Tifoid Kiko

47
LAPORAN KASUS 1.1. Identitas Nama : An.R Usia : 10 tahun Jenis kelamin : laki-laki No.CM : 260852 Nama ortu : Tn.A Pekerjaan : Buruh Alamat : Cianjur masuk RS : 2 Maret 2012 1.2. Anamnesis Keluhan utama Demam sejak 5 hari sebelum masuk RS Riwayat penyakit sekarang Pasien mengeluh demam sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam naik turun, meningkat saat sore menjelang malam hari. Demam tidak disertai menggigil, kejang disangkal. Keluhan disertai batuk sejak 5 hari sebelum masuk RS. Batuk tidak berdahak, batuk berdarah disangkal. Keluhan juga disertai dengan pilek dan pusing. Nyeri perut, mual dan muntah disangkal. Muntah disangkal. Nyeri sendi disangkal. Bintik-bintik merah ditubuh disangkal, keluar darah dari hidung disangkal. Pasien tidak nafsu makan. Pasien belum BAB sudah 5 hari. BAK normal. Nyeri saat BAK disangkal, BAK berdarah disangkal.

Transcript of Tifoid Kiko

Page 1: Tifoid Kiko

LAPORAN KASUS

1.1. Identitas

Nama : An.R

Usia : 10 tahun

Jenis kelamin : laki-laki

No.CM : 260852

Nama ortu : Tn.A

Pekerjaan : Buruh

Alamat : Cianjur

masuk RS : 2 Maret 2012

1.2. Anamnesis

Keluhan utama

Demam sejak 5 hari sebelum masuk RS

Riwayat penyakit sekarang

Pasien mengeluh demam sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam naik

turun, meningkat saat sore menjelang malam hari. Demam tidak disertai

menggigil, kejang disangkal. Keluhan disertai batuk sejak 5 hari sebelum masuk

RS. Batuk tidak berdahak, batuk berdarah disangkal. Keluhan juga disertai

dengan pilek dan pusing. Nyeri perut, mual dan muntah disangkal. Muntah

disangkal. Nyeri sendi disangkal. Bintik-bintik merah ditubuh disangkal, keluar

darah dari hidung disangkal. Pasien tidak nafsu makan. Pasien belum BAB sudah

5 hari. BAK normal. Nyeri saat BAK disangkal, BAK berdarah disangkal.

Riwayat penyakit dahulu

Pasien belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat TB (+) tetapi

pengobatan sudah selesai, riwayat DBD disangkal, riwayat tifoid disangkal.

Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini. Tidak ada keluarga yang sedang DBD.

Riwayat psikososial

Pasien sering jajan sembarangan. Sering jajan bakso dan gorengan di pinggir

jalan, suka makan pedas-pedas. Pasien sering minum es.

Page 2: Tifoid Kiko

Riwayat pengobatan

Pasien sudah pernah berobat ke bidan dan diberikan paracetamol tetapi keluhan

tidak berkurang.

1.3. Pemeriksaan fisik

BB : 28 kg

TB : 120 cm

Status gizi : BB/TB : 22/28 x 100% = 78% ( gizi kurang )

BB/U : 25/33 x 100% = 75% ( gizi kurang )

TB/U : 120/140 x100% = 85% ( gizi baik )

Tanda Vital

HR : 110 x/menit

RR : 20 x/menit

s : 37,50 C

STATUS GENERALISATA

KU : composmentis

Kepala : normochepal

Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera icterik -/-

Hidung : Pernapasan cuping hidung (-), sekret yang keluar (-), epistaksis (-)

Mulut : Sianosis (-), coated tongue (+), Tonsil T2a-T2a, faring hiperemis.

Telinga : sekret yang keluar (-)

Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), retraksi supra sternal (-)

Thorax : simetris, retraksi Inter costa (-)

o Cor : BJ I,II murni, murmur (-), gallop (-)

o Pulmo : vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-

Abdomen : datar, lembut, retraksi epigastrium (-), nyeri tekan epigastrium (-),

bising usus normal, turgor kulit normal, hepatomegali (-), splenomegali (-).

Ekstremitas : akral hangat +/+ , CRT < 2 detik +/+

Page 3: Tifoid Kiko

1.4. Pemeriksaan penunjang

HASIL NILAI NORMAL

HB 12,2 g/dL 10,5-13,5 g/dL

HCT 36,2 % 30-40 %

WBC 9 x 103/µL 6 – 15 x 103/µL

PLT 250 x 103/µL 150-450 x 103/µL

WIDAL TEST

STH : 1/40

STO : 1/40

1.5. Resume

Anak ♂ 10 th dengan gizi kurang datang dengan keluhan demam sejak 5 hari lalu,

naik turun, meningkat saat sore menjelang malam hari. Batuk tidak berdahak (+),

pilek (+). pusing, (+) nyeri perut (-), mual muntah (-). Nyeri sendi (-). Bintik-bintik

merah (-), epistaksis (-), belum BAB 5 hari. Riwayat TB (+) tetapi pengobatan sudah

selesai.

Pada pemfis ditemukan coated tongue (+), Tonsil T20-T24, faring hiperemis, nyeri

tekan epigastrium (+). Pada pem.widal ditemukan STH 1/40, STO 1/40

1.6. Diagnosa kerja : Obs.febris e.c. typhoid fever + tonsilofaringitis

Doagnosa banding : ISK

1.7. Penatalaksanaan

Inf.RL 21 x 80 96

Cefotaxime iv 2 x 1 gr Ambroxol syrup 3 x 2 cth Paracetamol syrup 3 x 2 cth

Page 4: Tifoid Kiko

1.8. Follow up

2 Maret 2012 3 Maret 2012 5 Maret 2012 6 Maret 2012

S

Demam (-), batuk (+), BAB belum sudah 6 hari, mual (-), nyeri perut (-) , nyeri sendi (-)

Demam (-), batuk (+), BAB belum sudah 7 hari, mual (+), nyeri perut (+), nyeri sendi (+)

Demam (-), batuk (+), BAB belum (+), mual (+), nyeri perut (+), nyeri sendi (+)

Demam (-), batuk (+), BAB belum (+), mual (+), nyeri perut (+) <<, nyeri sendi <<

O

HR : 100x/menitRR : 20 x/menit

T : 370C

Faring hiperemisTonsil T2a-T2a

HR : 96x/menitRR : 20 x/menit

T : 36,50C

Faring hiperemisTonsil T2a-T2a

HR : 96x/menitRR : 20 x/menit

T : 36,50C

Faring hiperemisTonsil T2a-T2a STH : 1/160STO : 1/160

HR : 96x/menitRR : 20 x/menit

T : 36,50C

Faring hiperemisTonsil T2a-T2a

A

Obs.febris e.c. Typhoid fever + tonsilofaringitis

Obs.febris e.c. Typhoid fever + tonsilofaringitis

Typhoid fever + tonsilofaringitis

Typhoid fever + tonsilofaringitis

P

Inf.RL 21 x 80 96Cefotaxime iv 2 x 1 grAmbroxol syrup 3 x 2 cthParacetamol syrup 3 x 2 cth

Inf.RL 21 x 80 96Cefotaxime iv 2 x 1 grAmbroxol syrup 3 x 2 cthRanitidin 2 x 1 ampAntasida syrup 3 x 1 cth (a.c)Paracetamol syrup 3 x 2 cth

Inf.RL 21 x 80 96Cefotaxime iv 2 x 1 grAmbroxol syrup 3 x 2 cthRanitidin 2 x 1 ampAntasida syrup 3 x 1 cth (a.c)Paracetamol syrup 3 x 2 cth

Inf.RL 21 x 80 96Cefotaxime iv 2 x 1 grAmbroxol syrup 3 x 2 cthRanitidin 2 x 1 ampAntasida syrup 3 x 1 cth (a.c)Paracetamol syrup 3 x 2 cthLaxadine syrup 3 x 1 cth

Page 5: Tifoid Kiko

DEMAM TIFOID

A. DEFINISI

Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman gram negatif

Salmonella typhi. Selama terjadinya infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel

fagositik mononuclear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah. Demam

Tifoid juga dikenali dengan nama lain yaitu Typhus Abdominalis,Typhoid fever atau

Enteric fever.

B. ETIOLOGI

Salmonella merupakan genus dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella

berbentuk batang, gram (-), anaerob fakultatif, tidak berkapsul dan hampir selalu motil

dengan menggunakan flagela peritrikosa, yang menimbulkan dua atau lebih bentuk

antigen H. S. typhi secara taksonomi dikenal sebagai Salmonella enterica, subspesies

enterica. Selain antigen H, ada 2 polisakarida antigen permukaan yang membantu

mengkarakteristikan S. enterica. Antigen yang pertama yaitu antigen O somatik dan

antigen Vi (virulen) capsular yang berhubungan dengan resistensi terhadap lisis yang

dimediasi oleh komplemen dan resistensi terhadap aktivasi komplemen oleh jalur yang

lain. / melindungi O antigen terhadap fagositosis. Walaupun patogen kuat, kuman ini

tidak bersifat piogenik, namun bersifat menekan pembentukan sel polimorfonuklear dan

eosinofil. Etiologi lainnya yaitu Salmonella paratyphi A, B, C. Jika penyebabnya adalah

S paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh S typhi.

Sumber infeksi S. typhi umumnya manusia, baik orang sakit maupun orang sehat

yang dapat menjadi pembawa kuman. Ada dua sumber penularan S.typhii yaitu pasien

dengan demam tifoid dan yang lebih sering carrier. Di daerah endemik transmisi terjadi

melalui air yang tercemar. Makanan tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan

yang paling sering di daerah non endemik. Carrier adalah orang yang sembuh dari

demam tifoid dan masih terus mengekskresi S.typhii dalam tinja dan air kemih selama

lebih dari satu tahun. Karier menahun umumnya berusia > 50 tahun, lebih sering pada

perempuan, dan sering menderita batu empedu. S. typhi sering berdiam di batu empedu,

bahkan di bagian dalam batu, dan secara intermiten mencapai lumen usus dan

Page 6: Tifoid Kiko

diekskresikan ke feses, sehingga mengkontaminasi air atau makanan. Disfungsi kandung

empedu merupakan predisposisi untuk terjadinya carrier. Kuman-kuman S.typhii berada

di dalam kandung empedu atau dalam dinding kandung empedu yang mengandung

jaringan ikat, akibat radang menahun.

Infeksi umumnya disebarkan melalui jalur fekal-oral dan berhubungan dengan

higienis dan sanitasi yang buruk yaitu melalui makanan yang terkontaminasi kuman yang

berasal dari tinja, kemih atau pus yang positif. Kontaminasi pada susu sangat berbahaya

karena bakteri dapat berkembang biak dalam media ini. Penyebaran umumnya terjadi

melalui air atau kontak langsung. Oleh karena itu pencegahan harus diusahakan melalui

perbaikan sanitasi lingkungan, kebiasaan makanan, proyek MCK (Mandi, Cuci, Kakus),

dan pendidikan kesehatan di puskesmas dan posyandu.

C. EPIDEMIOLOGI

Demam tifoid dan demam paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk

penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang no.6 tahun 1962 tentang

wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah

menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah.

Walaupun demam tifoid tercantum dalam Undang-Undang wabah dan wajib dilaporkan,

namun data yang lengkap belum ada, sehingga gambaran epidemiologis belum diketahui

secara pasti. Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai dalam bentuk epidemik, tetapi

lebih sering bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang menimbulkan

lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularan biasanya tidak dapat

ditemukan. Ada dua sumber penularan S.typhii : pasien dengan demam tifoid dan yang

lebih sering carrier. Orang-orang tersebut mengekskresi 109-1011 kuman per gram tinja.

Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan tercemar oleh

carrier merupakan sumber penularan yang paling sering di daerah non endemik. Carrier

adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi S.typhii

dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun. Disfungsi kandung empedu

merupakan predisposisi untuk terjadinya carrier. Kuman-kuman S.typhii berada di dalam

kandung empedu atau dalam dinding kandung empedu yang mengandung jaringan ikat,

akibat radang menahun.

Demam tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak bergantung pada

keadaan iklim, tetapi lebih banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang di

daerah tropis. Hal ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan, dan

Page 7: Tifoid Kiko

kebersihan individu kurang baik. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang

tahun. Angka kejadian demam tifoid meningkat pada musim kemarau panjang atau awal

musim hujan. Hal ini banyak dihubungkan dengan meningkatnya populasi lalat pada

musim tersebut dan penyediaan air bersih yang kurang memuaskan. Demam tifoid masih

merupakan masalah besar di Indonesia. Penyakit ini di Indonesia bersifat sporadik

endemik dan timbul sepanjang tahun. Kasus demam tifoid di Indonesia, masih cukup

tinggi berkisar antara 354-810 / 100.000 penduduk pertahun.

Pada pria lebih banyak terpapar dengan kuman S. typhi dibandingkan wanita

karena aktivitas di luar rumah lebih banyak. Semua kelompok umur dapat tertular

penyakit tifoid, tetapi yang banyak adalah golongan umur dewasa tua. Di daerah

endemik tifoid, insidens tertinggi didapatkan pada anak-anak. Orang dewasa sering

mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan menjadi kebal. Insidensi pada pasien

yang berumur 12 tahun ke atas adalah, 70-80% pasien berumur antara 12 dan 30 tahun,

10-20% antara umur 30 dan 40 tahun dan hanya 5-10% di atas 40 tahun.

D. PATOFISIOLOGI

Demam tifoid disebabkan oleh masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan

Salmonella paratyphi (S. paratyphi) kedalam tubuh manusia, melalui makanan dan

minuman yang terkontaminasi kuman tersebut. Sebagian kuman dimusnahkan dalam

lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Usus

yang terserang tifus umumnya ileum terminal / distal, tetapi terkadang bagian lain usus

halus dan kolon proksimal juga dapat terinfeksi (Minggu I).

Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan

menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman

akan berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh sel makrofag.

Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya di bawa ke

plaque peyeri di ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika,

selanjutnya melalui duktus toraksikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk

kedalam sirkulasi darah (bakteremia asimptomatik) dan menyebar keseluruh organ

retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman

meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang

sinosoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia

kedua kalinya. Pada masa ini, terjadilah gejala-gejala infeksi sitemik.

Page 8: Tifoid Kiko

Didalam hati, kuman berkembang dan selanjutnya masuk kedalam empedu,

berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten kedalam

lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam

sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, dan berhubung

makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella

melepaskan endotoksin yang meningkatkan siklik adenosin monofosfat dan air kedalam

lumen intestinal Endotoksin Salmonella sangat berperan pada patogenesis demam tifoid,

karena menbantu terjadinya proses inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,

sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, ganguan mental dan gangguan koagulasi.

Didalam plaque peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia

jaringan (S. Typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitifitas type lambat,

hyperplasia jaringan dan nekrosis organ) yang terjadi pada minggu pertama infeksi.

Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri

uang sedang mangalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel manonuclear

di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini akan berkembang hingga kelapisan

otot, serosa, dan akhirnya dapat mengakibatkan perforasi. Hati membesar karena

infiltrasi sel-sel limfosit dan sel mononuclear lainnya serta nekrosis fokal. Demikian juga

proses ini terjadi pada jaringan retikuloenditelial lain seperti limpa dan kelenjar

mesentrika. Kelainan – kelainan patologis yang sama juga dapat ditemukan pada organ

tubuh lain seperti tulang, usus, pau, ginjal, jantung, empedu mengalir ke dalam usus,

sehingga menjadi karier intestinal.

Demikian juga ginjal dapat mengandung basil dalam waktu lama sehingga juga

menjadi karier (urinary carier). Adapun tempat-tempat yang menyimpan basil ini,

memungkinkan penderita mengalami kekambuhan (relaps).

Page 9: Tifoid Kiko

Patomekanisme munculnya gejala klinis pada demam tifoid :

1. Demam, disebabkan karena peningkatan set point pada pusat thermoregulator di

hipotalamus. Endotoksin dapat secara langsung mempengaruhi termoregulasi di

hipotalamus, dan juga dapat merangsang pelepasan pirogen endogen, yang pada

akhirnya juga mempengaruhi termoregulasi di hipotalamus.

2. Mialgia, sakit kepala dan nyeri abdominal. Merupakan respon dari termoregulator,

dimana terjadi pengaktifan saraf simpatis sehingga terjadi vasokonstriksi dan

pengalihan aliran darah dari tempat-tempat seperti otot lurik, saluran cerna, kulit dan

lainnya yang kurang begitu penting.

3. Hepatomegali dan splenomegali. Karena pada tempat ini terjadi proliferasi

salmonella, juga terjadi infiltrasi limfosit, sel plasma dan sel mononuklear.

4. Bradikardia relatif, terjadi karena pengaruh endotoksin terhadap kerja miokardium.

Faktor-faktor yang menentukan virulensi salmonella : antigen permukaan kapsuler Vi

yang menyebabkan C3 tidak dapat terikat pada permukaan bakteri sehingga fagositosis

Page 10: Tifoid Kiko

terganggu. Endotoksin, suatu komponen lipopolisakarida dari dinding bakteri,

menyebabkan prolonged fever dan gejala-gejala toksik dari demam tifoid, walaupun ada

pendapat yang menyatakan bahwa gejala-gejal ini disebabkan oleh sitokin yang

dihasilkan leukosit terhadap rangsangan endotoksin.

Kelainan patologik terutama terjadi di usus halus, terutama di ileum bagian distal.

Pada minggu pertama penyakit terjadi hiperplasia plaque peyeri, disusul minggu kedua

terjadi nekrosis, dan dalam minggu ketiga terjadi ulserasi plaque peyeri dan selanjutnya

dalam minggu keempat terjadi penyembuhan ulkus dengan meninggalkan sikatriks.

Ulkus dapat menyebabkan perdarahan bahkan sampai perforasi usus.

Hepar membesar dengan infiltrasi limfosit, sel plasma dan sel mononuklear, serta

nekrosis fokal. RES menunjukkan hiperplasia dan kelenjar-kelenjar mesentrial dan limpa

membesar.

Jaringan retikuloendotelial lain juga mengalami perubahan. Kelenjar limfe

mesenterial penuh fagosit sehingga kelenjar membesar dan melunak. Limpa biasanya

juga membesar dan melunak. Hati menunjukkan proliferasi sel polimorfonuklear dan

mengalami nekrosis fokal. Jaringan sistem lain hampir selalu terlibat. Kandung empedu

selalu terinfeksi dan bakteri hidup dalam empedu. Sesudah sembuh, empedu penderita

dapat tetap mengandung bakteri dan Penderita menjadi pembawa kuman.

Page 11: Tifoid Kiko

Sel ginjal mengalami pembengkakan keruh yang mengandung koloni bakteri. Itu

sebabnya pada minggu pertama ditemukan kumannya dalam air kemih. Bila sembuh,

penderita menjadi pembawa kuman yang menularkan lewat kemihnya. Parotitis dan

orkitis kadang ditemukan, sedangkan bronkititis hampir selalu ada dan kadang terjadi

pneumonia. Selain disebabkan oleh basil tifus, pneumonia pada tifus abdominalis lebih

sering terjadi sekunder oleh infeksi pneumokokus.

Otot jantung membengkak dan menjadi lunak serta memberikan gambaran

miokarditis. Biasanya tekanan darah turun dengan nadi lambat (bradikardia relatif) akibat

miokarditis tersebut. Vena sering mengalami trombosis terutama v. femoralis, v. safena

dan sinus di otak. Otot lurik dapat mengalami degenerasi Zenker berupa hilangnya striae

transversales disertai pembengkakan otot. Otot yang sering terserang adalah otot

diafragma, m.rektus abdomis dan otot paha. Hal ini yang mendasari kelemahan otot pada

penderita. Toksin di otot dapat juga menyebabkan ruptura spontan disertai perdarahan

lokal. Infeksi sekunder kemudian menyebabkan abses di otot bersangkutan.

Tulang dapat menunjukkan lesi supuratif berupa abses. Osteomielitis itu dapat

berlangsung sampai bertahun-tahun. Yang paling sering terkena adalah tibia, sternum,

iga dan ruas tulang belakang. Pada demam tifoid sering didapat gambaran piogenik

disertai adanya basil tifus yang dapat hidup di darah. Infeksi di sumsum tulang

ditunjukkan dengan gambaran leukopenia disertai hilangnya sel polimorfonuklear dan

eosinofil dan bertambahnya sel mononuklear.

E. GEJALA KLINIS

Pada minggu pertama terdapat demam remitten yang berangsur makin tinggi dan

hampir selalu disertai dengan nyeri kepala. Biasanya terdapat batuk kering dan tidak

jarang ditemukan epistaksis. Hampir selalu ada rasa tidak enak atau nyeri pada perut.

Konstipasi sering ada, namun diare juga ditemukan.

Page 12: Tifoid Kiko

Pada minggu kedua, demam umumnya tetap tinggi (demam kontinu) dan

penderita tampak sakit berat. Perut tampak distensi dan terdapat gangguan pencernaan.

Diare dapat mulai, kadang disertai perdarahan saluran cerna. Keadaan berat ini

berlangsung sampai dengan minggu ketiga. Selain letargi, penderita mengalami delirium

bahkan sampai koma akibat endotoksemia. Pada minggu ketiga ini tampak gejala fisik

lain berupa bradikardia relatif dengan limpa membesar lunak. Perbaikan dapat mulai

terjadi pada akhir minggu ketiga dengan suhu badan menurun dan keadaan umum

tampak membaik. Tifus abdominalis dapat kambuh satu sampai dua minggu setelah

demam hilang. Kekambuhan ini dapat ringan namun dapat juga berat, dan mungkin

terjadi sampai dua atau tiga kali.

Demam pada tifoid khas karena gejala peningkatan suhu setiap hari seperti naik

tangga sampai dengan 40 atau 410C, yang dikaitkan dengan nyeri kepala, malaise dan

menggigil. Demam menetap yang persisten (4 sampai 8 minggu pada pasien yang tidak

diobati). Pada awal sakit, demamnya kebanyakan samar-samar saja, selanjutnya suhu

tubuh sering naik turun. Pagi rendah atau normal (demam intermitten), sore dan malam

lebih tinggi (demam remitten). Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi, kadang-

kadang terus-menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik maka pada minggu ke-3

suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke-3 suhu

badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke-3.

Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama, bibir

kering dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih.

Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue) yang pada penderita anak

jarang ditemukan. Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama regio

epigastrik (nyeri ulu hati). Disertai nausea, mual dan muntah. Pada awal sakit sering

meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-kadang timbul diare.

Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan

kesadaran ringan. Sering terdapat apatis dengan kesadaran seperti terkabut (tifoid). Bila

klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala

psychosis (Organic Brain Sindrome). Pada penderita dengan toksik gejala delirium lebih

menonjol.

Brandikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan

yang sulit dilakukan. Brandikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak

diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah bahwa setiap

peningkatan suhu 1oc tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit.

Page 13: Tifoid Kiko

Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid seperti rose spot biasanya

ditemukan diregio abdomen atas, serta sudamina, atau gejala-gejala klinis yang dapat

berhubungan dengan komplikasi yang terjadi.

Selanjutnya gejala disebabkan oleh gangguan sistem retikuloendotelial, misalnya

kelainan hematologi, gangguan faal hati dan nyeri perut. Kelompok gejala lainnya

disebabkan oleh komplikasi seperti ulserasi di usus dengan penyulitnya. Masa tunas

biasanya lima sampai empat belas hari, tetapi dapat dapat sampai lima minggu. Pada

kasus ringan dan sedang, penyakit biasanya berlangsung empat minggu. Timbulnya

berangsur, mulai dengan tanda malaise, anoreksia, nyeri kepala, nyeri seluruh badan,

letargi dan demam.

Anak usia sekolah dan pubertas

Minggu-1 sakit :

1. Demam dengan pola peningkatan suhu seperti anak tangga (demam remitten) dan

dapat mencapai suhu 40C.

2. Malaise, anorexia, mialgia, sakit kepala dan nyeri abdominal, terjadi dalam 2-3 hari.

3. Pada awalnya dapat terjadi diare, pada perjalanan penyakit berikutnya lebih banyak

dijumpai konstipasi.

4. Batuk dan epistaksis.

Minggu-2 sakit dan seterusnya :

1. Demam tinggi menjadi terus-menerus.

2. Fatigue, anorexia, batuk dan gejala abdominal menjadi lebih parah.

3. Pasien terlihat sakit berat, disorientasi dan letargik. Delirium dan stupor bsa ditemui.

4. Pada pemeriksaan fisik ditemui bradikardia relatif, yaitu frekuensi nadi yang tidak

sesuai dengan kenaikan suhu badan.

5. Hepatomegali, splenomegali dan distensi abdomen sering dijumpai.

Page 14: Tifoid Kiko

6. Pada 50% pasien, muncul pada hari ke 7 sampai 10 sakit, suatu makula atau

makuopapular rash yang disebut Rose Spots (diskret, eritematus, berdiameter 1-5 mm,

terdapat di atas permukaan kulit dan memucat bila ditekan), yang terdapat di dada

bagian bawah dan abdomen selama kira-kira 2-3 hari lalu kemudian menghilang dan

meninggalkan bekas kecoklatan pada kulit.

7. Ronki dan crakles mungkin terdengar pada auskultasi thoraks.

8. Nausea dan vomitus, jika terjadi pada minggu ke-2 atau 3 menunjukkan suatu

komplikasi. Jika tidak ada komplikasi, gejala dan temuan fisik menghilang bertahap

dalam waktu 2-4 minggu, tetapi malaise dan letargik dapat bertahan hingga 1-2 bulan.

F. DIAGNOSIS

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik ditemukan :

Demam yang tinggi.

Kelainan makulopapular berupa roseola (rose spot) berdiameter 2-5 mm terdapat

pada kulit perut bagian atas dan dada bagian bawah. Rose spot tersebut agak

meninggi dan dapat menghilang jika ditekan. Kelainan yang berjumlah kurang

lebih 20 buah ini hanya tampak selama dua sampai empat hari pada minggu

pertama. Bintik merah muda juga dapat berubah menjadi perdarahan kecil yang

tidak mudah menghilang yang sulit dilihat pada pasien berkulit gelap (jarang

ditemukan pada orang Indonesia).

Perut distensi disertai dengan nyeri tekan perut.

Bradikardia relatif.

Hepatosplenomegali.

Jantung membesar dan lunak.

Page 15: Tifoid Kiko

Bila sudah terjadi perforasi maka akan didapatkan tekanan sistolik yang menurun,

kesadaran menurun, suhu badan naik, nyeri perut dan defens muskuler akibat

rangsangan peritoneum.

Perdarahan usus sering muncul sebagai anemia. Pada perdarahan hebat mungkin

terjadi syok hipovolemik. Kadang ada pengeluaran melena atau darah segar.

Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak distensi,

bising usus hilang, pekak hati hilang dan perkusi daerah hati menjadi timpani.

Selain itu, pada colok dubur terasa sfingter yang lemah dan ampulanya kosong.

Penderita biasanya mengeluh nyeri perut, muntah dan kurva suhu-denyut nadi

menunjukkan tanda salib maut (Gambar 1-12).

Pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya udara bebas di bawah diafragma,

sering disertai gambaran ileus paralitik.

Laboratorium

Pemeriksaan apus darah tepi penderita memperlihatkan anemia normokromik,

leukopenia dengan hilangnya sel eosinofil dan penurunan jumlah sel

polimorfonuklear. Pada sebagian besar pasien, jumlah sel darah putih normal,

walaupun jumlah tersebut rendah jika dikaitkan dengan tingkat demam. Leukopenia

(<2000 sel per mikroliter) dapat terjadi tetapi jarang sekali. Pada kejadian perforasi

usus atau penyulit piogenik, leukositosis sekunder dapat terjadi. Albuminuria terjadi

pada fase demam. Uji benzidin pada tinja biasanya positif pada minggu ketiga dan

keempat. Kultur Salmonella typhi dari darah pada minggu pertama positif pada 90%

penderita, sedangkan pada akhir minggu ketiga positif pada 50% penderita.

Terkadang pembiakan tetap positif sehingga ia menjadi pembawa kuman. Pembawa

Page 16: Tifoid Kiko

kuman lebih banyak pada orang dewasa daripada anak dan pria lebih banyak

daripada wanita.

Pada akhir minggu kedua dan ketiga pembiakan darah menjadi positif untuk basil

usus. Ini menunjukkan adanya ulserasi di ileum. Jika terjadi perforasi yang diikuti

peritonitis terdapat toksemia basil aerob (E. coli) dan basil anaerob (B. fragilis). Titer

aglutinin O dan H (reaksi Widal) biasanya sejajar dengan grafik demam dan

memuncak pada minggu ketiga. Interpretasinya kadang sulit karena ada imunitas

silang dengan kuman salmonela lain atau karena titer yang tetap meninggi setelah

diimunisasi. Antibodi H dapat ditemukan bahkan pada titer yang lebih tinggi, tetapi

karena reaksi silangnya yang luas maka sulit untuk ditafsirkan. Peninggian antibodi

empat kali lipat pada sediaan berpasangan adalah kriteria yang baik tetapi sedikit

kegunaannya pada pasien yang sakit akut dan dapat menjadi tidak bermanfaat akibat

pengobatan antimikroba yang dini. Semakin dini sediaan awal diambil, maka

semakin mungkin ditemukan peningkatan yang nyata. Antibodi Vi secara khas

meningkat kemudian, setelah 3 sampai 4 minggu sakit, dan kurang berguna pada

diagnosis dini infeksi.

1. Leukosit.

Pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk demam tifoid karena

kebanyakan pada demam tifoid ditemukan jumlah leukosit dalam batas-batas

normal. Pada demam tifoid tidak ditemukan adanya leukopenia, tetapi kadang-

kadang dapat ditemukan leukositosis.

2. SGOT dan SGPT.

SGOT dan SGPT dapat meningkat, tetapi dapat kembali normal setelah demam

tifoid sembuh, sehingga tidak memerlukan pengobatan.

3. Biakan darah.

Page 17: Tifoid Kiko

Biakan darah (+) dapat memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah () tidak

menyingkirkan demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah

tergantung pada beberapa faktor, yaitu :

a. Teknik pemeriksaan laboratorium.

b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.

c. Vaksinasi di masa lampau.

d. Pengobatan dengan obat antimikroba.

4. Uji Widal.

Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antibodi (aglutinin) dan antigen

yang bertujuan untuk menentukan adanya antibodi, yaitu aglutinin dalam serum

pasien yang disangka menderita demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji

Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di

laboratorium.

Akibat infeksi oleh Salmonella typhi, maka di dalam tubuh pasien membuat

antibodi (aglutinin), yaitu :

a. Aglutinin O.

Aglutinin O adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen O

yang berasal dari tubuh kuman.

b. Aglutinin H.

Aglutinin H adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen H

yang berasal dari flagela kuman.

c. Aglutinin Vi.

Aglutinin Vi adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen Vi

yang berasal dari simpai kuman.

Page 18: Tifoid Kiko

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya

untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan pasien

menderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer Uji Widal akan meningkat

pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang paling sedikit 5 hari.

Pembentukan aglutinin terjadi pada akhir mingu pertama demam, kemudian

meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan tetap

tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O,

kemudian diikuti oleh agglutinin H, pada orang yang sembuh aglutinin O masih

tetap dijumpai setelah 4-6 bulan , sedangkan agglutinin H menetap lebih lama

antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menetukan kesembuhan

penyakit.

Interprestasi uji Widal, yaitu :

• Makin tinggi titernya, maka makin besar kemungkinan pasien menderita

demam tifoid.

• Tidak ada konsensus mengenai tingginya titer uji Widal yang mempunyai nilai

diagnostik pasti untuk demam tifoid.

• Uji Widal positif atau negatif dengan titer rendah tidak menyingkirkan

diagnosis demam tifoid.

• Uji Widal positif dapat disebabkan oleh septikemia karena Salmonella lain.

• Uji Widal bukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan kesembuhan

pasien, karena pada seseorang yang telah sembuh dari demam tifoid, aglutinin

akan tetap berada dalam darah untuk waktu yang lama.

Page 19: Tifoid Kiko

• Uji Widal tidak dapat menentukan spesies Salmonella sebagai penyebab

demam tifoid, karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen

O dan H yang sama, sehingga dapat menimbulkan reaksi aglutinasi yang sama.

5. Kultur Gall (Gall Culture).

G. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaannya yaitu :

1. Tirah baring

Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang

lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya

komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara

bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Bila klinis berat penderita harus

istirahat total. Bila terjadi penurunan kesadaran maka posisi tidur pasien harus diubah-

ubah pada waktu tertentu untuk mencegah komplikasi pneumonia hipostatik dan

dekubitus. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang

terjadi obstipasi dan retensi air kemih. Hindari pemasangan kateter urine tetap, bila

tidak ada indikasi.

2. Nutrisi

- Cairan

Penderita harus mendapatkan cairan yang cukup, baik secara oral maupun

parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada

komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Dosis airan parenteral

adalah sesuai dengan kebutuhan harian (tetesan rumatan). Bila ada komplikasi,

dosis cairan disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan harus mengandung elektrolit

dan kalori yang optimal.

- Diet

Pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi

sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut

dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus;

karena ada pendapat, bahwa usus perlu diistirahatkan. Banyak pasien tidak

menyukai bubur saring, karena tidak sesuai dengan selera mereka. Karena mereka

Page 20: Tifoid Kiko

hanya makan sedikit, keadaan umum dan gizi pasien semakin mundur dan masa

penyembuhan menjadi lama. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian

makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa (pantang sayuran

dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.

Karena ada juga pasien demam tifoid yang takut makan nasi, maka selain

macam/bentuk makanan yang diinginkan, terserah pada pasien sendiri apakah mau

makan bubur saring, bubur kasar, atau nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa.

Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulose

(rendah serat) untuk mencegah komplikasi, perdarahan dan perforasi. Diet cair,

bubur lunak (tim) dan nasi biasa bila keadaan penderita baik. Tapi bila penderita

dengan klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair selanjutnya

dirubah secara bertahap sampai padat sesuai dengan tingkat kesembuhan penderita.

Penderita dengan kesadaran menurun diberi diet secara enteral melalui pipa

lambung. Diet parenteral di pertimbangkan bila ada tanda-tanda komplikasi

perdarahan dan atau perforasi.

3 Terapi Simtomatik

Terapi simtomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan keadaan

a. Kloramfenikol

Reaksinya nyata dalam 24 sampai 48 jam setelah dimulainya pengobatan. Dosis untuk

anak-anak 50 mg/kgBB/24 jam per oral atau 75 mg/kgBB/24 jam intravena dalam 4

dosis yang sama. Penyuntikan kloramfenikol suksinat intramuskular tidak dianjurkan

karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.

Dengan penggunaan kloramfenikol, demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah

5 hari.

b. Tiamfenikol

Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan kloramfenikol.

Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada demam tiofoid dapat turun rata-rata 5-6

hari.

c. Amoksisilin (4 sampai 6 g/hari dalam empat dosis terbagi pada orang dewasa atau 100

mg/kg per hari pada anak). Indikasi mutlak penggunannnya adalah pasien demam

tifoid dengan leukopenia.Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kgBB

sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam.Dengan Amoksisilin dan

Ampisilin,demam rata-rata turun 7-9 hari.

Page 21: Tifoid Kiko

d. Trimetoprim-sulfametoksazol. Efektivitas kotrimoksazol kurang lebih sama dengan

kloramfenikol. Dosis untuk anak-anak 10 mg trimetoprim dan 50 mg sulfametoksazol

secara oral dalam 2 dosis. Dengan kotrimoksazol demam pada demam tifoid turun

rata-rata setelah 5-6 hari.

e. 4-fluorokuinolon seperti siprofloksasin atau oflosaksin pada individu yang berusia

lebih dari 17 tahun.

Berbagai obat intravena juga efektif, dan baik kloramfenikol maupun

trimetoprim-sulfametoksazol dapat diberikan secara intravena pada individu yang tidak

mampu menelan obat per os. Antimikroba parenteral efektif lainnya adalah ampisilin

dosis tinggi, sefotaksim, aztreonam, dan 4-fluorokuinolon. Walaupun demikian, tidak

ada satupun yang aksinya begitu cepat atau begitu efektifnya dibandingkan dengan

ceftriaxone, yang dapat menandingi atau lebih baik daripada kloramfenikol dalam hal

kecepatan penurunan panas. Sejak itu, rekomendasi awal pemberian 7 hari tidak

diturunkan menjadi 3 hari, 3-4 g sekali sehari pada orang dewasa atau 80 mg/kgBB

sekali sehari, selama 5 hari pada anak, tanpa kehilangan daya gunanya (efikasi). Lagi

pula, dibandingkan dengan angka kekambuhan yang berhubungan dengan obat lainnya,

angka kekambuhan tampak lebih rendah pada orang dewasa atau anak-anak yang sedikit

diberi seftriakson; namun, jumlah pasien yang dilaporkan masih sedikit.

Prevalensi S.typhi yang resisten terhadap obat oral garis pertahanan pertama telah

meningkat pada negara sedang berkembang, kadang secara menyolok, karena kemahiran

plasmid menjadikan β-laktamase yang tidak aktif dan enzim kloramfenikol asetil

transferase.

Di daerah dengan resistensi banyak obat ini merupakan masalah, ceftiaxone atau

4-fluorokuinolon sebaiknya digunakan pada permulaan untuk orang dewasa yang berusia

lebih dari 17 tahun, dengan seftriakson sebagai pilihan terbaik untuk anak-anak.

Page 22: Tifoid Kiko

Pemberian kortikosteroid, dapat dilakukan atas indikasi pasien demam tifoid

toksik, dengan dosis dan cara pemberian : oral atau perenteral dalam dosis yang menurun

secara bertahap selama 5 hari : Deksametason 3 mg/KgBB/x (initial), selanjutnya 1

mg/KgBB/ 8 jam (maintenance). Efek sampingnya dapat menyebabkan perdarahan

intestinal dan relaps.

H. PENCEGAHAN

Pada daerah endemik, sanitasi diperbaiki dan bersih, air mengalir sangat penting

untuk mengendalikan demam enterik. Untuk meminimalkan penularan dari orang ke

orang dan kontaminasi makanan, cara-cara higiene personil, cuci tangan, dan perhatian

terhadap praktek-praktek persiapan makanan diperlukan. Upaya untuk memberantas

S.typhi dari pengidap direkomendasi, karena manusia merupakan satu-satunya reservoir

S.typhi. bila upaya demikian tidak berhasil, pengidap harus dicegah bekerja pada

pemrosesan makanan atau air, dan pada jabatan yang terkait dengan perawatan penderita.

Individu ini harus disadarkan pada penularan, dan perlunya cuci tangan dan higiene

perseorangan.

Beberapa vaksin terhadap S.typhi tersedia. Vaksin parenteral yang diinaktifkan

memberikan proteksi terbatas (kemanjuran 51-76%) dan disertai dengan pengaruh yang

merugikan termasuk demam, reaksi lokal dan nyeri kepala pada sekurang-kurangnya

25% penerima. Dua dosis 0,5 mL diberikan Subkutan berjarak empat minggu atau lebih

telah direkomendasikan untuk anak usia 10 tahun atau lebih : 0,25 mL per dosis

direkomendasikan untuk anak yang lebih muda. Vaksin berlisensi baru (vivotif) adalah

preparat oral hidup yang dilemahkan dari strain Ty21a S-typhi. Beberapa penelitian besar

terbukti manjur (67-82%). Vaksi oral tidak dianjurkan pada anak sebelum berusia 6

tahun karena pengalaman yang terbatas.bayi dan anak yang belajar jalan tidak

mengembangkan respon imun terhadap preparat ini. Demikian juga pada penderita

sindrom imunodefisiensi.

I. KOMPLIKASI

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi dalam :

a. Komplikasi intestinal

Terdapat dua komplikasi yang paling umum dari demam enterik adalah perdarahan

intestinal (12%) dan perforasi (3-4,6%).

Page 23: Tifoid Kiko

Dari tahun 1884-1909 (era preantibiotik), angka mortalitas pasien dengan perforasi

intestinal pada demam tifoid adalah 66-90%, tetapi sekarang sudah menurun

signifikan.

Terdapat kesulitan dalam diagnosa pada 25% pasien dengan perforasi dan

peritonitis yang tidak mempunyai temuan fisik yang klasik. Sering, penemuan

cairan intra-abdominal dapat menjaditanda satu-satunya dari perforasi.

b. Manifestasi hepatobiliar

Mild elevasi transaminase tanpa gejala umunya pada pasien dengan demam tifoid.

Jaundice dapat terjadi pada pasien dengan demam enterik dan juga dapat terjadi

pada hepatitis, cholangitis, cholesistitis atau hemolisis.

Pankreatitis dan gagal ginjal akut simultan dan hepatitis dengan hepatomegali telah

dilaporkan.

c. Manifestasi kardiopulmonari

Perubahan nonspesifik elekrokardiograf terjadi 10-15% pada pasien dengan tifoid.

Toksin miokarditis terjadi pada 1-5% pasien dengan tifoid dan merupakan

penyebab kematian pada negara-negara endemi secara signifikan.

Toksin miokarditis terjadi pada pasien sakit berat dan toksemia dan

karakteristiknya berupa takikardia, nadi lemah dan bunyi jantung, hipotensi, dan

abnormalitas elektrokardiograf.

Perikarditis jarang terjadi, tapi terjadi peningkatan kolaps vaskular periferal tanpa

temuan kardiak lainnya. Manifestasi pulmonari telah dilaporkan pada pasien

dengan demam tifoid.

d. Manifestasi neuropsikiatri

Dalam dua dekade terakhir, dilaporkan dari area endemik terdapat manisfestasi

neuropsikiatri yang luas pada demam tifoid.

Disorientasi, delirium dan gelisah merupakan karakteristik fase terakhir tifoid.

Facial Twitching atau konvulsi dapat terjadi, kadang-kadang psikosis paranoid atau

katatonia dapat terjadi selama fase pemulihan. Meningismus, ensephalomielitis,

mielitis, polineuropati, kranial mononeuropati, spastik paraplegi, neuritis kranial

dan perifer, Gullain-Barre sindrom, schizophrenia like illnes, mania dan depresi

dapat terjadi walaupun jarang.

Page 24: Tifoid Kiko

e. Manifestasi hematologi

DIC subklinis sering terjadi, sindrom hemolitik uremik jarang terjadi, dan

hemolisis dapat terjadi pada pasien defisiensi G6PD.

f. Manifestasi genitourinari

25% pasien mengekskresi S.typhii dalam urinnya selama sakit.

Terdapat glomerulonefritis komplek imun dan proteinuri. IgM, antigen C3, dan

antigen S.typhii terdapat di dinding kapiler glomerolus.

Sindrom nefritis dapat menjadi komplikasi bakteriemia yang berhubungan dengan

urinary schistosomiasis.

g. Manifestasi muskuloskeletal

Mempengaruhi dinding abdominal dan otot paha.

Terjadi polimiositis.

h. Manifestasi CNS

Infeksi intrakranial fokal jarang terjadi. Terjadi multipel abses otak.

J. PROGNOSIS

Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh,

jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian

pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%.

Relaps sesudah respon klinis awal terjadi pada 4-8% penderita yang tidak diobati dengan

antibiotik. Pada penderita yang telah mendapat terapi antimikroba yang tepat, manifestasi

klinis relaps menjadi nyata sekitar 2 minggu sesudah penghentian antibiotik dan

menyerupai penyakit akut. Namun relaps biasanya lebih ringan dan lebih pandek. Dapat

terjadi relaps berulang.

Page 25: Tifoid Kiko

TONSILOFARINGITIS

A. ANATOMI

Tonsil umunya sepasang, berupa masa oval yang lokasinya di dinding lateral orofaring.

Meskipun biasanya terbatasa pada orofaring, dengan pertumbuhan yang berlebihan tonsil

dapat membesar ke atas kedalam nasofaring muncul dengan insufisiensi velofaringeal

atau obstruksi nasal. Lebih umum lagi tonsil tumbuh melebar kebawah kedalam

hipofaring, muncul dalam bentuk gangguan obstruksi pernapasan saat tidur. Lokasi

anatominya membuat tonsil kurang terkait dengan penyakit pada tuba eustachius,

komplek telinga tengah dan sinus-sinus. Namun tonsil dan adenoid sering dipengaruhi

secara simultan oleh proses-proses penyakit : infeksi kronik/rekuren dan/atau hiperplasi

obtruktif.

Tonsil palatina adalah suatu jaringan yang terletak pada fossa tonsilaris pada kedua sudut

orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Peran imunitas dari

tonsil adalah sebagai pertahanan primer untuk menginduksi sekresi bahan imun dan

mengatur produksi dari imunoglobulin sekretoris. Peran tonsil mulai aktif pada umur

anatar 4 – 10 tahun dan akan menurun setetlah masa pubertas. Hal ini menjadi alasan

fungsi pertahanan dari tonsil lebih besar pada anak-anak daripada orang dewasa. Anak-

anak mengalami perkembangan daya tahan tubuhnya terhadap infeksi terjadi pada umur

7 – 8 tahun dan tonsil merupakan salah satu organ imunitas pada anak yang memiliki

fungsi imunitas yang luas.

Permukaan dalam tonsil melekat pada fasia melapisi otot konstriktor yang lebih atas.

Batas anterior tonsil adalah otot palatoglossus ( Pilar anterior ) dan batas posteriornya

adalah otot palatofaringeus ( pilar posterior ). Tonsil dapat melebar lebih kebawah

menjadi lanjutan dengan jaringan tonsil lingual pada dasar lidah.

Tonsil disuplai oleh ascending pharyngeal, ascending palatine, dan cabang-cabang dari

arteri lingual dan fasial semua cabang-cabang arteri karotis eksterna. Arteri karotis

interna berada pada kira-kira 2 cm posterolateral dari aspek dalam tonsil, dengan

demikian diperlukan ketelitian agar tetap berada pada bidang pembedahan dari aspek

dalam tonsil, dengan demikian diperlukan ketelitian agar tetap pada bidang

pembedahan/pemotongan yang tepat untuk menghindari luka pada lokasi pembuluh

darah. Aliran utama limfa dari tonsil menuju superior deep cervical and jugular lymoh

nodes. Penyakit peradangan pada tonsil merupakan faktor signifikasn dalam

Page 26: Tifoid Kiko

perkembangan adenitis atau abses servikal pada anak. Inervasi sensoris tonsil berasal dari

n.glosofaringeal dan beberapa cabang-cabang n.palatina melalui ganglion

sphenopalatina.

B. DEFINISI

Tonsilofaringitis akut adalah peradangan pada tonsil dan faring yang masih bersifat

ringan. Radang faring pada anak hampir selalu melibatkan organ sekitarnya sehingga

infeksi pada faring biasanya juga mengenai tonsil sehingga disebut sebagai

tonsilofaringitis ( Ngastiyah,1997 ).

Tonsilofaringitis akut merupakan faringitis akut dan tonsilitis akut yang ditemukan

bersama – sama ( Efiaty, 2002 ).

Page 27: Tifoid Kiko

C. ETIOLOGI

Virus merupakan etiologi terbanyak dari faringitis akut terutama pada anak berusia ≤ 3

tahun. Virus penyebab penyakit respiratori seperti adenovirus,rhinovirus, dan virus

parainfluenza dapat menjadi penyebabnya. Streptococcus beta hemolitikus grup A adalah

bakteri terbanyak penyebab penyakit faringitis atau tonsilofaringitis akut. Bakteri

tersebut mencakup 15-30% pada anak sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5-10%

kasus.mikroorganisme sepertiklamidia dan mikoplasma dilaporkan dapat menyebabkan

infeksi, tetapi sangat jarang terjadi

Faringotonsilitis kronik memiliki faktor predisposisi berupa radang kronik difaring,

seperti rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alcohol,inhalasi uap

dan debu, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,

kelelahan fisik, dan pengobatan tonsillitis akut sebelumnya yangtidak adekuatterjadi

inokulasi dari agen infeksius di faring yang menyebabkan peradangan lokalsehingga

menyebabkan eritem faring, tonsil, atau keduanya. Infeksi streptococcus ditandai dengan

invasi lokal serta penglepasan toksin ekstraseluler dan protease.Transmisi dari virus dan

SBHGA lebih banyak terjadi akibat kontak tangandengan sekret hidung atau droplet

dibandingkan kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang pendek yaitu

24-72 jam

Penyebab tonsilofaringitis bermacam – macam, diantaranya adalah yang tersebut

dibawah ini yaitu :

1. Streptokokus Beta Hemolitikus

2. Streptokokus Viridans

3. Streptokokus Piogenes

4. Virus Influenza

Infeksi ini menular melalui kontak dari sekret hidung dan ludah (droplet infections)

D. PATOFISIOLOGI

Bakteri dan virus masuk masuk dalam tubuh melalui saluran nafas bagian atas akan

menyebabkan infeksi pada hidung atau faring kemudian menyebar melalui sistem limfa

ke tonsil. Adanya bakteri dan virus patogen pada tonsil menyebabkan terjadinya proses

inflamasi dan infeksi sehingga tonsil membesar dan dapat menghambat keluar masuknya

udara. Infeksi juga dapat mengakibatkan kemerahan dan edema pada faring serta

ditemukannya eksudat berwarna putih keabuan pada tonsil sehingga menyebabkan

timbulnya sakit tenggorokan, nyeri telan, demam tinggi bau mulut serta otalgia.

Page 28: Tifoid Kiko

Invasi kuman patogen (bakteri / virus)

Penyebaran limfogen

Faring & tonsil

Proses inflamasi

Tonsilofaringitis akut hipertermi

Edema faring & tonsil

Nyeri telan

Sulit makan & minum

Resiko perubahanstatus nutrisi < dari kebutuhan tubuh

Tonsil & adenoid membesar

Obstruksi pada tuba eustakii

Kurangnya pendengaran

Infeksi sekunder

Otitis media

Gangguan persepsi sensori : pendengaran

Page 29: Tifoid Kiko

E. GEJALA KLINIS

Gejala yang khas akibat bakteri streptococcus berupa nyeri tenggorokandengan awitan

mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala yang biasanyadikeluhkan oleh anak

berusia di atas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri perut, danmuntah. Selain itu juga

didapatkan demam tinggi dan nyeri tenggorok. Gejala seperti rhinorrea, suara serak,

batuk, konjungtivitis, dan diare biasanya disebabkan oleh virus. Kontak dengan pasien

rhinitis dapat ditemukan pada anamnesa.Pada pemeriksaan fisik, tidak semua pasien

tonsilofaringitis akut streptococcus menunjukkan tanda infeksi streptococcus yaitu eritem

pada tonsil dan faring yangdisrtai pembesaran tonsil.Faringitis streptococcus sangat

mungkin jika dijumpai gejala seperti awitan akut disertai mual muntah, faring hiperemis,

demam, nyeri tenggorokan, tonsil bengkak dengan eksudasi, kelenjar getah bening leher

anterior bengkak dan nyeri,uvula bengkak dan merah, ekskoriasi hidung disertai

impetigo sekunder, ruam skarlatina, petekie palatum mole

Tanda khas faringitis difteri adalah membrane asimetris, mudah berdarah, dan berwarna

kelabu pada faring. Pada faringitis akibat virus dapat ditemukan ulkus di palatum mole,

dan didnding faring serta eksudat di palatum dan tonsil. Gejala yang timbul dapat

menghilang dalam 24 jam berlangsung 4-10 hari dengan prognosis baik

Tanda dan gejala tonsilofaringitis akut adalah :

1. nyeri tenggorok

2. nyeri telan

3. sulit menelan

4. demam

5. mual

6. anoreksia

7. kelenjar limfa leher membengkak

8. faring hiperemis

9. edema faring

10. pembesaran tonsil

11. tonsil hiperemia

12. mulut berbau

13. otalgia ( sakit di telinga )

14. malaise

Page 30: Tifoid Kiko

F. DIAGNOSA

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosa

tonsilofaringitis akut adalah pemeriksaan laboratorium meliputi :

o Leukosit : terjadi peningkatan

o Hemoglobin : terjadi penurunan

o Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitifitas obat

G. PENATALAKSANAAN

1. Penatalaksanaan medis

Antibiotik baik injeksi maupun oral seperti cefotaxim, penisilin, amoksisilin,

eritromisin dll

Antipiretik untuk menurunkan demam seperti parasetamol, ibuprofen.

Analgesik

H. KOMPLIKASI

Kejadian komplikasi pada faringitis akut virus sangat jarang. Kompilkasi

biasanyamenggambarkan perluasan infeksi streptococcus dari nasofaring. Beberapa

kasusdapat berlanjut menjadi otitis media purulen bakteri. Pada faringitis bakteri

danvirus dapat ditemukan komplikasi ulkus kronik yang luas. Komplikasi faringitis

bakteri terjadi akibat perluasan langsung atau secara hematogen. Akibat

perluasanlangsung dapat terjadi rinosinusitis, otitis media, mastoiditis, adenitis

servikal,abses retrofaringeal atau faringeal, atau pneumonia. Penyebaran

hematogenSBHGA dapat mengakibatkan meningitis, osteomielitis, atau arthritis

septic,sedangkan komplikasi non supuratif berupa demam reumatik

dangromerulonefritis.

Page 31: Tifoid Kiko

DAFTAR PUSTAKA

Behrman. Et al. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Volume 2. EGC. Jakarta.

Darmowandoyo W. Demam Tifoid. Dalam: Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, eds.

Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi dan Penyakit Tropis edisi ke-1. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI. 2002. Hal 367-75.

Long, Sarah S. et al. 2003. Pediatric Infectius Diseases. Churchill-Livingstone. Philadelphia.

Maurice. M. D. Sc.d. 1994. Modern Nutritional in Health and Disease 9th Edition.

Philadelphia : Lippincott Williams & Watkins.

Rampengan TH, Laurentz IR. 1993. Penyakit infeksi tropik pada anak. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Roni Naning dkk.Faringitis, Tonsillitis, Tonsilofaringitis Akut dalam Respirologi Anak .

Jakarta : IDAI. 2008

Rusmarjono dkk.Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher . Jakarta :FKUI.2007

http://emedicine.medscape.com/article/803258-overview2010

Behrma R, Kliegman R, Arvin A. Nelson Ilmu Kesehatan Anak . Jakarta : EGC.2000

Sudarmo, S dkk. Infeksi Streptococcus grup A dalam Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.

Jakarta:IDAI.2008