Laporan Fl Tbn
Click here to load reader
-
Upload
firstiafina-tiffany -
Category
Documents
-
view
218 -
download
1
description
Transcript of Laporan Fl Tbn
Pengendalian Penyakit Menular Tuberculosis
di Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan baik di Indonesia maupun di dunia dan merupakan penyebab utama kematian (Subagyo et.al, 2006). Tuberkulosisadalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2007).
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Depkes RI, 2007).
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain
TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes RI, 2007).
Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB didunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per
100.000 penduduk (Depkes RI, 2007).
Berbagai kemajuan telah dicapai, antara lain program DOTS dimana Indonesia hampir mencapai target 70/85, artinya sedikitnya 70% pasien TB berhasil ditemukan dan sedikitnya 85% diantaranya berhasil disembuhkan. Di Indonesia juga diperkenalkan beberapa program seperti HDL (Hospital DOTS Linkage) yang melakukan program DOTS di RS, PPP (public private partnership) atau PPM (public private mix) yang melibatkan sektor private dalam penanggulangan TB di Indonesia, juga akan dilakukan program DOTS plus untuk menangani MDR TB (Aditama, 2006).
Tuberculosis (TB) merupakan salah satu penyakit yang prevalensinya di Indonesia masih terbilang tinggi. Sebagai dokter, nantinya yang bertugas di Indonesia, mahasiswa harus memiliki kompetensi yang cukup tinggi apabila nantinya menemukan dan menghadapi sendiri adanya kasus Tuberculosis.
Pembelajaran Field Lab merupakan salah satu cara membekali mahasiswa agar siap berorientasi penuh pada masyarakat. Mahasiswa memperoleh berbagai tambahan ilmu dan pengalaman yang berharga dengan observasi langsung di lapangan, yang selanjutnya dapat diterapkan setelah lulus nanti.
B. Tujuan Pembelajaran
Setelah melakukan kegiatan laboratorium lapangan, diharapkan mahasiwa mampu:
1. Mendemonstrasikan algoritma penemuan suspek dan kasus TB dengan strategi DOTS
2. Mendemonstrasikan alur pencatatan dan pelaporan kasus TB dengan strategi DOTS
3. Melakukan perhitungan angka keberhasilan pengobatan kasus TB
4. Mendemonstrasikan cara pemantauan dan evaluasi pengobatan kasus TB dengan strategi DOTS
5. Mendemonstrasikan cara diagnosis dan pengobatan profilaksis TB anak.
BAB II
KEGIATAN YANG DILAKUKAN
1. Kegiatan Pra-Lapangan
Sebelum mengikuti kegiatan lapangan di Puskesmas Sidoharjo, mahasiswa mengikuti kegiatan pre-test tertulis yang dilaksanakan di FK UNS. Soal yang dikerjakan bersumber dari buku manual Field Lab yang telah diberikan sebelumnya. Pre-test tersebut dilaksanakan untuk menguji seberapa jauh materi yang telah dipahami oleh mahasiswa. Mahasiswa juga membuat Buku Rencana Kerja (BRK) yang berisi tentang tujuan dan prosedur kegiatan.
2. Kegiatan Lapangan Hari Pertama (10 Desember 2009)
Pada pertemuan pertama tanggal 10 Desember 2009, mahasiswa tiba di Puskesmas Sidoharjo pada pukul 07.00 WIB. Sebelum mahasiswa melaksanakan kegiatan, mahasiswa turut menghadiri apel pagi dilanjutkan dengan senam ringan yang dilaksanakan rutin di Puskesmas Sidoharjo setiap pagi, bersama dengan seluruh staf Puskesmas Sidoharjo.
Setelah selesai mengikuti apel pagi bersama dengan seluruh staf Puskesmas Sidoharjo, mahasiswa kemudian diberi pengarahan oleh Kepala Puskesmas Sidoharjo, drg. Dwi Hatwi, dr. Rusnita dan Bapak Semu. drg. Dwi Hatwi memberikan pembukaan dan pengarahan awal, kemudian dr. Rusnita memberikan gambaran umum tentang TB, dilanjutkan dengan penjelasan Bapak Semu tentang prosedur teknis pelaksanaan pemberantasan TB di Kecamatan Sidoharjo.
Pada prinsipnya, penjelasan yang diberikan oleh dr. Rusnita dan Bapak Semu merupakan penjabaran dan aplikasi dari buku manual Field Lab yang telah diberikan kepada mahasiswa. Akan tetapi, tidak semua teori pelaksanaan pengendalian TB dalam buku manual dapat dilaksanakan dengan sempurna, sehingga ada sedikit penyesuaian dalam penerapan di lapangan, khususnya di Puskesmas Sidoharjo. Kemudian penjelasan dan aplikasi lapangan yang dijelaskan oleh dr. Rusnita dan Bapak Semu selanjutkan akan penulis lebih jabarkan pada bab pembahasan.
Selanjutnya, setelah mendapatkan penjelasan awal dari dr. Rusnita dan Bapak Semu, mahasiswa melaksanakann kunjungan ke ruang laboratorium di Puskesmas Sidoharjo dan diberi penjelasan oleh Ibu Farida yang merupakan laboran Puskesmas Sidoharjo seputar pemeriksaan sputum dan aplikasinya di lapangan.
Setelah berkunjung ke laboratorium, mahasiswa kemudian mengunjungi Klinik Khusus, yang di Puskesmas Sidoharjo berfungsi untuk melayani pasien khusus misalnya pasien lanjut usia, pasien kusta, dan pasien TB. Di ruangan Klinik Khusus sudah tersimpan obat dari masing-masing pasien TB yang berada dalam daerah cakupan Puskesmas Sidoharjo yang akan diberikan kepada pasien secara berkala untuk sekaligus memantau perkembangan penyakitnya.
BAB III
HASIL
Data penduduk yang terdapat di wilayah cakupan Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen mempunyai rincian sebagai berikut:
No Desa KK Laki-laki Perempuan Jumlah
1. Sidoharjo 1.318 1.880 1.917 3.7972. Jetak 1.936 2.967 3.073 6.0403. Duyungan 1.833 2.578 2.692 5.2704. Purwosuman 1.921 2.862 3.101 5.9635. Bentak 993 1.611 1.670 3.2816. Patihan 2.008 3.197 3.223 6.4207. Tenggak 1.509 1.676 1.690 3.3668. Taraman 1.671 2.300 2.324 4.624
9. Singopadu 1.149 1.745 1.791 3.53610.
Jambanan 1.286 1.930 1.984 3.914
11.
Pandak 951 1.201 1.202 2.460
12.
Sribit 930 1.212 1.202 2.414
Jumlah 17.055 25.159 25.926 51.085
Sesuai dengan prosedur penghitungan yang telah ditetapkan Departemen Kesehatan, Puskesmas Sidoharjo menentukan berbagai penghitungan perkiraan kasus dan target pasien TB. Dari perkiraan yang didapatkan, minimal 70% dari angka tersebut harus ditemukan.
Mahasiswa mendapatkan penjelasan dari Bapak Semu tentang prosedur penghitungan penting tentang TB yang dilaksanakan di Puskesmas Sidoharjo, yang mencakup:
1. Penentuan Perkiraan Jumlah Pasien BTA positif yang ada di Puskesmas Sidoharjo
Jumlah penduduk dalam lingkup kerja Puskesmas Sidoharjo adalah 51.085 orang.
Sehingga target jumlah pasien BTA positif yang harus ditemukan oleh Puskesmas adalah minimal 70% dari jumlah perkiraan pasien BTA positif:
1. Cara penjaringan suspek TB
Untuk setiap 1 orang pasien TB BTA positif diperkirakan ada 10 suspek TB yang harus dilakukan pemeriksaan.
55 x 10 = 550 suspek
Target suspek 70%, sehingga
39 x 10 = 390 suspek
2. Case Notification Rate (CNR)
Adalah persentase dari jumlah pasien TB BTA positif dari seluruh penduduk dalam cakupan Puskesmas.
3. Case Detection Rate (CDR)
Adalah persentase dari jumlah pasien TB BTA positif dari target perkiraan jumlah penduduk yang menderita TB BTA positif.
CDR dari 70% target perkiraan jumlah penduduk yang menderita TB BTA positif yang ditemukan:
BAB IV
PEMBAHASAN
Penyakit TB telah menjadi iceberg phenomenon, yang terlihat cukup baik dari permukaan, namun masih menyimpan permasalahan besar yang belum ditemukan sehingga perlu penanganan yang lebih intensif. Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen mempunyai target minimal menemukan 10% hasil positif TB dari jumlah masyarakat dalam wilayah cakupan Puskesmas, sehingga apabila tidak ditemukan adanya kasus baru dalam pemeriksaan di Puskesmas, pihak Puskesmas bergerak lebih aktif mencari ke masyarakat dengan cara mengadakan penyuluhan, dan pemantauan dari rumah ke rumah. Untuk satu penderita TB BTA positif, diperkirakan ada sepuluh suspek.
Penjaringan TB paru di Puskesmas Sidoharjo terdapat dalam dua cara: 1) melalui pemeriksaan di Puskesmas sendiri; dan 2) melalui rujukan dari RS atau BKPM (Balai Kesehatan Paru Masyarakat) dari kota atau kabupaten, yang nantinya akan dirujuk ke Puskesmas sesuai dengan kecamatan dimana penderita tinggal. Sedangkan melalui lintas program, penjaringan Puskesmas Sidoharjo dibagi menjadi dua cara, yaitu 1) aktif, yaitu petugas Puskesmas yang datang dan melakukan kunjungan ke rumah-rumah warga, dan 2) pasif, yaitu penderita yang datang ke Puskesmas untuk memeriksakan diri.
Alur diagnosis TB paru di Puskesmas Sidoharjo Kabupaten Sragen secara garis besar sama seperti alur dalam buku manual Field Lab, namun untuk diagnosis TB anak, Puskesmas Sidoharjo tidak dapat menentukan diagnosis dengan prosedur scoring dengan tepat, sehingga disarankan agar suspek TB anak dirujuk ke Rumah Sakit. Selanjutnya apabila pasien atau keluarga pasien menginginkan pelaksanaan terapi di Puskesmas, keluarga pasien dapat meminta surat pengantar untuk pelaksanaan terapi di Puskesmas. Selanjutnya, Puskesmas Sidoharjo dapat melaksanakan dan memantau terapi TB anak hingga selesai. Begitu juga dengan pasien TB ekstra paru, Puskesmas Sidoharjo dapat melaksanakan terapi, tetapi diagnosisnya hanya menerima surat pengantar terapi yang diagnosisnya telah ditetapkan di unit pelayanan yang lebih professional, seperti Rumah Sakit atau dokter spesialis.
Pasien yang datang pertama kali dari Poliklinik Umum, kemudian apabila setelah dilakukan pemeriksaan sputum menghasilkan hasil yang TB BTA positif, maka kemudian perawatan pasien tersebut selanjutnya dipindahkan ke Klinik Khusus agar memudahkan pemantauan yang dilaksanakan oleh pihak Puskesmas. Adanya Klinik Khusus ini bertujuan untuk memantau pasien lebih intensif tanpa membuat pasien merasa terkucilkan, dan tetap merasa nyaman dengan terapi yang sedang dijalani.
Pada umumnya, jika gejala yang timbul sudah cukup banyak dan sangat menyerupai gejala TB, maka pemeriksaan sputum menunjukkan hasil yang positif. Pemeriksaan sputum merupakan gold standar dari diagnosis TB, sehingga diagnosis TB harus berdasarkan hasil pemeriksaan sputum yang BTA positif, namun apabila gejala sudah sangat mendekati, dan hasil rontgen menunjukkan hasil positif TB, maka hasil pemeriksaan sputum yang negatif juga dapat mengarah pada kesimpulan positif TB. Puskesmas Sidoharjo mempunyai fasilitas laboratorium yang sudah dapat melaksanakan pemeriksaan sputum untuk TB, namun untuk fasilitas rontgen dan uji tuberculin, Puskesmas Sidoharjo belum mempunyai fasilitas tersebut, sehingga untuk pemeriksaan rontgen dan uji tuberculin, Puskesmas Sidoharjo merujuk pasien ke Rumah Sakit (RS).
Pemeriksaan sputum dilaksanakan empat kali, yaitu pada pemeriksaan awal (waktu penyaringan), seminggu sebelum akhir terapi intensif (akhir bulan kedua), seminggu sebelum akhir bulan kelima, dan seminggu sebelum akhir bulan keenam (akhir terapi lanjutan).
Pada pemeriksaan sputum, yang menggunakan prinsip sewaktu-pagi-sewaktu (SPS), pada waktu pertama kali pasien datang, setelah melakukan pengeluaran dahak sewaktu, kemudian pada waktu pasien pulang pasien diberikan dua pot (tempat) sputum untuk digunakan menampung dahak yang akan diserahkan pada kunjungan selanjutnya.
Ada kriteria penentuan positif-negatif dari pemeriksaan sputum, yang ditentukan oleh IUALC. Apabila dari pemeriksaan SPS pertama kali, hasil yang positif hanya satu spesimen, sebaiknya pemeriksaan diulang. Pada umumnya, specimen yang menghasilkan hasil yang hampir selalu positif adalah sputum yang diambil waktu pagi hari (P).
Pemberian obat untuk terapi TB pada pasien di Puskesmas Sidoharjo seperti pada umumnya terapi medikamentosa, disertai dengan edukasi tentang waktu minum obat dan cara mengatasi gangguan atau keluhan yang muncul akibat efek samping obat. Misalnya, jika pekerjaan pasien dilakukan pada siang hari, maka waktu minum obat dilaksanakan pada malam hari. Kemudian jika timbul efek samping seperti mual dan muntah maka sebaiknya diberikan terapi simtomatik untuk menghentikan gangguan tersebut, kemudian setelah gangguan hilang, terapi tetap dapat dilanjutkan. Untuk mengawasi kepatuhan pasien dalam meminum obat, pasien tidak diberikan satu paket penuh Obat Anti Tuberculosis (OAT) yang digunakan untuk enam bulan kedepan, tetapi paket tersebut disimpan oleh Puskesmas. Pasien kemudian secara teratur datang ke Puskesmas setiap sepuluh hari sekali untuk mengambil OAT sekaligus melakukan pemeriksaan kontrol.
Apabila ditemui kejadian pasien kambuh, apabila setelah sembuh pasien kembali menderita TB dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, maka pasien diberikan terapi OAT kategori 2. Akan tetapi apabila kurun waktu kambuhnya lebih dari 5 tahun, maka pasien masih dapat diberikan terapi OAT kategori 1. Namun, Puskesmas Sidoharjo selama ini hanya menemukan
pasien dengan kriteria yang cocok untuk diberikan terapi OAT kategori 1. Belum ada pasien yang terindikasi harus diberikan OAT kategori 2.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pelaksanaan kegiatan Field Lab dengan topik Pengendalian Penyakit Menular Tuberculosis di Puskesmas Sidoharjo Sragen sudah berlangsung cukup baik dan edukatif. Mahasiswa dapat mencapai seluruh kompetensi dalam tujuan pembelajaran. Permasalahan di lapangan serta pemecahannya yang belum pernah didapatkan secara formal dalam pembelajaran dalam kegiatan perkuliahan, merupakan pengalaman yang penting untuk bekal pengabdian mahasiswa kelak sebagai dokter.
B. Saran
Sebaiknya kegiatan Field Lab topik Pengendalian Penyakit Menular TB di Puskesmas Sidoharjo juga dilengkapi dengan kegiatan kunjungan ke rumah penderita TB yang telah tersaring di Puskesmas, untuk menjaring suspek TB di lingkungan sekitar rumah pasien TB.
Kegiatan Field Lab ini juga mungkin akan lebih baik lagi jika dilaksanakan dalam waktu lebih dari 2 pertemuan, karena waktu yang sempit mengakibatkan mahasiswa tidak dapat melaksanakan kegiatan Pengendalian Penyakit Menular Tuberculosis dengan sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, Tjandra Yoga. 2006. Perkembangan Teknologi, Perkembangan Kuman dalam Jurnal Tuberculosis Indonesia vol. 3 nomor 2. Diakses di http://www.tbindonesia.or.id/pdf/Jurnal_TB_Vol_3_No_2_PPTI.pdf pada 11 Desember 2009, 21:22.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta: Depkes RI.
Tim Field Lab FK UNS dan UPTD Puskesmas Sibela Surakarta. 2009. Manual Field Lab, Pengendalian Penyakit Menular Tuberculosis. Surakarta: Field Lab FK UNS.
BAB IPENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejak pertama kali penyakit Tuberkulosis (TB) ditemukan, lebih dari seabad yang lalu hingga saat ini insidensinya terus meningkat. Sepertiga penduduk bumi telah terinfeksi TB dan 5 – 10 % akan menjadi TB aktif dalam tahun pertama. Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Indonesia masih menjadi Negara ke-3 terbanyak kasus TB setelah India dan Cina dengan jumlah pasien 10% dari jumlah pasien dunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insidensi kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. Dalam penanggulangan masalah tuberculosis di Indonesia, strategi Directly Observed Treatment Short-Course (DOTS) telah dilaksanakan di Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah, Rumah Sakit Swasta serta Dokter Praktik Swasta (DPS) dengan melibatkan peran serta masyarakat secara terpadu. Target nasional untuk angka cakupan penemuan kasus (Case Detection Rate) adalah 70%. Dilihat dari target nasional angka cakupan penemuan kasus masih kurang, akibatnya masih banyak kasus TB yang belum diobati. Masalah penyakit TB di Indonesia yang demikian rumit masih belum tuntas seperti adanya faktor risiko eksternal seperti umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, merokok, kepadatan hunian, status gizi, sosial ekonomi, dan perilaku, yang mempengaruhi penyebaran dan penularan TB, di lain pihak diperberat lagi dengan tingginya prevalensi HIV (Human Immunodeficiency Virus) Keterlambatan diagnosis dan penatalaksanaan akan berpengaruh terhadap populasi penderita di sekitarnya, dimana kemungkinan orang yang tertular akan semakin banyak, hal ini sesuai dengan penularan TB yang umumnya melalui “droplet nuclei”. Untuk mengatasi hal ini maka kasus TB harus segera dideteksi secara dini terutama terhadap kontak anggota keluarga serumah, dengan demikian diharapkan diagnosis dan pengobatannya dapat segera dilaksanakan sehingga memutuskan rantai penularan lebih lanjut.
B. TUJUAN PEMBELAJARANSetelah melakukan kegiatan laboratorium lapangan, diharapkan mahasiswa mampu :
a. Mendemonstrasikan cara penemuan suspek dan kasus TB dengan strategi DOTS
b. Mendemonstrasikan cara pencatatan dan pelaporan kasus TB dengan strategi DOTS
c. Melakukan perhitungan angka keberhasilan pengobatan kasus TBd. Mendemonstrasikan cara monitoring dan evaluasi pengobatan kasus TB
dengan strategi DOTSBAB II
PELAKSANAAN KEGIATANA. Rincian Pelaksanaan Kegiatan1. Kamis, 2 Desember 2010
Pelaksanaan kegiatan Field Lab Penanggulangan Penyakit Menular : Tuberculosis bertempat di Puskesmas Sambirejo, Sragen. Sebelum pelaksanaan kegiatan, dr. Sri Herawati memberi pengarahan secara umum kepada para mahasiswa. Kemudian pengarahan dilanjutkan oleh Bapak Yudi, yang menerangkan tentang algoritma penemuan suspek, kasus TB, alur pencatatan,dan pelaporan kasus TB dengan strategi DOTS. Beliau juga menerangkan mengenai penghitungan angka keberhasilan pengobatan kasus TB dan menunjukkan sampel OAT kepada kami. Selain itu, mahasiswa didampingi Instruktur juga mengunjungi rumah seorang penderita TB yang masih aktif berobat dan melakukan wawancara singkat.
2. Kamis, 16 Desember 2010Mahasiswa melakukan evaluasi dan presentasi mengenai kegiatan Field Lab Penanggulangan Penyakit Menular : Tuberculosis di Puskesmas Sambirejo, Sragen.
B. Alat dan Bahan© Alat tulis© Formulir TB (TB 01, 02, 03, 04, 06, 07, 09)© Alat hitung
C. Prosedur Kerja1. Penentuan perkiraan jumlah pasien BTA positif yang ada di suatu
wilayah.2. Penjaringan suspek TB, dilakukan dengan dua metode :a. Penjaringan di unit pelayanan kesehatan untuk setiap suspek TB dan
lalu dilakukan kunjungan rumahb. Promosi aktif dengan penyuluhan.3. Menentukan tipe penderita dan kategori pengobatan4. Menentukan Pengawas Pengobatan (PMO)5. Melakukan monitoring dan evaluasi kemajuan pengobatan TB dan
menjelaskan tindak lanjut pengobatan TB.6. Menentukan angka keberhasilan pengobatan TB
© Angka konversi© Angka kesembuhan© Angka penemuan kasus
BAB IIIHASIL KEGIATAN
© Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Sambirejo adalah ± 41.000 orang.
© Perkiraan suspek TB yang diajukan adalah + 163 orang, dengan perkiraan pasien TB BTA (+) adalah sebanyak 16 orang.
© Pemeriksaan suspek yang dilakukan hingga bulan November adalah sebanyak 163 orang.
© Hasil pemeriksaan suspek tersebut adalah TB BTA (+) sebanyak 16 orang, dan kasus TB anak < 15 tahun sebanyak 6 orang.
© Angka penjaringan suspek
= Jumlah suspek yang diperiksa
Jumlah penduduk
=
© Proporsi pasien TB BTA (+) di antara suspek
= Jumlah pasien TB BTA positif yang ditemukan
Jumlah seluruh suspek yang diperiksa
= 9,8%
© Proporsi pasien TB Paru BTA (+) diantara semua Pasien TB Paru Tercatat/Diobati
= Jumlah pasien TB BTA positif (baru + kambuh)
Jumlah seluruh pasien TB (semua tipe)
= 45%
© Proporsi pasien Tb Anak diantara seluruh pasien TB
= Jumlah pasien TB Anak (< 15thn) yangg ditemukan
Jumlah seluruh pasien TB yang tercatat
= 17%
© Angka Konversi (Conversion Rate)
= Jumlah pasien TB BTA positif yang konversi
Jumlah pasien baru Tb paru BTA positif yang diobati
= 93%
© Angka kesembuhan (Cure Rate)
= Jumlah pasien TB BTA (+) yang sembuh
Jumlah pasien TB BTA (+) yang diobati
= 93%
© Form TB 01 terlampir pada bagian lampiran. BAB IV
PEMBAHASANPenyakit TB telah menjadi iceberg phenomenon, yang terlihat cukup
baik dari permukaan, namun masih menyimpan permasalahan besar yang belum ditemukan sehingga perlu penanganan yang lebih intensif. Pada kegiatan field lab yang dilakukan mahasiswa pada tanggal 2 Desember 2010, bertempat di Puskesmas Sambirejo, Sragen, mahasiswa mempelajari cara pencatatan kasus TB dan alur diagnosis kasus TB di puskesmas. Selain itu instruktur juga menunjukkan macam-macam OAT dan form pengisian untuk kasus TB seperti TB 01, TB 02, TB 03, TB 04, TB 06, TB 07,dan TB 09. Mahasiswa juga melakukan kunjungan ke rumah seorang penderita TB. Data yang diperoleh dari Puskesmas Sambirejo, sampai bulan November 2010, didapatkan data sebagai berikut :
© Jumlah penduduk : 41.000© Perkiraan suspek : 163© Perkiraan BTA positif : 16© Pemeriksaan suspek : 163© Penemuan kasus BTA positif : 16© Penemuan kasus kambuh : 16© Penemuan kasus anak : 6
© Jumlah seluruh pasien TB (semua tipe) : 35
Pembahasan KasusNama : SuparniAlamat : Dawung, NusupanNama Pengawas Pengobatan/PMO : SuparnoAlamat PMO : Dawung, NusupanJenis Kelamin : Perempuan Umur : 38 tahunKlasifikasi Penyakit : TB paruTipe Pasien : BaruPemeriksaan dahak : BTA (+)Pengobatan : OAT KDT Kategori I
Dari data-data di atas, dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut
merupakan penderita baru yang mengalami TB paru BTA (+) yang
sedang menjalani pengobatan Kategori I. Obat-obat yang diberikan pada
kategori I adalah 2HRZE/4(HR)3 dengan penjelasan sebagai berikut :
* Tahap intensif : Selama 2 bulan diberikan Isoniazid, Rifampicin,
Pyrazinamide dan Etambuthol setiap hari, keempat obat ini sudah ada
dalam satu tablet OAT KDT
* Tahap Lanjutan : Selama 4 bulan diberikan Isoniazid dan Rifampicin
dengan aturan minum 3 kali seminggu dan itu harus merata dalam satu
minggunya, jenis obat ini juga ada dalam satu tablet OAT KDT
Pasien memulai pengobatan pada awal Agustus dan mengakhiri tahap
intensif pada bulan Oktober, dan mengawali tahap lanjutan dari bulan
November hingga saat dibuatnya laporan ini. Dari hasil pemeriksaan
dahak pada form TB 01, sudah didapatkan hasil konversi BTA pada
dahak, dari BTA 3+ menjadi BTA 1+. Dari hasil wawancara kunjungan ke
rumah penderita TB tersebut, didapatkan bahwa lingkungan rumah
pasien kurang mendapat cahaya matahari, sehingga kuman TB yang
mungkin ada di udara tidak terbunuh. Pasien juga memiliki dua orang
anak, yang salah seorangnya masih berusia tiga tahun. Namun anak
tersebut terlihat sehat, lincah, dan gemuk. Menurut pasien, anaknya
tersebut sehat dan tiap bulan beratnya naik 1 – 1,5 kg. Dari hasil
wawancara mahasiswa, pasien termasuk rutin berobat dan keinginan
untuk sembuhnya kuat. Terbukti dengan ajakan pasien kepada ibunya,
yang juga menderita TB, untuk berobat di Puskesmas. Pengobatan TB
dengan OAT yang tidak dikenakan biaya ini membuat pasien merasa
nyaman untuk mengobati penyakitnya hingga sembuh nanti.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Kegiatan penanggulangan penyakit menular TB di Puskesmas
Sambirejo, Sragen, telah mengikuti standar DOTS2. Karena keterbatasan waktu maka kelompok kami tidak dapat melihat
secara langsung cara pendiagnosisan pasien TB
B. SARAN
Dalam pengisian kartu-kartu untuk administrasi pasien TBC sebaiknya
selengkap mungkin agar dalam penatalaksanaannya ke depan dapat
lebih optimal
1. Bagi masyarakat umum sebaiknya dapat lebih mengerti lagi
mengenai penyakit TBC secara umum, sehingga dapat melakukan
pencegahan dan bagi penderita TBC supaya dapat lebih mengerti
lagi tentang pengobatan dan perawatan TBC
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, Tjandra Yoga. 2006. Perkembangan Teknologi, Perkembangan Kuman dalam Jurnal Tuberculosis Indonesia vol. 3 nomor 2. Diakses di http://www.tbindonesia.or.id/pdf/Jurnal_TB_Vol_3_No_2_PPTI.pdfpada 11 Desember 2009, 21:22.Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta: Depkes RI.Tim Field Lab FK UNS dan UPTD Puskesmas Sibela Surakarta. 2010. Manual Field Lab, Pengendalian Penyakit Menular Tuberculosis. Surakarta: Field Lab FK UNS.