Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

63
I. PENDAHULUAN SKENARIO PBL 3 Informasi 1 Tuan T usia 55 tahun dating ke RSMS dengan keluhan pinggang kanan terasa pegal, menurut anamnesis dokter , gejala tersebut sudah dirasakan Tuan T sejak 2 hari yang lalu, rasa pegal hanya dirasakan di daerah pinggang kanan, pasien mengaku mudah capek setiap kali bekerja, nafsu makan berkurang, sering merasa mual, pasien juga merasa produksi air kencingnya sangat sedikit, dari pagi hingga sore pasien mengaku hanya sekali kencing itupun dengan jumlah yang sangat sedikit, kedua tungkai pasien juga terasa lebih besar. Informasi 2 Riwayat Penyakit Dahulu Tuan T merupakan penderita gula dan hipertensi sejak 10 tahun yang lalu, namun tuan T jarang mengontrol gula dan tekanan darahnya, pasien juga kurang teratur mengkonsumsi obat gula dan obat antihipertensi, terakhir kontrol 3 bulan yang lalu kadar Gula Puasanya 200 mg/dl, tekanan darahnya 160/90 mmHg, hasil cek darah kreatinin serum 1,8 mg/dl dan ureum 40 mg/dl, dokter sudah menyarankan untuk tinggal di RS dan diobservasi, namun pasien menolak dan meminta rawat jalan. 1

Transcript of Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

Page 1: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

I. PENDAHULUAN

SKENARIO PBL 3

Informasi 1

Tuan T usia 55 tahun dating ke RSMS dengan keluhan pinggang kanan terasa

pegal, menurut anamnesis dokter , gejala tersebut sudah dirasakan Tuan T sejak

2 hari yang lalu, rasa pegal hanya dirasakan di daerah pinggang kanan, pasien

mengaku mudah capek setiap kali bekerja, nafsu makan berkurang, sering merasa

mual, pasien juga merasa produksi air kencingnya sangat sedikit, dari pagi hingga

sore pasien mengaku hanya sekali kencing itupun dengan jumlah yang sangat

sedikit, kedua tungkai pasien juga terasa lebih besar.

Informasi 2

Riwayat Penyakit Dahulu

Tuan T merupakan penderita gula dan hipertensi sejak 10 tahun yang lalu,

namun tuan T jarang mengontrol gula dan tekanan darahnya, pasien juga kurang

teratur mengkonsumsi obat gula dan obat antihipertensi, terakhir kontrol 3 bulan

yang lalu kadar Gula Puasanya 200 mg/dl, tekanan darahnya 160/90 mmHg, hasil

cek darah kreatinin serum 1,8 mg/dl dan ureum 40 mg/dl, dokter sudah

menyarankan untuk tinggal di RS dan diobservasi, namun pasien menolak dan

meminta rawat jalan.

Riwayat Penyakit Keluarga

Orang tua Tuan T menderita gula

Riwayat Sosial, Ekonomi, Lingkungan

Tuan T merupakan seorang manajer perusahaan yang cukup sibuk dengan

kegiatannya.

Informasi 3

Pemeriksaan Fisik :

Keadaan umum : tampak lemah

Tanda vital

Tekanan darah : 170/100 mmHg

1

Page 2: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

Nadi : 100x/menit

Suhu : 36,10C

Respirasi : 26x/menit

Berat Badan : 76 Kg

Tinggi Badan : 1,65 m

Kepala : konjungtiva anemis (+)

Thorax : dalam batas normal

Abdomen

Inspeksi : tinggi sama dengan dinding dada, sikatrik (-), jejas (-)

Auskultasi : bising usus (+) (10x/menit)

Perkusi : timpani (+), nyeri ketok CVA (+/-), pekak alih (-)

Palpasi : supel (+), nyeri tekan (-), ballottement ginjal (-/-),

hepar dan lien tidak teraba

Extremitas : oedem tungkai kanan/kiri +/+

Informasi 4

Pemeriksaan Penunjang :

Lab Hasil Nilai Rujukan

Eritrosit 3,3 L : 4,5 – 5,5

P : 4,0 – 5,0

Hb (Hemoglobin) 9,2 L : 13,0 – 16,0

P : 12,0 – 14,0

Ht (Hematokrit) 40 L : 45 – 55

P : 40 – 50

Hitung jenis

Basofil 0 0,0 – 1,0

Eosinofil 3 1,0 – 3,0

Batang 3 2,0 – 6,0

Segmen 55 50,0 – 70,0

Limfosit 30 20,0 – 40,0

Monosit 6 2,0 – 8,0

LED (Laju Endap 11 L : <10

2

Page 3: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

Darah) P : <15

Creatinin 6,1 0,7 – 1,3 mg/dL

Ureum 60 20 – 40 mg/dL

ALT (SGPT) 18 L : <30 U/L

P : <23 U/L

AST (SGOT) 19 L : <25 U/L

P : <21 U/L

Alkaline Fosfatase 40 15 – 69 U/L

GGT 20 5 – 38 U/L

Bilirubin total 0,5 0,25 – 1,0 mg/dL

Bilirubin langsung 0,15 0,0 – 0,25 mg/dL

Protein total 65 61 – 82 g/L

Albumin 40 37 – 52 g/L

Gula darah sewaktu 240 <200 mg/dL

Diagnosis :

Gagal Ginjal Kronik Stadium 5 (GFR 14,7 ml/menit)

Informasi 5

Terapi

Memperlambat kerusakan ginjal yang terjadi

Mengatasi faktor yang mendasari gagal ginjal kronis (misalnya: kencing

manis, hipertensi, dll)

Mengobati komplikasi dari penyakit

Menggantikan fungsi ginjal yang sudah tidak bekerja

Diet rendah protein (0,4-0,8 gram/kgBB)

Diet kalori 147-168 kL/kg/hari

Diet kalium <60 mmol/hari, Na <100 mmol/hari, phosphat <800 mg/hari

Hindari penggunaan obat-obatan yang diekskresikan lewat ginjal / nefrotoksik

Inisiasi hemodialisis bila CrCl <15 ml/menit

Kontrol gula dengan insulin

Kontrol tekanan darah dengan antihipertensi ARB (valsartan 1x80 mg) / CCB

3

Page 4: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

(amlodipin 1x5 mg) / Captopril 3x25 mg

Agen perangsang eritropoesis (epoetin alfa)

Loop diuretik bisa bermanfaat bila GFR >25 ml/menit

Transplantasi

Konsul nefrologis

Informasi 6

Prognosis dipengaruhi multisistem, semakin terlambat diagnosis dan

ditangani ahli semakin meningkatkan komorbid dan mortalitas, transplantasi bisa

bermanfaat dengan survival rate 2 tahun >80%.

II. ISI

4

Page 5: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

A. Klarifikasi Istilah

1. Edema

Edema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh penimbunan

cairan di dalam jaringan tubuh. Penumpukan cairan itu terjadi di bawah

kulit bagian tertentu, seperti kaki, paru-paru, rongga perut, otak, dll.

Edema dapat terjadi apabila seseorang menderita penyakit gagal jantung

atau gagal ginjal. Edema dapat disebabkan karena penurunan tekanan

osmotik koloid, peningkatan tekanan hidrostatik kapiler, peningkatan

permeabilitas kapiler, obstruksi limfatik, dan kelebihan natrium dan air

tubuh (Tambayong, 2007).

2. Produksi air kencing sangat sedikit

Produksi air kencing sangat sedikit dalam istilah kedokteran disebut

dengan istilah oliguria, biasanya kurang dari 400 ml/ hari pada orang

dewasa, dan dapat menjadi salah satu tanda awal dari gagal ginjal dan

masalah urologi lainnya atau penyumbatan di dalam saluran kemih.

Kondisi ini dapat diobati dengan diagnosis yang tepat dan pengobatan.

Oliguria dapat menjadi prekursor untuk anuria, yaitu tidak adanya

produksi urin (Purnomo, 2003).

3. Pegal di daerah pinggang kanan

Pegal di daerah pinggang kanan disebabkan oleh penyebab non-

mekanis yaitu karena faktor-faktor yang tidak melibatkan faktor fisik, akan

tetapi lebih melibatkan berbagai organ tubuh lainnya seperti adanya

sebuah gangguan pada ginjal, mulai adanya indikasi batu ginjal serta

kandung empedu yang bermasalah (Nursalam, 2008).

B. Batasan Masalah

1. Identitas

a. Nama : Tuan T

b. Jenis kelamin : Pria

c. Umur : 55 tahun

2. Riwayat penyakit sekarang

5

Page 6: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

a. Keluhan utama : Pegal hanya pada pinggang kanan

b. Onset : 2 hari

c. Kualitas : -

d. Kuantitas : -

e. Progresifitas : -

f. Faktor memperberat : -

g. Faktor memperingan : -

h. Gejala penyerta : Mudah capek setiap kali bekerja, nafsu

makan menurun, mual, produksi air kencing sangat sedikit dalam

sehari, tungkai lebih besar

3. Riwayat penyakit dahulu

Penyakit gula (+), hipertensi (+) sejak 10 tahun yang lalu.

Tuan T jarang mengontrol gula dan tekanan darahnya, kurang teratur

mengkonsumsi obat gula dan obat antihipertensi.

Terakhir kontrol 3 bulan yang lalu : Kadar Gula Puasanya 200 mg/dl,

tekanan darahnya 160/90 mmHg, hasil cek darah kreatinin serum 1,8

mg/dl dan ureum 40 mg/dl, dokter sudah menyarankan untuk tinggal di RS

dan diobservasi, namun pasien menolak dan meminta rawat jalan.

4. Riwayat penyakit keluarga

Orang tua Tuan T penyakit gula (+)

5. Riwayat penyakit sosial

Tuan T seorang manajer perusahaan yang cukup sibuk dengan

kegiatannya

C. Analisis Masalah

1. Proses filtasi glomerulus dan faktor yang mempengaruhi

Menurut Sherwood (2011) terdapat 3 gaya yang berperan dalam

filtrasi glomerulus:

a. Tekanan darah kapiler glomerulus

Tekanan darah kapiler glomerulus adalah tekanan cairan yang

ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus. Tekanan ini

bergantung pada kontraksi jantung dan resistensi terhadap aliran darah

6

Page 7: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

yang ditimbulkan oleh arteriol aferen dan eferen. Tekanan darah kapiler

glomerulus, dengan nilai rerata diperkirakan 55 mmHg, lebih tinggi

daripada tekanan darah kapiler di tempat lain. Penyebab lebih tingginya

tekanan di kapiler glomerulus adalah garis tengah arteriol aferen yang

lebih besar dibandingkan dengan arteriol eferen. Karena darah dapat

lebih mudah masuk ke glomerulus melalui arteriol aferen yang lebar

daripada keluar melalui arteriol eferen yang lebih sempit maka tekanan

darah kapiler glomerulus tetap tinggi akibat terbendungnya darah

dikapiler glomerulus.

Sementara tekanan darah kapiler glomerulus mendorong filtrasi, dua

gaya yang lain yang bekerja menembus membran glomerulus (tekanan

osmotik koloid plasma dan tekanan hidrostatik kapsul Bowman)

melawan filtrasi.

b. Tekanan osmotik koloid plasma

Tekanan osmotik koloid plasma ditimbulkan oleh distribusi tak

seimbang protein-protein plasma di kedua sisi membran glomerulus.

Karena tidak dapat difiltrasi maka protein plasma terdapat di kapiler

glomerulus tetapi tidak dikapsula Bowman. Karena itu, konsentrasi H2O

lebih tinggi di kapsul Bowman daripada di kapiler glomerulus. Timbul

kecenderungan H2O untuk berpindah melalui osmosis menuruni gradien

konsentrasinya sendiri dari kapsul Bowman ke dalam glomerulus

melawan filtrasi glomerulus. Gaya osmotik oposan ini rata-rata 30

mmHg.

c. Tekanan hidrostatik kapsula Bowman

Tekanan hidrostatik kapsula Bowman merupakan tekanan yang

ditimbulkan oleh cairan di bagian awal tubulus ini, diperkirakan sekitar

15 mmHg.

Karena tekanan filtrasi netto yang menyebabkan filtrasi glomerulus

hanyalah disebabkan oleh ketidakseimbangan gaya-gaya fisik yang saling

berlawanan antara plasma kapiler glomerulus dan cairan kapsula Bowman,

maka perubahan di salah satu dari gaya-gaya fisik ini dapat mempengaruhi

LFG.Laju filtasi glomerulus juga bergantung pada koefisien filtrasi (Kf)

7

Page 8: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

selain tekanan filtrasi netto. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi K f,

yaitu luas permukaan dan permeabilitas membran glomerulus. (Sherwood,

2011).

Luas permukaan yang tersedia untuk filtrasi di dalam glomerulus

diwakili oleh permukaan dalam kapiler glomerulus yang berkontak dengan

darah. Setiap kuntum kapiler glomerulus disatukan oleh sel mesangium.

Sel-sel ini mengandung elemen kontraktil (yaitu filamen mirip aktin).

Kontraksi sel-sel mesangium ini menutup sebagian kapiler filtrasi,

mengurangi luas permukaan yang tersedia untuk filtrasi di dalam kuntum

glomerulus. Ketika tekanan filtrasi netto tidak berubah maka penurunan K f

ini menurunkan LFG. (Sherwood, 2011).

Podosit juga memiliki filamen kontraktil mirip aktin, yang

kontraksi atau relaksasinya masing-masing dapat menurunkan atau

meningkatkan jumlah celah filtrasi yang terbuka di membran dalam kapsul

Bowman dengan mengubah bentuk dan kedekatan foot process. Jumlah

celah adalah penentu permeabilitas; semakin banyak celah yang terbuka,

semakin besar permeabilitas. (Sherwood, 2011).

2. Patofisiologi gejala

a. Edema dan produksi urin sedikit

Edema menunjukkan adanya cairan berlebihan di jaringan tubuh.

Edema sering terjadi pada kompartemen cairan ekstrasel, tapi dapat

juga melibatkan kompartmen cairan intrasel (Guyton, 2012).

1) Edema intrasel

Dua kondisi yang memudahkan terjadinya pembengkakakn

intrasel yaitu depresi siemng. Peradangan metabolisme jaringan dan

tidak adanya nutrisi sel yang adekuat. Contohnya bila aliran darah ke

jaringan menurun, pengiriman oksigen dan nutrien berkurang. Jika

aliran darah menjadi sangat rendah untuk mempertahankan

metabolisme jaringan normal, maka pompa ion membran sel menjadi

tertekan. Bila hal ini terjadi, ion natrium yang biasanya masuk ke

dalam sel tidak dapat lagi dipompa keluar dari sel, dan kelebihan ion

natrium dalam sel menimbulkan osmosis air ke dalam sel. Edema

8

Page 9: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

intrasel juga dapat terjadi pada jaringan yang meradang. Peradangan

biasanya mempunyai efek langsung pada membran sel yaitu

meningkatnya permeabilitas membran, dan memungkinkan natrium

dan ion-ion lain berdifusi masuk ke dalam sel, yang diikuti dengan

osmosis air ke dalam sel (Guyton, 2012).

2) Edema ekstrasel

Edema ekstrasel terjadi apabila ada akumulasi cairan yang

berlebihan dalam ruang ekstrasel. Mekanisme fisiologi yang

berkontribusi dalam pembentukan edema yaitu peningkatan tekanan

filtraasi kapiler, penurunan tekanan osmotik koloid kapiler,

peningkatan permeabilitas kapiler, atau obstruksi pada aliran limfe

(Porth, et al., 2008 ; Guyton 2012).

a) Peningkatan tekanan filtraasi kapiler

Ketika kemampuan fitrasi pada kapiler meningkat, maka

perpindahancairan dari dalam vaskular ke ruang intersisial

meningkat. Penurunan ekskresi natrium dan air dari ginjal

memicu peningkatan volume ekstraseluler. Hal ini disebabkan

karena peningkatan volume kapiler serta perbedaan tekanan yang

terjadi mendorong perpindahan cairan ke jaringan (Porth, et al.,

2008).

b) Penurunan tekanan osmotik koloid kapiler

Protein plasma selama ini digunakan untuk mendorong

kembali cairan dari jaringan ke kapiler dengan fungsinya sebagai

zat yang mengatur tekanan osmotik, yaitu sebagai protein plasma.

Perbedaaan tekanan inilah yang membuat tubuh menjadi edema.

Penyebab ini biasanya didasari karena produksi yang inadekuat

dari protein plasma yang keluar secara abnormal, terutama

albumin. Tempat yang paling sering menyebabkan kehilangan

protein adalah ginjal (Porth, et al., 2008).

c) Peningkatan permeabilitas kapiler

9

Page 10: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

Ketika pori kapiler membesar dan kehilangan integritasnya

maka permeabilitasnya akan meningkat. Ketika hal ini terjadi,

protein plasma dan partikel osmotik aktif keluar ke ruang

intersisial. Meningkatkan tekanan osmotik dan berkontribusi

dalam akumulasi cairan intersisial. Contohnya pada luka bakar,

inflamasi, dan respon imun (Porth, et al., 2008).

d) Obstruksi pada aliran limfe

Protein plasma dan partikel-partikel besar tidak dapat

direabsorbsi melewati membran kapiler dari sistem limfatik.

Sehingga terjadi penumpukan cairan dalam tubuh (Porth, et al.,

2008).

Pada kasus gagal ginjal kronik, Penurunan jumlah glomeruli yang

normal menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang

seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Menurunnya glomerulo filtrat rate

(GFR) mengakibatkan penurunan klirens kreatinin dan peningkatan

kadar kreatinin serum. Hal ini menimbulkan gangguan metabolisme

protein dalam usus yang menyebabkan anoreksia, nausea maupan

vomitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan

tubuh. Pada penyakit ginjal tahap akhir urin tidak dapat

dikonsentrasikan atau diencerkan secara normal sehingga terjadi

ketidakseimbangan cairan elektrolit. Hal ini juga menyebabkan ekskresi

urin yang sedikit dan kurang dari normal, yaitu kurang dari 400ml/dl

pada orang dewasa. Dengan tertahannya natrium dan cairan bisa terjadi

edema pada tubuh (Porth, et al., 2008).

10

Page 11: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

Gambar 1. Patofisiologi Edema (Porth, et al., 2008 ; Guyton 2012).

b. Mudah capek

Pada gagal ginjal kronik, anemia merupakan temuan yang selalu

ditemukan. Salah satu gejala dari anemia adalah mudah capek atau

lelah. Anemia atau yang ditandai dengan mudah lelah dalam kasus ini

terjadi karena kekurangan eritorsit yang berada dalam tubuh. Sehingga,

oksigen dan zat makanan yang diperlukan oleh sel dalam tubuh tidak

tersuplai dengan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena pada

penyakit gagal ginjal kronik, ginjal tidak mampu untuk memproduksi

hormon eritropoietin dan mengalami defisiensi eritropoetin. Untuk

mengatasi hal ini, pada pasien dengan gagal ginjal kronik akan

diberikan terapi penggantian hormon eritropoetin (Price, 2013).

c. Mual dan nafsu makan menurun

Pada gagal ginjal kronik, kadar urea dalam darah yang meningkat

merangsang pusat untah di medulla oblongata sehingga menyebabkan

11

GFR <<

Adaptasi

Kecepatan filtrasi dan beban solut >>

Ketidakseimbangan glomerulus dan tubulus

Poliuri, nokturi, azotemia

Insufisiensi ginjal

Angiotensin >>

Retensi Na+

Kelebihan volume cairan

Cairan keluar ke ruang intersisial

Edema

Oliguria

Page 12: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

mual lalu muntah. Keberadaan zat zat toxic yang tidak di sekresi tubuh

juga dapat merangsang pusat muntah di medulla oblongata (Sylvia,

2005).

Kemampuan untuk memuntahkan merupakan suatu keuntungan

karena memungkinkan pengeluaran toksin dari lambung. Muntah

terjadi bila terdapat rangsangan pada pusat muntah (Vomiting Centre),

suatu pusat kendali di medulla berdekatan dengan pusat pernapasan

atau Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema pada lantai

ventrikel keempat Susunan Saraf. Koordinasi pusat muntah dapat

diransang melalui berbagai jaras. Muntah dapat terjadi karena tekanan

psikologis melalui jaras yang kortek serebri dan system limbic menuju

pusat muntah (VC). Pencegahan muntah mungkin dapat melalui

mekanisme ini. Muntah terjadi jika pusat muntah terangsang melalui

vestibular atau sistim vestibuloserebella dari labirint di dalam telinga.

Rangsangan bahan kimia melalui darah atau cairan otak (LCS ) akan

terdeteksi oleh CTZ. Mekanisme ini menjadi target dari banyak obat

anti emetik. Nervus vagal dan visceral merupakan jaras keempat yang

dapat menstimulasi muntah melalui iritasi saluran cerna disertai saluran

cerna dan pengosongan lambung yang lambat. Sekali pusat muntah

terangsang maka cascade ini akan berjalan dan akan menyebabkan

timbulnya muntah. Muntah merupakan perilaku yang komplek, dimana

pada manusia muntah terdiri dari 3 aktivitas yang terkait, nausea

(mual), retching dan pengeluaran isi lambung. Ada 2 regio anatomi di

medulla yang mengontrol muntah, 1) chemoreceptor trigger zone

(CTZ) dan 2) central vomiting centre(CVC). CTZ yang terletak di area

postrema pada dasar ujung caudal ventrikel IV di luar blood brain

barrier (sawar otak). Reseptor didaerah ini diaktivasi oleh bahan-bahan

proemetik di dalam sirkulasi darah atau di cairan cerebrospinal (CSF).

Eferen dari CTZ dikirim ke CVC selanjutnya terjadi serangkaian

kejadian yang dimulai melalui vagal eferan spanchnic. CVC terletak

dinukleus tractus solitaries dan disekitar formation retikularis medulla

tepat dibawah CTZ. CTZ mengandung reseptor reseptor untuk

12

Page 13: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

bermacam-macam sinyal neuroaktif yang dapat menyebabkan muntah.

Reseptor untuk dopamine titik tangkap kerja dari apomorphine

acethylcholine, vasopressine, enkephalin, angiotensin, insulin,

endhorphine, substance P, dan mediator-mediator yang lain. Mediator

adenosine 3’,5’ cyclic monophosphate (cyclic AMP) mungkin terlibat

dalam respon eksitasi untuk semua peptide. Stimulator oleh theophyline

dapat menghambat aktivitas proemetik dari bahan neuropeptic tersebut

(Putra, 2008).

3. Mekanisme Hipertensi, Diabetes Melitus, dan obat mempengaruhi

kerusakan ginjal

a. Hipertensi

Hipertensi dan gagal ginjal kronik memiliki kaitan yang erat.

Hipertensi dapat menjadi penyakit primer dan menyebabkan kerusakan

pada ginjal. Sebaliknya, penyakit ginjal kronik yang berat dapat

menyebabkan hipertensi atau ikut berperan dalam hipertensi melalui

mekanisme retensi natrium dan air, pengaruh vasopresor dan sistem

renin angiotensin, dan defisiensi prostaglandin. Nefrosklerosis

(pengerasan ginjal) menunjukkan adanya perubahan patologis pada

pembuluh darah ginjal akibat hipertensi dan merupakan penyebab gagal

ginjal kronik, terutama pada populasi bukan orang kulit putih (Price,

2013).

Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang menetap di

atas batas normal yang disepakati, yaitu diastolik 90 mmHg atau

sistolik 140 mmHg. Sekitar 90% kasus hipertensi merupakan kasus

hipertensi esensial yang tidak diketahui penyebabnya. Hipertensi

esensial dapat bersifat benigna atau maligna, tergantung progresifitas

hipertensi tersebut. Hipertensi benigna bersifat progresif lambat,

sedangkan hipertensi maligna bersifat progresif cepat dan dapat

mengakibatkan kerusakan berat pada berbagai organ (Price, 2013).

Laju perkembangan hipertensi benigna berbeda-beda, rata-rata

memiliki perkembangan progresif lambat selama 20 – 30 tahun.

Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan –

13

Page 14: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

perubahan struktur pada arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan

fibrosis dan hialinisasi (sklerosis) dinding pembuluh darah. Organ

sasaran utama keadaan ini adalah jantung, otak, ginjal, dan mata. Pada

ginjal, arteriosklerosis ginjal akibat hipertensi lama menyebabkan

nefrosklerosis benigna, yang merupakan penyempitan lumen pembuluh

darah intrarenal. Ginjal dapat mengecil, biasanya simetris, dan

mempunyai permukaan yang berlubang-lubang dan bergranula. Secara

histologis, lesi yang esensial adalah sklerosis arteria-arteria kecil serta

arteriol yang paling nyata pada arteriol aferen. Penyumbatan arteria dan

arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus dan atrofi tubulus,

sehingga seluruh nefron rusak (Price, 2013).

Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat

tekanan tinggi pada kapiler-kepiler ginjal, glomerolus. Dengan

rusaknya glomerolus, darah akan mengalir ke unit-unit fungsional

ginjal, nefron akan terganggu, dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan

kematian. Dengan rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar

melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang,

menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik

(Corwin, 2000).

b. Diabetes Melitus

Nefropati diabetika adalah istilah yang mencakup semua lesi yang

terjadi di ginjal pada pasien diabetes dan merupakan salah satu

penyebab kematian terpenting pada diabetes melitus yang lama.

Diabetes melitus menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai

bentuk (Price, 2013).

Banyak bukti penelitian yang menunjukkan bahwa penyebab

timbulnya gagal ginjal pada diabetes melitus adalah multifaktor,

mencakup faktor metabolik, hormon pertumbuhan dan cytokin, dan

faktor vasoaktif (Ritz, et al., 2000).

Sebuah penelitian di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa

peningkatan mikroalbuminuria berhubungan dengan riwayat merokok,

ras India, lingkar penggang, tekanan sistolik dan diastolik, riwayat

14

Page 15: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

hipertensi, kadar trigliserid, jumlah sel darah putih, riwayat penyakit

kardiovaskuler sebelumnya, riwayat neuropati dan retinopati

sebelumnya (Retnakaran, et al., 2006).

Penelitian lain di Inggris menyimpulkan bahwa faktor risiko

nefropati diabetik adalah : 1) glikemia dan tekanan darah; 2) ras; 3) diet

dan lipid; 4) genetik (Bilous, 2008).

Dari sekian banyak faktor-faktor risiko tersebut, tidak semuanya

bisa dijelaskan patofisiologinya, namun beberapa sumber pustaka dan

jurnal menulis pembahasannya kurang lebih sebagai berikut:

1) Faktor Metabolik

Faktor metabolik yang sangat mempengaruhi progresivitas

komplikasi diabetes mellitus adalah hiperglikemi. Mekanismenya

secara pasti belum diketahui, namun hiperglikemi mempengaruhi

timbulnya nefropati diabetik melalui tiga jalur, yaitu glikasi lanjut,

jalur aldose reduktase, dan aktivasi protein kinase C (PKC) isoform

(Ritz, et al., 2000).

2) Hormon Pertumbuhan dan Cytokin

Akibat efek promotif dan proliferatifnya, hormon

pertumbuhan dan cytokin dianggap berperan penting dalam

progresivitas gangguan fungsi ginjal akibat diabetes mellitus.

Terutama growth hormone (GH) / Insuline like growth

factors (IGFs) TGF-βs, dan vascular endothelial growth

factors (VEGF) telah diteliti memiliki efek yang signifikan

terhadap penyakit ginjal diabetik (Ritz, et al., 2000).

3) Faktor-faktor vasoaktif

Beberapa hormon vasoaktif seperti kinin, prostaglandin,

atrial natriuretik peptide, dan nitrit oksida, memainkan peranan

dalam perubahan hemodinamik ginjal dan berimplikasi pada

inisiasi dan progresi nefropati diabetik (Ritz, et al., 2000).

4) Ras

Bangsa yang paling banyak menderita nefropati diabetik

adalah bangsa Asia Selatan. Mereka memiliki resiko dua kali lipat

15

Page 16: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

terkena komplikasi mikroalbuminuria dan proteinuria (Bilous,

2008).

5) Diet dan Lipid

Beberapa penelitian membuktikan adanya penurunan kadar

albumin urin yang signifikan setelah dilakukan intervensi diet.

Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian lain yang

menyatakan bahwa terjadi perubahan kadar albuminuria setelah

dilakukan koreksi glikemik pada DM tipe 2. Perubahan ini

mungkin disebabkan karena perubahan hemodinamik akibat

penurunan glikemia dan juga mungkin disebabkan karena

penurunan intake protein. Hubungan antara kadar lipid plasma,

albuminuria, dan gangguan fungsi ginjal juga dilaporkan oleh

sebuah penelitian dengan 585 sampel yang melakukan diet selama

3 tahun dan berhasil menurunkan kadar albuminuria, tetapi kadar

glukosa puasa dan trigliserid bervariasi. Kadar trigliserid juga

berhubungan dengan peningkatan albuminuria dan proteinuria

(Bilous, 2008).

6) Genetik

Peran gen polimorfisme Angiotensin Converting

Enzime (ACE) dan angiotensinogen pada pasien dengan

mikroalbuminuria telah dilaporkan oleh sebuah penelitian dengan

180 sampel. Tidak ada hubungan yang signifikan antara

albuminuria dengan insersi dan delesi dalam gen ACE, tetapi kadar

albuminuri meningkat pada pasien homozigot dengan genotip DD.

Tetapi penelitian ini belum cukup kuat untuk diambil sebuah

kesimpulan (Bilous, 2008).

7) Riwayat penyakit kardiovaskuler sebelumnya

Nefropati diabetik, yang merupakan suatu penyakit ginjal

kronis, merupakan penyebab terjadinya gagal ginjal terminal yang

juga merupakan komplikasi dari penyakit kardiovaskuler.

Mekanisme patogenesis antara penyakit kardiovaskuler dan

timbulnya nefropati diabetik belum diketahui dengan pasti. Faktor

16

Page 17: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

risiko yang sudah diketahui menyebabkan timbulnya nefropati

diabetik dan penyakit kardiovaskular adalah hiperglikemi,

hipertensi, peningkatan kadar kolesterol LDL, dan albuminuria.

Sedangkan faktor-faktor lain yang diduga merupakan faktor risiko

adalah hiperhomosisteinemia, inflamasi/stres oksidatif,

peningkatan produk akhir glikasi, dimetilarginin asimetrik, dan

anemia (Aso, 2008).

Riwayat perjalanan nefropati diabetikum dari awitan hingga ESRD

dapat dibagi menjadi lima fase atau stadium, sebagai berikut (Price,

2013):

1) Stadium 1 atau fase perubahan fungsional dini

Stadium 1 ditandai dengan hipertrofi dan hiperfiltrasi

ginjal, sering terjadi peningkatan GFR hingga 40% di atas normal,

dan peningkatan daerah permukaan kapiler glomerular.

2) Stadium 2 atau fase perubahan struktural dini

Stadium 2 ditandai dnegan penebalan membran basalis

kapiler glomerulus dan penumpukan sedikit demi sedikit bahan

matriks mesanglial yang dapat mengenai lumen kapiler

glomerulus, menyebabkan iskemia, dan menurunkan daerah

filtrasi, sehingga GFR biasanya tetap dalam kisaran normal yang

tinggi.

3) Stadium 3 atau fase nefropati insipien

Tanda khas stadium ini adalah mikroalbuminuria yang

menetap, ekskresi albumin urin antara 30 hingga 300 mg/24 jam,

yang hanya dapat dideteksi dengan radioimmunoassay atau metode

laboratorium sensitif lain. Kadar GFR normal hingga normal tinggi

dan peningkatan tekanan darah juga ditemukan.

4) Stadium 4 atau fase nefropati diabetik klinis

Stadium ini ditandai dnegan proteinuria yang positif dengan

carik celup (>300 mg/ 24 jam) dan dengan penurunan GFR yang

progresif. Retinopati diabetik serta hipertensi hampir selalu ada

pada stadium 4.

17

Page 18: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

5) Stadium 5 atau fase kegagalan atau insufisiensi ginjal progresif

Fase ini ditandai dengan azotemia (peningkatan kadar BUN

dan kreatinin serum) yang disebabkan oleh penurunan GFR yang

cepat, yang pada akhirnya berkembang menjadi ESRD dan

membutuhkan dialisi atau transplantasi ginjal.

c. Obat

Obat Antihipertensi mempunyai jalur eliminasi melalui ginjal.

Pada kondisi gagal ginjal, obat antihipertensi dapat menyebabkan

penumpukan pada ginjal sehingga bisa memperburuk fungsi ginjal.

Oleh karena itu diperlukan perhatian dan penanganan yang khusus

terutama pemilihan obat antihipertensi yang aman bagi ginjal. Obat-

obat golongan Inhibitor ACE (Angiostensin-Converting Enzyme) dan

ARB (angiotensin II receptor blocker) atau kombinasi keduanya dapat

menurunkan tekanan darah dan mengurangi tekanan intraglomerular

(Dipiro, 2008).

Penggunaan β-blocker sebenarnya memerlukan perhatian yang

khusus terutama pada pasien gagal ginjal. Hal ini karena terapi

hipertensi dengan β-bloker pada penderita gagal ginjal kronik telah

dilaporkan menyebabkan fungsi ginjal menurun, efek ini mungkin

disebabkan karena terjadi pengurangan aliran darah ginjal dan laju

filtrasi glomerolus akibat pengurangan curah jantung dan penurunan

tekanan darah oleh obat (Alam, et al., 2008).

Namun pertimbangan penggunaan β –blocker kardioselektif,

seperti Bisoprolol pada pasien gagal ginjal disamping untuk mengontrol

tekanan darah adalah untuk mengurangi terjadinya resiko infark,

jantung koroner, mengurangi kebutuhan O2 dari jantung, serta untuk

menstabilkan kontraktilitas miokard (Rahmawati, 2006).

Selain obat-obat tersebut, dalam penanganan hipertensi pada pasien

gagal ginjal juga digunakan kombinasi terapi lainya dari obat seperti

Clonidine, Amlodipine, serta obat golongan Angiotensin Reseptor

Blocker (ARB) yaitu Losartan dan Valsartan. Hal ini dilakukan untuk

tujuan mengontrol tekanan darah pasien yang sebagian besar fluktuatif

18

Page 19: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

akibat kondisi ginjal pasien yang telah menurun (Sjamsiah, 2005; Alam,

et al., 2008).

D. Menyusun Daftar Hipotesis

1. Sindroma Nefrotik

a. Definisi

Sindroma nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema

proteinuria, hipoalbuminemia, dan hiperkolesterolemia (Betz, 2009).

Penyebabnya belum diketahui secara pasti, akhir akhir ini dianggap

sebagai suatu antigen antibodi. Berdasarkan penyebabnya, sindroma

nefrotik dapat dibagi menjadi (Alatas dkk., 2012) :

1) Sindroma nefrotik bawaan, karena naternafoetal reaction

2) Sindroma nefrotik sekunder

3) Sindroma nefrotik yang tidak diketahui penyebabnya

Sindroma nefrotik mungkin disebabkan oleh beberapa penyakit.

Hal ini dapat ditanyakan pada anamnesis riwayat penyakit dahulu.

Berikut ini hal yang mungkin menyebabkan sindroma nefrotik

(Speicer & Smith, 2014) :

1) Glomerulonefritis akut

2) Glomerulonefritis kronik

3) Obat-obatan nefrotoksik

4) Gigitan serangga

5) Sindroma nefrotik idiopatik

6) Lupus eritematosus sistemik

7) Diabetes mellitus

8) Klasifikasi

b. Penegakkan diagnosis

Tabel 1. Penegakkan diagnosis sindroma nefrotik (Alatas dkk., 2012;

Betz, 2009; Mitchell dkk., 2008; Speicer & Smith, 2014).

Jenis

PemeriksaanHasil Pada Sindroma Nefrotik

Gejala klinis KU Edema

19

Page 20: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

Kuantitas

KP

Edema anasarka (seluruh tubuh),

termasuk vagina/skrotum, asites,

hidrotoraks

anoreksia, muntah muntah oleh

karena edema mukosa lambung,

infeksi kulit (pada kasus berat),

keletihan, intoleransi aktivitas, sulit

bernapas, nyeri abdomen, kadang :

oligouria, diare

Pemeriksaan fisik TB, BB

TD

Wajah

Edema

Hiperlipidemia/hiperkolesterolemia

sehingga sangat mungkin obesitas

Hipertensi >>

Inspeksi : Pucat

Palpebra atau pretibia. Edema

massif simetris. Edema Bila lebih

berat akan diseertai asites, efusi

pleura, dan edema skrotum.

Pem. Penunjang Urinalisis Ditemukan lipid-lipid urin

Urin gelap berbusa

kultur bila perlu.

Proteinuria Massif : >3,5 gm atau >40mg/m2

LPB/ jam atau rasio

protein/kreatinin pada urin sewaktu

>2mg/mg atau dipstick 2+

Hematuria V/X

Hiperkolesterolemia V

Hipoproteinemia V

Hipoalbuminemia V (2,5 g/dL)

Kreatinin Normal

Kadar

komplemen

C3

Bila dicurigai lupus eritematosus

sistemik pemeriksaan ditabah

dengan komplemen C4, ANA, dan

20

Page 21: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

antids-DNA

2. Gagal Ginjal Akut

a. Definisi

Gangguan ginjal akut/ GnGA (Acute kidney injury/ AKI)

merupakan istilah pengganti dari gagal ginjal akut, didefinisikan

sebagai penurunan mendadak dari fungsi ginjal (laju filtrasi

glomerulus/LFG) yang bersifat sementara, ditandai dengan

peningkatan kadar kreatinin serum dan hasil metabolisme nitrogen

serum lainnya, serta adanya ketidakmampuan ginjal untuk mengatur

homeostasis cairan dan elektrolit (Mansjoer, 2007).

b. Klasifikasi Gagal Ginjal Akut (Mansjoer, 2007).

1) Gagal ginjar pra renal

GGA prarenal adalah terjadinya penurunan aliran darah

ginjal (renal hypoperfusion) yang mengakibatkan penurunan

tekanan filtrasi glomerulus dan kemudian diikuti oleh penurunan

Laju Filtrasi Glomerulus (LFG). Keadaan ini umumnya ringan

yang dengan cepat dapat reversibel apabila perfusi ginjal segera

diperbaiki. Pada GGA prarenal aliran darah ginjal walaupun

berkurang masih dapat memberikan oksigen dan substrat

metabolik yang cukup kepada sel-sel tubulus. Apabila

hipoperfusi ginjal tidak segera diperbaiki, akan mengakibatkan

NTA. GGA prarenal merupakan kelainan fungsional, tanpa

adanya kelainan histologik atau morfologi pada nefron.

2) Gagal ginjal renal

Gagal ginjal renal yaitu kelainan yang berasal dari dalam

ginjal dan yang secara tiba tiba menurunkan pengeluaran urin.

Tubulus ginjal merupakan tempat utama penggunaan energi

pada ginjal, yang mudah mengalami kerusakan bila terjadi

iskemia atau oleh obat nefrotoksik, oleh karena itu kelainan

tubulus yang disebut Nekrosis Tubular Akut (NTA) merupakan

penyebab terbanyak GGA renal.

21

Page 22: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

3) GGA Postrenal

GGA postrenal adalah suatu keadaan dimana pembentukan

urin cukup, namun alirannya dalam saluran kemih terhambat.

Penyebab tersering adalah obstruksi. Obstruksi aliran urin ini

akan mengakibatkan kegagalan filtrasi glomerulus dan transpor

tubulus sehingga dapat mengakibatkan kerusakan yang

permanen, tergantung berat dan lamanya obstruksi.

c. Penegakkan Diagnosis Gagal Ginjal Akut (Mansjoer, 2007).

Gejala klinis yang terjadi pada penderita GGA, yaitu :

1) Penderita tampak sangat menderita dan letargi disertai mual,

muntah, diare, pucat (anemia), dan hipertensi.

2) Nokturia (buang air kecil di malam hari).

3) Pembengkakan tungkai, kaki atau pergelangan kaki.

Pembengkakan yang menyeluruh (karena terjadi penimbunan

cairan).

4) Berkurangnya rasa, terutama di tangan atau kaki.

5) Tremor tangan.

6) Kulit dari membran mukosa kering akibat dehidrasi.

7) Nafas mungkin berbau urin (foto uremik), dan kadang-kadang

dapat dijumpai adanya pneumonia uremik.

8) Manisfestasi sistem saraf (lemah, sakit kepala, kedutan otot, dan

kejang).

9) Perubahan pengeluaran produksi urine (sedikit, dapat

mengandung darah, berat jenis sedikit rendah, yaitu 1.010 gr/ml)

10) Peningkatan konsentrasi serum urea (tetap), kadar kreatinin, dan

laju endap darah (LED) tergantung katabolisme (pemecahan

protein), perfusi tidak benar.

Pemeriksaan dan pengujian dapat membantu mendiagnosa gagal

ginjal akut dan membantu menyingkirkan masalah-masalah lain

yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Hasil tes laboratorium dapat

berubah tiba-tiba (dalam waktu beberapa hari sampai 2 minggu).

1) Tes urin (urine) mungkin abnormal.

22

Page 23: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

2) Kreatinin serum, BUN, kreatinin klirens, dan serum kalium

dapat meningkat.

3) kimia gas darah arteri dan darah mungkin menunjukkan asidosis

metabolik.

4) Ginjal atau USG perut adalah tes pilihan, tapi perut x-ray, CT

scan perut, atau perut MRI dapat mengetahui apakah ada

penyumbatan pada saluran kemih.

5) Tes darah dapat membantu mengungkap penyebab kegagalan

ginjal.

3. Gagal Ginjal Kronik

a. Definisi

Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang

progresif dan lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun). Pada

kasus gagal ginjal ini, ginjal kehilangan kemampuannya untuk

mempertahankan volume dan komposisi cairan tubuh dalam keadaan

asupan makanan normal. Gagal ginjal kronik ini terjadi setelah

berbagai macam penyakit yang merusak masa nefron ginjal.

Sebagian besar penyakitnya merupakan penyakit parenkim gagal

ginjal difus dan bilateral, meskipun lesi obstruktif pada traktus

urinarius juga dapat menyebabkan gagal ginjal kronik (Price &

Wilson, 2013).

Gagal ginjal kronik ini memiliki memiliki kriteria sebagai

berikut (Suwitra, 2009). :

1) Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan

structural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju

filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi :

a) Kelainan patologis

b) Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam

komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes

pencitraan (imaging tests)

23

Page 24: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

2) Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2

selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Berdasarkan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang dihitung

dengan rumus Kockcroft-Gault, gagal ginjal kronik diklasifikasi

dalam beberapa derajat penyakit (Suwitra, 2009).

Table 2. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik (Suwitra, 2009).

Derajat Penjelasan LFG (ml/menit/1,73 m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG

normal atau meningkat

≥90

2 Kerusakan ginjal dengan LFG

menurun ringan

60 – 89

3 Kerusakan ginjal dengan LFG

menurun sedang

30 – 59

4 Kerusakan ginjal dengan LFG

menurun berat

15 – 29

5 Gagal ginjal <15

b. Penegakan Diagnosis

Gambaran klinis, pasien gagal ginjal kronik meliputi:

1) Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,

infeksi traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, lupus

eritomatosus sistemik, dan lain sebagainya.

2) Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia,

mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati

perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai

koma.

3) Gejala komplikasinya antara lain, hiepertensi, anemia,

osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolic, gangguan

keseimbangan elektrolit (natrium, kalium, klorida) (Suwitra,

2009).

Gambaran laboratoris, pasien gagal ginjal kronik meliputi:

1) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.

24

Page 25: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

2) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan

kretainin serum, dan penurunan LFG yang dihitung dengan

rumus Kockcroft-Gault.

3) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar Hb,

peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia,

hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia,

hipokalsemia, asidosis metabolic.

4) Kelainan urinalis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria,

isostenuria (Suwitra, 2009).

E. Diagnosis Kerja Kasus PBL 3

Gagal Ginjal Kronik Stadium 5

F. Belajar Mandiri

Sudah dilaksanakan

G. Mengambil Informasi yang Dibutuhkan

1. Penyebab Gagal Ginjal Kronik

Gagal ginjal memiliki banyak sebab, beberapa di antaranya dimulai

di bagian tubuh lauin dan mempengaruhi fungsi ginjal secara sekunder.

Berikut ini adalah sebagian penyebabnya (Sherwood, 2011):

1) Organisme penginfeksi, baik melalui darah maupun masuk ke

saluran kemih melalui uretra.

2) Bahan toksik, misalnya timbal, arsen, pestisida atau bahkan pajanan

berkepanjangan aspirin dosis tinggi.

3) Respon imun yang tidak sesuai, misalnya glomerulonefritis, yang

kadang menyertai infeksi streptokokus di tenggorokan karena

terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang menyebabkan

kerusakan inflamatorik lokal di glomerulus.

4) Obstruksi aliran urin akibat batu ginjal, tumor, atau pembesaran

kelenjar prostat, dengan tekanan balik mengurangi filtrasi

glomerulus serta merusak jaringan ginjal.

25

Page 26: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

5) Insufisiensi aliran darah ginjal yang menyebabkan kurangnya

tekanan filtrasi, akibat sekunder gangguan sirkulasi misalnya gagal

jantung, perdarahan, syok, atau penyempitan dan pengerasan arteri

renalis oleh arterosklerosis.

Selain penyebab di atas, penyebab gagal ginjal kronik yang

tersering dapat dibagi menjadi delapan kelas, yaitu (Price, 2013):

1) Penyakit infeksi tubulointerstitia: pielonefritis kronik atau refluks

nefropati

2) Penyakit peradangan : glomerulonefritis

3) Penyakit vaskular hipertensif : nefrosklerosis benigna,

nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis

4) Gangguan jaringan ikat : lupus erimatosus sistemik,

poliarteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif

5) Gangguan kongenital dan herediter: penyakit ginjal polikistik,

asidosis tubulus ginjal

6) Penyakit metabolik : diabetes melitus, gout,

hiperparatiroidisme, amiloidosis

7) Nefropati toksik : penyalahgunaan analgesik,

nefropati timah

8) Nefropati obstruksi : traktus urinarius bagian atas (batu,

neoplasma, fibrosis retroperitoneal), traktus urinarius bagian bawah

(hipertrofi prostat, striktur uretra, anomali kongenital leher vesika

urinaria dan uretra).

2. Faktor Resiko Gagal Ginjal Kronik

Berikut ini faktor risiko pada penyakit gagal ginjal kronik

(Rubenstein, Wayne, & Bradley, 2007; Wein et al., 2007) :

a. Riwayat penyakit lain yang menjadi penyebab utama antara lain :

1) Glomerulonefritis kronik

2) Nefropati diabetic

3) Nefritis intersisialis kronis

4) Hipertensi dan Atherosclerosis

5) Obstruksi saluran kemih yang sudah berlangsung lama

26

Page 27: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

6) Gagal ginjal akut

b. Sindroma alport

Nefritis herediter yang terkait kromosom X berhubungan dengan

tuli sensorineural dan lesi pada mata. Ditandai dengan penipisan dan

pemisahan membrane basal glomerulus. Terdapat kelainan kolagen

tipe IV (rantai α5, lokus gen Xq22).

c. Ras

Orang kulit hitam memiliki risiko lebih besar, terkait dengan

gen hipertensi pada ras tersebut. Selain itu ras Afrika-Amerika

sendiri memiliki risiko penyakit gagal ginjal kronik yang lebih besar

dibandingkan ras lain.

d. Gaya hidup

Berdasarkan National Kidney (2009), Obesitas, perokok, stress

meningkatkan risiko penyakit gagal ginjal kronik.

e. Usia di atas 70 tahun

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Kidney

Foundation, pada usia 60-70 tahun ditemukan prevalensi sebanyak

7,3% sementara pada usia di atas 70 tahun ditemukan prevalensi

92%.

f. Infeksi saluran kencing

g. Herediter

Gen terbukti memiliki peran dalam perjalanan penyakit dan

kondisi imun dalam tubuh seseorang. Salah satu peran genetik dalam

penyakit gagal ginjal kronik adalah kelainan sejak lahir atau

kongenital.

h. Penyakit sistemik lain seperti :

1) Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

2) Henoch-Schönlein purpura

i. Penggunaan berkepanjangan NSAID dan obat-obatan neftoroksik

lainnya.

27

Page 28: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

3. Patogenesis Gagal Ginjal Kronik

Tinjauan mengenai perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat

diperoleh dengan melihat hubungan antara bersihan kreatinin dengan laju

filtrasi glomerulus (GFR) sebagai resentase dari keadaan normal,

terhadap kreatinin serum dan kadar nitrogen darah (BUN) karena massa

nefron dirusak secara progresif oleh penyakit ginjal kronik (Price, 2006).

Perjalanan klinis umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi

tiga stadium. Stadium pertama disebut penurunan cadangan ginjal.

Selama stadium ini kreatinin serum dan kadar BUN normal, dan pasien

asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya dapat terdeteksi dengan

memberi beban kerja yang berat pada ginjal tersebut, seperti tes

pemekatan urine yang lama atau dengan mengadakan tes GFR yang teliti

(Price, 2006).

Stadium dua perkembangan tersebut disebut insufisiensi ginjal, bila

lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Pada tahap ini kadar

BUN baru mulai meningkat di atas batas normal. Peningkatan

konsentrasi BUN ini berbeda-beda, bergantung pada kadar protein dalam

makanan (bandingkan grafik BUN pada makanan rendah protein dengan

makanan yang normal kadar proteinnya). Pada sradium ini, kadar

kreatinin serum juga mulai meningkat melebihi kadar normal. Azotemia

biasanya ringan. Pada stadium insufisiensi ginjal ini, mulai timbul gejala-

gejala nokturia dan poliuria (akibat gangguan kemampuan pemekatan).

Gejala-gejala ini timbul sebagai rspons terhadap stres dan perubahan

makanan atau minuman yang tiba-tiba. Pasien biasanya tidak terlalu

memperhatikan gejala-gejala ini, sehingga gejala tersebut hanya akan

terungkap dengan mengajukan peetanyaan-pertanyaan yang teliti (Price,

2006).

Stadium ketiga dan stadium gagal ginjal akhir progresif disebut

penyakit ginjal stadium akhir (ESRD) atau uremia. ESRD terjadi apabila

sekitar 90 % dari massa nern hancur, atau hanya sekitar 200.000 nefron

yang masih utuh. Nilai GFR hanya 10 % dari keadaan normal dan

bersihan kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml per meni atau kurang. Pada

28

Page 29: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

keadaan ini, kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan

sangat menyolok sebagai respon terhadap GFR yang mengalami sedikit

penurunan. Pada ESDR, pasien mulai merasakan gejala-gejala yang

cukup parah, karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan

homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh (Price, 2006).

4. Penegakan Diagnosis Gagal Ginjal Kronik

a. Anamnesis

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik menurut

(Sudoyo, 2009) meliputi :

1) Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus,

infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi,

hiperurikemi, dan Lupus Eritomatosus Sistemik (LES).

2) Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia,

mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati

perifer, pruritus, uremic frost, pericarditis, kejang-kejang sampai

koma.

3) Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia,

osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, dan

gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).

b. Pemeriksaan Fisik

Pasien insufisiensi ginjal bisa hanya konfusi ringan atau bisa

koma. Pada pemeriksaan secara fisik, pasien bisa tampak normal

atau bisa kelihatan pucat kekuningan dan ada kristal uremik

(endapan putih pada atau sekitar bibir) (Boswick, 1997).

Selain terlihat ikterus akibat hemolisis. Dapat terlihat petekie

dan perdarahan mukosa bukal akibat trombositopenia. Bergantung

pada tingkat oliguria dan gagal ginjal, pasien dapat mengalami

kelebihan volume, CHF, dan edema perifer (Schwartz, 2004).

c. Pemeriksaan Penunjang

1) Gambaran Laboratoris

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik menurut

Sudoyo (2009) meliputi:

29

Page 30: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

a) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum

dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung

mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin

serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan

fungsi ginjal.

b) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar

hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau

hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,

hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.

c) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria,

leukosuria, cast, isostenuria.

2) Gambaran Radiologis

Pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik menurut

Sudoyo (2009) meliputi:

a) Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak

b) Pielogravi intravena jarang dikerjakan karena kontras

sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping

kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras

terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan

c) Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai

indikasi

d) Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal

yang mengecil, korteks yang menipis, adanya

hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi

e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan

bila ada indikasi

3) Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal

Biopsi dan pemeriksaan ginjal dilakukan pada pasien

dengan ukuruan ginjal yang masih mendekati normal, dimana

diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan

histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi,

menetapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi

30

Page 31: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

yang telah diberikan. Kontaindikasi biopsi ginjal dilakukan pada

pasien dengan ukuran ginjal yang sudah mengecil, ginjal

polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik,

gangguan pemberkuan darah, gagal napas dan obesitas (Sudoyo,

2009).

5. GFR dan Cara Perhitungannya

Rumus Menghitung GFR (Glomerular Filtration Rate) berdasarkan

alat Kalkulasi GFR adalah sebagai berikut:

GFR untuk laki-laki :

GFR=(140−usia ) x BB(kg)72x creatinine serum

GFR untuk perempuan : GFR x 0.85

6. Tatalaksana Gagal Ginjal Kronik

a. Terapi Konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya

faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat

akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara

optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit

(Sukandar, 2006).

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah

sebelum terjadinya penurunan LFG sehingga perburukan fungsi

ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara

ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat

menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya,

bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi

terhadap penyakit dasar sudah tidak bermanfaat (Suwitra, 2006).

1) Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk

mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka

lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif

nitrogen (Sukandar, 2006). Pembatasan asupan protein mulai

31

Page 32: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/mnt, sedangkan di atas nilai

tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan.

Protein diberikan 0,6-0,8/kgbb/hari, yang 0,35-0,50 gr

diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah

kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, dibutuhkan

pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila

terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat

ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan

protein tidak disimpan dalam tubuh tapi tapi dipecah menjadi

urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan

melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang

mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion unorganik lain

juga dieksresikan melalui ginjal (Suwitra, 2006).

Pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal

kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan

ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan

metabolik yang disebut uremia.

Pembatasan protein akan mengakibatkan berkurangnya

sindrom uremik. Masalah penting lain adalah, asupan protein

berlebihan (protein overload) akan mengakibatkan perubahan

hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan

tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang

akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal.

Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan

asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari

sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah

terjadinya hiperfosfatemia (Suwitra, 2006).

2) Kebutuhan jumlah kalori

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk PGK

(penyakit ginjal kronik) harus adekuat dengan tujuan utama,

yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen,

32

Page 33: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi (Sukandar,

2006).

3) Diet buah dan sayuran

Sebuah studi oleh Goraya et al menunjukkan bahwa

peningkatan asupan buah-buahan dan sayur-sayuran dapat

membantu mengurangi cedera ginjal. Dalam laporan ini, diet

buah-buahan dan sayur-sayuran selama 30 hari akan

menyebabkan penurunan albumin pada urin, β-D-

glucosaminidase N-asetil, dan transforming growth factor β

pada pasien dengan GFR rendah akibat hipertensi nefropati

(Arora, 2014).

b. Terapi Simtomatik

1) Asidosis metabolik

Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan

serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati

asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi

alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila

pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L (Sukandar, 2006).

2) Anemia

Anemia terjadi pada 80-90 % pasien penyakit ginjal kronik.

Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh

defisiensi eritropoetin. Hal-hal yang ikut berperan dalam

terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah

(misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit

yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,

penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses

inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia

dimulai saat kadar hemoglobin ≤ 10 g% atau hematokrit ≤ 30g

%, meliputi evaluasi terhadap status besi (Iron Binding

Capacity), mencari sumber perdarahan morfologi eritrosit,

kemungkinan adanya hemolisis (Suwitra, 2006).

33

Page 34: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab

utamanya, pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang

dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu

diperhatikan karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme

kerjanya. Pemberian transfusi pada penyakit ginjal kronik harus

dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan

pemantauan cermat. Transfusi darah yang tidak cermat dapat

mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan

perburukan fungsi ginjal. Sasaraan hemoglobin menurut

berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl (Suwitra, 2006).

Transfusi darah misalnya Packed Red Cell (PRC)

merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan

efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena

dapat menyebabkan kematian mendadak (Sukandar, 2006).

3) Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan

yang sering dijumpai pada PGK. Keluhan gastrointestinal ini

merupakan keluhan utama (chief complaint) dari PGK. Keluhan

gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari

mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu

program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik

(Sukandar, 2006).

4) Hipertensi

Pemberian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk

memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk

memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan

mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi

glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian

tekanan darah mempunyai peran sama pentingnya dengan

pembatasan asupan protein, dalam memperkecil hipertensi

intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Selain itu, sasaran

terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria,

34

Page 35: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

yang merupakan faktor risiko terjadinya perburukan fungsi

ginjal (Suwitra, 2006).

5) Kelainan sistem kardiovaskular

Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan

kardiovaskular yang diderita. Pencegahan dan terapi terhadap

penyakit kardiovaskular. Pencegahan dan terapi terhadap

penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena

40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh

penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam

pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular adalah,

pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian

dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian

hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan

gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan

pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal

kronik secara keseluruhan (Suwitra, 2006).

c. Terapi Pengganti Ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik

stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut

dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi

ginjal (Suwitra, 2006).

1) Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk

mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi

dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien PGK yang belum

tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi

tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi

elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu

perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru

dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik,

hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic

35

Page 36: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi

elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual,

anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).

Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan

sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit

rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang

kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput

semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang

diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai

sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal

(Rahardjo, 2006).

2) Dialisis peritoneal

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory

Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di

Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan

orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah

menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang

cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan

hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan

stroke, pasien GGTA (Gagal Ginjal Tahap Akhir) dengan

residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai

co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non medik, yaitu

keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk

melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat

ginjal (Sukandar, 2006).

3) Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal

(anatomi dan faal). Beberapa pertimbangan untuk melaksanakan

program transplantasi ginjal, yaitu (Sukandar, 2006) :

i. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih

seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya

mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah

36

Page 37: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

ii. Kualitas hidup normal kembali

iii. Masa hidup (survival rate) lebih lama

iv. Kompllikasi terutama berhubungan dengan obat

imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.

v. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.

7. Indikasi dan Konsep Tindakan Hemodialisis

Secara sederhana, konsep hemodialisis adalah sama sepeerti kerja

nefron di dalam ginjal, dimana berfungsi untuk membuang zat sisa

metabolisme dalam tubuh. Sistem hemodialisis terdiri dari 3

kompartemen utama (Ronco, et al., 1998) :

a. Kompartemen darah

Darah yang berada di pasien berpengaruh terhadap hasil dialisis

yang terjadi, seperti halnya apabila ada kelainan dalam tekanan

darah atau ada kelainan dengan eritrosit ? plasma yang berada disana

dapat menghambat hemodialisis.

b. Kompartemen membran

Membran buatan yang di buat pada dializer sangat

mempengaruhi proses dialisis, dimana membran ini menentukan

filtrat yang dihasilkan. Membran buatan ini dibuat semirip mungkin

dengan membran yang berada di nefron, bersamaan dengan

membran muatan yang menjadi barier pun dibuat sedemikian rupa

sehingga dapat membuang hanya zat – zat yang dapat di filtrasi

ginjal.

c. Kompartemen dialisata

Dialisata merupakan salah satu faktor yang mendapat perhatian

kecil karena memang faktor ini merupakan semacam “wadah” yang

menampung temat untuk dialisis.

8. Komplikasi Gagal Ginjal Kronik

Kemungkinan efek gagal ginjal antara lain (Sherwood, 2011 dan

Corwin, 2009):

a. Toksisitas uremik akibat retensi zat sisa.

37

Page 38: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

1) Efek toksik pada sistem pencernaan yaitu mual, muntah, diare,

dan tukak.

2) Efek toksik pada fungsi trombosit yaitu kecenderungan

mengalami perdarahan.

3) Efek toksik pada susunan saraf pusat yaitu perubahan mental

misalnya berkurangnya kewaspadaan, insomnia, dan penurunan

konsentrasi yang berkembang menjadi kejang dan koma.

4) Efek toksik pada saraf perifer yaitu kelainan aktivitas sensorik

dan motorik.

b. Asidosis metabolik yang disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal

untuk menyekresikan secara adekuat H+ yang terus menerus

ditambahkan ke cairan tubuh dari aktivits metabolik.

1) Perubahan aktivitas enzim yang disebabkan oleh efek terlalu

banyak asam pada enzim.

2) Depresi susunan saraf pusat akibat efek terlalu banyak asam

yang mengganggu eksitabilitas neuron.

3) Retensi kalium yang terjadi karena gangguan sekresi K+ di

tubulus.

4) Perubahan eksitabilitas jantung dan saraf akibat perubahan

potensial membran istirahat sel-sel peka rangsang.

c. Ketidakseimbangan natrium akibat ketidak mampuan ginjal

menyesuaikan ekskresi Na+ untuk mengimbangi perubahan pada

konsumsi Na+.

1) Peningkatan tekanan darah, edema generalisata, dan gagal

jantung kongestif jika terlalu banyak Na+ yang dikonsumsi.

2) Hipotensi dan, jika cukup parah, syok sirkulasi jika Na+ yang

dikonsumsi terllu sedikit.

d. Ketidakseimbangan fosfat dan kalsium karena gangguan reabsorpsi

kedua elektrolit ini. Gangguan pada struktur tulangakibat kelainan

pada pengendapan kristal kalsium fosfat, yang memperkerass tulang

38

Page 39: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

e. Hilangnya protein plasma akibat meningkatnya “kebocoran”

membran glomerulus. Edema akibat berkurangnya tekanan osmotik

koloid plasma.

f. Ketidakmampuan mengubah konsentrasi urin karena gangguan

sistem aliran balik.

1) Hipotonisitas cairan tubuh jika H2O yang masuk terlalu banyak.

2) Hipertonisitas cairan tubuh jika H2O yang masuk terlalu sedikit.

g. Hipertensi karena kombinasi efek retensi garam dan cairan dan efek

vasokonstriksi kelebihan angiotensin II.

h. Anemia karena berkurangnya produksi eritropoietin.

i. Depresi sistem imun, kemungkinan besar karena kadar toksik zat-zat

sisa dan asam. Meningkatnya kerentanan terhadap infeksi.

j. Pada gagal ginjal progresif, terjadi beban volume,

ketidakseimbangan elektrolit, asidosis metabolik, azotemia, dan

uremia.

k. Pada gagal ginjal stadium 5 (penyakit stadium akhir), terjadi

azotemia dan uremia berat. Asidosis metabolik memburuk, yang

secara mencolok merangsang kecepatan pernapasan.

l. Hipertensi, anemia, osteodistrofi, hiperkalemia, ensefalopati uremik,

dan pruritus (gatal) adalah komplikasi yang sering terjadi.

m. Penurunan pembentukan eritropoietin dapat menyebabkan sindrom

anemia kardiorenal, suatu trias anemia yang lama, penyakit

kardiovaskular, dan penyakit ginjal yang akhirnya menyebabkan

peningkatan morbiditas dan mortalitas.

n. Dapat terjadi gagal jantung kongestif.

o. Tanpa pengobatan terjadi koma dan kematian.

9. Prognosis Gagal Ginjal Kronik

Prognosis dari penyakit ginjal kronik, tergantung pada seberapa

cepat upaya deteksi dan penanganan dini, serta penyakit penyebab.

Semakin dini upaya deteksi dan penanganannya, hasilnya akan lebih

baik. Beberapa jenis kondisi/penyakit, akan tetap progresif. Misalnya

dampak diabetes pada ginjal dapat dibuat berjalan lebih lambat dengan

39

Page 40: Laporan PBL 3 - Blok NU.docx

upaya kendali diabetes. Pada kebanyakan kasus, penyakit ginjal kronik

progresif bisa menjadi gagal ginjal kronik. Kematian pada penyakit ginjal

kronik tertinggi adalah karena komplikasi jantung, dapat terjadi sebelum

maupun sesudah gagal ginjal (Porth, et al., 2008).

Menurut kepustakaan, di Amerika kematian pasien dialisis tertinggi

6 bulan pertama paska dialisis, 35% nya bisa bertahan lebih dari 5 tahun,

bila disertai diabetes lebih kecil lagi yaitu 25%. Pasien gagal ginjal tanpa

upaya dialisis akan berakhir dengan kematian. Penyebab kematian pada

gagal ginjal kronik, terbesar adalah karena komplikasi jantung (45%),

akibat infeksi (15%), komplikasi uremia pada otak (6%), dan keganasan

(4%) (Porth, et al., 2008).

40