Laporan Blok Ix Pbl 3
-
Upload
odiliajessicanpvia -
Category
Documents
-
view
228 -
download
5
description
Transcript of Laporan Blok Ix Pbl 3
BLOK IX. KONSEP PATOLOGI 2 (MAC 203)
Laporan PBL 3 : Kanker Nasofaring
oleh kelompok PBL 3 :
Jessica Benedick / 2012 – 060 – 010
Yunnita Gunawan / 2012 – 060 – 025
Stefani Stascia / 2012 – 060 – 044
Devita Surya Indah / 2012 – 060 – 045
Claudia Marsella / 2012 – 060 – 046
Wolter Prakarsa Jaya / 2012 – 060 – 053
Carmelia Anggraini / 2012 – 060 – 062
Chintya / 2012 – 060 – 064
Steven Philip Surya / 2012 – 060 – 141
Judy Ranita Angkasa / 2012 – 060 – 142
Ivan Kunardi / 2012 – 060 – 156
Sardono Widinugroho / 2012 – 060 – 157
Vincentius Henry Sundah / 2012 – 060 – 265
Dosen Tutor :
dr. Christianto Sandjaja
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA
JAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tumor merupakan sebuah penyakit di mana pertumbuhan dan perkembangan
sebuah sel menjadi tidak terkontrol. Sel mulai membelah tanpa adanya instruksi dari
pusat di samping itu sel memiliki sifat immortal dimana sebuah sel menjadi
insensitive terhadap sinyal apoptosis. Perubahan sel menjadi tumor ini bisa
disebabkan oleh adanya faktor lingkungan, genetik, maupun interaksi keduanya.
Berdasarkan keganasannya tumor dibagi menjadi dua kelompok, yaitu jinak
(benign) dan ganas (malignant). Pada beberapa tumor jinak biasanya penderita dapat
hidup untuk jangka waktu yang lebih lama bila dibandingkan dengan tumor ganas
yang akrab kita sebut sebagai kanker. Tumor jinak tidak memiliki kemampuan untuk
metastasis dimana kanker bisa bermetastasis dengan sarana pembuluh limfe atau
pembuluh darah.
Salah satu kanker yang paling sering ditemukan di Indonesia adalah kanker
nasofaring. Kanker ini seperti namanya, terjadi pada bagian nasofaring manusia.
Kanker ini biasanya terjadi karena faktor lingkungan yaitu infeksi dari virus EBV
(Epstein-Barr Virus).
1.2. Skenario
Benjolan
Tn. Y, berusia 55 tahun berobat ke rumah sakit dengan keluhan benjolan di
leher kiri sejak 2 bulan terakhir. Benjolan tidak nyeri, tidak disertai demam. Riwayat
penyakit dimulai dengan gangguan pendengaran berupa tinnitus dan tuli pada 1 sisi
telinganya. Keluhan disertai hidung tersumbat dan mimisan. Dokter kemudian
merujuk untuk dilakukan biopsi aspirasi dan hasilnya ditemukan anak sebar sel-sel
tumor ganas epitelial yang berasal dari nasofaring pada kelenjar getah bening leher
kiri.
Halaman 2 dari 17
BAB II
HASIL DISKUSI
2.1. Clarifying Unfamilliar Terms
1. Tinnitus = telinga berdenging.
2. Biopsi aspirasi = biopsi dengan menggunakan jarum; needle aspiration.
3. Anak sebar = sel atau jaringan kanker yang lepas; metastasis. Dapat menyebar
melalui limfe dan pembuluh darah.
2.2. Define the Problems
1. Apa definisi kanker nasofaring?
2. Apa etiologi kanker nasofaring?
3. Bagaimana patofisiologi kanker nasofaring?
4. Apa hubungan tumor nasofaring dengan gangguan pendengaran?
5. Apa gejala dari kanker nasofaring?
6. Bagaimana epidemiologi kanker nasofaring?
7. Apa faktor risiko dari kanker nasofaring?
8. Bagaimana cara mendiagnosa kanker nasofaring?
9. Bagaimana intervensi atau tatalaksana dari kanker nasofaring?
2.3. Brainstorming
1. Apa definisi kanker nasofaring?
Kanker di permukaan sel nasofaring
2. Apa etiologi kanker nasofaring?
Epstein-Barr Virus, zat-zat karsinogenik (aerosol), infeksi
berkepanjangan, genetik.
3. Bagaimana patofisiologi kanker nasofaring?
Dimasukkan ke dalam Learning Objectives.
4. Apa hubungan tumor nasofaring dengan gangguan pendengaran?
Hubungan kanker nasofaring dengan pendengaran berhubungan dengan
tuba Eustachius, kanker yang membesar menyebabkan perubahan tekanan
Halaman 3 dari 17
telinga, dapat juga menekan hidung sehingga hidung menjadi tersumbat,
neovaskularisasi juga dapat menyebabkan mimisan.
5. Apa gejala dari kanker nasofaring?
Gejala kanker nasofaring adalah tinnitus, hidung tersumbat, sakit kepala,
terdapat benjolan, gangguan pernapasan.
6. Bagaimana epidemiologi kanker nasofaring?
Lebih banyak diderita oleh laki-laki; 2 kali lebih beresiko. Banyak
diderita oleh orang Afrika. Bisa menyerang anak-anak juga, tidak hanya orang
dewasa.
7. Apa faktor risiko dari kanker nasofaring?
Pada laki-laki, banyak yang perokok sehingga risiko terkena kanker
meningkat dibandingkan dengan perempuan. Terpapar dengan aerosol:
mengandung polisiklinhidrokarbon yang bersifat karsinogenik.
8. Bagaimana cara mendiagnosa kanker nasofaring?
Tes darah dan biopsi.
9. Bagaimana intervensi atau tatalaksana dari kanker nasofaring?
Dimasukkan ke dalam Learning Objectives.
2.4. Analysing the Problem
2.5. Learning Objectives
1. Mengetahui definisi kanker nasofaring
2. Mengetahui gejala kanker nasofaring
3. Mengetahui etiologi kanker nasofaring
4. Mengetahui faktor risiko kanker nasofaring
Halaman 4 dari 17
Kanker Nasofaring
Definisi Gejala Etiologi Faktor Risiko
Epidemiologi
Patofisiologi Morfologi Diagn
osaTata
laksana
5. Mengetahui epidemiologi kanker nasofaring
6. Mengetahui patofisiologi klinis kanker nasofaring
7. Mengetahui morfologi kanker nasofaring
8. Mengetahui diagnosa kanker nasofaring
9. Mengetahui tata laksana kanker nasofaring
2.6. Self Study
Pelaksanaan self-study dilakukan selama 2 hari setelah pertemuan pertama.
Sumber – sumber yang digunakan berasal dari buku dan internet. Masing – masing
dari kami membaca sumber – sumber tersebut, kemudian kami melakukan pertemuan
dengan seluruh anggota untuk membicarakan informasi atau pengetahuan baru dari
sumber yang kami baca itu.
2.7. Report
1. Mengetahui definisi kanker nasofaring
Kanker nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
terbanyak di temukan di Indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher
merupakan kanker nasofaring.
Tumor nasofaring terdapat 2 jenis :
a. Tumor jinak : jarang dijumpai, bila dijumpai umumnya terjadi
pada anak-anak atau dewasa muda, tidak menyebar ke bagian
lain ( tidak metastasis), termasuk malformasi sistem vaskular :
angiofibroma dan hemangioma.
b. Kanker nasofaring : merupakan tumor ganas daerah kepala dan
leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. Terjadi pada sel
epitel permukaan internal dan eksternal. Terdapat 3 jenis :
1) Keratinizing carcinoma cell squamosa
2) Non-keratinizing differentiated carcinoma
3) Undifferentiated carcinoma
2. Mengetahui gejala kanker nasofaring
a. Gejala nasofaring
Berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung. Oleh karena
itu, nasofaring harus diperiksa dengan cermat dengan nasofaringoskop,
Halaman 5 dari 17
karena seringkali gejala belum timbul sedangkan tumor sudah tumbuh
di bawah mukosa sehingga tidak tampak (creeping tumor)
b. Gejala telinga
Gejala ini sering timbul karena tempat asal tumor dekat muara
tuba Eustachius (fossa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinnitus,
rasa tidak nyaman di telinga, otalgia (rasa nyeri di telinga).
c. Gejala mata dan saraf
Nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak
melalui beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat
terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma nasofaring. Penjalaran melalui
foramen lacerum akan mengenai saraf otak III, IV, V, dan VI. Proses
karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak IX, X, XI, dan XII
jika penjalaran melalui foramen jugulare. Gangguan ini sering disebut
sebagai Jack Syndrome. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak maka
disebut sindrom unilateral.
d. Gejala di leher
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher
yang tidak sakit (terdapat pada 75% pasien dan seringkali bilateral dan
posterior).
e. Sakit kepala
f. Cranial nerve palsy
Hal ini disebabkan oleh tumor yang menyebar sampai ke dasar
tengkorak.
g. Early symptom mirip penyakit lain
h. Rismus
Spasme otot pengunyah
i. Odynophagia
Sakit saat menelan
j. Fistula
k. Horner’s syndrome
Nervus otak yang ke daerah mata dan wajah rusak.
l. Asimtomatik
Karena saat tumor sudah mencapai daerah limfe di bagian
profunda, tumor tersebut tertutup muskulus sternocleidomastoideus
menyebabkan tumor tersebut sulit dideteksi.
Halaman 6 dari 17
3. Mengetahui etiologi kanker nasofaring
a. Faktor lingkungan
Konsumsi ikan asin dan makanan yang diasinkan (telur,
sayur, akar) pada anak usia dini merupakan faktor risiko
yang besar. Hal ini terkait substansi karsinogen yang
terdapat dalam ikan yang diasinkan N-
nitrosodimethylamine, ditambah dengan defisiensi vitamin.
Terkait aktivitas keagamaan seperti debu, kemenyan, dupa.
Aktivitas rumah tangga; asap dan gas rumah tangga.
Terkait pekerjaan, termasuk paparan terhadap
formaldehyde, debu, serbuk kayu, dan senyawa aromatic
hydrocarbons, serta tembakai dan alkohol.
b. Epstein-Barr Virus (herpesvirus)
Penyebab utama infeksi mononucleosis akut
(pembengkakan KGB, demam, sakit tenggorokan), yang
diasosiasikan dengan Hodgkin’s disease, Burkitt’s
Lymphoma, lymphoproliferative disease setelah
transplantasi, dan limfoma sel T.
Hubungan antara kanker nasofaring dan EBV pertama kali
diamati pada tahun 1966, yang mana penemuan ini disertai
dengan peningkatan level IgG dan IgA. Kedua antibodi ini
aktif untuk melawan komponen EBV pada pasien dengan
kanker nasofaring.
EBV akan menginisiasi infeksi awal yang aktif; virus
kemudian berada pada fase laten sampai akhirnya diaktivasi
lagi dalam kondisi sakit atau sistem imun yang turun.
Mekanisme hubungan EBV dan kanker nasofaring masih
belum dipahami dengan pasti, mungkin terkait dengan
faktor genetik dan lingkungan masing-masing orang,
mengenai responnya masing-masing.
c. Kerentanan genetik
Haplotip yang terkait dengan kelemahan genetik adalah
HLA (Human Leukocyte Antigens): HLA-A2, HLA-B46,
HLA-B58.
Halaman 7 dari 17
Kerusakan kromosom 3p,9p, 17p, dan 13q dapat
menimbulkan lesi ganas atau pre-ganas dari area kepala dan
leher. Kerusakan tumor suppressor genes p53. Amplifikasi
onkogenes, seperti ekspresi yang berlebihan dari
PRAD-1/bcl-1 (cyclinD1), bcl-2, TGF-β, dan EGFR.
d. Tanaman Croton tigilium dan bakteri Euphorbiaciae famili
Banyak terdapat di Cina Selatan dan Hongkong karena tanaman
ini sering dijadikan obat herbal disana. Bisa disebabkan oleh
tanamannya saja ataupun bakterinya saja, atau kombinasi dari
keduanya.
4. Mengetahui faktor risiko kanker nasofaring
a. Faktor pekerjaan
Pekerjaaan yang berhubungan dengan debu nikel, debu kayu
dan asap minyak tanah memiliki resiko terkena kanker nasofaring yang
lebih besar. Begitu pula dengan pekerjaan yang sering berkontak
dengan zat karsinogen seperti benzopyrene.
b. Senyawa nikel yang terdapat dalam air minum.
c. Radang kronis yang terjadi di daerah nasofaring, menyebabkan
mukosa nasofaring rentan terhadap zat karsinogen lingkungan.
d. Rokok
e. Mengonsumsi alkohol
f. Senyawa nitrosamin yang terdapat pada ikan asin.
g. Senyawa kimia seperti asbes dan arsen, asap atau bumbu dapur
tertentu.
5. Mengetahui epidemiologi kanker nasofaring
Kanker nasofaring lebih sering terdapat pada pria dibandingkan wanita.
Prevalensi penderita kanker ini juga ditemukan lebih tinggi pada daerah Cina
Selatan (tepatnya pada provinsi Guangdong), Alaska, dan juga Greenlands.
Angka ini juga ditemukan tinggi pada negara Indonesia.
Jika ditinjau dari segi umur, kanker ini lebih banyak mengenai pasien
dengan usia 40 sampai dengan 45 tahun. Epidermoid carcinoma jarang
ditemui pada pasien dibawah 25 tahun. Sedangkan, lymphosarcoma dapat
ditemukan pada usia dibawah 25 tahun, maupun diatas.
Halaman 8 dari 17
Genetik juga diketahui mempengaruhi epidemiologi dari kanker
nasofaring. Hal ini terbukti dari sebuah penelitian terhadap orang dengan ras
Chinese. Mereka meskipun sudah bermigrasi ke daerah yang prevalensi
terkena kanker nasofaring lebih rendah, tetap berkemungkinan lebih tinggi
untuk terjangkit kanker ini. Hal ini membuktikan bahwa, sedikit banyak peran
genetik mengambil bagian dari penyakit ini.
Undifferentiated nonkeratinizing carcinomas umum ditemukan di Asia
Tenggara dan sebagian Afrika.
Terkait dengan ras tertentu, Chinese race memiliki tingkat mortalitas yang
lebih tinggi akibat kanker nasofaring dibanding ras lain dikarenakan adanya
A2 HLA haplotip dalam genetiknya.
Di Afrika yang banyak dijumpai adalah kanker nasofaring pada anak-
anak. Di Cina lebih banyak ditemukan kanker nasofaring pada orang dewasa,
sementara di Amerika kedua jenis kanker ini; anak-anak dan dewasa; memiliki
prevalensi kejadian yang hampir sama.
Insiden dari kanker nasofaring ini adalah:
a. Insiden tinggi. 15 – 330 per 100.000 kasus di Cina bagian
selatan terutama di Guangdong dan Guanxi, Hongkong, dan
daerah imigran orang Cina di Asia Tenggara, California, dan
Negara lain.
b. Insiden sedang. 4 -15 per 100.000 kasus pada orang Eskimo di
Greenland, Canada, Alaska, dan beberapa suku di Indonesia,
Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Cina Selatan lainnya.
c. Insiden rendah. 4 per 100.000 pada Cina bagian Utara, Jepang,
Eropa, dan Amerika.
6. Mengetahui patofisiologi kanker nasofaring
EBV mempunyai Antigen VCA dan EBV Associated Nuclear Antigen,
menempel pada reseptor CD21 (di permukaan limfosit B dan sel epitel) atau
CD3D, bisa menyerang orofaring dan B cell, kalau sudah menyerang B cell, T
cell respon maka terjadilah civil war, hal ini terlihat di daerah tepi sebagai
atipikal limfosit, dan ini adalah karakteristik infeksi EBV.
Anak-anak memiliki pervalensi kecil karena respon imun mereka
masih sangat lemah. EBV diinkubasi selama 4-7 minggu.
Halaman 9 dari 17
Cara kerja EBV sebagai berikut, aksi terhadap sitokin dalam aktivitas
imunologi lalu terjadi peningkatan IFN, yang menyebabkan sakit kepala dan
demam. Poliklonal aktivasi B cell, menunggu jawaban pada reaksi dengan
eritrosit, 1% dari auto antibodi kasus ini menyebabkan hemorrhagic anemia.
Penentuan stadium yang dipakai ialah TNM menurut UICC tahun
2002.
T : tumor primer
T1 : tumor terbatas di nasofaring
T2 : tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan/atau fossa hidung
T2a – tanpa perluasan ke parafaring
T2b – dengan perluasan ke parafaring
T3 : tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal
T4 : tumor dengan perluasan intracranial dan/atau keterlibatan saraf
cranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbit
N : pembesaran kelenjar getah bening regional
Nx : tidak jelas adanya keterlibatan kelenjar getah benih (KGB)
N0 : tidak ada keterlibatan KGB
N1 : metastasis pada KGB ipsilateral tunggal, 6 cm atau kurang di atas
fossa supraklabikula
N2 : metastasis bilateral KGB, 6 cm atau kurangm di atas fossa
supraklavikula
N3a : > 6 cm
N3b : pada fossa supraklavikula
M : metastasis jauh
M0 : tidak ada metastasis jauh
M1 : ada metastasis jauh
Halaman 10 dari 17
7. Mengetahui morfologi kanker nasofaring
Mikroskopik:
Menurut WHO, nasopharyngeal carcinoma dapat dibagi menjadi tiga tipe:
a. Non-keratinizing carcinoma
b. Keratinizing squamous cell carcinoma
c. Basaloid squamous cell carcinoma
Dari ketiga tipe ini, yang paling sering ditemukan adalah tipe non-
keratinizing carcinoma.
Non-keratinizing carcinoma dibagi lagi menjadi dua subtipe yakni
differentiated dan undifferentiated.
UNDIFFERENTIATED DIFFERENTIATED
Sel tumor yang besar dan menyerupai
syncytium dengan batasan tidak jelas
Sel tumor yang besar dan tumbuh
secara plexiform dengan batasan yang
cukup jelas. Terkadang dapat terlihat
jembatan intraseluler. (intracellular
bridges)
Nukleus vesikular Nukleus berkromatin jelas
Nukleoli besar dan berada di tengah Nukleoli tidak begitu terlihat
Susunan sel yang terkadang
bertumpukkan satu sama lainSusunan sel masih teratur
Rasio antara nukleus-sitoplasma lebih
besar daripada subtipe differentiated
Rasio antara nukleus-sitoplasma lebih
kecil daripada subtipe undifferentiated
Halaman 11 dari 17
Tidak ada sel yang berkeratin Masih ada sel yang berkeratin
Karsinoma tidak berdiferensiasi termasuk di dalamnya berupa limfosarkoma,
limfoepitelioma, sel transisional, sel spindle, clear cell, dan anaplastik.
Makroskopik:
a. Bentuk ulkus, banyak di dinding posterior nasofaring atau fosa
Rossenmüller.
b. Bentuk nodul, banyak di area tuba eustakhius.
c. Bentuk eksofilik, jarang melibatkan saraf kranial.
8. Mengetahui diagnosa kanker nasofaring
Diagnosis kanker nasofaring yang paling awal dilakukan ialah dengan
cara nasofaringoskopi. Ada dua cara nasofaringoskopi yaitu langsung dan
tidak langsung. Cara langsung ialah dengan menggunakan cermin yang
dimasukan kedalam mulut agar dokter bisa melihat bagian nasofaring. Cara
tidak langsung ialah dengan menggunakan nasofaringoskop yaitu sebuah alat
yang dilengkapi dengan kamera berkabel fiberoptik yang dimasukan melalui
hidung, di ujung lain alat itu terdapat layar sehingga dokter bisa melihat apa
yang berada di depan kamera, pemeriksaan ini membutuhkan bius lokal
(Xylocain 10%) pada daerah lubang hidung. pemeriksaan ini sangat efektif
bila kanker telah terjadi pada bagian permukaan nasofaring.
Bila kanker tidak dapat diamati pada permukaan, namun pasien
menunjukan gejala-gejala kanker nasofaring, maka bisa dilakukan biopsi.
Biopsi bisa dilakukan dengan cara mengambil sel dan cairan pada nodul
limfatikus yang mengalami pembengkakan (Fine Needle Aspiration) atau
dengan cara mengambil jaringan nasofaring langsung dengan cara
menempelkan alat biopsi pada ujung nasofaringoskop.
Diagnosis juga dapat dilakukan dengan bantuan radiasi yang
digunakan untuk pencitraan. alat-alat ini antara lan:
a. X-ray: biasanya digunakan untuk pencitraan daerah toraks.
Namun bukan untuk melihat kanker nasofaring, melainkan
untuk melihat apakah ada metastasis ke paru-paru.
Halaman 12 dari 17
b. CT scan: CT scan adalah alat pencitraan yang menggunakan
sinar x juga, namun CT scan dapat mendeteksi adanya kanker
pada nasofaring.
c. MRI: MRI hampir mirip dengan CT scan, namun MRI
menggunakan gelombang radio dan magnet dengan kekuatan
tinggi. perbedaannya ialah MRI bisa melihat gambar pada
jaringan lunak lebih baik, namun CT scan bisa melihat jaringan
keras seperti tulang yang menjadi sasaran kanker nasofaring
bila kanker sudah meluas.
d. PET scan: Untuk PET scan biasanya pasien menerima injeksi
fluorodeoxyglucose (FDG) yaitu gula yang bersifat radioaktif.
Gula ini akan di ambil oleh sel-sel yang berproliferasi dengan
cepat seperti kanker. FDG ini akan diabsorpsi kanker dengan
jumlah yang lebih banyak daripada jaringan sekitarnya,
sehingga radiasi yang terpancar oleh sel kanker akan lebih tinggi
bila dibandingkan dengan jaringan sekitar. Radiasi inilah yang
ditangkap oleh PET scan, kelemahan PET scan ialah kualitas
gambar yang dihasilkan tidak sebaik CT maupun MRI.
e. Tes darah: tes yang dilakukan ialah hitung jenis dan antibodi
EBV, tes ini biasanya dilakukan untuk mengetahui tanda-tanda
fisik pasien kemoterapi dan untuk mengetahui efektivitas
pengobatan.
f. Pemeriksaan serologi IgA anti EA (Early Antigen) dan IgA anti
VCA (Virus Capsid Antigen) telah menunjukkan kemajuan
dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta mendapat
dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium III
dasn IV) sesitivitas IgA anti VCA adalah 97,5% dan spesifitas
91,8%. IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya
hanya 30%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk
menentukan prognosis pengobatan.
9. Mengetahui tata laksana kanker nasofaring
Pada pasien dengan kanker nasofaring, pengobatan yang dilakukan
adalah gabungan dari kemoterapi dan radioterapi. Untuk kemoterapi
Halaman 13 dari 17
digunakan cisplatin dan 5-fluorouracil digabungkan dengan radioterapi. Ada
juga yang menggunakan neoadjuvant kemoterapi dan radioterapi.
Cisplatin (platinol) bekerja dengan cara menghambat sintesis DNA dan
proliferasi sel dengan menyebabkan DNA crosslink dan denaturasi struktur
double helix dari DNA. 5-fluorouracil bekerja dengan menghambat sintesis
dan fungsi dari RNA sel. Kedua zat ini biasa disebut dengan zat antineoplastic
Ada juga digunakan zat antiemetic yaitu ondansteron (Zofran) yang
bekerja dengan memblok serotonin sentral dan perifer untuk mencegah muntah
akibat dosis tinggi penggunaan cisplatin.
Pada stadium awal (I) pasien dapat diberikan radioterapi saja,
kemudian pada stadium II dan III, pasien perlu diberikan kemoradiasi. Pada
stadium IV dengan N < 6 cm, pasien diberikan kemoradiasi juga, namun
pasien dengan stadium IV N > 6 cm, pasien harus menjalani kemoterapi
dengan dosis penuh dan dilanjutkan dengan kemoradiasi.
Disarankan juga bagi pasien kanker nasofaring untuk berkonsultasi
kepada:
a. Otolaryngologist untuk memperoleh diagnosis jaringan dan follow-
up dari pemeriksaan endoskopi
b. Endocrinologist karena radioterapi dapat menyebabkan growth
retardation akibat hipotiroid
c. Dentist untuk meminimalisir risiko terjadinya osteoradionecrosis.
Xerostomia dan perubahan dalam konsistensi saliva juga dapat
menyebabkan karies gigi
Untuk makanan, bagi pasien kanker nasofaring, akibat radioterapi
dapat menyebabkan mukositis parah yang berakibat sakit dan kesulitan dalam
menelan atau mengunyah. Maka disarankan untuk mengkonsumsi makanan
dengan konsistensi yang lunak selama dalam pengobatan seperti mashed
potatoes atau milk shakes.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengembalikan kondisi
pasien yang terjangkit kanker nasofaring. Hal-hal tersebut dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu secara lokal dan sistemik.
Secara lokal artinya, pasien diberi perawatan pada bagian yang terkena
(dalam hal ini nasofaring) dan perawatannya hanya berpengaruh pada jaringan
tersebut. Langkah pertama yang dapat diambil adalah dengan metode operasi.
Metode ini ditujukan untuk mengambil sel-sel abnormal yang ada.
Halaman 14 dari 17
Setelah itu, dapat dilakukan berbagai jenis radioterapi. Seperti yang
kita tahu, radioterapi merupakan proses pengobatan menggunakan zat-zat
radioaktif. Dalam hal ini, dapat dilakukan roentgentherapy maupun
curietherapy. Curietherapy sering dilakukan karena keunggulannya dalam
penetrasi radiasi yang lebih tinggi. Dapat juga dilakukan implantasi biji radon
kedalam nodus servikalis.
Secara sistemik artinya, pengobatan tidak hanya berpengaruh kepada
jaringan sekitarnya saja namun juga ke jaringan-jaringan lain yang letaknya
berjauhan. Dalam hal ini misalnya saja, kemoterapi. Kemoterapi tidak hanya
menghambat proliferasi sel-sel pada jaringan abnormal, namun juga bisa
menghambat proliferasi sel-sel yang cepat membelah seperti GIT.
Tata laksana di atas dapat dilakukan sesuai dengan stadium pasien.
Untuk stadium ke empat tentunya akan lebih sulit karena sudah adanya
metastasis. Dapat juga dilakukan terapi penggabungan misalnya saja operasi
dengan radioterapi.
Halaman 15 dari 17
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Kanker nasofaring adalah kanker yang lebih banyak menyerang laki-laki
daripada perempuan. Kanker ini menyerang bagian nasofaring atau bagian kepala dan
leher pada manusia. Kanker ini merupakan salah satu kanker dengan insiden
terbanyak di Indonesia, di Jakarta sendiri bisa terjadi 100 kasus lebih per tahunnya.
Kejadian kanker ini tinggi pada daerah Asia Tenggara, Afrika dan Alaska.
Penyebab kanker nasofaring ini ada berbagai macam, seperti faktor
lingkungan, virus EBV, dan faktor genetika. Dari faktor genetika, haplotip yang
terkait dengan kelemahan genetik adalah HLA (Human Leukocyte Antigens): HLA-
A2, HLA-B46, HLA-B58.
Adapun faktor risiko yang bisa menyebabkan terjadinya kanker nasofaring
adalah faktor pekerjaan dimana para pekerja berkontak langsung dengan zat-zat
karsinogenik, merokok, mengonusmsi alkohol, memakan ikan asin yang didalamnya
terdapat zat nitrosamin yang dapat menyebabkan kanker nasofaring, terkena zat kimia
seperti asbestos, arsen atau asap dan bumbu masak tertentu.
Kanker nasofaring dapat muncul tanpa adanya gejala terlebih dahulu
(asimtomatik). Namun, beberapa gejala bila terkena kanker nasofaring ialah, hidung
tersumbat, tinnitus, nyeri pada bagian telinga, sakit kepala, benjolan di leher, sakit
saat menelan, dan sebagainya.
3.2 Saran
Mayoritas kejadian kanker nasofaring dipicu oleh adanya infeksi dari virus
EBV, maka salah satu cara yang terbaik untuk menghindari kanker nasofaring ialah
dengan cara menghidari infeksi EBV. Beberapa cara untuk menghindari infeksi EBV
adalah dengan cara vaksin. Cara lain untuk menghindari kanker nasofaring adalah
menerapkan kebiasaan hidup sehat, mengubah cara memasak makanan untuk
mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan makanan yang berbahaya.
Halaman 16 dari 17
DAFTAR PUSTAKA
1. Robboy SJ, Merino MJ, Mutter GL. The female reproductive system. In : Rubin
R, Strayer DS, editors. Rubin’s Pathology Clinicopathologic Foundations of
Medicine. 6th ed. Philadelphia: Lippincot, 2007.
2. Djojopranoto, M., and Marchetta, F. C. : Nasopharyngeal malignant tumors in
Surabaja vicinity (Indonesia), A. M.A. Arch. Otolaryng. 69:155-159, 1959
3. Her C. Nasopharyngeal cancer and the Southeast Asian patient. Am Fam
Physician. 2001 May 1;63(9):1776–82.
4. UK CR. Can graviola cure cancer? [Internet]. 2013 [cited 2013 Oct 9]. Available
from: http://www.cancerresearchuk.org/cancer-help/about-cancer/cancer-
questions/can-graviola-cure-cancer
5. Dai Y, Hogan S, Schmelz EM, Ju YH, Canning C, Zhou K. Selective Growth
Inhibition of Human Breast Cancer Cells by Graviola Fruit Extract In Vitro and In
Vivo Involving Downregulation of EGFR Expression. Nutr Cancer.
2011;63(5):795–801.
6. WHO/IARC Classification of Tumours. 4th ed.
7. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku ajar ilmu
kesehatan telinga hidung tenggorok kepala & leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
Halaman 17 dari 17