Laporan Blok Ix Pbl 3

25
BLOK IX. KONSEP PATOLOGI 2 (MAC 203) Laporan PBL 3 : Kanker Nasofaring oleh kelompok PBL 3 : Jessica Benedick / 2012 – 060 – 010 Yunnita Gunawan / 2012 – 060 – 025 Stefani Stascia / 2012 – 060 – 044 Devita Surya Indah / 2012 – 060 – 045 Claudia Marsella / 2012 – 060 – 046 Wolter Prakarsa Jaya / 2012 – 060 – 053 Carmelia Anggraini / 2012 – 060 – 062 Chintya / 2012 – 060 – 064 Steven Philip Surya / 2012 – 060 – 141 Judy Ranita Angkasa / 2012 – 060 – 142 Ivan Kunardi / 2012 – 060 – 156 Sardono Widinugroho / 2012 – 060 – 157 Vincentius Henry Sundah / 2012 – 060 – 265 Dosen Tutor : dr. Christianto Sandjaja

description

Laporan Blok Ix Pbl 3

Transcript of Laporan Blok Ix Pbl 3

Page 1: Laporan Blok Ix Pbl 3

BLOK IX. KONSEP PATOLOGI 2 (MAC 203)

Laporan PBL 3 : Kanker Nasofaring

oleh kelompok PBL 3 :

Jessica Benedick / 2012 – 060 – 010

Yunnita Gunawan / 2012 – 060 – 025

Stefani Stascia / 2012 – 060 – 044

Devita Surya Indah / 2012 – 060 – 045

Claudia Marsella / 2012 – 060 – 046

Wolter Prakarsa Jaya / 2012 – 060 – 053

Carmelia Anggraini / 2012 – 060 – 062

Chintya / 2012 – 060 – 064

Steven Philip Surya / 2012 – 060 – 141

Judy Ranita Angkasa / 2012 – 060 – 142

Ivan Kunardi / 2012 – 060 – 156

Sardono Widinugroho / 2012 – 060 – 157

Vincentius Henry Sundah / 2012 – 060 – 265

Dosen Tutor :

dr. Christianto Sandjaja

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA

JAKARTA

2013

Page 2: Laporan Blok Ix Pbl 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tumor merupakan sebuah penyakit di mana pertumbuhan dan perkembangan

sebuah sel menjadi tidak terkontrol. Sel mulai membelah tanpa adanya instruksi dari

pusat di samping itu sel memiliki sifat immortal dimana sebuah sel menjadi

insensitive terhadap sinyal apoptosis. Perubahan sel menjadi tumor ini bisa

disebabkan oleh adanya faktor lingkungan, genetik, maupun interaksi keduanya.

Berdasarkan keganasannya tumor dibagi menjadi dua kelompok, yaitu jinak

(benign) dan ganas (malignant). Pada beberapa tumor jinak biasanya penderita dapat

hidup untuk jangka waktu yang lebih lama bila dibandingkan dengan tumor ganas

yang akrab kita sebut sebagai kanker. Tumor jinak tidak memiliki kemampuan untuk

metastasis dimana kanker bisa bermetastasis dengan sarana pembuluh limfe atau

pembuluh darah.

Salah satu kanker yang paling sering ditemukan di Indonesia adalah kanker

nasofaring. Kanker ini seperti namanya, terjadi pada bagian nasofaring manusia.

Kanker ini biasanya terjadi karena faktor lingkungan yaitu infeksi dari virus EBV

(Epstein-Barr Virus).

1.2. Skenario

Benjolan

Tn. Y, berusia 55 tahun berobat ke rumah sakit dengan keluhan benjolan di

leher kiri sejak 2 bulan terakhir. Benjolan tidak nyeri, tidak disertai demam. Riwayat

penyakit dimulai dengan gangguan pendengaran berupa tinnitus dan tuli pada 1 sisi

telinganya. Keluhan disertai hidung tersumbat dan mimisan. Dokter kemudian

merujuk untuk dilakukan biopsi aspirasi dan hasilnya ditemukan anak sebar sel-sel

tumor ganas epitelial yang berasal dari nasofaring pada kelenjar getah bening leher

kiri.

Halaman 2 dari 17

Page 3: Laporan Blok Ix Pbl 3

BAB II

HASIL DISKUSI

2.1. Clarifying Unfamilliar Terms

1. Tinnitus = telinga berdenging.

2. Biopsi aspirasi = biopsi dengan menggunakan jarum; needle aspiration.

3. Anak sebar = sel atau jaringan kanker yang lepas; metastasis. Dapat menyebar

melalui limfe dan pembuluh darah.

2.2. Define the Problems

1. Apa definisi kanker nasofaring?

2. Apa etiologi kanker nasofaring?

3. Bagaimana patofisiologi kanker nasofaring?

4. Apa hubungan tumor nasofaring dengan gangguan pendengaran?

5. Apa gejala dari kanker nasofaring?

6. Bagaimana epidemiologi kanker nasofaring?

7. Apa faktor risiko dari kanker nasofaring?

8. Bagaimana cara mendiagnosa kanker nasofaring?

9. Bagaimana intervensi atau tatalaksana dari kanker nasofaring?

2.3. Brainstorming

1. Apa definisi kanker nasofaring?

Kanker di permukaan sel nasofaring

2. Apa etiologi kanker nasofaring?

Epstein-Barr Virus, zat-zat karsinogenik (aerosol), infeksi

berkepanjangan, genetik.

3. Bagaimana patofisiologi kanker nasofaring?

Dimasukkan ke dalam Learning Objectives.

4. Apa hubungan tumor nasofaring dengan gangguan pendengaran?

Hubungan kanker nasofaring dengan pendengaran berhubungan dengan

tuba Eustachius, kanker yang membesar menyebabkan perubahan tekanan

Halaman 3 dari 17

Page 4: Laporan Blok Ix Pbl 3

telinga, dapat juga menekan hidung sehingga hidung menjadi tersumbat,

neovaskularisasi juga dapat menyebabkan mimisan.

5. Apa gejala dari kanker nasofaring?

Gejala kanker nasofaring adalah tinnitus, hidung tersumbat, sakit kepala,

terdapat benjolan, gangguan pernapasan.

6. Bagaimana epidemiologi kanker nasofaring?

Lebih banyak diderita oleh laki-laki; 2 kali lebih beresiko. Banyak

diderita oleh orang Afrika. Bisa menyerang anak-anak juga, tidak hanya orang

dewasa.

7. Apa faktor risiko dari kanker nasofaring?

Pada laki-laki, banyak yang perokok sehingga risiko terkena kanker

meningkat dibandingkan dengan perempuan. Terpapar dengan aerosol:

mengandung polisiklinhidrokarbon yang bersifat karsinogenik.

8. Bagaimana cara mendiagnosa kanker nasofaring?

Tes darah dan biopsi.

9. Bagaimana intervensi atau tatalaksana dari kanker nasofaring?

Dimasukkan ke dalam Learning Objectives.

2.4. Analysing the Problem

2.5. Learning Objectives

1. Mengetahui definisi kanker nasofaring

2. Mengetahui gejala kanker nasofaring

3. Mengetahui etiologi kanker nasofaring

4. Mengetahui faktor risiko kanker nasofaring

Halaman 4 dari 17

Kanker Nasofaring

Definisi Gejala Etiologi Faktor Risiko

Epidemiologi

Patofisiologi Morfologi Diagn

osaTata

laksana

Page 5: Laporan Blok Ix Pbl 3

5. Mengetahui epidemiologi kanker nasofaring

6. Mengetahui patofisiologi klinis kanker nasofaring

7. Mengetahui morfologi kanker nasofaring

8. Mengetahui diagnosa kanker nasofaring

9. Mengetahui tata laksana kanker nasofaring

2.6. Self Study

Pelaksanaan self-study dilakukan selama 2 hari setelah pertemuan pertama.

Sumber – sumber yang digunakan berasal dari buku dan internet. Masing – masing

dari kami membaca sumber – sumber tersebut, kemudian kami melakukan pertemuan

dengan seluruh anggota untuk membicarakan informasi atau pengetahuan baru dari

sumber yang kami baca itu.

2.7. Report

1. Mengetahui definisi kanker nasofaring

Kanker nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang

terbanyak di temukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher

merupakan kanker nasofaring.

Tumor nasofaring terdapat 2 jenis :

a. Tumor jinak : jarang dijumpai, bila dijumpai umumnya terjadi

pada anak-anak atau dewasa muda, tidak menyebar ke bagian

lain ( tidak metastasis), termasuk malformasi sistem vaskular :

angiofibroma dan hemangioma.

b. Kanker nasofaring : merupakan tumor ganas daerah kepala dan

leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Terjadi pada sel

epitel permukaan internal dan eksternal. Terdapat 3 jenis :

1) Keratinizing carcinoma cell squamosa

2) Non-keratinizing differentiated carcinoma

3) Undifferentiated carcinoma

2. Mengetahui gejala kanker nasofaring

a. Gejala nasofaring

Berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung. Oleh karena

itu, nasofaring harus diperiksa dengan cermat dengan nasofaringoskop,

Halaman 5 dari 17

Page 6: Laporan Blok Ix Pbl 3

karena seringkali gejala belum timbul sedangkan tumor sudah tumbuh

di bawah mukosa sehingga tidak tampak (creeping tumor)

b. Gejala telinga

Gejala ini sering timbul karena tempat asal tumor dekat muara

tuba Eustachius (fossa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinnitus,

rasa tidak nyaman di telinga, otalgia (rasa nyeri di telinga).

c. Gejala mata dan saraf

Nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak

melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat

terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma nasofaring. Penjalaran melalui

foramen lacerum akan mengenai saraf otak III, IV, V, dan VI. Proses

karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak IX, X, XI, dan XII

jika penjalaran melalui foramen jugulare. Gangguan ini sering disebut

sebagai Jack Syndrome. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak maka

disebut sindrom unilateral.

d. Gejala di leher

Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher

yang tidak sakit (terdapat pada 75% pasien dan seringkali bilateral dan

posterior).

e. Sakit kepala

f. Cranial nerve palsy

Hal ini disebabkan oleh tumor yang menyebar sampai ke dasar

tengkorak.

g. Early symptom mirip penyakit lain

h. Rismus

Spasme otot pengunyah

i. Odynophagia

Sakit saat menelan

j. Fistula

k. Horner’s syndrome

Nervus otak yang ke daerah mata dan wajah rusak.

l. Asimtomatik

Karena saat tumor sudah mencapai daerah limfe di bagian

profunda, tumor tersebut tertutup muskulus sternocleidomastoideus

menyebabkan tumor tersebut sulit dideteksi.

Halaman 6 dari 17

Page 7: Laporan Blok Ix Pbl 3

3. Mengetahui etiologi kanker nasofaring

a. Faktor lingkungan

Konsumsi ikan asin dan makanan yang diasinkan (telur,

sayur, akar) pada anak usia dini merupakan faktor risiko

yang besar. Hal ini terkait substansi karsinogen yang

terdapat dalam ikan yang diasinkan N-

nitrosodimethylamine, ditambah dengan defisiensi vitamin.

Terkait aktivitas keagamaan seperti debu, kemenyan, dupa.

Aktivitas rumah tangga; asap dan gas rumah tangga.

Terkait pekerjaan, termasuk paparan terhadap

formaldehyde, debu, serbuk kayu, dan senyawa aromatic

hydrocarbons, serta tembakai dan alkohol.

b. Epstein-Barr Virus (herpesvirus)

Penyebab utama infeksi mononucleosis akut

(pembengkakan KGB, demam, sakit tenggorokan), yang

diasosiasikan dengan Hodgkin’s disease, Burkitt’s

Lymphoma, lymphoproliferative disease setelah

transplantasi, dan limfoma sel T.

Hubungan antara kanker nasofaring dan EBV pertama kali

diamati pada tahun 1966, yang mana penemuan ini disertai

dengan peningkatan level IgG dan IgA. Kedua antibodi ini

aktif untuk melawan komponen EBV pada pasien dengan

kanker nasofaring.

EBV akan menginisiasi infeksi awal yang aktif; virus

kemudian berada pada fase laten sampai akhirnya diaktivasi

lagi dalam kondisi sakit atau sistem imun yang turun.

Mekanisme hubungan EBV dan kanker nasofaring masih

belum dipahami dengan pasti, mungkin terkait dengan

faktor genetik dan lingkungan masing-masing orang,

mengenai responnya masing-masing.

c. Kerentanan genetik

Haplotip yang terkait dengan kelemahan genetik adalah

HLA (Human Leukocyte Antigens): HLA-A2, HLA-B46,

HLA-B58.

Halaman 7 dari 17

Page 8: Laporan Blok Ix Pbl 3

Kerusakan kromosom 3p,9p, 17p, dan 13q dapat

menimbulkan lesi ganas atau pre-ganas dari area kepala dan

leher. Kerusakan tumor suppressor genes p53. Amplifikasi

onkogenes, seperti ekspresi yang berlebihan dari

PRAD-1/bcl-1 (cyclinD1), bcl-2, TGF-β, dan EGFR.

d. Tanaman Croton tigilium dan bakteri Euphorbiaciae famili

Banyak terdapat di Cina Selatan dan Hongkong karena tanaman

ini sering dijadikan obat herbal disana. Bisa disebabkan oleh

tanamannya saja ataupun bakterinya saja, atau kombinasi dari

keduanya.

4. Mengetahui faktor risiko kanker nasofaring

a. Faktor pekerjaan

Pekerjaaan yang berhubungan dengan debu nikel, debu kayu

dan asap minyak tanah memiliki resiko terkena kanker nasofaring yang

lebih besar. Begitu pula dengan pekerjaan yang sering berkontak

dengan zat karsinogen seperti benzopyrene.

b. Senyawa nikel yang terdapat dalam air minum.

c. Radang kronis yang terjadi di daerah nasofaring, menyebabkan

mukosa nasofaring rentan terhadap zat karsinogen lingkungan.

d. Rokok

e. Mengonsumsi alkohol

f. Senyawa nitrosamin yang terdapat pada ikan asin.

g. Senyawa kimia seperti asbes dan arsen, asap atau bumbu dapur

tertentu.

5. Mengetahui epidemiologi kanker nasofaring

Kanker nasofaring lebih sering terdapat pada pria dibandingkan wanita.

Prevalensi penderita kanker ini juga ditemukan lebih tinggi pada daerah Cina

Selatan (tepatnya pada provinsi Guangdong), Alaska, dan juga Greenlands.

Angka ini juga ditemukan tinggi pada negara Indonesia.

Jika ditinjau dari segi umur, kanker ini lebih banyak mengenai pasien

dengan usia 40 sampai dengan 45 tahun. Epidermoid carcinoma jarang

ditemui pada pasien dibawah 25 tahun. Sedangkan, lymphosarcoma dapat

ditemukan pada usia dibawah 25 tahun, maupun diatas.

Halaman 8 dari 17

Page 9: Laporan Blok Ix Pbl 3

Genetik juga diketahui mempengaruhi epidemiologi dari kanker

nasofaring. Hal ini terbukti dari sebuah penelitian terhadap orang dengan ras

Chinese. Mereka meskipun sudah bermigrasi ke daerah yang prevalensi

terkena kanker nasofaring lebih rendah, tetap berkemungkinan lebih tinggi

untuk terjangkit kanker ini. Hal ini membuktikan bahwa, sedikit banyak peran

genetik mengambil bagian dari penyakit ini.

Undifferentiated nonkeratinizing carcinomas umum ditemukan di Asia

Tenggara dan sebagian Afrika.

Terkait dengan ras tertentu, Chinese race memiliki tingkat mortalitas yang

lebih tinggi akibat kanker nasofaring dibanding ras lain dikarenakan adanya

A2 HLA haplotip dalam genetiknya.

Di Afrika yang banyak dijumpai adalah kanker nasofaring pada anak-

anak. Di Cina lebih banyak ditemukan kanker nasofaring pada orang dewasa,

sementara di Amerika kedua jenis kanker ini; anak-anak dan dewasa; memiliki

prevalensi kejadian yang hampir sama.

Insiden dari kanker nasofaring ini adalah:

a. Insiden tinggi. 15 – 330 per 100.000 kasus di Cina bagian

selatan terutama di Guangdong dan Guanxi, Hongkong, dan

daerah imigran orang Cina di Asia Tenggara, California, dan

Negara lain.

b. Insiden sedang. 4 -15 per 100.000 kasus pada orang Eskimo di

Greenland, Canada, Alaska, dan beberapa suku di Indonesia,

Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Cina Selatan lainnya.

c. Insiden rendah. 4 per 100.000 pada Cina bagian Utara, Jepang,

Eropa, dan Amerika.

6. Mengetahui patofisiologi kanker nasofaring

EBV mempunyai Antigen VCA dan EBV Associated Nuclear Antigen,

menempel pada reseptor CD21 (di permukaan limfosit B dan sel epitel) atau

CD3D, bisa menyerang orofaring dan B cell, kalau sudah menyerang B cell, T

cell respon maka terjadilah civil war, hal ini terlihat di daerah tepi sebagai

atipikal limfosit, dan ini adalah karakteristik infeksi EBV.

Anak-anak memiliki pervalensi kecil karena respon imun mereka

masih sangat lemah. EBV diinkubasi selama 4-7 minggu.

Halaman 9 dari 17

Page 10: Laporan Blok Ix Pbl 3

Cara kerja EBV sebagai berikut, aksi terhadap sitokin dalam aktivitas

imunologi lalu terjadi peningkatan IFN, yang menyebabkan sakit kepala dan

demam. Poliklonal aktivasi B cell, menunggu jawaban pada reaksi dengan

eritrosit, 1% dari auto antibodi kasus ini menyebabkan hemorrhagic anemia.

Penentuan stadium yang dipakai ialah TNM menurut UICC tahun

2002.

T : tumor primer

T1 : tumor terbatas di nasofaring

T2 : tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan/atau fossa hidung

T2a – tanpa perluasan ke parafaring

T2b – dengan perluasan ke parafaring

T3 : tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal

T4 : tumor dengan perluasan intracranial dan/atau keterlibatan saraf

cranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbit

N : pembesaran kelenjar getah bening regional

Nx : tidak jelas adanya keterlibatan kelenjar getah benih (KGB)

N0 : tidak ada keterlibatan KGB

N1 : metastasis pada KGB ipsilateral tunggal, 6 cm atau kurang di atas

fossa supraklabikula

N2 : metastasis bilateral KGB, 6 cm atau kurangm di atas fossa

supraklavikula

N3a : > 6 cm

N3b : pada fossa supraklavikula

M : metastasis jauh

M0 : tidak ada metastasis jauh

M1 : ada metastasis jauh

Halaman 10 dari 17

Page 11: Laporan Blok Ix Pbl 3

7. Mengetahui morfologi kanker nasofaring

Mikroskopik:

Menurut WHO, nasopharyngeal carcinoma dapat dibagi menjadi tiga tipe:

a. Non-keratinizing carcinoma

b. Keratinizing squamous cell carcinoma

c. Basaloid squamous cell carcinoma

Dari ketiga tipe ini, yang paling sering ditemukan adalah tipe non-

keratinizing carcinoma.

Non-keratinizing carcinoma dibagi lagi menjadi dua subtipe yakni

differentiated dan undifferentiated.

UNDIFFERENTIATED DIFFERENTIATED

Sel tumor yang besar dan menyerupai

syncytium dengan batasan tidak jelas

Sel tumor yang besar dan tumbuh

secara plexiform dengan batasan yang

cukup jelas. Terkadang dapat terlihat

jembatan intraseluler. (intracellular

bridges)

Nukleus vesikular Nukleus berkromatin jelas

Nukleoli besar dan berada di tengah Nukleoli tidak begitu terlihat

Susunan sel yang terkadang

bertumpukkan satu sama lainSusunan sel masih teratur

Rasio antara nukleus-sitoplasma lebih

besar daripada subtipe differentiated

Rasio antara nukleus-sitoplasma lebih

kecil daripada subtipe undifferentiated

Halaman 11 dari 17

Page 12: Laporan Blok Ix Pbl 3

Tidak ada sel yang berkeratin Masih ada sel yang berkeratin

Karsinoma tidak berdiferensiasi termasuk di dalamnya berupa limfosarkoma,

limfoepitelioma, sel transisional, sel spindle, clear cell, dan anaplastik.

Makroskopik:

a. Bentuk ulkus, banyak di dinding posterior nasofaring atau fosa

Rossenmüller.

b. Bentuk nodul, banyak di area tuba eustakhius.

c. Bentuk eksofilik, jarang melibatkan saraf kranial.

8. Mengetahui diagnosa kanker nasofaring

Diagnosis kanker nasofaring yang paling awal dilakukan ialah dengan

cara nasofaringoskopi. Ada dua cara nasofaringoskopi yaitu langsung dan

tidak langsung. Cara langsung ialah dengan menggunakan cermin yang

dimasukan kedalam mulut agar dokter bisa melihat bagian nasofaring. Cara

tidak langsung ialah dengan menggunakan nasofaringoskop yaitu sebuah alat

yang dilengkapi dengan kamera berkabel fiberoptik yang dimasukan melalui

hidung, di ujung lain alat itu terdapat layar sehingga dokter bisa melihat apa

yang berada di depan kamera, pemeriksaan ini membutuhkan bius lokal

(Xylocain 10%) pada daerah lubang hidung. pemeriksaan ini sangat efektif

bila kanker telah terjadi pada bagian permukaan nasofaring.

Bila kanker tidak dapat diamati pada permukaan, namun pasien

menunjukan gejala-gejala kanker nasofaring, maka bisa dilakukan biopsi.

Biopsi bisa dilakukan dengan cara mengambil sel dan cairan pada nodul

limfatikus yang mengalami pembengkakan (Fine Needle Aspiration) atau

dengan cara mengambil jaringan nasofaring langsung dengan cara

menempelkan alat biopsi pada ujung nasofaringoskop.

Diagnosis juga dapat dilakukan dengan bantuan radiasi yang

digunakan untuk pencitraan. alat-alat ini antara lan:

a. X-ray: biasanya digunakan untuk pencitraan daerah toraks.

Namun bukan untuk melihat kanker  nasofaring, melainkan

untuk melihat apakah ada metastasis ke paru-paru.

Halaman 12 dari 17

Page 13: Laporan Blok Ix Pbl 3

b. CT scan: CT scan adalah alat pencitraan yang menggunakan

sinar x juga, namun CT scan dapat mendeteksi adanya kanker

pada nasofaring.

c. MRI: MRI hampir mirip dengan CT scan, namun MRI

menggunakan gelombang radio dan magnet dengan kekuatan

tinggi. perbedaannya ialah MRI bisa melihat gambar pada

jaringan lunak lebih baik, namun CT scan bisa melihat jaringan

keras seperti tulang yang menjadi sasaran  kanker nasofaring

bila kanker sudah meluas.

d. PET scan: Untuk PET scan biasanya pasien menerima injeksi

fluorodeoxyglucose (FDG) yaitu gula yang bersifat radioaktif.

Gula ini akan di ambil oleh sel-sel yang berproliferasi dengan

cepat seperti kanker. FDG ini akan diabsorpsi kanker dengan

jumlah yang lebih banyak daripada jaringan sekitarnya,

sehingga radiasi yang terpancar oleh sel kanker akan lebih tinggi

bila dibandingkan dengan jaringan sekitar. Radiasi inilah yang

ditangkap oleh PET scan, kelemahan PET scan ialah kualitas

gambar yang dihasilkan tidak sebaik CT maupun MRI.

e. Tes darah: tes yang dilakukan ialah hitung jenis dan antibodi

EBV, tes ini biasanya dilakukan untuk mengetahui tanda-tanda

fisik pasien kemoterapi dan untuk mengetahui efektivitas

pengobatan.

f. Pemeriksaan serologi IgA anti EA (Early Antigen) dan IgA anti

VCA (Virus Capsid Antigen) telah menunjukkan kemajuan

dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta mendapat

dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III

dasn IV) sesitivitas IgA anti VCA adalah 97,5% dan spesifitas

91,8%. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya

hanya 30%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk

menentukan prognosis pengobatan.

9. Mengetahui tata laksana kanker nasofaring

Pada pasien dengan kanker nasofaring, pengobatan yang dilakukan

adalah gabungan dari kemoterapi dan radioterapi. Untuk kemoterapi

Halaman 13 dari 17

Page 14: Laporan Blok Ix Pbl 3

digunakan cisplatin dan 5-fluorouracil digabungkan dengan radioterapi. Ada

juga yang menggunakan neoadjuvant kemoterapi dan radioterapi.

Cisplatin (platinol) bekerja dengan cara menghambat sintesis DNA dan

proliferasi sel dengan menyebabkan DNA crosslink dan denaturasi struktur

double helix dari DNA. 5-fluorouracil bekerja dengan menghambat sintesis

dan fungsi dari RNA sel. Kedua zat ini biasa disebut dengan zat antineoplastic

Ada juga digunakan zat antiemetic yaitu ondansteron (Zofran) yang

bekerja dengan memblok serotonin sentral dan perifer untuk mencegah muntah

akibat dosis tinggi penggunaan cisplatin.

Pada stadium awal (I) pasien dapat diberikan radioterapi saja,

kemudian pada stadium II dan III, pasien perlu diberikan kemoradiasi. Pada

stadium IV dengan N < 6 cm, pasien diberikan kemoradiasi juga, namun

pasien dengan stadium IV N > 6 cm, pasien harus menjalani kemoterapi

dengan dosis penuh dan dilanjutkan dengan kemoradiasi.

Disarankan juga bagi pasien kanker nasofaring untuk berkonsultasi

kepada:

a. Otolaryngologist untuk memperoleh diagnosis jaringan dan follow-

up dari pemeriksaan endoskopi

b. Endocrinologist karena radioterapi dapat menyebabkan growth

retardation akibat hipotiroid

c. Dentist untuk meminimalisir risiko terjadinya osteoradionecrosis.

Xerostomia dan perubahan dalam konsistensi saliva juga dapat

menyebabkan karies gigi

Untuk makanan, bagi pasien kanker nasofaring, akibat radioterapi

dapat menyebabkan mukositis parah yang berakibat sakit dan kesulitan dalam

menelan atau mengunyah. Maka disarankan untuk mengkonsumsi makanan

dengan konsistensi yang lunak selama dalam pengobatan seperti mashed

potatoes atau milk shakes.

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengembalikan kondisi

pasien yang terjangkit kanker nasofaring. Hal-hal tersebut dibagi menjadi dua

kelompok besar, yaitu secara lokal dan sistemik.

Secara lokal artinya, pasien diberi perawatan pada bagian yang terkena

(dalam hal ini nasofaring) dan perawatannya hanya berpengaruh pada jaringan

tersebut. Langkah pertama yang dapat diambil adalah dengan metode operasi.

Metode ini ditujukan untuk mengambil sel-sel abnormal yang ada.

Halaman 14 dari 17

Page 15: Laporan Blok Ix Pbl 3

Setelah itu, dapat dilakukan berbagai jenis radioterapi. Seperti yang

kita tahu, radioterapi merupakan proses pengobatan menggunakan zat-zat

radioaktif. Dalam hal ini, dapat dilakukan roentgentherapy maupun

curietherapy. Curietherapy sering dilakukan karena keunggulannya dalam

penetrasi radiasi yang lebih tinggi. Dapat juga dilakukan implantasi biji radon

kedalam nodus servikalis.

Secara sistemik artinya, pengobatan tidak hanya berpengaruh kepada

jaringan sekitarnya saja namun juga ke jaringan-jaringan lain yang letaknya

berjauhan. Dalam hal ini misalnya saja, kemoterapi. Kemoterapi tidak hanya

menghambat proliferasi sel-sel pada jaringan abnormal, namun juga bisa

menghambat proliferasi sel-sel yang cepat membelah seperti GIT.

Tata laksana di atas dapat dilakukan sesuai dengan stadium pasien.

Untuk stadium ke empat tentunya akan lebih sulit karena sudah adanya

metastasis. Dapat juga dilakukan terapi penggabungan misalnya saja operasi

dengan radioterapi.

Halaman 15 dari 17

Page 16: Laporan Blok Ix Pbl 3

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

Kanker nasofaring adalah kanker yang lebih banyak menyerang laki-laki

daripada perempuan. Kanker ini menyerang bagian nasofaring atau bagian kepala dan

leher pada manusia. Kanker ini merupakan salah satu kanker dengan insiden

terbanyak di Indonesia, di Jakarta sendiri bisa terjadi 100 kasus lebih per tahunnya.

Kejadian kanker ini tinggi pada daerah Asia Tenggara, Afrika dan Alaska.

Penyebab kanker nasofaring ini ada berbagai macam, seperti faktor

lingkungan, virus EBV, dan faktor genetika. Dari faktor genetika, haplotip yang

terkait dengan kelemahan genetik adalah HLA (Human Leukocyte Antigens): HLA-

A2, HLA-B46, HLA-B58.

Adapun faktor risiko yang bisa menyebabkan terjadinya kanker nasofaring

adalah faktor pekerjaan dimana para pekerja berkontak langsung dengan zat-zat

karsinogenik, merokok, mengonusmsi alkohol, memakan ikan asin yang didalamnya

terdapat zat nitrosamin yang dapat menyebabkan kanker nasofaring, terkena zat kimia

seperti asbestos, arsen atau asap dan bumbu masak tertentu.

Kanker nasofaring dapat muncul tanpa adanya gejala terlebih dahulu

(asimtomatik). Namun, beberapa gejala bila terkena kanker nasofaring ialah, hidung

tersumbat, tinnitus, nyeri pada bagian telinga, sakit kepala, benjolan di leher, sakit

saat menelan, dan sebagainya.

3.2 Saran

Mayoritas kejadian kanker nasofaring dipicu oleh adanya infeksi dari virus

EBV, maka salah satu cara yang terbaik untuk menghindari kanker nasofaring ialah

dengan cara menghidari infeksi EBV. Beberapa cara untuk menghindari infeksi EBV

adalah dengan cara vaksin. Cara lain untuk menghindari kanker nasofaring adalah

menerapkan kebiasaan hidup sehat, mengubah cara memasak makanan untuk

mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan makanan yang berbahaya.

Halaman 16 dari 17

Page 17: Laporan Blok Ix Pbl 3

DAFTAR PUSTAKA

1. Robboy SJ, Merino MJ, Mutter GL. The female reproductive system. In : Rubin

R, Strayer DS, editors. Rubin’s Pathology Clinicopathologic Foundations of

Medicine. 6th ed. Philadelphia: Lippincot, 2007.

2. Djojopranoto, M., and Marchetta, F. C. : Nasopharyngeal malignant tumors in

Surabaja vicinity (Indonesia), A. M.A. Arch. Otolaryng. 69:155-159, 1959

3. Her C. Nasopharyngeal cancer and the Southeast Asian patient. Am Fam

Physician. 2001 May 1;63(9):1776–82.

4. UK CR. Can graviola cure cancer? [Internet]. 2013 [cited 2013 Oct 9]. Available

from: http://www.cancerresearchuk.org/cancer-help/about-cancer/cancer-

questions/can-graviola-cure-cancer

5. Dai Y, Hogan S, Schmelz EM, Ju YH, Canning C, Zhou K. Selective Growth

Inhibition of Human Breast Cancer Cells by Graviola Fruit Extract In Vitro and In

Vivo Involving Downregulation of EGFR Expression. Nutr Cancer.

2011;63(5):795–801.

6. WHO/IARC Classification of Tumours. 4th ed.

7. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku ajar ilmu

kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.

Halaman 17 dari 17