Referat Demam Tifoid Fix

download Referat Demam Tifoid Fix

of 28

description

referat

Transcript of Referat Demam Tifoid Fix

BAB I

PENDAHULUAN

Masalah demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan terpenting di berbagai Negara. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spectrum klinis yang sangat luas. Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Serikat dan 900/100.000/ tahun di Asia (Soedarmo et all., 2010). Perbedaan antara demam tifoid pada anak dan dewasa adalah mortalitas (kematian) demam tifoid pada anak lebih rendah bila dibandingkan dengan dewasa. Risiko terjadinya komplikasi fatal terutama dijumpai pada anak besar dengan gejala klinis berat, yang menyerupai kasus dewasa. Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai gejala klinis ringan (Rezeki, 2008).

Surveilans Departemen Kesehatan RI, frekunesi kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survey berbagai rumah sakit di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606. Insidensi demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidensi di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan (Sudoyo et all., 2009).Case fatality rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di Indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil Survey Kesehatan RumahTangga Departemen Kesehatan RI (SKRT Depkes RI) tahun 1995 demem tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas tertinggi (Sudoyo et all., 2009). Prevalensi 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun (Pudjiadi et all., 2010).Dua tahun setelah kloramfenikol dipakai sebagai obat pilihan utama demam tifoid, dilaporkan adanya resistensi di Inggris, namun sejak tahun 1972 baru merupakan masalah global. Resistensi terhadap kloramfenikol dihubungkan dengan plasmid IncHI. Strain S. enterica serotype typhi ini juga resisten terhadap sulfonamid, tetrasiklin, dan streptomisin. Pada tahun 1980an dan 1990an, S. enterica serotype typhi ini mulai mengembangkan resistensi terhadap seluruh antibiotika lini pertama seperti kloramfenikol, trimetoprim, sulfametoksazol dan ampisilin (Parry CM et al, 2002).

Sekarang ini banyak ditemukan strain yang resisten terhadap kuinolon seperti asam nalidiksat dan dinamakan Nalidixic Acid Resistance Salmonella Typhi (NARST), bahkan ditemukan juga yang mulai kurang sensitif terhadap fluorokuinolon. Resistensi klinik terhadap kuinolon bahkan pernah ditemukan di Indonesia (Parry CM et al, 2002).

Di tempat yang S enterica serotype typhi masih sangat sensitif terhadap kloramfenikol dan sulit menemukan fluorokuinolon, maka kloramfenikol, amoksisilin dan kotrimoksazol bisa menjadi pilihan (Parry CM et al, 2002).

Sekarang ini antibiotika pilihan pertama bergeser ke fluorokuinolon terutama bila kuman penyebab demam tifoid sudah resisten terhadap kuinolon. Bila terdapat strain yang mulai resisten terhadap fluorokuinolon maka pilihan obat terbatas pada azitromisin dan sefalosporin generasi III seperti seftriakson. Seftriakson diberikan dengan dosis 60 mg/kg BB selama 10 14 hari. Pemakaian kuinolon tidak jarang menyebabkan gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, nyeri ulu hati dan diare. Sehingga penerapan teknologi farmasi dilakukan untuk mengurangi hal tersebut, antara lain dengan teknologi biomembran (Parry CM et al, 2002). Kami mengambil topik ini karena penyakit demam tifoid pada anak di Indonesia merupakan salah satu penyebab mortalitas tertinggi. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) jumlah kasus demam tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap tahunnya. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir semua daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun (Rezeki, 2008).BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan epidemiologi

Demam Tifoid atau tifus abdominalis adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhii yang ditularkan melalui makanan yang tercemar oleh tinja dan urine penderita. Demam tifoid disebabkan oleh bakteri gram negative- Salmonella enteric serovar Typhi. S. Paratyphi A, B dan C juga menyebabkan penyakit yang sama namun biasanya lebih ringan (Behrman, 1999).Angka kejadian demam tifoid (typhoid fever) diketahui lebih tinggi pada negara yang sedang berkembang di daerah tropis, sehingga tak heran jika demam tifoid atau tifus abdominalis banyak ditemukan di negara kita. Di Indonesia sendiri, demam tifoid masih merupakan penyakit endemik dan menjadi masalah kesehatan yang serius. Demam tifoid erat kaitannya dengan higiene perorangan dan sanitasi lingkungan (Rezeki, 2008).

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap tahunnya. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir semua daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19 tahun (Rezeki, 2008).

B. Tanda, gejala klinis dan patofisiologi

1. Tanda dan Gejala Klinis

Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 10 20 hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat.

Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu : (Harjono, 1980)

a. Demam

Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.

b. Ganguan pada saluran pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden) . Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.c. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.

2. Patofisiologi

Masuknya kuman Salmonella typhi (S. Typhi) dan Salmonella paratyphi (S. Paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (Ig A) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plague Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteriemia pertama yang simtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini, kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteriemia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.

Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melaui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vascular, gangguan mental, dan koagulasi.

Di dalam plague peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan, dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hyperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuclear di dinding usus. Proses patologi jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan gangguan organ lainnya (herry,2010).

C. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan penunjang untuk menyokong diagnosis (Hassan, 2007):

a. Pemeriksaan darah tepi

Gambaran leukopenia, limfositosis relatif dan aenosinofilia pada permulaan sakit. Dapat ditemukan anemia dan trombositomenia ringan.

b. Pemeriksaan sum-sum tulang

Pemeriksaan ini tidak termasuk pemeriksaan rutin sedrehana. Pada demam tifoid anak terdapat gambaran sum-sum tulang berupa hiperaktif RES dengan ditemukannya sel makrofak, sedangkan sistem eritropoesis, gronulopoesis, dan trombopoesis berkurang.

Table 1. Sensitifitas kultur (Brusch, 2012)

PemeriksaanMasa InkubasiMinggu 1Minggu 2Minggu 3Minggu 4

Aspirasi sum-sum tulang (0,5-1ml)90%, mungkin berkurang setelah 5 hari pemberian antibiotic

Kultur darah (10-3-ml) atau kultur aspirasi duodenum40-60%~20%Variasi (20-60%)

Urin25-30%

2. Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis (Hassan, 2007):

a. Biakan empedu

Biakan empedu bertujuan menemukan salmonela typosa. Basil salmonella typosa dapat ditemukan dalam darah pada minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemkan di dalam urin dan feses dan mungkin akan tetap positif untuk waktu yang lama (Hassan, 2007).

Diagnosis definitif dapat ditegakkan berdasarkan hasil isolasi kuman. Pada spesimen darah, kuman dapat ditemukan paling tinggi pada minggu petama onset, yaitu mencapai angka 90%. Keadaan bakterimia dapat dideteksi pada 50% pasien di minggu ke tiga dan semakin menurun pada minggu selanjutnya (Isselbach, 1999 ).

Biakan feses negatif pada minggu pertama, dan menjadi positif pada 75% pasien selama minggu ketiga. Hingga menjelang minggu kedelapan biakan feses positif hanya pada 10% pasien. Sekitar 3-5% tetap akan positif minimal selama satu tahun. Begitu juga pada biakan urin, akan postif seiringan dengan hasil biakan feses (Isselbach, 1999).

Sementara pada biakan dari aspirat sum-sum tulang, kuman positif pada minggu pertama, bahkan saat biakan darah negatif (Isselbach, 1999) .

b. Pemeriksaan widal

Dasar pemeriksaan ini adalah reaksi aglutinasi bila serum penderita dicampur dengan suspensi antigen salmonella typhosa. Dikatakan positif apabila terjadi reaksi aglutinasi. Untuk membat diagnesos diperlukan titer zat anti terhadap antigen O. Titer bernilai 1/200 atau lebih atau adanya kenaikan yang progresif dapat dijadikan dasar diagnosis. Titer mencapai puncak bersamaan dengan penyembuhan.

Interpretasi Uji Widal (Kosasih, 1984):

1. Titer antigen O sampai 1/80 pada awal penyakit menandakan suspek demam tifoid, kecuali pada pasien yang telah mendapat vaksinasi.

2. Titer antigen O diatas 1/160 menandakan indikasi kuat terhadap demam tifoid.

3. Titer antigen H sampai 1/40 menandakan susek terhadap demam tifoid kecuali pada pasien yang dicaksinasi.

4. Titer antigen H diatas 1/80 mengindikasikan adanya demam tifoid

Namun, tes serologi widal tidak memiliki nilai akurasi yang tinggi untk diagnosis demam tifoid atau tifoid abdominalis. Indonesia merupakan daerah endemis tifoid, sehingga populasi masyarakat indonesia secara konstan terpapar oleh organisme Salmonella thypii, akibatnya pada orang yang tidak sakit pun hasil pemeriksaan widal akan didapatkan titer antibodi yang mungkin lebih tinggi daripada populasi di negara non endemis (Fatmawati, 2012).

Tes Widal dapat memberikan ambang atas titer rujukan yang berbeda-beda antar daerah endemik yang satu dengan yang lainnya, tergantung dai tingkat endemisitasnya. Dengan demikian apabila uji widal masih digunakan dalam menunjang diagnosis demam tifoid maka perlu ditentukan ambang atas titer rujan untuk anak maupun dewasa di tiap daerah (Fatmawati, 2012).

Tes widal sudah digunakan dalam penunjang diagnosis tifoid sejak beberapa dekade lalu. Tes ini mengukur adanya antibodi penyebab aglutinasi yang menyerang antigen H dan O dari Salmonella typhii. Tes widal sudah tidak diterima dalam metode klinik, karena sifatnya yang tidak spesifik dan tidak sensitif (Brusch, 2012).

D. Penegakkan diagnosisSelain ditemukan tanda dan gejala klinis pada pasien, diagnosis dapat ditegakkan setelah pemeriksaan darah tepi dengan adanya penurunan kadar hemoglobin, trombosit, adanya kenaikan laju endapan darah, aneosinofilia, limfopenia, lekupenia, hingga leukositosis. Gold standar penegakan diagnosis demam tifoid yaitu kultur darah atau biakan empedu untuk Salmonela typhii positif. Selain itu juga melalui uji serologi widal yang menunjukkan peningkatan titer antigen (Hendarta, 2005).E. Komplikasi

1. Perdarahan IntestinalJika plak peyer usus mengalami infeksi (terutama ileum terminalis) maka dapat terbentuk tukak atau luka dengan bentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Jika luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah dapat mengakibatkan perdarahan serta perforasi usus. Perdarahan dapat terjadi akibat dua faktor, yaitu faktor luka dan gangguan koagulasi darah. Secara klinis perdarahan akut darurat bedah dapat ditegakkan jika terjadi perdarahan sebanyak 5 ml/KgBB/jam dengan faktor pembekuan dalam batas normal. Angka kematian cukup tinggi akibat kondisi ini (Sudoyo, 2006).2. Perforasi UsusPasien biasanya mengeluhkan nyeri abdomen yang hebat, terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai tanda-tanda ileus. Terdapat tanda-tanda perforasi berupa takikardia, hipotensi, syok, leukositosis dengan pergeseran ke arah kiri. Pada gambaran foto polos abdomen (BNO/3 posisi) ditemukan udara pada rongga peritoneum atau subdiafragma kanan. Faktor yang dapat meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya perforasi adalah usia (biasanya 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita. 3. Komplikasi HematologiKomplikasi hematologik dapat berupa trombositopenia, peningkatan partial thrommboplastin time (PTT), peningkatan fibrin degradation products, dan koagulasi intravaskular diseminata. Trombositopenia dapat terjadi akibat penurunan produksi trombosit di sumsum tulang selama infeksi atau akibat peningkatan destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Sedangkan koagulasi intravaskular diseminata kemungkinan diakibatkan adanya endotoksin yang menyebabkan aktivasi sistem biologik, koagulasi, dan fibrinolisis. Adanya pelepasan kinin, prostaglandin, dan histamin mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi dan kerusakan pembuluh darah yang selanjutnya merangsang mekanisme koagulasi (Sudoyo, 2006).

4. Hepatitis Tifosa

Terjadi pembengkakan hati ringan pada 50% pasien demam tifoid dan biasanya diakibatkan infeksi Salmonella typhii. Untuk membedakan apakah hepatitis diakibatkan tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan adanya kelainan fisik, parameter laboratorium, atau bahkan histopatologi hati. Jika diakibatkan tifoid, terjadi kenaikan enzim transaminase yang tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin. 5. Pankreatitis Tifosa

Diagnosis peyakit ini dapat ditegakkan melalui pemeriksaan enzim amilase, lipase, serta dengan menggunakan USG atau CT-Scan. Terapi untuk kondisi ini sama seperti pankreatitis pada umumnya, yaitu antibiotik (Sudoyo, 2006).6. Miokarditis

Kondisi ini terjadi pada 1-5 % penderita demam tifoid Biasanya pasien mengeluhkan sakit dada, gagal jantung kongestif, aritmia, atau syok kardiogenik (Sudoyo, 2006). 7. Manifestasi Neuropsikiatrik/Tifoid Toksik

Manifestasi neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa disertai kejang, koma atau semi koma, Parkinson rigidity, sindrom otak akut, mioklonus generalisata, meningismus, skizofrenia sitotoksik, mania akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polineuritis perifer, sindrom Guillain-Barre, dan psikosis (Sudoyo, 2006).

Terkadang, pasien demam tifoid mengalami sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, spoor atau koma) dengan atau tanpa kelainan neurologis lainnya. Kondisi ini disebut tifoid toksik (Sudoyo, 2006).

F. Rencana terapi

Tabel 1 Prinsip dan langkah strategis tata laksana Demam Tifoid (Depkes RI, 2006).

1. Medikamentosa

a) Terapi simptomatik

Terapi simptomatik dapat diberikan dengan pertimbangan untuk perbaikan keadaan umum penderita (Depkes RI, 2006) :

1) Roboransia / vitamin

2) Antipiretik

Antipiretik untk kenyamanan penderita, terutama untuk anak-anak

3) Antiemetik

Anti emetik diperlukan bila penderita muntah hebat.

b) Anti mikroba

Anti mikroba yang dipilih harus mempertimbangkan (Depkes RI, 2006) :

1) Telah dikenal sensitif dan potensial untuk tifoid

2) Mempunyai sifat farmakokinetik yang dapat berprenetrasi dengan baik ke jaringan serta mempunyai afinitas yang tinggi menuju organ sasaran

3) Berspektrum sempit

4) Cara pemberian yang mudah dan dapat ditoleransi dengan baik oleh penderita termasuk anak dan wanita hamil

5) Efek samping yang minimal

6) Tidak mudah resisten dan efektif mencegah kanker.

Tabel 2 Antimikroba untuk penderita demam tifoid (Depkes RI, 2006).

Antimikroba yang diberikan sebagai terapi adalah dari kelompok anti mikroba lini pertama untuk tifoid. Pilihan ini sesuai dengan kepekaan tertinggi pada suatu daerah, Karena lain daerah akan berbeda tingkat kepekaan antimikroba. Sampai saat ini kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps. Kejadian relaps dan karier pada anak jarang dilaporkan (Depkes RI, 2006). Antimikroba lini pertama untuk tifoid adalah (Depkes RI, 2006):

1) Kloramfenikol

2) Ampisillin atau Amoxicillin (aman untuk penderita yang sedang hamil)

3) Trimetropin-sulfametoksazol

Bila pemberian salah satu anti mikroba lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan anti mikroba yang lain atau dipilih anti mikroba lini kedua. Antimikroba lini kedua untuk tifoid adalah (Depkes RI, 2006) :

1) Seftriakson (diberikan untuk dewasa dan anak)

2) Cefixim (efektif untuk anak)

3) Quinolone (tidak dianjurkan untuk anak < 18 tahun, karena dinilai mengganggu pertumbuhan tulang)

c) Terapi komplikasi tifoid

1) Tifoid toksik

Antimikroba yang dipilih adalah pemberian parenteral dan dapat ganda (spektrum luas) seperti kombinasi ampisilin dengan kloramfenikol. Pemberian kortikosteroid seperti dexamethasone dengan dosis 4x10 mg intravena. Dosis untuk anak 1-3 mb/kgBB/hari selama 3-5 hari. Pada penderita ini dilakukan perawatan secara intensif (Depkes RI, 2006).

2) Syok septik

Penderita dirawat secara intensif. Antimikroba dipilih pemberian parenteral dan dapat ganda (spectrum luas) seperti pada tifoid toksik. Obat-obatan vasoaktif (seperti dopamine) dipertimbangkan bila syok mengarah irreversible (Depkes RI, 2006).

3) Perdarahan dan perforasi

Penderita dirawat secara intensif. Dipertimbangkan transfusi darah bila telah indikasi. Segera transfusi bila telah terjadi perdarahan akut, dimana perdarahan terjadi sebanyak 5ml/kgBB/jam dan pemeriksaan hemostasis normal. Bila perforasi dilakukan :

i. Rawat bersama dengan dokter bedah

ii. Operasi cito bila telah indikasi

iii. Beri antibiotik spectrum luas untuk terapi tifoid dan infeksi kontaminasi usus. Dipilih antibiotika dengan pemberian parenteral, seperti ampisilin + kloramfenikol + Metronidazol.

iv. Bila perforasi, perlu resusitasi cairan, puasa, pasag tube hidung dan lambung. Diet parenteral serta monitor keseimbangan cairan (bila perlu dipasang kateter urin) (Depkes RI, 2006).

4) Komplikasi lain

Komplikasi lain diobati sesuai indikasi. Disamping itu obat-obatan dan prosedur perawtan definitif untuk tifoid tetap diberikan (Depkes RI, 2006).

2. Non medikamentosa

Pada demam tifoid, dengan gambaran klinik jelas sebaiknya dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada fasilitas perawatan (Depkes RI, 2006).

Tujuan perawatan adalah optimalisasi pengobatan dan mempercepat penyembuhan, observasi terhadap perjalanan penyakit, minimalisasi komplikasi dan isolasi untuk menjamin pencegahan terhadap pencemaran dan atau kontaminasi (Depkes RI, 2006).

a) Tirah baring

Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila terjadi penurunan kesadaran maka posisi tidur pasien harus diubah-ubah pada waktu tertentu untuk mencegah komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan penderita. Buang air besar dan kecil sebaiknya dibantu oleh perawat. Hindari pemasangan kateter urin tetap, bila tidak indikasi betul (Depkes RI, 2006).

b) Nutrisi

1) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Dosisi cairan parenteral adalah sesuai dengan kebutuhan harian (tetesan rumatan). Bila ada komplikasi dosis cairan disesuaikan dengan kebutuhan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal (Depkes RI, 2006).

2) Diet

Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid, biasaya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim, dan nasi biasa. Bila keadaan penderita baik, diet dapat dimulai dengan diet padat atau tim (diet padat dini). Tapi bila penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair yang selanjutnya diubah secara bertahap sampai padat sesuai dengan tingkat kesembuhan penderita. Penderita dengan kesadaran menurun diberi diet secara enteral melalui pipa lambung. Diet parenteral dipertimbangkan bila ada tanda-tanda komplikasi perdarahan dan atau perforasi (Depkes RI, 2006).

c) Kontrol dan monitor dalam perawatan

Tujuan dari kontrol dan monitor adalah (Depkes RI, 2006):

1) Mengetahui keberhasilan pengobatan

2) Perubahan terapi dan penghentian terapi

3) Program mobilisasi

4) Program perubahan diet

5) Indikasi pulang perawatan

Hal-hal yang menjadi prioritas untuk dimonitor adalah (Depkes RI, 2006) :

1) Suhu tubuh (status demam) serta petanda vital lain

Petanda vital (suhu, nadi, nafas, tekanan darah) harus diukur secara serial. Kurva harus dibuat sempurna pada lembaran rekam medik.

2) Keseimbangan cairan

Cairan yang masuk (infuse atau minum) dan cairan tubuh yang keluar (urine, feses) harus seimbang

3) Deteksi dini terhadap timbulnya komplikasi

4) Adanya koinfeksi dan atau komorbid dengan penyakit lain

5) Efek samping dan atau efek toksik obat

6) Resistensi anti mikroba

7) Kemajuan pengobatan secara umum

G. PrognosisPrognosis penderita demam tifoid bergantung pada diberikannya terapi dengan segera, usia penderita, kondisi kesehatan sebelumnya, serotip Salmonella penyebab, dan adanya komplikasi. Biasanya, angka mortalitas demam tifoid di negara berkembang lebih tinggi jika dibandingkan dengan di negara maju yang dapat disebabkan oleh keterlambatan diagnosis, rawat inap di rumah sakit, dan pengobatan. Infeksi oleh Salmonella typhii biasanya aan menyebabkan angka kematian dan komplikasi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan serotip lain. Adanya komplikasi seperti perforasi saluran pencernaan atau perdarahan berat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia akan meningatkan risiko terjadinya kematian (Behrman, 1999).

BAB III

PEMBAHASAN

A. Teori baru mengenai penatalaksanaan

1. DiagnosisDiagnosis didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang yang diperlukan. Kesulitan akan muncul apabila secara klinik tidak jelas terutama pada endemik. Namun bila di daerah endemik ditemukan penderita dengan demam lebih dari satu minggu dapat diduga demam tifoid sampai terbukti lain (Hoffman dan Lee, 2000).

Kultur darah merupakan diagnostik yang perlu dilakukan untuk menemukan kuman penyebab. Diperlukan jumlah darah SAMPELNYA APA? WHOLE BLOOD? TEHNIK YANG DIGUNAKAN APA? yang cukup (sekitar 15 ml) dan biasanya 60 80 % memberikan hasil positif. Kultur sumsum tulang memberikan hasil positif yang lebih baik (80 95 %) dan tidak tergantung apakah penderita sudah memakan antibiotika beberapa hari sebelumnya.atau tidak. Permasalahan yang timbul adalah bahwa fasilitas pemeriksaan mikrobiologik tidak selalu tersedia di setiap pusat layanan kesehatan, bahkan bila adapun tampaknya pemeriksaan ini belum menjadi kebiasaan KENAPA TDK JADI KEBIASAAN ?(Hoffman dan Lee, 2000).

Pemeriksaan serologi yang sering dilakukan adalah pemeriksaan uji Widal. Keandalan pemeriksaan Widal saat ini masih kontroversial, karena sensitivitas, spesifisitas dan nilai duganya sangat bergantung kepada tempat pemeriksaan, bergantung kepada apakah tempat tersebut endemik demam tifoid, jadi ada pengaruh faktor geografi. Tiap tempat perlu menentukan nilai cut off yang dipakai untuk menetukan niali diagnostik uji Widal tersebut DI INDONESIA CUT OFF NYA BERAPA ? (Hoesani, 1994).

Telah dikembangkan juga pemeriksaan dengan menggunakan IgM Typhi dipstick, DOT-EIA-OMPyang memberikan hasil cukup baik pada pasien yang secara klinik sesuai dengan tampilan demam tifoid KAPAN TES INI BISA DILAKUKAN ?(Probohoesodo et al, 2001).

Gambaran hematologi pada penderita demam tifoid tidaklah terlalu spesifik. Trombositopenia dapat menandai kasus yang berat dan menyertai koagulasi intravaskuler diseminata (Hoffman dan Lee, 2000).

2. TatalaksanaDi tempat yang S enteric serotype typhi masih sangat sensitif terhadap kloramfenikol dan sulit menemukan fluorokuinolon, maka kloramfenikol, amoksisilin dan kotrimoksazol bisa menjadi pilihan (Parry CM et al, 2002).Sekarang ini antibiotika pilihan pertama bergeser ke fluorokuinolon terutama bila kuman penyebab demam tifoid sudah resisten terhadap kuinolon. Bila terdapat strain yang mulai resisten terhadap fluorokuinolon maka pilihan obat terbatas pada azitromisin dan sefalosporin generasi III seperti seftriakson. Seftriakson diberikan dengan dosis 60 mg/kg BB selama 10 14 hari (Parry CM et al, 2002) Pengobatan Demam Tifoid tanpa Komplikasi

Tabel 3 Dikutipdari Parry CM et al, 2002

KepekaanObat oral linipertamaObat oral linikedua

AntibiotikDosisharian (mg/kg) HariAntibiotikDosisharian (mg/kg) Hari

SangatpekaFluorokuinolon(mis: ofloksasin) 15 5 - 7 KloramfenikolAmoksisilinTrimetoprim- Sulfametoksazol50 75 75 100 8 40 14 21 14 14

ResistenObatGanda (MDR) Fluorokuinolon15 5 7 AzitromisinSefalosporin gen 3 (mis: sefiksim) 8 10 20 7 7 14

ResistenkuinolonAzitromisinatauFluorokuinolon8 10 20 7 10 - 14 Sefalosporin gen 3 (mis: sefiksim) 20 7 14

Pengobatan Demam Tifoid dengan Komplikasi

Tabel 3 Dikutip dari Parry CM et al, 2002

KepekaanObat Parenteral lini pertamaObat Perenteral lini kedua

AntibiotikDosis harian (mg/kg) HariAntibiotikDosis harian (mg/kg) Hari

SangatpekaFluorokuinolon (mis: ofloksasin) 15 10 - 14 KloramfenikolAmpisilinTrimetoprim Sulfamtoksazol100 100 8 40 14 21 10 14 10 14

Resisten Obat Ganda (MDR) Fluorokuinolon15 10 - 14 Seftriaksonatausefotaksim60 80 10 14 10 14

ResistenkuinolonSeftriaksoneatausefotaksim60 80 10 - 14 Fluorokuinolon20 10 14

Pemakaian kuinolon tidak jarang menyebabkan gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, nyeri ulu hati dan diare. Sehingga penerapan teknologi farmasi dilakukan untuk mengurangi hal tersebut, antara lain dengan teknologi biomembran (Parry CM et al, 2002).Pada bagian anak sendiri, Kloramfenikol sampai saat ini masih merupakan pengobatan lini pertama untuk demam tifoid pada anak yang dirawat di Departemen Ilmu Kesehatan RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.Namun saat ini banyak dilaporkan adanya keadaan multidrug resistance Salmonella typhi (MDSRT), seperti dilaporkan di Pakistan, Mesir, dan Thailand. Maka untuk kasus MDRST diberikan pilihan pengobatan lini kedua yaitu seftriakson atau kuinolon. Namun karena penggunaan kuinolon masih kontroversi untuk anak mengingat dapat menyebabkan artropati, maka seftriakson menjadi pilihan kedua untuk demam tifoid pada anak (Satari dan Sondang, 2010).

Perbedaan yang mendasar pada kedua antibiotik ini adalah lama demam turun lebih cepat sehingga lama terapi lebih singkat, efek samping lebih ringan, dan angka kekambuhan yang lebih rendah pada penggunaan seftriakson dibandingkan kloramfenikol. Durasi terapi seftriakson bervariasi antara 3 -10 hari dengan waktu demam turun rata-rata empat hari, dan aman diberikan pada anak dengan dosis antara 50-100 mg/kg/hari (Satari dan Sondang, 2010).

Antibiotik empiris yang tepat sangat bermakna menurunkan morbiditas dan mortalitas. Pemberian seftriakson sebagai terapi empiris pada pasien demam tifoid secara bermakna dapat mengurangi lama pengobatan dibandingkan dengan pemberian jangka panjang kloramfenikol. Hal lain yang menguntungkan adalah efek samping dan angka kekambuhan yang lebih rendah, serta lama demam turun yang lebih cepat (Sidabutar dan Satari, 2010).

3. Prognosis dan Komplikasi

Prognosis penderita demam tifoid bergantung pada diberikannya terapi dengan segera, usia penderita, kondisi kesehatan sebelumnya, serotip Salmonella penyebab, dan adanya komplikasi. Biasanya, angka mortalitas demam tifoid di negara berkembang lebih tinggi jika dibandingkan dengan di negara maju yang dapat disebabkan oleh keterlambatan diagnosis, rawat inap di rumah sakit, dan pengobatan. Infeksi oleh Salmonella typhii biasanya aan menyebabkan angka kematian dan komplikasi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan serotip lain. Adanya komplikasi seperti perforasi saluran pencernaan atau perdarahan berat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia akan meningatkan risiko terjadinya kematian (Behrman, 1999).B. Kekurangan dan kelebihan

1. Kekurangan dan kelebihan teori lama

a. Kekurangan teori lama, yaiotu : (Tumbaleka, 2003)1) Tidak dapat menurunkan angka kekambuhan

2) Tidak berpengaruh pada eksretor konvalesen atau karier kronis

3) Mengakibatkan anemia aplastik pada 1 : 10.000-50.000 penderita

4) Tidak dapat digunakan pada S. typhi yang resisten terhadap kloramfenikol.

b. Kelebihan teori baru dibandingkan teori sebelumnya: (Tumbaleka, 2003)

1) Harga murah

2) Mudah diperoleh

3) Jarang menimbulkan efek samping dalam pemakaian yang singkat

4) Demam turun dalam waktu singkat (3-4 hari terapi)

5) Meningkatkan angka kesembuhan ( 90%)

6) Menurunkan mortalitas (10-15% menjadi 1-4%)

2. Kekurangan dan kelebihan teori barua. Kekurangan teori baru, yaitu :

1) Obatnya cukup sulit ditemukan

C. Harapan untuk penatalaksanaan

Harapan kami terkait penatalakasanaan penyakit Demam Tifoid Anak ini mengingat penularan penyakit cukup tinggi maka dari itu diperlukan upaya pengendalian demam tifoid dengan pemeriksaan berkala, pengobatan, pengamatan penyakit, perbaikan kesehatan lingkungan dan penyuluhan kesehatan.

BAB IV

KESIMPULAN

1. Pasien demam tifoid memiliki gejala klinis berupa demam selama tiga minggu, napas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah, perut kembung, konstipasi, dan dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran.

2. Demam tifoid terjadi akibat adanya kuman Salmonella typhii dan Salmonella paratyphii yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang terkontaminasi dan terjadinya kelemahan pada sistem pertahanan tubuh penderita.

3. Diagnosis demam tifoid dapat ditegakan melalui beberapa pemeriksaan penunjang, yaitu pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan sumsum tulang, biakan empedu, dan pemeriksaan widal.

4. Terapi farmakologis untuk penderita demam tifoid dapat berupa pemberian obat-obat golongan anti piretik, anti emetik, anti mikroba (misalnya kloramfenikol, seftriakson, amoksisilin, kotrimoksasol, dll.).

5. Terapi non farmakologis untuk penderita demam tifoid dapat berupa istirahat tirah baring, pemberian cairan yang cukup, diet cukup kalori dan protein serta rendah serat dan control kondisi pasien selama masa perawatan.

6. Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh demam tifoid antara lain, perdarahan intestinal, perforasi usus, komplikasi hematologi, hepatitis tifosa, pankreatitis tifosa, miokarditis, dan manifestasi neuropskiatrik.7. Prognosis penderita demam tifoid ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya adalah adanya terapi segera pada penderita, usia penderita, kondisi kesehatan penderita sebelumnya, serotip Salmonella penyebab, dan adanya komplikasi.

DAFTAR PUSTAKA

Behrman, Richard E., Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. 2 Ed. 15. Jakarta: EGC.

Brusch JL. 2012. Typhoid Fever Workup. Medscape Reference Drugs, Disease & Procedure.

Depkes RI. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid dalam : Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2006. Jakarta.

Fatmawati A. 2012. Uji Diagnostik Tes Serologi Widal Dibandingkan Dengan Kultur Darah Sebagai Baku Emas Untuk Diagnosis Demam Tifoid Pada Anak Di RSUP DR. Kariadi Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.Ganong, WF. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta: EGC.

Garna Herry, dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI.

Harjono H. Problem demam tifoid di Indonesia dan khususnya di Jakarta. Dalam Simposium demam tifoid;Jakarta, 1980: 1-10.Hassan R., Alatas H. 2007. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Hendarta DS. 2005 . Demam Tifoid. Artikel Medicine Universitas Islam Indonesia

Hoesaeni D. 1994. Ujidiagnostik test Widalpadapenderitademamtifoid yang dirawat di Bagian/SMF PenyakitDalam RS HasanSadikin, Tesis. Bandung.

Isselbacher, 1999. Harrizon Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam vol.2. Salmonelosis. Jakarta: EGC

Kosasih EN. 1984. Pemeriksaan Laboratorium Klinik. Bandung: Penerbit Alumni.

Lee TP, Hoffman SL. 2000. Typhoid fever, IN: Strickland GT, editor. Hunters Tropical Medicine and Emerging Infectious Diseases. 8thedition. Philadelphia: W.B. Saunders Company.

Parry CM, Hoa NTT, Diep TS, Wain J, Chinh NT, Vinh H et al. 1999.Value of single-tube Widal test in diagnosis of typhoid fever in Vietnam. J ClinMicrobiol vol. 37: 2882-2886. INI TIDAK SINGKRON DENGAN YANG DIATAS TAHUNNYA 2002, TAPI INI THN 1999. MOHON DI CEK YANG MANA YANG BETUL !!!Purwaningsih S, Handojo I, Prihatini, Probohoesodo Y.2001.Diagnostic value of dot-enzyme-immunoassay test tp detect outer membrane protein antigen in sera of patients with typoid fever. Southeast Asian J Trop med Public Healthvol 32: 507-512.Rezeki, Sri. 2008. Demam Tifoid pada Anak. Jakarta : FKUISidabutar, Sondang dan Hindra Irawan Satari. 2010. Pilihan Terapi Empiris Demam Tifoid pada Anak : Kloramfenikol atau Seftriakson?. Jurnal Sari Pediatri, Vol. 11, No. 6.

Tumbelaka, R. A. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003CARI REFERENSI DIATAS 2006 !!!

1