Laporan FL Palupi

29
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan endemis di sebagian kabupaten/kota di Indonesia. Hampir setiap tahun terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) di beberapa daerah yang biasanya terjadi pada musim penghujan, namun sejak awal tahun 2011 ini sampai bulan Agustus 2011 tercatat jumlah kasus relative menurun sebagaimana tampak pada grafik di bawah. DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya, dengan 48 penderita dan angka kematian (CFR) sebesar 41,3%. Dewasa ini DBD telah tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Program pencegahan dan pemberantasan DBD telah berlangsung lebih kurang 43 tahun dan berhasil menurunkan angka kematian dari 41,3% pada tahun 1968 menjadi 0,87 % pada tahun 2010, tetapi belum berhasil menurunkan angka kesakitan. Jumlah penderita cenderung meningkat, penyebarannya semakin luas, menyerang tidak hanya anak-anak tetapi juga golongan umur yang lebih tua. Pada tahun 2011 sampai bulan Agustus tercatat 24.362 kasus dengan 196 kematian (CFR: 0,80 %)

description

demam berdarah

Transcript of Laporan FL Palupi

Page 1: Laporan FL Palupi

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang masih

menjadi masalah kesehatan masyarakat dan endemis di sebagian kabupaten/kota di

Indonesia. Hampir setiap tahun terjadi KLB (Kejadian Luar Biasa) di beberapa daerah

yang biasanya terjadi pada musim penghujan, namun sejak awal tahun 2011 ini sampai

bulan Agustus 2011 tercatat jumlah kasus relative menurun sebagaimana tampak pada

grafik di bawah. DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta dan

Surabaya, dengan 48 penderita dan angka kematian (CFR) sebesar 41,3%. Dewasa ini

DBD telah tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Program pencegahan dan

pemberantasan DBD telah berlangsung lebih kurang 43 tahun dan berhasil

menurunkan angka kematian dari 41,3% pada tahun 1968 menjadi 0,87 % pada

tahun 2010, tetapi belum berhasil menurunkan angka kesakitan. Jumlah penderita

cenderung meningkat, penyebarannya semakin luas, menyerang tidak hanya anak-anak

tetapi juga golongan umur yang lebih tua. Pada tahun 2011 sampai bulan Agustus

tercatat 24.362 kasus dengan 196 kematian (CFR: 0,80 %)

Page 2: Laporan FL Palupi

Berdasarkan rekapitulasi data kasus yang ada sampai tanggal 22 Agustus 2011 tercatat

hanya Provinsi Bali yang masih memiliki angka kesakitan DBD diatas target nasional yaitu

55 per 100.000 penduduk sebagaimana tampak pada grafik dibawah ini.

Sedangkan angka kematian akibat DBD di beberapa wilayah masih cukup tinggi di atas

target nasional 1 % antara lain Provinsi Gorontalo, Riau, Sulawesi Utara Bengkulu,

Lampung, NTT, Jambi, Jawa Timur, Sumatra Utara dan Sulawesi Tengah (lihat grafik

di bawah ini).

Page 3: Laporan FL Palupi

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis – Dit PPBB -Ditjen PP dan PL– Kementerian Kesehatan RI

4

Penyakit Demam Berdarah Dengue adalah penyakit menular yang

disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti, yang ditandai

dengan demam mendadak 2 sampai dengan 7 hari tanpa penyebab yang jelas,

lemah/lesu, gelisah, nyeri ulu hati, disertai tanda perdarahan di kulit berupa bintik

perdarahan (petechiae, lebam (echymosis) atau ruam (purpura). Kadang-kadang

mimisan, berak darah, muntah darah, kesadaran menurun atau renjatan (Shock).

Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang banyak ditemukan di

sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama asia tenggara, Amerika tengah,

Amerika dan Karibia. Host alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang

termasuk ke dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-

1, Den-2, Den3 dan Den-4, ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi,

khususnya nya- muk Aedes aegypti dan Ae. albopictus yang terdapat hampir di

seluruh pelosok Indonesia.

Penyelidikan Epidemiologi (PE) merupakan suatu kegiatan penyelidikan atau survey

yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran terhadap masalah kesehatan atau penyakit

secara lebih menyeluruh. Tujuan dalam Penyelidikan Epidemiologi (PE) yaitu diharapkan

mendapatkan besaran masalah yang sesungguhnya, mendapatkan gambaran klinis dari suatu

penyakit, mendapatkan gambaran kasus menurut variabel Epidemiology, mendapatkan

informasi tentang faktor risiko (lingkungan, vektor, perilaku, dll) dan etiologi, Dari ke

empat tujuan dapat dianalisis, maka kami mengangkat tema “demam berdarah dengue”

dalam melakukan penyelidikan epidemiologi sehingga dapat memberikan suatu

penanggulangan atau pencegahan dari penyakit tersebut. Hal-hal yang penting untuk

diketahui: konsep terjadinya penyakit, natural history of disease, dinamika penularan atau

mekanisme penularan, aspek lingkungan, aspek administratif dan manajerial, informasi

yang dibutuhkan dalam PE berbeda untuk setiap penyakit, aktifitas / kegiatan PE secara

spesifik berbeda untuk tiap penyakit.

Diharapkan setelah melakukan pembelajaran Field Lab memiliki pandangan

terhadap peristiwa dan keadaan di lapangan dan siap berorientasi penuh pada masyarakat.

Mahasiswa memperoleh berbagai tambahan ilmu dan pengalaman yang berharga dengan

observasi langsung di lapangan, yang selanjutnya dapat diterapkan setelah lulus nanti.

Page 4: Laporan FL Palupi

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis – Dit PPBB -Ditjen PP dan PL– Kementerian Kesehatan RI

5

B. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah melakukan kegiatan laboratorium lapangan, diharapkan mahasiswa dapat :

1. Mampu menegakan diagnosis DBD.

2. Mampu melakukan penyelidikan epidemiologi.

3. Mampu menentukan adanya kejadian KLB dari hasil penyelidikan epidemiologi.

4. Mampu melakukan pelaporan kasus DBD.

5. Menjelaskan berbagai cara penanggulangan DBD di Indonesia.

6. Mampu menentukan tindakan penanggulangan yang harus diambil dari hasil

penyelidikan epidemiologi.

7. Mampu menjelaskan cara evaluasi penanggulangan KLB-DBD.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DASAR TEORI

Demam berdarah dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Jumlah kasus yang dilaporkan

cenderung meningkat dan daerah penyebarannya bertambah luas. Kerugian sosial yang

terjadi antara lain karena menimbulkan kepanikan dalam keluarga, kematian anggota

keluarga, dan berkurangnya usia harapan penduduk. Dampak ekonomi langsung pada

penderita DBD adalah biaya pengobatan, sedangkan dampak ekonomi tidak langsung

Page 5: Laporan FL Palupi

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis – Dit PPBB -Ditjen PP dan PL– Kementerian Kesehatan RI

6

adalah kehilangan waktu kerja, waktu sekolah dan biaya lain yang dikeluarkan selain untuk

pengobatan seperti transportasi dan akomodasi selama perawatan penderita.

Penyakit DBD sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan

masyarakat di Indonesia yang cenderung meningkat jumlah pasien serta semakin luas

penyebarannya. Hal ini karena masih tersebarnya nyamuk Aedes aegypti (penular penyakit

DBD) di seluruh pelosok tanah air, kecuali pada daerah dengan ketinggian lebih dari 1000

meter di atas permukaan air laut. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) terutama

menyerang anak-anak, namun dalam beberapa tahun terakhir cenderung semakin banyak

dilaporkan kasus DBD pada orang dewasa. Penyakit ini ditandai dengan panas tinggi

mendadak disertai kebocoran plasma dan pendarahan, dapat mengakibatkan kematian serta

menimbulkan wabah

Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar antara 3

sampai 14 hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari keempat

sampai hari ketujuh, sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk)

berlangsung sekitar 8-10 hari.

Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa gejala demam, demam dengue (DD) dan

DBD, ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari; pendarahan diatesis

seperti uji tourniquet positif, trombositopenia dengan jumlah trombosit ≤ 100 x 109/L dan

kebocoran plasma akibat peningkatan permeabilitas pembuluh.

Tiga tahap presentasi klinis diklasifikasikan sebagai demam, beracun dan

pemulihan. Tahap beracun, yang berlangsung 24-48 jam, adalah masa paling

kritis, dengan kebocoran plasma cepat yang mengarah ke gangguan peredaran darah.

Terdapat 4 tahapan derajat keparahan DBD, yaitu derajat I dengan tanda

terdapat demam disertai gejala tidak khas dan uji torniket + (positif); derajat II yaitu

derajat I ditambah ada perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain, derajat III

yang ditandai adanya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah serta penurunan

tekanan nadi (<20 mmHg), hipotensi (sistolik menurun sampai <80 mmHg), sianosis di

sekitar mulut, akral dingin, kulit lembab dan pasen tampak gelisah; serta derajat IV yang

ditandai dengan syok berat (profound shock) yaitu nadi tidak dapat diraba dan tekanan

darah tidak terukur.

Walaupun DD dan DBD disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme

patofisiologisnya berbeda dan menyebab- kan perbedaan klinis. Perbedaan utama adalah

adanya renjatan yang khas pada DBD yang disebabkan kebocoran plasma yang diduga

karena proses immunologi, pada demam dengue hal ini tidak terjadi.

Page 6: Laporan FL Palupi

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis – Dit PPBB -Ditjen PP dan PL– Kementerian Kesehatan RI

7

Manifestasi klinis DD timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus yang

berkembang di dalam peredaran darah dan ditangkap oleh makrofag. Selama 2 hari akan

terjadi viremia (sebelum timbul gejala) dan berakhir setelah lima hari tim- bul gejala

panas. Makrofag akan menjadi antigen presenting cell (APC) dan mengaktifasi sel T-

Helper dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper akan

mengaktifasi sel T-sitotoksik yang akan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus.

Juga mengaktifkan sel B yang akan melepas an- tibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah

dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemaglutinasi, antibodi fiksasi komplemen.

Proses tersebut akan menyebabkan ter- lepasnya mediator-mediator yang merang- sang

terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya.

Patofisiologi primer DBD dan dengue syock syndrome (DSS) adalah peningkatan

akut permeabilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang

ekstravaskuler, sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah.

Pada kasus berat, volume plasma menurun lebih dari 20%, hal ini didukung penemuan post

mortem meliputi efusi pleura, hemokonsentrasi dan hipoproteinemi.

Setelah masuk dalam tubuh manusia, virus dengue berkembang biak dalam sel

retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari.

Akibat infeksi ini, muncul respon imun baik humoral maupun selular, antara lain anti

netralisasi, anti-hemaglutinin dan anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya

adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk, dan pada

infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada jadi meningkat.

Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari

ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang setelah 60-

90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu

kinetik antibodi IgG harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi

primer antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi sekunder

antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa dini infeksi primer

hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM setelah hari sakit kelima,

diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya peningkatan

antibodi IgG dan IgM yang cepat.

Patofisiologi DBD dan DSS sampai sekarang belum jelas, oleh karena itu mun- cul

banyak teori tentang respon imun. Pada infeksi pertama terjadi antibodi yang mem- iliki

aktivitas netralisasi yang mengenali protein E dan monoklonal antibodi terhadap NS1, Pre

M dan NS3 dari virus penyebab infeksi akibatnya terjadi lisis sel yang telah terinfeksi virus

Page 7: Laporan FL Palupi

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis – Dit PPBB -Ditjen PP dan PL– Kementerian Kesehatan RI

8

tersebut melalui aktivitas netralisasi atau aktifasi komple- men. Akhirnya banyak virus

dilenyapkan dan penderita mengalami penyembuhan, selanjutnya terjadilah kekebalan

seumur hidup terhadap serotipe virus yang sama, tetapi apabila terjadi antibodi non-

netralisasi yang memiliki sifat memacu replikasi virus, keadaan penderita akan menjadi

parah apabila epitop virus yang masuk tidak sesuai dengan antibodi yang tersedia di

hospest. Pada infeksi kedua yang dipicu oleh virus dengue dengan serotipe yang

berbeda, virus dengue berperan sebagai super antigen setelah difag- osit oleh monosit

atau makrofag. Makrofag ini menampilkan antigen presenting cell (APC) yang membawa

muatan polipeptida spesifik yang berasal dari mayor histocom- patibility complex (MHC).

.

Melalui Kepmenkes no. 581/Tahun 1992, telah ditetapkan Program NasionalPenanggulangan DBD yang terdiri dari 8 pokok program yaitu :

1. Surveilans epidemiologi dan Penanggulangan KLB2. Pemberantasan Vektor3. Penatalaksanaan Kasus4. Penyuluhan5. Kemitraan dalam wadah POKJANAL DBD6. Peran Serta Masyarakat : Jumantik7. Pelatihan8. Penelitian

Page 8: Laporan FL Palupi

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis – Dit PPBB -Ditjen PP dan PL– Kementerian Kesehatan RI

9

Langkah-Langkah Kebijakan Pemerintah :

1. Untuk setiap kasus DBD harus dilakukan Penyelidikan epidemiologi meliputi radius 100 meter dari rumah penderita. Apabila ditemukan bukti2 penularan yaitu adanya penderita DBD lainnya , ada 3 penderita demam atau ada faktor risiko yaitu ditemukan jentik, maka dilakukan penyemprotan (Fogging Focus) dengan siklus 2 Kali disertai larvasidasi, dan gerakan PSN.

2. Puskesmas melaksanakan kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala ( PJB )

setahun 4 kali untuk memonitor kepadatan jentik diwilayahnya.3. Lebih mengutamakan pencegahan yaitu dengan melaksanakan PSN (

Pemberantasan Sarang Nyamuk ) melalui 3 M PLUS, dengan melibatkan masyarakat.

4. Memfasilitasi terbentuknya tenaga JUMANTIK ( Juru Pemantau Jentik)5. Kemitraan melalui wadah POKJANAL ., bersama DEPDAGRI

dan lintas sektor lainnya terutama DEPDIKNAS6. Penyuluhan kepada masyarakat agar masyarakat tetap waspada.

Fogging dan Usaha Pencegahan Pemberantasan DBD.

Usaha pencegahan dan pemberantasan DBD yang telah dilakukan pemerintah, antara lain

dengan metode pengasapan (fogging) dan abatisasi. Pelaksanaan pengabutan dengan

aplikasi ultra low volume (ULV) masih merupakan metode yang paling diandalkan dalam

pengendalian vector. Namun metode aplikasi penggunaan bahan kimia jika tidak terkontrol

dapat berakibat pada terjadinya pencemaran lingkungan, serta berpotensi pada terjadinya 

resistensi vector.

Sementara secara teknis, beberapa faktor yang mempengaruhi efektifitas pengkabutan

antara lain:

1. Faktor alamiah seperti cuaca yang meliputi faktor angin, suhu, kelembaban, hujan.

2. Faktor sosial seperti masih rendahnya partisipasi masyarakat dalam melakukan

pemberantasan sarang nyamuk.

Page 9: Laporan FL Palupi

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis – Dit PPBB -Ditjen PP dan PL– Kementerian Kesehatan RI

10

3. Faktor teknis seperti peralatan yang digunakan dan pengetahuan petugas dalam

melaksanakan pengendalian vektor DBD.

Metode pengasapan menurut WHO (2000), merupakan metode utama pemberantasan

demam berdarah dengue yang telah dilakukan hampir selama 25 tahun di banyak Negara.

Penyemprotan sebaiknya tidak dipergunakan, kecuali keadaan genting selama terjadi KLB

atau wabah. Penyemprotan di masyarakat akan menimbulkan rasa aman semu, walaupun

erdasarkan aspek politis metode ini lebih disukai karena terlihat lebih nyata dan pemerintah

terkesan sudah melakukan usaha pencegahan dan pemberantasan DBD.

Klasifikasi Kasus Dan Berat Penyakit

Sekarang ini disepakati bahwa dengue adalah suatu penyakit yang memiliki presentasi

klinis bervariasi dengan perjalanan penyakit dan luaran (outcome) yang tidak dapat

diramalkan.

Diterbitkannya panduan World Health Organization (WHO) terbaru di tahun 2009 lalu,

merupakan penyempurnaan dari panduan sebelumnya yaitu panduan WHO 1997.

Klasifikasi kasus yang disepakati sekarang adalah:

a. Dengue tanpa tanda bahaya (dengue without warning signs),

b. Dengue dengan tanda bahaya (dengue with warning signs), dan

c. Dengue berat (severe Dengue)

Gambaran Klinis DBD

Masa inkubasi virus dengue dalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar antara 3

sampai 14 hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari keempat

sampai hari ketujuh, sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk)

berlangsung sekitar 8-10 hari. Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa gejala demam,

demam dengue (DD) dan DBD, ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama 2-7

hari; pendarahan diatesis seperti uji tourniquet positif, trombositopenia dengan jumlah

trombosit ≤ 100 x 109/L dan kebocoran plasma akibat peningkatan permeabilitas

Page 10: Laporan FL Palupi

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis – Dit PPBB -Ditjen PP dan PL– Kementerian Kesehatan RI

11

pembuluh. Tiga tahap presentasi klinis diklasifikasikan sebagai demam, beracun dan

pemulihan.

Terdapat 4 tahapan derajat keparahan DBD, yaitu :

a. Derajat I : Dengan tanda terdapat demam disertai gejala tidak khas dan uji torniket

+ (positif)

b. Derajat II : Yaitu derajat I ditambah ada perdarahan spontan di kulit atau perdarahan

lain

c. penurunan tekanan nadi (<20 mmHg), hipotensi (sistolik menurun sampai <80

mmHg), sianosis di sekitar mulut, akral dingin, kulit lembab dan pasen tampak

gelisah

d. Derajat IV : Ditandai dengan syok berat (profound shock) yaitu nadi tidak dapat

diraba dan tekanan darah tidak terukur.

Diagnosis DBD

Diagnosis klinis :

a. Derajat III : Ditandai adanya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah serta

Ditandai demam akut

b. Trombositopenia

c. Perdarahan ringan-berat,

d. Kebocoran plasma hemokonsentrasi

e. Efusi pleura

f. Hipoalbuminemia.

Diagnosis Laboratorium :

a. Pemeriksaan Hematologi Rutin.

b. Uji virology

c. Uji serologi

Terdapat lima uji serologi dasar yang umum digunakan untuk mendiagnosis infeksi

Page 11: Laporan FL Palupi

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis – Dit PPBB -Ditjen PP dan PL– Kementerian Kesehatan RI

12

Dengue secara rutin yaitu :

a. Uji hambatan hemaglutinasi (Hemaglutinasi inhibition = HI)

b. Uji Fiksasi komplemen (Complemen fixation = CF)

c. Uji Netralisasi (Neutralization test = NT)

d. IgM Capture enzymelinked immunosorbent assay (MAC ELISA)

e. Indirect lgG ELISA

Pencegahan DBD

Usaha pencegahan dan pemberantasan DBD yang telah dilakukan pemerintah,

antara lain dengan metode pengasapan (fogging) dan abatisasi. Penyemprotan sebaiknya

tidak dipergunakan, kecuali keadaan genting selama terjadi KLB atau wabah.Upaya yang

paling tepat untuk mencegah demam berdarah adalahmembasmi jentik-jentiknya ini dengan

cara sebagai berikut :

a. Bersihkan ( kuras )tempat penyimpanan air (seperti bak mandi/WC, drum dll)

seminggusekali.

b. Tutuplah kembali tempayan rapat-rapat setelah mengambil airnya, agar nyamuk

Demam berdarah tidak dapat masuk dan bertelur disitu.

c. Gantilah air di vas bunga dan pot tanaman air setiap hari

d. Kubur atau buanglah sampah pada tempatnya, plastik dan barang-barang bekas

yang bisa digenangi air hujan

Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan

bubuk Abateke dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik-jentik

nyamuk.  Ulangi hal ini setiap 2-3 bulan sekali atau peliharalah ikan ditempat itu.

Takaran penggunaan bubuk  Abate adalah sebagai berikut : untuk 10 liter air cukup

dengan 1 gram bubuk Abate atau 10 gram untuk 100 liter dan seterusnya. Bila tidak

ada alat untukmenakar, gunakan sendok makan. Satu sendok makan peres (yang

diratakan di atasnya) berisi 10 gram Abate. Anda tinggal membaginya atau

Page 12: Laporan FL Palupi

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis – Dit PPBB -Ditjen PP dan PL– Kementerian Kesehatan RI

13

menambahnya sesuai dengan banyaknya air yang akan diabatisasi.Takaran tak perlu

tepat betul. (Abate dapat dibeli di apotik-apotik).

Penyelidikan Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue

Sesuai rekomendasi Depkes RI, setiap kasus DBD harus segera

ditindaklanjuti dengan penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan lainnya

untuk mencegah penyebarluasan atau mencegah terjadinya KLB. Penyelidikan

epidemiologi demam berdarah dengue merupakan kegiatan pencarian penderita atau

tersangka lainnya, serta pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD dirumah

penderita atau tersangka dan rumah-rumah sekitarnya dalam radius

sekurang¬kurangnya 100 meter. Juga pada tempat umum yang diperkirakan

menjadi sumber penularan penyakit. Tujuannya utama kegiatan ini untuk

mengetahui ada tidaknya kasus DBD tambahan serta terjadinya potensi

meluasnya penyebaran penyakit padad wilayah tersebut

Sedangkan pengertian pengamatan penyakit DBD merupakan kegiatan pencatatan jumlah

kasus DBD dan kasus tersangka DBD menurut waktu dan tempat kejadian, yang

dilaksanakan secara teratur dan menyebarkan informasinya sesuai kebutuhan program

pemberantasan penyakit DBD. Laporan kewaspadaan DBD merupakan laporan secepatnya

kasus DBD agar dapat segera dilakukan tindakan atau langkah¬langkah untuk membatasi

penularan penyakit DBD.

Komponen kegiatan diatas antara lain dengan melakukan pengamatan jentik. Pengamatan

ini dilakukan dengan menggunakan indikator ukuran kepadatan jentik yaitu: angka bebas

jentik (ABJ), house index (HI), container index (CI) dan bruteau index (BI). HI lebih

menggambarkan penyebaran nyamuk di suatu wilayah tertentu (Depkes, 1990). Apabila HI

kurang dari 5% menunjukkan kecepatan penularan DBD cukup, sedangkan bila lebih 5%

berarti potensial terjadi penularan DBD.

Page 13: Laporan FL Palupi

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis – Dit PPBB -Ditjen PP dan PL– Kementerian Kesehatan RI

14

Hasil penyelidikan epidemiologi akan menentukan langkah selanjutnya dalam

pemberantasan penyakit DBD. Dinas Kesehatan akan melakukan tindakan seperti fogging

atau tidak fogging, dan pokja DBD serta masyarakat melakukan PSN-DBD dengan gerakan

3 M. Tindakan penanggulangan KLB dilakukan bersama kegiatan penyelidikan

epidemiologi, penggerakan PSN DBD dengan abatisasi, fogging focus dan fogging massal.

Page 14: Laporan FL Palupi

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis – Dit PPBB -Ditjen PP dan PL– Kementerian Kesehatan RI

15

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PELAKSANAAN

Hari / tanggal : Selasa, 13 Januari 2015

Waktu : 08.00 – 12.30 wib

Tempat : Puskesmas Purwokerto Selatan

B. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. R

Usia : 15 tahun

Alamat : Karang klesem

C. CARA KERJA

1. Praktikan datang ke Puskesmas Purwokerto Selatan pukul 08.00 WIB.

2. Praktikan dikumpulkan di aula lantai 2 bersama dengan petugas Puskesmas

lainnya.

3. Praktikan menyimak presentasi singkat dari Bp. Dono Nusito mengenai teknik

pelaporan di lapangan.

4. Kemudian presentasi dilanjutkan oleh dr. Nita yaitu cara mendiagnosa Demam

Berdarah Dengue.

5. Praktikan diperkenalkan oleh petugas – petugas dari masing – masing ruangan di

Puskesmas.

6. Praktikan dibagi menjadi 2 kelompok dimana tiap kelompok terdiri dari 5

anggota.

7. Praktikan menunggu pasien yang dicurigai Demam Berdarah Dengue diruang

Balai Pengobatan.

Page 15: Laporan FL Palupi

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis – Dit PPBB -Ditjen PP dan PL– Kementerian Kesehatan RI

16

8. Praktikan mengucapkan salam, perkenalan diri, kemudian meminta izin untuk

melakukan wawancara dan kemudian melakukan test rumple leed.

9. Melakukan pengukuran tekanan darah dahulu pada lengan kiri pasien dan

didapatkan hasil 120/80 mmHg.

10. Kemudian melakukan test rumple leed pada tekanan 100 mmHg.

11. Kemudian ditahan selama kurang lebih 5 menit.

12. Sambil menunggu, kemudian pasien ditanya keluhannnya dan diajak mengobrol

dengan aktif supaya pasien tidak merasa jenuh dan terasa kesemutan pada

lengannya.

13. Setelah 5 menit selesai, tensimeter dilepas kemudian dilihat hasilnya dengan

bantuan penerangan (senter). Umumnya pada pasien normal tidak timbul petekie.

14. Mencatat hasil pemeriksaan ke kertas sementara setelah itu mengucapkan terima

kasih pada pasien.

15. Praktikan kembali ke ruangan semula untuk melaporkan ulang hasil observasi

yang sudah dilakukan.

D. PELAKSANAAN PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI

Pada Puskesmas Purwokerto Selatan didapatkan hasil bahwa selama ini selalu

memiliki angka yang cukup tinggi untuk kasus Demam Berdarah Dengue pada tingkat

Kabupaten. Hal tersebut dikarenakan adanya faktor dari mobilitas yang tinggi, lalu bisa

juga dari jumlah penduduk yang banyak dan letak geografis serta demografi yang tinggi

karena memang Indonesia merupakan kawasan yang cocok untuk pertumbuhan nyamuk

jenis Aedes Aegepty.

Untuk kasus Demam Berdarah Dengue biasanya sering muncul pada bulan-bulan

tertentu misalnya pada pertengahan antara April dan Juli dikarenakan pada saat itu memang

sedang memasuki musim penghujan. Apabila ditemukan terdapat kasus positif Demam

Berdarah Dengue, maka wajib ditindak lanjuti dengan melakukan penyelidikan

epidemiologi. Alur dari penyelidikan epidemiologi tersebut antara lain :

Page 16: Laporan FL Palupi

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis – Dit PPBB -Ditjen PP dan PL– Kementerian Kesehatan RI

17

1. Langsung, dari penderita yang terkena Demam Berdarah Dengue ke Puskesmas

terdekat.

2. Dari Rumah Sakit kemudian ke DinasKesehatan dulu, setelah itu baru ke Puskesmas

3. Bisa juga dari Rumah Sakit kemudian langsung diserahkan ke Puskesmas.

Pasien yang positif terkena tersebut dicatat di KDRS (Kewaspadaan Dini dari Rumah

Sakit). Dari pihak puskesmas sendiri terdapat petugas yang setiap minggunya harus

melapor ke Dinas Kesehatan. Laporan tersebut disebut juga dengan W2. Pelaporan tersebut

dilaporkan baik itu terdapat kasus maupun tidak terdapat kasus. Dari laporan W2, bila ada

kecurigaan Kejadian Luar Biasa (KLB), petugas Puskesmas akan melakukan Penyelidikan

Epidemiologi (PE) di desa penderita yang terkena DBD. Kemudian akan dilakukan

pemeriksaan jentik nyamuk di 20 rumah dengan radius sekitar + 200 meter. Bila pada saat

Penyelidikan Epidemiologi (PE) ditemukan hasil positif terdapat jentik nyamuk > 3 dan ada

KDRS, maka desa/ daerah tersebut akan direkomendasikan untuk diadakan fogging.

Fogging sendiri harus dilakukan secara selektif, karena dapat terjadi reaksi kebal

terhadap nyamuk itu sendiri. Bila terdapat penghuni rumah yang akan bepergian dalam

jangka waktu lama, bisa diberikan bubuk abate. Abatisasi sendiri tidak membunuh secara

invasive dari nyamuk – nyamuk tersebut, namun bubuk Abate digunakan untuk mengurangi

pertumbuhan jentik nyamuk. Ciri – ciri dari jentik Demam Berdarah Dengue adalah

sifatnya yang agresif, lalu dapat dilihat dari warna dari jentik nyamuk yang khas yaitu

berbintik-bintik hitam. Kemudian dia berkembang biak di air bersih dan hinggap di

permukaan air (dapat hidup di air bersih yang tidak terkontak oleh tanah). Bila terdapat

sumur cukup diberikan tawas atau kaporit.

Kemudian bila didapatkan pasien dengan suspek DBD, maka yang harus dilakukan :

1. Anamnesis

a. Keluhan utama : Demam

b. Onset : sudah 1 hari (dariseninpagi)

c. Gejala penyerta :

Page 17: Laporan FL Palupi

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis – Dit PPBB -Ditjen PP dan PL– Kementerian Kesehatan RI

18

- muntah (baru 1x)

- nafsu makan menurun

- keringatan

- pusing

Di sini praktikan tidak melakukan anamnesis secara lengkap karena pasien sudah dilakukan

anamnesis oleh dokter sehingga praktikan hanya diperintahkan untuk melakukan rumple

leed test.

Rumple leed test dihitung dengan cara:

= tekanan sistolik + diastolik

2

Kemudian bending pada hasil rata-rata tersebut selama 5 menit lalu diamati.

Hasil TO = 120 + 80 = 100 mmHg (RL Test (-))

2

Kemudian bila ternyata pasien adalah seorang penderita DBD, maka kita sebagai

dokter harus melakukan tata laksana dan pencegahan, yaitu :

DBD

Individu masyarakat fogging

PSN

Simptomatis

-Demam ; paracetamol 10 mg/kg BB

-Nyeri : analgasik

Page 18: Laporan FL Palupi

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis – Dit PPBB -Ditjen PP dan PL– Kementerian Kesehatan RI

19

Namun disini perlu diperhatikan bahwa bila terdapat trombositopenia ( kebocoran

plasma < 100.000 ml ), maka tidak diperbolehkan menggunakan aspirin/ ibuprofen. Karena

sifat obatnya (farmakokinetik dan farmakodinamik) dikhawatirkan dapat meningkatkan

resiko trombositopenia.

BAB III

Page 19: Laporan FL Palupi

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis – Dit PPBB -Ditjen PP dan PL– Kementerian Kesehatan RI

20

PENUTUP

A. Hambatan

Dari hasil field lab yang sudah dilaksakan oleh praktikan di puskesmas Purwokerto

Selatan, ditemukan beberapa hambatan, seperti :

1. Penyelidikan epidemiologi tidak dilakukan/ dipraktekkan langsung sehingga

praktikan masih belum begitu paham mengenai penyelidikan epidemiologi.

2. Tidak ditemukan pasien suspct DBD karena saat praktikan berada BP waktunya

sangat sedikit sehingga puskesmas pun susah untuk mencarikan pasien dengan

suspect DBD.

3. Topik field lab yang tidak sesuai dengan blok yang sedang dilalui oleh

praktikan. Hal ini membuat praktikan kurang memahami materi karena

persiapan dan penjelasan materi tentang field lab yang kurang.

A. Saran

1. Waktu dilakukannya field lab lebih diperpanjang atau mungkin dibuat lebih dari

satu hari agar lebih bisa menemukan pasien yang memiliki kasus-kasus yang

bervariasi.

2. Sebaiknya topik yang diberikan sesuai dengan kelangsungan berjalannya blok saat

ini, karena bila diluar dari materi yang diberikan maka pemahaman dari praktikan

juga kurang efektif terhadap jalannya field lab.

DAFTAR PUSTAKA

Page 20: Laporan FL Palupi

Subdirektorat Pengendalian Arbovirosis – Dit PPBB -Ditjen PP dan PL– Kementerian Kesehatan RI

21

CDC. 2003. Dengue Fever. Division of Vector-Borne Infectious Diseases

Depkes RI 1992. Petunjuk Teknis Pengamatan Penyakit Demam Berdarah Dengue.

Suroso T, dkk,. 2003. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue  dan

Demam Berdarah Dengue. Depkes RI

Suroso T., Umar, A.I. 2000. Epidemiologi dan Penanggulangan Penyakit DBD, FK UI.

Jakarta

WHO. 2000. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit  Demam Dengua dan Demam

Berdarah Dengue,