LAPKAS-TIFOID

download LAPKAS-TIFOID

of 31

description

lapkas tifoid

Transcript of LAPKAS-TIFOID

BAB I

PENDAHULUAN

Tifus abdominalis atau demam tifoid merupakan infeksi demam sistemik akut.Demam ini disebabkan oleh bakteri patogen enterik Salmonellae typhi yang secaramorfologi identik dengan Escherichia coli. Sinonim demam tifoid dan demam paratifoid : Typhoid fever dan paratyphoid fever, Enteric fever, Typhus dan paratyphus abdominalis. Walaupun patogen kuat, kuman ini tidak bersifat piogenik,namun bersifat menekan pembentukan sel polimorfonuklear dan eosinofil.

Sumber infeksi S. typhi umumnya manusia, baik orang sakit maupun orang sehat yang dapat menjadi pembawa kuman. Infeksi umumnya disebarkan melalui jalur fekal-oral dan berhubungan dengan higienis dan sanitasi yang buruk yaitu melalui makanan yang terkontaminasi kuman yang berasal dari tinja, kemih atau pus yang positif. Kontaminasi pada susu sangat berbahaya karena bakteri dapat berkembang biak dalam media ini. Penyebaran umumnya terjadi melalui air atau kontak langsung. Oleh karena itu pencegahan harus diusahakan melalui perbaikan sanitasi lingkungan, kebiasaan makanan, proyek MCK (Mandi, Cuci, Kakus), dan pendidikan kesehatan di puskesmas dan posyandu.Oleh karena penyebab demam tifoid secara klinis hampir selalu Salmonellayang beradaptasi pada manusia maka sebagian besar kasus dapat ditelusuri pada karier manusia. Penyebab yang terdekat kemungkinan adalah air (jalur yang paling sering) atau makanan yang terkontaminasi oleh karier manusia. Carrier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi Salmonella typhi dalam feses dan urine selama > 1 tahun. Karier menahun umumnya berusia lebih dari 50 tahun, lebih sering pada perempuan, dan sering menderita batu empedu. S. typhi sering berdiam di batu empedu, bahkan di bagian dalam batu,dan secara intermiten mencapai lumen usus dan diekskresikan ke feses,sehingga mengkontaminasi air atau makanan.BAB II

LAPORAN KASUSI.IDENTITAS

Nama

: An .ayuAlamat

: Batu aji baru Blok B 10 NO : 8Tempat tanggal lahir : Batam 09/08/05Jenis kelamin

: PerempuanAgama

: Islam

Usia

: 6 tahun 7 bualn Suku bangsa

: Jawa ( Indonesia )Identits orang tua

Nama ayah

: Bpk.heriUsia

: 34 thPendidikan

: SMAPekerjaan

: WiraswastaNama ibu

: Ibu,jamilah Usia

: 30 thPendidikan

: SMAPekerjaan

: IRTAlamat

: Batu aji baru Blok B 10 NO : 8 BatamII.ANAMESA

1.Keluhan utama

Demam 7 hari

2.Riwayat penyakit sekarang

Os datng ke poli anak RS casa batam di antar oleh ibunya dengan keluhan demam sejak 7 hari.Ibu os mengtakan demam naik secara bertahap dari hari ke hari berikutnya dan demam tinggi saat sore dan malam hari. Ibu os mengatakan saat demam tidak ada keringat dingin dan menggigil.Ibu os mengaku sudah memberi obat penurun panas tapi demamnya gak sembuh sembuh.

Os mengatakan perutnya sakit kepala, mual dan muntah sebanya 2x sejak 1 hari sebelummasuk RS.OS mengatakan BAB warna kuning dan tidak mencret,warna BAKnya kuning cerah dan tidak ada batuk pilek semenjak sakit 7 hari.Ibu os mengatakan tida ada riwayat mimisan dan pendarahan gusi selama anaknya sakit .Os mengatakan tidak ada nyeri sendi dan tulang selama sakit.Ibu os menyangkal adanya riwayat berpergian ke luar kota seperti daerah pantai dalam waktu 1 bulan terahir ini. Os mengatakan nafsu makanya menurun selama sakit. Ibu os mengatakan anaknya baru sekali ini sakit seperti ini. Ibu os mengatakan anaknya tidak ada riwayat alergi obat3.Riwayat penyakit dahulu

Os tidak pernak sakit seperti ini sebelumnya dan baru sekali ini sakit di rawat di RS4. Riwayat kehamilan dan persalinan

Riwayat antenatal

: Ibu os rajin memeriksakan kehamilanya ke bidan

Riwayat natal

:

Lahir spontan / tidak: Spontan

APGAR

: Tidak tahu

Berat badan lahir: 3200 gr

Panjang badan lahir: 48 cm

Lingkar kepala: Tidak tahu Penolong

: Bidan

Tempat

: Bidan praktek swasta

Riwayat neonatal :

Anak langsung menangis warna kemerahan dan gerak aktif

5.Riwayat perkembangan :

Menurut keterangan ibunya os lahir cukup bulan ( 9 bulan 1 minngu )

Tiarap

: 4 bulan

Duduk

: Lupa

Merangkak

: 7 bulan

Berdiri

: Lupa

Berjalan

: 13 bulan

6.Riwayat imunisasi dasar

NamaBanyakKeterangan

BCG1xLengkap

Polio4x Lengkap

Hepatitis B2xKurang 1x

DPT2xKurang 1x

Campak1xLengkap

Kesan: Riwayat imunisasi dasar tidak lengkap7.Makan

Anak mendapatkan ASI sampai usia 6bln kemudian di bantu susu formula dan bubur SUN sampai usia 1thn kemudian setelah usia 1thn anak mulai di beri nasi saring sampai usia 2thn kemudian di lanjuitin denganmemberi nasi biasa sampai sekarang.

8.Riwayat penyakit keluarga

: Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama9. Riwayat kecelakaan / oprasi: Tidak ada 10.Riwayat pengobatan / alergi: Pernah minum obat penurun panas/Tidak ada

III.PEMERIKSAAN FISIK1.Keadaan umum

: Sakit sedang

2.Tanda tanda vital

Kesadara

: Cmposmentis

Nadi

: 110x/ menit

Respirasi

: 22x/menit

Suhu

: 37,8 oC3.Status gizi

Berat badan

: 21 kg

Tinggi bada

: 123 cm

LLA

: Tidak di ukur

Lingkar kepala: Tidak di ukur Status gizi

: Baik4.Kulit

Warna

: Kemerahan

Sianosis

: Tidak ada

Turgor

: Cepat kembali

Petechi

: Tidak ada6.Kepala

Bentuk

: Normochepal

UUB

: Datar sudah menutup

UUK

: Datar sudah menutup

Rambut

: Hitam, tebal dan tidak mudah rontok7.Mata

Palpebra

: Tidak cekung

Alis & bulu mata: Tidak mudah di cabut

Konjungtivva

: Tidak anemis

Sklera

: Tidak ikteri

Pupil

: Isokor

8.Telinga

Bentuk aurikula: Simetris ( D/S ) Liang telinga

: Lapang ( D / S )

Membran timpani: Warna putih mutiara ( D / S ) Nyeri tekan tragus: Tidak ada ( D/S )

9.Hidung

Bentuk

: Normal Deviasa

: Tidaka ada Pernafasan cuping hidung: Tidak ada

Darah

: Tidak ada

Secret

: Tidak ada

10.Mulut

Bentuk

: Normal

Bibir

: Mukosa basah dan tidak sianosis

Gusi

: Tidak ada pendarahan dan bengkak Tonsil

: Warna merah muda tidak berbenjol ( T1/T1)11.Lidah Bentuk

: Normal Tremor

: ( - )

Kotor

: ( + )

Warna

: Putih berselaput12.Leher

Tidak di temukan pembesaran KGB

13.Thorak Inspeksi

Pada keadaan statis dada terlihat simetris ( D/S)

Pada keadaan dinamis/pergerakan dada simetris ( D / S ) dan tidak ada yg tertinggal

Tidak terlihat penggunaan otot tambahan

Retraksi tidak ada Ictus cordis tidak terlihan pada ICS V Linea midclavicula sinistra Palpasi Ictus cordis tidak teraba pada ICS V Linea midclavicula sinistra Vokal fremitus sama dextra dan sinistra Perkusi

Batas jatung

Batas jantung kanan: ICS IV linea parasterna dextra

Batas jantung kiri : ICS V Linea parasternal dextra

Batas jantung atas

: ICS II Linea sternalis kiri

Batas pinggang jantung: ICS III parasternalis kiriParu paru

Batas paru hepar

:ICS VI VIII linea midclavicula dextra

Batas Paru Lambung: ICS VI VIII Linea midclavicula sinistra Auskultasi

Bunyi paru vesikuler di seluruh lapang paru,Ronky ( - ),Whizing ( - )

Bunyi jantung S 1 dan S2 murni,gallop ( - ),Murmur ( - )

14.Abdomen

I :Bentuk datar simetris,Tidak ada sikatrik,tida ada penonjolan masa,turgor baik

P :Nyeri tekan epigastrium,hepar tidak teraba,lien tidak teraba

P : Dalam batas normal ( timpani )

A : Bising usus ( + ) 5x/menit (normal)15.Ekstremitas

Akral hangat,tidak ada udem dan petechi

16.Genitalia

Perempuan tidak ada kelainan

17. Anus

Ada dan tidak ada kelainanIV.PEMERIKSAAN STATUS NEUROLOGIS

Tidak di lakukan karena tidak ada tanda klinis yang mengarah kedalam kelainan neurologis.V.PEMERIKSAAN PENUJANG

Darah rutin

Leukosit

: 4,100/l

Hb

: 13,7 gr/dlEritrosit

: 5,07 juta/lTrombosit

: 207.000/l Mikrobiologi

Widal test

S.typhi O

; 1/160 S.typhy H

: 1/320 S.Paratyphy AO: 1/80 S.Paratyphy AH: 1/80 S.Paratyphy BO: 1/320 S.Paratyphy BH: 1/80 S.Paratyphy CO: 1/160 S.Paratyphy CH: 1/80 Malaria ; ( - )

VII.USULAN PEMERIKSAAN

Kultur darah Tubex test EIA ELISAVII.DIAGNOSA KERJA

Suspek demam typhoid

VIII.DIAGNOSA BANDING

Demam berdarah

Malaria

IX. KONSULTASI

Dokter spesialis anak

X. PERAWATAN RS

Rawat inap

XI . TERAPI

Non farmakologi

Tirah baring

Diet lunak

Farmakologi

IVFD kaen 3B 15 tetes/menit (makro) Inj.taximax 2x500 mg (Komposisi cefotaxim Na ) Paracetamol 3X 1/ 2 tablet

Prednisone 3X 1 tabletXII.INFORMED CONSENT

Pasien menyetujui tindakan pengobatan dan rawat inap

XIII. PROGNOSIS At vitam

: Dubia ad bonam

Ad fungsionam: Dubia ad bonam

Aa sanactionam: Dubia ad bonam

XIV.EDUKASI

Tirah baring

Istirahat yang cukup

Diet lunak

Minum obat teratur Menjaga kebersihan makanan,minuman pakaean dan tempat tidur.XV.FOLOW UP

No

TanggalJamKeterangan

104/03/1301.30

2.00 Di poli anak ibu os mengtakan demam ( + ) 7hari skit perut,mual dan muntah. Rr : 22x/menit

T : 37,8oc

N : 120x/menit

Suruh rawat inap

IVFD kaen 3B 20tetes/menit

Inj .taximax 2x500mg

Paracetamol 3x tab

Prednisone 3x1 tab

205/03.1306.3002.00 Ku :sedang Demam ( - ),Muntah ( - ),BAB ( - ),BAK ( + )

N :124x/menit

Rr : 26x/menit

T : 36,4 oc

Pulang

BAB IIIPEMBAHASANPada pasien ini di dapatkan manifestasi klinis berupa demam 7 hari sebelum masuk rumah sakit yang lebih sering meningkat pada sore dan malam hari.Demam awalnya tidak terlalu tinggi namun semakin lama demamnya semakin meningkat pada hari hari berikutnya.Pasien juga mengalami sakit kepala, mual disertai muntah dan nyeri perut.Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan epigastrium,lidah kotor dan tremor.Pada pengukuran tanda tanda vital di dapatkan RR:22x/menit,N :120x/menit,T : 37,8oc.Pada pemeriksaan penujang didapat nilai darah rutin dalam batas normal,mikrobiologi mlaria ( - ),dan pada pemeriksa widal terdapat peningkatan titer O : 1/160,H :1/320,AO : 1/80,AH : 1/80,BO : 1/320,BH : 1/80,CO : 1/160,CH : 1/80.

Dari anamesa,pemeriksaan fisik dan pemeriksan penujang yang udah di lakukan maka anak tersebut di diagnosa demam typhoid.

Diagnosa banding pada kasus ini adalah demam dengue karena demam dengue mempunyai gejala prodomal yg mirip dengan demam typhoid namun pada demam dengue demam meningkat secara tiba tiba kemudian menurun seprti normal kemudian meningkat lagi dan di sertai nyeri retro orbita,nyeri tulang dan sendi.Biasanya pada pemeriksaan fisik biasanya terdapa petechi atau pendarahan sepontan.Pada pemeriksaan darah rutin biasanya terdapat trombositopenia.Jadi dari anamesa,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penujang dapat di singkirkan diagnose demam dengue.

Malaria juga menjadi diagnose bading pada kasus ini karena pada malaria memiliki gejala hampir sama dengan typhoid namun pada malaria demamnya berisfat intermiten sedangkan yang di alami pasien ini demamnya bersifat remiten dan biasanya pada malaria demamnya di sertai menggil dan keringat dingin.Dari hasil pemeriksaan mikrobiologi malaria di dapatkan hasil ( - ) sehingga diagnose malaria dapat di singkirkan.

Penatalaksanaan demam typhoid Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu :

Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyem uhan. Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif) dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman. Paisn dapat di pulangkan apabila sudah tidak terdpat gejala klinis demam typhoid seperti demam,sakit kepala dan gangguan pencernaan dan kedaan umum pasien sudah baik.

Prognosa pada pasien ini dubia ad bonam karena pasien datng lebih cepat sehingga diagnose dapat lebih cepat di tegakan dan pengobatan dapat di lakukan dengan cepat.BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

IV.1. Definisi

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi.Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endothelial atau endokardial dan infasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan Peyers patch. IV.2. Etiologi

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaeorb. Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida.Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapisan luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin.Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotic.

IV.3. Patofisiologi

Pathogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme, yaitu : (1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyers patch, (2) bakteri bertahan dalam hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyers patch, nodus limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal system retikuloendotelial (3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang meningkatan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air kedalam lumen intestinal.

Jalur Masuknya Bakteri ke Dalam Tubuh

Bakteri Salmonella typhi bersama makanan-minuman masuk kedalam tubuh melalui mulut.Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamine H, inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginfasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan yeyunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyers patch, merupakan tempat iternisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mensenterika bahwa ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai kejaringan RES di organ hati dan limpa Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe

Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan ke luar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oleh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyers patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau peyebaran retrograde dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. Peran Edndotoksin Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus.Di duga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistim depresi sum-sum tulang, kelainan pada darah dan juga menstumulasi sistim imunologik.

Respons Imunologik Pada demam tifoid terjadi respons imun humoral maupun selular baik ditingkat local (gastrointestinal) maupun sistemik.Akan tetapi bagaimana mekanisme imunologik ini dalam menumbulkan kekebalan maupun eleiminasi terhadap Salmonella typhi tidak diketahui dengan pasti.Diperkirakan bahwa imunitas selular lebih berperan.Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tifoid.Karier memperlihatkan gangguan reaktifitas selular terhadap antigen Salmonella Typhi pada uji hambatan migrasi leukosit.Pada karier, besar basil virulen melewati usus tiap harinya dan dikeluarkan dalam tinja tanpa memasuki epitel pejamu.

IV.4. Gejala klinis

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi hingga kematian.

Secara umum gejala klinis penyakit ini pada minggu pertama ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat.Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hari hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (bradikardi realtif adalah peningkatan suhu 1OC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali permenit), lidah yang berselaput ( kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor ) , hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis.

Sekitar 10-15% pasien menjadi demam tifoid berat.Faktor yang mempengaruhi keparahan meliputi durasi penyakit sebelum terapi, pilihan terapi antimikroba, tingkat virulensi, ukuran inokulum, paparan sebelumnya atau vaksinasi, dan factor host lain seperti jenis HLA, AIDS atau penekanan kekebalan lain, atau konsumsi antasida.

Pada pengidap tifoid (karier) tidak menimbulkan gejala klinis dan 25% kasus menyangkal bahwa pernah ada riwayat sakit demam tifoid.Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa tifoid karier disertai dengan infeksi kronik traktus urinarius serta terdapat peningkatan terjadinya karsinoma kandung empedu, karsinoma kolorektal dan lain-lain.Sedangkan patofisiologi tifoid karier belum sepenuhnya diketahui.

IV.5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah tepi; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler.

1. PEMERIKSAAN DARAH TEPI

Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid.

Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%).

2. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI ISOLASI / BIAKAN

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL.4 Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.

Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.

Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.

Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

3. IDENTIFIKASI KUMAN MELALUI UJI SEROLOGIS

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal, (2) tes TUBEX, (3) metode enzyme immunoassay (EIA), (4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), dan (5) pemeriksaan dipstik.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).

3.1 UJI WIDAL

Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.

Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.

Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%. Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.9 Hasil bermakna jika hasil titer O dan H yaitu 1:160 atau lebih .Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit, faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibody, gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis), faktor antigen, teknik serta reagen yang digunakan.

Titer widal biasanya angka kelipatan :1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 , 1/640.

Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan (+). Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah ada kenaikan titer. Jika ada, maka dinyatakan (+). Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung dinyatakan (+) pada pasien dengan gejala klinis khas

Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi).Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.

Penelitian oleh Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89% penderita.

3.2 TES TUBEX

Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.

Tubex test pemeriksaan yang sederhana dan cepat. Prinsip pemeriksaannya adalah mendeteksi antibodi pada penderita.Serum yang dicampur 1 menit dengan larutan A. Kemudian 2 tetes larutan B dicampur selama 12 menit.Tabung ditempelkan pada magnet khusus.Kemudian pembacaan hasil didasarkan pada warna akibat ikatan antigen dan antibodi. Yang akan menimbulkan warna dan disamakan dengan warna pada magnet khusus.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.

Uji serologi ini untuk mendeteksi adanya IgG dan IgM yang spesifik untuk S. typhi. Uji ini lebihbaik dari pada uji Widal dan merupakan uji Enzyme Immuno Assay (EIA) ketegasan (75%), kepekaan (95%). Studi evaluasi juga menunjukkan Typhidot-M lebih baik dari pada metoda kultur. Walaupun kultur merupakan pemeriksaan gold standar. Perbandingan kepekaan Typhidot- M dan metode kultur adalah >93%. Typhidot-M sangat bermanfaat untuk diagnosis cepat didaerah endemis demam tifoid.

Hasil pemeriksaan Tubex dibaca segera sampai dengan beberapa jam berdasarkan reaksi warna. Warna merah berarti negatif sedangkan warna biru berarti positif :

1 3 : Negatif 4 5 : positif lemah 6 10: positif kuat

3.3 METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.

Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.

Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%.Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.

3.4 METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%. Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.

3.5 PEMERIKSAAN DIPSTIK

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-humanimmobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%. Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%. Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rata - rata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid. Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.

Pemeriksaan IgM dipstick dapat menggunakan serum dengan perbandingan 1:50 dan darah 1 : 25. Selanjutnya diinkubasi 3 jam pada suhu kamar. Kemudian dibilas dengan air biarkan kering..Hasil dibaca jika ada warna berarti positif dan Hasil negatif jika tidak ada warna. Interpretasi hasil 1+, 2+, 3+ atau 4+ jika positif lemah.

4. IDENTIFIKASI KUMAN SECARA MOLEKULER

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah.Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.

IV.6. Penatalaksanaan

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu :

Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyem uhan. Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif) dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.

Istirahat dan perawatan Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buangair kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali di jaga kebersihan tempat tidur,pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.

Diet dan terapi penunjang Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demamtifoid, karena makanan yang kurang akan menyebabkan menurunnya keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.

Pemberian antimikroba Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah :

1. Kloramfenikol

Dosis diberikan 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena.Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas.Penyuntikan intramuskula rtidak di anjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.

2. Tiamfenikol

Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol,akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke 5 sampai hari ke 6.

3. Kotrimoksazol

Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet ( 1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprin) diberikan selama 2 minggu.

4. Ampisilin dan amoksisilin

Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan antara 50-150 mg/KgBB dan digunakan selama 2 minggu.

5. Sefalosporin generasi ketiga

Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke 3 yang tebukti efektif untuk demam tifoida dalah seftriakson, dosis yang dianjurkan antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikanselama jam per infus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari

6. Golongan fluorokuinolon

Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari

Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke 3 atau menjelang hari ke 4.Hasil penurunan demam sedikit lambat pada penggunaan norfloksasin yang merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki bioavailabilitas tidak sebaik fluorokuinolon yang dikembangkan kemudian.

7. Kombinasi obat antimikroba

Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, septik syok, dimana pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman salmonella.

8. Kortikosteroid

Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.

IV.7. Pencegahan Demam Tifoid

Preventif dan kontrol penularan

Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid :

1. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi pada pasien asimptomatik, karie atupun akut.

2. Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut maupun karier yang dapat dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun rumah dan lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S.Typhi 3. Proteksi pada orang yang beresiko tinggi terinfeksi dengan cara vaksinasiVaksinasi Indikasi vaksinasi :

Hendak mengunjungi daerah endemik, resiko terserang demam tifoid semakin tinggi untuk daerah berkembang ( amerika latin, asia, afrika ) Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid Petugas laboratorium / mikrobiologi kesehatan

Jenis vaksin :

Vaksin oral Ty21a ( vivotif Berna ), belum beredar di Indonesia Vaksin parenteral VICPS ( Typhim Vi / Pasteur Merieux ), vaksin kapsul polisakarida

Kontraindikasi :

Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran alergi atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan (karena sedikitnya data). Bila diberikan bersamaan dengan obat antimalarial dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru dilakukan vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat sulfonamide atau antimikroba lainnya.Efeksamping :

Pada vaksin oral Ty21a : demam dan sakit kepala. Pada vaksin parenteral ViCPS : demam, malaise, sakit kepala, rush , nyeri lokal. Efek samping terbesar pada parenteral adalah heatphenol inactivated, yaitu demam, nyeri kepala, dan reaksi local nyeri dan edema bahkan reaksi berat termasuk hipotensi, nyeri dada, dan syok. Efektivitas :

Serokonversi ( peningkatan titer antibodi 4 kali ) setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari 3 minggu dan 90 % bertahan selama 3 tahun.Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemik ( Nepal ) dan sebesar 60% untuk daerah hiperendemikBAB VKESIMPULAN

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut disebabkan oleh kuman gram negative Salmonella typhi.Manifestasi klinik pada umumnya bersifat lebih ringan dan lebih bervariasi.Demam adalah gejala yang paling konstan di antara semua penampakan klinis.Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya seperti demam, sakit kepala, mual, muntah, nafsu makan menurun, sakit perut, diare atau sulit buang air beberapa hari, sedangkan pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu tubuh meningkat dan menetap. Suhu meningkat terutama sore dan malam hari.Setelah minggu ke dua maka gejala menjadi lebih jelas demam yang tinggi terus menerus, nafas berbau tak sedap, kulit kering, rambut kering, bibir kering pecah-pecah/terkupas, lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan dan tremor,pembesaran hati dan limpa dan timbul rasa nyeri bila diraba, perut kembung. Nampak sakit berat, disertai gangguan kesadaran dari yang ringan letak tidur pasif, acuh tak acuh (apatis) sampai berat (delirium, koma).

BAB V

DAFTAR PUSTAKA1. Begum Zohra, et al. Evaluation of Typhidot (IgM) for Early Diagnosis of Typhoid Fever. Bangladesh J Med Microbiol 2009

2. MK Bhan,et al. Typhoid and paratyphoid fever . All India Institute of Medical Sciences, New Delhi 110029, India. Lancet 20053. Darmowandowo W. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis, edisi 1. 2002. Jakarta : BP FKUI.

4. Baker et al. Searching For The Elusive Typhoid Diagnostic. BMC Infectious Diseases 2010,

5. Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18

6. Sudoyo, Aru W., Bambang Setiohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, Siti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Jilid I, Edisi IV. Jakarta: Pusat Penererbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007.

1