uretra gagal untuk menutup secara sempurna dan menjadi sangat mudah

digerakkan . Disebut Uretra hipermonilitas.

2. Kelemahan otot yang melingkari leher kandung kemih. Disebut Defisiensi Sfingter

intrindik / Intrinsic sphincteric deficiency ( ISD)

99

Page 101: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

VII. Kerangka Konsep

VIII. Kesimpulan

Inkontinensia urine adalah ketidakmampuan menahan kencing. Anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang baik, dengan beberapa prosedur diagnostik yang diperlukan

mempunyai hasil yang baik untuk menegakkandiagnosis gangguan ini. Jenis inkontinensia

urine yang utama yaitu inkontinensiastres, urgensi, luapan dan fungsional. Penatalaksanaan

konservatif dilakukanpada kasus inkompetem sfingter uretra sebelum terapi bedah. Bila

dasar inkontinensia neurogen atau mental maka pengobatan disesuaikan dengan faktor

penyebab.

100

Page 102: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

IX. Daftar Pustaka

Aru W. Sudoyo. 2009. Inkontinensia urin dan kandung kemih hiperaktif.

Jakarta:Interna Publising. Hal. 869

Cummings JM, Rodning CB .2000. Urinary stress incontinence among obese

women:Review of pathophysiology therapy. Int UroQynecol J 11:41-44.

Elder, R. and Kelleher C. Urogynecology in handbook of gynecology management.

London: Blackwell Science Ltd, 2002. p. 292-7

Espallargues M, Estrada MD, Solà M, Sampietro-Colom L, Rìo LD, Granados A.

Bone densitometry in Catalonia, diffusion and practice. Catalan Agency for Health

Technology Assessment, Barcelona 1999.

Fahron, A. , 2006.Tesis: Faktor-faktor yang berhubungan dengan inkontinensia urin

tipe stres pada perempuan usia lanjut di RSCM Jakarta. Universitas Indonesia.

Hailey D, Sampietro-Colom L, Marshall D, Rico R, Granados A, Asua J, et al.

INAHTA project on the effectiveness of bone density measurement and associated

treatments for prevention of fractures, Statement of findings. Alberta Heritage Foundation

for Medical Research 1996.

McKinley M, O'Loughlin VD: Urinary system. In Human Anatomy. New York,

McGraw-Hill, 2006, p 843

Pranarka K. 20011. Inkontinensia Urin. Buku Ajar Boedhi Darmojo Geriatri

Ed.4.Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 237

Purnomo B. Basuki. 2009. Dasar-dasar urologi edisi kedua. Malang:

FakulasKedokteran Universitas Brawijaya. Hal. 108-112.

Rajan, SS and Kohli N. Incontinence and pelvic floor dysfunction in primary care:

epidemiology and risk factors in urogynecology in primary care. London: Springer-Verlag

London Ltd, 2007. p. 1-4

Rachman IA. 2004.Osteoporosis primer pada wanita pasca menopause ( Peranan

Hormon Estrogen Menjelang Usia Lanjut) . Maj. Obstet Ginekol Indones

101

Page 103: LAPORAN Skenario C Blok 24 Fix (1)

Rusult from the National Osteoporosis Risk Assessment.Identification anda fractur

outcomes.JAMA 2001;286:2815-2822

Saigal, C. and Litwin MS. Epidemiology of female urinary incontinence in female

urology, urogynecology, and voiding dysfunction. New York: Marcel Dekker, 2005. p. 45-

8

Santoso BI. 2008 .Inkontinensia urin pada perempuan. MKI. ;vol58(no.7): 258-64

Setiati S, Pramantara IDP. Buka ajar ilmu penyakit dalam. Inkontinensiaurin dan

kandung kemih hiperaktif. Jilid I. Edisi ke-5. Jakarta:InternaPublishing; 2009: hal 865-875.

Siti Maryam, et al. 2008.Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta:Salemba

Medika;

Suparman E.2002. Patofisiologi/ Gejala Klinik Masa Perimenopause .Temu Ilmiah:

Fertilitas Endokrinologi Reproduksi. Bandung.

Vitriana. Evaluasi dan manajemen medis inkontinensia urin. Bagian Ilmu

Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi FK-UNPAD, 2002.

Weber, AM and Walters MD. Epidemiology of incontinence and prolapse in vaginal

surgery for incontinence and prolapse. London: Springer-Verlag London Limited, 2006. p.

11-8

Winkjosastro, H. (editor ketua). Beberapa aspek urologi pada wanita dalam ilmu

kandungan. Ed.2. Cetakan 7. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2009. Hal:

460-5

Wiratmoko, A. Tesis: Pola inkontinensia urin pada wanita usia diatas lima puluh

tahun. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2003.

Yunizaf H. 2000. Overactive Bladder .Kumpulan Makalah Simposium :

Inkontinensia. Bali

102