blok 21-1.doc

28
Diabetes Melitus Tipe II Stephanie Vania Embang* NIM 102010188 Mahasiswi Fakultas Ke!kte"an #k"ia *$lamat k!"esp!nensi Stephanie Vania Embang Fakultas ke!kte"an #ni%e"sitas K"isten K"ia &a'ana (l) $" una #ta"a N!)+, (aka"ta -a"at 11.10 E/mail %anie)%anie0 gmail)'!m ________________________________________________________________________ Pendahuluan Menu"ut penelitian epiemi!l!gi 3ang sampai saat ini ilaksanakan i In!nesia, keke"apan iabetes i In!nesia be"kisa" anta"a 1, engan 1,+4, ke'uali i ua tempat 3aitu i 5eka angan, suatu esa ekat Sema"ang, 2,64 an i Mana! +4) Di 5eka angan p"e%alensi ini agak tinggi isebabkan i ae"ah itu ban3ak pe"kawinan anta"a ke"abat) Seangkan i Mana!, &aspa i men3impulkan mungkin angka itu tinggi ka"ena paa stui itu p!pulasin3a te"i"i a"i !"ang/!"ang 3ang atang engan suka"ela, ai agak lebih selekti7) Tetapi kalau ilihata"i segi ge!g"a an bua3an3a 3ang ekat engan Filipina, aa kemungkinan bahwa p"e%alensi i Mana! memang tinggi, ka"ena p"e%alensi iabetes i Filipina uga tinggi 3aitu sekita" 8, 4 sampai 124 i ae"ah u"ban an 6,8. sampai 9,:4 i ae"ah "u"al) Suatu penelitian 3ang ilakukan i (aka"ta tahun 1996, keke"apan DM i ae"ah u"ban 3aitu i kelu"ahan Ka3uputih aalah .,+94, seangkan i ae"ah "u"al 3ang ilakukan !leh $ugusta $"i n i suatu ae"ah i (awa -a"at tahun 199., angka itu han3a 1,14) Di sini elas aa pe"beaan anta"a p"e%alensi i ae"ah u"ban engan ae"ah "u"al) ;al ini menun ukkan bahwa ga3a hiup mempenga"uhi ke aian 1

Transcript of blok 21-1.doc

BAB I

Diabetes Melitus Tipe II

Stephanie Vania Embang*

NIM 102010188

Mahasiswi Fakultas Kedokteran Ukrida

*Alamat korespondensi

Stephanie Vania Embang

Fakultas kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510

E-mail :[email protected]________________________________________________________________________Pendahuluan Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan diabetes di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6%.

Di Pekajangan prevalensi ini agak tinggi disebabkan di daerah itu banyak perkawinan antara kerabat. Sedangkan di Manado, Waspadji menyimpulkan mungkin angka itu tinggi karena pada studi itu populasinya terdiri dari orang-orang yang datang dengan sukarela, jadi agak lebih selektif. Tetapi kalau dilihat dari segi geografi dan budayanya yang dekat dengan Filipina, ada kemungkinan bahwa prevalensi di Manado memang tinggi, karena prevalensi diabetes di Filipina juga tinggi yaitu sekitar 8,4% sampai 12% di daerah urban dan 3,85 sampai 9,7% di daerah rural.

Suatu penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM di daerah urban yaitu di kelurahan Kayuputih adalah 5,69%, sedangkan di daerah rural yang dilakukan oleh Augusta Arifin di suatu daerah di Jawa Barat tahun 1995, angka itu hanya 1,1%. Di sini jelas ada perbedaan antara prevalensi di daerah urban dengan daerah rural. Hal ini menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes. Tetapi di Jawa Timur angka itu tidak berbeda yaitu 1,43 % di daerah urban dan 1,47% di daerah rural. Hal ini mungkin disebabkan tingginya prevalensi Diabetes Melitus Terkait Malnutrisi (DMTM) atau yang sekarang disebut diabetes tipe lain di daerah rural di Jawa Timur, yaitu sebesar 21,2% dari seluruh diabetes di daerah itu.

Penelitian antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan pevalensi DM Tipe 2 sebesar 14.7%, suatu angka yang sangat mengejutkan. Demikian juga di Makasar prevalensi diabetes terakhir tahun 2005 yang mencapai 12.5%. Pada tahun 2006, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bekerja sama dengan Bidang Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan melakukan Surveilans Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular di Jakarta yang melibatkan 1591 subyek, terdiri dari 640 laki-laki dan 951 wanita. Survei tersebut melaporkan prevalensi DM (unadjuslect) di lima wilayah DKI Jakarta sebesar 12,1% dengan DM yang terdeteksi sebesar 3,8% dan DM yang tidak terdeteksi sebesar 11,2%. Berdasarkan data ini diketahui bahwa kejadian DM yang belum terdiagnosis masih cukup tinggi, hamper 3x lipat dari jumlah kasus DM yang sudah terdeteksi.

AnamnesisPertanyaan-pertanyaan yang biasa ditanyakan pada saat anamnesis pada diabetes adalah gejala-gejala khas diabetes serta komplikasi yang biasa sudah menyertainya pada saat diagnose. Pertanyaan yang biasa diajukan antara lain : Poliuria. Apakah pasien merasakan volume urin yang meningkat. Biasanya sering disertai dengan adanya nokturia yang membangunkan pasien dari tidurnya dan sering menganggu kualitas tidur.

Polidipsia. Tanyakan apakah pasien sering merasa haus. Polidipsia disebabkan oleh banyaknya volume urin yang dikeluarkan.

Poliphagia. Tanyakan apakah pasien sering merasa lapar.

Penurunan berat badan.

Neuropati. Tanyakan apakah pasien mengalami kesemutan, hilang rasa pada bagian distal tubuh seperti kaki.

Infeksi. Tanyakan apabila pasien mendapat luka, apakah luka tersebut sukar sembuh, terutama pada bagian kaki..

Retinopati. Tanyakan pada pasien apakah ia mengalami gangguan penglihatan.

Pemeriksaan FisikAdapun hal-hal yang perlu dilakukan pada pemeriksaan fisik Diabetes adalah sebagai berikut :Inspeksi

1. Atrofi/hipotrofi otot

2. Gerakan-gerakan terbatas

3. Lesi kulit (infi Kontraktur/sikatriks

4. lnfitat, abses, ulkus, gangren)

Palpasi

1. Pemeriksaan suhu raba (kulit dingin atau hangat/panas)

2. Pemeriksaan pulsasi a. dorsalis pedis, atibialis posterior

3. Pemeriksaan monofilamen (disentuh pada telapak kaki)Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Glukosa Darah

Angka NormalNilai normal glukosa darah puasa bervariasi antara 60 hingga 110 mg/dL (3,3-6,1 mmol/L). Kadar plasma atau serum adalah 10-15% lebih tinggi karena komponen-komponen struktural sel darah dihilangkan, sehingga akan lebih banyak glukosa per unit volume. Jadi, nilai normal glukosa plasma atau serum puasa adalah 70-120 mg/dL (3,9-6,7 mmol/L). Nilai normal glukosa plasma atau darah yang sudah diterima memerlukan koreksi usia sebesar 1 mg/dL (0,056 mmol/L) per tahun usia di atas 60 tahun. Jadi kadar glukosa plasma puasa pada orang tua non-diabetes berkisar antara 80 hingga 150 mg/dL (4,4-8,3 mmol/L).

Sampel Darah Vena

Sampel Darah Kapiler

Uji Diagnosis Sederhana dengan Kadar Glukosa Plasma

Kadar glukosa plasma puasa diatas 140 mg/dL (7,8 mmol/L0 pada lebih dari satu pemeriksaan memastikan diagnostik DM. Sampel untuk pemeriksaan kadar glukosa paling baik diamnbil pada pagi hari sesudah puasa semalaman.Uji Toleransi Glukosa OralTes ini digunakan untuk mendiagnostik DM awal secara pasti, namun tes ini tidak dibutuhkan untuk penapisan dan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan manifestasi klinik DM dan hiperglikemia.

Interpretasi

Pada keadaan sehat, kadar glukosa puasa individu yang dirawat jalan dengan toleransi glukosa normal adalah 70 hingga 110 mg/dL. Setelah pemberian glukosa, kadar glukosa akan meningkat pada awalnya namun akan kembali ke keadaan semula dalam waktu 2 jam atau dengan kata lain glukosa plasma pu8asa kurang dari 115 mg/dL dan setelah 2 jam kadarnya akan turun dibwah 140 mg/dL dan nilai nilai dari sampel lainnya tidak ada yang melampaui 200 mg/dL (National Diabetes Data Group Criteri).Hasil hasil positif palsu dapat terjadi pada pasien yang mal nutrisi pada saat pengujian, berbaring ditempat tidur, atau terserang suatu infeksi atau suatu stress emosional yang berat. Diuretika, kontraseptif oral, glukokortikoid, tiroksin yang berlebihan, fenitoin, asam, nikotinat, dan beberapa obat psikoteropik juga dapat menyebabkan hasil positif palsu.2Manifestasi Klinik

Diabetes mellitus diklasifikasikan berdasarkan proses patogenik yang menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Secara garis besar dibagi menjadi DM tipe 1 dan tipe 2. Kedua jenis DM ini didahului oleh fase hemostasis glukosa abnormal seiring dengan proses patogenik berlanjut. Tipe 1 disebabkan oleh defisiensi insulin total atau mendekati total. DM tipe 2 merupakan sekelompok kelainan yang dicirikan dengan berbagai derajat resistensi insulin, gangguan sekresi insulin, dan peningkatan produksi glukosa. Defek metabolik dan genetic yang jelas pada fungsi/sekresi insulin merupakan penyebab hiperglikemia yang umum pada pasien DM tipe 2, dan mempunyai peranan yang penting dalam implikasi terapi karena sekarang sudah terdapat obat yang dapat memperbaiki gangguan metabolic secara spesifik. DM tipe 2 didahului oleh homeostasis glukosa abnormal yang disebut sebagai impaired fasting glucose (IFT) dan impaired glucose tolerance (IGT).Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa seyogyanya di laboratorium klinik yang terpercaya. Waalupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena maupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostic yang berbeda sesuai dengan pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa kadar glukosa kapiler.Ada perbedaan uji diagnostic DM pemeriksaan penyaring. Uji diagnostic DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan tanda/gejala DM. sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai faktor risiko DM. serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitive.Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM sebagai berikut: Usia > 45 tahun

BB > 110% berat badan ideal atau IMT > 23kg/m2

Hipertensi ( > 140/90 mmHg)

Riwayat DM

Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau berat badan lahir bayi > 4 kg.

Kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL

Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT, dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko terjadinya atherosclerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berkaitan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan sekunder dapat segera diterapkan.

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standart.2,6Bukan DMBelum pasti DMDM

Kadar glukosa darah sewaktu

plasma vena< 110110 199>200

darah kapiler200

Kadar glukosa darah puasa

plasma vena< 110110 125>126

darah kapiler110

Patofisiologi dan Etiologi pada DM Tipe IIDiabetes mellitus tipe 2 merupakan jenis yang lebih sering terjadi, tetapi jauh lebih sedikit yang telah dipahami karena bersifat multifaktorial. Defek metabolik karena gangguan sekresi insulin atau karena resistensi insulin di jaringan perifer. Genetika : toleransi karbohidrat dikontrol oleh berjuta pengaruh genetik. Oleh karena itu DM II merupakan kelainan poligenik dengan faktor metabolik berganda yang berinteraksi dengan pengaruh eksogen untuk menghasilkan fenotip tersebut koordinasi genetik pada DM tipe 2 pada kembar identik mendekati 90%. Resistensi insulin Mekanisme mayor resistensi insulin pada otot skeletal meliputi gangguan aktivasi sintase glikogen , disfungsi regulator metabolis, reseptor doen-regulation, dan abnormalitas transporter glukosa. Meningkatkan penurunan ambilan glukosa selular yang dimediasi oleh insulin. Hepar juga menjadi resisten terhadap insulin, yang biasanya berespon terhadap hiperglikemia dengan menurunkan produksi glukosa. Pada DM II, produksi glukosa hepar terus berlangsung meskipun terjadi hiperglikemia, mengakibatkan peningkatan keluaran glukosa hepar basal secara tidak tepat. Obesitas, terutama obesitas abdomen, berhubungan langsung dengan peningkatan derajat resistensi insulin. Disfungsi sel beta Disfungsi sel beta mengakibatkan ketidakmampuan sel pulau (sel islet) penkreas menghasilkan insulin yang memadai untuk menyediakan insulin yang cukup setalah sekresi insulin dipengaruhi.

Diteorikan bahwa hiperglikemia dapat membuat sel beta semakin tidak responsif terhadap glukosa karena toksisitas glukosa.

Sekresi insulin normalnya terjadi dalam dua fase. Fase pertama terjadi dalam beberapa menit setelah suplai glukosa dan kemudian melepaskan cadangan insulin yang disimpan dalam sel beta; fase dua merupakan pelepasan insulin yang baru disintesis dalam beberapa jam setelah makan. Pada DM II, fase pertama pelepasan insulin sangat terganggu. Fungsi sel beta (termasuk fase awal sekresi insulin) dan resistensi insulin membaik dengan penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas fisik.5Diagnosis BandingDiabetes Melitus tipe I

Merupakan bentuk diabetes yang berat dan disertai ketosis pada kasus kasus yang tidak tertangani. DM ini sering dijumpai pada orang muda tetapi dapat pula pada orang dewasa. Penderita akan mengalami gangguan metabolik di mana tidak ada insulin dalam sirkulasi, glukagon plasma meningkat, dan sel sel beta pankreas gagal berespon terhadap semua rangsangan insulinogenik yang telah diketahui. Tanpa adanya insulin; hati, otot, dan jaringan lemak gagal mengambil zat zat gizi yang telah diabsorpsi dan bahkan terus melanjutkan pengeluaran glukosa, asam amino, dan asam lemak ke dalam aliran darah dari depot cadangan masing masing. Kemudian perubahan metabolisme lamak pun mengakibatkan akumulasi benda benda keton.LADA

Diabetes autoimun laten pada orang dewasa (LADA) adalah bentuk kemajuan lambat diabetes autoimun. Seperti diabetes tipe 1, LADA terjadi karena pankreas berhenti memproduksi insulin yang cukup, kemungkinan besar yang secara perlahan merusak sel-sel yang memproduksi insulin di pankreas. Tapi tidak seperti diabetes tipe 1, dengan LADA, Anda akan sering tidak perlu insulin selama beberapa bulan sampai tahun setelah Anda telah didiagnosa. Orang yang didiagnosis dengan LADA biasanya di atas usia 30. Karena mereka lebih tua ketika didiagnosis daripada yang khas bagi seseorang dengan diabetes tipe 1 dan karena pada awalnya pancreas mereka masih menghasilkan beberapa insulin, orang dengan LADA sering salah didiagnosis dengan diabetes tipe 2.Pada awalnya, LADA dapat dikelola dengan mengendalikan glukosa darah dengan diet, penurunan berat badan jika sesuai, latihan dan, mungkin, obat-obatan oral. Tapi karena tubuh Anda secara bertahap kehilangan kemampuan untuk memproduksi insulin, suntikan insulin pada akhirnya akan diperlukan.MODYMody adalah salah satu dari beberapa bentuk keturunan diabetes disebabkan oleh mutasi pada gen autosomal dominan (sex independen, yaitu diwariskan dari salah satu orangtua) mengganggu produksi insulin. Mody, merupakan bentuk diabetes yang disebabkan oleh mutasi pada sejumlah gen yang berbeda. Mody juga merupakan bentuk diabetes monogenik. Setiap gen bermutasi yang berbeda menyebabkan sedikit berbeda tipe diabetes. Bentuk yang paling umum adalah HNF1-Mody (MODY3) dan GCK-Mody (MODY2), karena mutasi pada gen HNF1A dan GCK, masing-masing.Mody biasanya didiagnosis pada akhir masa kanak-kanak, remaja, atau dewasa awal. Namun, telah dikenal untuk mengembangkan pada orang dewasa hingga akhir usia 50-an. Banyak orang dengan Mody salah didiagnosa sebagai memiliki diabetes tipe 2 tipe atau 1.KomplikasiKomplikasi Akut

Ketoasidosis diabetik

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok. Pada pasien KAD dijumpai pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul), berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa napas tidak terlalu mudah tercium. Gambaran klinis KAD sebagai berikut keluhan poliuri dan polidipsi sering kali mendahului KAD serta didapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai terutama pada KAD anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lambung. Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau depresi sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol). Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering.Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik

Keto asidosis diabetik (KAD) dan koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) merupakan komplikasi akut/ emergensi Diebetes Melitus (DM). Sindrom HHNK ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus. HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Keluhan pasien HHNK ialah: rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan dengan KAD. Kadang, pasien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang atau koma. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik setelah rehidrasi adekuat. Perubahan pada status mental dapat berkisar dari disorientasi sampai koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung dengan osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350 mmol per kg). Kejang ditemukan pada 25% pasien, dan dapat berupa kejang umum, lokal, maupun mioklonik. Dapat juga teijadi hemiparesis yang bersifat reversibel dengan koreksi defisit cairan.Hipoglikemik iatrogenik

Hipoglikemia pada pasien diabetes tipe 1 (DMT 1) dan diabetes tipe 2 (DMT 2) merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal atau mendekati normal. Tidak ada definisi kendali glukosa darah yang baik dan lengkap tanpa menyebutkan bebas dari hipoglikemia. Risiko hipoglikemia timbul akibat ketidaksempurnaan terapi saat ini, di mana kadar insulin di antara dua makan dan pada malam hari meningkat secara tidak proporsional dan kemampuan fisiologis tubuh gagal melindungi batas penurunan glukosa darah yang aman. Faktor paling utama yang menyebabkan hipoglikemia sangat penting dalam pengelolaan diabetes adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupan glukosa yang berkelanjutan. Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dan Triad Whipple merupakan panduan klasifikasi klinis hipoglikemia yang bermanfaat. Triad tersebut meliputi: a), keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah, b), kadar glukosa darah yang rendah ( 40 tahun, gemuk, hipertensi, riwayat keluarga DM, riwayat melahirkan bayi > 4 kg, riwayat DM pada saat kehamilan, dislipidemia.1Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa

Modalitas yang ada pada penatalaksanaan diabetes mellitus terdiri dari: pertama terapi non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus, kedua terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat ati diabetes oral dan injeksi insulin. Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah sebagaimana yang diharapkan. Pemberian terapi farmakologis tetap tidak meninggalkan terapi nom farmakologis yang telah diterapkan sebelumnya.4Terapi Gizi MedisTerapi gizi medis merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes (diabetisi). Terapi gizi medis ini pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual.Beberapa manfaat yang telah terbukti dari terapi gizi medis ini antara lain1. menurunkan berat badan

2. menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik

3. menurunkan kadar glukosa darah

4. memperbaiki profil lipid

5. meningkatkan sensitivitas reseptor insulin

6. memperbaiki system koaguasi darah.4Tujuan Terapi Gizi MedisAdapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan:1. kadar glukosa darah mendekati normal

glukosa puasa berkisar 90 130 mg/dl

glukosa darah 2 jam setelah makan 1.5 mg/dL pada laki laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus diberikan denga hati hati pada orang lanjut usia.Glitazone

Golongan Thiazolidinediones atau Glitazone adalah golongan obat yang mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin.

Obat ini dapat diberikan secara oral dan secara kimiawi maupun fungsional tidak berhubungan dengan obat oral lainnya. Monoterapi dengan glitazone dapat memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa hingga 59-80 mg/dL dan A1C 1.4 2.6% dibandingkan dengan placebo. Rosiglitazone dan pioglitazone dapat digunakan sebagai monoterapi dan sebagai kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin.Golongan Sekretagok InsulinSekretagok insulin mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta penkreas. Golongan ini meliputi sulfonylurea dan glinid.SulfonylureaSulfonylurea telah digunakan untuk pengobatan DM tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. Sulfonylurea sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin. Mempunyai sejarah penggunaan yang panjang dengan sedikit efek samping (termasuk hipoglikemi) dan rwlatif murah. Berbagai macam obat golongan ini umumnya mempunyai sifat farmakologis yang serupa, demikian juga efek klinis dan mekanisme kerjanya.GlinidSekretagok insulin yang baru, bukan merupakan sulfonylurea dan merupakan glinid. Kerjanya juga melalui reseptor sulfonylurea (SUR) dan mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonylurea tetapi tidak mempunyai efek sepertinya. Repaglinid dan nateglinid kedua duanya diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolism dalam hati sehingga diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai paruh yang singkat karena lama menempel pada kompleks SUR sehingga dapat menurunkan ekuivalen A1C pada SU.Sedang nateglinid mempunyai masa tinggi lebih singkat dan tidak menurunkan kadar glukosa darah puasa. Sehingga keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Karena sedikit mempunyai efek terhadap glukosa darah puasa maka kekuatannya menurunkan A1C tidak begitu kuat.5,6Penghambat Alfa GlukosidaseObat ini bekerja secara kompetitif menghambat enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemik postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin.Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala gastrointestinal seperti meteorismus, flatulens, dan diare. Flatulens adalah efek yang paling tersering terjadi pada hamper 50% pengguna obat ini. Penghambat Alfa Glukosidase dapat menghambat bioavailibilitas metformin jika bersamaan dengan orang normal.

Acarbose hampir tidak diabsorpsi dan bekerja local pada saluran pencernaan. Acarbose mengalami metabolism di dalam saluran pencernaan, metabolism terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas enzim pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui feses.Penghambat Dipeptidyl Peptidase IV (Penghambat DPP-IV).Terdapat dua macam penghambat DPP-IV yang ada saat ini yaitu sitagliptin dan vildagliptin. Pada terapi tunggal, penghambat DPP-IV dapat menurunkan HbA1c sebesar 0,79-0,94% dan memiliki efek pada glukosa puasa dan post prandial. Penghambat DPP-IV dapat digunakan sebagai terapi alternative bila terdapat intoleransi pada pemakaian metformin atau pada usia lanjut. DPP-IV tidak mengakibatkan hipoglikemia maupun kenaikan berat badan. Efek samping yang dapat ditemukan adalah nasofaringitis, peningkatan risiko infeksi saluran kemih dan sakit kepala. Reaksi alergi yang berat jarang ditemukan.3,7Prognosis

Prognosis pada umumnya baik jika disertai dengan penanganan yang baik dan sedini mungkin. Pencegahan seperti penyuluhan oleh petugas kesehatan dapat mencegah terjadinya komplikasi yang dapat memperberat penyakit sampai terjadinya kematian.Kesimpulan Melalui tinjauan pustaka diatas telah dipaparkan apa yang menimbulkan keluhan pasien pada skenario 3, yaitu l lemas sejak 2 minggu yang lalu. Pasien memiliki riwayat diabetes sejak 5 tahun yang lalu dan minum obat secara teratur. Dengan demikian diambil hipotesis bahwa OS menderita diabetes mellitus tipe II. Melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, differential diagnosis, working diagnosis, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan, prevemtif, komplikasi, serta prognosis, tinjauan pustaka ini mencoba untuk menjelaskan faktor yang mempengaruhi sehingga pasien datang dengan keluhan tersebut, dan bagaimana cara diagnosis serta terapi yang benar dan baik.DAFTAR PUSTAKA1. Suyono Slamet. Diabetes di Indonesia. Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid III, 2009; Ed. V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : h. 1877-832. Purnamasari D. Diagnosis dan klasifikasi diabetes militus. Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid III, 2009; Ed. V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : h. 18803. Soegondo S. Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes melitus tipe 2. Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid III, 2009; Ed. V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : h. 1884-18904. Yunir M, Soebardi S. Terapi non farmakologis pada diabetes melitus. Buku ajar ilmu penyakit dalam,jilid III,2009; Ed. V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : h. 1891-955. Brashers VL. Aplikasi klinis patofisiologi pemeriksaan & manajemen; ahli bahasa, HY Kuncara, editor bahasa Indonesia, Devi Yulianti. Edisi 2. Jakarta : EGC; 2007. 6. Powers AC. Diabetes melitus in: Harrisons Principle of Internal Medicine. 17 ed. USA: McGraw-Hill; 2008.p.2275-6

7. Gustaviani R. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam: Sudoyo, Aru W, dkk, editor. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.Jakarta : FKUI; 2009.h. 1879-80

25