Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

63
LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL BLOK 10 INFEKSI II KEDOKTERAN GIGI MODUL 1 LESI JARINGAN LUNAK DAN KELENJAR SALIVA KELOMPOK 2 Khemal Ilham Rinaldy 1310015102 Devi Sarfina 1310015105 Jumiati 1310015097 Dini Sylvana 1310015107 Shalahuddin Al Amin 1310015113 Madherisa Paulita 1310015099 Raisa Debrina Commas 1310015111 Suhastianti Shafira Utami 1310015100 Frediyuwana Dharmaswara 1310015114 Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 1

Transcript of Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

Page 1: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL

BLOK 10 INFEKSI II KEDOKTERAN GIGI

MODUL 1 LESI JARINGAN LUNAK DAN KELENJAR SALIVA

KELOMPOK 2

Khemal Ilham Rinaldy 1310015102

Devi Sarfina 1310015105

Jumiati 1310015097

Dini Sylvana 1310015107

Shalahuddin Al Amin 1310015113

Madherisa Paulita 1310015099

Raisa Debrina Commas 1310015111

Suhastianti Shafira Utami 1310015100

Frediyuwana Dharmaswara 1310015114

TUTOR drg. Masyudi, M.Si

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

TAHUN 2014

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 1

Page 2: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayah-Nya lah laporan hasil diskusi kelompok kecil ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari diskusi kelompok kecil (DKK) kami.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya laporan ini. Pertama-tama kami ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. drg. Masyudi selaku tutor kelompok 2 yang telah membimbing kami dalam melaksanakan diskusi kelompok kecil (DKK) dalam skenario modul 1 blok 10 ini.

2. Teman-teman kelompok 2 yang telah mencurahkan pikiran dan tenaganya sehingga diskusi kelompok kecil (DKK) 1 dan 2 dapat berjalan dengan baik dan dapat menyelesaikan laporan hasil diskusi kelompok kecil (DKK) kelompok 2.

3. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman khususnya program studi kedokteran gigi angkatan 2013, segala fasilitas yang telah kami gunakan untuk menambah pengetahuan tentang modul kami ini, serta pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

Kami sengaja menyelesaikan laporan ini untuk memenuhi salah satu tugas kuliah dengan sistem PBL. Dan tentunya kami selaku penyusun juga mengharapkan agar laporan ini dapat berguna baik bagi penyusun sendiri maupun bagi pembaca di kemudian hari.

Laporan ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran serta kritik yang membangun sangat kami harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan hasil diskusi kelompok kecil (DKK) ini.

Samarinda, Februari 2015

Hormat kami,

Tim penyusun

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 2

Page 3: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………..i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang..……………………………………………………………1

1.2 Tujuan……………………………………………………………………....1

1.3 Manfaat………………………………………..……………………………2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Skenario ........................................................................................................3

2.2 Step 1 Terminologi .......................................................................................3

2.3 Step 2 Identifikasi Masalah ..........................................................................4

2.4 Step 3 Analisa masalah .................................................................................4

2.5 Step 4 Kerangka Konsep ..............................................................................14

2.6 Step 5 Learning Objective ............................................................................14

2.7 Step 6 Belajar Mandiri .................................................................................15

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ..................................................................................................38

3.2 Saran .............................................................................................................38

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................39

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 3

Page 4: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Dasar dari suatu perawatan yang baik adalah diagnosis yang tepat. Walaupun

dasarnya adalah ilmu pengetahuan, namun ilmu kedokteran gigi juga merupakan

suatu seni. Hal ini dapat terlihat jelas dari perawatan gigi yang diberikan, juga

dalam menentukan diagnosis penyakit gigi dan mulut. Perawatan higienen gigi

dan mulut yang lengkap didasarkan pada model ADPIE (Penilaian, diagnosis,

perencanaan, penerapan dan evaluasi). Begitu pemerikasaan lengap dilakukan,

dimulailah tahap diagnosis dan perawatan yang tepat. Maka dari itu dokter gigi

harus mempunyai dasar ilmu pengetahuan tentang area gigi dan mulut yang

terbatas, terlebih kadang banyak pasien yang mengajukan keluhan tanpa tanda-

tanda penyakit. Mahasiswa harus mampu mengenali berbagai tanda yang terdapat

didalam ronggo mulut, salah satu yang paling banyak adalah lesi yang dibagi

menjadi dua yaitu lesi merah dan lesi putih.

Lesi  putih menunjukkan adanya  area  abnormal  di  mukosa  oral  yang

berdasarkan pemeriksaan klinik tampak lebih putih daripada jaringan sekitar  dan 

biasanya  sedikit meninggi, kasar, dan memiliki tekstur yang berbeda

dibandingkan jaringan yang normal. Lesi Merah menunjukkan area mukosa yang

memerah,  biasanya  lebih halus dan “athropic looking”.

Lesi putih pada mukosa oral diklasifikasikan menjadi dua, yaitu keratotik

white lesion dan non-keratotik lesion.  Keratotic white lesion tidak bisa diangkat 

menggunakan rubbing atau scraping dan biasanya merupakan hasil dari

hiperkeratinosis.  Sedangkan non-keratotic lesion dapat diangkat karena

merupakan akumulasi dari debris atau formasi pseudomembran.

1.2 TUJUAN

Memberikan pemahaman kepada mahasiswa agar dapat mengidentifikasi juga

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 4

Page 5: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

membedakan dan mampu menggunakan istilah diagnosis yang menyebutkan

macam lesi merah dan lesi putih yang mirip pada mukosa mulut, juga mampu

mengenali penyebab dan cirri klinis lesi putih dna lesi merah, selain itu

mahasiswa juga dianjurkan mampu memilih perawatan yang tepat untuk lesi putih

dan lesi merah.

1.3 MANFAAT

Makalah  ini  berisi materi berbagai  macam penyakit yang diklasifikasikan

Lesi Merah maupun Lesi Putih yang terdapat dalam mukosa oral dari mulai

penjelasan mengenai definisi, etiologi, diagnosis banding, manifestasi klinis,

histopatologis, perawatan dan insidensi penyakit tersebut. Hal itu diharapkan akan

lebih memudahkan mengidentifikasikan suatu penyakit serta bagaimana cara

menanganinya

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 5

Page 6: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

BAB 2

ISI DAN PEMBAHASAN

2.1. SKENARIO MODUL

LESI YANG MENYERANG KELUARGAKU..... ?

Namaku Dentalo (19 tahun) mahasiswa PSKG, mempunyai masalah pada

mukosa rongga mulut, setiap akan ujian selalu ada muncul ulser pada mukosa

bukal. Sedangkan adikku dentisia (16 tahun) setiap akan menstruasi sering

timbul lesi pada mukosa labial rongga mulut, hal ini diperparah lagi dengan nilai

Hemoglobin adikku Hb 9.5 mg/dl . Ayahku Dentalmo (40 tahun) pada daerah

tepi gingivaterdapat lesi berwarna putih, menonjol, tetapi tidak

mengkilat,timbulnya indurasi menyebabkan permukaan menjadi kasar dan

berlekuk-lekuk. Ayahku mempunyai kebiasaan buruk yaitu sering minum

alkuhol dan perokok berat, sehari ayahku bisa menghabiskan 2 bungkus

rokok..bahh ngeri kalii. Rasa penasaranku membuat aku bertanya pada dosenku,

dosenku yang baik hati mengatakan bahwa bahwa lesi yang muncul pada

Dentalo setiap waktu ujian serta pada Dentisia setiap menstrusasi menurutnya

tidak terlalu menghawatirkan. Tetapi betapa terkejutnya dosenku setelah melihat

lesi pada bagian tepi gingiva ayahku...ini berbahaya bahh...maklum dosen ku

orang medan pulaa.

2.2. TUJUH LANGKAH PBL BERDASARKAN THE SEVEN JUMPS

2.2.1. IDENTIFIKASI ISTILAH

Ulser : Luka terbuka dengan hilangnya seluruh epitel dari

permukaan sampai dasar kadang sampai meluas kedalam lamina popria

dibawahnya.

Hemoglobin : Protein yang mengandung zat besi di sel darah merah.

Indurasi : Pengerasan abnormal suatu jaringan/organ.

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 6

Page 7: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

Menstruasi : Meluruhnya dinding Rahim disertai pendarahan yang

terjadi secara berulang, kecuali saat kehamilan.

Lesi : Kelainan patologi pada jaringan yang

menimbulkan gejala karena adanya penyakit dan trauma.

Mukosa : Lapisan kulit dalam yang tertutup epitel.

Gingiva : Bagian dari mukosa rongga mulut yang menutupi

processus alveolaris dan mengelilingi gig, yang melindungi jaringan

dibawah perlekatan gigi terhadap pengaruh lingkungan rongga mulut.

2.2.2. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Etiologi Lesi ?

2. Klasifikasi Lesi ?

3. Apa ada hubungan usia dengan lesi yang terjadi pada mereka ?

4. Perbedaan lesi dengan ulser ?

5. Mengapa pada saat ujian bisa timbul ulser ? Apa hubungannya ?

6. Mengapa pada saat menstruasi timbul lesi pada mukosa labialnya ?

7. Apa hubungannya dengan mengonsumsi alkohol dan merokok dengan

lesi yang dialami Dentalo ?

8. Mengapa lesi yang dialami Dentalmo lebih berbahaya dibanding lesi

dentalo dan dentisia ?

9. Cara mengatasi lesi pada tepi gingivanya Dentalmo ?

2.2.3 ANALISA MASALAH

1. Etiologi dari lesi biasanya karena banyak faktor

seperti

Faktor lokal : Trauma kronik (mukosa terkena gigitan) / maloklusi,

defisiensi nutrisi, rokok, alcohol dan oral hygine

Faktor sistemik : orang yang terinfeksi virus dan bakteri misalnya

herpes simplek, HIV, efek radiasi, hormonal, dan faktor pisikologis.

2. Klasifikasi Lesi

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 7

Page 8: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

Lesi merupakan kelainan patologis pada jaringan yang menimbulkan

gejala karena fungsinya terganggu akibat penyakit dan trauma yang

dibagi menjadi dua, lesi yang pertama kali muncul disebut lesi primer

dan lesi skunder timbul setelah adanya lesi primer.

A. Lesi Primer

No Nama

Lesi

Keterangan Gambar Lesi

1 Makula Titik sampai bercak,

Diameter dari beberapa mm

hingga 1 cm,

a. Warna :

Berasal dari vaskularisasi : Merah

kecoklatan, bila ditekan bewarna

pucat, misalnya : Hiperemia.

Berasal dari Pigmen darah :

Merah Kebiruan, misalnya :

Petechiae, purpura, ecymosis

(hematoma).

Berasal dari Pigmen Melanin :

Biru Kecoklatan, misalnya :

Hiperpigmentasi.

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 8

Page 9: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

2 Papula Lesi yang membenjol padat,

Kurang dari 1cm diameternya

Permukaan papula : Erosi atau

deskuamasi,

Makula dan papula terasa gatal,

rasa terbakar dan nyeri,

Misalnya :

Lichen Planus (pada mukosa)

adalah papula keputihan,

Fordyce’s spot adalah anomali

pertumbuhan dimana kelenjar

lemak tumbuh ektopik.

3 Plak Ukuran diameternya lebih besar

dari 1 cm, misalnya :

Leukoplakia (Lesi pra-ganas, lesi

ini bisa menjadi ganas)

4 Nodula Suatu massa yang padat,

Membenjol yang tebal dan kurang

dari 1 cm diameternya,

Tumor jinak dari jaringan ikat

yang terjadi karena iritasi kronis

(iritasi ringan yang terus

menerus),

Dapat hilang sendiri atau tidak,

setelah iritasi kronis dihilangkan

(misal eksisi),

Misalnya : Iritasi fibroma

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 9

Page 10: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

5 Vesikula Suatu benjolan kulit berisi cairan

dan berbatas jelas,

Diameternya kurang dari 1cm,

Misalnya : Cacar Air

6 Bula Suatu benjolan kulit berisi cairan

yang lebih besar dari 1 cm

diameternya,

Dapat terbentuk karena adanya

trauma mekanis atau gesekan,

Misalnya : Pemphigus Vulgaris

7 Postula Suatu vesikel yang berisi eksudat

purulen,

Misalnya : Penyakit Impetigo,

pada kulit berupa bisul-bisul kecil

8 Keratosis Penebalan yang abnormal dari

lapisan terluar epitel (stratum

korneum),

Bewarna putih keabuan,

Misalnya : Linea Alba bukalis,

Leukoplakia dan Lichen Planus

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 10

Page 11: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

9 Wheals Suatu papula atau plak yang

bewarna merah muda , edema, dan

berisi serum,

Edema kulit yang menjadi

gelembung yang hanya muncul

singkat dan menimbulkan rasa

gatal

Misalnya : Gigitan nyamuk dan

urtikaria

10 Tumor Massa padat, besar, meninggi dan

berukuran lebih dari 1-2 cm,

Tumor bisa ganas atau jinak,

Misalnya : Kanker payudara

versus limfoma (tumor jinak yang

sebagian terbentuk sebagian besar

dari jaringan adipose).

B. Lesi Sekunder

No Nama Lesi Keterangan Gambar Lesi

1 Erosi Hilangnya epitel di

atas lapisan sel basal,

Dapat sembuh tanpa

jaringan parut,

Misalnya : Kulit

setelah mengalami

suatu lepuhan atau

vesikel yang pecah.

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 11

Page 12: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

2 Ulseri Hilangnya epidermis

dan lapisan kulit yang

lebih dalam

(Hilangnya epitel

yang meluas di bawah

lapisan sel basal),

Misalnya : Reccurent

Apthous Stomatitis

dan Bechet’s

Syndrome

3 Fisura Retak linier pada

kulit yang meluas

melalui epidermis dan

memaparkan dermis,

Dapat terjadi pada

kulit kering dan

inflamasi kronis,

Suatu celah dalam

epidermis

Misalnya : Fissure

tongue dan

Geographic tongue

4 Sikatriks Pembentukan

jaringan baru yang

berlebihan dalam

proses penyembuhan

luka,

Misalnya : Keloid

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 12

Page 13: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

5 Deskuamasi Pengelupasan

lapisan epitel (stratum

korneum),

Terjadi secara

fisiologis

Pelepasan epitel

sehingga kulit

mengalami

regenerasi.

9 Sinus Suatu saluran yang

memanjang dan

rongga supuratif ,

kista atau abses,

Misalnya: Abses

Periapikal

3. Tidak ada pengaruh usia dengan lesi yang ada pada penderita, karena

pada penderita yang mengalami lesi tersebut semuanya berbeda

etiologinya, jadi terjadinya lesi tidak dipengaruhi oleh usia tetapi

tergantung dari faktor etiologinya juga dapat dipengaruhi oleh penyakit

sistemik.

4. Lesi itu hanya tanda yang terlihat didalam rongga mulut, sedangkan

Ulser dikatakan sudah terbentuknya kawah pada kulit rongga mulut.

Dikatakan Lesi belum tentu berbentuk ulser, sedangkan ulser sudah

pasti lesi.

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 13

Page 14: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

5. Saat penderita sedang dalam ujian bisa muncul ulser, dikarenakan

penderita sedang mengalami stress pasca ujian yang akan dihadapi yang

memicu timbulnya lesi dan berlanjut pada ulser.

6. Penderita menderita stomatitis aftosa rekuren yang ditandai dengan

adanya ulser rekuren yang nyeri pada mukosa oral, rekuren yang terus-

menerus terjadi saat pasien mengalami menstruasi. Meskipun dapat

terlihat pada setiap orang, wanita dan dewasa muda sedikit lebih rentan.

7. Kebiasaan merokok dan minum alcohol memicu timbulnya lesi pada

mukosa mulut, karena efek langsung dari tembakau yang dapat merusak

lingkungan rongga mulut dengan rasa terbakar akibat merokok.

8. Karena lesi yang dialami Dentalmo sudah sampai kepada ketahap pre-

karsinogen akibat dari konsumsi rokok dan alcohol yang terus-menerus

dilakukannya dibandingkan dengan lesi yang dialami oleh anak-

anaknya yang umumnya terjadi karena pemicunya berupa stress dan

mestruasi yang terjadi secara fisiologis.

9. Lesi yang dialami oleh dentalmo disebabkan karena konsumsi rokok

dan minum alcohol, perawatannya dilakukan dengan mengurangi dan

menghentikan kebiasaan merokok dan minum alcohol, menjaga oral

Hygine dan pemberian obat misalnya diberi salep yang mengandung

topical agent.

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 14

Page 15: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

2.2.4 KERANGKA KONSEP

2.2.5 LEARNING OBJECT

Mahasiswa mampu memahami :

1. Lesi Merah dan Lesi Putih

b. Etiologi

c. Manifestasi

d. Karakteristik & Diagnosa

e. Pengobatan dan perawatan

2.2.6 BELAJAR MANDIRI

2.2.7 SINTESIS

A. LESI PUTIH

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 15

Page 16: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

1. Linea Alba

Linea alba ( garis putih ) adalah temuan intra oral yang umum terjadi ,

Karakteristik berupa garis gelombang putih yang menonjol dengan panjang

bervariasi dan terletak mencolok pada garis oklusi di mukosa bukal . Umumnya

garis putih yang tidak bergejala ini mempunyai lebar 1-2 mm dan meluas

horizontal dari molar kedua sampai ke region kaninus mukosa bukal , berakhir

pada kalikulus angularis . Lesi paling sering ditemukan bilateral dan tidak bisa

dihilangkan dengan digosok . Etiologi Lesi berkembang sebagai respon terhadap

gesekan gigi – gigi , yang mengakibatkan epitel menjadi menebal (hiperkeratotik

). Kondisi ini sering dihubungkan dengan lidah krenasi dan dapat merupakan

tanda dari tekanan , bruksisme , clenching , atau mengisap . Perawatanya

sendiri ini dapat dilakukan dengan menghilangkan kebiasaan bruksisme dan

clenching ( mengerot ).

2. Leukodema

Leukodema adalah perubahan permukaan mukosa bukal yang berwarna abu-

abu , putih susu , atau opaselen . Varian mukosa yang umum ini dihubungkan

dengan individu berpigmen gelap tetapi kadang – kadang juga terlihat pada

individu berpigmen lebih pucat . Insidensi leukodema cenderung meningkat

bersama usia dan ditemukan pada 50 % anak – anak Afrika Amerika , serta 92 %

orang dewasa Afrika Amerika . Mukosa labial , palatum lunak , dan dasar mulut

adalah lokasi yang lebih jarang untuk ditemukan .

Karakteristik Leukodema biasanya pucat dan bilateral . Pemeriksaan yang

teliti terhadap leukodema menunjukkan adanya garis putih halus serta keriput .

Pada kasus yang berat dan sudah lama dapat terlihat adanya lipatan jaringan

yang saling menumpuk . Penonjolan lesi berhubungan dengan derajat pigmentasi

melanin dibawahnya , ttingkat kebersihan mulut , dan banyaknya kebiasaan

merokok . Tepi lesi bergelombang dan luas ; lesi menghilang ke jaringan di

dekatnya , yang smembuat sulituntuk menentukan dimana lesi tersebut dimulai

dan berakhir . Diagnosis kondisi ini dengan jalan meregangkan mukosa , yang

menyebabkan warna putih secara signifikan hilang atau berkurang pada

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 16

Page 17: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

beberapa kasus . Mengusap lesi tidak akan menghilangkan lesi tersebut .

Etiologi leukodema belum diketahui , meskipun terjadi lebih parah pada

perokok dan menghilang jika kebiasaan merokok dihentikan . Pemeriksaan

biopsy dari specimen biopsy menunjukkan peningkatan ketebalan epitel dengan

edema intraselular yang mencolok pada lapisan spinosa ( tengah ) tanpa adanya

peradangan . Perawatannya tidak ada komplikasi serius yang dihubungkan

dengan lesi ini , dan lesi tdak perlu diobati .

3. Lesi Putih Traumatik

Lesi putih traumatik etiologinya disebabkan oleh beberapa iritan kimia dan

fisik seperti trauma karena gesekan , panas , penggunaan aspirin secara topical ,

penggunaan larutan kumur mulut yang berlebihan , cairan kaustik , dan bahkan

pasta gigi . Trauma gesekan sering terlihat pada gingiva cekat . Trauma ini

disebabkan oleh penyikatan gigi yang terlalu kuat , gerakan protesa mulut , dan

mengunyah di atas linger yang tidak bergigi. Karakteristiknya dengan

berjalannya waktu , mukosa akan menebal dan permukaan putih yang kasar akan

berkembang sehingga tidak bisa dihapus . Tidak ada rasa sakit . Pemeriksaan

histologi menunjukan adanya hyperkeratosis .

Trauma akan dapat menimbulkan pengelupasan lesi atau rasa kasar

berwarna putih jika lapisan permukaan dari mukosa mengalami kerusakan . Lesi

biasanya tampak berupa bercak putih dengan tepi yang besar dan tidak teratur .

Dibawahnya terdapat permukaan yang kasar , merah , atau berdarah . Mukosa

yang bergerak lebih rentan terhadap trauma dibandingkan mukosa cekat . Rasa

sakit akan reda dan terjadi penyembuhan dalam waktu beberapa hari setelah

penyebabnya dihilangkan .

Lesi putih lainnnya yang disebabkan oleh trauma adalah jaringan parut .

Jaringan ini mencermikan adanya respon penyembuhan fibrosa dari dermis .

Jaringan parut sering tidak bergejala , linear , berwarna merah muda keputihan ,

dan berbatas tegas . Pemeriksaan riwayat yang menyeluruh dapat menunjukkan

cedera terdahulu , penyakit ulseratif kambuhan , kelainan kejang , atau operasi

yang pernah dilakukan . Perawatan yang dapat dilakukan adalah menghilangkan

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 17

Page 18: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

iritan dengan menggunakan anastesi topical dan analgesic.

4. Leukoplakia

Leukoplakia merupakan salah satu kelainan yang terjadi di mukosa rongga

mulut. Meskipun leukoplakia tidak termasuk dalam jenis tumor, lesi ini sering

meluas sehingga menjadi suatu lesi pre-cancer. Leukoplakia merupakan suatu

istilah yang digunakan untuk menunjukkan adanya suatu bercak putih atau plak

yang tidak normal yang terdapat pada membran mukosa dan sukar untuk

dihilangkan atau terkelupas.

Mukosa rongga mulut merupakan bagian yang paling mudah mengalami

perubahan, karena lokasinya yang sering berhubungan dengan pengunyahan,

sehingga sering pula mengalami iritasi mekanis. Di samping itu, banyak

perubahan yang sering terjadi akibat adanya kelainan sistemik. Perlu diingat

bahwa kelainan yang terjadi pada umumnya memberikan gambaran yang mirip

antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga dapat menimbulkan kesukaran

dalam menentukan diagnosis yang tepat.

Faktor-faktor yang berperan adalah iritasi kimia melalui tembakau atau

faktor mekanis melalui pemasangan gigi palsu yang tidak baik, alkohol dan

infeksi CandidaY3 terkena iritan terus-menerus (penggemar pizza panas) dan

Human Papiloma Virus sero tipe 16. Leukoplakia dalam perkembangannya sering

menjadi ganas dan untuk menyingkirkan diagnosis banding, maka sangat

diperlukan biopsi dari leukoplakia tersebut. Gambaran histologinya dapat

bermacam-macam dan tergantung dari umur lesi pada saat biopsi dilakukan.

Kendala dalam menegakkan diagnosis leukoplakia masih sering terjadi. Hal ini

disebabkan oleh beberapa kemungkinan seperti etiologi leukoplakia yang belum

jelas serta perkembangan yang agresif dari leukoplakia yang mula-mula hanya

sebagai hiperkeratosis ringan tetapi pada akhirnya menjadi karsinoma sel

skuamosa dengan angka kematian yang tinggi.

Etiologi leukoplakia belum diketahui dengan pasti sampai saat ini. Menurut

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 18

Page 19: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

beberapa ahli klinik, predisposisi leukoplakia terdiri atas beberapa faktor yang

multipel yiatu: faktor lokal, faktor sistemik, dam malnutrisi vitamin.

1. Faktor Lokal

Biasanya merupakan segala macam bentuk iritasi kronis, antara lain:

a. Trauma

Trauma karena gigitan tepi atau akar gigi yang tajam

Iritasi dari gigi yang malposisi

Pemakaian protesa yang kurang baik sehingga menyebabkan iritasi

Adanya kebiasaan menggigit jaringan mulut, pipi dan lidah

b. Kemikal atau termal

Tembakau

Terjadinya iritasi pada jaringan mukosa mulut tidak hanya disebabkan oleh

asap rokok dan panas yang terjadi pada waktu merokok, tetapi dapat juga

disebabkan oleh zat-zat yang terdapat di dalam tembakau yang ikut

terkunyah. Banyak peneliti yang berpendapat bahwa pipa rokok juga

merupakan benda yang berbahaya, sebab dapat menyebabkan lesi yang

spesifik pada palatum yang disebut "Stomatitis Nicotine". Pada lesi ini,

dijumpai adanya warna kemerahan dan timbul pembengkakan pada palatum.

Selanjutnya, palatum akan berwarna putih kepucatan, serta terjadi penebalan

yang sifatnya merata. Ditemukan pula adanya "multinodular" dengan bintik-

bintik kemerahan pada pusat noduli. Kelenjar saliva yang membengkak dan

terjadi perubahan di daerah sekitarnya. Banyak penelitian yang kemudian

berpendapat bahwa lesi ini merupakan salah satu bentuk dari leukoplakia.

Alkohol

Telah banyak diketahui bahwa alkohol merupakan salah satu faktor yang

memudahkan terjadinya leukoplakia, karena pemakaian alkohol dapat

menimbulkan iritasi pada mukosa.

Bakteri

Leukoplakia dapat terjadi karena adanya infeksi bakteri, penyakit

periodontal yang disertai kebersihan mulut yang kurang baik.

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 19

Page 20: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

2. Faktor Sistemik

Selain dari faktor yang terjadi secara lokal di atas, kondisi dari

membran mukosa mulut yang dipengaruhi oleh penyakit lokal maupun

sistemik berperan penting dalam meningkatkan efektifitas yang bekerja

secara lokal

a. Penyakit sistemik, penyakit sistemik yang behubungan dengan

leukoplakia antara lain adalah sifilis tertier, anemia sidrofenik, dan

xeroftalmia yang disebabkan oleh penyakit kelenjar saliva.

b. Bahan-bahan yang diberikan secara sistemik seperti alkohol, obat-obat

antimetabollit, dan serum antilimfosit spesifik

3. Faktor Malnutrisi Vitamin

Defisiensi vitamin A diperkirakan dapat mengakibatkan metaplasia dan

keratinisasi dari susunan epitel, terutama epitel kelenjar dan epitel mukosa

respiratorius. Beberapa ahli menyatakan bahwa leukoplakia di uvula

merupakan manifestasi dari pemasukkan vitamin A yang tidak cukup.

Apabila kelainan tersebut parah, gambarannya mirip dengan leukoplakia.

Selain itu, pada percobaan dengan menggunakan binatang tikus, dapat

diketahui bahwa kekurangan vitamin B kompleks akan menimbulkan

perubahan hiperkeratotik.

Gambaran Klinis Penderita leukoplakia tidak mengeluhkan rasa nyeri,

tetapi lesi pada mulut tersebut sensitif terhadap rangsangan sentuh, makanan

panas dan makanan yang pedas.

Dari pemeriksaan klinis, ternyata oral leukoplakia mempunyai

bermacam-macam bentuk. Secara klinis lesi ini sukar dibedakan dan dikenal

pasti karena banyak lesi lain yang memberikan gambaran yang serupa serta

tanda-tanda yang hampir sama. Pada umumnya, lesi ini lebih banyak

ditemukan pada penderita dengan usia di atas 40 tahun dan lebih banyak pria

daripada wanita. Hal ini terjadi karena sebagian besar pria merupakan

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 20

Page 21: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

perokok berat. Lesi ini sering ditemukan pada daerah alveolar, mukosa

lidah, bibir, palatum lunak dan keras, daerah dasar mulut, gingival, mukosa

lipatan bukal, serta mandibular alveolar ridge. Bermacam-macam bentuk

lesi dan daerah terjadinya lesi tergantung dari awal terjadinya lesi tersebut,

dan setiap individu akan berbeda.

Secara klinis, lesi tampak kecil, berwarna putih, terlokalisir, barbatas

jelas, dan permukaannya tampak melipat. Bila dilakukan palpasi akan terasa

keras, tebal, berfisure, halus, datar atau agak menonjol. Kadang-kadang lesi

ini dapat berwarna seperti mutiara putih atau kekuningan. Pada perokok

berat, warna jaringan yang terkena berwarna putih kecoklatan. Ketiga

gambaran tersebut di atas lebih dikenal dengan esbutan “speckled

leukoplakia”.

Leukoplakia dapat dibagi menjadi 3 stadium, yaitu homogenous

leukoplakia, erosif leukoplakia, speckled atau verocuos leukoplakia.

Homogenous leukoplakia merupakan bercak putih yang kadang-kadang

berwarna kebiruan, permukaannya licin, rata, dan berbatas jelas. Pada tahap

ini, tidak dijumpai adanya indurasi.

Erosif leukoplakia berwarna putih dan mengkilat seperti perak dan pada

umumnya sudah disertai dengan indurasi. Pada palpasi, permukaan lesi

mulai terasa kasar dan dijumpai juga permukaan lesi yang erosive.

Speckled atau verocuos leukoplakia merupakan stadium leukoplakia

dimana permukaan lesi tampak sudah menonjol, berwarna putih, tetapi tidak

mengkilat. Timbulnya indurasi menyebabkan permukaan menjadi kasar dan

berlekuk-lekuk. Saat ini, lesi telah dianggap berubah menjadi ganas. Karena

biasanya dalam waktu yang relatif singkat akan berubah menjadi tumor

ganas seperti squamus sel karsinoma, terutama bila lesi ini terdapat di lidah

dan dasar

Pemeriksaan histopatologis akan membantu menentukan penegakan

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 21

Page 22: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

diagnosis leukoplakia. Bila diikuti dengan pemeriksaan histopatologi dan

sitologi, akan tampak adanya perubahan keratinisasi sel epitelium, terutama

pada bagian superfisial.Secara mikroskopis, perubahan ini dapat dibedakan

menjadi 5 bagian, yaitu hiperkeratosis, hiperparakeratosis, akantosis,

diskeratosis atau displasia, carcinoma in situ.

Pada hiperkeratosis proses ini ditandai dengan adanya suatu

peningkatan yang abnormal dari lapisan ortokeratin atau stratum corneum,

dan pada tempat-tempat tertentu terlihat dengan jelas. Dengan adanya

sejumlah ortokeratin pada daerah permukaan yang normal maka akan

menyebabkan permukaan epitel rongga mulut menjadi tidak rata, serta

memudahkan terjadinya iritasi.

Parakeratosis dapat dibedakan dengan ortokeratin dengan melihat

timbulnya pengerasan pada lapisan keratinnya. Parakeratin dalam keadaan

normal dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu di dalam rongga mulut.

Apabila timbul parakeratosis di daerah yang biasanya tidak terdapat

penebalan lapisan parakeratin maka penebalan parakeratin disebut sebagai

parakeratosis. Dalam pemeriksaan histopatologis, adanya ortokeratin,

parakeratin, dan hiperparakeratosis kurang dapat dibedakan antara satu

dengan yang lainnya. Meskipun demikian, pada pemeriksaan yang lebih

teliti lagi akan ditemukan hiperortokeratosis, yaitu keadaan di mana lapisan

granularnya terlihat menebal dan sangat dominan. Sedangkan

hiperparakeratosis sendiri jarang ditemukan, meskipun pada kasus-kasus

yang parah.

Akantosis adalah suatu penebalan dan perubahan yang abnormal dari

lapisan spinosum pada suatu tempat tertentu yang kemudian dapat menjadi

parah disertai pemanjangan, penebalan, penumpukan dan penggabungan

dari retepeg atau hanya kelihatannya saja. Terjadinya penebalan pada lapisan

stratum spinosum tidak sama atau bervariasi pada tiap-tiap tempat yang

berbeda dalam rongga mulut. Bisa saja suatu penebalan tertentu pada tempat

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 22

Page 23: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

tertentu dapat dianggap normal, sedang penebalan tertentu pada daerah

tertentu bisa dianggap abnormal. Akantosis kemungkinan berhubungan atau

tidak berhubungan dengan suatu keadaan hiperortikeratosis maupun

parakeratosis. Akantosis kadang-kadang tidak tergantung pada perubahan

jaringan yang ada di atasnya.

Pada diskeratosis, terdapat sejumlah kriteria untuk mendiagnosis suatu

displasia epitel. Meskipun demikian, tidak ada perbedaan yang jelas antara

displasia ringan, displasia parah, dan atipia yang mungkin dapat

menunjukkan adanya suatu keganasan atau berkembang ke arah karsinoma

in situ. Kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis adanya displasia epitel

adalah: adanya peningkatan yang abnormal dari mitosis; keratinisasi sel-sel

secara individu; adanya bentukan “epithel pearls” pada lapisan spinosum;

perubahan perbandingan antara inti sel dengan sitiplasma; hilangnya

polaritas dan disorientasi dari sel; adanya hiperkromatik; adanya

pembesaran inti sel atau nucleus; adanya dikariosis atau nuclear atypia dan

“giant nuclei”; pembelahan inti tanpa disertai pembelahan sitoplasma; serta

adanya basiler hiperplasia dan karsinoma intra epitel atau carcinoma in situ.

Carsinoma in situ secara klinis tampak datar, merah, halus, dan

granuler. Mungkin secara klinis carcinoma in situ kurang dapat dilihat. Hal

ini berbeda dengan hiperkeratosis atau leukoplakia yang dalam pemeriksaan

intra oral kelainan tersebut tampak jelas. Pada umumnya, antara displasia

dan carsinoma in situ tidak memiliki perbedaan yang jelas. Displasia

mengenai permukaan yang luas dan menjadi parah, menyebabkan perubahan

dari permukaan sampai dasar. Bila ditemukan adanya basiler hiperlpasia

maka didiagnosis sebagai

Untuk menetapkan diagnosis oral leukoplakia, perlu pemeriksaan dan

gambaran histopatologis. Hal ini untuk mengetahui adanya proses

diskeratosis. Meskipun pada pemeriksaan histopatologis tampak adanya

proses diskeratosis, masih sulit dibedakan dengan carsinoma in situ, karena

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 23

Page 24: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

di antara keduanya tidak memiliki batasan yang jelas.

Pemeriksaan histopatologis juga diperlukan untuk mengetahui ada

tidaknya sel-sel “atypia” dan infiltrasi sel ganas yang masuk ke jaringan

yang lebih dalam. Keadaan ini biasanya ditemukan pada squamus sel

carsinoma ‘karsinoma sel skuamosa’. Karsinoma sel skuamosa merupakan

kasus tumor ganas rongga mulut yang terbanyak dan lokasinya pada

umumnya di lidah. Penyebab yang pasti dari karsinoma sel skuamosa belum

diketahui, tetapi banyak lesi yang merupakan permulaan keganasan dan

faktor-faktor yang mempermudah terjadinya karsinoma tersebut. Lesi pra-

ganas dan factor-faktor predisposisi itu adalah leukoplakia, perokok,

pecandu alkohol, adanya iritasi setempat, defisiensi vitamin A,B, B12,

kekurangan gizi, dll. Seperti halnya lesi pra-ganas rongga mulut lainnya,

dalam stadium dini karsinoma ini tidak memberikan rasa sakit. Rasa sakit

baru terasa apabila terjadi infeksi sekunder. Oleh karena itu, apabila

ditemukan adanya lesi pra-ganas dalam rongga mulut, terutama leukoplakia,

sebaiknya dilakukan pemeriksaan histopatologi.

Leukoplakia memiliki gambaran klinis yang mirip dengan beberapa

kelainan. Oleh karena itu, diperlukan adanya “diferensial diagnosis” atau

diagnosis banding untuk membedakan apakah kelainan tersebut adalah lesi

leukoplakia atau bukan. Pada beberapa kasus, leukoplakia tidak dapat

dibedakan dengan lesi yang berwarna putih di dalam rongga mulut tanpa

dilakukan biopsy. Jadi, cara membedakannya dengan leukoplakia adalah

dengan pengambilan biopsi. Ada beberapa lesi berwarna putih yang juga

terdapat dalam rongga mulut, yang memerlukan diagnosis banding dengan

leukoplakia. Lesi tersebut antara lain: syphililitic mucous patches; “lupus

erythematous” dan ” white sponge nevus”; infeksi mikotik, terutama

kandidiasis; white folded gingivo stomatitis; serta terbakarnya mukosa

mulut karena bahan-bahan kimia tertentu, misalnya minuman atau makanan

yang pedas.

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 24

Page 25: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

Untuk menentukan diagnosis yang tepat, perlu dilakukan pemeriksaan

yang teliti baik secara klinis maupun histopatologis, karena lesi ini secara

klinis mempunyai gambaran yang serupa dengan “lichen plannus” dan

“white sponge naevus”.

Untuk menentukan diagnosis yang tepat, perlu dilakukan pemeriksaan

yang teliti baik secara klinis maupun histopatologis, karena lesi ini secara

klinis mempunyai gambaran yang serupa dengan “lichen plannus” dan

“white sponge naevus”.

Dalam penatalaksanaan leukoplakia yang terpenting adalah

mengeliminir faktor predisposisi yang meliputi penggunaan tembakau

(rokok), alkohol, memperbaiki higiene mulut, memperbaiki maloklusi, dan

memperbaiki gigi tiruan yang letaknya kurang baik. Penatalaksanaan lain

yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan eksisi secara “chirurgis”

atau pembedahan terhadap lesi yang mempunyai ukuran kecil atau agak

besar. Bila lesi telah mengenai dasar mulut dan meluas, maka pada daerah

yang terkena perlu dilakukan “stripping”.

Pemberian vitamin B kompleks dan vitamin C dapat dilakukan

sebagai tindakan penunjang umum, terutama bila pada pasien tersebut

ditemukan adanya faktor malnutrisi vitamin. Peranan vitamin C dalam

nutrisi erat kaitannya dengan pembentukan substansi semen intersellular

yang penting untuk membangun jaringan penyangga. Karena, fungsi vitamin

C menyangkut berbagai aspek metabolisme, antara lain sebagai elektron

transport. Pemberian vitamin C dalam hubungannya dengan lesi yang sering

ditemukan dalam rongga mulut adalah untuk perawatan suportif melalui

regenerasi jaringan, sehingga mempercepat waktu penyembuhan. Perawatan

yang lebih spesifik sangat tergantung pada hasil pemeriksaan histopatologi.

5. Morsicatio Buccarum

Morsicatio Buccarum merupakan perubahan pada mukosa mulut

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 25

Page 26: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

etiologinya karena mengunyah pipi dan menggigit pipi yang merupakan

kebiasaan yang sering dilakukan disaat gelisah yang mengakibatkan

perubahan pada mukosa yang jika terus menerus dilakukan yang

menyebabkan iritasi kronis pada mukosa.

Karakteristiknya tampak berupa plak putih asimetris pada mukosa

bukal dan mukosa labial, lesi tidak nyeri dan kasar jika diraba serta sedikit

mengelupas jika digosok dan tetap ada jika kebiasaan menggigit pipi

berlangsung. Diagnosis diperlukan pemerikasaan visual dan verbal dari

kebiasaan gelisah penderita. Meskipun tidak berpotensi menjadi ganas,

penderita harus diberitahukan tentang adanya perubahan pada mukosa

tersebut. Perawatan yang perlu dilakukan adalah terapi psikologis dan

menghilangkan kebiasaan menggigit pipi tersebut.

B. LESI MERAH

Lesi merah adalah suatu keadaan abnormal mukosa yang berwarna lebih

merah dari jaringan di sekitarnya, sedikit licin, dan memiliki granula.

Penyebab terjadinya lesi merah biasanya dikarenakan oleh faktor lokal,

faktor herediter dan respon autoimun. Lesi merah juga bisa terjadi karena

epitel yang tipis, dilatasi pembuluh darah, peningkatan jumlah pembuluh

darah dan ekstravasasi ke jaringan lunak.

1. Thrombus

Thrombus adalah pembentukan bekuan darah pada pembuluh darah.

Rangkaian kejadian yang mencakup trauma, pengaktifan urutan pembekuan

dan pembentukan beku darah secara tipikal mengakibatkan berhentinya

perdarahan. Beberapa hari kemudian, plasminogen mengawali pemecahan

bekuan, dan aliran darah yang normal akan kembali terjadi. Pada kasus

tertentu, jika bekuan tidak terlarut, aliran bekuan akan stagnan dan terbentuk

thrombus. Jadi, penyebab terbentuknya thrombus ini merupakan bekuan

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 26

Page 27: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

darah yang disebabkan oleh stagnasi darah atau pembekuan darah yang

abnormal.

Karakteristik klinis dari thrombus intraoral adalah berupa nodula

yang menonjol, bundar, berwarna merah hingga biru-keunguandan letaknya

khas di mukosa labial. Lesi ini padat, keras dan terasa nyeri ketika diraba.

Perawatan untuk lesi ini biasanya dilakukan penghilangan lesi

dengan pembedahan dan pemeriksaan histologi jika persisten atau

menimbulkan gejala.

2. Hemangioma

Hemangioma adalah tumor jinak pembuluh darah (sel endotel) yang

mengalami poliferasi. Penyebab dari hemangioma ini adalah abnormalitas

kongenital yang mengakibatkan terjadinya anyaman pembuluh darah dalam

tulang atau jaringan lunak. Hemangioma dibagi menjadi dua tipe yaitu,

kapiler yang terdiri atas pembuluh darah kecil yang halus dan hemangioma

kavernosus yang terdiri atas ruang vaskular yang berdinding tipis dan besar.

3. Eritoplakia

Etiologi tidak diketahui, hanya beberapa pendapat menganggap

penyebabnya sama dengan penyebab kanker mulut, seperti tembakau,

alcohol, kesalahan nutrisi, irritasi kronis & faktor2 lain yang memberikan

kontribusi dengan berbagai modifikasi. Gambaran klinis asimptomatis,

bagian merah scperti bludru biasanya dijumpai pada dasar mulut atau area

retromolar pada orang dewasa. Pada orang yang lebih tua lesi merah dapat

merupakan foci dr white hyperkeratosis (speckled erythroplakia).

Histopatologi 40% displasia hebat atau in situ carcinoma. Pada biopsy

hampir 90% eritroplakia memperlihatkan displasia yang hebat dan

separuhnya berubah menjadi invasive squameus cell carcinoma, sisanya

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 27

Page 28: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

displasia sedang. Penurunan produksi keratin dan kenaikan relative

vaskularisasi memperlihatkan warna klinis lesi ini. DD : Atrophic

candidiasis, macula pada Kaposi's sarcoma, ecchymosis, kontak alergi,

malformasi vaskuler dan psoriasis, untuk perawatannya diperlukan terapi

eksisi.

C. LESI ULSERATIF

1. Stomatitis Aftosa Rekuren

Stomatitis aftosa rekuren (SAR) adalah suatu peradangan yang terjadi pada

mukosa mulut, biasanya berupa ulser putih kekuningan. Ulser ini dapat berupa ulser

tunggal maupun lebih dari satu. SAR dapat menyerang mukosa mulut yang tidak

berkeratin yaitu mukosa bukal, labial, lateral dan ventral lidah, dasar mulut, palatum

lunak dan mukosa orofaring.

Definisi SAR merupakan ulser oval rekuren pada mukosa mulut tanpa tanda-

tanda adanya penyakit lain dan salah satu kondisi ulseratif mukosa mulut yang paling

menyakitkan terutama sewaktu makan, menelan dan berbicara. Penyakit ini relatif

ringan karena tidak bersifat membahayakan jiwa dan tidak menular. Tetapi bagi

orang – orang yang menderita SAR dengan frekuensi yang sangat tinggi akan merasa

sangat terganggu. Beberapa ahli menyatakan bahwa SAR bukan merupakan penyakit

yang berdiri sendiri, tetapi lebih merupakan gambaran beberapa keadaan patologis

dengan gejala klinis yang sama. SAR dapat membuat frustasi pasien dan dokter gigi

dalam merawatnya karena kadang-kadang sebelum ulser yang lama sembuh ulser

baru dapat timbul dalam jumlah yang lebih banyak.

Faktor Predisposisi sampai saat ini, etiologi SAR masih belum diketahui dengan

pasti. Ulser pada SAR bukan karena satu faktor saja tetapi multifaktorial yang

memungkinkannya berkembang menjadi ulser. Faktor-faktor ini terdiri dari pasta gigi

dan obat kumur sodium lauryl sulphate (SLS), trauma, genetik, gangguan

immunologi, alergi dan sensitifitas, stres, defisiensi nutrisi, hormonal, merokok,

infeksi bakteri, penyakit sistemik, dan obat-obatan. Dokter gigi sebaiknya

mempertimbangkan bahwa faktor-faktor tersebut dapat memicu perkembangan ulser

SAR.

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 28

Page 29: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

A. Pasta Gigi dan Obat Kumur SLS

Penelitian menunjukkan bahwa produk yang mengandungi SLS yaitu agen

berbusa paling banyak ditemukan dalam formulasi pasta gigi dan obat kumur, yang

dapat berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya ulser, disebabkan karena

efek dari SLS yang dapat menyebabkan epitel pada jaringan oral menjadi kering dan

lebih rentan terhadap iritasi. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa peserta

yang menggunakan pasta gigi yang bebas SLS mengalami sariawan yang lebih

sedikit. Penurunan ini ditemukan setinggi 81% dalam satu penelitian. Studi yang

sama juga melaporkan bahwa subjek penelitian merasa bahwa sariawan yang mereka

alami kurang menyakitkan daripada pada saat mereka menggunakan pasta gigi yang

menggandung SLS.

B. Trauma

Ulser dapat terbentuk pada daerah bekas terjadinya luka penetrasi akibat trauma.

Pendapat ini didukung oleh hasil pemeriksaan klinis, bahwa sekelompok ulser terjadi

setelah adanya trauma ringan pada mukosa mulut. Umumnya ulser terjadi karena

tergigit saat berbicara, kebiasaan buruk, atau saat mengunyah, akibat perawatan gigi,

makanan atau minuman terlalu panas, dan sikat gigi. Trauma bukan merupakan

faktor yang berhubungan dengan berkembangnya SAR pada semua penderita tetapi

trauma dapat dipertimbangkan sebagai faktor pendukung.

C. Genetik

Faktor ini dianggap mempunyai peranan yang sangat besar pada pasien yang

menderita SAR. Faktor genetik SAR diduga berhubungan dengan peningkatan

jumlah human leucocyte antigen (HLA), namun beberapa ahli masih menolak hal

tersebut. HLA menyerang sel-sel melalui mekanisme sitotoksik dengan jalan

mengaktifkan sel mononukleus ke epitelium. Sicrus (1957) berpendapat bahwa

bila kedua orangtua menderita SAR maka besar kemungkinan timbul SAR pada

anak-anaknya. Pasien dengan riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak

usia muda dan lebih berat dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga SAR.

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 29

Page 30: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

D. Gangguan Immunologi

Tidak ada teori yang seragam tentang adanya imunopatogenesis dari SAR,

adanya disregulasi imun dapat memegang peranan terjadinya SAR. Salah satu

penelitian mungungkapkan bahwa adanya respon imun yang berlebihan pada

pasien SAR sehingga menyebabkan ulserasi lokal pada mukosa. Respon imun itu

berupa aksi sitotoksin dari limfosit dan monosit pada mukosa mulut dimana

pemicunya tidak diketahui. Menurut Bazrafshani dkk, terdapat pengaruh dari IL-

1B dan IL-6 terhadap resiko terjadinya SAR. Menurut Martinez dkk, pada SAR

terdapat adanya hubungan dengan pengeluaran IgA, total protein, dan aliran

saliva. Sedangkan menurut Albanidou-Farmaki dkk, terdapat karakteristik sel T

tipe 1 dan tipe 2 pada penderita SAR.

E. Stres

Stres merupakan respon tubuh dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan

lingkungan yang terjadi terus menerus yang berpengaruh terhadap fisik dan

emosi. Stres dinyatakan merupakan salah satu faktor yang berperan secara tidak

langsung terhadap ulser stomatitis rekuren ini.

F. Defisiensi Nutrisi

Wray (1975) meneliti pada 330 pasien SAR dengan hasil 47 pasien

menderita defisiensi nutrisi yaitu terdiri dari 57% defisiensi zat besi, 15%

defisiensi asam folat, 13% defisiensi vitamin B12, 21% mengalami defisiensi

kombinasi terutama asam folat dan zat besi dan 2% defisiensi ketiganya.

Penderita SAR dengan defisiensi zat besi, vitamin B12 dan asam folat diberikan

terapi subtitusi vitamin tersebut hasilnya 90% dari pasien tersebut mengalami

perbaikan. Faktor nutrisi lain yang berpengaruh pada timbulnya SAR adalah

vitamin B1, B2 dan B6. Dari 60 pasien SAR yang diteliti, ditemukan 28,2%

mengalami penurunan kadar vitamin-vitamin tersebut. Penurunan vitamin B1

terdapat 8,3%, B2 6,7%, B6 10% dan 33% kombinasi ketiganya. Terapi dengan

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 30

Page 31: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

pemberian vitamin tersebut selama 3 bulan memberikan hasil yang cukup baik,

yaitu ulserasi sembuh dan rekuren berkurang.

G. Hormonal

Pada wanita, sering terjadinya SAR di masa pra menstruasi bahkan banyak

yang mengalaminya berulang kali. Keadaan ini diduga berhubungan dengan

faktor hormonal. Hormon yang dianggap berperan penting adalah estrogen dan

progesteron. Dua hari sebelum menstruasi akan terjadi penurunan estrogen dan

progesteron secara mendadak. Penurunan estrogen mengakibatkan terjadinya

penurunan aliran darah sehingga suplai darah utama ke perifer menurun dan

terjadinya gangguan keseimbangan sel-sel termasuk rongga mulut,

memperlambat proses keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan

terhadap jaringan mulut dan rentan terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi

SAR. Progesteron dianggap berperan dalam mengatur pergantian epitel mukosa

mulut.

H. Infeksi Bakteri

Graykowski dan kawan-kawan pada tahun 1966 pertama kali menemukan

adanya hubungan antara bakteri Streptokokus bentuk L dengan lesi SAR dengan

12 penelitian lebih lanjut ditetapkan bahwa Streptokokus sanguis sebagai

penyebab SAR. Donatsky dan Dablesteen mendukung pernyataan tersebut

dengan melaporkan adanya kenaikan titer antibodi terhadap Streptokokus

sanguis 2A pada pasien SAR dibandingkan dengan kontrol.

I. Alergi dan Sensitifitas

Alergi adalah suatu respon imun spesifik yang tidak diinginkan

(hipersensitifitas) terhadap alergen tertentu. Alergi merupakan suatu reaksi

antigen dan antibodi. Antigen ini dinamakan alergen, merupakan substansi

protein yang dapat bereaksi dengan antibodi, tetapi tidak dapat membentuk

antibodinya sendiri. SAR dapat terjadi karena sensitifitas jaringan mulut

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 31

Page 32: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

terhadap beberapa bahan pokok yang ada dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik

atau permen karet dan bahan gigi palsu atau bahan tambalan serta bahan

makanan.29,30 Setelah berkontak dengan beberapa bahan yang sensitif, mukosa

akan meradang dan edematous. Gejala ini disertai rasa panas, kadang-kadang

timbul gatal-gatal, dapat juga berbentuk vesikel kecil, tetapi sifatnya sementara

dan akan pecah membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang kemudian

berkembang menjadi SAR.

J. Obat-obatan

Penggunaan obat nonsteroidal anti-inflamatori (NSAID), beta blockers, agen

kemoterapi dan nicorandil telah dinyatakan berkemungkinan menempatkan

seseorang pada resiko yang lebih besar untuk terjadinya SAR.

K. Penyakit Sistemik

Beberapa kondisi medis yang berbeda dapat dikaitkan dengan kehadiran

SAR. Bagi pasien yang sering mengalami kesulitan terus-menerus dengan SAR

harus dipertimbangkan adanya penyakit sistemik yang diderita dan perlu

dilakukan evaluasi serta pengujian oleh dokter. Beberapa kondisi medis yang

dikaitkan dengan keberadaan ulser di rongga mulut adalah penyakit Behcet’s,

penyakit disfungsi neutrofil, penyakit gastrointestinal, HIV-AIDS, dan sindroma

Sweet’s.

L. Merokok

Adanya hubungan terbalik antara perkembangan SAR dengan merokok.

Pasien yang menderita SAR biasanya adalah bukan perokok, dan terdapat

prevalensi dan keparahan yang lebih rendah dari SAR diantara perokok berat

berlawanan dengan yang bukan perokok. Beberapa pasien melaporkan

mengalami SAR setelah berhenti merokok.

Gambaran klinis SAR pada penderita yang merokok penting untuk

diketahui karena tidak ada metode diagnosa laboratoriam spesifik yang dapat

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 32

Page 33: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

dilakukan untuk menegakkan diagnosa SAR. SAR diawali gejala prodormal

yang digambarkan dengan rasa sakit dan terbakar selama 24-48 jam sebelum

terjadi ulser. Ulser ini menyakitkan, berbatas jelas, dangkal, bulat atau oval,

tertutup selaput pseudomembran kuning keabu-abuan, dan dikelilingi pinggiran

yang eritematus dan dapat bertahan untuk beberapa hari atau bulan.

Tahap perkembangan SAR dibagi kepada 4 tahap yaitu:

1. Tahap premonitori, terjadi pada 24 jam pertama perkembangan lesi SAR. Pada

waktu prodromal, pasien akan merasakan sensasi mulut terbakar pada tempat

dimana lesi akan muncul. Secara mikroskopis sel-sel mononuklear akan

menginfeksi epitelium, dan edema akan mulai berkembang.

2. Tahap pre-ulserasi, terjadi pada 18-72 jam pertama perkembangan lesi SAR.

Pada tahap ini, makula dan papula akan berkembang dengan tepi eritematus.

Intensitas rasa nyeri akan meningkat sewaktu tahap pre-ulserasi ini.

3. Tahap ulseratif akan berlanjut selama beberapa hari hingga 2 minggu. Pada

tahap ini papula-papula akan berulserasi dan ulser itu akan diselaputi oleh

lapisan fibromembranous yang akan diikuti oleh intensitas nyeri yang

berkurang.

4. Tahap penyembuhan, terjadi pada hari ke - 4 hingga 35. Ulser tersebut akan

ditutupi oleh epitelium. Penyembuhan luka terjadi dan sering tidak

meninggalkan jaringan parut dimana lesi SAR pernah muncul. Semua lesi

SAR menyembuh dan lesi baru berkembang.

Berdasarkan hal tersebut SAR dibagi menjadi tiga tipe yaitu stomatitis aftosa

rekuren tipe minor, stomatitis aftosa rekuren tipe mayor, dan stomatitis aftosa

rekuren tipe herpetiformis.

1. SAR Tipe Minor

Tipe minor mengenai sebagian besar pasien SAR yaitu 75% sampai dengan

85% dari keseluruhan SAR, yang ditandai dengan adanya ulser berbentuk bulat

dan oval, dangkal, dengan diameter 1-10 mm, dan dikelilingi oleh pinggiran

yang eritematous. Ulserasi dari tipe minor cenderung mengenai daerah-daerah

non-keratin, seperti mukosa labial, mukosa bukal dan dasar mulut. Ulserasi biasa

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 33

Page 34: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

tunggal atau merupakan kelompok yang terdiri atas 4-5 ulser dan akan sembuh

dalam waktu 10-14 hari tanpa meninggalkan bekas jaringan parut.

2. SAR Tipe Mayor

Tipe mayor diderita 10%-15% dari penderita SAR dan lebih parah dari tipe

minor. Ulser biasanya tunggal, berbentuk oval dan berdiameter sekitar 1-3 cm,

berlangsung selama 2 minggu atau lebih dan dapat terjadi pada bagian mana saja

dari mukosa mulut, termasuk daerah-daerah berkeratin. Ulser yang besar, dalam

serta bertumbuh dengan lambat biasanya terbentuk dengan bagian tepi yang

menonjol serta eritematous dan mengkilat, yang menunjukkan bahwa terjadi

edema. Selalu meninggalkan jaringan parut setelah sembuh dan jaringan parut

tersebut terjadi karena keparahan dan lamanya ulser.

3. SAR Tipe Herpetiformis

Istilah herpetiformis pada tipe ini dipakai karena bentuk klinisnya (yang dapat

terdiri dari 100 ulser kecil-kecil pada satu waktu) mirip dengan gingivostomatitis

herpetik primer, tetapi virus-virus herpes tidak mempunyai peran etiologi pada

SAR tipe herpetiformis. SAR tipe herpetiformis jarang terjadi yaitu sekitar 5%-

10% dari kasus SAR. Setiap ulser berbentuk bulat atau oval, mempunyai

diameter 0,5- 3,0 mm dan bila ulser bergabung bentuknya tidak teratur. Setiap

ulser berlangsung selama satu hingga dua minggu dan tidak akan meninggalkan

jaringan parut ketika sembuh.

a. Diagnosa

Diagnosis SAR didasarkan pada anamnesa dan gambaran klinis dari ulser.

Biasanya pada anamnesa, pasien akan merasakan sakit dan terbakar pada

mulutnya, lokasi ulser berpindah-pindah dan sering berulang. Harus ditanyakan

sejak dari umur berapa terjadi, lama (durasi), serta frekuensi ulser. Setiap

hubungan dengan faktor 18 predisposisi juga harus dicatat.16 Pada pemeriksaan

fisik dapat ditemukan ulser pada bagian mukosa mulut dengan bentuk yang oval

dengan lesi ±1 cm yang jumlahnya sekitar 2-6. Pemeriksaan tambahan

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 34

Page 35: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

diperlukan seperti pemeriksaan sitologi, biopsi, dan kultur bila ulser tidak

kunjung sembuh.

b. Perawatan

Dalam upaya melakukan perawatan terhadap pasien SAR, tahapannya

adalah :

1. Edukasi bertujuan untuk memberikan informasi mengenai penyakit yang

dialami yaitu SAR agar mereka mengetahui dan menyadarinya.

2. Instruksi bertujuan agar dapat dilakukan tindakan pencegahan dengan

menghindari faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya SAR.

3. Pengobatan bertujuan untuk mengurangi gejala yang dihadapi agar pasien

dapat mendapatkan kualitas hidup yang menyenangkan.

Tindakan pencegahan timbulnya SAR dapat dilakukan diantaranya dengan

menjaga kebersihan rongga mulut, menghindari stres serta mengkonsumsi nutrisi

yang cukup, terutama yang mengandung vitamin B12 dan zat besi. Menjaga

kebersihan rongga mulut dapat juga dilakukan dengan berkumur-kumur

menggunakan air garam hangat atau obat kumur. SAR juga dapat dicegah

dengan mengutamakan konsumsi makanan kaya serat seperti sayur dan buah

yang mengandung vitamin C, B12, dan mengandung zat besi. Karena penyebab

SAR sulit diketahui maka pengobatannya hanya untuk mengobati keluhannya

saja. Perawatan merupakan tindakan simtomatik dengan tujuan untuk

mengurangi gejala, mengurangi jumlah dan ukuran ulkus, dan meningkatkan

periode bebas penyakit. Bagi pasien yang mengalami stomatitis aftosa rekuren

mayor, perawatan diberikan dengan pemberian obat untuk penyembuhan ulser

dan diinstruksikan cara pencegahan. Bagi pasien yang mengalami SAR akibat

trauma pengobatan tidak diindikasikan. Pasien yang menderita SAR dengan

kesakitan yang sedang atau parah, dapat diberikan obat kumur yang

mengandung benzokain dan lidokain yang kental untuk menghilangkan rasa

sakit jangka pendek yang berlangsung sekitar 10-15 menit. Bagi menghilangkan

rasa sakit yang berlangsung sehingga enam jam, dapat diberikan zilactin secara

topikal. Zilactin dapat lengket pada ulser dan membentuk membran

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 35

Page 36: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

impermeabel yang melindungi ulser dari trauma dan iritasi lanjut. Dapat juga

diberikan ziladent yang juga mengandung benzokain untuk topikal analgesia.

Selain itu, dapat juga menggunakan larutan betadyne secara topikal dengan efek

yang sama. Dyclone digunakan sebagai obat kumur tetapi hanya sebelum makan

dan sebelum tidur. Aphthasol merupakan pasta oral amlexanox yang mirip

dengan zilactin yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit dengan membentuk

lapisan pelindung pada ulser.

Bagi mempercepat penyembuhan ulser, glukokortikoid, baik secara oral atau

topikal adalah andalan terapi. Topikal betametason yang mengandung sirup dan

fluocinonide ointment dapat digunakan pada kasus SAR yang ringan. Pemberian

prednison secara oral ( sampai 15 mg / hari) pada ksaus SAR yang lebih parah.

Hasil terapeutik dalam dilihat dalam satu minggu. Thalidomide adalah obat

hipnotis yang mengandung imunosupresif dan antiinflamasi. Obat ini telah

digunakan dalam pengobatan stomatitis aftosa rekuren mayor, sindrom Behcet,

serta eritema nodosum. Namun, resiko pada teratogenesis telah membatasi

penggunaannya.

Klorheksidin adalah obat kumur antibakteri yang mempercepatkan

penyembuhan ulser dan mengurangi keparahan lesi SAR. Selain itu, tetrasiklin

diberikan sesuai dengan efek anti streptokokus, tetrasiklin 250mg dalam 10 cc

sirup direkomendasikan sebagai obat kumur, satu kali sehari selama dua minggu.

Levamisol telah dianjurkan sebagai perawatan yang mungkin untuk SAR,

namun oleh karena efek samping immunostimulatornya, pemakaian obat ini

kurang diindikasikan. Pemberian obat-obatan tertentu yang tidak diperbolehkan

hanya dapat merusak jaringan normal disekeliling ulser dan bila pemakaiannya

berlebihan maka akan mematikan jaringan dan dapat memperluas ulser.

Beberapa penyakit pada gastrointestinal yang dapat menyebabkan ulkus

pada rongga mulut adalah:

2. Celiac disease

Merupakan gangguan autoimun yang ditandai dengan adanya intoleransi

terhadap gluten pada usus halus. Campisi dkk. (2008) melaporkan bahwa lesi

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 36

Page 37: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

pada rongga mulut seperti RAS dapat berfungsi sebagai tanda adanya gangguan

gastrointestinal kronis yang disebabkan oleh adanya malabsorpsi.

3. Chron’s disease

Merupakan penyakit kronis pada gastrointestinal yang ditandai dengan

adanya pembengkakan pada saluran pencernaan, nyeri abdomen, nausea, diare,

kehilangan berat badan, demam, dan perdarahan rectal. Pada 10-20% pasien

chron’s disease terjadi ulkus pada rongga mulut, dengan karakteristik yang

disebut cobble stone. Apabila terdapat ulkus rekuren dengan sebab yang tidak

jelas pada rongga mulut, maka penyakit ini dapat dipertimbangkan sebagai salah

satu faktor etiologi ulkus.

4. Reflux Disease (GERD)

Merupakan salah satu gangguan gastrointestinal yang disebabkan oleh

keluarnya asam lambung menuju esophagus. Asam lambung yang keluar hingga

ke rongga mulut dapat menyebabkan terjadinya keruasakan pada mukosa yang

bersifat erosif dan dapat berakhir sebagai ulkus. Selain itu, GERD juga dapat

menyebabkan timbulnya faringitis, laringitis, bronchitis, dan pneumonia.

5. Behcet’s Syndrome

Adanya keterkaitan rongga mulut merupakan komponen yang penting pada

Behcet’s syndrome dengan manifestasi pada rongga mulut sebesar 99%. Lesi ini

serupa dengan aphthous ulcerations pada orang sehat dengan durasi dan

frekuensi yang sama, namun pada pasien dengan Behcet’s syndrome, lesi dapat

berjumlah 6 atau lebih. Lesi dapat terjadi pada palatum lunak dan orofaring,

dengan tepi yang bergelombang dan dikelilingi oleh area eritema yang difus.

Pada penderita Behcet’s syndrome, ketiga jenis RAS dapat muncul, namun

minor RAS paling banyak terjadi pada pasien ini. Selain pada rongga mulut, lesi

pada genital dan ocular (mata) juga muncul pada pasien ini.

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 37

Page 38: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

6. Erythema Multiforme

Lesi timbul tiba-tiba, nyeri, penyebaran luas, biasanya sembuh sendiri.

Gambaran klinisnya bervariasi sehingga disebut “multiformis, multiple, pada

bibir berbentuk krusta disertai bercak darah.

7. Lupus Erytematosus

Eritematus dan ulkus pada mukosa bukal, gingiva dan vermilion, dengan

area putih keratosis mengelilingi ulkus dan biasanya nyeri

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 38

Page 39: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

BAB 3

KESIMPULAN

1. KESIMPULAN

Deteksi lesi dini dalam rongga mulut adalah mengenali atau mencurigai lesi

pada stadium dini secara klinis dan mendiagnosa lesi pada kasus-kasus yang

belum menimbulakan keluhan atau masih pada tahap dapat ditoleransi.

Pemeriksaan yang paling menentukan untuk mendiagnosa lesi prekanker rongga

mulut adalah pemeriksaan histopatologik. Perawatan lesi pada stadium dini

memberikan prognosa yang baik. Perawatan itu antara lain dengan

menghilangkan faktor iritan baik lokal maupun sistemik, pemberian obat

kortikosteroid, bedah eksisi,  cautery, kuretase dan cryotherapy.

3. SARAN

      Setiap professional dibidang kesehatan diharapkan untuk terus menurunkan

morbiditas dan mortalitas lesi prekanker dengan cara mendeteksi sedini mungkin

tanda-tanda lesi yang menimbulkan keganasan.

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 39

Page 40: Laporan Modul 1 Blok 10 Kelompok 2.doc

DAFTAR PUSAKA

Langlais, R. P., Miller, C. S., & Nield-Gehrig, J. S. (2009). Atlas Berwarna Lesi Mulut Yang Sering Ditemukan (4 ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Birnbaum, W., & Dunne, S.M.(2009). Diagnosis Kelainan dalam Mulut Petunjuk Bagi Klinis. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Scully, C., & Cawson, R.A.(1991). Atlas Bantu Kedokteran Gigi Penyakit Mulut. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Lesi Rongga Mulut dan Kel. Saliva Kel.ompok 2 Page 40