Referat Tifoid

23
1. Pendahuluan Demam thypoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella thypi yang berkembang terutama di daerah tropis dan subtropis. Penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah (Simanjuntak, C. H, 2009) Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid, Diseluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian setiap tahunnya. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari pada dewasa. Hampir disemua daerah endemik, insiden demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun (Nugroho, Susilo, 2011) Berdasarkan laporan Ditjen Pelayanan Medis Depkes RI, pada tahun 2008, demam tifoid menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi 3,15%, urutan pertama ditempati oleh diare dengan jumlah kasus 193.856 dengan proporsi 7,52%, urutan ketiga ditempati oleh DBD dengan jumlah kasus 77.539 dengan proporsi 3,01% (Departemen Kesehatan RI. 2009) TYPHOID Page 1

description

referat demam thypoid

Transcript of Referat Tifoid

Page 1: Referat Tifoid

1. Pendahuluan

Demam thypoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella thypi yang berkembang terutama di daerah tropis dan subtropis.

Penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan

lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri

pengolahan makanan yang masih rendah (Simanjuntak, C. H, 2009)

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid, Diseluruh

dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian setiap tahunnya. Demam

tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak maupun

dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala

yang dialami anak lebih ringan dari pada dewasa. Hampir disemua daerah endemik,

insiden demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun (Nugroho, Susilo, 2011)

Berdasarkan laporan Ditjen Pelayanan Medis Depkes RI, pada tahun 2008, demam

tifoid menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat inap di rumah

sakit di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi 3,15%, urutan pertama

ditempati oleh diare dengan jumlah kasus 193.856 dengan proporsi 7,52%, urutan

ketiga ditempati oleh DBD dengan jumlah kasus 77.539 dengan proporsi 3,01%

(Departemen Kesehatan RI. 2009)

2. Definisi

Demam Typhoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang di

sebabkan oleh Salmonella Typhi. Penyebab utama dari penyakit ini adalah

mikroorganisme Salmonella Typhosa dan Salmonella Typhi, A, B, dan C.

Mikroorganisme ini banyak terdapat di kotoran, tinja manusia dan makanan atau

minuman yang terkena mikroorganisme yang di bawa oleh lalat. Sebenarnya sumber

utama dari penyakit ini adalah lingkungan yang kotor dan tidak sehat. Tidak seperti

virus yang dapat beterbangan di udara, mikroorganisme ini hidup di sanitasi yang buruk

seperti lingkungan kumuh, makanan dan minuman yang tidak higienis.

TYPHOID Page 1

Page 2: Referat Tifoid

3. Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella

paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak

membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut

getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam

air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 60ºC) selama

15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan, dan khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai

3 macam antigen, yaitu :

a. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh

kuman.

Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga

endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak

tahanterhadap formaldehid.

b. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili

dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan

terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.

c. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat

melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut di atas

di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam

antibodi yang lazim disebut aglutinin (Antonius, 2010; Made, 2008)

4. Patofisiologi

Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh

melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak

bakteri yang mati. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus,

bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus

dinding usus, tepatnya di ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi

Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai

folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada

yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa.

Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuklear di dalam

TYPHOID Page 2

Page 3: Referat Tifoid

folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe (Soedarmo, Sumarmo S

Poorwo, dkk, 2012).

Setelah melalui periode inkubasi yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan

virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan keluar dari

habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara

ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oeh

Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang belakang, kandung empedu dan

Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara

langsung dari darah atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di

empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. Peran

endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan

tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus.

Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa,

folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin

dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel,

sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang belakang, kelainan

pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik (Soedarmo, Sumarmo S Poorwo,

dkk, 2012).

5. Manifestasi Klinis

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan

penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 – 20 hari. Setelah masa inkubasi maka

ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing

dan tidak bersemangat. Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :

a. Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris

remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh

berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan

meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita

terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh

TYPHOID Page 3

Page 4: Referat Tifoid

beraangsur- angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga

(WHO, 2003)

b. Ganguan pada saluran pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah

(ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan

tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan

keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai

nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin

pula normal bahkan dapat terjadi diare (Antonius, 2010)

c. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu

apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah (WHO,

2003).

6. Diagnosis

a. Anamnesis.

1. Demam lamanya lebih dari 1 minggu, sifatnya sore dan malam hari lebih

tinggi daripada pagi dan siang hari.

2. Gangguan saluran cerna : mulut bau, perut kembung atau tegang dan nyeri

pada perabaan, konstipasi atau diare, tinja berdarah dengan atau tanpa

lendiratau tinja berwarna hitam, anoreksia, muntah.

3. Gangguan kesadaran : lamanya, sifatnya (apatis sampai somnolen)

mengigau, halusinasi, dll.

b. Pemeriksaan Fisik

1. Demam, mulut bau, bibir kering dan pecah-pecah (rhagaden), lidah kotor

(coated tongue) dengan ujung dan tepi kemerahan dan tremor, perut

kembung, pembesaran hati dan limpa yang nyeri pada perabaan.

2. Tanda komplikasi di dalam saluran cerna : Perdarahan usus (tinja berdarah

/ melena), Perforasi usus (pekak hati hilang dengan atau tanpa tanda-tanda

peritonitis, bising usus hilang), Peritonitis (nyeri perut hebat, dinding perut

tegang dan nyeri tekan, bising usus melemah/hilang).

TYPHOID Page 4

Page 5: Referat Tifoid

3. Tanda komplikasi di luar saluran cerna : Meningitis, kolesistitis, hepatitis,

ensefalopati (kesadaran menurun), Bronkhopneumonia, dehidrasi dan

asidosis (Sudoyo, 2008)

c. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai

sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom

normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau

perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia

disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering

hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila

disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun, gambaran hitung jenis

didapatkan limfositosis relatif,aneosinofilia, dapat shift to the left ataupun shift

to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya. Serum Glutamic

Oxaloacetic Transaminase (SGOT) dan Serum Glutamic Pyruvic Transaminase

(SGPT) seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.

2. Diagnosis mikrobiologik/pembiakan kuman

Metode diagnosis mikrobiologik adalah metode yang paling spesifik dan

lebih dari 90% penderita yang tidak diobati, kultur darahnya positif dalam

minggu pertama. Hasil ini menurun drastis setelah pemakaian obat antibiotika,

dimana hasil positip menjadi 40%. Meskipun demikian kultur sum-sum tulang

tetap memperlihatkan hasil yang tinggi yaitu 90% positip. Pada minggu-minggu

selanjutnya hasil kultur darah menurun, tetapi kultur urin meningkat yaitu 85%

dan 25% berturut-turut positip pada minggu ke-3 dan ke-4. Organisme dalam

tinja masih dapat ditemukan selama 3 bulan dari 90% penderita dan kira-kira 3%

penderita tetap mengeluarkan kuman Salmonella typhi dalam tinjanya untuk

jangka waktu yang lama. Pemeriksaan mikrobiologi yang digunakan adalah

Kultur (Gall culture/ Biakan empedu). Uji ini merupakan baku emas (gold

standard) untuk pemeriksaan Demam Tifoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil :

jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk Demam Tifoid/ Paratifoid.

TYPHOID Page 5

Page 6: Referat Tifoid

Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid/ Paratifoid,

karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu

antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera

dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit

sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih

dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah

mendapat vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera

diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara

2-7 hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan

bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk

stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja (Rampengan, 2013)

3. Diagnosis serologic

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam

tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. Typhi

maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji

serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa

antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid

ini meliputi :

a. Uji Widal

Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi

(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam

serum penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi

dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen yang

digunakan pada uij Widal adalah suspensi Salmonella typhi yang sudah

dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk

menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita

demam tifoid. Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O

dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer

aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita

demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada

pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling sedikit 5 hari.

TYPHOID Page 6

Page 7: Referat Tifoid

Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu

memastikan diagnosis demam tifoid. Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai

berikut :

Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut

Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau

pernah menderita infeksi

Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan

untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan

terinfeksi kuman ini. Pada demam tifoid mula mula akan terjadi peningkatan titer

antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama

sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang

yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan

aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih

lambat dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada

pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Banyak senter mengatur

pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang

terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H

banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi

aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier).

a. Tes TUBEX

Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang

sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang

berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan engan

menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada

Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena

hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibody IgG dalam

waktu beberapa menit. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes

TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini

mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Ada 4

TYPHOID Page 7

Page 8: Referat Tifoid

interpretasi hasil :1) Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan

infeksi demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian. 2)

Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid. 3) Skala > 6 adalah

positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid.

b. Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik

IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM

menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap

IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan

infeksi.. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode

Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan

pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M

spesifik. Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila

digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut

yang cepat dan akurat. Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan

sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya

reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan

membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat

digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan

sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa

antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok

dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil

didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.

c. Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak

antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen

flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering

dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah

double antibody sandwich ELISA. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih

memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,

terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga

TYPHOID Page 8

Page 9: Referat Tifoid

perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis

(Rampengan, 2013)

d. Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana

dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. Typhi dengan

menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai

pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.

Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan

alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas

laboratorium yang lengkap (Rampengan, 2013).

7. Terapi

Pengobatan terhadap demam tifoid merupakan gabungan antara pemberian

antibiotik yang sesuai, perawatan penunjang termasuk pemantauan, manajemen cairan,

serta pengenalan dini dan tata laksana terhadap adanya komplikasi (perdarahan usus,

perforasi dan gangguan hemodinamik). Pemilihan antibiotik sebelum dibuktikan adanya

infeksi Samonella dapat dilakukan secara empiris dengan memenuhi kriteria berikut (1)

spektrum sempit, (2) penetrasi ke jaringan cukup, (3) cara pemberian mudah untuk

anak, (4) tidak mudah resisten, (5) efek samping minimal, dan (6) adanya bukti efikasi

klinis. Saat redanya demam (time of fever defervescence) merupakan parameter

keberhasilan pengobatan, dan saat tersebut menentukan efektifitas antibiotik. Bila suhu

turun, berarti membaik, sedang bila menetap mungkin ada infeksi lain, komplikasi, atau

kuman penyebab adalah MDRST (multidrug resistant S.typhi) Penggunaan antibiotik

yang dianjurkan selama ini adalah sebagai berikut : (Tumbelaka, 2003).

1. Lini pertama

a. Kloramfenikol, masih merupakan pilihan pertama dalam urutan antibiotik,

diberikan dengan dosis 50-100 mg/kgBB/hari secara intravena dalam 4 dosis

selama 10-14 hari. Banyak penelitian membuktikan bahwa obat ini masih cukup

sensitif untuk Salmonella typhi namun perhatian khusus harus diberikan pada

kasus dengan leukopenia (tidak dianjurkan pada leukosit <2000/ul)>

b. Ampisilin dengan dosis 150-200 mg/kgBB/hari diberikan peroral/iv selama 14

TYPHOID Page 9

Page 10: Referat Tifoid

hari,

c. Kotrimoksazol dengan dosis 10 mg/kgBB/hari trimetoprim, dibagi 2 dosis, selama

14 hari.

2. Lini ke dua

Diberikan pada kasus-kasus demam tifoid yang disebabkan S.typhi yang

resisten terhadap berbagai obat (MDR=multidrug resistance), yang terdiri atas :

a. Ceftriakson dengan dosis 50-80 mg/kgBB/hari, dosis tunggal selama 10 hari .

Penyembuhan sampai 90% juga dilaporkan pada pengobatan 3-5 hari.

b. Cefixime dengan dosis 10-12 mg/kgBB/hari peroral, dibagi dalam 2 dosis selama 14

hari, adalah alternatif pengganti seftriakson yang cukup handal.

c. Florokuinolon dilaporkan lebih superior daripada derivat sefalosporin diatas, dengan

angka penyembuhan mendekati 100% dalam kesembuhan kinis dan bakteriologis, di

samping kemudahan pemberian secara oral. Namun pemberian obat ini masih

kontroversial dalam pemberian untuk anak mengingat adanya pengaruh buruk

terhadap pertumbuhan kartilago. Siprofloksasin, 10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis,

sudah dipakai untuk pengobatan. Demam biasanya turun dalam 5 hari. Lama

pemberian obat dianjurkan 2-10 hari. Penggunaan obat-obat ini dianjurkan pada

kasus demam tifoid dengan MDR.

d. Asitromisin dengan pemberian 5-7 hari juga telah dicoba dalam beberapa penelitian

dengan hasil baik, berupa penurunan demam sebelum hari ke 4. Aztreonam juga diuji

pada beberapa kasus demam tifoid pada anak dengan hasil baik, namun tidak

dianjurkan sebagai pengobatan lini pertama (Tumbelaka, 2003).

Pengobatan suportif akan sangat sangat menentukan keberhasilan pengobatan

demam tifoid dengan antibiotik. Pemberian cairan dan kalori yang adekuat sangat

penting. Penderita demam tifoid sering menderita demam tinggi, anoreksia dan diare,

sehingga keseimbangan cairan sangat penting diperhatikan. Pemberian antipiretik

masih kontroversial, di satu pihak demam diperlukan untuk efektifitas respons imun

dan pemantauan keberhasilan pengobatan, namun di pihak lain ketakutan akan

terjadinya kejang dan kenyamanan anak terganggu, sering membutuhkan pemberian

antipiretik. Dianjurkan pemberian antipiretik bila suhu di atas 38,5ºC. Terapi dietetik

pada anak dengan demam tifoid tidak seketat penderita dewasa. Makanan bebas serat

TYPHOID Page 10

Page 11: Referat Tifoid

dan mudah dicerna dapat diberikan. Setelah demam turun, dapat diberikan makanan

lebih padat dengan kalori yang adekuat. Pengobatan terhadap demam tifoid dengan

antibiotik memerlukan acuan data adanya angka kejadian demam tifoid yang bersifat

MDR. Pemberian kortikosteroid juga dianjurkan pada demam tifoid berat, misalnya

bila ditemukan status kesadaran delir, stupor, koma, ataupun syok. Deksametason

diberikan dengan dosis awal 3 mg/kbBB, diikuti dengan 1 mg/kgBB setiap 6 jam

selama 2 hari (Tumbelaka, 2003).

8. Pencegahan

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat

agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Pencegahan primer

yang dapat dilakukan adalah dengan mengkonsumsi makanan sehat agar

meningkatkan daya tahan tubuh, memberikan pendidikan kesehatan untuk

menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci tangan yang

benar dengan memakai sabun, peningkatan higiene makanan dan minuman berupa

menggunakan cara-cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian

makanan, sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan, dan

perbaikan sanitasi lingkungan.

Selain itu dapat juga dilakukan dengan cara imunisasi dengan vaksin yang dibuat

dari strain Salmonella typhi yang dilemahkan. Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin

tifoid, yaitu :

1) Vaksin oral Ty 21 a Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang diminum

selang sehari dalam 1 minggu satu jam sebelum makan. Vaksin ini kontraindikasi

pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang mengkonsumsi antibiotik . Lama

proteksi 5 tahun.

2) Vaksin parenteral sel utuh : Typa Bio Farma. Dikenal 2 jenis vaksin yakni, K vaccine

(Acetone in activated) dan L vaccine (Heat in activated-Phenol preserved). Dosis

untuk dewasa 0,5 ml, anak 6 – 12 tahun 0,25 ml dan anak 1 – 5 tahun 0,1 ml yang

diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Efek samping

TYPHOID Page 11

Page 12: Referat Tifoid

adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak dan nyeri pada tempat suntikan.

Kontraindikasi demam,hamil dan riwayat demam pada pemberian pertama.

3) Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin diberikan secara

intramuscular dan booster setiap 3 tahun. Kontraindikasi pada hipersensitif, hamil,

menyusui, sedang demam dan anak umur 2 tahun. Indikasi vaksinasi adalah bila

hendak mengunjungi daerah endemik, orang yang terpapar dengan penderita karier

tifoid dan petugas laboratorium/mikrobiologi kesehatan (Antonius, 2010; Made,

2007).

Dari ketiga vaksin tersebut, yang ada dan tersedia di Indonesia adalah vaksin

polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux.

b. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendiagnosa penyakit secara dini

dan mengadakan pengobatan yang cepat dan tepat

c. Pencegahan Tertier

Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mengurangi keparahan akibat

komplikasi. Apabila telah dinyatakan sembuh dari penyakit demam tifoid sebaiknya

tetap menerapkan pola hidup sehat, sehingga imunitas tubuh tetap terjaga dan dapat

terhindar dari infeksi ulang demam tifoid. Pada penderita demam tifoid yang carier

perlu dilakukan pemerikasaan laboratorium pasca penyembuhan untuk mengetahui

kuman masih ada atau tidak. (Antonius, 2010; Made, 2007).

9. Komplikasi

9.1. Komplikasi Intestinal

a.Perdarahan Usus

Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang

tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita

mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakkan bila

terdapat perdarahan sebanyak 5ml/kgBB/jam.

b.Perforasi Usus

Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada

minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Penderita demam

TYPHOID Page 12

Page 13: Referat Tifoid

tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah

kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar ke seluruh perut. Tanda perforasi

lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun dan bahkan sampai syok.

9.2. Komplikasi Ekstraintestinal

a. Komplikasi kardiovaskuler

Kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis), miokarditis, trombosis dan

tromboflebitis.

b. Komplikasi darah

Anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi intravaskuler diseminata, dan

sindrom uremia hemolitik.

c. Komplikasi paru

Pneumoni, empiema, dan pleuritis

d. Komplikasi hepar dan kandung kemih

Hepatitis dan kolelitiasis

e. Komplikasi ginjal

Glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis

f. Komplikasi tulang

Osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis

g. Komplikasi neuropsikiatrik

Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom

katatonia.

10. Prognosis

Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan

tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan.

TYPHOID Page 13

Page 14: Referat Tifoid

Daftar Pustaka

Alan R. Tumbelaka.2003.Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics

Update. Jakarta ;Ikatan Dokter Anak Indonesia: 37-46

Antonius H. Pudjiadi, Badriul Hegar, Setyo Handryastuti, Nikmah Salamia Idris, Ellen

P. Gandaputra, Eva Devita Harmoniati, penyunting. 2010.Diare Akut. Pedoman

Pelayanan Medis– Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: jilid I. IDAI

Departemen Kesehatan RI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008. Depkes RI,

Jakarta

Garna Henry, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta :

Bagian Ilmu Kesehata Anak FKUI.

Made Tomik Nurya Wardana, Sianny Herawati, I Wayan Putu Sutirta Yasa.

2007.Diagnosis Demam Typhoid dengan Pemeriksaan Widal. Bagian/SMF

Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum

Pusat Sanglah

Rampengan, N, H. 2013.Antibiotik Terapi Demam Typhoid tanpa Komplikasi pada

Anak. Sari Pediatri, Vol. 14, No. 5.

Simanjuntak, C. H, 2009. Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian.

Cermin Dunia Kedokteran No. 83

Soedarmo, Sumarmo S Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis.

Jakarta: IDAI

Sudoyo, Aru W. dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V.Jakarta: Interna

Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam.

WHO. 2003.The Diagnosis, Treatment, and Prevention of Thypoid Fever. Geneva

TYPHOID Page 14