Tifoid Kiko
-
Upload
rizky-zulfa-afrida -
Category
Documents
-
view
58 -
download
0
Transcript of Tifoid Kiko
LAPORAN KASUS
1.1. Identitas
Nama : An.R
Usia : 10 tahun
Jenis kelamin : laki-laki
No.CM : 260852
Nama ortu : Tn.A
Pekerjaan : Buruh
Alamat : Cianjur
masuk RS : 2 Maret 2012
1.2. Anamnesis
Keluhan utama
Demam sejak 5 hari sebelum masuk RS
Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh demam sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Demam naik
turun, meningkat saat sore menjelang malam hari. Demam tidak disertai
menggigil, kejang disangkal. Keluhan disertai batuk sejak 5 hari sebelum masuk
RS. Batuk tidak berdahak, batuk berdarah disangkal. Keluhan juga disertai
dengan pilek dan pusing. Nyeri perut, mual dan muntah disangkal. Muntah
disangkal. Nyeri sendi disangkal. Bintik-bintik merah ditubuh disangkal, keluar
darah dari hidung disangkal. Pasien tidak nafsu makan. Pasien belum BAB sudah
5 hari. BAK normal. Nyeri saat BAK disangkal, BAK berdarah disangkal.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien belum pernah sakit seperti ini sebelumnya. Riwayat TB (+) tetapi
pengobatan sudah selesai, riwayat DBD disangkal, riwayat tifoid disangkal.
Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada keluarga yang sakit seperti ini. Tidak ada keluarga yang sedang DBD.
Riwayat psikososial
Pasien sering jajan sembarangan. Sering jajan bakso dan gorengan di pinggir
jalan, suka makan pedas-pedas. Pasien sering minum es.
Riwayat pengobatan
Pasien sudah pernah berobat ke bidan dan diberikan paracetamol tetapi keluhan
tidak berkurang.
1.3. Pemeriksaan fisik
BB : 28 kg
TB : 120 cm
Status gizi : BB/TB : 22/28 x 100% = 78% ( gizi kurang )
BB/U : 25/33 x 100% = 75% ( gizi kurang )
TB/U : 120/140 x100% = 85% ( gizi baik )
Tanda Vital
HR : 110 x/menit
RR : 20 x/menit
s : 37,50 C
STATUS GENERALISATA
KU : composmentis
Kepala : normochepal
Mata : Conjungtiva anemis -/-, sklera icterik -/-
Hidung : Pernapasan cuping hidung (-), sekret yang keluar (-), epistaksis (-)
Mulut : Sianosis (-), coated tongue (+), Tonsil T2a-T2a, faring hiperemis.
Telinga : sekret yang keluar (-)
Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), retraksi supra sternal (-)
Thorax : simetris, retraksi Inter costa (-)
o Cor : BJ I,II murni, murmur (-), gallop (-)
o Pulmo : vesikuler +/+, rh -/-, wh -/-
Abdomen : datar, lembut, retraksi epigastrium (-), nyeri tekan epigastrium (-),
bising usus normal, turgor kulit normal, hepatomegali (-), splenomegali (-).
Ekstremitas : akral hangat +/+ , CRT < 2 detik +/+
1.4. Pemeriksaan penunjang
HASIL NILAI NORMAL
HB 12,2 g/dL 10,5-13,5 g/dL
HCT 36,2 % 30-40 %
WBC 9 x 103/µL 6 – 15 x 103/µL
PLT 250 x 103/µL 150-450 x 103/µL
WIDAL TEST
STH : 1/40
STO : 1/40
1.5. Resume
Anak ♂ 10 th dengan gizi kurang datang dengan keluhan demam sejak 5 hari lalu,
naik turun, meningkat saat sore menjelang malam hari. Batuk tidak berdahak (+),
pilek (+). pusing, (+) nyeri perut (-), mual muntah (-). Nyeri sendi (-). Bintik-bintik
merah (-), epistaksis (-), belum BAB 5 hari. Riwayat TB (+) tetapi pengobatan sudah
selesai.
Pada pemfis ditemukan coated tongue (+), Tonsil T20-T24, faring hiperemis, nyeri
tekan epigastrium (+). Pada pem.widal ditemukan STH 1/40, STO 1/40
1.6. Diagnosa kerja : Obs.febris e.c. typhoid fever + tonsilofaringitis
Doagnosa banding : ISK
1.7. Penatalaksanaan
Inf.RL 21 x 80 96
Cefotaxime iv 2 x 1 gr Ambroxol syrup 3 x 2 cth Paracetamol syrup 3 x 2 cth
1.8. Follow up
2 Maret 2012 3 Maret 2012 5 Maret 2012 6 Maret 2012
S
Demam (-), batuk (+), BAB belum sudah 6 hari, mual (-), nyeri perut (-) , nyeri sendi (-)
Demam (-), batuk (+), BAB belum sudah 7 hari, mual (+), nyeri perut (+), nyeri sendi (+)
Demam (-), batuk (+), BAB belum (+), mual (+), nyeri perut (+), nyeri sendi (+)
Demam (-), batuk (+), BAB belum (+), mual (+), nyeri perut (+) <<, nyeri sendi <<
O
HR : 100x/menitRR : 20 x/menit
T : 370C
Faring hiperemisTonsil T2a-T2a
HR : 96x/menitRR : 20 x/menit
T : 36,50C
Faring hiperemisTonsil T2a-T2a
HR : 96x/menitRR : 20 x/menit
T : 36,50C
Faring hiperemisTonsil T2a-T2a STH : 1/160STO : 1/160
HR : 96x/menitRR : 20 x/menit
T : 36,50C
Faring hiperemisTonsil T2a-T2a
A
Obs.febris e.c. Typhoid fever + tonsilofaringitis
Obs.febris e.c. Typhoid fever + tonsilofaringitis
Typhoid fever + tonsilofaringitis
Typhoid fever + tonsilofaringitis
P
Inf.RL 21 x 80 96Cefotaxime iv 2 x 1 grAmbroxol syrup 3 x 2 cthParacetamol syrup 3 x 2 cth
Inf.RL 21 x 80 96Cefotaxime iv 2 x 1 grAmbroxol syrup 3 x 2 cthRanitidin 2 x 1 ampAntasida syrup 3 x 1 cth (a.c)Paracetamol syrup 3 x 2 cth
Inf.RL 21 x 80 96Cefotaxime iv 2 x 1 grAmbroxol syrup 3 x 2 cthRanitidin 2 x 1 ampAntasida syrup 3 x 1 cth (a.c)Paracetamol syrup 3 x 2 cth
Inf.RL 21 x 80 96Cefotaxime iv 2 x 1 grAmbroxol syrup 3 x 2 cthRanitidin 2 x 1 ampAntasida syrup 3 x 1 cth (a.c)Paracetamol syrup 3 x 2 cthLaxadine syrup 3 x 1 cth
DEMAM TIFOID
A. DEFINISI
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman gram negatif
Salmonella typhi. Selama terjadinya infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel
fagositik mononuclear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah. Demam
Tifoid juga dikenali dengan nama lain yaitu Typhus Abdominalis,Typhoid fever atau
Enteric fever.
B. ETIOLOGI
Salmonella merupakan genus dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella
berbentuk batang, gram (-), anaerob fakultatif, tidak berkapsul dan hampir selalu motil
dengan menggunakan flagela peritrikosa, yang menimbulkan dua atau lebih bentuk
antigen H. S. typhi secara taksonomi dikenal sebagai Salmonella enterica, subspesies
enterica. Selain antigen H, ada 2 polisakarida antigen permukaan yang membantu
mengkarakteristikan S. enterica. Antigen yang pertama yaitu antigen O somatik dan
antigen Vi (virulen) capsular yang berhubungan dengan resistensi terhadap lisis yang
dimediasi oleh komplemen dan resistensi terhadap aktivasi komplemen oleh jalur yang
lain. / melindungi O antigen terhadap fagositosis. Walaupun patogen kuat, kuman ini
tidak bersifat piogenik, namun bersifat menekan pembentukan sel polimorfonuklear dan
eosinofil. Etiologi lainnya yaitu Salmonella paratyphi A, B, C. Jika penyebabnya adalah
S paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh S typhi.
Sumber infeksi S. typhi umumnya manusia, baik orang sakit maupun orang sehat
yang dapat menjadi pembawa kuman. Ada dua sumber penularan S.typhii yaitu pasien
dengan demam tifoid dan yang lebih sering carrier. Di daerah endemik transmisi terjadi
melalui air yang tercemar. Makanan tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan
yang paling sering di daerah non endemik. Carrier adalah orang yang sembuh dari
demam tifoid dan masih terus mengekskresi S.typhii dalam tinja dan air kemih selama
lebih dari satu tahun. Karier menahun umumnya berusia > 50 tahun, lebih sering pada
perempuan, dan sering menderita batu empedu. S. typhi sering berdiam di batu empedu,
bahkan di bagian dalam batu, dan secara intermiten mencapai lumen usus dan
diekskresikan ke feses, sehingga mengkontaminasi air atau makanan. Disfungsi kandung
empedu merupakan predisposisi untuk terjadinya carrier. Kuman-kuman S.typhii berada
di dalam kandung empedu atau dalam dinding kandung empedu yang mengandung
jaringan ikat, akibat radang menahun.
Infeksi umumnya disebarkan melalui jalur fekal-oral dan berhubungan dengan
higienis dan sanitasi yang buruk yaitu melalui makanan yang terkontaminasi kuman yang
berasal dari tinja, kemih atau pus yang positif. Kontaminasi pada susu sangat berbahaya
karena bakteri dapat berkembang biak dalam media ini. Penyebaran umumnya terjadi
melalui air atau kontak langsung. Oleh karena itu pencegahan harus diusahakan melalui
perbaikan sanitasi lingkungan, kebiasaan makanan, proyek MCK (Mandi, Cuci, Kakus),
dan pendidikan kesehatan di puskesmas dan posyandu.
C. EPIDEMIOLOGI
Demam tifoid dan demam paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk
penyakit menular yang tercantum dalam Undang-Undang no.6 tahun 1962 tentang
wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah
menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah.
Walaupun demam tifoid tercantum dalam Undang-Undang wabah dan wajib dilaporkan,
namun data yang lengkap belum ada, sehingga gambaran epidemiologis belum diketahui
secara pasti. Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai dalam bentuk epidemik, tetapi
lebih sering bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu daerah, dan jarang menimbulkan
lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularan biasanya tidak dapat
ditemukan. Ada dua sumber penularan S.typhii : pasien dengan demam tifoid dan yang
lebih sering carrier. Orang-orang tersebut mengekskresi 109-1011 kuman per gram tinja.
Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan tercemar oleh
carrier merupakan sumber penularan yang paling sering di daerah non endemik. Carrier
adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi S.typhii
dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun. Disfungsi kandung empedu
merupakan predisposisi untuk terjadinya carrier. Kuman-kuman S.typhii berada di dalam
kandung empedu atau dalam dinding kandung empedu yang mengandung jaringan ikat,
akibat radang menahun.
Demam tifoid terdapat di seluruh dunia dan penyebarannya tidak bergantung pada
keadaan iklim, tetapi lebih banyak dijumpai di negara-negara sedang berkembang di
daerah tropis. Hal ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan, dan
kebersihan individu kurang baik. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang
tahun. Angka kejadian demam tifoid meningkat pada musim kemarau panjang atau awal
musim hujan. Hal ini banyak dihubungkan dengan meningkatnya populasi lalat pada
musim tersebut dan penyediaan air bersih yang kurang memuaskan. Demam tifoid masih
merupakan masalah besar di Indonesia. Penyakit ini di Indonesia bersifat sporadik
endemik dan timbul sepanjang tahun. Kasus demam tifoid di Indonesia, masih cukup
tinggi berkisar antara 354-810 / 100.000 penduduk pertahun.
Pada pria lebih banyak terpapar dengan kuman S. typhi dibandingkan wanita
karena aktivitas di luar rumah lebih banyak. Semua kelompok umur dapat tertular
penyakit tifoid, tetapi yang banyak adalah golongan umur dewasa tua. Di daerah
endemik tifoid, insidens tertinggi didapatkan pada anak-anak. Orang dewasa sering
mengalami infeksi ringan yang sembuh sendiri dan menjadi kebal. Insidensi pada pasien
yang berumur 12 tahun ke atas adalah, 70-80% pasien berumur antara 12 dan 30 tahun,
10-20% antara umur 30 dan 40 tahun dan hanya 5-10% di atas 40 tahun.
D. PATOFISIOLOGI
Demam tifoid disebabkan oleh masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan
Salmonella paratyphi (S. paratyphi) kedalam tubuh manusia, melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi kuman tersebut. Sebagian kuman dimusnahkan dalam
lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Usus
yang terserang tifus umumnya ileum terminal / distal, tetapi terkadang bagian lain usus
halus dan kolon proksimal juga dapat terinfeksi (Minggu I).
Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan
menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman
akan berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh sel makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak didalam makrofag dan selanjutnya di bawa ke
plaque peyeri di ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika,
selanjutnya melalui duktus toraksikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk
kedalam sirkulasi darah (bakteremia asimptomatik) dan menyebar keseluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau ruang
sinosoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia
kedua kalinya. Pada masa ini, terjadilah gejala-gejala infeksi sitemik.
Didalam hati, kuman berkembang dan selanjutnya masuk kedalam empedu,
berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten kedalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, dan berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella
melepaskan endotoksin yang meningkatkan siklik adenosin monofosfat dan air kedalam
lumen intestinal Endotoksin Salmonella sangat berperan pada patogenesis demam tifoid,
karena menbantu terjadinya proses inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia,
sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, ganguan mental dan gangguan koagulasi.
Didalam plaque peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia
jaringan (S. Typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitifitas type lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ) yang terjadi pada minggu pertama infeksi.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri
uang sedang mangalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel manonuclear
di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini akan berkembang hingga kelapisan
otot, serosa, dan akhirnya dapat mengakibatkan perforasi. Hati membesar karena
infiltrasi sel-sel limfosit dan sel mononuclear lainnya serta nekrosis fokal. Demikian juga
proses ini terjadi pada jaringan retikuloenditelial lain seperti limpa dan kelenjar
mesentrika. Kelainan – kelainan patologis yang sama juga dapat ditemukan pada organ
tubuh lain seperti tulang, usus, pau, ginjal, jantung, empedu mengalir ke dalam usus,
sehingga menjadi karier intestinal.
Demikian juga ginjal dapat mengandung basil dalam waktu lama sehingga juga
menjadi karier (urinary carier). Adapun tempat-tempat yang menyimpan basil ini,
memungkinkan penderita mengalami kekambuhan (relaps).
Patomekanisme munculnya gejala klinis pada demam tifoid :
1. Demam, disebabkan karena peningkatan set point pada pusat thermoregulator di
hipotalamus. Endotoksin dapat secara langsung mempengaruhi termoregulasi di
hipotalamus, dan juga dapat merangsang pelepasan pirogen endogen, yang pada
akhirnya juga mempengaruhi termoregulasi di hipotalamus.
2. Mialgia, sakit kepala dan nyeri abdominal. Merupakan respon dari termoregulator,
dimana terjadi pengaktifan saraf simpatis sehingga terjadi vasokonstriksi dan
pengalihan aliran darah dari tempat-tempat seperti otot lurik, saluran cerna, kulit dan
lainnya yang kurang begitu penting.
3. Hepatomegali dan splenomegali. Karena pada tempat ini terjadi proliferasi
salmonella, juga terjadi infiltrasi limfosit, sel plasma dan sel mononuklear.
4. Bradikardia relatif, terjadi karena pengaruh endotoksin terhadap kerja miokardium.
Faktor-faktor yang menentukan virulensi salmonella : antigen permukaan kapsuler Vi
yang menyebabkan C3 tidak dapat terikat pada permukaan bakteri sehingga fagositosis
terganggu. Endotoksin, suatu komponen lipopolisakarida dari dinding bakteri,
menyebabkan prolonged fever dan gejala-gejala toksik dari demam tifoid, walaupun ada
pendapat yang menyatakan bahwa gejala-gejal ini disebabkan oleh sitokin yang
dihasilkan leukosit terhadap rangsangan endotoksin.
Kelainan patologik terutama terjadi di usus halus, terutama di ileum bagian distal.
Pada minggu pertama penyakit terjadi hiperplasia plaque peyeri, disusul minggu kedua
terjadi nekrosis, dan dalam minggu ketiga terjadi ulserasi plaque peyeri dan selanjutnya
dalam minggu keempat terjadi penyembuhan ulkus dengan meninggalkan sikatriks.
Ulkus dapat menyebabkan perdarahan bahkan sampai perforasi usus.
Hepar membesar dengan infiltrasi limfosit, sel plasma dan sel mononuklear, serta
nekrosis fokal. RES menunjukkan hiperplasia dan kelenjar-kelenjar mesentrial dan limpa
membesar.
Jaringan retikuloendotelial lain juga mengalami perubahan. Kelenjar limfe
mesenterial penuh fagosit sehingga kelenjar membesar dan melunak. Limpa biasanya
juga membesar dan melunak. Hati menunjukkan proliferasi sel polimorfonuklear dan
mengalami nekrosis fokal. Jaringan sistem lain hampir selalu terlibat. Kandung empedu
selalu terinfeksi dan bakteri hidup dalam empedu. Sesudah sembuh, empedu penderita
dapat tetap mengandung bakteri dan Penderita menjadi pembawa kuman.
Sel ginjal mengalami pembengkakan keruh yang mengandung koloni bakteri. Itu
sebabnya pada minggu pertama ditemukan kumannya dalam air kemih. Bila sembuh,
penderita menjadi pembawa kuman yang menularkan lewat kemihnya. Parotitis dan
orkitis kadang ditemukan, sedangkan bronkititis hampir selalu ada dan kadang terjadi
pneumonia. Selain disebabkan oleh basil tifus, pneumonia pada tifus abdominalis lebih
sering terjadi sekunder oleh infeksi pneumokokus.
Otot jantung membengkak dan menjadi lunak serta memberikan gambaran
miokarditis. Biasanya tekanan darah turun dengan nadi lambat (bradikardia relatif) akibat
miokarditis tersebut. Vena sering mengalami trombosis terutama v. femoralis, v. safena
dan sinus di otak. Otot lurik dapat mengalami degenerasi Zenker berupa hilangnya striae
transversales disertai pembengkakan otot. Otot yang sering terserang adalah otot
diafragma, m.rektus abdomis dan otot paha. Hal ini yang mendasari kelemahan otot pada
penderita. Toksin di otot dapat juga menyebabkan ruptura spontan disertai perdarahan
lokal. Infeksi sekunder kemudian menyebabkan abses di otot bersangkutan.
Tulang dapat menunjukkan lesi supuratif berupa abses. Osteomielitis itu dapat
berlangsung sampai bertahun-tahun. Yang paling sering terkena adalah tibia, sternum,
iga dan ruas tulang belakang. Pada demam tifoid sering didapat gambaran piogenik
disertai adanya basil tifus yang dapat hidup di darah. Infeksi di sumsum tulang
ditunjukkan dengan gambaran leukopenia disertai hilangnya sel polimorfonuklear dan
eosinofil dan bertambahnya sel mononuklear.
E. GEJALA KLINIS
Pada minggu pertama terdapat demam remitten yang berangsur makin tinggi dan
hampir selalu disertai dengan nyeri kepala. Biasanya terdapat batuk kering dan tidak
jarang ditemukan epistaksis. Hampir selalu ada rasa tidak enak atau nyeri pada perut.
Konstipasi sering ada, namun diare juga ditemukan.
Pada minggu kedua, demam umumnya tetap tinggi (demam kontinu) dan
penderita tampak sakit berat. Perut tampak distensi dan terdapat gangguan pencernaan.
Diare dapat mulai, kadang disertai perdarahan saluran cerna. Keadaan berat ini
berlangsung sampai dengan minggu ketiga. Selain letargi, penderita mengalami delirium
bahkan sampai koma akibat endotoksemia. Pada minggu ketiga ini tampak gejala fisik
lain berupa bradikardia relatif dengan limpa membesar lunak. Perbaikan dapat mulai
terjadi pada akhir minggu ketiga dengan suhu badan menurun dan keadaan umum
tampak membaik. Tifus abdominalis dapat kambuh satu sampai dua minggu setelah
demam hilang. Kekambuhan ini dapat ringan namun dapat juga berat, dan mungkin
terjadi sampai dua atau tiga kali.
Demam pada tifoid khas karena gejala peningkatan suhu setiap hari seperti naik
tangga sampai dengan 40 atau 410C, yang dikaitkan dengan nyeri kepala, malaise dan
menggigil. Demam menetap yang persisten (4 sampai 8 minggu pada pasien yang tidak
diobati). Pada awal sakit, demamnya kebanyakan samar-samar saja, selanjutnya suhu
tubuh sering naik turun. Pagi rendah atau normal (demam intermitten), sore dan malam
lebih tinggi (demam remitten). Dari hari ke hari intensitas demam makin tinggi, kadang-
kadang terus-menerus (demam kontinyu). Bila pasien membaik maka pada minggu ke-3
suhu badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke-3 suhu
badan berangsur turun dan dapat normal kembali pada akhir minggu ke-3.
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama, bibir
kering dan kadang-kadang pecah-pecah. Lidah kelihatan kotor dan ditutupi selaput putih.
Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor (coated tongue) yang pada penderita anak
jarang ditemukan. Pada umumnya penderita sering mengeluh nyeri perut, terutama regio
epigastrik (nyeri ulu hati). Disertai nausea, mual dan muntah. Pada awal sakit sering
meteorismus dan konstipasi. Pada minggu selanjutnya kadang-kadang timbul diare.
Umumnya terdapat gangguan kesadaran yang kebanyakan berupa penurunan
kesadaran ringan. Sering terdapat apatis dengan kesadaran seperti terkabut (tifoid). Bila
klinis berat, tak jarang penderita sampai somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala
psychosis (Organic Brain Sindrome). Pada penderita dengan toksik gejala delirium lebih
menonjol.
Brandikardi relatif tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis pemeriksaan
yang sulit dilakukan. Brandikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak
diikuti oleh peningkatan frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah bahwa setiap
peningkatan suhu 1oc tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit.
Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan pada demam tifoid seperti rose spot biasanya
ditemukan diregio abdomen atas, serta sudamina, atau gejala-gejala klinis yang dapat
berhubungan dengan komplikasi yang terjadi.
Selanjutnya gejala disebabkan oleh gangguan sistem retikuloendotelial, misalnya
kelainan hematologi, gangguan faal hati dan nyeri perut. Kelompok gejala lainnya
disebabkan oleh komplikasi seperti ulserasi di usus dengan penyulitnya. Masa tunas
biasanya lima sampai empat belas hari, tetapi dapat dapat sampai lima minggu. Pada
kasus ringan dan sedang, penyakit biasanya berlangsung empat minggu. Timbulnya
berangsur, mulai dengan tanda malaise, anoreksia, nyeri kepala, nyeri seluruh badan,
letargi dan demam.
Anak usia sekolah dan pubertas
Minggu-1 sakit :
1. Demam dengan pola peningkatan suhu seperti anak tangga (demam remitten) dan
dapat mencapai suhu 40C.
2. Malaise, anorexia, mialgia, sakit kepala dan nyeri abdominal, terjadi dalam 2-3 hari.
3. Pada awalnya dapat terjadi diare, pada perjalanan penyakit berikutnya lebih banyak
dijumpai konstipasi.
4. Batuk dan epistaksis.
Minggu-2 sakit dan seterusnya :
1. Demam tinggi menjadi terus-menerus.
2. Fatigue, anorexia, batuk dan gejala abdominal menjadi lebih parah.
3. Pasien terlihat sakit berat, disorientasi dan letargik. Delirium dan stupor bsa ditemui.
4. Pada pemeriksaan fisik ditemui bradikardia relatif, yaitu frekuensi nadi yang tidak
sesuai dengan kenaikan suhu badan.
5. Hepatomegali, splenomegali dan distensi abdomen sering dijumpai.
6. Pada 50% pasien, muncul pada hari ke 7 sampai 10 sakit, suatu makula atau
makuopapular rash yang disebut Rose Spots (diskret, eritematus, berdiameter 1-5 mm,
terdapat di atas permukaan kulit dan memucat bila ditekan), yang terdapat di dada
bagian bawah dan abdomen selama kira-kira 2-3 hari lalu kemudian menghilang dan
meninggalkan bekas kecoklatan pada kulit.
7. Ronki dan crakles mungkin terdengar pada auskultasi thoraks.
8. Nausea dan vomitus, jika terjadi pada minggu ke-2 atau 3 menunjukkan suatu
komplikasi. Jika tidak ada komplikasi, gejala dan temuan fisik menghilang bertahap
dalam waktu 2-4 minggu, tetapi malaise dan letargik dapat bertahan hingga 1-2 bulan.
F. DIAGNOSIS
Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik ditemukan :
Demam yang tinggi.
Kelainan makulopapular berupa roseola (rose spot) berdiameter 2-5 mm terdapat
pada kulit perut bagian atas dan dada bagian bawah. Rose spot tersebut agak
meninggi dan dapat menghilang jika ditekan. Kelainan yang berjumlah kurang
lebih 20 buah ini hanya tampak selama dua sampai empat hari pada minggu
pertama. Bintik merah muda juga dapat berubah menjadi perdarahan kecil yang
tidak mudah menghilang yang sulit dilihat pada pasien berkulit gelap (jarang
ditemukan pada orang Indonesia).
Perut distensi disertai dengan nyeri tekan perut.
Bradikardia relatif.
Hepatosplenomegali.
Jantung membesar dan lunak.
Bila sudah terjadi perforasi maka akan didapatkan tekanan sistolik yang menurun,
kesadaran menurun, suhu badan naik, nyeri perut dan defens muskuler akibat
rangsangan peritoneum.
Perdarahan usus sering muncul sebagai anemia. Pada perdarahan hebat mungkin
terjadi syok hipovolemik. Kadang ada pengeluaran melena atau darah segar.
Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak distensi,
bising usus hilang, pekak hati hilang dan perkusi daerah hati menjadi timpani.
Selain itu, pada colok dubur terasa sfingter yang lemah dan ampulanya kosong.
Penderita biasanya mengeluh nyeri perut, muntah dan kurva suhu-denyut nadi
menunjukkan tanda salib maut (Gambar 1-12).
Pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya udara bebas di bawah diafragma,
sering disertai gambaran ileus paralitik.
Laboratorium
Pemeriksaan apus darah tepi penderita memperlihatkan anemia normokromik,
leukopenia dengan hilangnya sel eosinofil dan penurunan jumlah sel
polimorfonuklear. Pada sebagian besar pasien, jumlah sel darah putih normal,
walaupun jumlah tersebut rendah jika dikaitkan dengan tingkat demam. Leukopenia
(<2000 sel per mikroliter) dapat terjadi tetapi jarang sekali. Pada kejadian perforasi
usus atau penyulit piogenik, leukositosis sekunder dapat terjadi. Albuminuria terjadi
pada fase demam. Uji benzidin pada tinja biasanya positif pada minggu ketiga dan
keempat. Kultur Salmonella typhi dari darah pada minggu pertama positif pada 90%
penderita, sedangkan pada akhir minggu ketiga positif pada 50% penderita.
Terkadang pembiakan tetap positif sehingga ia menjadi pembawa kuman. Pembawa
kuman lebih banyak pada orang dewasa daripada anak dan pria lebih banyak
daripada wanita.
Pada akhir minggu kedua dan ketiga pembiakan darah menjadi positif untuk basil
usus. Ini menunjukkan adanya ulserasi di ileum. Jika terjadi perforasi yang diikuti
peritonitis terdapat toksemia basil aerob (E. coli) dan basil anaerob (B. fragilis). Titer
aglutinin O dan H (reaksi Widal) biasanya sejajar dengan grafik demam dan
memuncak pada minggu ketiga. Interpretasinya kadang sulit karena ada imunitas
silang dengan kuman salmonela lain atau karena titer yang tetap meninggi setelah
diimunisasi. Antibodi H dapat ditemukan bahkan pada titer yang lebih tinggi, tetapi
karena reaksi silangnya yang luas maka sulit untuk ditafsirkan. Peninggian antibodi
empat kali lipat pada sediaan berpasangan adalah kriteria yang baik tetapi sedikit
kegunaannya pada pasien yang sakit akut dan dapat menjadi tidak bermanfaat akibat
pengobatan antimikroba yang dini. Semakin dini sediaan awal diambil, maka
semakin mungkin ditemukan peningkatan yang nyata. Antibodi Vi secara khas
meningkat kemudian, setelah 3 sampai 4 minggu sakit, dan kurang berguna pada
diagnosis dini infeksi.
1. Leukosit.
Pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk demam tifoid karena
kebanyakan pada demam tifoid ditemukan jumlah leukosit dalam batas-batas
normal. Pada demam tifoid tidak ditemukan adanya leukopenia, tetapi kadang-
kadang dapat ditemukan leukositosis.
2. SGOT dan SGPT.
SGOT dan SGPT dapat meningkat, tetapi dapat kembali normal setelah demam
tifoid sembuh, sehingga tidak memerlukan pengobatan.
3. Biakan darah.
Biakan darah (+) dapat memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah () tidak
menyingkirkan demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah
tergantung pada beberapa faktor, yaitu :
a. Teknik pemeriksaan laboratorium.
b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.
c. Vaksinasi di masa lampau.
d. Pengobatan dengan obat antimikroba.
4. Uji Widal.
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antibodi (aglutinin) dan antigen
yang bertujuan untuk menentukan adanya antibodi, yaitu aglutinin dalam serum
pasien yang disangka menderita demam tifoid. Antigen yang digunakan pada uji
Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di
laboratorium.
Akibat infeksi oleh Salmonella typhi, maka di dalam tubuh pasien membuat
antibodi (aglutinin), yaitu :
a. Aglutinin O.
Aglutinin O adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen O
yang berasal dari tubuh kuman.
b. Aglutinin H.
Aglutinin H adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen H
yang berasal dari flagela kuman.
c. Aglutinin Vi.
Aglutinin Vi adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen Vi
yang berasal dari simpai kuman.
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar kemungkinan pasien
menderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer Uji Widal akan meningkat
pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang paling sedikit 5 hari.
Pembentukan aglutinin terjadi pada akhir mingu pertama demam, kemudian
meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan tetap
tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O,
kemudian diikuti oleh agglutinin H, pada orang yang sembuh aglutinin O masih
tetap dijumpai setelah 4-6 bulan , sedangkan agglutinin H menetap lebih lama
antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menetukan kesembuhan
penyakit.
Interprestasi uji Widal, yaitu :
• Makin tinggi titernya, maka makin besar kemungkinan pasien menderita
demam tifoid.
• Tidak ada konsensus mengenai tingginya titer uji Widal yang mempunyai nilai
diagnostik pasti untuk demam tifoid.
• Uji Widal positif atau negatif dengan titer rendah tidak menyingkirkan
diagnosis demam tifoid.
• Uji Widal positif dapat disebabkan oleh septikemia karena Salmonella lain.
• Uji Widal bukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan kesembuhan
pasien, karena pada seseorang yang telah sembuh dari demam tifoid, aglutinin
akan tetap berada dalam darah untuk waktu yang lama.
• Uji Widal tidak dapat menentukan spesies Salmonella sebagai penyebab
demam tifoid, karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen
O dan H yang sama, sehingga dapat menimbulkan reaksi aglutinasi yang sama.
5. Kultur Gall (Gall Culture).
G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaannya yaitu :
1. Tirah baring
Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang
lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya
komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara
bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Bila klinis berat penderita harus
istirahat total. Bila terjadi penurunan kesadaran maka posisi tidur pasien harus diubah-
ubah pada waktu tertentu untuk mencegah komplikasi pneumonia hipostatik dan
dekubitus. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-kadang
terjadi obstipasi dan retensi air kemih. Hindari pemasangan kateter urine tetap, bila
tidak ada indikasi.
2. Nutrisi
- Cairan
Penderita harus mendapatkan cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Dosis airan parenteral
adalah sesuai dengan kebutuhan harian (tetesan rumatan). Bila ada komplikasi,
dosis cairan disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan harus mengandung elektrolit
dan kalori yang optimal.
- Diet
Pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi
sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut
dimaksudkan untuk menghindari komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus;
karena ada pendapat, bahwa usus perlu diistirahatkan. Banyak pasien tidak
menyukai bubur saring, karena tidak sesuai dengan selera mereka. Karena mereka
hanya makan sedikit, keadaan umum dan gizi pasien semakin mundur dan masa
penyembuhan menjadi lama. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian
makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa (pantang sayuran
dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.
Karena ada juga pasien demam tifoid yang takut makan nasi, maka selain
macam/bentuk makanan yang diinginkan, terserah pada pasien sendiri apakah mau
makan bubur saring, bubur kasar, atau nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa.
Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulose
(rendah serat) untuk mencegah komplikasi, perdarahan dan perforasi. Diet cair,
bubur lunak (tim) dan nasi biasa bila keadaan penderita baik. Tapi bila penderita
dengan klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair selanjutnya
dirubah secara bertahap sampai padat sesuai dengan tingkat kesembuhan penderita.
Penderita dengan kesadaran menurun diberi diet secara enteral melalui pipa
lambung. Diet parenteral di pertimbangkan bila ada tanda-tanda komplikasi
perdarahan dan atau perforasi.
3 Terapi Simtomatik
Terapi simtomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan keadaan
a. Kloramfenikol
Reaksinya nyata dalam 24 sampai 48 jam setelah dimulainya pengobatan. Dosis untuk
anak-anak 50 mg/kgBB/24 jam per oral atau 75 mg/kgBB/24 jam intravena dalam 4
dosis yang sama. Penyuntikan kloramfenikol suksinat intramuskular tidak dianjurkan
karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri.
Dengan penggunaan kloramfenikol, demam pada demam tifoid turun rata-rata setelah
5 hari.
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid sama dengan kloramfenikol.
Dengan penggunaan tiamfenikol demam pada demam tiofoid dapat turun rata-rata 5-6
hari.
c. Amoksisilin (4 sampai 6 g/hari dalam empat dosis terbagi pada orang dewasa atau 100
mg/kg per hari pada anak). Indikasi mutlak penggunannnya adalah pasien demam
tifoid dengan leukopenia.Dosis yang dianjurkan berkisar antara 75-150 mg/kgBB
sehari,digunakan sampai 7 hari bebas demam.Dengan Amoksisilin dan
Ampisilin,demam rata-rata turun 7-9 hari.
d. Trimetoprim-sulfametoksazol. Efektivitas kotrimoksazol kurang lebih sama dengan
kloramfenikol. Dosis untuk anak-anak 10 mg trimetoprim dan 50 mg sulfametoksazol
secara oral dalam 2 dosis. Dengan kotrimoksazol demam pada demam tifoid turun
rata-rata setelah 5-6 hari.
e. 4-fluorokuinolon seperti siprofloksasin atau oflosaksin pada individu yang berusia
lebih dari 17 tahun.
Berbagai obat intravena juga efektif, dan baik kloramfenikol maupun
trimetoprim-sulfametoksazol dapat diberikan secara intravena pada individu yang tidak
mampu menelan obat per os. Antimikroba parenteral efektif lainnya adalah ampisilin
dosis tinggi, sefotaksim, aztreonam, dan 4-fluorokuinolon. Walaupun demikian, tidak
ada satupun yang aksinya begitu cepat atau begitu efektifnya dibandingkan dengan
ceftriaxone, yang dapat menandingi atau lebih baik daripada kloramfenikol dalam hal
kecepatan penurunan panas. Sejak itu, rekomendasi awal pemberian 7 hari tidak
diturunkan menjadi 3 hari, 3-4 g sekali sehari pada orang dewasa atau 80 mg/kgBB
sekali sehari, selama 5 hari pada anak, tanpa kehilangan daya gunanya (efikasi). Lagi
pula, dibandingkan dengan angka kekambuhan yang berhubungan dengan obat lainnya,
angka kekambuhan tampak lebih rendah pada orang dewasa atau anak-anak yang sedikit
diberi seftriakson; namun, jumlah pasien yang dilaporkan masih sedikit.
Prevalensi S.typhi yang resisten terhadap obat oral garis pertahanan pertama telah
meningkat pada negara sedang berkembang, kadang secara menyolok, karena kemahiran
plasmid menjadikan β-laktamase yang tidak aktif dan enzim kloramfenikol asetil
transferase.
Di daerah dengan resistensi banyak obat ini merupakan masalah, ceftiaxone atau
4-fluorokuinolon sebaiknya digunakan pada permulaan untuk orang dewasa yang berusia
lebih dari 17 tahun, dengan seftriakson sebagai pilihan terbaik untuk anak-anak.
Pemberian kortikosteroid, dapat dilakukan atas indikasi pasien demam tifoid
toksik, dengan dosis dan cara pemberian : oral atau perenteral dalam dosis yang menurun
secara bertahap selama 5 hari : Deksametason 3 mg/KgBB/x (initial), selanjutnya 1
mg/KgBB/ 8 jam (maintenance). Efek sampingnya dapat menyebabkan perdarahan
intestinal dan relaps.
H. PENCEGAHAN
Pada daerah endemik, sanitasi diperbaiki dan bersih, air mengalir sangat penting
untuk mengendalikan demam enterik. Untuk meminimalkan penularan dari orang ke
orang dan kontaminasi makanan, cara-cara higiene personil, cuci tangan, dan perhatian
terhadap praktek-praktek persiapan makanan diperlukan. Upaya untuk memberantas
S.typhi dari pengidap direkomendasi, karena manusia merupakan satu-satunya reservoir
S.typhi. bila upaya demikian tidak berhasil, pengidap harus dicegah bekerja pada
pemrosesan makanan atau air, dan pada jabatan yang terkait dengan perawatan penderita.
Individu ini harus disadarkan pada penularan, dan perlunya cuci tangan dan higiene
perseorangan.
Beberapa vaksin terhadap S.typhi tersedia. Vaksin parenteral yang diinaktifkan
memberikan proteksi terbatas (kemanjuran 51-76%) dan disertai dengan pengaruh yang
merugikan termasuk demam, reaksi lokal dan nyeri kepala pada sekurang-kurangnya
25% penerima. Dua dosis 0,5 mL diberikan Subkutan berjarak empat minggu atau lebih
telah direkomendasikan untuk anak usia 10 tahun atau lebih : 0,25 mL per dosis
direkomendasikan untuk anak yang lebih muda. Vaksin berlisensi baru (vivotif) adalah
preparat oral hidup yang dilemahkan dari strain Ty21a S-typhi. Beberapa penelitian besar
terbukti manjur (67-82%). Vaksi oral tidak dianjurkan pada anak sebelum berusia 6
tahun karena pengalaman yang terbatas.bayi dan anak yang belajar jalan tidak
mengembangkan respon imun terhadap preparat ini. Demikian juga pada penderita
sindrom imunodefisiensi.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi dalam :
a. Komplikasi intestinal
Terdapat dua komplikasi yang paling umum dari demam enterik adalah perdarahan
intestinal (12%) dan perforasi (3-4,6%).
Dari tahun 1884-1909 (era preantibiotik), angka mortalitas pasien dengan perforasi
intestinal pada demam tifoid adalah 66-90%, tetapi sekarang sudah menurun
signifikan.
Terdapat kesulitan dalam diagnosa pada 25% pasien dengan perforasi dan
peritonitis yang tidak mempunyai temuan fisik yang klasik. Sering, penemuan
cairan intra-abdominal dapat menjaditanda satu-satunya dari perforasi.
b. Manifestasi hepatobiliar
Mild elevasi transaminase tanpa gejala umunya pada pasien dengan demam tifoid.
Jaundice dapat terjadi pada pasien dengan demam enterik dan juga dapat terjadi
pada hepatitis, cholangitis, cholesistitis atau hemolisis.
Pankreatitis dan gagal ginjal akut simultan dan hepatitis dengan hepatomegali telah
dilaporkan.
c. Manifestasi kardiopulmonari
Perubahan nonspesifik elekrokardiograf terjadi 10-15% pada pasien dengan tifoid.
Toksin miokarditis terjadi pada 1-5% pasien dengan tifoid dan merupakan
penyebab kematian pada negara-negara endemi secara signifikan.
Toksin miokarditis terjadi pada pasien sakit berat dan toksemia dan
karakteristiknya berupa takikardia, nadi lemah dan bunyi jantung, hipotensi, dan
abnormalitas elektrokardiograf.
Perikarditis jarang terjadi, tapi terjadi peningkatan kolaps vaskular periferal tanpa
temuan kardiak lainnya. Manifestasi pulmonari telah dilaporkan pada pasien
dengan demam tifoid.
d. Manifestasi neuropsikiatri
Dalam dua dekade terakhir, dilaporkan dari area endemik terdapat manisfestasi
neuropsikiatri yang luas pada demam tifoid.
Disorientasi, delirium dan gelisah merupakan karakteristik fase terakhir tifoid.
Facial Twitching atau konvulsi dapat terjadi, kadang-kadang psikosis paranoid atau
katatonia dapat terjadi selama fase pemulihan. Meningismus, ensephalomielitis,
mielitis, polineuropati, kranial mononeuropati, spastik paraplegi, neuritis kranial
dan perifer, Gullain-Barre sindrom, schizophrenia like illnes, mania dan depresi
dapat terjadi walaupun jarang.
e. Manifestasi hematologi
DIC subklinis sering terjadi, sindrom hemolitik uremik jarang terjadi, dan
hemolisis dapat terjadi pada pasien defisiensi G6PD.
f. Manifestasi genitourinari
25% pasien mengekskresi S.typhii dalam urinnya selama sakit.
Terdapat glomerulonefritis komplek imun dan proteinuri. IgM, antigen C3, dan
antigen S.typhii terdapat di dinding kapiler glomerolus.
Sindrom nefritis dapat menjadi komplikasi bakteriemia yang berhubungan dengan
urinary schistosomiasis.
g. Manifestasi muskuloskeletal
Mempengaruhi dinding abdominal dan otot paha.
Terjadi polimiositis.
h. Manifestasi CNS
Infeksi intrakranial fokal jarang terjadi. Terjadi multipel abses otak.
J. PROGNOSIS
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh,
jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian
pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%.
Relaps sesudah respon klinis awal terjadi pada 4-8% penderita yang tidak diobati dengan
antibiotik. Pada penderita yang telah mendapat terapi antimikroba yang tepat, manifestasi
klinis relaps menjadi nyata sekitar 2 minggu sesudah penghentian antibiotik dan
menyerupai penyakit akut. Namun relaps biasanya lebih ringan dan lebih pandek. Dapat
terjadi relaps berulang.
TONSILOFARINGITIS
A. ANATOMI
Tonsil umunya sepasang, berupa masa oval yang lokasinya di dinding lateral orofaring.
Meskipun biasanya terbatasa pada orofaring, dengan pertumbuhan yang berlebihan tonsil
dapat membesar ke atas kedalam nasofaring muncul dengan insufisiensi velofaringeal
atau obstruksi nasal. Lebih umum lagi tonsil tumbuh melebar kebawah kedalam
hipofaring, muncul dalam bentuk gangguan obstruksi pernapasan saat tidur. Lokasi
anatominya membuat tonsil kurang terkait dengan penyakit pada tuba eustachius,
komplek telinga tengah dan sinus-sinus. Namun tonsil dan adenoid sering dipengaruhi
secara simultan oleh proses-proses penyakit : infeksi kronik/rekuren dan/atau hiperplasi
obtruktif.
Tonsil palatina adalah suatu jaringan yang terletak pada fossa tonsilaris pada kedua sudut
orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Peran imunitas dari
tonsil adalah sebagai pertahanan primer untuk menginduksi sekresi bahan imun dan
mengatur produksi dari imunoglobulin sekretoris. Peran tonsil mulai aktif pada umur
anatar 4 – 10 tahun dan akan menurun setetlah masa pubertas. Hal ini menjadi alasan
fungsi pertahanan dari tonsil lebih besar pada anak-anak daripada orang dewasa. Anak-
anak mengalami perkembangan daya tahan tubuhnya terhadap infeksi terjadi pada umur
7 – 8 tahun dan tonsil merupakan salah satu organ imunitas pada anak yang memiliki
fungsi imunitas yang luas.
Permukaan dalam tonsil melekat pada fasia melapisi otot konstriktor yang lebih atas.
Batas anterior tonsil adalah otot palatoglossus ( Pilar anterior ) dan batas posteriornya
adalah otot palatofaringeus ( pilar posterior ). Tonsil dapat melebar lebih kebawah
menjadi lanjutan dengan jaringan tonsil lingual pada dasar lidah.
Tonsil disuplai oleh ascending pharyngeal, ascending palatine, dan cabang-cabang dari
arteri lingual dan fasial semua cabang-cabang arteri karotis eksterna. Arteri karotis
interna berada pada kira-kira 2 cm posterolateral dari aspek dalam tonsil, dengan
demikian diperlukan ketelitian agar tetap berada pada bidang pembedahan dari aspek
dalam tonsil, dengan demikian diperlukan ketelitian agar tetap pada bidang
pembedahan/pemotongan yang tepat untuk menghindari luka pada lokasi pembuluh
darah. Aliran utama limfa dari tonsil menuju superior deep cervical and jugular lymoh
nodes. Penyakit peradangan pada tonsil merupakan faktor signifikasn dalam
perkembangan adenitis atau abses servikal pada anak. Inervasi sensoris tonsil berasal dari
n.glosofaringeal dan beberapa cabang-cabang n.palatina melalui ganglion
sphenopalatina.
B. DEFINISI
Tonsilofaringitis akut adalah peradangan pada tonsil dan faring yang masih bersifat
ringan. Radang faring pada anak hampir selalu melibatkan organ sekitarnya sehingga
infeksi pada faring biasanya juga mengenai tonsil sehingga disebut sebagai
tonsilofaringitis ( Ngastiyah,1997 ).
Tonsilofaringitis akut merupakan faringitis akut dan tonsilitis akut yang ditemukan
bersama – sama ( Efiaty, 2002 ).
C. ETIOLOGI
Virus merupakan etiologi terbanyak dari faringitis akut terutama pada anak berusia ≤ 3
tahun. Virus penyebab penyakit respiratori seperti adenovirus,rhinovirus, dan virus
parainfluenza dapat menjadi penyebabnya. Streptococcus beta hemolitikus grup A adalah
bakteri terbanyak penyebab penyakit faringitis atau tonsilofaringitis akut. Bakteri
tersebut mencakup 15-30% pada anak sedangkan pada dewasa hanya sekitar 5-10%
kasus.mikroorganisme sepertiklamidia dan mikoplasma dilaporkan dapat menyebabkan
infeksi, tetapi sangat jarang terjadi
Faringotonsilitis kronik memiliki faktor predisposisi berupa radang kronik difaring,
seperti rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alcohol,inhalasi uap
dan debu, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik, dan pengobatan tonsillitis akut sebelumnya yangtidak adekuatterjadi
inokulasi dari agen infeksius di faring yang menyebabkan peradangan lokalsehingga
menyebabkan eritem faring, tonsil, atau keduanya. Infeksi streptococcus ditandai dengan
invasi lokal serta penglepasan toksin ekstraseluler dan protease.Transmisi dari virus dan
SBHGA lebih banyak terjadi akibat kontak tangandengan sekret hidung atau droplet
dibandingkan kontak oral. Gejala akan tampak setelah masa inkubasi yang pendek yaitu
24-72 jam
Penyebab tonsilofaringitis bermacam – macam, diantaranya adalah yang tersebut
dibawah ini yaitu :
1. Streptokokus Beta Hemolitikus
2. Streptokokus Viridans
3. Streptokokus Piogenes
4. Virus Influenza
Infeksi ini menular melalui kontak dari sekret hidung dan ludah (droplet infections)
D. PATOFISIOLOGI
Bakteri dan virus masuk masuk dalam tubuh melalui saluran nafas bagian atas akan
menyebabkan infeksi pada hidung atau faring kemudian menyebar melalui sistem limfa
ke tonsil. Adanya bakteri dan virus patogen pada tonsil menyebabkan terjadinya proses
inflamasi dan infeksi sehingga tonsil membesar dan dapat menghambat keluar masuknya
udara. Infeksi juga dapat mengakibatkan kemerahan dan edema pada faring serta
ditemukannya eksudat berwarna putih keabuan pada tonsil sehingga menyebabkan
timbulnya sakit tenggorokan, nyeri telan, demam tinggi bau mulut serta otalgia.
Invasi kuman patogen (bakteri / virus)
Penyebaran limfogen
Faring & tonsil
Proses inflamasi
Tonsilofaringitis akut hipertermi
Edema faring & tonsil
Nyeri telan
Sulit makan & minum
Resiko perubahanstatus nutrisi < dari kebutuhan tubuh
Tonsil & adenoid membesar
Obstruksi pada tuba eustakii
Kurangnya pendengaran
Infeksi sekunder
Otitis media
Gangguan persepsi sensori : pendengaran
E. GEJALA KLINIS
Gejala yang khas akibat bakteri streptococcus berupa nyeri tenggorokandengan awitan
mendadak, disfagia, dan demam. Urutan gejala yang biasanyadikeluhkan oleh anak
berusia di atas 2 tahun adalah nyeri kepala, nyeri perut, danmuntah. Selain itu juga
didapatkan demam tinggi dan nyeri tenggorok. Gejala seperti rhinorrea, suara serak,
batuk, konjungtivitis, dan diare biasanya disebabkan oleh virus. Kontak dengan pasien
rhinitis dapat ditemukan pada anamnesa.Pada pemeriksaan fisik, tidak semua pasien
tonsilofaringitis akut streptococcus menunjukkan tanda infeksi streptococcus yaitu eritem
pada tonsil dan faring yangdisrtai pembesaran tonsil.Faringitis streptococcus sangat
mungkin jika dijumpai gejala seperti awitan akut disertai mual muntah, faring hiperemis,
demam, nyeri tenggorokan, tonsil bengkak dengan eksudasi, kelenjar getah bening leher
anterior bengkak dan nyeri,uvula bengkak dan merah, ekskoriasi hidung disertai
impetigo sekunder, ruam skarlatina, petekie palatum mole
Tanda khas faringitis difteri adalah membrane asimetris, mudah berdarah, dan berwarna
kelabu pada faring. Pada faringitis akibat virus dapat ditemukan ulkus di palatum mole,
dan didnding faring serta eksudat di palatum dan tonsil. Gejala yang timbul dapat
menghilang dalam 24 jam berlangsung 4-10 hari dengan prognosis baik
Tanda dan gejala tonsilofaringitis akut adalah :
1. nyeri tenggorok
2. nyeri telan
3. sulit menelan
4. demam
5. mual
6. anoreksia
7. kelenjar limfa leher membengkak
8. faring hiperemis
9. edema faring
10. pembesaran tonsil
11. tonsil hiperemia
12. mulut berbau
13. otalgia ( sakit di telinga )
14. malaise
F. DIAGNOSA
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnosa
tonsilofaringitis akut adalah pemeriksaan laboratorium meliputi :
o Leukosit : terjadi peningkatan
o Hemoglobin : terjadi penurunan
o Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitifitas obat
G. PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan medis
Antibiotik baik injeksi maupun oral seperti cefotaxim, penisilin, amoksisilin,
eritromisin dll
Antipiretik untuk menurunkan demam seperti parasetamol, ibuprofen.
Analgesik
H. KOMPLIKASI
Kejadian komplikasi pada faringitis akut virus sangat jarang. Kompilkasi
biasanyamenggambarkan perluasan infeksi streptococcus dari nasofaring. Beberapa
kasusdapat berlanjut menjadi otitis media purulen bakteri. Pada faringitis bakteri
danvirus dapat ditemukan komplikasi ulkus kronik yang luas. Komplikasi faringitis
bakteri terjadi akibat perluasan langsung atau secara hematogen. Akibat
perluasanlangsung dapat terjadi rinosinusitis, otitis media, mastoiditis, adenitis
servikal,abses retrofaringeal atau faringeal, atau pneumonia. Penyebaran
hematogenSBHGA dapat mengakibatkan meningitis, osteomielitis, atau arthritis
septic,sedangkan komplikasi non supuratif berupa demam reumatik
dangromerulonefritis.
DAFTAR PUSTAKA
Behrman. Et al. 2000. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Volume 2. EGC. Jakarta.
Darmowandoyo W. Demam Tifoid. Dalam: Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, eds.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi dan Penyakit Tropis edisi ke-1. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2002. Hal 367-75.
Long, Sarah S. et al. 2003. Pediatric Infectius Diseases. Churchill-Livingstone. Philadelphia.
Maurice. M. D. Sc.d. 1994. Modern Nutritional in Health and Disease 9th Edition.
Philadelphia : Lippincott Williams & Watkins.
Rampengan TH, Laurentz IR. 1993. Penyakit infeksi tropik pada anak. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Roni Naning dkk.Faringitis, Tonsillitis, Tonsilofaringitis Akut dalam Respirologi Anak .
Jakarta : IDAI. 2008
Rusmarjono dkk.Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher . Jakarta :FKUI.2007
http://emedicine.medscape.com/article/803258-overview2010
Behrma R, Kliegman R, Arvin A. Nelson Ilmu Kesehatan Anak . Jakarta : EGC.2000
Sudarmo, S dkk. Infeksi Streptococcus grup A dalam Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.
Jakarta:IDAI.2008