Tifoid Preskas
-
Upload
raisadesytaa -
Category
Documents
-
view
11 -
download
3
description
Transcript of Tifoid Preskas
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Salmonella
Thypi (S. Typhi) dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan saluran
pencernaan dan gangguan kesadaran.
2. Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World
Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus
demam tifoid di seluruh duna dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di
Negara berkembang, kasus demam tifoid dilapokan sebagai penyakit endemis dimana
95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenaranya adalah 15-25 kali
lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit.
3. Etiologi dan predisposisi4,5,6
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip, tidak
membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut
getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas seperti di dalam
air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan pemanasan (suhu 600°C) selama
15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3
macam antigen, yaitu :
a. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian
ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini
tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
1
b. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili dari kuman.
Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid
tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
c. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi
kuman terhadap fagositosis.
Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan
pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya demam tifoid yaitu diantaranya adalah
sebagai berikut:
a. Faktor Host
Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya penularan
Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman
yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya keluar bersama dengan tinja atau
urine. Dapat juga terjadi trasmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam
bakterimia kepada bayinya (Soedarno, 2002).
b. Faktor Agent
Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang dapat
menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 – 109 kuman yang tertelan melalui makanan
dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah Salmonella thypi yang tertelan,
maka semakin pendek masa inkubasi penyakit demam tifoid (Syahrurahman, 1994).
c. Faktor Environment
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah tropis
terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar
hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang mempercepat terjadinya penyebaran
demam tifoid adalah urbanisasi, kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart
hygiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. Berdasarkan hasil penelitian
Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) menunjukkan bahwa higiene perorangan yang
kurang, mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid 20,8 kali lebih besar
dibandingkan dengan yang higiene perorangan yang baik.
2
4. Patofisiologi1
Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui fecal-oral
transmittion melalui orang ke orang maupun melalui perantaraan makanan dan minuman
yang tidak higienis yang terkontaminasi dengan feces atau urine. Sesampainya di
lambung sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung, dan sebagian lagi
masuk usus halus. Penyakit yang timbul tergantung pada beberapa faktor, antara lain (1)
jumlah organisme yang ditelan, (2) kadar keasaman dalam lambung. Untuk dapat
menimbulkan infeksi, diperlukan S. typhi sebanyak 105-109 yang tertelan. Sesampainya di
lambung sebagian kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung. Namun tidak semua
bakteri tersebut mati. Jumlah bakteri yang mampu bertahan hidup bergantung pada
keasaman lambung tersebut. Bakteri yang mampu bertahan hidup masuk ke dalam lumen
usus, lalu mengadakan perlekatan pada mikrovili dan menyerang epitel hingga mencapai
lamina propria. selanjutnya di lamina propria kuman berkembang biak serta difagosit,
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag,
dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal kemudian ke kelenjar getah bening
mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah, menuju organ – organ sistem
retikuloendotelial (RES) terutama di hepar dan limpa sehingga organ tersebut akan
membesar disertai nyeri pada perabaan. . Di organ retikuloendotelial kuman
meninggalkan sel makrofag dan berkembang biak di luar sel (seperti di sinusoid) dan
kembali masuk ke sirkulasi darah yang mengakibatkan bakteremia kedua yang
simptomatik (terdapat tanda dan gejala infeksi sistemik).
Kuman masuk ke kandung empedu dan berkembang biak, kemudian secara
intermiten dieksresikan ke lumen usus, kemudian proses yang sama terulang kembali.
Karena makrofag sudah teraktifasi dan hiperaktif pada saat fagositosis kuman dilepaskan
mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental dan
koagulasi. Di plak Peyeri kuman intra makrofag menginduksi reaksi sensitifitas tipe
lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis jaringan. Proses patologi jaringan ini dapat
3
berkembang sampai ke lapisan serosa usus sehingga terjadi perforasi usus. Endotoksin
dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler sehingga timbul gejala neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernapasan dan gangguan organ lainnya.
5. Gambaran Klinis4,7
Masa inkubasi dari Demam Tifoid biasanya 7-14 hari tetapi juga bergantung pada
infeksi yang terjadi, umumnya 3-30 hari. Manifestasi klinis bervariasi mulai dari sakit
ringan dan demam yang tidak terlalu tinggi, malaise, sampai keadaan klinis yang berat
dengan gangguan pencernaan dan komplikasi yang berat. Banyak faktor yang
mempengaruhi berat ringannya penyakit pada demam tifoid. Hal ini mencakup lama
berlangsungnya penyakit sebelum dilakukannya terapi, pemilihan antibiotic yang sesusai,
umur, riwayat vaksinasi, strain bakteri, dan faktor imunitas seseorang.
Gejala klinis pada anak umumnya tidak khas. Umumnya perjalanan penyakit
berlangsung dalam jangka waktu yang pendek dan jarang menetap lebih dari 2 minggu.
Gejala klinis demam tifoid umumnya adalah demam, gangguan saluran pencernaan
(diare, konstipasi, mual, nafsu makan menurun), pusing.
1. Demam1,8,9
Demam atau panas merupakan gejala utama demam tifoid. Awalnya demam hanya
samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh turun naik yakni pada pagi hari lebih rendah atau
normal, sementara sore dan malam hari lebih tinggi. Pada kasus-kasus yang khas umumnya
demam berlangsung selama 3 minggu. Demam dapat mencapai 39-40 ◦C yang sifatnya
remitten. Demam disertai gejala lain seperti sakit kepala, diare, nyeri otot, pegal, insomnia,
anoreksia, mual, dan muntah. Selama minggu pertama, suhu tubuh turun naik, meningkat
terutama pada sore-malam hari, pada minggu kedua demam berlangsung terus menerus.
Bila pasien membaik maka pada minggu ketiga, suhu tubuh berangsur turun dan dapat
normal pada akhir minggu ketiga.
2. Lidah kotor
Sering ditemukan lidah yang terlihat kotor dan ditutupi selaput putih kotor, ujung dan
tepinya kemerahan serta tremor.
4
3. Gangguan saluran pencernaan
Penderita sering mengeluh nyeri perut, teutama nyeri ulu hati, disertai mual dan
muntah. Keluhan lain yang sering dijumpai adalah diare atau justru konstipasi.
4. Hepatosplenomegali
Pada penderita demam tifoid, hati dan atau limpa sering ditemukan membesar. Hati
terasa kenyal dan nyeri bila ditekan.
5. Bradikardi relatif
Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh peningkatan
frekuensi nadi. Patokan yang sering dipakai adalah peningkatan suhu 1◦C tidak diikuti
peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit.
6. Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan rutin
Pada darah perifer sering ditemukan leukopenia tetapi dapat pula normal atau
leukositosis. Dapat juga ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada hitung jenis
menunjukkan shift to the left. LED dapat meningkat, SGOT dan SGPT seringkali meningkat
tetapi dapat kembali normal setelah sembuh.
2. Pemeriksaan kultur
Kultur darah merupakan metode diagnosis standar yang dianjurkan. Menurut laporan
survailens WHO pada tahun 2003, lebih dari 80% pasien dengan demam tifoid memberikan
hasil yang positif dengan kultur darah. Sensitivitas kultur darah lebih tinggi apabila
pemeriksaan dilakukan pada minggu pertama sakit dan akan semakin menurun dengan
didapatkannya riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya.
3. Pemeriksaan serologis
a. Widal
Pemeriksaan Widal sebaiknya dilakukan pada pasien dengan gejala-gejala yang
mengarah pada tifoid dan atau setidaknya sudah mengalami demam selama lebih kurang
satu minggu. Karena endemisitas tifoid di tiap-tiap daerah berbeda-beda maka masing-
masing sentral dianjurkan untuk memiliki nilai ambang batas yang dapat dijadikan patokan.
Saat ini diagnosis dengan menggunakan hasil Widal lebih dianjurkan dengan melihat
5
peningkatan titer 2-4 kali dalam dua pemeriksaan Widal dengan jarak waktu kurang lebih 1
minggu dari pada pemeriksaan Widal satu kali saja.
b. Kit typhidot
Typhidot merupakan seperangkat kit dot ELISA yang digunakan untuk mendeteksi kadar
antibodi IgM dan IgG terhadap protein membran luar dari Salmonella typhi. Typhidot akan
memberikan hasil yang positif setelah 2-3 hari pasca infeksi. Typhidot memiliki efektivitas
yang lebih baik daripada Widal. Kelemahan kit ini tidak dapat membedakan apakah
penderita mengalami infeksi lampau atau reinfeksi bila hasil yang didapat IgM dan IgG
positif, pada keadaan tersebut gejala klinik dapat dijadikan pertimbangan.
c. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pemeriksaan lain yang lebih canggih adalah dengan metode deteksi DNA tifoid
menggunakan teknik PCR. Pemeriksaan ini memberikan hasil yang baik dengan sensitivitas
sampai 93% dan spesifisitas 100%.
d. Tes Tubex ®
Tes Tubex® merupakan pemeriksaan diagnostik in vitro semikuantitatif untuk mendeteksi
spesifik serum antibodi IgM terhadap antigen S.Typhi 09 lipopolisakarida. Reaksi positif
akan memberikan warna biru sedangkan reaksi negatif akan memberikan warna merah.
7. Komplikasi
Komplikasi yang paling banyak dijumpai pada demam tifoid adalah hepatitis tifosa,
pneumonia, ensefalopati, dan perdarahan dengan penyebab kematian terbanyak adalah
perforasi usus.
1. Hepatitis Tifosa11,12
Penyebab timbulnya kelainan hati pada demam tifoid tidak diketahui pasti, mungkin
multifaktorial termasuk kerusakan hati akibat endotoksin atau proses inflamasi.
Kemungkinan lain adalah kerusakan akibat mekanisme imun sekunder pada host.
Khosia memberikan kriteria hepatitis tifosa apabila ditemukan 3 atau lebih gejala
sebagai berikut:
1. Hepatomegali
6
2. Ikterik
3. Kelainan laboratorium, antara lain :
- Bilirubin
- Peningkatan SGOT/SGPT
- Penurunan indeks waktu prothrombin
4. Kelainan histopatologi
2. Komplikasi intestinal
Komplikasi intestinal terdiri dari perdarahan usus, perforasi usus dan ileus paralitik.
Komplikasi perdarahan ditandai dengan hematoshezia. Tetapi dapat juga melalui
pemeriksaan lab feses (occult blood test). Komplikasi perforasi ini ditandai dengan gejala
– gejala akut abdomen dan peritonitis. Didapatkan gas bebas dalam rongga perut yang
dibantu dengan pemeriksaan klinis bedah dan foto polos abdomen 3 posisi.
Pada awal minggu kedua dari perjalanan penyakit demam tifoid, terjadi nekrosis
superficial yang disebabkan oleh toksis bakteri atau yang lebih utama disebabkan oleh
pembuntuan pembuluh-pembuluh darah kecil oleh hyperplasia sel limfoid (disebut sel
tifoid). Selanjutnya, mukosa yang nekrotik akan terlepasMukosa yang nekrotik kemudian
membentuk kerak, yang dalam minggu ketiga akan terlepas sehingga membentuk ulkus
yang berbentuk bulat atau lonjong tak teratur dengan sumbu panjang ulkus sejajar dengan
sumbu usus. Pada umumnya ulkus tidak dalam meskipun tidak jarang jika submukosa
terkena, dasar ulkus dapat mencapai dinding otot dari usus bahkan dapat mencapai
membrane serosa.
Pada waktu kerak lepas dari mukosa yang nekrotik dan terbentuk ulkus, maka
perdarahan yang hebat dapat terjadi atau juga perforasi usus. Kedua komplikasi tersebut,
yaitu perdarahan hebat dan perforasi merupakan penyebab yang paling sering
menimbulkan kematian pada penderita demam tifoid. Meskipun demikian, beratnya
penyakit demam tifoid tidak selalu sesuai dengan beratnya ulserasi. Denyut nadi sangat
meningkat disertai oleh peritonitis local maupun umum, maka hal ini menunjukan telah
7
terjadinya perforasi usus. Sedangkan keringat dingin, gelisah, sukar nernafas dan kolaps
dari nadi yang teraba denyutnya memberi gambaran adanya perdarahan
3. Toksik Tifoid1,13
Penurunan kesadaran akut (kesadaran berkabut, apatis, delirium, somnolen, sopor,
koma) dengan atau tanpa disertai kelainan neurologis lainnya dan dalam pemeriksaan
cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinis seperti ini oleh beberapa peneliti
disebut tifoid toksik atau tifoid berat, demam tifoid ensefalopati atau demam tifoid
dengan toksemia. Manifestasi neuropsikiatri berupa delirium dengan atau tanpa kejang,
semikoma atau koma, parkinson rigidity, mioklonus generalisata, meningismus,
skizofrenia, maniak akut, hipomania, ensefalomielitis, meningitis, polineuritis perifer,
dan psikosis.
Di Indonesia, insiden terjadinya tifoid toksik sekitar 10-40% dari kasus demam tifoid
yang dirawat. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi terjadinya tifoid toksik antara
lain sosial ekonomi yang buruk, tingkat pendidikan yang rendah, ras, kebangsaan, iklim,
nutrisi, kebudayaan dan adat yang masih terbelakang.
4. Komplikasi lain
a. Kardiovaskuler
Pada 10-15% pasien dengan demam tifoid ditemukan perubahan non spesifik
pada gambaran EKG. 1-5% pasien dengan demam tifoid mengalami toksik
miokarditis. Toksik miokarditis terjadi pada psien dengan sakit yang berat and
toksemia dan ditandai dengan takikardia, nadi dan suara jantung yang lemah,
hipotensi, dan abnormalitas gambaran ekg.
b. Komplikasi hematologi
Dapat ditemukan trombositopenia hingga koagulasi intravaskuler disseminata.
Penyebab KID belumlah jelas. Hal yang sering dikemukakan adalah endotoksin
mengaktifkan beberapa sistem biologi, koagulasi, dan fibrinolisis. Pelepasan
kinin, histamine, dan prostaglandin menyebabkan vasokonstriksi dan kerusakan
8
endotel pembuluh darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan
mekanisme koagulasi, baik KID kompensata maupun dekompensata.
c. Pankreatitis tifosa
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Pemeriksaan enzim amylase dan
lipase serta ultrasonografi/ct scan dapat membantu diagnosis penyakit ini dengan
akurat.
8. Penatalaksanaan
1. Non Farmakologis
Istirahat dan perawatan dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan. Diet dan terapi penunjang dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan
kesehatan pasien secara optimal. Pemberian bubur saring dan lauk pauk rendah serat
untuk menghindari perdarahan saluran cerna. Jika kesadaran menurun dapat dilakukan
pemasangan selang nasogastrik. Pemberian nutrisi lebih diutamakan secara oral atau
enteral untuk mencegah atrofi vili usus.
2. Farmakologis10,11
Pemberian antibiotik bertujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.
Pemilihan antibiotik perlu disesuaikan dengan pola resistensi kuman Salmonella typhi
lokal sehingga kegagalan terapi dapat dihindarkan. Obat-obat antimikroba yang sering
digunakan untuk demam tifoid adalah sebagai berikut :
a. Kloramfenikol
Penggunaan kloramfenikol telah dikenal cukup lama dan telah digunakan secara
luas. Selain merupakan obat pilihan utama, obat ini banyak digunakan karena
harganya relatif murah. Dosis yang diberikan adalah 4X500 mg perhari dapat
diberikan secara per-oral atau intravena. Diberikan hingga 7 hari bebas panas.
b. Tiamfenikol
Efektivitas hampir sama dengan kloramfenikol, tapi komplikasi hematologi lebih
rendah dari kloramfenikol. Dosis yang diberikan 4X500 mg.
9
c. Kotrimokzasol
Efektivitas hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis dewasa 2X2 tablet (1 tablet
mengandung sulfanetoksazol 400mg dan 80mg trimetoprim) diberikan selama 2
minggu.
d. Ampicillin dan Amoxiciliin
Kemampuan menurunkan demam lebih rendah dari kloramfenikol. Dosis yang
dianjurkan 50-150mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu.
e. Sefalosporin generasi ketiga
Hingga saat ini terbukti dalam sefalosporin generasi ketiga yang terbukti efektif
untuk demam tifoid adalah seftriakson dosis yang dianjurkan 3-4g dalam
dekstrose 100cc diberikan selama ½ jam perinfus 1 kali sehari selama 3-5 hari.
f. Golongan fluoroquinolon
Norfloksasin dosis 2X400 mg/hari selama 14 hari
Siprofloksasin dosis 2X500 mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin dosis 2X400 mg/hari selama 7 hari
Pefloksasin dosis 400mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin dosis 400mg/hari selama 7 hari
Berdasarkan penelitian oleh Iskandar Zulkarnain mengenai uji kepekaan Salmonella
Typhii terhadap beberapa jenis antibiotika ditemukan Ampisilin, amoksisilin, dan
sulfametoksasol-trimetoprim presentasi kepekaan terhadap Salmonella adalah 95,12%
sedangkan kloramfenikol, seftriakson dan golongan fluorokuinolon masih sensitif (100%)
untuk kuman Salmonella.
Pada tifoid toksik dapat diberikan kombinasi kloramfenikol 4 x 400 mg ditambah
ampicilin 4 x 1 gram dan deksametason 3 x 5 mg.7 Sumarsona dalam tulisannya
mengemukakan bahwa pemberian kortikosteroid amat membantu penyembuhan. Nyunting
dan Khosla melaporkan hal yang sama. Smadel menganjurkan pemberian steroid tidak
lebih dari 4 hari. Nelwan menganjurkan selama 3-5 hari dengan dosis 0,5-2 mg/kgBB/hari.
10
Saat ini sedang dikembangkan penelitian mengenai penggunaan florokuinolon pada
tifoid toksik, dimana ternyata penderita dapat membaik tanpa pemberian kortikosteroid.
Hal ini mungkin dapat dijelaskan dengan sifat-sifat imunomodulasi kelompok obat ini.
9. Pencegahan14,15
Penularan demam tifoid melalui makanan dan air yang terkontaminasi bakteri. Untuk
menurunkan insidensi demam tifoid, harus diidentifikasi bakteri penyebab, meningkatkan
kesehatan umum,personal dan memperbaiki hygine serta pendidikan kesehatan terhadap
masyarakat.
Hal yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kesehatan umum adalah:
- Sanitasi lingkungan
- Penyediaan sumber air yang bersih
- Meningkatkan pengamanan bahan pangan agar terhindar dari kontaminasi bakteri.
-
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu ; 1.
Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid maupun karier
tifoid; 2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi Salmonella typhi akut
maupun karier; 3. Proteksi terhadap orang yang beresiko terinfeksi.
10. Prognosis16
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya > 10%,
biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan dan pengobatan. Munculnya
komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis,
endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
11
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn U
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 26 tahun
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Alamat : Desa sibubut
Tanggal masuk : 07 Agustus 2015
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama : demam naik turun sejak 1 minggu SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke RSUD Arjawinangun dengan keluhan demam naik turun 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit. Demam timbul perlahan dan naik turun. Demam dirasakan naik
pada malam hari dan turun menjelang pagi atau saat diberikan obat penurun panas. Demam
disertai menggigil dan terkadang disertai batuk.
Selain demam, pasien juga mengeluh pusing, mual muntah dan sakit perut. Pusing diakui
terasa semenjak sakit saja. Mual muntah dan nafsu makan menurun juga dikeluhkan oleh pasien.
Setiap mau makan, perut terasa mual sehingga asupan makanan berkurang daripada biasanya.
Kadang disertai muntah tapi tidak setiap hari, hanya sesekali setelah makan. Yang dimuntahkan
adalah makanan yang dimakan, tidak disertai darah, ataupun berwarna hitam. Selain itu, buang
air besar menjadi jarang.
12
Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya pasien belum pernah mengalami hal serupa. Riwayat sakit maag (+) DM dan
Hipertensi disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga pasien tidak ada yang mengalami hal serupa.
Riwayat Kebiasaan
Pasien mengaku sering telat makan dan suka jajan sembarangan.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Berat badan : 42 kg
Tinggi badan : 150 cm
Tanda vital
Tekanan darah: 100/60 mmHg
Nadi : 76 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu Cە38 :
Kepala :
Normocephali, rambut hitam dan distribusi merata.
Mata :
Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-).
Telinga :
Bentuk normal, NT auricular (-/-), secret (-/-).
Hidung :
Bentuk normal, septum deviasi (-), secret (-), pernafasan cuping hidung (-).
Mulut :
Bibir kering (+), bibir pucat (-), mukosa mulut pucat (-). Lidah tampak kotor di bagian tengah.
13
Leher :
KGB dan tiroid tidak teraba membesar.
Thorax
Cor
o Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
o Palpasi :ictus cordis teraba pada linea midclavicula sinistra ICS 5
o Perkusi : batas jantung dalam batas normal
o Auskultasi : BJ I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo
o Inspeksi : gerak dada simetris saat statis dan dinamis.
o Palpasi :vocal fremitus simetris
o Perkusi :sonor pada kedua lapang paru
o Auskultasi :vesikuler +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abdomen
o Inspeksi: bentuk datar, warna sawo matang, venektasi (-), smiling umblicus (-),
efloresensi (-)
o Auskultasi: Bising usus (+)
o Palpasi: tegang, nyeri tekan (+) pada regio hipocondriaca dextra dan sinistra, regio
epigastrica, regio abdominal lateralis dextra. Hepar dan lien tidak teraba membesar
o Perkusi: timpani (+), shifting dullness (-)
Ekstremitas
o Ekstremitas atas :akral hangat +/+, oedem -/-
o Ekstremitas bawah : akral hangat +/+, oedem -/-
14
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium diambil pada tanggal 09 agustus 2015 pada saat pasien berada di IGD
RSUD Arjawinangun.
Parameter Hasil Nilai normal
Hb 11,3g/dL 12-16
Leukosit 11,29 /uL 3,80-10,60
Trombosit 433 /uL 150-440
Hematokrit 34,3% 36-47
Basofil 0 % 0-1 %
Eosinofil 1 % 1-3 %
Neutrofil 71 % 40-70 %
Limfosit 16 % 20-45 %
Monosit 8 % 2-8 %
Imunologi
Widal salmonella IgM (+) Negatif
Widal salmonella IgG (+) Negatif
Kimia
Glukosa darah sewaktu 89 mg/dl < 140 mg/dl
E. RESUME
Pasien datang ke RSUD Arjawinangun dengan keluhan demam naik turun 1 minggu, menggigil
(+) mual muntah (+) nafsu makan menurun(+) konstipasi (+) lab hb: 11,3 leukosit: 11,29
hematokrit: 34,3 widall salmonella igM igG (+)
15
BAB III
ANALISA KASUS
I. DAFTAR MASALAH
Demam tifoid
II. PENGKAJIAN
1. Demam tifoid
Atas dasar : Demam sejak 7 hari SMRS, pola demam naik turun, naik pada menjelang sore
dan turun saat menjelang pagi, disertai menggigil, Terdapat konstipasi, semenjak sakit
pasien mengeluh susah buang air besar. Saat dirawat , pasien tidak pernah buang air besar.
Biasanya pasien BAB teratur setiap hari.
Hasil pemeriksaan lab salmonella igG igM (+)
Planing diagnosis :
Terapi non Farmakologi
-Tirah baring
-Diet lunak
Terapi Farmakologi
-Infuse Asering 20 ttpm
-Inj ranitidin 2x1 ampul
-Inj ceftriakson 1x1 ampul
-Inj ondansentron 3x1 ampul
-Pct3x1 tab
16
III. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad fungtionam : bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
IV. FOLLOW UP
08 agustus 2015
S Pasien sudah tidak demam, sakit kepala sudah berkurang, pasien masih mual.
Nafsu makan membaik. buang air besar 1satu kali, cair, tidak ada lendir
O TD : 100/70 mmHg, nadi : 68x/mnt, napas : 15x/mnt, suhu : 37,0ºC
Mata : CA -/-, SI -/-
Leher : dbn
Thorax : Cor → BJ I&II regular, murmur (-), gallop (-), Pulmo → suara napas
vesikuler, wheezing -/-, ronkhi -/-
Abdomen : Supel, BU (+), nyeri tekan (+) di epigastrium
Ektremitas atas : akral hangat +/+, oedem -/-
Ekstremitas bawah : akral hangat +/+, oedem +/+
A Demam tifoid
P infus RL 20 ttpm
Inj Ceftriakson 2x1
Inj Ranitidin 2x1
Pct 3x1
09 Agustus 2015
S Pasien masih pusing, pasien sudah tidak demam, sakit kepala sudah tidak ada,
pasien masih mual.
17
O TD : 110/80 mmHg, nadi : 70x/mnt, napas : 18x/mnt, suhu : 36,8ºC
Mata : CA -/-, SI -/-
Leher : dbn
Thorax : Cor → BJ I&II regular, murmur (-), gallop (-), Pulmo → suara napas
vesikuler, wheezing -/-, ronkhi -/-
Abdomen : Supel, BU (+), nyeri tekan (+) di epigastrium
Ektremitas atas : akral hangat +/+, oedem -/-
Ekstremitas bawah : akral hangat +/+, oedem +/+
A Demam tifoid
P infus RL 20 ttpm
Inj Ceftriakson 2x1
Inj Ranitidin 2x1
10 Agustus 2015
S Pasien sudah tidak demam, sakit kepala sudah tidak ada, pasien sudah tidak mual ,
BAK dan BAB normal.
O TD : 120/80 mmHg, nadi : 80x/mnt, napas : 18x/mnt, suhu : 36,8ºC
Mata : CA -/-, SI -/-
Leher : dbn
Thorax : Cor → BJ I&II regular, murmur (-), gallop (-), Pulmo → suara napas
vesikuler, wheezing -/-, ronkhi -/-
Abdomen : Supel, BU (+), nyeri tekan (+) di epigastrium
Ektremitas atas : akral hangat +/+, oedem -/-
Ekstremitas bawah : akral hangat +/+, oedem +/+
A Demam tifoid
P infus RL 20 ttpm
Inj Ceftriakson 2x1
Inj Ranitidin 2x1
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Widodo D. Demam tifoid. Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati
S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III 2006. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen IPD
FKUI ; 2006 : 1752-7.
2. Zulkarnain I. Demam tifoid : Perkembangan terbaru dalam diagnosis dan terapi. Dalam :
Sumaryono, Setiati S, Gustaviani R, Sukrisman L, Sari NK, Lydia A. Naskah lengkap
pertemuan ilmiah tahunan ilmu penyakit dalam 2006. Jakarta : Pusat informasi dan
penerbitan bagian IPD FKUI; 2006:35-43.
3. Ochiai RL, Acosta CJ, Danovaro-Holliday MC, Baiqing D, Bhattacharya SK, Agtini MD, et
al. A study of typhoid fever in five Asian countries: disease burden and implications for
controls. Bulletin of the World Health Organization 2008;86:260-8.
4. Rampengan, T. H. 2008. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak. Jakarta: EGC. Soedarno SS.,
Garna H, Hadinegoro SR. 2008. Buku Ajar Infeksi & Pediatric Tropis. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
5. Syahrurahman, Agus. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi. Jakarta:
Penerbit Binarupa Aksara.
6. Lubis, R. 2001. Faktor Resiko Kejadian Demam Tifoid Penderita Yang Dirawat di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya. Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Airlangga Surabaya.
7. Hendarwanto. Clinical Picture of Typhoid Fever. Acta Medica Indonesiana, 1996, 3:151-58.
8. Nelwan RHH. Sebuah Studi Deskriptif Klinik Mengenai Diagnosis Dini Demam Tifoid. Acta
Medica Indonesiana, 1993, 1;13-18
9. Zulkarnain I. Demam tifoid : Perkembangan terbaru dalam diagnosis dan terapi. Dalam :
Sumaryono, Setiati S, Gustaviani R, Sukrisman L, Sari NK, Lydia A. Naskah lengkap
pertemuan ilmiah tahunan ilmu penyakit dalam 2006. Jakarta : Pusat informasi dan
penerbitan bagian IPD FKUI; 2006:35-43.
19
10. Khosia, SN. Typhoid hepatitis. Postgrad Med J. 1990, 66:923-25.
11. Pramoolsinsap C, Viranuvatti V. Salmonella Hepatitis. Journal of Gastroenterol and
Hepatology 1998, 13: 745-50.
12. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farar JJ. Typhoid fever. N Engl J Med.
2002;347(22):1770-82.
13. Daigle, France. 2008. Typhi Genes Expressed During Infection or Involved in Pathogenesis.
J Infect Developing Countries. 2008; 2(6): 431-437
14. Moehario, Lucky H. 2009. The Molecular Epidemiology of Salmonella Typhi Accros
Indonesia Reveals Bacterial Migration. J Infect Dev Ctries.2009; 3(8): 579-584
15. Garna H, dkk. Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi kedua. Balai Penerbit FKUI.
Jakarta. 2008 :368-375
20
21